KOLELITIASIS
OLEH:
Sitti Aisyah Jusmadil
111 2017 2046
PEMBIMBING :
dr. Budiman Siri, Sp.B
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka Kepaniteraan Klinik pada Bagian Ilmu
Penyakit Bedah RSUD Andi Makkasau Pare-Pare Fakultas Kedokteran Universitas
Muslim Indonesia.
2.2 SUBJEKTIF
Anamnesis
Keluhan utama :
Nyeri perut kanan atas
Riwayat Pengobatan :
Pasien pernah berobat ke puskesmas akan tetapi tidak ada perubahan.
Riwayat Operasi :
Pasien tidak pernah menjalani operasi sebelumnya.
2.3 OBJEKTIF
Status Generalis
Keadaan umum : Sakit sedang / gizi kurang/ komposmentis
Berat Badan : 53 kg
Tinggi Badan : 155 cm
IMT : 53/(1.55)2 = 22,0 kg/m2 (normal)
Tanda Vital
Tekanan Darah : 120/80mmHg
Nadi : 80 kali / menit, Irama : Reguler
Pernapasan : 20 kali / menit Tipe : thoracoabdominal
Suhu : 36,6oC (Aksila)
Pemeriksaan Fisis :
Kepala : Normochepal, tidak ada deformitas
Mata : Gerakan : segala arah
Kelopak mata : edema dan ptosis tidak ada
Konjungtiva : Anemis -/-
Sklera : Ikterus -/-
Pupil : bulat, isokor d=2,5/2,5 mm
Telinga : Sekret :-
Nyeri tekan di proc. Mastoideus: -
Pendengaran : normal
Hidung : Perdarahan -, Sekret –
Mulut : Bibir : Kering(-) Pucat(-) Sianosis(-)
Gigi geligi : Karies(-)
Gusi : Perdarahan(-)
Lidah : Kotor/tremor (-/-)
Tonsil, Faring : T1- T1, ,hiperemis(-)
Leher :
Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran
Kelenjar gondok : tidak ada pembesaran
JVP : R+2 cm H2O
Trakea : letak di tengah
Thoraks :
Paru-paru
Inspeksi : normochest, simetris ki-ka
Palpasi : Fremitus raba : dalam batas normal
Nyeri tekan : (-)
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Batas paru – hepar : ICS V-VI
Auskultasi : Bunyi pernapasan : vesikuler
Bunyi tambahan : Rh (-/-)
Wh (-/-)
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : pekak
Batas atas : ICS II sinistra
Batas kanan : ICS III-IV linea parasternalis dextra
Batas kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : BJ I / II : murni reguler, murmur(-)
Abdomen :
Inspeksi : datar supel, distensi(-), ikut gerak napas
Auskultasi : peristaltic (+) kesan normal
Palpasi : nyeri tekan(+), region hipokondrium dextra,
Murphy sign (+), hepar lien tidak teraba, massa(-)
Perkusi : timpani
Alat Kelamin : tidak dilakukan pemeriksaan
Anus dan Rectum : tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : hangat, edema(-), sianosis(-)
Pemeriksaan Penunjang :
Hematologi
Leukosit 6.100/L 4000-10.000/L
Ht 35,7% 37-54%
Kimia klinik
Ureum 23 mg/dl 10-50 mg/dl
Hemostatis
PT 14 detik 11-18 detik
INR 1.15
Xray Thoraks PA
Kesan : Tidak tampak kelainan radiologi pada foto thoraks
USG Abdomen
2.5. PENATALAKSANAAN
IVFD RL 20 tpm
Ceftazidine 1 gr/12j/iv
Ranitidine 50 mg/12j/iv
Ketorolac 30 mg/8j/iv
Observasi tanda akut abdomen
GV 2 hari post op
Laparascopy Cholesistectomy
2.6. PROGNOSIS
Dubia et Bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. DEFINISI
Kolelitiasis adalah gabungan beberapa unsur dari cairan empedu atau
kosntituen empedu abnormal yang mengendap dan membentuk suatu material
mirip batu di dalam kandung empedu (cholecystolithiasis) atau saluran empedu
(choledocholithiasis). Komponen cairan empedu adalah kolesterol, bilirubin,
garam empedu, kalsium, protein, asam lemak dan fosfolipid.
Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah
kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu.
Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk
suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu.1,14
3.2. ANATOMI
A. Kandung Empedu (Vesica biliaris)
B. Duktus Biliaris
Duktus biliaris extrahepatik terdiri dari Ductus hepatikus dextra dan
sinistra, Ductus hepatikus komunis, Ductus sisticus dan Ductus koledokus.
Ductus koledokus memasuki bagian kedua dari duodenum lewat suatu
struktur muskularis yang disebut Sphincter Oddi.9
Duktus sistikus : Panjangnya kurang lebih 3 ¾ cm, berjalan dari leher
kandung empedu dan bersambung dengan duktus hepatikus
membentuk saluran empedu ke duodenum. Bagian dari duktus sistikus
yang berdekatan dengan bagian leher kandung empedu terdiri dari
lipatan-lipatan mulkosa yang disebut valvula heister.
