Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PRESENTASI KASUS UJIAN

RHINOSINUSITIS

Oleh
Muhammad Reza Marifatullah 1102016136

Pembimbing
dr. Dian Nurul Al Amini, Sp.THT-KL

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok


Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi
Rumah Sakit Umum Yarsi
September 2022
STATUS PASIEN
KEPANITERAAN THT RS YARSI
FK UNIVERSITAS YARSI

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. S
Usia : 25 Tahun
Jenis kelamin : Laki - laki
Agama : Islam
Suku / Bangsa : Jawa
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : PNS
Alamat : Bekasi

II. ANAMNESA (AUTOANAMNESIS)


 Keluhan utama :
Hidung kiri tersumbat hilang timbul sejak ± 1 Minggu SMRS
 Keluhan Tambahan :
Adanya keluhan nyeri pada pipi, disertai keluarnya cairan berwarna putih kekuningan
hingga kehijauan.
 Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke Poliklinik THT RS Yarsi dengan keluhan hidung tersumbat
yang hilang timbul sejak ± 1 Minggu SMRS. Pasien mengeluhkan adanya nyeri pipi ,
dan pasien merasakan sakit kepala. Pasien mengaku keluhan tersebut disertai
keluarnya cairan berwarna putih kekuningan hingga kehijauan yang kadang cairan
tersebut mengalir dari hidung jatuh ke rongga mulut dan ditelan oleh pasien. Pasien
sempat merasakan demam selama 1 haru. Keluhan hidung tersumbat semakin sering
dirasa jika terpapar udara dingin, dan meminum minuman dingin.
Menurut pasien setiap bangun pagi, pasien sering bersin-bersin dan hidung
terasa berbau. Keluhan tersebut hilang timbul dan sumbatan dihidung berpindah-
pindah antara hidung kiri dan hidung kanan. Pasien mengaku keluhan hidung
tersumbat ini menganggu aktivitas, dan indera penciuman terasa menurun.

2
 Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat alergi makanan dan obat-obatan disangkal. Riwayat maag disangkal.
Riwayat asma disangkal. Riwayat penyakit hipertensi, kencing manis, penggunaan
obat dalam jangka panjang disangkal dan batuk-batuk lama disangkal.
 Riwayat penyakit keluarga :
Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa seperti yang dialami
oleh pasien. Riwayat hipertensi, penyakit kencing manis, dan penggunaan obat dalam
jangka panjang, dan batuk-batuk lama disangkal.
 Riwayat Kebiasaan :
Riwayat kebiasaan merokok disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. STATUS GENERALIS
Keadaan Umum : Sakit Ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital :
- Suhu : Afebris
- Nadi : 82 x/menit
- Respirasi : 20 x/menit
- Tekanan darah : 110/80 mmHg

3
STATUS LOKALIS

1. TELINGA
TELINGA KANAN TELINGA KIRI

Daun telinga : edema (-), hiperemis(-), edema (-), hiperemis(-),


Massa(-) massa(-)
Liang Telinga : serumen(-),hiperemis(-) serumen(-),hiperemis(-)
Gendang Telinga : Mt intak(+),hiperemis(-) Mt intak(+),hiperemis(-)
Cone of light(+) Cone of light(+)
Daerah Retro Aurikuler : edema (-), hiperemis(-), edema (-), hiperemis(-),
Massa(-) Massa(-)

TEST PENALA :
RINNE : Positif Positif
WEBER : Tidak ada lateralisasi tidak ada lateralisasi
SCWABAH : Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
TEST BERBISIK : tidak dilakukan tidak dilakukan
AUDIOGRAM : tidak dilakukan tidak dilakukan

4
2. HIDUNG
2.1. Rhinoskopi Anterior
 Hidung Luar : edema(-/-),hiperemis(-/-),massa(-/-)
 Vestibulum : tenang (+/+), rambut (+/+)
 Lubang Hidung : mukosa hiperemis (-/-)
 Rongga Hidung : lapang / sempit
 Septum : Deviasi (-)
 Konka Inferior : pucat(-/-), hiperemis (+/+)
 Meatus Inferior : sekret (+/+), polip (-/-)
 Pasase Udara : (+/+)

2.2. Rhinoskopi Posterior


 Koana : Dalam batas normal
 Septum Bagian Belakang : Deviasi (-)
 Sekret : (+/+)
 Konka : Inferior hipertrofi (-/+)
 Muara Tuba Eustachius : Dalam batas normal
 Torus Tubarius : Dalam batas normal
 Fossa Rosenmuller : Dalam batas normal
 Adenoid : Dalam batas normal

5
3. FARING
 Arkus faring : hiperemis (-)
 Uvula : berada di tengah
 Dinding Faring : hiperemis (-)
 Tonsil : T1-T1. Kripta melebar (-),
detritus (-)
 Palatum : Tenang
 Post Nasal drip : (+)
 Reflek Muntah : (+)

4. LARING
Laringoskopi Indirek
 Epiglotis : Dalam batas normal
 Plika Ariepiglotika : Dalam batas normal
 Pita Suara Asli : Dalam batas normal
 Pita Suara Palsu : Dalam batas normal
 Aritenoid : Dalam batas normal
 Rima Glotia : Dalam batas normal
 Fossa Piriformis : Dalam batas normal
 Trakhea : Dalam batas normal

5. MAKSILOFASIAL
 Simetris
 Nyeri tekan pada sinus
a. Frontalis (-/-)
b. Maksilaris (+/+)
c. Ethmoidalis (-/-)
d. Sfenoidalis (-/-)

6. LEHER DAN KEPALA

 KGB : Pembesaran (-)


