Anda di halaman 1dari 59

Skenario 2

Apa Yang Terjadi Dengan Anak Saya?


A girl student, 23 years old, was taken by his mother to the family doctor for
not eating. Since one week ago, the patient is difficult to eat, always refuse if asked to
eat, like no sense. Even the last 2 days, very little food could enter so as to make her
worry. Since one month ago, patients experience changes in behavior become more
subdued, only in her room and did not want to go to college. Patients also complained
of difficulty sleeping. Patients feel pessimistic and desperate to complete his studies,
but usually the patient is a child's spirit. Patients feel guilty at his parents because
they felt had failed them. Lately, patients often hear voices without form that mocked
and blamed himself so that the patient is getting sad.Physical and neurological
examinations within normal limits.
Seorang mahasiswa perempuan, berusia 23 tahun, dibawa oleh ibunya ke
dokter keluarga untuk tidak makan. Sejak satu minggu yang lalu, pasien sulit untuk
makan, selalu menolak jika diminta untuk makan, seperti tidak masuk akal. Bahkan 2
hari terakhir, sangat sedikit makanan bisa masuk sehingga membuat dia khawatir.
Sejak satu bulan lalu, perubahan pasien pengalaman dalam perilaku menjadi lebih
tenang, hanya di kamarnya dan tidak ingin pergi ke perguruan tinggi. Pasien juga
mengeluh sulit tidur. Pasien merasa pesimis dan putus asa untuk menyelesaikan
studinya, tetapi biasanya pasien adalah anak yang semangat. Pasien merasa bersalah
pada orang tuanya karena mereka merasa telah gagal mereka. Akhir-akhir ini, pasien
sering mendengar suara-suara tanpa bentuk yang mengejek dan menyalahkan dirinya
sendiri sehingga pasien semakin sedih.
Pemeriksaan fisik dan neurologis dalam batas normal.

I. KLARIFIKASI ISTILAH
a. Pesimis
Sikap dimana manusia banyak didominasi oleh pikiran yang menganggap
segala sesuatu yang ada adalah jahat. (Dorland, 2011)
b. Perilaku
Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau
lingkungan serta kegiatan atau aktifitas organisme yang bersangkutan.
(Depdiknas, 2005).
II. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Mengapa sudah satu minggu pasien menolak untuk makan ?
2. Apa efek dari keluhan pasien yang sulit makan ?
3. Apakah penyebab pasien menjadi sulit tidur, diam, mengurung diri dan
tidak mau keluar kamar serta putus asa dan pesimis dalam menyelesaikan
studinya ?
4. Apa yang menyebabkan timbulnya suara-suara yang mengejek dan
menyalahkan pasien hingga pasien sedih ?
5. Bagaimana penegakkan diagnosis kasus tersebut) ?
6. Apa saja diagnosis banding dan diagnosis kerja dari skenario ?
III.ANALISIS MASALAH
1. Mengapa sudah satu minggu pasien menolak untuk makan ?
a. Pasien menolak untuk makan penurunan nafsu makan
b. Nafsu makan: keinginan untuk mendapatkan jenis makanan tertentu
yang berguna.
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi nafsu makan:
a) Lingkungan
b) Budaya
c) Pengaturan fisiologi di otak hipothalamus
i. Nucleus lateral hipothalamus pusat nafsu makan
ii. Nucleus ventromedial hypothalamus pusat kenyang

iii. Nucleus paraventriuklar dorsomedial proses dan perilaku


makan
iv. Arkuata mengatur pengeluaran dan pelepasan hormone
v. Amigdala bagian utama sistem olfaktorius
d. Ada zat yang mampu mengubah perilaku nafsu makan:
i. Zat oreksigenik yang menstimulus rasa lapar
Contoh: neuropeptide Y, asam amino, galanin, endofin
ii. Zat anoreksigenik yang menekan nafsu makan
Contoh: leptin, serotonin, norepinefrin, insulin.
Keterangan:
Perubahan jumlah Serotonin dan norepinefrin selain
mempengaruhi stimulus nafsu makan, juga berkaitan dengan
mekanisme timbulnya stress atau depresi (Hendro Djoko Tjahjono.
2011).
Gangguan mood terbagi menjadi dua, yaitu (Kaplan, 2010) :
a. Gangguan mood yang menurun
Gejala : hilangnya energi, hilangnya minat, rasa bersalah, sulit
konsentrasi, hilangnya nafsu makan.
b. Gangguan mood yang meningkat
Gejala : flight of idea, tidur berkurang, waham kebesaran.
Pada pasien ini kemungkinan terjadi gangguan mood yang
menurun sehingga terdapat gejala hilangnya nafsu makan yang membuat
pasien sulit makan (Kaplan, 2010).
Sulit makan terjadi dalam suatu penyakit psikiatri misal terjadi
annoreksia nervosa karena mempertahankan BB dan takut gemuk, selain
itu berupa penyakit lain yang berhubungan dengan organ pencernaan
misal GERD, gastritis, faringitis dan disfagi. Dalam scenario terdapat
gejala bahwa pasien satu bulan yang lalu menjadi pendiam dan
mengurung diri dikamar, hal terserbut terjadi kemungkinan kesulitan
makan akibat gejala dari depresi.
Fisiologi nafsu makan diatur oleh system limbic dan hypothalamus.
Pengatur utama system limbic yaitu untuk merangsang nucleus
ventromedial

yang

menyebabkan

pasien

kurang

nafsu

makan,

perangsangan hypothalamus lateral yang menyebabkan pengaturan nafsu


makan, haus, dan emosi. Perangsangan zona tipis di nucleus
paraventrikular yang menyebabkan takut, reaksi terhukum. Perangsangan
hypothalamus lateral sebagai pusat pengaturan rasa lapar. Hal tersebut
abnormal karena terjadi kelainan neurotransmiter yang diakibatkan
peningkatan berpikir pada otak karena factor pencetus stress yang berebih
(Kaplan, 2010).
Hipothalamus mengatur banyak aspek yaitu motivasi dan emosi
termasuk rasa lapar, haus dan perilaku seksual. Bagian hipothalamus yang
berkaitan dengan respon makan adalah appestat atau ACS (Appetite
Control System), bagian tersebut juga membantu mengontrol energi yang
tersedia untuk memutuskan berapa banyak makanan yang diperlukan pada
tubuh manusia pada waktu tertentu (Sherwood, Lauralee. 2007).
Hormon leptin dan insulin berperan dalam homeostasis energi
jangka panjang. Pelepasan kedua hormon menyebabkan modulasi
neuropeptida hipotalamus yang mengatur perilaku makan dan berat badan.
Lalu hormon ghrelin dihasilkan lambung. Selain berperan dalam
homeostasis energi jangka panjang, ghrelin diketahui mempunyai peran
dalam regulasi nafsu makan jangka pendek (Guyton, A.C. 2009).
Pada skenario terlihat tanda-tanda stress yang berkepanjangan pada
pasien yang mengarahkan ke depresi, yang mana depresi berhubungan
dengan hipersekresi dari hormon CRF (Corticotropin Releasing Factor),
hormon tersebut mengatur

waktu tidur dan nafsu makan, penurunan

libido dan perubahan psikomotor. Terdapat juga ghrelin yan merupakan


stimulan nafsu makan yang pertama ditemukan di produksi di luar otak
(Mutiara, 2007).
2. Apa efek dari keluhan pasien yang sulit makan ?

Efek dari sulit makan (Marks, 2000) :


Sulit makan

Intake berkurang

Pasokan energi utama berkurang

energi berasal dari cadangan glikogen dan lemak habis

energi berasal dari cadangan protein habis

tubuh mengalami stress

laju metabolik tubuh berubah

muncul gejala-gejala (lemah, lunglai, hilangnya masa otot, daya tahan tubuh, dan
lain-lain)
Nafsu makan menurun intake makanan berkurang termasuk intake glukosa
yang berkurang hipoglikemia kebutuhan jaringan tidak terpenuhi
sistem saraf sangat sensitive terhadap penurunan glukosa dalam serum
gangguan pada sistem saraf pusat (Hotma Rumahorbo. 1999).
3. Apakah penyebab pasien menjadi sulit tidur, diam, mengurung diri
dan tidak mau keluar kamar serta putus asa dan pesimis dalam
menyelesaikan studinya ?
Sebelum membahas hal tersebut kita perlu mengetahui fisiologis
dari pola pikir manusia, ketika seseorang dapat stimulus dari luar misalnya
mendapat suatu pengalaman dari eksternal maupun internal yang nantinya
secara otomatis otak akan mempresepsikannya ketika ada rangsangan
berulang. Proses piker tejadi yang pertama pada sensori data yang
diumpan ke thalamus, selanjutnya data dikirm ke amygdala dan juga ke
cortex.

Dalam scenario pasien mengalami putus asa, hal tersebut terjadi


karena factor pendidikan atau pola asuh yang terlalu dimanja, trauma
masa lalu, kurang bersyukur, iman rapuh dan keadaan lingkungan yang
tidak mendukung. Kemungkinan yang terjadi pada pasien ini adalah pola
asuh yang salah, hal tersebut dapat terjadi pasien missal dahulunya diasuh
dengan pola dependen yang segala sesuatunya harus dilayani oleh orang
tuanya atau orang lain, ketika orang tersebut kuliah mungkin dia
mendapat suatu cobaan mial banyak tugas, tetapi ketika dahulu karena
sering dilayani akhirnya orang tersebut kurang mandiri sehingga tidak
dapat menyelsaikan pekerjaannya sendiri yang menyebabkan orang
tersebut merasa memiliki maslah yang berat. Selain itu factor lingkungan
perkuliahan yang kurang mendukung sehigga orang tersebut merasa
sendiri,

sehingga

orang

tersebut

merasa

tidak

ada

yang

mempedulikannya. Dari factor-faktor tersebut akan menyebabkan putus


asa dan pesimis, karena sebelum suatu hal dilakukan orang tersebut
merasa telah gagal sehingga mengakibatkan otak akan terus menurus
mengirimkan informasi tersbut akhirnya dapat terjadi kelainan pada
neurotransmiter otak karena efektifitas kinerjanya meningkat (Kaplan,
2010).
Etiologi sulit tidur bermacam-macam. Pada skenario, telah
dijelaskan bahwa semua pemeriksaan fisik dan neurologis dalam batas
normal, oleh karena itu gejala sulit tidur ini bukanlah suatu penyakit
namun sebagai gejala dari gangguan mental atau spiritual.
Sulit tidur bisa didefinisikan sebagai kesulitan dalam memulai
tidur atau kesulitan mempertahankan tidurnya. Pada orang cemas,
neurotransmitter meningkat, sehingga sulit memulai tidur, karena dapat
mempengaruhi penurunan/hilangnya REM tidur. Pada orang depresi
terjadi gangguan kolinergik sentral, gangguan aktivitas kolinergik

menyebabkan pemendekan fase REM, sehingga penderita tidak bisa


mempertahankan tidurnya (Kaplan, 2010).
Berdasarkan kasus skenario pasien mengurung diri dan tidak mau
keluarkamar. Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilakunya
yang sekarang adalah sebagai berikut :
a. Faktor Psikososial
Dimana dalam suatu kehidupan pasti adanya suatu peristiwa, suatu
peristiwa ini adalah sebagai stressor maka ini yang akan membuat
sesorang merasa tertekan, sehingga mengalami perubahan biologi
otak. Perubahan ini meliputi perubahan berbagai neurotransmitter
dan system sinyal intraneuron, yang mana mengakibatkan resiko
tinggi menglami episode berulang gangguan mood, sekalipun tanpa
stressor dari luar.
b. Faktor Kepribadian
Seseorang dengan gangguan kepribadian obsesi kompulsi, hitrionik,
dan ambang akan lebih berisiko mengalami depresi, sedangkan
orang dengan gangguan distimik dan siklotimik akan berisiko
terkena gangguan depresi berat.
c. Faktor Psikodinamik
- Gangguan hubungan ibu-anak selama fase oral (10-18 bulan)
-

sehingga rentan untuk menjadi depresi berulang.


