RHINOSINUSITIS
Oleh
Muhammad Reza Marifatullah 1102016136
Pembimbing
dr. Dian Nurul Al Amini, Sp.THT-KL
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Usia : 25 Tahun
Jenis kelamin : Laki - laki
Agama : Islam
Suku / Bangsa : Jawa
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : PNS
Alamat : Bekasi
2
Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat alergi makanan dan obat-obatan disangkal. Riwayat maag disangkal.
Riwayat asma disangkal. Riwayat penyakit hipertensi, kencing manis, penggunaan
obat dalam jangka panjang disangkal dan batuk-batuk lama disangkal.
Riwayat penyakit keluarga :
Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa seperti yang dialami
oleh pasien. Riwayat hipertensi, penyakit kencing manis, dan penggunaan obat dalam
jangka panjang, dan batuk-batuk lama disangkal.
Riwayat Kebiasaan :
Riwayat kebiasaan merokok disangkal
3
STATUS LOKALIS
1. TELINGA
TELINGA KANAN TELINGA KIRI
TEST PENALA :
RINNE : Positif Positif
WEBER : Tidak ada lateralisasi tidak ada lateralisasi
SCWABAH : Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
TEST BERBISIK : tidak dilakukan tidak dilakukan
AUDIOGRAM : tidak dilakukan tidak dilakukan
4
2. HIDUNG
2.1. Rhinoskopi Anterior
Hidung Luar : edema(-/-),hiperemis(-/-),massa(-/-)
Vestibulum : tenang (+/+), rambut (+/+)
Lubang Hidung : mukosa hiperemis (-/-)
Rongga Hidung : lapang / sempit
Septum : Deviasi (-)
Konka Inferior : pucat(-/-), hiperemis (+/+)
Meatus Inferior : sekret (+/+), polip (-/-)
Pasase Udara : (+/+)
5
3. FARING
Arkus faring : hiperemis (-)
Uvula : berada di tengah
Dinding Faring : hiperemis (-)
Tonsil : T1-T1. Kripta melebar (-),
detritus (-)
Palatum : Tenang
Post Nasal drip : (+)
Reflek Muntah : (+)
4. LARING
Laringoskopi Indirek
Epiglotis : Dalam batas normal
Plika Ariepiglotika : Dalam batas normal
Pita Suara Asli : Dalam batas normal
Pita Suara Palsu : Dalam batas normal
Aritenoid : Dalam batas normal
Rima Glotia : Dalam batas normal
Fossa Piriformis : Dalam batas normal
Trakhea : Dalam batas normal
5. MAKSILOFASIAL
Simetris
Nyeri tekan pada sinus
a. Frontalis (-/-)
b. Maksilaris (+/+)
c. Ethmoidalis (-/-)
d. Sfenoidalis (-/-)
6
V. RESUME
Telah diperiksa pasien wanita berumur 25 tahun, seorang laki laki di poliklinik
THT RS Yarsi dengan keluhan hidung tersumbat yang hilang timbul sejak ± 1
Minggu SMRS. Pasien mengeluhkan adanya nyeri pada maksila dan pasien sempat
merasakan demam selama 1 hari, sehingga pasien merasakan sakit kepala. Pasien
mengaku keluhan tersebut disertai keluarnya cairan berwarna putih kekuningan
hingga kehijauan yang kadang cairan tersebut mengalir dari hidung jatuh ke rongga
mulut dan ditelan oleh pasien.
Keluhan hidung tersumbat semakin sering dirasa jika terpapar udara dingin,
dan meminum minuman dingin. Menurut pasien setiap bangun pagi, pasien sering
bersin-bersin dan hidung terasa berbau. Keluhan tersebut hilang timbul dan sumbatan
dihidung berpindah-pindah antara hidung kiri dan hidung kanan. Pasien mengaku
keluhan hidung tersumbat ini menganggu aktivitas dan indera penciuman terasa
menurun..
Pada pemeriksaan tanda-tanda vital didapat keadaan umum tampak sakit
ringan dengan keadaan kompos mentis, suhu afebris, nadi 82 x/menit, respirasi 20
x/menit, dan tekanan darah 110/80 mmHg. Pada pemeriksaan status lokalis rhinoskopi
anterior tampak mukosa hidung kiri hiperemis, rongga hidung kiri sempit, konka
inferior hidung kiri hipertrofi, pada meatus inferior terdapat sekret. Pada rhinoskopi
posterior terdapat sekret, konka inferior hiperemis pada hidung kiri dan kanan. Dan
pada pemeriksaan maksilofasial terdapat nyeri tekan pada sinus maksillaris deksa
sinistra .