 Massa : (-)
IV. RESUM

6
V. RESUME
Telah diperiksa pasien wanita berumur 25 tahun, seorang laki laki di poliklinik
THT RS Yarsi dengan keluhan hidung tersumbat yang hilang timbul sejak ± 1
Minggu SMRS. Pasien mengeluhkan adanya nyeri pada maksila dan pasien sempat
merasakan demam selama 1 hari, sehingga pasien merasakan sakit kepala. Pasien
mengaku keluhan tersebut disertai keluarnya cairan berwarna putih kekuningan
hingga kehijauan yang kadang cairan tersebut mengalir dari hidung jatuh ke rongga
mulut dan ditelan oleh pasien.
Keluhan hidung tersumbat semakin sering dirasa jika terpapar udara dingin,
dan meminum minuman dingin. Menurut pasien setiap bangun pagi, pasien sering
bersin-bersin dan hidung terasa berbau. Keluhan tersebut hilang timbul dan sumbatan
dihidung berpindah-pindah antara hidung kiri dan hidung kanan. Pasien mengaku
keluhan hidung tersumbat ini menganggu aktivitas dan indera penciuman terasa
menurun..
Pada pemeriksaan tanda-tanda vital didapat keadaan umum tampak sakit
ringan dengan keadaan kompos mentis, suhu afebris, nadi 82 x/menit, respirasi 20
x/menit, dan tekanan darah 110/80 mmHg. Pada pemeriksaan status lokalis rhinoskopi
anterior tampak mukosa hidung kiri hiperemis, rongga hidung kiri sempit, konka
inferior hidung kiri hipertrofi, pada meatus inferior terdapat sekret. Pada rhinoskopi
posterior terdapat sekret, konka inferior hiperemis pada hidung kiri dan kanan. Dan
pada pemeriksaan maksilofasial terdapat nyeri tekan pada sinus maksillaris deksa
sinistra .

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG YANG DIUSULKAN


Laboratorium
 Pemeriksaan darah lengkap dan hitung jenis leukosit
 Tes resistensi
 Pemeriksaan radiologi, foto rontgen posisi Waters, P-A, dan Lateral.

VII. DIAGNOSA KERJA


Rhinosinusitis Bakterial Akut

VIII. DIAGNOSA BANDING

7
Rhinitis vasomotor
Rhinitis medikamentosa
IX. PENATALAKSAAAN
Non mendikamentosa :
Hindari faktor pencetus, makan dan minuman yang dingin
Banyak makan makanan yang mengandung vitamin c, bioflavonoids, dan omega 3
Olahraga yang teratur

Mendikamentosa :
Cefadroxil 2 x 500 mg
Ambroxol 3 x 30 mg
Decongestan 3 x 1 nasal spray
Vitamin C 1 x 500 mg
X. PROGNOSA
Quo ad Vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

XI. ANALISA KASUS

Teori Laporan kasus


Gejala mayor pada sinusitis adalah adanya Pada OS tedapat adanya sakit diwajah,
sakit di wajah, hidung tersumbat, post nasal hidung tersumbat, post nasal drip dan
drip, gangguan penciuman, dan demam gangguan penciuman.
Gejala minor dari sinusitis adalah batuk, Pada OS adanya sakit kepala.
lendir di tenggorokan, nyeri kepala, nyeri
geraham dan bau mulut.

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Sinus paranasal adalah rongga–rongga di dalam tulang kepala yang terletak disekita
rrongga hidung dan mempunyai hubungan dengan melalui muaranya. Inflamasi pada
mukosanya dikenal sebagai sinusitis .Umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga
sering disebut rinorhinosinusitis. Peradangan yang melibatkan beberapa sinus disebut
multisinusitis, sedangkan bila mengenai seluruh sinus disebut pansinusitis.4
Secara klinis rhinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi hidung dan sinus paranasal
yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/
obstruksi/ kongesti atau pilek, nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah, penurunan/ hilangnya
penghidu, dan salah satu dari temuan nasoendoskopi, yaitu polip dan/ atau sekret
mukopurulen dari meatus media, atau edema/ obstruksi mukosa di meatus media, dan/ atau
gambaran komputer tomografi berupa perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan/atau
sinus.5

2.2. Epidemiologi
Insiden rhinosinusitis akut sangat tinggi. Diperkirakan bahwa orang dewasa menderita
2-5 kali pilek per tahun, dan anak-anak mungkin menderita 7-10 kali pilek per tahun. Insiden
yang tepat sulit diukur karena sebagian pasien dengan flu biasa tidak langsung ke dokter.
Berdasarkan studi kasus kontrol pada populasi Belanda menyimpulkan bahwa diperkirakan
900.000 orang terkena infeksi saluran pernapasan akut setiap tahun. Rhinovirus (24%) dan
Influenza (11%) adalah agen yang paling umum. Sekitar 0,5-2% infeksi saluran pernapasan
oleh virus disertai oleh infeksi bakteri.5
Berdasarkan data DEPKES RI tahun 2016 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan
sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringka tutama atau sekitar 102.817
penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran
1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerjasama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM
mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen
THT RSCM Januari-Agustus 2016 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu
tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah rhinosinusitis. Pada tahun 2017 prevalensi
rhinosinusitis kronis dilaporkan sebesar 12,6% dengan perkiraan sebanyak 30 juta penduduk
menderita rinorhinosinusitis kronis. 6