Hubungan dengan cinta yang nyata atau fantasi kehilangan

objek.
Introjeksi merupakan terbangkitnya mekanisme pertahanan

untuk mengatasi penderitaan akibat kehilangan objek cinta.


Kehilangan objek cinta, diperlibatkan dalam bentuk campuran
antara benci dan cinta, juga perasaan marah yang diarahkan

pada diri sendiri.


d. Formulasi Lain dari Depresi/ Faktor Lain
- Pandangan terhadap diri sendiri berupa persepsi negative
terhadap dirinya.

Tentang lingkungan yakni kecenderungan menganggap dunia

bermusuhan terhadapnya.
Tentang masa depan yakni bayangan penderitaan dan kegagalan
(Elvira, 2014).

4. Apa yang menyebabkan timbulnya suara-suara yang mengejek dan


menyalahkan pasien hingga pasien sedih ?
Halusinasi gangguan persepsi dimana pasien mempersepsikan
sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu pencerapan panca indera
tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami seperti
suatu persepsi melalui pancaindera tanpa stimulus eksternal; persepsi
palsu.
Ilusi pasien mengalami persepsi yang salah terhadap stimulus, salah
persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya stimulus eksternal yang
terjadi (Townsend, C, Mary. 2002).
Etiologi Menurut Stuart (2007):
1. Faktor Predisposisi
a. Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan
dengan respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai
dipahami.
a) Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan
dengan perilaku psikotik.
b) Beberapa zat kimia di otak : dopamin, neurotransmitter
yang berlebihan
c) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal
menunjukkan terjadinya atropi yang signifikan pada otak
manusia.
b. Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi
respon dan kondisi psikologis klien.

c. Sosial Budaya Mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti:


kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana
alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stres.
2. Faktor Prespitasi
Gangguan halusinasi timbul gangguan setelah

adanya

hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna,


putus asa dan tidak berdaya.
a. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang
mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme
pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan
untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak
untuk diinterpretasikan.
b. Stres Lingkungan
Ambang toleransi terhadap stres yang berinteraksi terhadap stresor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c. Sumber Koping
Mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.
(Maramis, W, F. 2004).
Dimana ini dipengaruhi adanya enzim mitokondria MAO (Monoamin
Oksidase) yang mengoksidasi transmitter monoamine. MAO (Monoamin
Oksidase) tipe B aka n mengalami deaminasi terutama dopamine yang
meningkat pada daerah temporal, haal ini dibagi menjadi tiga area. Jika
pada area 41-42 akan mengakibatkan halusinasi auditori yang mana
seseorang akan mendengar suara-suara yang tidak diketahui asal
sumbernya. Bila di daerah wrnick akan menurunkan asosiasi yang
mengakibatkan gangguan daya ingat, dan pada area brocha akan
mengakibatkan gangguan bahasa (Kaplan, 2010).
Halusinasi memiliki 4 fase, yaitu:
a. Fase I (Comforting)

Pada fase ini merupakan fase tidak menyenangkan dan


termasuk dalam golongan non-psikotik. Karakteristik yaitu pasien
mengalami stress, cemas, perasaan perisahan, rasa bersalah,
kesepian yang memuncak dan tidak dapat diselesaikan. Pasien
mulai melamun dan memikirkan hal-hal yang menyenangkan. Cara
ini hanya menolong sementara. Perilaku pasien yaitu tersenyum
atau tertawa sendiri, menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakkan
mata cepat, respon verbal yang lambat jika sedang asik dengan
halusinasinya, suka menyendiri.
b. Fase II (Condeming)
Merupakan ansietas berat dengan halusinasi yang menjijikkan.
Termasuk ke dalam psikotik ringan. Karakteristik pada fase ini
yaitu pengalaman sensorik yang menjijikkan dan menakutkan,
kecemasan meningkat, melamun dan berpikir sendiri jadi dominan,
mulai dirasakan bisikan yang tidak jelas, pasien tidak ingin orang
lain tahu dan ia tetap dapat mengontrolnya. Perilaku pasien
ditandai dengan terjadi peningkatan system saraf otonomnya
seperti peningkatan denyut jantung, peningkatan tekanan darah,
pasien asik dengan halusinasinya dan tidak bisa membedakan
dunia fantasi dengan realita.
c. Fase III (Controlling)
Pengalaman sensori menjadi berkuasa. Termasuk ke dalam
gangguan psikotik. Karakteristik pada fase ini yaitu bisikan, suara
dan isi halusinasi makin menonjol, menguasai dan mengontrol
pasien, pasien menjadi terbiasa dan tidak berdaya dengan
halusinasinya. Perilaku pasien ditandai dengan kemauan yang
dikendalikan oleh halusinasi, rentan perhatian hanya dalam
beberapa menit atau detik.
d. Fase IV (Conquering)

10

Panik. Pasien lebur dengan halusinasinya da termasuk ke


dalam psikotik berat. Karakteristiknya berupa halusinasi berubah
menjadi mengancam, memerintah dan memarahi pasien. Pasien
menjadi takut, tidak berdaya, hilang control dan tidak dapat
berhubungan secara nyata dengan orang lain di lingkungan.
Perilaku pasien meliputi agitasi, katatonik, potensi bunuh diri,
tidak mampu merespon terhadap perintah, tidak mampu berespon
lebih dari satu orang.
5. Bagaimana penegakkan diagnosis kasus tersebut ?
Cara penegakan diagnosis depresi (Muslim, 2013) :
a. Gejala Utama
- Perasaan depresif
- Hilangnya minat dan semangat
- Mudah lelah dan tenaga hilang
b. Gejala Lain
- Konsentrasi dan perhatian menurun
- Harga diri dan kepercayaan diri menurun
- Perasaan bersalah dan tidak berguna
- Pesimis terhadap masa depan
- Gagasan membahayakan diri atau bunuh diri
- Gangguan tidur
- Gangguan nafsu makan
- Menurunnya libido
Interpretasi :
Tingkat

Gejala

Gejala

Fungsi

Keterangan

Depresi
Ringan
Sedang

Utama
2
2

lain
2
3-4

Baik
Terganggu

Nampak

Sangat

distress
Sangat

Berat

>4

Terganggu
distress
Tabel 3.1. Interpretasi Penegakan Diagnosis Depresi (Muslim, 2013).

11

6. Apa saja diagnosis banding dan diagnosis kerja dari skenario ?


a. Diagnosis banding :
i

Depresi berat dengan psikotik

ii Psikosis akut
iii Scizoafektif tipe depresi
iv Scizofrenia
v

Gangguan bipolar I, episode terkini depresi

b. Diagnosis kerja
Multiaxial :
i

Aksis I

: F31.5 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini

Depresif Berat dengan Gejala Psikotik


ii Aksis II

: Dependent

iii Aksis III : Belum ada diagnosis


iv Aksis IV : Masalah kepribadian, primary support group
v

Aksis V

: 50 - 41 GAF

12

IV. SISTEMATIKA MASALAH

13

V. LEARNING OBJECTIVE
1. Definisi, etiologi, epidemiologi, faktor resiko, faktor pencetus, manifestasi
klinis, penatalaksanaan, pencegahan, prognosis tentang depresi berat
disertai dengan gejala psikotik.
2. Definisi, etiologi, epidemiologi, faktor resiko, faktor pencetus, manifestasi
klinis, penatalaksanaan, pencegahan, prognosis tentang psikosis akut.
3. Definisi, etiologi, epidemiologi, faktor resiko, faktor pencetus, manifestasi
klinis, penatalaksanaan, pencegahan, prognosis tentang scizoafektif tipe
depresi.
4. Definisi, etiologi, epidemiologi, faktor resiko, faktor pencetus, manifestasi
klinis, penatalaksanaan, pencegahan, prognosis tentang scizofrenia.
5. Definisi, etiologi, epidemiologi, faktor resiko, faktor pencetus, manifestasi
klinis, penegakkan diagnosis, penatalaksanaan, pencegahan, prognosis
tentang gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat dengan gejala
psikotik.
VI. BELAJAR MANDIRI
VII.

INFORMASI TAMBAHAN
1. Depresi Berat Disertai Dengan Gejala Psikotik
a. Definisi
Depresi berat dengan gejala psikotik adalah Depresi
berat dengan gejala psikotik adalah perasaan sedih, rasa lelah

14

yang berlebihan setelah aktivitas rutin yang biasa, hilang minat


dan semangat, malas beraktivitas dan biasanya menghadapi
kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, perkerjaan
rumah dan urusan rumah tangga, gangguan pola tidur dan
terdapat waham dan halunsinasi atau stupor depresi.

(I.M,

Ingram, et al. 1993)


b. Epidemiologi
Kemungkinan sekitar 20%-25 % terjadi pada wanita
dan 10%-12% pada laki-laki. Rata-rata usia onset untuk
gangguan depresi berat kira-kira 40 tahun, 50 % dari semua
pasien

mempunyai

onset

antara

20

dan

50

tahun.