7
Rhinitis vasomotor
Rhinitis medikamentosa
IX. PENATALAKSAAAN
Non mendikamentosa :
Hindari faktor pencetus, makan dan minuman yang dingin
Banyak makan makanan yang mengandung vitamin c, bioflavonoids, dan omega 3
Olahraga yang teratur
Mendikamentosa :
Cefadroxil 2 x 500 mg
Ambroxol 3 x 30 mg
Decongestan 3 x 1 nasal spray
Vitamin C 1 x 500 mg
X. PROGNOSA
Quo ad Vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Sinus paranasal adalah rongga–rongga di dalam tulang kepala yang terletak disekita
rrongga hidung dan mempunyai hubungan dengan melalui muaranya. Inflamasi pada
mukosanya dikenal sebagai sinusitis .Umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga
sering disebut rinorhinosinusitis. Peradangan yang melibatkan beberapa sinus disebut
multisinusitis, sedangkan bila mengenai seluruh sinus disebut pansinusitis.4
Secara klinis rhinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi hidung dan sinus paranasal
yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/
obstruksi/ kongesti atau pilek, nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah, penurunan/ hilangnya
penghidu, dan salah satu dari temuan nasoendoskopi, yaitu polip dan/ atau sekret
mukopurulen dari meatus media, atau edema/ obstruksi mukosa di meatus media, dan/ atau
gambaran komputer tomografi berupa perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan/atau
sinus.5
2.2. Epidemiologi
Insiden rhinosinusitis akut sangat tinggi. Diperkirakan bahwa orang dewasa menderita
2-5 kali pilek per tahun, dan anak-anak mungkin menderita 7-10 kali pilek per tahun. Insiden
yang tepat sulit diukur karena sebagian pasien dengan flu biasa tidak langsung ke dokter.
Berdasarkan studi kasus kontrol pada populasi Belanda menyimpulkan bahwa diperkirakan
900.000 orang terkena infeksi saluran pernapasan akut setiap tahun. Rhinovirus (24%) dan
Influenza (11%) adalah agen yang paling umum. Sekitar 0,5-2% infeksi saluran pernapasan
oleh virus disertai oleh infeksi bakteri.5
Berdasarkan data DEPKES RI tahun 2016 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan
sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringka tutama atau sekitar 102.817
penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran
1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerjasama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM
mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen
THT RSCM Januari-Agustus 2016 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu
tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah rhinosinusitis. Pada tahun 2017 prevalensi
rhinosinusitis kronis dilaporkan sebesar 12,6% dengan perkiraan sebanyak 30 juta penduduk
menderita rinorhinosinusitis kronis. 6
9
Pada kunjungan rawat jalan ke poli Rinologi RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2016,
didapatkan kejadian rhinosinusitis kronis sebesar 34,7% dan terbanyak terjadi pada usia
antara 25-44 tahun (26,2%) diikuti usia antara 45-64 tahun (23,8%) serta lebih sering
ditemukan pada wanita (60,7%) dibandingkan laki-laki (39,3%). Pada hasil survey kesehatan
nasional 2018 di Amerika yang menyatakan 1 dari 7 orang dewasa (13,4%) didiagnosis
rinorhinosinusitis kronis dalam 12 bulan terakhir. Insidensinya lebih tinggi pada wanita
disbanding pria (1,9 kali lipat) dan paling sering menyerang dewasa usia 45-74 tahun.6,7
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari:
• tulang hidung (os nasalis),
• prosesus frontalis os maksila dan
• prosesus nasalis os frontal
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu:
• sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
10
• sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor),
• beberapa pasang kartilago alar minor dan tepi anterior kartilago septum.
Pada dinding lateral terdapat:1
4 buah konka
- konka inferior
- konka media
- konka superior
- konka suprema (rudimenter)
kartilago nasalis lateralis superior
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor)
beberapa pasang kartilago alar minor
tepi anterior kartilago septum.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus.
Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior.
Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung.
Terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.
Meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Kompleks Ostio-Meatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior.