Duktus hepatikus komunis : Ductus hepaticus communis umumnya 1-
4 cm dengan diameter mendekati 4 mm. Berada di depan vena porta
dan di kanan Arteri hepatica. Duktus hepatikus komunis dihubungkan
dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus.
Duktus koledokus : Panjang Ductus choledochus kira-kira 7-11 cm
dengan diameter 5-10 mm. Bagian supraduodenal melewati bagian
bawah dari tepi bebas dari ligamen hepatoduodenal, disebelah kanan
arteri hepatica dan di anterior vena porta. Ductus koledokus
bergabung dengan ductus pankreatikus masuk ke dinding duodenum
(Ampulla Vateri) kira-kira 10 cm distal dari pylorus.
Suplai arteri untuk Duktus biliaris berasal dari Arteri gastroduodenal
dan Arteri hepatika kanan, dengan jalur utama sepanjang dinding lateral
dan medial dari Ductus koledokus (kadang-kadang pada posisi jam 3 dan
jam 9). Persarafan dari Ductus koledokus dan Sphinchter Oddi sama
dengan persarafan pada kandung empedu.7
3.3. HISTOLOGI
3.4. FISIOLOGI
Fungsi kandung empedu, yaitu:
a. Tempat menyimpan cairan empedu dan memekatkan cairan empedu yang
ada di dalamnya dengan cara mengabsorpsi air dan elektrolit. Cairan
empedu ini adalah cairan elektrolit yang dihasilkan oleh sel hati.
b. Garam empedu menyebabkan meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak
dan vitamin yang larut dalam lemak, sehingga membantu penyerapannya
dari usus. Hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel darah merah
diubah menjadi bilirubin (pigmen utama dalam empedu) dan dibuang ke
dalam empedu.10,11 Kandung empedu mampu menyimpan 40-60 ml
empedu. Diluar waktu makan, empedu disimpan sementara di dalam
kandung empedu. Empedu hati tidak dapat segera masuk ke duodenum,
akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke duktus
sistikus dan ke kandung empedu. Dalam kandung empedu, pembuluh
limfe dan pembuluh darah mengabsorpsi air dari garam-garam anorganik,
sehingga empedu dalam kandung empedu kira-kira lima kali lebih pekat
dibandingkan empedu hati.12
Empedu disimpan dalam kandung empedu selama periode interdigestif dan
diantarkan ke duodenum setelah rangsangan makanan.10 Pengaliran cairan
empedu diatur oleh 3 faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi
kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Dalam keadaan puasa,
empedu yang diproduksi akan dialih-alirkan ke dalam kandung empedu.
Setelah makan, kandung empedu berkontraksi, sfingter relaksasi, dan
empedu mengalir ke duodenum.13
Memakan makanan akan menimbulkan pelepasan hormon duodenum,
yaitu kolesistokinin (CCK), yang merupakan stimulus utama bagi
pengosongan kandung empedu, lemak merupakan stimulus yang lebih
kuat. Reseptor CCK telah dikenal terletak dalam otot polos dari dinding
kandung empedu. Pengosongan maksimum terjadi dalam waktu 90-120
menit setelah konsumsi makanan. Empedu secara primer terdiri dari air,
lemak, organik, dan elektrolit, yang normalnya disekresi oleh hepatosit.