9
Pada kunjungan rawat jalan ke poli Rinologi RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2016,
didapatkan kejadian rhinosinusitis kronis sebesar 34,7% dan terbanyak terjadi pada usia
antara 25-44 tahun (26,2%) diikuti usia antara 45-64 tahun (23,8%) serta lebih sering
ditemukan pada wanita (60,7%) dibandingkan laki-laki (39,3%). Pada hasil survey kesehatan
nasional 2018 di Amerika yang menyatakan 1 dari 7 orang dewasa (13,4%) didiagnosis
rinorhinosinusitis kronis dalam 12 bulan terakhir. Insidensinya lebih tinggi pada wanita
disbanding pria (1,9 kali lipat) dan paling sering menyerang dewasa usia 45-74 tahun.6,7

2.3 Anatomi dan Fisiologi Hidung


2.3.1 Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:
• pangkal hidung (bridge),
• dorsum nasi,
• puncak hidung,
• ala nasi,
• kolumela dan
• lubang hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari:
• tulang hidung (os nasalis),
• prosesus frontalis os maksila dan
• prosesus nasalis os frontal
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu:
• sepasang kartilago nasalis lateralis superior,

10
• sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor),
• beberapa pasang kartilago alar minor dan tepi anterior kartilago septum.
Pada dinding lateral terdapat:1
 4 buah konka
- konka inferior
- konka media
- konka superior
- konka suprema (rudimenter)
 kartilago nasalis lateralis superior
 sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor)
 beberapa pasang kartilago alar minor
 tepi anterior kartilago septum.

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus.
Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior.
 Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis
 Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung.
Terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.
 Meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

Kompleks Ostio-Meatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior.

11
Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM),
terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus,
resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan
ostium sinus maksila.
Gambar 2 : Anatomi kompleks ostio-meatal

2. 4 Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal


2.4.1 Anatomi Sinus Paranasal

12
Gambar 1. Anatomi Sinus Paranasal (tampak samping)11

Gambar 2. Anatomi Sinus Paranasal11

Pembagian sinus paranasal :


a. Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6 – 8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.8
Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan
fasial os maksila yang disebut fossa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan

13
infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung,
dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus
alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding
medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.4,8
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah :
1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas ,
yaitu premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga
gigi taring (C) dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut
tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi
premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya dekat
dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga
sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi di
sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh
darah atau limfe,dan menyebabkan rhinosinusitis, sedangkan
pencabutan gigi ini dapat menciptakan hubungan antara rongga mulut
dan sinus maksilaris (fistula oroantral).4,10
2) Rhinosinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
3) Ostium sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus
etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada
daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan rhinosinusitis.4,9
b. Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat
fetus, berasal dari sel – sel resessus frontal atau dari sel – sel infundibulum etmoid.
Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. 4,9
Sinus frontal biasanya bersekat – sekat dan tepi sinus berlekuk – lekuk. Sinus
frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fossa serebri anterior,
peradangan dari sinus frontal dapat menimbulkan komplikasi yang serius karena
dekat dengan orbita dan rongga kranial (selulitis orbita, epidural atau subdural abses,
meningitis). 10

14
Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resessus frontal.
Resessus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anterior. 4

c. Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-
akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-
sinus lainnya. Pada orang dewasa sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di
bagian posterior. Sinus etmoid berongga – rongga, terdiri dari sel – sel yang
menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid,
yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita. Sel – sel ini
jumlahnya bervariasi antara 4 – 17 sel.4,8
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang
bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus
superior. Sel – sel sinus etmoid anterior biasanya kecil – kecil dan banyak, letaknya
di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan
dinding lateral (lamina basalis) sedangkan sel – sel sinus etmoid posterior biasanya
lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior lamina basalis.4
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut
resessus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal.di daerah etmoid anterior
terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium
sinus maksila. Pembengkakan/ peradangan di ressesus frontal dapat menyebabkan
rhinosinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan
rhinosinusitis maksila. 4.9

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Radang sinus paranasal dapat menyebar
melalui lamina ini melibatkan orbita (komplikasi orbital). Di bagian belakang sinus
etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid. 4,10
d. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Volumenya
bervariasi dari 5 – 7,5 ml. Batas - batasnya adalah , sebelah superior terdapat fosa
serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah
lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a. karotis interna, saraf kranial II-VI,

15
(sangat erat terkait dengan kanal optik), dan di sebelah posteriornya berbatasan
dengan fosa serebri posterior di daerah pons. 4,8,10
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius terdapat
muara-muara sinus maksilla, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior. Di daerah yang
sempit ini terdapat prosessus uncinatus, infundibulum, hiatus semilunaris, recessus
frontalis, bula etmoid dan sel–sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium
sinus maksila. Daerah yang sempit dan rumit ini disebut kompleks osteomeatal
(KOM) yang merupakan faktor utama patogenesa terjadinya rhinosinusitis.4,10

Mukosa hidung dan sinus paranasal terdiri dari epitel thorak berlapis semu bersilia
dan diatasnya terdapat sel-sel goblet yang menghasilkan lendir. Sekresi dari sel-sel goblet dan
kelenjar ini membentuk selimut mukosa. Di atas permukaan mukosa terdapat silia yang di
rongga hidung bergerak secara teratur kearah nasofaring dan dari rongga sinus kearah ostium
dari sinus tersebut. Silia dan selimut mukosa ini berfungsi sebagai proteksi dan melembabkan
udara inspirasi yang disebut sebagai sistem mukosilier. Sinus dari kelompok anterior
dialirkan ke nasofaring di bagian depan muara tuba eustachius sedangkan pada bagian
posterior dialirkan ke nasofaring di bagian posterosuperior tuba eustachius.10

2.4.2 Fisiologi Sinus Paranasal


Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain adalah : 4
1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang
lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa
jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak
mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas, melindungi orbita
dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
3. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.
Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan memberikan
pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak
bermakna.