11
Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM),
terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus,
resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan
ostium sinus maksila.
Gambar 2 : Anatomi kompleks ostio-meatal
12
Gambar 1. Anatomi Sinus Paranasal (tampak samping)11
13
infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung,
dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus
alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding
medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.4,8
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah :
1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas ,
yaitu premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga
gigi taring (C) dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut
tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi
premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya dekat
dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga
sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi di
sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh
darah atau limfe,dan menyebabkan rhinosinusitis, sedangkan
pencabutan gigi ini dapat menciptakan hubungan antara rongga mulut
dan sinus maksilaris (fistula oroantral).4,10
2) Rhinosinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
3) Ostium sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus
etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada
daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan rhinosinusitis.4,9
b. Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat
fetus, berasal dari sel – sel resessus frontal atau dari sel – sel infundibulum etmoid.
Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. 4,9
Sinus frontal biasanya bersekat – sekat dan tepi sinus berlekuk – lekuk. Sinus
frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fossa serebri anterior,
peradangan dari sinus frontal dapat menimbulkan komplikasi yang serius karena
dekat dengan orbita dan rongga kranial (selulitis orbita, epidural atau subdural abses,
meningitis). 10
14
Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resessus frontal.
Resessus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anterior. 4
c. Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-
akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-
sinus lainnya. Pada orang dewasa sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di
bagian posterior. Sinus etmoid berongga – rongga, terdiri dari sel – sel yang
menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid,
yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita. Sel – sel ini
jumlahnya bervariasi antara 4 – 17 sel.4,8
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang
bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus
superior. Sel – sel sinus etmoid anterior biasanya kecil – kecil dan banyak, letaknya
di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan
dinding lateral (lamina basalis) sedangkan sel – sel sinus etmoid posterior biasanya
lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior lamina basalis.4
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut
resessus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal.di daerah etmoid anterior
terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium
sinus maksila. Pembengkakan/ peradangan di ressesus frontal dapat menyebabkan
rhinosinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan
rhinosinusitis maksila. 4.9
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Radang sinus paranasal dapat menyebar
melalui lamina ini melibatkan orbita (komplikasi orbital). Di bagian belakang sinus
etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid. 4,10
d. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Volumenya
bervariasi dari 5 – 7,5 ml. Batas - batasnya adalah , sebelah superior terdapat fosa
serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah
lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a. karotis interna, saraf kranial II-VI,
15
(sangat erat terkait dengan kanal optik), dan di sebelah posteriornya berbatasan
dengan fosa serebri posterior di daerah pons. 4,8,10
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius terdapat
muara-muara sinus maksilla, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior. Di daerah yang
sempit ini terdapat prosessus uncinatus, infundibulum, hiatus semilunaris, recessus
frontalis, bula etmoid dan sel–sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium
sinus maksila. Daerah yang sempit dan rumit ini disebut kompleks osteomeatal
(KOM) yang merupakan faktor utama patogenesa terjadinya rhinosinusitis.4,10
Mukosa hidung dan sinus paranasal terdiri dari epitel thorak berlapis semu bersilia
dan diatasnya terdapat sel-sel goblet yang menghasilkan lendir. Sekresi dari sel-sel goblet dan
kelenjar ini membentuk selimut mukosa. Di atas permukaan mukosa terdapat silia yang di
rongga hidung bergerak secara teratur kearah nasofaring dan dari rongga sinus kearah ostium
dari sinus tersebut. Silia dan selimut mukosa ini berfungsi sebagai proteksi dan melembabkan
udara inspirasi yang disebut sebagai sistem mukosilier. Sinus dari kelompok anterior
dialirkan ke nasofaring di bagian depan muara tuba eustachius sedangkan pada bagian
posterior dialirkan ke nasofaring di bagian posterosuperior tuba eustachius.10
16
4. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan
ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif.
5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
6. Membantu produksi mukus.
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan
dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut
masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang
paling strategis.