(Kusumawardhani, AAAA, et al. 2014)


c. Etiologi
1. Faktor Biologis
Data yang dilaporkan paling konsisten dengan hipotesis
bahwa gangguan depresi berat adalah berhubungan dengan
disregulasi

pada

amin

biogenik

(norepineprin

dan

serotonin).
2. Faktor Genetika
Data genetik menyatakan bahwa sanak saudara derajat
pertama

dari

penderita

gangguan

depresi

berat

kemungkinan 2 sampai 3 kali lebih besar daripada sanak


saudara derajat pertama subyek kontrol untuk penderita
gangguan depresi berat. Pada kembar monozigotik adalah
kira-kira 50%, sedangkan pada kembar dizigotik mencapai
10-25% terjadi gangguan depresi berat.
3. Faktor Psikososial
Data yang paling mendukung menyatakan bahwa peristiwa
kehidupan paling berhubungan dengan perkembangan
depresi selanjutnya adalah kehilangan orang tua sebelum

15

usia

11

tahun.

Stressor

lingkungan

yang

paling

berhubungan dengan onset satu episode depresi adalah


kehilangan pasangan. (Kusumawardhani, AAAA, et al.
2014)
d. Manifestasi Klinis
i. Konsentrasi dan perhatian berkurang
ii. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
iii. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
iv. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
v. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh
diri
vi. Tidur terganggu
vii. Nafsu makan berkurang (Kaplan, 2010)
e. Kriteria Diagnostik
Kriteria depresi berat dengan gejala psikotik menurut DSM-IV:
i. Mood menurun hampir sepanjang hari, hampir setiap hari,
seperti yang ditunjukkan baik melalui laporan subjektif
(perasaan sedih atau kosong), atau pengamatan orang lain
(tampak bersedih)
ii. Menurunnya minat atau kesenangan yang nyata pada
semua atau hampir semua aktivitas hampir sepanjang hari,
hampir setiap hari.
iii. Penurunan berat badan yang bermakna walaupun tidak diet
atau berat badan bertambaH.
iv. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari
v. Agitasi atau retardasi psikomotor atau kegelisahan hampir
setiap hari
vi. Lelah atau hilang energi hampir setiap hari
vii. Perasaan tidak berarti atau rasa bersalah yang tidak sesuai
atau berlebihan
viii. Menurunnya kemampuan berpikir atau konsentrasi,
ataun keragu-raguan hampir setiap hari

16

ix. Pikiran berulang mengenai kematian, upaya melakukan


bunuh diri.
x. Waham dan halusinasi.
a) Ciri psikotik kongruen mood : waham dan halusinasi
yang seluruh isinya konsisten dengan depresif yang
khas yaitu ketidakmampuan pribadi, rasa bersalah,
kematian.
b) Ciri psikotik tidak kongruen mood : Waham dan
halusinasi yang isinya tidak meliputi depresif khas
yaitu ketidakmampuan pribadi, rasa bersalah, kematian.
Waham yang termasuk adalah gejala seperti waham
kejar, insersi pikiran, siar pikiran dan waham kendali.
Lima atau lebih gejala/ kriteria diatas telah ada selama periode
waktu

minggu

dan

menunjukan

perubahan

fungsi

sebelumnya. Setidaknya 1 gejala mood menurun atau 2 gejala


kehilangan minat atau kesenangan. (Kaplan, 2010)
f. Penatalaksanaan
Berbagai

obat

dan

teknik

psikoterapi

telah

dikembangkan untuk memulihkan penderita depresi.Pada


sebagian besar kasus, pengobatan penderita depresi akan paling
efektif dengan mengkombinasikan pemberian obat-obatan oleh
psikiater dengan pemberian psikoterapi oleh psikolog.
Semua pasien depresi harus mendapatkan psikoterapi
dan beberapa memerlukan tambahan terapi fisik. Kebutuhan
terapi khusus bergantung pada diagnosis, berat penyakit, umur
pasien, dan respon terhadap terapi sebelumnya. Bila seseorang
menderita depresi berat, maka diperlukan seorang yang dekat
dan yang dipercayainya untuk membantunya selama menjalani
pemeriksaan dan pengobatan depresi tersebut.Kadang seorang
penderita depresi berat perlu rawat inap di rumah sakit, kadang

17

cukup dengan pengobatan rawat jalan.


a) Terapi psikologik.
Psikoterapi suportif selalu diindikasikan. Berikan
kehangatan, empati, pengertian, dan optimistik. Bantu
pasien mengindentifikasi dan mengekspresikan hal-hal
yang

membuatnya

Identifikasi

faktor

prihatin

dan

melontarkannya.

pencetus

dan

bantulah

untuk

mengoreksinya. Bantulah memecahkan problem eksternal


(misal pekerjaan) arahkan pasien terutama selama episode
akut dan bila pasien tidak aktif bergerak.
Terapi kognitif-perilaku dapat sangat bermanfaat pada
pasien depresi ringan dan sedang. Diyakini oleh sebagian
orang ketidak berdayaan yang dipelajari, depresi diterapi
dengan memberikan pasien latihan keterampilan dan
memberikan

pengalaman-pengalaman

sukses.

Dari

perpektif kognitif pasien dilatih untuk mengenal dan


menghilangkan

pikiran-pikiran

negatif

dan

harapan-

harapan negatif. Terapi ini mencegah kekambuhan.


b) Terapi Fisik
Pada farmakoterapi digunakan obat anti depresan, dimana
anti depresan dibagi dalam beberapa golongan yaitu :
i.

Golongan trisiklik, seperti : amitryptylin, imipramine,

clomipramine dan opipramol.


ii. Golongan tetrasiklik, seperti : maproptiline, mianserin
dan amoxapine.
iii. Golongan MAOI-Reversibel

(RIMA,

Reversibel

Inhibitor of Mono Amine Oxsidase-A), seperti :


moclobemide.
iv. Golongan atipikal, seperti : trazodone, tianeptine dan
mirtazepine.

18

v. Golongan

SSRI

(Selective

Serotonin

Re-Uptake

Inhibitor), seperti : sertraline, paroxetine, fluvoxamine,


fluxetine dan citalopram (Arozal W, Gan S. 2007).
g. Prognosis
Gangguan mood cenderung memiliki perjalanan
penyakit yang panjang dan pasien cenderung mengalami
kekambuhan. Episode depresif yang tidak diobati berlangsung
6 sampai 13 bulan, sementara sebagian besar episode yang
diobati

berlangsung

kira-kira

bulan.

Menghentikan

antidepresan sebelum 3 bulan hampir selalu menyebabkan


kembalinya gejala (Kaplan, 2010).
Pasien yang dirawat di rumah sakit untuk episode
pertama gangguan depresif berat memiliki kemungkinan 50%
untuk pulih dalam tahun pertama. Banyak penelitian telah
berusaha untuk mengidentifikasi indikator prognostik yang
baik dan buruk di dalam perjalanan gangguan depresif berat.
Episode ringan, tidak adanya gejala psikotik, fungsi keluarga
yang stabil, tidak adanya gangguan kepribadian, tinggal dalam
waktu singkat di rumah sakit dalam waktu yang singkat, dan
tidak lebih dari satu kali perawatan di rumah sakit adalah
indikator prognostik yang baik.
meningkat

oleh

adanya

Prognosis buruk dapat

penyerta

gangguan

distimik,

penyalahgunaan alkohol dan zat lain, gejala gangguan


kecemasan, dan riwayat lebih dari satu episode sebelumnya.
(Kaplan, 2010).

2. Psikosis Akut
a. Definisi

19

Psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan


ketidak mampuan individu menilai kenyataan yang terjadi,
misalnya terdapat halusinasi, waham atau perilaku kacau/aneh
(Maslim, 2013).
Gangguan psikotik singkat/akut didefinisikan sebagai
suatu gangguan kejiwaan yang terjadi selama 1 hari sampai
kurang dari 1 bulan, dengan gejala psikosis, dan dapat kembali
ke tingkat fungsional premorbid (Kaplan, 2010).
b. Etiologi
Penyebabnya belum diketahui secara pasti, tapi
sebagian besar di jumpai pada pasien dengan gangguan
kepribadian yang mungkin memiliki kerentanan biologis atau
psikologis terhadap perkembangan gejala psikotik. Satu atau
lebih faktor stres berat, seperti peristiwa traumatis, konflik
keluarga, masalah pekerjaan, kecelakaan, sakit parah, kematian
orang yang dicintai, dan status imigrasi tidak pasti, dapat
memicu psikosis reaktif singkat. Beberapa studi mendukung
kerentanan genetik untuk gangguan psikotik singkat (Kaplan,
2010).
c. Epidemiologi
Menurut sebuah studi epidemiologi internasional,
berbeda dengan skizofrenia, kejadian nonaffective timbul
psikosis akut 10 kali lipat lebih tinggi di negara berkembang
daripada di negara-negara industri. Beberapa dokter percaya
bahwa gangguan yang mungkin paling sering terjadi pada
pasien dengan sosioekonomi yang rendah, pasien dengan
gangguan kepribadian yang sudah ada sebelumnya (paling
sering adalah gangguan

kepribadian histrionik, narsistik,

paranoid, skizotipal, dan ambang), dan orang yang pernah

20

mengalami perubahan kultural yang besar (misalnya imigran)


(Kaplan, 2010).
d. Manifestasi Klinis
Perilaku yang diperlihatkan oleh pasien yaitu (Kaplan, 2010) :
i. Mendengar suara-suara yang tidak ada sumbernya.
ii. Keyakinan atau ketakutan yang aneh/tidak masuk akal.
iii. Kebingungan atau disorientasi.
iv. Perubahan perilaku; menjadi aneh atau menakutkan
seperti menyendiri, kecurigaan berlebihan, mengancam
diri sendiri, orang lain atau lingkungan, bicara dan tertawa
serta marah-marah atau memukul tanpa alasan.
Gejala gangguan psikotik singkat selalu termasuk
sekurang kurangnya satu gejala psikosis utama, biasanya
dengan onset yang tiba-tiba, tetapi tidak selalu memasukkan
keseluruhan pola gejala yang ditemukan pada skizofrenia.
Beberapa klinisi telah mengamati bahwa gejala afektif, konfusi
dan gangguan pemusatan perhatian mungkin lebih sering
ditemukan pada gangguan psikotik singkat daripada gangguan
psikotik kronis. Gejala karakteristik untuk gangguan psikotik
singkat adalah perubahan emosional, pakaian atau perilaku
yang aneh, berteriak-teriak atau diam membisu dan gangguan
daya ingat untuk peristiwa yang belum lama terjadi. Beberapa
gejala tersebut ditemukan pada gangguan yang mengarahkan
diagnosis delirium dan jelas memerlukan pemeriksaan organik
yang lengkap, walaupun hasilnya mungkin negatif (Maslim,
2013).
e. Penegakan Diagnosis