16
4. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan
ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif.
5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
6. Membantu produksi mukus.
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan
dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut
masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang
paling strategis.
2.5 Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam
rhinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan
anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal
(KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada
sindrom kartagener, dan di luar negri adalah penyakit fibrosis kistik.4
Pada banyak pasien dengan rhinosinusitis, mukosa hidung dan sinus terlalu sensitif
terhadap berbagai faktor. Ini merupakan masalah bagi pasien yang memeliki
kecenderungan genetik. Faktor-faktor ini termasuk pencemaran lingkungan dan alergi,
perubahan suhu, dan mungkin stres dan makanan tertentu.11

17
Gambar 3. Faktor pencemaran lingkungan11

2.6 Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya


klirens mukosiliar didalam KOM. Mukus juga mengandung substansi antimikroba
dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman
yang masuk bersama udara pernafasan. Organ-organ yang membentuk KOM letaknya
berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berdekatan akan saling bertemu
sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan
negative di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula
serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinositis non-bakterial dan biasanya sembuh
dalam beberapa hari tanpa pengobatan.4

Gambar 4. Kompleks Ostio Meatal


Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media yang
baik untuk tumbuhnya dan multipikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut
sebagai rhinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik. Jika terapi tidak
berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan
bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus
yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi,
polipoid atau pembengkakan polip dan kista.4

18
Gambar 5. Aliran Mukosiliar Sinus Paranasal

2.6 Klasifikasi Rhinosinusitis


Berdasarkan lama perjalanan penyakit, rhinorhinosinusitis dibagi atas: 4 ,5
1. Rhinosinusitis akut adalah proses infeksi di dalam sinus yang berlangsung selama 4
minggu. Macam-macam rhinosinusitis akut: rhinosinusitis maksila akut, rhinosinusitis
etmoidal akut, sinus frontal akut, dan sinus sphenoid akut.
2. Rhinosinusitis subakut adalah proses infeksi di dalam sinus yang berlansung selama 4
minggu sampai 3 bulan.
3. Rhinosinusitis kronis adalah proses infeksi di dalam sinus yang berlansung
selama lebih dari 3 bulan bahkan dapat juga berlanjut sampai bertahun-tahun.

Sedangkan berdasarkan penyebabnya rhinosinusitis dibagi atas:4


1. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), segala sesuatu yang
menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan rhinosinusitis.
2. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering menyebabkan
rhinosinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar).

2.8 Manifestasi Klinik


a. Rhinosinusitis maksila akut
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan
daerah yang terkena. Pada rhinosinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak mata
dan kadang menyebar ke alveolus hingga terasa digigi. Nyeri alih dirasakan di dahi
dan depan telinga. Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan kepala

19
mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi
khas yang tumpul dan menusuk. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan
terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non produktif seringkali ada. Gejalanya
demam, pusing, ingus kental di hidung, hidung tersumbat, nyeri pada pipi terutama
sore hari, ingus mengalir ke nasofaring, kental kadang-kadang berbau dan bercampur
darah. 4 ,5,12, 13

b. Rhinosinusitis etmoid akut


Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius,
kadang-kadang nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila mata digerakkan.
Nyeri alih di pelipis dan sumbatan hidung. Ingus kentaldi hidung dan nasofaring,
nyeri di antara dua mata, dan pusing.5,12, 13

c. Rhinosinusitis frontal akut


Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri berlokasi diatas alis
mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian
perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam. Pasien biasanya menyatakan bahwa
dahi terasa nyeri bila disentuh dan mungkin terdapat pembengkakan supra orbita.
Demam,sakit kepala yang hebat terkadang sering pada siang hari, tetapi berkurang
setelah sore hari, ingus kental dan penciuman berkurang. 5,12, 13

d. Rhinosinusitis sphenoid akut


Pada rhinosinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital,di
belakang bola mata dan di terkadang sampai ke daerah daerah mastoid. Namun
penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari panrhinosinusitis, sehingga gejalanya
sering menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya. Gejalanya nyeri di bola
mata,sakit kepala, ingus di nasofarin. 5,12, 13

e. Rhinosinusitis Kronis
Secara keseluruhan, gejala rhinosinusitis kronis dapat dibagi menjadi :
 Gejala lokal
Gejala lokal yang sering ditemukan adalah hidung tersumbat, hidung berair,
nyeri / rasa penuh pada wajah, nyeri kepala, gangguan penciuman hingga
anosmia. Selain itu juga akan ditemukan pilek yang sering kambuh, ingus

20
kental dan kadang-kadang berbau, serta sering terdapat ingus di tenggorok
(Posterior Nasal Drip). 4 , 5,12, 13
 Gejala regional
Gejala regional meliputi nyeri tenggorok, disfonia, batuk, halitosis,
bronkospasm, rasa penuh / nyeri pada telinga dan nyeri gigi. 4 ,5
 Gejala sistemik
Gejala sistemik berupa kelelahan, demam, bahkan anoreksia4 ,5