2.5 Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam
rhinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan
anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal
(KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada
sindrom kartagener, dan di luar negri adalah penyakit fibrosis kistik.4
Pada banyak pasien dengan rhinosinusitis, mukosa hidung dan sinus terlalu sensitif
terhadap berbagai faktor. Ini merupakan masalah bagi pasien yang memeliki
kecenderungan genetik. Faktor-faktor ini termasuk pencemaran lingkungan dan alergi,
perubahan suhu, dan mungkin stres dan makanan tertentu.11
17
Gambar 3. Faktor pencemaran lingkungan11
2.6 Patofisiologi
18
Gambar 5. Aliran Mukosiliar Sinus Paranasal
19
mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi
khas yang tumpul dan menusuk. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan
terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non produktif seringkali ada. Gejalanya
demam, pusing, ingus kental di hidung, hidung tersumbat, nyeri pada pipi terutama
sore hari, ingus mengalir ke nasofaring, kental kadang-kadang berbau dan bercampur
darah. 4 ,5,12, 13
e. Rhinosinusitis Kronis
Secara keseluruhan, gejala rhinosinusitis kronis dapat dibagi menjadi :
Gejala lokal
Gejala lokal yang sering ditemukan adalah hidung tersumbat, hidung berair,
nyeri / rasa penuh pada wajah, nyeri kepala, gangguan penciuman hingga
anosmia. Selain itu juga akan ditemukan pilek yang sering kambuh, ingus
20
kental dan kadang-kadang berbau, serta sering terdapat ingus di tenggorok
(Posterior Nasal Drip). 4 , 5,12, 13
Gejala regional
Gejala regional meliputi nyeri tenggorok, disfonia, batuk, halitosis,
bronkospasm, rasa penuh / nyeri pada telinga dan nyeri gigi. 4 ,5
Gejala sistemik
Gejala sistemik berupa kelelahan, demam, bahkan anoreksia4 ,5
2.9 Diagnosis
Diagnosis rhinosinusitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis, American Academy of
Otolaryngology (AAO) memberikan suatu kriteria diagnosis untuk rhinosinusitis yaitu
dengan menegakkan kriteria mayor dan minor.
a. Kriteria mayor meliputi nyeri wajah, rasa penuh pada wajah, hidung
tersumbat, hidung berair, sekret purulen, hiposmia atau anosmia dan demam
(pada kondisi akut).
b. Kriteria minor meliputi nyeri kepala, demam, halitosis, kelelahan, nyeri gigi,
batuk, nyeri atau rasa penuh pada telinga.
Diagnosis ditegakkan bila terdapat dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan dua
kriteria minor selama sekurang-kurangnya 12 minggu. Kecurigaan rhinosinusitis
didapatkan bila ditemukan satu kriteria mayor atau dua kriteria minor
Sedangkan berdasarkan The European Position Paper on Rhinorhinosinusitis
and Nasal Polyps (EPOS) 2020 mendefinisikan rinorhinosinusitis dengan atau tanpa
polip dari munculnya dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa :5
Hidung tersumbat / obstruksi / kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/
posterior)
Nyeri tekan pada wajah
Penurunan / hilangnya fungsi penciuman yang dirasakan lebih dari 12 minggu.
Selain itu, pada pemeriksaan THT termasuk nasoendoskopi ditemukan salah satu
dari :
Polip, dan atau
Sekret mukopurulen dari meatus medius, dan/ atau
Edema/ obstruksi mukosa di meatus medius.
21
Sebagai tambahan, pada pemeriksaan radiologi ditemukan gambaran perubahan
mukosa di kompleks ostiomeatal dan/ atau sinus
Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan
nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosa yang tepat dan dini. Tanda khas adalah
adanya pus di meatus media (pada rhinosinusitis maksila, etmoid anterior, dan frontal)
atau di meatus superior (pada rhinosinusitis etmoid posterior dan sfenoid). Pada
rhinosinusitis akut, tampak mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada
pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus media.4
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto polos
posisi Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus – sinus
besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat berupa perselubungan,
batas udara dan cairan ( air fluid level ) atau penebalan mukosa.4
CT Scan sinus merupakan gold standar diagnosis rhinosinusitis karena mampu
menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara
keseluruhan dan perluasannya. Namun karena pemeriksaannya mahal, CT ssan hanya
dikerjakan sebagai penunjang diagnosis rhinosinusitis kronik yang tidak membaik dengan
pengobatan atau pra operasi saat melakukan operasi sinus. 4
22
Gambar 7. CT Scan Sinus Paranasal Rhinosinusitis Maksila dan Edmoid Akut
pada Penampang Coronal dan Axial14
2.10 Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada rhinosinusitis diantaranya adalah mempercepat proses
penyembuhan, mencegah komplikasi, dan mencegah perjalanan penyakit menjadi kronik.
