Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KASUS

HIPEROSTOSIS TEMPOROOCCIPITAL SINISTRA

Disusun oleh:
Afifah Kartikasari, S.Ked
I4061191012

Pembimbing:
dr. Nosiko Allber, Sp.BS

KEPANITERAAN KLINIK BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SOEDARSO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2021
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui laporan kasus dengan judul:

Hiperostosis Temporooccipital Sinistra

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Bedah

Telah disetujui,
Pontianak, Maret 2021

Pembimbing, Penulis,

dr. Nosiko Allber, Sp.BS Afifah Kartikasari, S.Ked

1
BAB I
PENYAJIAN KASUS
1.1 Identitas
Nama : Ny. M
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 48 tahun
Alamat : JL. Sultan Jalaludin No. 65, Ketapang
Agama : Islam
Suku : Melayu
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Ruang : Ruang K
Tanggal MRS : 15 Februari 2021
1.2 Anamnesis
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 16 Februari 2021 di Ruang K
rawat inap bedah.
A. Keluhan Utama
Benjolan di kepala.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dirawat inap di bangsal bedah RSUD dr. Soedarso
dengan keluhan adanya benjolan di kepala sebelah kiri di belakang
telinga. Benjolan berbentuk bulat dengan ukuran kira-kira sebesar
telur puyuh, terasa padat dan keras. Benjolan pertama kali dirasakan
sekitar 1 tahun yang lalu, dengan ukuran yang tidak sebesar sekarang,
kira-kira hanya sebesar biji jagung. Benjolan tidak terasa nyeri sama
sekali. Pasien memutuskan untuk berobat ke poli bedah RSUD dr.
Soedarso 1 bulan lalu karena khawatir akan ukuran benjolannya yang
semakin besar. Setelah dilakukan pemeriksaan radiologi lanjutan,
pasien setuju untuk dilakukan operasi pengangkatan benjolan tersebut
setelah disarankan oleh dokter bedah saraf.
Selain benjolan, pasien juga mengeluhkan sering sakit kepala
yang dirasakan hilang timbul. Sakit kepala terasa berat dan kadang-

2
kadang berdenyut, yang mereda jika minum obat. Tidak ada riwayat
penurunan kesadaran dan tidak ada keluhan mual muntah. Keluhan
lain seperti gangguan penglihatan, penciuman, kelemahan anggota
gerak, dan penurunan daya ingat disangkal. Riwayat kejang juga
disangkal oleh pasien.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien baru pertama kali mengalami keluhan seperti sekarang.
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus,
stroke, kejang, dan penyakit jantung. Riwayat trauma dan operasi juga
disangkal.
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang serupa
dengan pasien. Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat penyakit
keganasan.
E. Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah berobat sejak pertama kali merasakan
adanya benjolan di kepalanya. Riwayat penggunaan obat-obatan rutin
disangkal oleh pasien. Namun, pasien menggunakan kontrasepsi
berupa KB suntik 3 bulan selama 25 tahun terakhir.
F. Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi, baik terhadap obat maupun
makanan.
G. Riwayat Sosial dan Kebiasaan
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal bersama
suami dan ketiga anaknya. Pasien jarang menerapkan pola hidup dan
pola makan sehat. Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan
minum minuman beralkohol.
1.3 Pemeriksaan Fisik
A. Primary Survey
Airway : sumbatan jalan napas (-), cedera servikal (-).

3
Breathing : Napas normal, gasping (-), stridor (-), wheezing (-)
dada simetris, frekuensi napas 20 kali/menit.
Circulation : Akral hangat, CRT < 2 detik, tanda-tanda syok (-).
Disability : Kesadaran Compos Mentis, GCS E4M6V5.
Exposure : Tidak ada luka di bagian tubuh lain.
B. Tanda Vital
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 118/65 mmHg
Frekuensi Nadi : 85 kali/menit, regular
Frekuensi Napas : 20 kali/menit
Suhu : 36,6oC
Saturasi Oksigen : 99%
C. Status Generalisata
Kepala dan Muka : Ekspresi wajar, wajah simetris, rambut hitam
merata
Mata : Pupil isokor (3mm/3mm), refleks cahaya (+/+),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP normal
Pulmo
 Inspeksi : Simetris kanan dan kiri baik statis maupun dinamis
 Palpasi : Fremitus taktil normal, massa (-), nyeri tekan (-)
 Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
 Auskultasi : Suara nafas dasar vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing
(-/-)
Cor
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS IV linea midclavicularis
sinistra.
 Perkusi : Batas pinggang jantung pada ICS III linea
parasternalis sinistra, batas jantung kanan pada ICS V linea