21

Untuk menegakkan diagnosis gejala pasti gangguan


psikotik akut adalah sebagai berikut (Maslim, 2013) :
a) Menggunakan urutan diagnosis yang mencerminkan
urutan prioritas yang diberikan untuk ciri-ciri utama
terpilih dari gangguan ini. Urutan prioritas yang dipakai
ialah :
i. onset yang akut ( 2 minggu gejala psikotik menjadi
nyata dan sekurang-kurangnya mengganggu satu
aktivitas sehari-hari, tidak termasuk periode prodromal
yang gejalanya sering tidak jelas) sebagai ciri khas
yang menentukan seluruh kelompok.
ii. adanya sindrom yang khas (berupa polimorfik =
beraneka-ragam

dan

berubah

cepat,

atau

schizophrenia-like = gejala skizofrenia yang khas)


iii. adanya stress akut yang berkaitan, kesulitan atau
masalah yang berkepanjangan tidak boleh dimasukkan
sebagai sumber stress dalam konteks ini.
iv. tanpa diketahui berapa lama gangguan

akan

berlangsung.
b) Tidak ada gangguan dalam kelompok ini yang memenuhi
kriteria episode manik (F30.-) atau episode depresif
(F32.-), walaupun perubahan emosional dan gejala-gejala
afektif individual dapat menonjol dari waktu ke waktu.
c) Tidak ada penyebab organik, seperti trauma kapitis,
delirium, atau demensia. Tidak merupakan intoksikasi
akibat penggunaan alkohol atau obat-obatan.
f. Penatalaksanaan
a) Obat antipsikotik untuk mengurangi gejala psikotik :
i. Haloperidol 2-5 mg, 1 sampai 3 kali sehari, atau
Chlorpromazine 100-200 mg, 1 sampai 3 kali sehari.
Dosis harus diberikan serendah mungkin untuk

22

mengurangi efek samping, walaupun beberapa pasien


mungkin memerlukan dosis yang lebih tinggi (Magina,
2012).
ii. Obat antiansietas juga bisa digunakan bersama dengan
neuroleptika

untuk

mengendalikan

agitasi

akut

(misalnya: lorazepam 1-2 mg, 1 sampai 3 kali sehari).


iii. Obat antipsikotik selama sekurang-kurangnya 3 bulan
sesudah gejala hilang.
b) Apabila menemukan pasien gangguan jiwa di rumah
dengan perilaku di bawah ini, lakukan kolaborasi dengan
tim untuk mengatasinya.
i.

Kekakuan otot (Distonia atau spasme akut), bisa


ditanggulangi dengan suntikan benzodiazepine atau
obat antiparkinson.

ii.

Kegelisahan

motorik

berat

(Akatisia),

bisa

ditanggulangi dengan pengurangan dosis terapi atau


pemberian beta-bloker.
iii.

Gejala parkinson (tremor/gemetar, akinesia), bisa


ditanggulangi dengan obat antiparkinson oral
(misalnya, trihexyphenidil 2 mg 3 kali sehari).

g. Prognosis
Menurut definisinya, perjalanan penyakit gangguan
psikotik singkat adalah kurang dari satu bulan. Namun
demikian,

perkembangan

gangguan

psikiatrik

bermakna

tertentu dapat menyatakan suatu kerentanan mental pada


pasien. Sejumlah pasien dengan persentasi yang tidak
diketahui, yang pertama kali di klasifikasikan menderita
gangguan psikotik singkat selanjutnya menunjukkan sindroma
psikiatrik kronis, seperti skizofrenia dan gangguan mood.

23

Tetapi, pada umumnya pasien dengan gangguan psikotik


singkat memiliki prognosis yang baik, dan penelitian di Eropa
telah menyatakan bahwa 50 sampai 80 persen dari semua
pasien tidak memilki masalah psikiatrik berat lebih lanjut
(Kumar, 2011).
3. Scizoafektif Tipe Depresi
Definisi skizofrenia
Sekelompok gangguan psikotik, dengan gangguan dasar
pada kepribadian, distorsi khas pada proses pikir.
Dalam DSM IV Sekelompok ciri dari gejala positif dan
negatif, ketidakmampuan dalam fungsi sosial, pekerjaan ataupun
hub. pribadi dan gejala terus berlanjut selama paling tidak 6 bulan.
Kriteria diagnosis menurut DSM IV:
Dua atau lebih dari gejala dibawah ini, ditemukan selama periode 1
bulan :
i. Waham
ii. Halusinasi
iii. Bicara terdisorganisasi (inkoherensi)
iv. Perilaku terdisorganisasi (katatonik)
v. Gejala negatif: afek datar, alogia, tidak ada kemauan
Definisi gangguan afektif
Sekelompok penyakit yang bervariasi berat gejala utamanya
adalah perubahan mood yang secara periodik berganti-ganti.
i Afek dan emosi menentukan tingkat fungsi manusia
ii Afek dan emosi begitu keras fungsi individu terganggu.
Maka disebut sebagai gangguan afektif
Gejala Klinis:
1) Depresi :
i. Sedih yang berlebihan, murung, menangis
ii. Konsentrasi dan perhatian berkurang
iii. Kepercayaan diri menurun
iv. Perasaan bersalah atau tidak berguna
v. Lesu, pesimis
vi. Gangguan makan dan tidur

24

vii. Ingin mati


2) Manik:
i. Banyak bicara, hiperaktif
ii. Labil, berpindah-pindah
iii. Gangguan persepsi
iv. Gangguan proses pikir
v. Gangguan fungsi intelektual
vi. Daya nilai dan tilikan kurang
vii. Sering berbohong dan menipu
Skizoafektif
a. Definisi
Gabungan gejala antara Skizofrenia dan gangguan afektif
b. Epidemiologi
National Comorbidity Study 66 orang Skizofrenia didapati
81% gangguan afektif (59% depresi, 22% gangguan bipolar).
Skizoafektif tipe depresi tersering dewasa tua pada jenis
kelamin perempuan.
c. Diagnosis
Diagnosis dibuat apabila gejala-gejala definitif adanya
skizofrenia dan gangguan afektif bersama-sama menonjol pada
saat yang bersamaan, dalam episode yang sama. Skizoafektif
tipe depresif:
a) Gejala skizofrenia + depresif (menonjol & episode sama)
b) Gejala depresif : perilaku yang retardasi, putus asa ,
insomnia, perubahan nafsu makan, dll
c) Gejala skizofrenia : waham, halusinasi 2 minggu
d) Episode berlangsung lebih lama daripada tipe manik
sebagian bisa sembuh sempurna, sebagian lagi bisa
menjadi defek skizofrenia
e) Tidak berhubungan dengan penyalahgunaan zat
d. Penanganan
1) Perawatan rumah sakit
2) Medikasi
Pengobatan dengan antidepresan, ex: SSRI (fluoxetin), jika
ada

gangguan

insomnia

efektif

dengan

trisiklik

(amitriptilin).

25

3) Terapi psikososial
i. Kombinasi dengan terapi keluarga
ii. Latihan keterampilan sosial
iii. Rehab kognitif
e. Prognosis
Prognosis bisa diperkirakan dengan melihat seberapa jauh
menonjolnya gejala skizofrenianya, atau gejala gangguan
afektifnya.

Semakin

menonjol

dan

persisten

gejala

skizofrenianya maka prognosis buruk. Semakin persisten


gejala-gejala gangguan afektifnya, prognosis semakin baik.
(Kaplan, 2010)

4. Skizofrenia
a. Definsi
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang bersifat
kronis dan selalu mengalami kekambuhan. Ditandai dengan
adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku
seseorang (Fadli, 2013).
b. Epidemiologi
Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara
kasar hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai
hampir 1% populasi dewasa dan biasanya onsetnya pada usia
remaja akhir atau awal masa dewasa. Laki-laki biasanya
gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25 tahun
sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35
tahun. Insiden skizofrenia lebih tinggi pada laki-laki daripada
perempuan.
Rata-rata frekuensi kekambuhan penderita skizofrenia
adalah 1,49 kali dengan standar deviasi 1,182 kali, frekuensi
kekambuhan penderita skizofrenia tertinggi dalam dua tahun
adalah empat kali. Faktor yang berhubungan signifikan dengan

26

kekambuhan

penderita

skizofrenia

adalah

keluarga dan ekspresi emosi keluarga.


c. Etiologi
a) Faktor Genetik
Faktor keturunan juga menentukan

pengetahuan

timbulnya

skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian


tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia terutama
anak-anak kembar satu telur (monozigot) 61 86%.
Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah
fenomena yang disebut quantitative trait loci. Skizofrenia
yang paling sering dilihat mungkin disebabkan oleh
beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang
berbeda di seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan
mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada orang-orang
yang mengalami gangguan ini (dari ringan sampai berat)
dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia semakin
tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga
yang memiliki penyakit ini.
b) Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidak seimbangan
kimiawi otak yang disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi
otak yang memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi
satu dengan yang lain. Skizofrenia berasal dari aktivitas
neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagianbagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang
abnormal terhadap dopamine. Aktivitas dopamine yang
berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa
neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine
tampaknya juga memainkan peranan.
c) Faktor Psikologis dan Sosial

27

Faktor ini meliputi adanya kerawanan herediter yang


semakin lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat
kejiwaan,

adanya

hubungan

orang

tua-anak

yang

patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga.


keluarga pada masa kanak-kanak memegang peranan
penting dalam pembentukan kepribadian. Orang tua
terkadang bertindak terlalu banyak untuk anak dan tidak
memberi kesempatan anak untuk berkembang, ada kalanya
orangtua bertindak terlalu sedikit dan tidak merangsang
anak, atau tidak memberi bimbingan dan anjuran yang
dibutuhkannya (Elvira, 2014).
d. Patofisiologi
Patofisiologi
skizofrenia

melibatkan

sistem

dopaminergik dan serotonergik. Skizofrenia terjadi akibat dari


peningkatan

aktivitas

neurotransmitter

dopaminergik.