Prinsip pengobatan adalah membuka sumbatan KOM sehingga drainase sinus-sinus pulih
secara alami.4 Ventilasi dan drainase sinus paranasal dapat diperbaiki dengan pemberian
tetes hidung dekongestan, nasal spray, atau memasukan kapas basah dengan tetes hidung
ke meatus media. 15
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada rhinosinusitis akut
bakterialis, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka
sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti
amoxisilin. Jika diperkirakan kuman sudah resisten atau memproduksi beta-laktamase,
maka dapat diberikan amoxisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada
rhinosinusitis antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinis sudah hilang.4
23
Antibiotik merupakan kunci dalam penatalaksanaan rhinosinusitis supuratif akut.
Amoksisilin merupakan pilihan tepat untuk kuman gram positif dan negatif. Vankomisin
untuk kuman S. pneumoniae yang resisten terhadap amoksisilin. Pilihan terapi lini pertama
yang lain adalah kombinasi eritromicin dan dulfonamide atau cephalexin dan
sulfonamide.16
Antibiotik parenteral diberikan pada rhinosinusitis yang telah mengalami
komplikasi seperti komplikasi orbita dan komplikasi intrakranial, karena dapat menembus
sawar darah otak. Ceftriakson merupakan pilihan yang baik karena selain dapat membasmi
semua bakteri terkait penyebab rhinosinusitis, kemampuan menembus sawar darah
otaknya juga baik.16
Pada rhinosinusitis yang disebabkan oleh bakteri anaerob dapat digunakan
metronidazole atau klindamisin. Klindamisin dapat menembus cairan serebrospinal.
Antihistamin hanya diberikan pada rhinosinusitis dengan predisposisi alergi. Analgetik
dapat diberikan. Kompres hangat dapat juga dilakukan untuk mengurangi nyeri .
Pada dasarnya pemberian medikamentosa pada Rinosinusitis meliputi :
- Nasal irigasi/cuci hidung menggunakan larutan NaCl fisiologis (setara)
- Pemberian antibiotika sesuai indikasi
- Kortikosteroid intranasal
- Terapi suportif /simptomatik
- Terapi untuk faktor predisposisi Rinosinusitis (pada rinosinusitis kronik
terutama).
Rinosinusitis Akut
• Rinosinusitis Akut Viral (Acute Viral Rhinosinusitis)
Terapi tambahan/ suportif:
- Dekongestan
- anti histamin
- analgetik & antipiretik
- Kortikosteroid topikal
- cuci hidung larutan garam fisiologis
- mukolitik
- herbal
• Rinosinusitis Akut Bakterialis (ABRS = Acute Bacterial Rhinosinusitis)
Antibiotik :
24
- Antibiotik Lini I (amoksisilin + klavulanat)/eritromisin) observasi selama 3 –
5 hari. Bila perbaikan kurang, berikan :
- Antibiotik Lini II golongan : sefalosporin, kuinolon, makrolid
Terapi suportif :
• cuci hidung larutan garam fisiologis
• anti histamin,
• analgetik & antipiretik
• kortikosteroid topikal
• dekongestan
• mukolitik
• herbal
Rinosinusitis Kronis
• Streroid
Kortikosteroid merupakan terapi medikamentosa lini pertama pada rinosinusitis
kronis
- Kortikosteroid topical
- Kortikosteroid sistemik
• Antibiotik
Digunakan untuk mengurangi jumlah bakteri dan mengobati eksaserbasi akut
Berdasarkan hasil kultur dan resistensi.
• Cuci hidung larutan garam fisiologis
Secara mekanik membersihkan mukus, krusta, debris dan alergen, memperbaiki
klirens mukosilier dan melindungi mukosa sinonasal.