4
sternalis dextra, batas jantung kiri ICS V linea midclavicularis
sinistra.
 Auskultasi : SI/SII regular, murmur (-), gallop (-).
Abdomen
 Inspeksi : Datar, simetris, lesi kulit (-), bekas operasi (-),
benjolan (-).
 Auskultasi : Bising usus normal 8 kali per menit
 Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), defense muscular (-),
hepar tidak teraba membesar, limpa tidak teraba membesar, ginjal
tidak teraba, ballottement (-), nyeri ketok CVA (-).
 Perkusi : Timpani di seluruh lapang perut
Ekstremitas atas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-)
Ekstremitas bawah : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-)
D. Pemeriksaan Neurologi
a. Pemeriksaan Nervus Cranialis
Nervus Pemeriksaan Kanan Kiri
N. I Olfaktorius Daya penciuman Baik Baik
N. II Optikus Daya penglihatan Baik Baik
Lapang pandang Baik Baik
N. III Okulomotor Ptosis – –
Gerakan mata ke Baik Baik
medial
Gerakan mata ke atas Baik Baik
Gerakan mata ke Baik Baik
bawah
Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Bentuk pupil Isokor Isokor
Ref. cahaya langsung + +
Ref. cahaya + +
konsensual
N. IV Troklearis Strabismus divergen – –
Gerakan mata ke Baik Baik
lateral bawah
Strabismus konvergen – –
N. V Trigeminus Deviasi rahang Tidak Tidak
dilakukan dilakukan
Kekuatan otot rahang Tidak Tidak
dilakukan dilakukan

5
Refleks Dagu Tidak Tidak
dilakukan dilakukan
Refleks Kornea Tidak Tidak
dilakukan dilakukan
N. VI Abdusen Gerakan mata ke + +
lateral
Strabismus konvergen – –
N. VII Fasialis Kedipan mata Baik Baik
Lipatan nasolabial Simetris Simetris
Sudut mulut Simetris Simetris
Mengerutkan dahi + +
Menutup mata + +
Meringis + +
Menggembungkan + +
pipi
Daya kecap lidah 2/3 Tidak Tidak
anterior dilakukan dilakukan
N. VIII Nistagmus Tidak Tidak
Vestibulotroklearis dilakukan dilakukan
Daya Pendengaran Tidak Tidak
dilakukan dilakukan
N. IX Daya kecap lidah 1/3 Tidak Tidak
Glossopharyngeus posterior dilakukan dilakukan
N. X Vagus Refleks muntah Tidak Tidak
dilakukan dilakukan
Suara serak/lemah – –
N. XI Accesorius Otot bahu, leher Tidak Tidak
dilakukan dilakukan
N. XII Hipoglossus Sikap lidah Normal
Artikulasi Jelas
Tremor lidah +
Menjulurkan lidah Normal
Trofi otot lidah Eutrofi
Fasikulasi lidah -

b. Refleks Fisiologis
Refleks Fisiologis Kanan Kiri
Refleks Biceps Normal Normal
Refleks Triceps Normal Normal
Refleks Ulna dan Radialis Normal Normal
Refleks Patella Normal Normal
Refleks Achilles Normal Normal

6
c. Refleks Patologis
Refleks Patologis Kanan Kiri
Babinski - +
Chaddock - +
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Rosollimo - -
Hofman Tromner - -

d. Fungsi Sensorik
Pemeriksaan Kanan Kiri
Rasa nyeri Baik Baik
Rasa raba Baik Baik
Rasa suhu Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Rasa gerak dan sikap Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Rasa getar Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Diskriminatif Tidak dilakukan Tidak dilakukan

e. Fungsi Motorik
Kekuatan Otot : 55 55
5 5
55 55

Tonus Otot: 5 5 Baik


f. Pemeriksaan Rangsang Meningeal
Pemeriksaan Hasil
Kaku kuduk -
Kernig sign -
Lasegue sign -
Brudzinski I -
Brudzinski II -

g. Pemeriksaan Fungsi Luhur dan Vegetatif


Fungsi luhur : Baik
Fungsi vegetative : BAK dan BAB normal

7
E. Status Lokalis

8
a. Look
Terlihat penonjolan tulang di regio temporooccipital
sinistra. Benjolan terlihat sebesar telur puyuh. Permukaan
benjolan rata, warna kulitnya sama dengan kulit di sekitarnya, dan
ditumbuhi oleh rambut kepala. Batas tepi benjolan tidak jelas.
b. Feel
Teraba massa di regio temporooccipital sinistra berjumlah
satu, ukuran sebesar 5 cm x 6 cm x 3 cm. Konsistensi padat dan
keras, permukaan rata, dan tidak dapat digerakkan. Tidak ada
nyeri pada daerah penonjolan.
c. Move
Range of movement tidak terbatas.

1.4 Pemeriksaan Penunjang


a. CT Scan Kepala

9
Hasil CT Scan kepala potongan axial tanpa dan dengan kontras:
 Tampak lesi isodens samar di frontalis kanan menempel ke
meningen yang pada pemberian kontras tampak sangat
menyangat dengan ukuran ± 1,9 cm batas tegas, tidak tampak
perifokal edema, tampak hyperostosis minimal di region frontalis
kanan.
 Tampak penebalan / mass di meningen pasca pemberian kontras
di regio temporoocipital kiri ukuran ± 1 x 3,8 cm.
 Tampak hyperostosis di os temporoparietooccipital kiri.