Zat terlarut organic adalah garam empedu, kolesterol, dan fosfolipid.11
Sebelum makan, garam-garam empedu menumpuk di dalam kandung
empedu dan hanya sedikit empedu yang mengalir dari hati. Makanan di
dalam duodenum memicu serangkaian sinyal hormonal dan sinyal saraf
sehingga kandung empedu berkontraksi. Sebagai akibatnya, empedu
mengalir ke dalam duodenum dan bercampur dengan makanan. Empedu
memiliki fungsi, yaitu membantu pencernaan dan penyerapan lemak,
berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama
hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan
kelebihan kolesterol, garam empedu meningkatkan kelarutan kolesterol,
lemak dan vitamin yang larut dalam lemak untuk membantu proses
penyerapan, garam empedu merangsang pelepasan air oleh usus besar
untuk membantu menggerakkan isinya, bilirubin (pigmen utama dari
empedu) dibuang ke dalam empedu sebagai limbah dari sel darah merah
yang dihancurkan, serta obat dan limbah lainnya dibuang dalam empedu
dan selanjutnya dibuang dari tubuh. Garam empedu kembali diserap ke
dalam usus halus, disuling oleh hati dan dialirkan kembali ke dalam
empedu. Sirkulasi ini dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik. Seluruh
garam empedu di dalam tubuh mengalami sirkulasi sebanyak 10-12
kali/hari. Dalam setiap sirkulasi, sejumlah kecil garam empedu masuk ke
dalam usus besar (kolon). Di dalam kolon, bakteri memecah garam
empedu menjadi berbagai unsur pokok. Beberapa dari unsur pokok ini
diserap kembali dan sisanya dibuang bersama tinja. Hanya sekitar 5% dari
asam empedu yang disekresikan dalam feses.11
3.5. EPIDEMIOLOGI
Dikenal tiga jenis batu empedu, yaitu batu kolesterol, batu pigmen atau
batu bilirubin, yang terdiri atas kalsium bilirubinat, dan batu campuran. Di
negara Barat 80% batu empedu adalah batu kolesterol, tetapi angka kejadian
batu pigmen meningkat akhir-akhir ini. Sebaliknya di Asia Timur, lebih banyak
batu pigmen dibandingkan dengan batu kolesterol, tetapi angka kejadian batu
kolesterol sejak 1965 makin meningkat. Diduga perubahan gaya hidup,
termasuk perubahan pola makanan, berkurangnya infeksi parasit, dan
menurunnya frekuensi infeksi empedu, mungkin menimbulkam perubahan
insidens hepatolitiasis.13
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% dan banyak menyerang
orang dewasa dan usia lanjut. Kebanyakan kolelitiasis tidak bergejala atau
bertanda. Angka kejadian penyakit batu empedu dan penyakit saluran empedu
di Indonesia diduga tidak jauh berbeda dengan angka di negara lain di Asia
Tenggara dan sejak 1980-an agaknya berkaitan erat dengan cara diagnosis
dengan ultrasonografi.
Sementara ini, didapatkan kesan bahwa meskipun batu kolesterol di
indonesia lebih umum, angka kejadian batu pigmen lebih tiggi dibandingkan
dengan angka yang terdapat di negara Barat, dan sesuai dengan angka di
negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina. Hal ini
menunjukkan bahwa faktor infeksi empedu oleh kuman gram negatif E.coli
ikut berperan penting dalam timbulnya batu pigmen. Diwilayah ini insidens
batu primer saluran empedu adalah 40-50% dari penyakit empedu, sedangkan
di dunia Barat sekitar 5%.
Perbedaan lain dengan negara Barat ialah batu empedu ditemukan mulai
pada usia muda di bawah 30 tahun, meskipun usia rata-rata tersering ialah 40-
50 tahun. Pada usia diatas 60 tahun, insiden batu saluran empedu meningkat,
Jumlah penderita perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki.
Meskipun batu empedu terbanyak ditemukan di dalam kandung empedu,
sepertiga dari batu saluran empedu merupakan batu duktus koledukus. Oleh
sebab itu, kolangitis di negara Barat ditemukan pada berbagai usia, dan
merupakan sepertiga dari jumlah kolesistitis.
b. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. Orang dengan usia >60 tahun lebih cenderung untuk
terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih
muda.
c. Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko
lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI
maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga
mengurasi garam empedu serta mengurangi kontraksi/ pengosongan
kandung empedu.
d. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti
setelah operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur
kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung
empedu.
e. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih
besar dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga.
f. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko
terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih
sedikit berkontraksi.
g. Penyakit usus halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah
crohn disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
h. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi yang
melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.
2) Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang
mengandung <30% kolesterol. Jenisnya antara lain:
Batu pigmen coklat
Berwarna coklat atau coklat tua, konsistensi lunak, permukaanya
kasar dan seperti lumpur serta pada potongan melintang tampak lapisan
berwarna coklat dan coklat muda berselang seling. Lapisan coklat
mengandung garam bilirubinat sedangkan lapisan coklat muda
mengandung kalsium palmitat dan stearat. Batu pigmen cokelat sering
terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi saluran empedu.21
Batu Pigmen
Batu Kolesterol
Hitam Cokelat
Komposisi Utama Kolesterol Kalsium bilirubinat Kalsium bilirubinat
Garam Garam
kalsium kalsium
(fosfat, karbonat) (palmitat, stearat)
Konsistesi Kristalin Keras Lunak, rapuh
Lokasi Kandung empedu Kandung empedu Duktus koledokus
Duktus koledokus Duktus empedu
Radiodensitas Lusen (85%) Opaque (50%) Lusen (100%)
Predisposisi Metabolik Hemolisis Infeksi
3.8. PATOGENESIS
Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan
berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigment dan
batu campuran. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang
mengandung > 50% kolesterol) atau batu campuran (batu yang mengandung
20-50% kolesterol). Angka 10% sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana
mengandung < 20% kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu
antara lain adalah keadaan statis kandung empedu, pengosongan kandung
empedu yang tidak sempurna dan konsentrasi kalsium dalam kandung empedu.
Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang
terbentuk di dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu,
lesitin dan fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila
empedu menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi berpengaruh
(kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus
untuk pembentukan batu. Kristal yang terbentuk dalam kandung empedu,
kemudian lama-kelamaan kristal tersubut bertambah ukuran, beragregasi,
melebur dan membetuk batu. Faktor motilitas kandung empedu, biliary stasis,
dan kandungan empedu merupakan predisposisi pembentukan batu empedu.
1) Batu Kolesterol
Batu kolestrol murni merupakan hal yang jarang ditemui dan
prevalensinya kurang dari 10%. Biasanya merupakan soliter, besar, dan
permukaannya halus. Empedu yang di supersaturasi dengan kolesterol
bertanggung jawab bagi lebih dari 90% kolelitiasis di negara Barat.
Sebagian besar empedu ini merupakan batu kolesterol campuran yang
mengandung paling sedikit 75% kolesterol berdasarkan berat serta dalam
variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa organik dan
inorganik lain. Kolesterol dilarutkan di dalam empedu dalam daerah
hidrofobik micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah relatif
garam empedu dan lesitin. Ini dapat dinyatakan oleh grafik segitiga, yang
koordinatnya merupakan persentase konsentrasi molar garam empedu,
lesitin dan kolesterol.22
Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam tiga tahap:
Supersaturasi empedu dengan kolesterol.
Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah
komponen yang tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan
tertentu membentuk micelle yang mudah larut. Di dalam kandung
empedu ketiganya dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali
lipat. Pelarutan kolesterol tergantung dari rasio kolesterol terhadap
lecithin dan garam empedu, dalam keadaan normal antara 1 : 20 sampai
1 : 30. Pada keadaan supersaturasi dimana kolesterol akan relatif tinggi
rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti ini kolesterol akan
mengendap.
Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut :
− Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu
dan lecithin jauh lebih banyak.
− Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga
terjadi supersaturasi.
− Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet).
− Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol
jaringan tinggi.
− Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada
gangguan ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan
sirkulasi enterohepatik).
− Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan
kadar chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya
melarutkan batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol.
Penelitian lain menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya
sampai tiga tahun.
Fase Pembentukan inti batu
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen.
Inti batu heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat
atau sel-sel yang lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen
berasal dari kristal kolesterol sendiri yang menghadap karena perubahan
rasio dengan asam empedu.
Fase Pertumbuhan batu menjadi besar.
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup
waktu untuk bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal
dimana kontraksi kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu
normal, inti batu yang sudah terbentuk akan dipompa keluar ke dalam
usus halus. Bila konstruksi kandung empedu lemah, kristal kolesterol
yang terjadi akibat supersaturasi akan melekat pada inti batu tersebut.
Hal ini mudah terjadi pada penderita Diabetes Mellitus,
kehamilan, pada pemberian total parental nutrisi yang lama, setelah
operasi trunkal vagotomi, karena pada keadaan tersebut kontraksi
kandung empedu kurang baik. Sekresi mucus yang berlebihan dari
mukosa kandung empedu akan mengikat kristal kolesterol dan sukar
dipompa keluar.
2) Batu Pigmen
Batu pigmen merupakan sekitar 10 % dari batu empedu di Amerika
Serikat. Ada dua bentuk yaitu batu pigmen murni yang lebih umum dan
batu kalsium bilirubinat. Batu pigmen murni lebih kecil (2 sampai 5 mm),
multipel, sangat keras dan penampilan hijau sampai hitam. Batu-batu
tersebut mengandung dalam jumlah bervariasi kalsium bilirubinat, polimer
bilirubin, asam empedu dalam jumlah kecil kolesterol (3 sampai 26%) dan
banyak senyawa organik lain. Didaerah Timur, batu kalsium bilirubinat
dominan dan merupakan 40 sampai 60% dari semua batu empedu. Batu ini
lebih rapuh, berwarna kecoklatan sampai hitam.2 Bilirubin pigmen kuning
yang berasal dari pemecahan heme, aktiv disekresikan ke empedu oleh sel
liver. Kebanyakan bilirubin dalam empedu dibentuk dari konjugat
glukorinide yang larut air dann stabil. Tetapi ada sedikit yang terdiri dari
bilirubin tidak terkkonjugasi yang tidak larut dengan kalsium.
Patogenesis batu pigmen berbeda dari batu kolesterol. Kemungkinan
mencakup sekresi pigmen dalam jumlah yang meningkat atau
pembentukan pigmen abnormal yang mengendap dalam empedu. Sirosis
dan stasis biliaris merupakan predisposisi pembentukan batu pigmen.