• Antihistamin
Diberikan hanya pada pasien dengan rinitis alergi
• Terapi suportif dan terapi predisposisi Rinosinusitis kronik
Prosedur pembedahan
Prosedur pembedahan dilakukan dengan tujuan membuat drainase sinus yang
terkena menjadi terbuka dan berfungsi normal kembali, dengan seminimal mungkin
merusak mukosa yang normal. Pembedahan dilakukan bila :
25
- terdapat nyeri hebat
Prosedur pembedahan yang dapat dilakukan :
- Antrostomi dan irigasi sinus maksilaris (disertai sinuskopi)
- Prosedur Caldwell Luc (untuk mencapai antrum maksila)
- Bedah Sinus Endoskopi
Onset tiba-tiba dari 2 atau lebih gejala, salah sa Keadaan yang harus segera di rujuk/ dirawat
tunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ Edema periorbita
kongesti atau pilek; sekret hidung anterior/ Pendorongan letak bola mata
posterior; ± nyeri/ rasa tertekan di wajah; Penglihatan ganda
Penghidu terganggu/ hilang Oftalmoplegi
Pemeriksaan: Rinoskopi Anterior Penurunan visus
Foto Polos SPN/ Tomografi Komputer tidak Nyeri frontal unilateral atau bilateral
direkomendasikan Bengkak daerah frontal
Tanda meningitis atau tanda fokal neurologis
2 atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung Pikirkan diagnosis lain :
tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek; sekret
hidung anterior/ posterior; ± nyeri/ rasa tertekan di
Gejala unilateral
wajah; Perdarahan
Penghidu terganggu/ hilang Krusta
Pemeriksaan: Rinoskopi Anterior
Foto Polos SPN/ Tomografi Komputer tidak
Gangguan penciuman
direkomendasikan Gejala Orbita
Edema Periorbita
Pendorongan letak bola mata
Penglihatan ganda
Oftalmoplegi
Nyeri kepala bagian frontal yang berat
Tersedia Endoskopi
Bengkak daerah frontal 26
Tanda meningitis atau tanda fokal
neurologis fokal
Tidak ada polip Endoskopi tidak Investigasi dan
tersedia intervensi
secepatnya
Reevaluasi setelah 4
minggu
Pilihan terapi konservatif mencakup tetes hidung dekongestan (tidak lebih dari 1
minggu), terapi panas (electric light cabinet, microwaves, infrared), dan antibiotic spectrum
luas (misalnya, amoxicillin) untuk rhinosinusitis eksaserbasi akut dengan demam dan
malaise. Mukolitik dapat diberikan sebagai terapi suportif. Pada rhinosinusitis dengan
etiologi allergi dapat diberikan anti allergi. Semua terapi konservatif hanya mengatasi
symptom dan tidak dapat mengeliminasi penyebab rhinosinusitis kronis. Terapi defenitif
adalah bedah sinus.10
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk
rhinosinusitis kronik yang membutuhkan operasi. Tindakan ini hamper menggantikan semua
jenis tindakan bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan
27
tindakannya lebih ringan dan tidak radikal. Indikasinya berupa: rhinosinusitis kronik yang
tidak membaik setelah terapi adekuat; rhinosinusitis kronis disertai kista atau kelainan yang
irreversible; polip ekstensif, adanya komplikasi rhinosinusitis.4
28
udem konjungtiva (chemosis), “protruding eyeball” (mata menonjol), nyeri ocular dan
akhirnya melunak dan terjadi penurunan gerakan otot ekstraokular. Komplikasi ini
membutuhkan terapi adekuat dengan antibiotik intravena.5,10
Kebanyakan anak dengan rhinorhinosinusitis dan proptosis, ophthalmoplegia, atau
penurunan ketajaman penglihatan mesti di CT Scan sinus dengan detail orbital untuk
membedakan antara abses orbital dan periorbital (subperiosteal). Kedua kondisi tersebut
menyebabkan proptosis dan terbatasnya pergerakan okular. Orbital selulitis adalah keadaan
darurat yang mengancam nyawa yang membutuhkan dekompresi bedah segera. Apabila
berdasarkan CT Scan didapatkan abses atau terjadi progresifitas gejala orbital setelah
pemberian inisial antibiotik IV merupakan indikasi untuk mengeksplorasi orbital dan
drainase. Pengulangan pemeriksaan ketajaman penglihatan (visual acuity) harus dilakukan
dan terapi antibiotic IV dikonversi menjadi oral apabila pasien tidak demam dalam 48 jam
serta tanda ophthalmologic membaik.5,10
29
perubahan status mental. Sedangkan abses intrakranial sering didahului dengan tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial, iritasi / rangsangan meningeal dan defisit neurologis fokal.