Peningkatan ini mungkin merupakan akibat dari meningkatnya


pelepasan dopamine, terlalu banyaknya reseptor dopamine,
turunnya nilai ambang, atau hipersentivitas reseptor dopamine,
atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Hipotesis/teori
tentang patofisiologi skizofrenia :
i. Pasien
skizofrenia
terjadi

hiperaktivitas

sistem

dopaminergik
ii. Hiperdopaminegia pada sistem meso limbic hal ini
berkaitan dengan gejala positif
iii. Hipodopaminergia sistem meso kortis dan nigrostriatal
bertanggungjawab terhadap gejala negatif dan gejala
ekstrapiramidal.
Alur dopaminergik saraf :
i. Jalur nigrostriatal : dari substansia nigra ke basal ganglia
(fungsi gerakan, EPS)

28

ii. Jalur mesolimbik : dari tegmental area menuju ke sistem


limbik (memori, sikap, kesadaran, proses stimulus).
iii. Jalur mesokortikal : dari tegmental area menuju ke frontal
cortex (kognisi,

fungsi

sosial,

komunikasi,

respons

terhadap stress).
iv. Jalur tuberoinfendibular : dari hipotalamus ke kelenjar
pituitary (pelepasan prolactin).
v. Terdiri dari 3 fase :
- Premorbid : semua fungsi masih normal
- Prodomal : simptom psikotik mulai nyata (isolasi
sosial, ansietas, gangguan tidur, curiga). Fase ini,
individu mengalami kemunduran dalam fungsi - fungsi
mendasar ( pekerjaan dan rekreasi) dan muncul
symptom nonspesifik seperti gangguan tidur, ansietas,
konsentrasi berkurang, dan defisit perilaku. Simptom
positif seperti curiga mulai berkembang di akhir fase
prodromal dan berarti sudah mendekati menjadi fase
-

psikosis.
Psikosis :
Fase Akut

: dijumapi gambaran psikotik yang jelas,

misalnya waham,

halusinasi, gangguan

proses

pikir, pikiran kacau. Simptom negatif menjadi lebih


parah sampai tak bisa mengurus diri. Berlangsung 4 8
minggu.
Stabilisasi
Stabil

: 6 18 bulan
: terlihat residual, berlangsung 2- 6

bulan (Maramis, 2009)


e. Manifestasi klinis
a) Gejala positif atau gejala nyata:
i. Halusinasi
: persepsi sensori yang salah atau
pengalaman persepsi yang tidak

terjadi di dalam

realitas.

29

ii. Waham

: keyakinan yang salah dan

dipertahankan yang tidak memiliki dasar di dalam


realitas.
iii. Ekopraksia

: peniruan gerakan dan gestur

orang lain yang diamati klien.


iv. Flight of ideas : aliran verbalisasi yang terus menerus
saat individu melompat dari satu topik ke topik
laindengan cepat.
v. Perseverasi : terus-menerus

membicarakan

satu

topik atau suatu gagasan, pengulangan kalimat,kata


atau frasa secara verbal dan menolak untuk mengubah
topik tersebut.
vi. Asosiasi longgar

: pikiran atau gagsan yang

terpecah-pecah atau buruk.


vii. Gagasan rujukan
: kesan

yang

salah

bahwa

peristiwa eksternal memiliki makna yang khusus dalam


individu.
viii.
Ambivalensi : mempertahanan keyakinan dan
perasaan

yang

tampak

kontradiktif

tentang

individu,peristiwa atau situasi yang sama.


b) Gejala negatif atau gejala samar :
i. Apati
: perasaan tidak peduli terhaap individu,
aktivitas atau peristiwa.
ii. Alogia
: kecendrungan berbicara sangat sedikit
atau menyampaikan sedikit subtansi makna (miskin
isi).
iii. Afek datar

: tidak adanya ekspresi wajah yang akan

menunjukkan emosi atau mood.


iv. Anhedonia
: merasa tidak senang atau tidak gembira
dalam menjalani hidup, aktifitas atau hubungan.
v. Katattonia
: imobilitas karna faktor psikologis,
kadang kala ditandai oleh periode agitasi gembira, klien

30

tampak tidak bergerak, seolah-olah dalam keadaan


setengah sadar.
vi. Tidak kemauan : tidak adanya keinginan. Ambisi atau
dorongan untuk bertindak atau melakukan tugas-tugas
(Maramis, 2009).
f. Pedoman Diagnostik
Menurut PPDGJ-III
1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas
(dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu
kurang jelas atau kurang tajam) :
a) Isi Pikiran
1) thought eco = isi pikiran dirinya sendiri yang
berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak
keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya
sama, namun kualitasnya berbeda.
2) thought insertion or withdrawl = isi pikiran yang
asing dari luar masukke dalam pikirannya (insertion)
atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari
luar dirinya (withdrawl)
3) thought broadcasting = isi pikirannya tersiar
keluar

sehingga

orang

lain

atau

umum

mengetahuinya.
b) Waham
1) delusion of control = waham tentang dirinya
dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar
2) delusion of passivity = waham tentang dirinya
tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan
dari luar
3) delusion of influence = waham tentang dirinya
dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar
4) delusion perception = pengalaman inderawi yang
tak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya,
biasanya bersifat mistik atau mukjizat.

31

c) halusinasi auditorik
1) Suara halusinasi yang berkomentar secara terus
menerus terhadap perilaku pasien
2) Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka
sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara)
3) Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah
satu bagian tubuh.
d) waham-waham menetap jenis lainnya yang menurut
budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang
mustahil, mislanya perihal keyakinan agama atau politik
tertentu atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia
biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca atau
berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain)
2. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu
ada secara jelas:
a. Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja,
apabila disertai baik oleh waham yang mengembang
maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide
berlebihan yang menetap atau apabila terjadi setiap hari
selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus
menerus.
b. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah, posisi
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea,
negativisme, mutisme, dan stupor
c. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami
sisipan (interpolation) yang berakibat inkoherensi atau
pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme.
d. Gejala gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara
yang jarang, dan response emosional yang menumpul
atau

tidak

wajar,

biasanya

yang

mengakibatkan

penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya

32

kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal


tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi
neuroleptika.
3. Adanya gejala gejala khas tersebut di atas telah berlangsung
selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku
untuk setiap fase nonpsikotik prodromal)
4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna
dalam mutu keseluruhan dari beberapa aspek perilaku
pribadi (personal behaviour),

bermanifestasi sebagai

hilangnya minat, hidup tak bertujuan, sikap larut dalam diri


sendiri, tidak berbuat sesuatu, dan penarikan diri secara
sosial. (Maslim, 2002)
g. Klasifikasi
1. Skizofrenia Paranoid (F 20.0)
Pedoman Diagnostik
a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
b. Sebagai tambahan:
1) Halusinasi dan/atau waham harus menonjol
a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien
atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik
tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling),
mendengung

(humming),

atau

bunyi

tawa

(laughing)
b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau
bersifat seksual, atau lain-lain perasaan tubuh.
Halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang
menonjol
c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi
waham

dikendalikan

(delusion

of

control),

dipengaruhi (delusion of influence), atau passivity

33

(delussion of passivity), dan keyakinan dikejarkejar beraneka ragam, adalah yang paling khas
2) Gangguan afektif, dorongan kehendak dan
pembicaraan, serta gejala katatonik secara relatif
nyata/ tidak menonjol.
2. Skizofrenia Hebefrenik (F 20.1)
Pedoman Diagnostik
a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
b. Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya
ditegakkan pada usia remaja atau dewasa muda (onset
biasanya mulai 15-25 tahun).
c. Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu
dan senang menyendiri (solitary), namun tidak harus
demikian untuk menentukan diagnosis.
d. Untuk

diagnosis

hebefrenia

yang

menyakinkan

umumnya diperlukan pengamatan kontinu selama 2


atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa
gambaran yang khas berikut ini memang benar
bertahan :
1) Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak
dapat

diramalkan,

serta

mannerisme;

ada

kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary),


dan perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa
perasaan
2) Afek pasien dangkal dan tidak wajar, sering disertai
oleh cekikikan atau perasaan puas diri, senyum
sendiri, atau oleh sikap, tinggi hati, tertawa
menyeringai,
bersenda

mannerisme,

gurau,

keluhan

mengibuli
hipokondrial,

secara
dan

ungkapan kata yang diulang-ulang

34

3) Proses

pikir

mengalami

disorganisasi

dan

pembicaraan tak menentu serta inkoheren.


e. Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta
gangguan proses pikir umumnya menonjol. Halusinasi
dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak
menonjol. Dorongan kehendak dan yang bertujuan
(determination) hilang serta sasaran ditinggalkan,
sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas,
yaitu perilaku tanpa tujuan dan tanpa maksud. Adanya
suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat
terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya,
makin mempersukar orang memahami jalan pikiran
pasien.
3. Skizofrenia Katatonik (F 20.2)
Pedoman Diagnostik
a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
b. Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus
mendomaninasi gambaran klinisnya:
1) Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas
terhadap lingkungan dan dalam gerakan serta
aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara)
2) Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang
bertujuan, yang tidak dipengaruhi oleh stimuli
eksternal)
3) Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela
mengambil dan mempertahankan posisi tubuh
tertentu yang tidak wajar atau aneh)
4) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak
bermotif terhadap semua perintah atau upaya untuk
menggerakkan,

atau

pergerakkan

ke

arah

berlawanan)

35

5) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku


untuk melawan upaya menggerakkan diri)
6) Flexibilitas cerea (mempertahankan anggora gerak
dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari
luar)
7) Gejala-gejala lain seperti komen, automatism
(kepatuhan secara otomatis terhadap perintah), dan
pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat
c. Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi
perilaku dari gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia
mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti yang
memadai tentang adanya gejala-gejala lain. Penting
untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan
petunjuk diagnostik untuk skizofrenia. Gejala katatonik
dapat

dicetuskan

oleh

penyakit

otak,

gangguan

metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat


juga terjadi pada gangguan afektif
4. Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated) (F 20.3)
Pedoman Diagnostik
a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
b. Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia
paranoid, hebefrenik, atau katatonik
c. Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau
depresi pasca skizofrenia
5. Depresi Pasca-skizofrenia (F 20.4)
Pedoman Diagnostik
a. Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau:
1) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi
kriteria umum skizofrenia) selama 12 bulan terakhir
ini.
2) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi
tidak lagi mendominasi gambaran klinisnya), dan