2.9 Diagnosis
Diagnosis rhinosinusitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis, American Academy of
Otolaryngology (AAO) memberikan suatu kriteria diagnosis untuk rhinosinusitis yaitu
dengan menegakkan kriteria mayor dan minor.
a. Kriteria mayor meliputi nyeri wajah, rasa penuh pada wajah, hidung
tersumbat, hidung berair, sekret purulen, hiposmia atau anosmia dan demam
(pada kondisi akut).
b. Kriteria minor meliputi nyeri kepala, demam, halitosis, kelelahan, nyeri gigi,
batuk, nyeri atau rasa penuh pada telinga.
Diagnosis ditegakkan bila terdapat dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan dua
kriteria minor selama sekurang-kurangnya 12 minggu. Kecurigaan rhinosinusitis
didapatkan bila ditemukan satu kriteria mayor atau dua kriteria minor
Sedangkan berdasarkan The European Position Paper on Rhinorhinosinusitis
and Nasal Polyps (EPOS) 2020 mendefinisikan rinorhinosinusitis dengan atau tanpa
polip dari munculnya dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa :5
 Hidung tersumbat / obstruksi / kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/
posterior)
 Nyeri tekan pada wajah
 Penurunan / hilangnya fungsi penciuman yang dirasakan lebih dari 12 minggu.
Selain itu, pada pemeriksaan THT termasuk nasoendoskopi ditemukan salah satu
dari :
 Polip, dan atau
 Sekret mukopurulen dari meatus medius, dan/ atau
 Edema/ obstruksi mukosa di meatus medius.

21
Sebagai tambahan, pada pemeriksaan radiologi ditemukan gambaran perubahan
mukosa di kompleks ostiomeatal dan/ atau sinus
Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan
nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosa yang tepat dan dini. Tanda khas adalah
adanya pus di meatus media (pada rhinosinusitis maksila, etmoid anterior, dan frontal)
atau di meatus superior (pada rhinosinusitis etmoid posterior dan sfenoid). Pada
rhinosinusitis akut, tampak mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada
pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus media.4
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto polos
posisi Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus – sinus
besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat berupa perselubungan,
batas udara dan cairan ( air fluid level ) atau penebalan mukosa.4
CT Scan sinus merupakan gold standar diagnosis rhinosinusitis karena mampu
menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara
keseluruhan dan perluasannya. Namun karena pemeriksaannya mahal, CT ssan hanya
dikerjakan sebagai penunjang diagnosis rhinosinusitis kronik yang tidak membaik dengan
pengobatan atau pra operasi saat melakukan operasi sinus. 4

Gambar 6. CT Scan Sinus Paranasal Normal pada Penampang Coronal dan


Sagital14

22
Gambar 7. CT Scan Sinus Paranasal Rhinosinusitis Maksila dan Edmoid Akut
pada Penampang Coronal dan Axial14

Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret


dari meatus media atau superior, untuk mendapatkan antibiotik yang tepat guna. Lebih
baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila.4
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila
melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila yang
sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi.4

2.10 Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada rhinosinusitis diantaranya adalah mempercepat proses
penyembuhan, mencegah komplikasi, dan mencegah perjalanan penyakit menjadi kronik.
Prinsip pengobatan adalah membuka sumbatan KOM sehingga drainase sinus-sinus pulih
secara alami.4 Ventilasi dan drainase sinus paranasal dapat diperbaiki dengan pemberian
tetes hidung dekongestan, nasal spray, atau memasukan kapas basah dengan tetes hidung
ke meatus media. 15
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada rhinosinusitis akut
bakterialis, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka
sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti
amoxisilin. Jika diperkirakan kuman sudah resisten atau memproduksi beta-laktamase,
maka dapat diberikan amoxisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada
rhinosinusitis antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinis sudah hilang.4

23
Antibiotik merupakan kunci dalam penatalaksanaan rhinosinusitis supuratif akut.
Amoksisilin merupakan pilihan tepat untuk kuman gram positif dan negatif. Vankomisin
untuk kuman S. pneumoniae yang resisten terhadap amoksisilin. Pilihan terapi lini pertama
yang lain adalah kombinasi eritromicin dan dulfonamide atau cephalexin dan
sulfonamide.16
Antibiotik parenteral diberikan pada rhinosinusitis yang telah mengalami
komplikasi seperti komplikasi orbita dan komplikasi intrakranial, karena dapat menembus
sawar darah otak. Ceftriakson merupakan pilihan yang baik karena selain dapat membasmi
semua bakteri terkait penyebab rhinosinusitis, kemampuan menembus sawar darah
otaknya juga baik.16
Pada rhinosinusitis yang disebabkan oleh bakteri anaerob dapat digunakan
metronidazole atau klindamisin. Klindamisin dapat menembus cairan serebrospinal.
Antihistamin hanya diberikan pada rhinosinusitis dengan predisposisi alergi. Analgetik
dapat diberikan. Kompres hangat dapat juga dilakukan untuk mengurangi nyeri .
Pada dasarnya pemberian medikamentosa pada Rinosinusitis meliputi :
- Nasal irigasi/cuci hidung menggunakan larutan NaCl fisiologis (setara)
- Pemberian antibiotika sesuai indikasi
- Kortikosteroid intranasal
- Terapi suportif /simptomatik
- Terapi untuk faktor predisposisi Rinosinusitis (pada rinosinusitis kronik
terutama).
Rinosinusitis Akut
• Rinosinusitis Akut Viral (Acute Viral Rhinosinusitis)
Terapi tambahan/ suportif:
- Dekongestan
- anti histamin
- analgetik & antipiretik
- Kortikosteroid topikal
- cuci hidung larutan garam fisiologis
- mukolitik
- herbal
• Rinosinusitis Akut Bakterialis (ABRS = Acute Bacterial Rhinosinusitis)
Antibiotik :