Pasien dengan peningkatan beban bilirubin tak terkonjugasi (anemia
hemolitik), lazim membentuk batu pigmen murni. Di negara Timur,
tingginya insiden batu kalsium bilirubinat bisa berhubungan dengan invasi
bakteri sekunder dalam batang saluran empedu yang di infeksi parasit
Clonorchis sinensis atau Ascaris Lumbricoides. E.coli membentuk B-
glukoronidase yang dianggap mendekonjugasikan bilirubin di dalam
empedu, yang bisa menyokong pembentukan kalsium bilirubinat yang tak
dapat larut.23
Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase :
Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena
pemecahan eritrosit yang berlebihan, misalnya pada malaria dan
penyakit Sicklecell. Pada keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi
karena konversi konjugasi bilirubin menjadi unkonjugasi yang sukar
larut. Konversi terjadi karena adanya enzim b-glukuronidase yang
dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal cairan empedu
mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja glukuronidase.
Pembentukan inti batu
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel
bisa juga oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki
melaporkan bahwa 55% batu pigmen dengan inti telur atau bagian
badan dari cacing ascaris lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam
mendapatkan 70 % inti batu adalah dari cacing tambang.
3) Batu campuran
Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung kalsium.
Batu ini sering ditemukan hampir sekitar 90 % pada penderita kolelitiasis.
batu ini bersifat majemuk, berwarna coklat tua. Sebagian besar dari batu
campuran mempunyai dasar metabolisme yang sama dengan batu
kolesterol.
Gambar 7. Patofisiologi Kolelitiasis
3.9. DIAGNOSIS
a) Manifestasi Klinis
Kolelitiasis dapat dibagi menjadi beberapa stadium yaitu:
asimptomatik (adanya batu empedu tanpa gejala), simptomatik (kolik
bilier), dan kompleks (menyebabkan kolesistitis, koledokolitiasis, serta
kolangitis). Sekitar 60-80% kolelitiasis adalah asimptomatik. Setengah
sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimptomatis. Keluhan
yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran
terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa
nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikondrium. Rasa
nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15
menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya
nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.11
Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien.
Nyeri viseral ini berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus
sistikus oleh batu. Dengan istilah kolik bilier tersirat pengertian bahwa
mukosa kandung empedu tidak memperlihatkan inflamasi akut.
Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung
lama antara 30–60 menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah
epigastrium. Nyeri dapat menjalar ke abdomen kanan, ke pundak,
punggung, jarang ke abdomen kiri dan dapat menyerupai angina pektoris.
Kolik bilier harus dibedakan dengan gejala dispepsia yang merupakan
gejala umum pada banyak pasien dengan atau tanpa kolelitiasis.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke
puncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat
penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan
antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah
pada waktu menarik nafas dalam. Episode kolik ini sering disertai dengan
mual dan muntah-muntah dan pada sebagian pasien diikuti dengan
kenaikan bilirubin serum bilamana batu migrasi ke duktus koledokus.
Adanya demam atau menggigil yang menyertai kolik bilier biasanya
menunjukkan komplikasi seperti kolesistitis, kolangitis atau pankreatitis.
Kolik bilier dapat dicetuskan sesudah makan banyak yang berlemak.
Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis
dan telah sering mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut.
Keadaan ini menyebabkan penebalan dan fibrosis kandung empedu dan
pada 15% pasien disertai penyakit lain seperti koledo kolitiasis,
panleneatitis dan kolongitis.
Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus
melalui duktus sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat
juga terbentuk di dalam saluran empedu (koledokolitiasis primer).
Perjalanan penyakit koledokolitiasis sangat bervariasi dan sulit diramalkan
yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan timbulnya ikterus obstruktif
yang nyata.
Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan
tanpa menimbulkan gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di
ampula vateri sehingga timbul pankreatitis akut dan lalu masuk ke
duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang tidak keluar spontan akan
tetap berada dalam saluran empedu dan dapat membesar. Gambaran klinis
koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus obstruktif,
kolangitis dan pankreatitis.
Gambar 8. Manifestasi Kolelitiasis
b) Pemeriksaan Fisik
Manifestasi batu kandung empedu
Kalau ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan
komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum,
hidrops kandung empedu, empiema kandung empedu, atau pankreatitis.
Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum
didaerah letak anatomi kandung empedu. Tanda murphy positif apabila
nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik napas panjang karena
kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa
dan pasien berhenti menarik napas.24,25
Manifestasi batu saluran empedu
Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala atau tanda dalam
fase tenang. Kadang teraba hepar agak membesar dan sclera ikterik.
Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, baru akan timbul
ikterus klinis. Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya
disertai obstruksi, akan ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan
beratnya kolangitis tersebut.
Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis
bakterial nonplogenik yang ditandai dengan trias Charcot yaitu demam
dan menggigil, nyeri didaerah hepar, dan ikterus. Apabila terjadi
kolangiolitis biasanya berupa kolangiti piogenik intrahepatik, akan
timbul 5 gejala pentaderainold, berupa 3 gejala trias charcot ditambah
syok, dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai koma.