Meskipun abses intrakranial relatifa simtomatik, afektif halus dan perubahan perilaku sering
terjadi yang menunjukkan perubahan neurologis perubahan fungsi kesadaran, ketidak
stabilan cara berjalan, dan sakit kepala berat dan progresif.5
Komplikasi Endokranial yang paling sering dikaitkan dengan ethmoidal atau frontal
rinorhinosinusitis. Infeksi dapat berlanjut dari yang rongga paranasal ke struktur endocranial
dengan dua cara berbeda : patogen, mulai dari sinus frontal yang paling umum atau sinus
ethmoid, dapat melewati diploic vena untuk mencapai otak, cara lain, patogen dapat
mencapai struktur intrakranial dengan mengikis tulang sinus.5
2.11. Prognosis
30
Prognosis rhinosinusitis akut sangat baik, dengan sekitar 70% pasien dapat sembuh
tanpa pengobatan. Antibiotik oral dapat mengurangi gejala rhinosinusitis. Rhinosinusitis
kronik memiliki perjalanan penyakit yang bervariasi. Prognosisnya baik, bila penyebab
rhinosinusitis adalah anatomis dan ditatalaksana dengan tindakan pembedahan. Lebih dari
90% pasien mengalami kemajuan dengan intervensi bedah. Namun, pasien ini memiliki
kemungkinan untuk relaps, sehingga dibutuhkan regimen untuk mencegah kekambuhan. Pada
pasien dengan rhinosinusitis akut bakterialis dengan perluasan ke intrakranial walaupun
diterapi antibiotik, insiden morbiditas dan mortalitasnya masih tinggi, antara 5%-10%.4,5
Daftar Pustaka
1. Lund. Chapter 24: Acute and Chronic Nasal Disorders. Dalam: Snow, editor.
Ballenger’s Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. London, BC
Decker Inc. 2003.
2. Salamone, Shah, et al. Chapter 14: Acute and Chronic Rhinosinusitis. Dalam:
Lalwani, editor. Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology – Head and
Neck Surgery, Ed 2. USA, The McGraw-Hill Companies, Inc. 2007.
3. Busquets JM, Hwang PH. Chapter 29: Nonpolypoid Rhinorhinosinusitis:
Classification, Diagnosis, and Treatment. Dalam: Baily BJ, Johnson JT, Newlands
SD, editor. Head and Neck Surgery–Otolaryngology, Ed 4. Philadelphia,
Lippincott Williams & Wilkins. 2006.
4. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Rhinosinusitis. Dalam Soepardi EA, et al,
editor .Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepaladan Leher,
Ed 6. Jakarta, Balai Penerbit FK UI.2007.hal 150-3.
31
5. Fokkens WJ, Valerie JL, Joachim M, Claus B, Isam A, Fuad B, et al. European
Position Paper On Rhinorhinosinusitis And Nasal Polyps 2007. Rhinology 2007.
6. Budiman BJ, Rosalinda R. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional pada
Rinorhinosinusitis Kronis. Diakses dari: http://tht.fk.unand.ac.id/makalah/83-
bedah-sinus-endoskopi-fungsional-revisi-pada-rinorhinosinusitis-kronis.html. pada
tanggal 10 September 2015.
7. Chow AW, Benninger MS, Brook I, Brozek JL, Goldstein EJC, Hicks LA, et al.
IDSA Clinical Practice Guideline for Acute Bacterial Rhinorhinosinusitis in
Children and Adults. Clinical Infectious Diseases 2012.
8. Lund VJ. Anatomy of The Nose and ParanasalSinuses, In : Kerr AG,ed. Scott
Brown’s Otolaryngology Rhinology.6th ed, Butterworth, London : 1997.
9. Ballenger JJ. Aplikasi Klinis Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal.
Dalam :Penyakit Telinga Hidung Telinga Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-
13.Jakarta : BinarupaAksara, 1994: :1-25.
32
15. Budiman BJ, Rosalinda R. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Revisipada
Rinorhinosinusitis Kronis. Diakses dari: http://tht.fk.unand.ac.id/makalah/83-
bedah-sinus-endoskopi-fungsional-revisi-pada-rinorhinosinusitis-kronis.html.pada
tanggal 10 September 2015.
16. Bailey BJ. Rhinorhinosinusitis : Current Concepts and Management. Dalam:
Bailey BJ. Head and Neck Surgery Otolaryngology. Philadelphia, Lippincott
Williams & Wilkins, 2001.
33