36

3) Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu,


memenuhi paling sedikit kriteria untuk episode
depresif dan telah ada dalam kurun waktu paling
sedikit 2 minggu
b. Apabila pasien tidak

lagi

menunjukkan

gejala

skizofrenia, diagnosis menjadi Episode Depresif. Bila


gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol, diagnosis
harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang
sesuai (F 20.0 F 20.3)
6. Skizofrenia Residual ( F 20.5)
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan
berikut ini harus dipenuhi semua:
a. Gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol misalnya
perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang
menumpul,

sikap

pasif

dan

ketiadaan

inisiatif,

kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan,


komunikasi nonverbal yang buruk seperti dalam ekspresi
muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh,
perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk
b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas
dimana masa lampau yang memenuhi kriteria untuk
diagnostik skizofrenia
c. Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun
dimana intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti
waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal)
dan telah timbul sindrom negatif dari skizofrenia
d. Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak
organik lain, depresi kronis atau institusionalisasi yang
dapat menjelaskan disabilitas negatif tersebut.
7. Skizofrenia Simpleks (F. 20.6)
a. Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara
meyakinkan

karena

tergantung

pada

pemantapan

37

perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif


dari:
i. Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual
tanpa didahului riwayat halusinasi, waham, atau
manifestasi lain dari episode psikotik.
ii. Disertai dengan perubahan perilaku pribadi yang
bermakna bermanifestasi sebagai kehilangan minat
yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan
hidup, dan penarikan diri secara sosial
b. Gangguan ini kurang jelas gejala

psikotiknya

dibandingkan subtipe skizofrenia lainnya


8. Skizofrenia lainnya (F20.8) dan Skizofrenia YTT (F20.9)
(Maslim, 2002)
h. Penatalaksanaan
Terapi Medikamentosa
Obat pertama yang efektif untuk terapi skizofrenia
dikembangkan selama tahun 1950an. Obat ini disebut sebagai
antipsikotik konvensional atau generasi pertama.
Ada berbagai obat antipsikotik konvensional, seperti
haloperidol

chlorpromazine,

pimozine,

sulpiride,

fluphenazine,

perphenazine,

droperidol,
flupenthixol,

zuclopenthixol, dan trifluoperazine (APA, 2004). Kelebihan


utama obat ini adalah mengobati gejala positif skizofrenia
(APA, 2004; Keith et al, 2004). Namun, obat ini kurang efektif
terhadap gejala negatif skizofrenia. Obat ini tersedia dalam
bentuk tablet, cairan, suntikan jangka pendek dan jangka
panjang.
Sejumlah obat baru untuk skizofrenia dengan efikasi yang
lebih luas untuk berbagai gejala skizofrenia dan dapat
memperbaiki kemampuan berfungsi pasien telah tersedia sejak
20 tahun terakhir atau lebih. Obat antipsikotik baru ini dikenal
sebagai antipsikotik atipikal atau antipsikotik generasi kedua.

38

Obat baru ini meliputi aripiprazole, clozapine, olanzapine,


paliperidone, quetiapin, dan risperidone (Lieberman et al,
2008). Obat ini tampaknya memiliki lingkup efek yang lebih
luas untuk gejala skizofrenia (Tandon et al, 2003). Obat ini
efektif untuk mengobati gejala positif seperti halusinasi dan
delusi serta dapat juga membantu dalam mengobati gejala
negatif. Obat ini juga tersedia dalam bentuk tablet, cairan dan
suntikan jangka pendek dan jangka panjang (APA, 2004).
Cara pemberian obat antipsikotik adalah pemberian
dimulai dengan dosis awal sesuai dosis anjuran, kemudian
dinaikkan setiap 2-3 hari sampai mencapai dosis efektif
(mulai timbul peredaan sindrom psikosis), dosis dievaluasi
setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan, dosis optimal
dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi), kemudian
dosis diturunkan setiap 2 minggu sampai ke dosis
maintenance, dosis dipertahankan selama 6 buulan sampai 2
tahun (diselingi drug holiday 1-2 hari/minggu), selanjutnya
dilakukan tappering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu)
sampai dapat dihentikan (Maharatih, dkk., 2010).
Karena penderita Skizofrenia memakan obat dalam jangka
waktu yang

lama, sangat penting untuk menghindari

dan

mengatur efek samping yang timbul. Mungkin masalah


terbesar dan tersering bagi penderita yang menggunakan
antipsikotik konvensional gangguan (kekakuan) pergerakan
otot-otot yang disebut juga Efek samping Ekstra Piramidal
(EEP). Dalam hal ini pergerakan menjadi lebih lambat dan
kaku,

sehingga agar

tidak kaku penderita harus bergerak

(berjalan) setiap waktu, dan akhirnya mereka tidak dapat


beristirahat.

39

Efek samping lain yang dapat timbul adalah tremor pada


tangan dan kaki. Kadang-kadang dokter dapat memberikan
obat antikolinergik (biasanya benztropine) bersamaan dengan
obat antipsikotik untuk mencegah atau mengobati efek
samping ini.
Efek samping lain yang dapat timbul adalah tardive
dyskinesia dimana terjadi pergerakan mulut yang tidak
dapat dikontrol, protruding tongue, dan facial grimace.
Kemungkinan terjadinya efek samping ini dapat dikurangi
dengan menggunakan

dosis

efektif

penderita

terendah

antipsikotik.

Apabila

yang

antipsikotik

konvensional mengalami tardive

dari obat

menggunakan
dyskinesia,

dokter biasanya akan mengganti antipsikotik konvensional


dengan antipsikotik atipikal.
Peningkatan berat badan

juga sering

terjadi pada

penderita Sikzofrenia yang memakan obat. Hal ini sering


terjadi pada penderita yang menggunakan antipsikotik atipikal.
Diet dan olah raga dapat membantu mengatasi masalah ini
(Sadock, dkk.,2003; Maramis, 2009)
Terapi Psikososial
a) Terapi perilaku
Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi
dan

latihan

ketrampilan

sosial

untuk meningkatkan

kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri,


latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku
adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah
yang dapat ditebus untuk hal-hal yang diharapkan, seperti
hak istimewa dan pas jalan di rumah sakit. Dengan
demikian,
menyimpang

frekuensi

perilaku

maladaptif

atau

seperti

berbicara

lantang, berbicara

40

sendirian di masyarakat, dan postur tubuh aneh dapat


diturunkan (Sadock dkk, 2003).
b) Terapi berorientasi keluarga
Terapi ini sangat berguna

karena

pasien

skizofrenia seringkali dipulangkan dalam keadaan remisi


parsial, keluarga dimana pasien skizofrenia kembali
seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang
singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode
pemulangan segera, topik penting yang dibahas didalam
terapi keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama
dan kecepatannya. Seringkali, anggota keluarga, di
dalam cara yang jelas mendorong sanak saudaranya
yang

terkena

skizofrenia

untuk melakukan

aktivitas

teratur terlalu cepat. Rencana yang terlalu optimistik


tersebut

berasal

skizofrenia dan

dari

ketidaktahuan

tentang

dari penyangkalan tentang keparahan

penyakitnya. Ahli

terapi harus membantu keluarga dan

pasien mengerti skizofrenia

tanpa menjadi

mengecilkan hati (Sadock,dkk., 2003).


c) Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia
memusatkan

sifat

pada

rencana,

masalah,

terlalu

biasanya

dan hubungan

dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin terorientasi


secara perilaku, terorientasi secara psikodinamika atau
tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif dalam
menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan,
dan meningkatkan tes realitas bagi pasien skizofrenia.
Kelompok yang memimpin dengan cara suportif, bukannya
dalam cara interpretatif, tampaknya paling membantu bagi
pasien skizofrenia (Sadock dkk, 2003).

41

d) Psikoterapi individual
Hubungan antara dokter dan pasien adalah berbeda
dari yang ditemukan di dalam pengobatan pasien

non-

psikotik.

sulit

Menegakkan

hubungan

seringkali

dilakukan;

pasien

menolak

terhadap keakraban dan kepercayaan dan

kemungkinan

skizofrenia seringkali kesepian dan

sikap curiga,

cemas, bermusuhan,

atau

teregresi jika seseorang mendekati. Pengamatan yang


cermat dari

jauh

dan

rahasia,

perintah

sederhana,

kesabaran, ketulusan hati, dan kepekaan terhadap kaidah


sosial adalah lebih disukai daripada informalitas yang
prematur

dan

penggunaan

nama pertama yang

merendahkan diri. Kehangatan atau profesi persahabatan


yang berlebihan adalah tidak tepat dan kemungkinan
dirasakan sebagai usaha untuk suapan, manipulasi, atau
eksploitasi (Sadock dkk, 2003)
e) Perawatan di Rumah Sakit
Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah
untuk

tujuan

diagnostik,

menstabilkan medikasi,

keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau


membunuh,

prilaku

yang

sangat kacau termasuk

ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar.


Tujuan utama perawatan dirumah sakit yang
harus ditegakkan adalah ikatan efektif antara pasien dan
sistem

pendukung masyarakat. Rehabilitasi

dan

penyesuaian yang dilakukan pada perawatan rumahsakit


harus direncanakan. Dokter harus juga mengajarkan pasien
dan pengasuh serta keluarga pasien tentang skizofrenia.
Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada
pasien dan membantu mereka menyusun aktivitas harian

42

mereka. Lamanya perawatan rumah sakit tergantung


dari keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas
pengobatan rawat jalan. Rencana pengobatan di rumah
sakit harus memiliki orientasi praktis ke arah masalah
kehidupan, perawatan diri, kualitas hidup, pekerjaan,
dan hubungan sosial. Perawatan di rumah sakit harus
diarahkan untuk

mengikat pasien

dengan

fasilitas

perawatan termasuk keluarga pasien. Pusat perawatan


dan kunjungan keluarga pasien kadang membantu pasien
dalam memperbaiki kualitas hidup. (Sadock,dkk., 2003)
i. Prognosis
Walaupun remisi penuh atau sembuh pada skizofrenia itu
ada, kebanyakan masih memiliki gejala sisa dengan tingkat
keparahan yang bervariasi. Sampai saat ini belum ada
metode yang dapat memprediksi siapa yang menjadi
sembuh siapa yang tidak, tetapi ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhinya seperti usia tua, faktor pencetus yang jelas,
onset akut, riwayat sosial yang baik, menikah, riwayat
sosial/pekerjaan pramorbid baik, gejala depresi, menikah,
riwayat keluarga gangguan mood sistem pendukung baik, dan
gejala positif ini akan memberikan prognosis yang baik.
Sedangkan onset muda, tidak ada faktor pencetus, onset
tidak

jelas,

riwayat

sosial

buruk,

autistik,

tidak

menikah/janda/duda, riwayat keluarga skizofrenia, system


pendukung buruk, gejala negatif, riwayat trauma prenatal,
sering relaps dan riwayat agresif akan memberikan prognosis
yang buruk (Maramis, 2006).
5. Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Berat
Dengan Gejala Psikotik

43

a. Definisi
i. Gangguan pada fungsi otak yang menyebabkan perubahan
yang tidak biasa pada suasana 2 perasaan, dan proses
berfikir yang didominasi adanya fluktuasi periodik dua
kutub, yakni kondisi manik dan depresi
ii. Episode berulang (sekurangnya 2) berupa peninggian mood
di satu waktu dan penurunan mood di waktu yang lain. Dan
ada penyembuhan sempurna antar episode (David, A.
Tomb. 2003).
b. Epidemiologi
i. Gangguan jiwa berat yang prevalensinya cukup tinggi.
ii. Studi di berbagai negara menunjukkan bahwa risiko untuk
terjadinya gangguan bipolar sepanjang kehidupan adalah
sekitar 1-2%
iii. Puncaknya sering terjadi pada usia 20-25 tahun
iv. Prevalensi (wanita: pria = 1:1) (Israr, Yayan A. 2009).
c. Etiologi
a) Genetik
b) Neurotransmiter (dopamine, serotonin, dan noradrenalin)
c) Gen yang berhubungan dengan neurotansmiter :
- monoamine oksidase A (MAOA), tirosin hidroksilase,
catechol-Ometiltransferase (COMT), dan serotonin
transporter (5HTT)
d) Kelainan organic Di tes dengan :magnetic resonance
imaging (MRI) dan positron-emission tomography (PET)
e) Oligodendrosit-myelin << komunikasi antar sel
terganggu (Israr, Yayan A. 2009).
d. Faktor Risiko (Predisposisi)
1. Faktor biologis
a) Genetik
b) Perubahan neurotransmiter/ neuroendokrin
c) Perubahan struktural otak
d) Vascular risk factors
e) Penyakit/kelemahan fisik (Kondisi Medik Kronik &
Kondisi Terminal)
2. Faktor Pikologik