Kalau ditemukan riwayat kolangitis yang hilang timbul, harus dicurigai
kemungkinan hepatolitiasis.24,25
c) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada penderita
batu empedu diantaranya hitung sel darah lengkap, urinalisis,
pemeriksaan feses, tes fungsi hepar, dan kadar amilase serta lipase
serum.
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak
menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Diduga terdapat
kolesistitis akut jika ditemukan leukositosis dan hingga 15% penderita
memiliki peningkatan sedang dari enzim hepar, bilirubin serum dan
alkali fosfatase. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan
kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledokus
oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh
batu di dalam duktus koledukus. Kadar alkali fosfatase serum dan
mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap
setiap kali terjadi serangan akut.26 Alkali fosfatase merupakan enzim
yang disintesis dalam sel epitel saluran empedu. Pada obstruksi saluran
empedu, aktivitas serum meningkat karena sel duktus meningkatkan
sintesis enzim ini. Kadar yang sangat tinggi, menggambarkan obstruksi
saluran empedu. Tetapi alkasi fosfatase juga ditemukan di dalam tulang
dan dapat meningkat pada kerusakan tulang. Selain itu alkali fosfatase
juga meningkat selama kehamilan karea sintesis plasenta.27,28 Pada
pemeriksaan urinalisis adanya bilirubin tanpa adanya urobilinogen
dapat mengarahkan pada kemungkinan adanya obstruksi saluran
empedu. Sedangkan pada pemeriksaan feses, tergantung pada obstruksi
total saluran empedu, maka feses tampak pucat.
Pemeriksaan Radiologis
Diagnosis batu empedu dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
radiologis terutama pemeriksaan Ultrasonography (USG). Pemeriksaan
radiologis lain yang dapat dilakukan adalah dengan foto polos
abdomen, Computed tomography [CTl, Magnetic nesonance
cholangiography [MRCP], Endoscopic ultrasound [EUS], dan Biliary
scintigraphy.25 Hanya sekitar l0% dari kasus batu empedu adalah
radioopak karena batu empedu tersebut mengandung kalsium dan dapat
terdeteksi dengan pemeriksaan foto polos abdomen. Ultasonography
(USG) dan cholescintigraphy adalah pemeriksaan imaging yang sangat
membantu dan sering digunakan untuk mendiagnosis adanya batu
empedu.
1. Ultrasonography (USG)
Ultrasonography (USG) merupakan suatu prosedur non-invasif
yang cukup aman, cepat, tidak memerlukan persiapan khusus, relatif
tidak mahal dan tidak melibatkan paparan radiasi, sehingga menjadi
pemeriksaan terpilih untuk pasien dengan dugaan kolik biliaris.
Ultrasonography mempunyai spesifisitas 90% dan sensitivitas 95%
dalam mendeteksi adanya batu kandung empedu. Prosedur ini
menggunakan gelombang suara (sound wave) untuk membentuk
gambaran (image) suatu organ tubuh. Indikasi adanya kolesistitis
akut pada pemeriksaan USG ditunjukkan dengan adanya batu,
penebalan dinding kandung empedu, gas intramural, pengumpulan
cairan perikolesistikus dan Murphy sign positif akibat kontak dengan
probe USG .USG juga dapat menunjukkan adanya obstruksi distal
dengan ditemukannya pelebaran saluran intrahepatik atau saluran
a) Terapi Operatif
Kolesistektomi merupakan satu-satunya terapi definitive untuk
penderita batu simtomatik, yaitu dengan mengangkat batu dan kandung
empedu, dapat mencegah berulangnya penyakit.
Terdapat dua jenis kolesistektomi yaitu:
Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopi, disebut juga bedah minimally invasive,
atau keyhole surgery merupakan teknik bedah modern dimana operasi
abdomen melalui irisan kecil (biasanya 0,5-1 cm) dibandingkan dengan
prosedur bedah tradisional yang memerlukan irisan yang lebih besar,
dimana tangan ahli bedah masuk ke badan pasien. Laparoskopi mencakup
operasi dalam abdomen dan pelvis menggunakan lensa teleskop untuk
mendapatkan gambaran yang jelas pada layar monitor. Operator dalam
melaksanakan operasi menggunakan hand instrument. Lapangan operasi
pada abdomen diperluas dengan dimasukkannya gas karbondioksida.