24
- Antibiotik Lini I (amoksisilin + klavulanat)/eritromisin) observasi selama 3 –
5 hari. Bila perbaikan kurang, berikan :
- Antibiotik Lini II golongan : sefalosporin, kuinolon, makrolid
Terapi suportif :
• cuci hidung larutan garam fisiologis
• anti histamin,
• analgetik & antipiretik
• kortikosteroid topikal
• dekongestan
• mukolitik
• herbal
Rinosinusitis Kronis
• Streroid
Kortikosteroid merupakan terapi medikamentosa lini pertama pada rinosinusitis
kronis
- Kortikosteroid topical
- Kortikosteroid sistemik
• Antibiotik
Digunakan untuk mengurangi jumlah bakteri dan mengobati eksaserbasi akut
Berdasarkan hasil kultur dan resistensi.
• Cuci hidung larutan garam fisiologis
Secara mekanik membersihkan mukus, krusta, debris dan alergen, memperbaiki
klirens mukosilier dan melindungi mukosa sinonasal.
• Antihistamin
Diberikan hanya pada pasien dengan rinitis alergi
• Terapi suportif dan terapi predisposisi Rinosinusitis kronik

Prosedur pembedahan
Prosedur pembedahan dilakukan dengan tujuan membuat drainase sinus yang
terkena menjadi terbuka dan berfungsi normal kembali, dengan seminimal mungkin
merusak mukosa yang normal. Pembedahan dilakukan bila :

- respon pengobatan dianggap tidak berhasil,


- ada komplikasi mengancam,

25
- terdapat nyeri hebat
Prosedur pembedahan yang dapat dilakukan :
- Antrostomi dan irigasi sinus maksilaris (disertai sinuskopi)
- Prosedur Caldwell Luc (untuk mencapai antrum maksila)
- Bedah Sinus Endoskopi

Onset tiba-tiba dari 2 atau lebih gejala, salah sa Keadaan yang harus segera di rujuk/ dirawat
tunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ Edema periorbita
kongesti atau pilek; sekret hidung anterior/ Pendorongan letak bola mata
posterior; ± nyeri/ rasa tertekan di wajah; Penglihatan ganda
Penghidu terganggu/ hilang Oftalmoplegi
Pemeriksaan: Rinoskopi Anterior Penurunan visus
Foto Polos SPN/ Tomografi Komputer tidak Nyeri frontal unilateral atau bilateral
direkomendasikan Bengkak daerah frontal
Tanda meningitis atau tanda fokal neurologis

Gejala kurang dari 5 Gejalamenetapataum


hari atau membaik emburuk setelah 5
setelahnya hari

Common cold Sedang Berat

Pengobatan Steroid topikal Antibiotik +


simtomatik steroid topikal

Tidak ada Tidak ada


perbaikan setelah Perbaikan dalam perbaikan dalam
14 hari 48 jam 48 jam

Rujuk ke dokter Teruskan terapi Rujuk ke dokter


spesialis untuk 7-14 hari spesialis

Gambar 8. Skema penatalaksanaan rinorhinosinusitis untuk pelayanan kesehatan primer


berdasarkan European Position Paper on Rhinorhinosinusitisnand Nasal Polyps 20075

2 atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung Pikirkan diagnosis lain :
tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek; sekret
hidung anterior/ posterior; ± nyeri/ rasa tertekan di
Gejala unilateral
wajah; Perdarahan
Penghidu terganggu/ hilang Krusta
Pemeriksaan: Rinoskopi Anterior
Foto Polos SPN/ Tomografi Komputer tidak
Gangguan penciuman
direkomendasikan Gejala Orbita
Edema Periorbita
Pendorongan letak bola mata
Penglihatan ganda
Oftalmoplegi
Nyeri kepala bagian frontal yang berat
Tersedia Endoskopi
Bengkak daerah frontal 26
Tanda meningitis atau tanda fokal
neurologis fokal
Tidak ada polip Endoskopi tidak Investigasi dan
tersedia intervensi
secepatnya

Pemeriksaan Rinoskopi Anterior


Ikuti skema polip Ikuti skema Foto Polos SPN/ Tomografi
hidung Dokter Rinorhinosinusitis Komputer tidak
Spesialis THT kronik Dokter Spesialis
direkomendasikan
THT

Rujuk Dokter Spesialis


THT jika Operasi
Dipertimbangkan Steroid topikal
Cuci hidung
Antihistamin jika alergi

Reevaluasi setelah 4
minggu

Perbaikan Tidak ada perbaikan

Lanjutkan terapi Rujuk spesialis THT

Pilihan terapi konservatif mencakup tetes hidung dekongestan (tidak lebih dari 1
minggu), terapi panas (electric light cabinet, microwaves, infrared), dan antibiotic spectrum
luas (misalnya, amoxicillin) untuk rhinosinusitis eksaserbasi akut dengan demam dan
malaise. Mukolitik dapat diberikan sebagai terapi suportif. Pada rhinosinusitis dengan
etiologi allergi dapat diberikan anti allergi. Semua terapi konservatif hanya mengatasi
symptom dan tidak dapat mengeliminasi penyebab rhinosinusitis kronis. Terapi defenitif
adalah bedah sinus.10
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk
rhinosinusitis kronik yang membutuhkan operasi. Tindakan ini hamper menggantikan semua
jenis tindakan bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan

27
tindakannya lebih ringan dan tidak radikal. Indikasinya berupa: rhinosinusitis kronik yang
tidak membaik setelah terapi adekuat; rhinosinusitis kronis disertai kista atau kelainan yang
irreversible; polip ekstensif, adanya komplikasi rhinosinusitis.4