44

a) Tipe kepribadian (dependen, perfeksionis, introvert)


b) Relasi interpersonal (disharmoni keluarga)
e. Faktor Pencetus
1. Peristiwa kehidupan
a) Berduka, perpisahan, kehilangan orang dicintai
b) Kesulitan ekonomi
c) Perubahan situasi pindah rumah
2. Stres Kronis
Disfungsi kehidupan berkeluarga
3. Penggunaan obat obatan tertentu
a) Antihipertensi, Pemblok H2, Kontrasepsi Oral
b) Kortikosteroid, AntiReumatik,
f. Faktor Pelindung
1. Dukungan sosial
a) kekerabatan
b) kehidupan religius
2. Mekanisme pemecahan masalah yang sehat
a) Mudah beradaptasi dengan lingkungan
b) Kepribadian yang matur
3. Pola hidup sehat
a) Gizi seimbang
b) Olah raga, hidup teratur (Israr, Yayan A. 2009).
g. Klasifikasi Bipolar (Muslim, Rusdi. 2013)
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual (DSM)
IV, gangguan bipolar dibedalan menjadi 2 yaitu gangguan
bipolar I atau tipe klasik ditandai dengana danya 2 eoisode
yaitu manik dan depresi, sedangkan gangguan bipolar II
ditandai dengan hipomanik dan depresi. PPDGJ membaginya
dalam klasifikasi berbeda yaitu menurut episode kini yang
dialami penderita. Berikut pembagian gangguan afektif bipoar
berdasarkan PPDGJ III (F31):
a. F31.0 Gangguan afektif bipolar, episode kini hipomanik
b. F31.1 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik tanpa
gejala psikotik
c. F31.2 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan
gejala psikotik

45

d. F31.3 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif


ringan atau sedang
e. F31.4 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat
tanpa gejala psikotik
f. F31.5 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat
g.
h.
i.
j.

dengan gejala psikotik


F31.6 Gangguan afektif bipolar, episode kini campuran
F31.7 Gangguan afektif bipolar, kini dalam remisi
F31.8 Gangguan afektif bipolar lainnya
F31.9 Gangguan afektif bipolar yang tidak tergolongkan

h. Penegakkan Diagnosis
Pada skenario didapatkan hasil sebagai berikut:
a) Anamnesis
i. Keluhan utama : tidak mau makan
ii. Onset : I minggu yang lalu
iii. Gejala penyerta :
- 1 bulan lalu terjadi perubahan perilaku,
- Mengurung diri di kamar
- Sulit tidur
- Merasa pesimis dan putus asa
- Waham berdosa/bersalah
- Halusinasi auditori
iv. Riwayat penyakit sekarang : Depresi Berat
v. Riwayat penyakit dahulu :
- Pernah dirawat oleh psikiater 1 tahun lalu
- Irritable
- Waktu tidur sedikit
- Logorrhea
- Hiperaktif
- Euphoria
- Boros
- Dependent
vi. Riwayat penyakit keluarga : Tante scizofrenia
Adik percobaan bunuh diri
b) Pemeriksaan psikiatri
i. Kesan umum : perawatan diri kurang
ii. Kesadaran : komposmentis
iii. Sikap : menunduk/membungkuk/diam
iv. Tingkah laku : hipoaktif
v. Bentuk pikir : non-realistik

46

vi. Isi pikir : waham bersalah


vii. Progresi pikir : reming / blocking
viii.
Persepsi pikir : halusinasi auditori
ix. Mood : disforik
x. Afek : appropriate, datar, stabil
xi. Perhatian :
xii. Hub. Jiwa : sukar
xiii.
Insight : Tilikan I
c) Kriteria diagnosis (Muslim, Rusdi. 2013)
Menurut PPDGJ III :
- Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk
episode depresif berat dengan gejala psikotik (F32.3);
-

dan
Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif

hipomanik, manik, atau campuran di masa lampau.


Menurut DSM-IV-TR :
A. Saat ini berada dalam episode depresi berat
B. Sebelumnya ada setidaknya satu episode manik atau
campuran
C. Episode mood kriteria A dan B sebaiknya tidak
dimasukkan ke dalam gangguan skizoafektif dan tidak
tumpang

tindih

dengan

skizofrenia,

gangguan

skizofreniform, gangguan waham, atau gangguan


psikotik yang tidak tergolongkan.
Jika seluruh kriteria saat ini memenuhi episode depresif
berat, tentukan status dan atau ciri klinis saat ini:
i. Ringan, sedang, berat tanpa ciri psikotik/berat dengan
ciri psikotik
ii. Kronik
iii. Dengan ciri katatonik
iv. Dengan ciri melankolik
v. Dengan ciri atipikal
vi. Dengan awitan pascamelahirkan
Jika seluruh kriteria saat ini tidak memenuhi episode
depresif berat, tentukan status klinis gangguan bipolar I
dan/atau ciri episode depresif berat terkini:

47

i. Dalam remisi parsial, dalam remisi penuh


ii. Kronik
iii. Dengan ciri katatonik

iv. Dengan ciri melankolik


v. Dengan ciri atipikal
vi. Dengan awitan pascamelahirkan
Tentukan :
- Poin penentu perjalanan longitudinal (dengan atau
-

tanpa pemulihan antarepisode)


Dengan pola musiman (hanya berlaku untuk pola

episode depresof berat)


Dengan siklus cepat

i. Penatalaksanaan
a) Farmakologi
Gambar 1. Terapi obat pada gangguan bipolar (Price, Amy L. 2012)

48

Gambar 2. Dosis dan monitoring pengobatan gangguan bipolar


(Price, Amy L. 2012)

i. Obat antidepressant

49

No.
1.

Golongan
Trisiklik

Obat

Sediaan

Dosis Anjuran

Amitriptilin

Tablet 25 mg

75-150 mg/hari

Imipramin

Tablet 25 mg

75-150 mg/hari

Sentralin

Tablet 50 mg

50-150 mg/hari

Fluvoxamin

Tablet 50 mg

50-100 mg/hari

Fluoxetin

Kapsul 20 mg,

20-40 mg/hari

(TCA)

2.

SSRI

Kaplet 20 mg

3.

MAOI

Paroxetin

Tablet 20 mg

20-40 mg/hari

Moclobemide

Tab 150 mg

300-600

mg/

hari
4.

Atypical

Mianserin

Tablet 10, 30 mg

30-60 mg/hari

Trazodon

Tab 50 mg, 100 mg

75-150 mg/hari
dosis terbagi

Maprotilin

Tab 10, 25, 50, 75 mg

75-150 mg/hari
dosis terbagi

a) Mekanisme kerja
Trisiklik (TCA) memblokade reuptake dari noradrenalin dan
serotonin yang menuju neuron presinaps. SSRI hanya memblokade

50

reuptake dari serotonin. MAOI menghambat pengrusakan serotonin


pada sinaps. Mianserin dan mirtazapin memblokade reseptor alfa 2
presinaps. Setiap mekanisme kerja dari antidepresan melibatkan
modulasi pre atau post sinaps atau disebut respon elektrofisiologis.
b) Cara Penggunaan
Umumnya bersifat oral, sebagian besar bisa diberikan sekali
sehari dan mengalami proses first-pass metabolism di hepar. Respon
anti-depresan jarang timbul dalam waktu kurang dari 2-6 minggu.
Untuk sindroma depresi ringan dan sedang, pemilihan obat sebaiknya
mengikuti urutan:
Langkah 1

: golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake

Inhibitor)
Langkah 2

: golongan tetrasiklik (TCA)

Langkah 3

:golongan tetrasiklik, atypical, MAOI (Mono Amin

Oxydase Inhibitor) reversibel.


c) Indikasi
Obat antidepresan ditujukan kepada penderita depresi dan
kadang berguna juga pada penderita ansietas fobia, obsesif-kompulsif,
dan mencegah kekambuhan depresi.
d) Efek Samping
Trisklik dan MAOI : antikolinergik(mulut kering, retensi urin,
penglihatan kabur, konstipasi, sinus takikardi) dan antiadrenergik
(perubahan EKG, hipotensi SSRI : nausea, sakit kepalaMAOI :
interaksi tiramin
Jika pemberian telah mencapai dosis toksik timbul atropine
toxic syndrome dengan gejala eksitasi SSP, hiperpireksia, hipertensi,
konvulsi, delirium, confusion dan disorientasi. Tindakan yang dapat
dilakukan untuk mengatasinya:

51

Gastric lavage
Diazepam 10 mg IM untuk mengatasi konvulsi
Postigmin 0,5-1 mg IM untuk mengatasi efek antikolinergik, dapat

diulangi setiap 30-40 menit hingga gejala mereda.


- Monitoring EKG
e) Kontraindikasi
- Penyakit jantung koroner
- Glaucoma, retensi urin, hipertensi prostat, gangguan fungsi hati,
epilepsy
(Israr, Yayan A. 2009).
ii. Obat antimania
No
1

Nama Generik
Litium karbonat

Sediaan

Dosis anjuran
250-500 mg

Haloperidol

Tab 0,5 mg
Tab 2 mg
Tab 5 mg

4,5 15 mg

Karbamazepin

Tab 200 mg

400-600 mg/hari
2-3x/hari

a) Cara Penggunaan Obat


Pada mania akut diberikan haloperidol IM atau tablet litium
karbonat. Pada gangguan afektif bipolar dengan serangan episodik
mania depresi diberi litium karbonat sebagai obat profilaks. Daapt
mengurangi frekwensi, berat dan lamanya suatu kekambuhan. Bila
penggunaan obat litium karbonat tidak memungkinkaan dapat
digunakan karbamezin. Obat ini terbukti ampuh meredakan sindroma
mania akut dan profilaks srerangan sindroma mania pada gangguan
afektif bipolar.
Pada ganguan afektif unipolar, pencegahan kekambuhan dapat
juga denagn obat antidepresi SSRI yang lebih ampuh daripada litium
karonat. Dosis awal harus lebih rendah pada pasien usia lanjut atau
pasien gangguan fisik yang mempengaruhi fungsi ginjal. Pengukuran
serum dilakukan dengan mengambil sampeel darah pagi hari, yaitu
sebelum makan obat dan sekitar 12 jam setelah dosis petang.