Kolesistektomi laparoskopi sekarang menjadi standar untuk pengelolaan
pasien kolelitiasis. Teknik ini memberikan banyak keuntungan yaitu
meningkatkan pemulihan pasien dengan mengurangi nyeri, waktu tinggal
di rumah sakit lebih pendek, dan lebih cepat kembali ke aktivitas harian
yang normal. Kolesistektomi laparoskopi berhubungan dengan insisi kulit
yang kecil sehingga membuat kondisi setelah operasi lebih menyenangkan
bagi pasien. Pendekatan ini juga lebih hemat bagi penyelenggara
kesehatan.30
Kolesistektomi terbuka
Kolesistektomi terbuka merupakan tindakan pembedahan abdomen
yang besar, dimana ahli bedah mengambil kandung empedu melalui irisan
panjang 10-18 cm. Kolesistektomi terencana pertama dilakukan oleh Karl
Lungenbach dari Jerman pada tahun 1882. Lebih dari satu abad,
kolesistektomi terbuka menjadi standar pengelolaan kolelitiasis
simtomatis. Kolesistektomi terbuka dilakukan ketika kantong empedu
yang sangat meradang, terinfeksi, atau bekas luka lainnya dari operasi.
Dalam kebanyakan kasus, kolesistektomi terbuka direncanakan dari
permulaan. Namun, ahli bedah mungkin melakukan kolesistektomi terbuka
saat masalah terjadi selama laparoskopi sebuah kolesistektomi.
Gambar 14. Tindakan kolesistektomi terbuka dan kolesistektomi laparaskopy
b) Terapi Non-operatif
Terapi non operatif hanya digunakan dalam situasi khusus, seperti
ketika seseorang dengan batu kolesterol memiliki kondisi medis yang
serius yang mencegah operasi. Batu empedu sering kambuh dalam waktu
5 tahun setelah pengobatan. Terdapat dua jenis terapi non-operatif yang
dapat digunakan untuk melarutkan batu empedu kolesterol yaitu:
Terapi disolusi oral
Ursodeoxycholic acid lebih dipilih dalam pengobatan daripada
chenodeoxycholic karena efek samping yang lebih banyak pada
penggunaan chenodeoxycholic seperti terjadinya diare, peningkatan
aminotransfrase dan hiperkolesterolemia sedang. Pemberian obat-obatan
ini dapat menghancurkan batu pada 60% pasien dengan kolelitiasis,
terutama batu yang kecil. Angka kekambuhan mencapai lebih kurang 10%,
terjadi dalam 3-5 tahun setelah terapi. Pada anak-anak terapi ini tidak
dianjurkan, kecuali pada anak-anak dengan risiko tinggi untuk menjalani
operasi.
Shock wave lithotripsy
Prosedur shock wave lithotripsy dilakukan dengan menggunakan
sebuah mesin yang disebut lithotripter untuk menghancurkan batu empedu.
Lithotripter menghasilkan gelombang kejut yang melewati tubuh
seseorang untuk memecahkan batu empedu menjadi potongan kecil.
Prosedur ini jarang digunakan dan dapat digunakan bersama dengan
ursodiol.
Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL) menggunakan
gelombang suara dengan amplitudo tinggi untuk menghancurkan batu pada
kandung empedu. Pasien dengan batu yang soliter merupakan indikasi
terbaik untuk dilaskukan metode ini. Namun pada anak-anak penggunaan
metode ini tidak direkomendasikan, mungkin karena angka kekambuhan
yang tinggi.
d) Penatalaksanaan diet
Pada kasus kolelitiasis jumlah kolesterol dalam empedu ditentukan
oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis
kolesterol dari metabolisme lemak, sehingga klien dianjurkan/dibatasi
dengan makanan cair rendah lemak. Menghindari kolesterol yang tinggi
terutama yang berasal dari lemak hewani. Suplemen bubuk tinggi protein
dan karbohidrat dapat diaduk ke dalam susu skim dan adapun
makanan tambahan seperti: buah yang dimasak, nasi ketela, daging tanpa
lemak, sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi/teh.
3.11. KOMPLIKASI
a) Kolesistisis
Kolesistisis adalah Peradangan kandung empedu, saluran kandung
empedu tersumbat oleh batu empedu, menyebabkan infeksi dan
peradangan kandung empedu.
b) Kolangitis
Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadi
karena infeksi yang menyebar melalui saluran-saluran dari usus kecil
setelah saluran-saluran menjadi terhalang oleh sebuah batu empedu.
c) Koledokolithiasis
Koledokolithiasis dapat didiagnosis dan diobati dengan
endoskopi atau cholangiography perkutan. Ini adalah komplikasi yang
terjadi ketika batu empedu berpindah ke saluran empedu.
Choledocholithiasis disebabkan oleh migrasi kolesterol atau pigmen hitam
batu dari kandung empedu ke dalam saluran empedu. Gejala terkait
dengan tingkat onset dan derajat obstruksi dan potensi kontaminasi bakteri
dari empedu terhambat. Temuan fisik sering tidak hadir jika obstruksi
intermiten; Namun, jika obstruksi terjadi kemudian, akan ada ikterus.