2.10. Komplikasi Rhinosinusitis


Komplikasi rhinorhinosinusitis di klasifikasikan menjadi komplikasi orbital, osseus
(tulang) dan endokranial, walaupun jarang.4,5
2.10.1 Komplikasi orbital
Komplikasi rhinosinusitis yang melibatkan mata sering terjadi, terutama pada
etmoiditis, sedangkan infeksi sphenoid jarang. Perluasan infeksi secara langsung dan sering
melalui lamina papirasea atau melalui vena.5,10
Menurut Klasifikasi Chandler komplikasi orbital dapat berkembang melalui langkah
berikut.4,5
 Selulitisperiorbital (preseptal edema),
 Selulitis orbital,
 Absessubperiosteal,
 Abses orbital atauflegmon, dan
 cavernous sinus thrombosis
Komplikasi orbita khususnya pada anak, sering muncul tanpa nyeri. Manifestasi
orbita seperti bengkak, eksophtalmus, dan gangguan pergerakan (ekstraokuler) mata. Selulitis
peri orbital atau orbital bisa terjadi langsung atau perluasan infeksi sinus melalui vascular.
Manifestasi awal berupa udem dan eritem pada medial kelopak mata. Jika perluasan infeksi
dari sinus maxilla dan sinus frontal maka udem/pembengkakan terjadi pada bawah atau atas
kelopak mata.5

2.10.1.1 Periorbital cellulitis


Sellulitis periorbital (inflamasi pada kelopak mata dan konjungtiva) mengenai
jaringan anterior sampai septum orbital dan terlihat pada CT Scan sebagai “softtissue
swelling”. Biasanya terjadi pada komplikasi rhinorhinosinusitis pada anak dan manifestasi
berupa nyeri orbital, blepharal udem, dan demam tinggi. Sellulitis periorbital biasanya
berespon terhadap antibiotik oral sesuai organisme sinus, tetapi kalau tidak diterapi adekuat,
dapat meluasmengenai septum orbital.5
2.10.1.2 Orbital cellulitis
Karena perluasan inflamasi ke septum orbital, terjadi proptosis bersamaan dengan
terbatasnya gerakan okular, ini merupakan indikasi sellulitis orbital. Tanda selanjutnya adalah

28
udem konjungtiva (chemosis), “protruding eyeball” (mata menonjol), nyeri ocular dan
akhirnya melunak dan terjadi penurunan gerakan otot ekstraokular. Komplikasi ini
membutuhkan terapi adekuat dengan antibiotik intravena.5,10
Kebanyakan anak dengan rhinorhinosinusitis dan proptosis, ophthalmoplegia, atau
penurunan ketajaman penglihatan mesti di CT Scan sinus dengan detail orbital untuk
membedakan antara abses orbital dan periorbital (subperiosteal). Kedua kondisi tersebut
menyebabkan proptosis dan terbatasnya pergerakan okular. Orbital selulitis adalah keadaan
darurat yang mengancam nyawa yang membutuhkan dekompresi bedah segera. Apabila
berdasarkan CT Scan didapatkan abses atau terjadi progresifitas gejala orbital setelah
pemberian inisial antibiotik IV merupakan indikasi untuk mengeksplorasi orbital dan
drainase. Pengulangan pemeriksaan ketajaman penglihatan (visual acuity) harus dilakukan
dan terapi antibiotic IV dikonversi menjadi oral apabila pasien tidak demam dalam 48 jam
serta tanda ophthalmologic membaik.5,10

2.10.1.3 Abses Subperiosteal atau orbital


Proses inflamasi menembus penghalang antara tulang sinus paranasal dan orbita,
memisahkan periosteum orbital dari lamina papyracea dan meningkatkan tekanan di dalam
orbita.7 Gambaran klinis dari abses subperiosteal adalah udem, eritem, chemosis dan
proptosis kelopak mata dengan pembatasan motilitas ocular dan sebagai konsekuensi dari
paralisis otot ekstraokuler, terjadi ophthalmoplegia dan ketajaman penglihatan berkurang.5,10

2.10.2 Trombosis sinus cavernosus


Ketika pembuluh darah di sekitar sinus paranasal terkena, penyebaran lebih lanjut
dapat menyebabkan thrombophebitis sinus kavernosa4,12 yang menyebabkan sepsis dan
keterlibatan saraf kranial. Komplikasi tersebut diperkirakan mencapai 9% dari komplikasi
intrakranial dan merupakan komplikasi yang jarang dan biasanya komplikasi dari
rhinosinusitis etmoidalis atau sphenoidal. Gejala utama adalah “bilateral lid drop” (ptosis),
exophthalmos, neuralgia syaraf oftalmik, sakit kepala retro-okular dengan nyeri yang
mendalam di belakang orbita, ophthalmoplegia total, dan papilloedema, tanda-tanda iritasi
meningeal berhubungan dengan demam dan pengaruh kelemahan.5,10

2.10.3 Komplikasi intrakranial (endokranial)


Termasuk abses epidural, subdural, abses otak, meningitis (tersering), cerebritis, dan
thrombosis sinus cavernosa.4,12 Gejala klinis semua komplikasi ini tidak spesifik, demam
tinggi, migrain frontal atau retro-orbital, tanda umum iritasi meningeal dan berbagai derajat

29
perubahan status mental. Sedangkan abses intrakranial sering didahului dengan tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial, iritasi / rangsangan meningeal dan defisit neurologis fokal.
Meskipun abses intrakranial relatifa simtomatik, afektif halus dan perubahan perilaku sering
terjadi yang menunjukkan perubahan neurologis perubahan fungsi kesadaran, ketidak
stabilan cara berjalan, dan sakit kepala berat dan progresif.5
Komplikasi Endokranial yang paling sering dikaitkan dengan ethmoidal atau frontal
rinorhinosinusitis. Infeksi dapat berlanjut dari yang rongga paranasal ke struktur endocranial
dengan dua cara berbeda : patogen, mulai dari sinus frontal yang paling umum atau sinus
ethmoid, dapat melewati diploic vena untuk mencapai otak, cara lain, patogen dapat
mencapai struktur intrakranial dengan mengikis tulang sinus.5