52

b) Mekanisme kerja
Efek antimania lithium disebabkan oleh kemampuannya
mengurangi

dopaminereseptor

supersensitivity

meningkatkan

cholinergic muscarinic activity dan menghambat cyclic AMP


(adenosine monophospat)
c) Efek samping
Efek samping Lithium berhubungan erat dengan dosis dan
kondisi fisik pasien. Gejala efek samping pada pengobatan jangka
lama: mulut kering, haus, gastrointestinal distress (mual, muntah, diare
feses lunak), kelemahan otot, poliuria, tremor halus (fine tremor, lebih
nyta pada pasien usia lanjut dan penggunaan bersamaan dengan
neuroleptika dan antidepresan) Tidak ada efek sedasi dan gangguan
akstrapiramidal
Efek samping lain : hipotiroidisme, peningkatan berat badan,
perubahan fungsi tiroid, edema pada tungkai metalic taste,
leukositosis, gangguan daya ingat dan kosentrasi pikiran
Gejala intoksikasi
-

Gejala dini : muntah, diare, tremor kasar, mengantuk, kosentrasi


pikiran menurun, bicara sulit, pengucapan kata tidak jelas,

berjalan tidak stabil


Dengan semangkin beratnya intoksikasi terdapat gejala :

kesadaran menurun, oliguria, kejang-kejang


Penting sekali pengawasan kadar lithium dalam darah
Faktor predisposisi terjadinya intoksikasi lithium :
Demam (berkeringat berlebihan)
Diet rendah garam
Diare dan muntah-muntah
Diet untuk menurunkan berat badan
Pemakaian bersama diuretik, antireumatik, obat anti inflamasi
nonsteroid

Tindakan mengatasi intoksikasi lithium

53

Mengurangi faktor predisposisi


Diuresis paksa dengan garam fisiologis NaCl diberikan secara IV

sebanyak 10 ml
Tindakan pencegahan intoksikasi lithium dengan edukasi tentang
faktor predisposisi, minum secukupnya, bila berkeringat dan
diuresis banyak harus diimbangi dengan minum lebih banyak,

mengenali gejala dan intoksikasi dan kontrol rutin


d) Kontra Indikasi
Wanita hamil
(Israr, Yayan A. 2009).
b) Psikoterapi
Sedikit data yang menguatkan keunggulan salah satu pendekatan
psikoterapi dibandingkan yang lain dalam terapi gangguan mood masa
anak-anak dan remaja. Tetapi, terapi keluarga adalah diperlukan untuk
mengajarkan keluarga tentang gangguan mood serius yang dapat terjadi
pada anak-anak saat terjadinya stress keluarga yang berat. Pendekatan
psikoterapetik bagi anak terdepresi adalah pendekatan kognitif dan
pendekatan yang lebih terarah dan lebih terstruktur dibandingkan yang
biasanya digunakan pada orang dewasa. Karena fungsi psikososial anak
yang terdepresi mungkin tetap terganggu untuk periode yang lama,
walaupun setelah episode depresif telah menghilang, intervensi
keterampilan sosial jangka panjang adalah diperlukan. Pada beberapa
program terapi, modeling dan permainan peran dapat membantu
menegakkan keterampilan memecahkan masalah yang baik. Psikoterapi
adalah pilihan utama dalam pengobatan depresi.
Beberapa jenis psikoterapi yaitu :
a. Cognitive behavioral therapy (CBT) membantu penderita gangguan
bipolar untuk mengubah pola pikir dan perilaku negative.
b. Family-focused therapy melibatkan anggota keluarga. Terapi ini juga
memfokuskan pada komunikasi dan pemecahan masalah.

54

c. Interpersonal and social rhythm therapy membantu penderita


gangguan bipolar meningkatkan hubungan sosial dengan orang lain
dan mengatur aktivitas harian mereka.
d. Psychoeducation mengajarkan pada penderita gangguan bipolar
mengenai

penyakit

yang

mereka

derita

beserta

dengan

penatalaksanaannya. Terapi ini membantu penderita mengenali gejala


awal dari episode baik manik maupun depresi sehingga mereka bisa
mendapatkan terapi sedini mungkin. (Kusumawardhani, AAAA, et al.
2014)
j. Prognosis
Prognosis tergantung pada penggunaan obat-obatan dengan dosis yang
tepat, pengetahuan komprehensif mengenai penyakit ini dan efeknya,
hubungan positif dengan dokter dan therapist, kesehatan fisik. Semua faktor
ini merujuk ke prognosis bagus. Akan tetapi prognosis pasien gangguan
bipolar I lebih buruk dibandingkan dengan pasien dengan gangguan depresif
berat. Kira-kira 40%-50% pasien gangguan bipolar I memiliki episode manik
Kedua dalam waktu dua tahun setelah episode pertama. Kira-kira 7% dari
semua pasien gangguan bipolar I tidak menderita gejala rekurensi, 45%
menderita lebih dari satu episode, dan 40% menderita gangguan kronis.
Pasien mungkin memiliki 2 sampai 30 episode manik, walaupun angka ratarata adalah Sembilan episode. Kira-kira 40% dari semua pasien menderita
lebih dari 10 episode. (Kaplan, 2010)

55

KESIMPULAN
Gangguan bipolar (GB) merupakan gangguan jiwa yang bersifat episodik dan
ditandai oleh gejala-gejala manik, hipomanik, depresi, dan campuran, biasanya
rekuren serta dapat seumur hidup.
Episode depresif dari gangguan bipolar memiliki kriteria diagnostik yang
sama dengan gangguan depresi mayor episode tunggal. Sedangkan pada gangguan
bipolar episode campuran terdapat gejala-gejala manik atau hipomanik dan depresi
yang berganti-ganti secara cepat pada suatu periode waktu yang berlangsung
sekurangnya satu minggu. Tampilan klinis, seorang yang menderita gangguan bipolar
episode campuran biasanya mengalami kondisi mood yang sangat tidak stabil. Secara
umum, terdapat dua jenis gangguan bipolar, pada gangguan bipolar tipe satu,
ditemukan sekurangnya satu episode manik. Sedangkan pada gangguan bipolar tipe
dua ditemukan sekurang-kurangnya satu episode hipomanik,
Sampai saat ini, penatalaksanaan untuk gangguan bipolar masih difokuskan
dalam pemberian terapi farmakologi. Obat-obat golongan mood stabilizer diberikan

56

(seperti Lithium dan Valproate) baik untuk kondisi akut maupun untuk terapi
maintenance yang bertujuan mencegah kekambuhan. Farmakoterapi biasanya
dikombinasi dengan terapi non farmakologis berupa psikoterapi.
SARAN
1.

Mahasiswa kurang kritis dan kurang sistematis dalam diskusi sehingga

2.

mahasiswa harus lebih banyak mencari referensi sebelum diskusi.


Sesi kedua diskusi mahasiswa hanya mencari referensi mengenai
diagnosis kerja dan tidak mencari diagnosis banding sehingga
informasi yang didapatkan kurang.
Mahasiswa seharusnya mencari referensi mengenai diagnosis banding

3.

dan bagaimana cara menyingkirkannya dalam mengatasi hal tersebut.


DAFTAR PUSTAKA
Arozal W, Gan S. 2007. Psikotropik dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5.
Jakarta: FKUI
David, A Tomb. 2003. Buku Saku Psikiatri, Edisi 6. Jakarta: EGC
Dorland, W.A Newman. 2011. Kamus Saku Kedokteran Dorland Ed.28. Jakarta:
EGC
Elvira, Sylvia D. 2014. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: FKUI
Elvira, Sylvia D. 2014. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: FKUI
Fadli, Surya Mulya dan Mitra. 2013. Pengetahuan dan Ekspresi Emosi Keluarga
serta

Frekuensi

Kekambuhan

Penderita

Skizofrenia.

Pekanbaru:

Hangtuah
Guyton A.C. 2009. Physiology of The Human Body. 5th ed. Philadelphia: W.B.
Saunders Company

57

Hendro Djoko Tjahjono. 2011. Tesis Analisis Faktor yang Mempengaruhi Nafsu
Makan pada Pasien PPOK. Jakarta: FK UI
Hotma Rumahorbo. 1999. Klien dengan Gangguan Sistem Endokrin. Jakarta:
EGC
I.M, Ingram, et al. 1993. Catatan Kuliah Psikiatri. Jakarta: EGC
Israr, Yayan A. 2009. Gangguan Afektif Bipolar. Pekanbaru: FK UNRI
Kaplan, HI, Saddock, BJ & Grabb, JA. 2010. Kaplan-Sadock Sinopsis Psikiatri
Ilmu Pengetahuan Prilaku Psikiatri Klinis. Tangerang: Bina Rupa Aksara
Mansjoer Arief, et al. (editor). 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1.
Jakarta: Media Aesculapis.
Maramis WF. 2006. Catatan Kuliah Kedokteran Jiwa. Cetalan ketujuh. Surabaya:
Penerbit Airlangga University Press.
Maramis, W, F. 2004. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga
University Press
Maramis, Willy F. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Ed 2. Surabaya.
Airlangga University Press.
Marks Dawn B, Marks Allan D, Smith Colleen M. 2000. Biokimia Kedokteran
Dasar : Sebuah Pendekatan Klinis. Edisi 1. Jakarta: EGC
Muslim, Rusdi. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III
dan DSM-IV. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Arma
Jaya

58

Mutiara Indah Sari. 2007. Regulasi Sistem Saraf Pada Nafsu Makan. Sumatra
Utara: FK Sumatra Utara
Price, Amy L, et al. 2012. Bipolar Disoreder: A Review. Virginia: University of
Virginia School of Medicine. Vol 85[5];page 483-493
Sherwood, Lauralee. 2007. Human Physiology. 6thed. USA: The Thomson
Corporation
Smith MJ., Wang L., Cronenwett W., Mamah D., Barch DM., Csernansky JG.
2011. Thalamic Morphology in Schizophrenia and Schizoaffective
Disorder. J Psychiatr Res. 45(3): 378385.
Townsend, C, Mary. 2002. Psychiatric Mental Health Nursing Consepts of
Care,ed.4. Philadelphia: Davis Company
Trimble MR., George MS. 2010. Biological Psychiatry 3rd edition. WileyBlackwell.
Wiraminaradja dan Sutardjo. 2005. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung:
Refika Aditama

59

Anda mungkin juga menyukai