Standar emas untuk diagnosis dan pengobatan batu empedu menghalangi
saluran empedu umum dan / atau saluran utama pankreas ERCP.
d) Hidrops
Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops
kandung empedu. Dalam keadaan ini, tidak ada peradangan akut dan
sindrom yang berkaitan dengannya. Hidrops biasanya disebabkan oleh
obstruksi duktus sistikus sehingga tidak dapat diisi lagi empedu pada
kandung empedu yang normal. Kolesistektomi bersifat kuratif.
e) Pankreatitis Bilier
Batu yang menyebabkan batu empedu pankreatitis bisa lewat dari
saluran tanpa intervensi atau mungkin memerlukan endoskopi atau
pembedahan. Dalam kasus jaringan pankreas yang terinfeksi, atau kondisi
yang disebut nekrosis pankreas (jaringan mati) terjadi, antibiotik dapat
digunakan untuk mengendalikan atau mencegah infeksi.
3.12. PROGNOSIS
Prognosis dari kolelitiasis bergantung pada keberadaan dan tingkat
keparahan komplikasi. Dengan diagnosis dan terapi yang cepat, tingkat
mortalitas dan morbiditas penyakit ini sangat kecil.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi IV.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.479 -
481.
2. Robbins, dkk., 1999. Dasar Patologi Penyakit. Edisi 5. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
3. Tait N, Little J.M. Fortnighly Review: The treatment of gall stones. BMJ
1995;311:99-105.
4. Apstein M.D. Gallstones. In: Lawrence J. Brandt, editor. Clinical practice of
Gastroenterology. Philadelphia: Churchill Livingstone, 1999: 1035-44.
5. Welling TH, Simeone D. M.Gallbladder and Biliary Tract: Anatomy and
Structural Anomalies, in Textbook of Gastroenterology (ed T. Yamada),
Blackwell Publishing Ltd., Oxford, UK. 2008.
6. Avunduk C.Manual of Gastroenterology: Diagnosis and Theraphy 4th
Edition. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins. 2008.
7. Debas HT.Biliary tract in : Pathophysiology and Management.Springger-
Verlaag. 2004; Chapter 7:198-224
8. Welling TH, Simeone D. M. Gallbladder and Biliary Tract : Anatomy and
Structural Anomalies, in Textbook of Gastroenterology (ed T. Yamada),
Blackwell Publishing Ltd., Oxford, UK. 2008.
9. Toouli J, Bhandari M. Anatomy and Phsiology of the Biliary tree and Gallblader
and Bile Duct, in, Diagnosis and Treatment Blackwell Publishing 2006, second
Edition. Chapter I: 3-20.
10. Price, S, Lorraine, M., 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Volume 1. Edisi 6. Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.
11. Schwartz, dkk., 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Penerbit buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
12. Richard, S., 2002. Anatomi klinik. Edisi 3. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.
13. Sjamsuhidajat R, de Jong W., 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
14. Allen J. Cholelithiasis. (diakses 17 Juli 2019). Tersedia dari:
http://www.emedicine. com/.
15. Robbins, dkk., 2007. Buku Ajar Patologi. Volume 2. Edisi 7. Penerbit buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
16. Oswari, E., 2006. Penyakit dan Penanggulangannya. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta.
17. Robbins, dkk., 1999. Dasar Patologi Penyakit. Edisi 5. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
18. Hayes, P, Mackay,T., 1997. Diagnosis dan Terapi. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta.
19. Kim IS, Myung S, Lee SS, Lee SK, Kim MH. Classification and nomenclature
of
gallstones revisited. Yonsei Med J.2003;44:561-70.
20. Crawford JM. The liver and the biliary tract. In: Robbins Basic Pathology 7th
ed.
Philadelphia: Saunders. 2003: 591-633.
21. Sherlock S, Dooley J. Gallstones and inflammatory gallbladder diseases. Dalam:
Diseases of the liver and biliary system. 11th ed. Blackwell Publishing. 2002;
597-623.
22. Doherty GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery 13th
edition. 2010. US : McGraw-Hill Companies, p544-55.
23. Hunter JG. Gallstones Diseases. In : Schwart’s Principles of Surgery 8th
edition.
2007. US : McGraw-Hill Companies.
24. Greenbergen Nj, Isselbacher KJ. Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts,
dari Harrison’s Princi-ples of Internal Medicine, Edisi ke-14, hal.1725-1736,
Editor Fauci dkk. Mc Graw Hill, 1998.
25. Beckingham IJ. ABC of diseases of liver, pancreas and biliary system:
Gallstrone disease. 2001;9: 56-9.
26. Shaffer E.A. The Biliary system. Tersedia dari: http://www. gastroresource.com/
GlTte xtbook/en/chapter I 4/Default.htm.
27. Friedman LS. Lover, biliary tracy and pancreas. Dalam: Current Medical
Diagnosis ad Treatment. 2005:629-78.
28. Vogt DP. Gallbladder disease: an update on diagnosis and treatment. Cleveland
Clinic Journal of Medicine. 2002;69:977-84.
29. A. Mansjoer, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III, Jilid II. Penerbit Med6ia
Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2000. Hal
313-317.