2.10.4. Komplikasi Tulang


Infeksi sinus juga dapat meluas ke tulang menjadi osteomielitis dan akhirnya
melibatkan otak dan sistem saraf. Meskipun penyebaran intrakranial yang paling sering
adalah karena rhinosinusitis frontal, infeksi sinus lainnya juga dapat menyebabkan
komplikasi tersebut.7,12 Komplikasi yang paling umum adalah osteomielitis dari tulang
maksila (biasanya pada masa bayi) atau tulang frontal.4,5

Gambar 9. Osteomielitis tulang frontal

2.11. Prognosis

30
Prognosis rhinosinusitis akut sangat baik, dengan sekitar 70% pasien dapat sembuh
tanpa pengobatan. Antibiotik oral dapat mengurangi gejala rhinosinusitis. Rhinosinusitis
kronik memiliki perjalanan penyakit yang bervariasi. Prognosisnya baik, bila penyebab
rhinosinusitis adalah anatomis dan ditatalaksana dengan tindakan pembedahan. Lebih dari
90% pasien mengalami kemajuan dengan intervensi bedah. Namun, pasien ini memiliki
kemungkinan untuk relaps, sehingga dibutuhkan regimen untuk mencegah kekambuhan. Pada
pasien dengan rhinosinusitis akut bakterialis dengan perluasan ke intrakranial walaupun
diterapi antibiotik, insiden morbiditas dan mortalitasnya masih tinggi, antara 5%-10%.4,5

Daftar Pustaka

1. Lund. Chapter 24: Acute and Chronic Nasal Disorders. Dalam: Snow, editor.
Ballenger’s Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. London, BC
Decker Inc. 2003.
2. Salamone, Shah, et al. Chapter 14: Acute and Chronic Rhinosinusitis. Dalam:
Lalwani, editor. Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology – Head and
Neck Surgery, Ed 2. USA, The McGraw-Hill Companies, Inc. 2007.
3. Busquets JM, Hwang PH. Chapter 29: Nonpolypoid Rhinorhinosinusitis:
Classification, Diagnosis, and Treatment. Dalam: Baily BJ, Johnson JT, Newlands
SD, editor. Head and Neck Surgery–Otolaryngology, Ed 4. Philadelphia,
Lippincott Williams & Wilkins. 2006.
4. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Rhinosinusitis. Dalam Soepardi EA, et al,
editor .Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepaladan Leher,
Ed 6. Jakarta, Balai Penerbit FK UI.2007.hal 150-3.

31
5. Fokkens WJ, Valerie JL, Joachim M, Claus B, Isam A, Fuad B, et al. European
Position Paper On Rhinorhinosinusitis And Nasal Polyps 2007. Rhinology 2007.
6. Budiman BJ, Rosalinda R. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional pada
Rinorhinosinusitis Kronis. Diakses dari: http://tht.fk.unand.ac.id/makalah/83-
bedah-sinus-endoskopi-fungsional-revisi-pada-rinorhinosinusitis-kronis.html. pada
tanggal 10 September 2015.
7. Chow AW, Benninger MS, Brook I, Brozek JL, Goldstein EJC, Hicks LA, et al.
IDSA Clinical Practice Guideline for Acute Bacterial Rhinorhinosinusitis in
Children and Adults. Clinical Infectious Diseases 2012.
8. Lund VJ. Anatomy of The Nose and ParanasalSinuses, In : Kerr AG,ed. Scott
Brown’s Otolaryngology Rhinology.6th ed, Butterworth, London : 1997.
9. Ballenger JJ. Aplikasi Klinis Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal.
Dalam :Penyakit Telinga Hidung Telinga Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-
13.Jakarta : BinarupaAksara, 1994: :1-25.

10. Grevers G. Chapter 1: Anatomy, Physiology, and Immunology of Nose, Paranasal


Sinuses, and Face. Dalam: Probst R, Grevers G, et al, editor. Basic
Otorhinolaryngology: A Step-By-Step Learning Guide. Germany :Appl, Wemding;
2006. 4-7.
11. Becker DG. Rhinosinusitis. Jurnal of Long-Term Effects of Medical Implants
2003 ; 13 (3) ; 175-194.
12. Budiman BJ, Mulyanis. Rinorhinosinusitis Akut pada Anak dengan Komplikasi
Abses Periorbita. Diakses dari: http://tht.fk.unand.ac.id/makalah/89-
rinorhinosinusitis-akut-pada-anak-dengan-komplikasi-abses-periorbita.html. pada
tanggal 10 September 2015
13. Budiman BJ, Asyari A. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rhinorhinosinusitis
dengan Polip Nasi. Diakses dari: http://tht.fk.unand.ac.id/makalah/66-diagnosis-
dan penatalaksanaan-rhinorhinosinusitis-dengan-polip-nasi.html. pada tanggal 10
September 2015.
14. Hoang JK, James DE, Chistopher LT, Christine MG. Multiplanar Sinus CT : A
Systematic Approach to Imaging Before Functional Endoscopic Sinus Surgery.
ARJ 2010;194:527-36.

32
15. Budiman BJ, Rosalinda R. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Revisipada
Rinorhinosinusitis Kronis. Diakses dari: http://tht.fk.unand.ac.id/makalah/83-
bedah-sinus-endoskopi-fungsional-revisi-pada-rinorhinosinusitis-kronis.html.pada
tanggal 10 September 2015.
16. Bailey BJ. Rhinorhinosinusitis : Current Concepts and Management. Dalam:
Bailey BJ. Head and Neck Surgery Otolaryngology. Philadelphia, Lippincott
Williams & Wilkins, 2001.

33

Anda mungkin juga menyukai