10
Kesan:
 Sugestif meningioma multiple di frontalis kanan dan
temporooccipital kiri.
 Hiperostosis minimal os frontalis kanan.
 Hiperostosis os temporoparietooccipital kiri.
b. Foto Thorax PA

Hasil foto thorax PA


 Cor: Besar dan bentuk normal.
 Pulmo: Tidak tampak infiltrate, fibrous, mass hilus dan
bronchovaskuler relatif normal.
 Kedua sinus costophrenicus tajam.
 Tulang-tulang baik.
Kesan: Foto thorax tidak tampak kelainan.
c. Darah Lengkap

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Leukosit 11740/µL 4500-11000/µL
Eritrosit 4,50 x 106/µL 4,6-6 x 106/µL
Hemoglobin 13 g/dL 12-16 g/dL
Hematokrit 37,7 % 35-54 %
Trombosit 270000/µL 150-440 x 103/µL

d. Kimia Darah

11
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Gula darah sewaktu 83 mg/dL 70-150 mg/dL
Ureum 17,5 mg/dL 13-43 mg/dL
Kreatinin 0,9 mg/dL 0,6-1,2 mg/dL
SGOT 21,6 U/L 1-40 U/L
SGPT 19,9 U/L 1-34 U/L

e. Elektrolit

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Na+ 136,9 mmol/L 135-147 mmol/L
K+ 3,01 mmol/L 3,5-5 mmol/L
Cl- 104,8 mmol/L 95-105 mmol/L

f. Serologi

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


HBsAg Non Reaktif Non Reaktif
Anti HCV Non Reaktif Non Reaktif
Anti HIV Non Reaktif Non Reaktif

1.5 Resume Medis


Pasien dirawat inap dengan keluhan benjolan di kepala sebelah kiri di
belakang telinga, dengan ukuran kira-kira sebesar telur puyuh, terasa padat
dan keras. Benjolan tidak terasa nyeri. Ukuran benjolan dirasakan semakin
membesar sejak pertama kali muncul benjolan 1 tahun yang lalu. Pasien
sering merasa sakit kepala berdenyut yang mereda jika minum obat.
Riwayat penurunan kesadaran (-), muntah proyektil (-), kejang (-). Tidak
ada riwayat keganasan pada keluarga. Riwayat penggunaan KB suntik per 3
bulan selama 25 tahun.
Dari pemeriksaan fisik, didapatkan status lokalis adanya massa di
regio temporooccipital sinistra berjumlah satu, ukuran 5 cm x 6 cm x 3 cm.
Konsistensi padat dan keras, tidak dapat digerakkan, permukaan rata, warna
kulit sama dengan sekitar, dan ditumbuhi oleh rambut kepala. Tidak ada
nyeri pada daerah penonjolan. Pemeriksaan neurologi dalam batas normal.
Pada pemeriksaan CT Scan kepala tanpa dan dengan kontras
didapatkan kesan sugestif meningioma multiple di frontalis kanan dan

12
temporooccipital kiri, hiperostosis minimal os frontalis kanan, dan
hiperostosis os temporoparietooccipital kiri.
1.6 Diagnosis
Hiperostosis at regio temporoparietooccipital sinistra
1.7 Tatalaksana
Non Farmakologi:
 Observasi keadaan umum, kesadaran, dan tanda vital
 Pro operasi craniectomi tumor removal
Farmakologi
 PO KSR 3x1 tablet
 Inj. Ceftriaxone 1 gr 30 menit pre-operasi
1.8 Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
1.9 Follow Up Perkembangan Pasien

Tanggal Catatan Perkembangan Pasien


16 Februari 2021 S/ Benjolan tulang kepala kiri belakang. Keluhan (-)
O/
KU: Baik
Kesadaran: GCS E4M6V5
TD: 104/56 mmHg
HR: 84 kali/menit
RR: 20 kali/menit
T: 36,8oC
Kepala: Tonjolan tulang at region temporooccipital
sinistra
Mata: Pupil isokor 3mm/3mm, RC (+/+)
Fungsi motorik: Hemiparese (-)
Fungsi sensorik: Baik
A/

13
Hiperostosis temporooccipital sinistra
Hipokalemia
P/
Observasi KU, kesadaran, tanda vital
Pro craniectomi removal tumor
Inj. Ceftriaxone 1 gr 30 menit pre-operasi
PO KSR 3 x 1 tab
17 Februari 2021 S/ Benjolan tulang kepala kiri belakang. Keluhan (-)
O/
KU: Baik
Kesadaran: GCS E4M6V5
TD: 98/60 mmHg
HR: 88 kali/menit
RR: 20 kali/menit
T: 36,6oC
Kepala: Tonjolan tulang at region temporooccipital
sinistra
Mata: Pupil isokor 3mm/3mm, RC (+/+)
Fungsi motorik: Hemiparese (-)
Fungsi sensorik: Baik
A/
Hiperostosis temporooccipital sinistra
P/
Operasi craniectomi removal tumor
Inj. Ceftriaxone 1 gr 30 menit pre-operasi
Post operasi:
Observasi kesadaran dan tanda vital
Cek kadar hemoglobin
Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr IV
PO Asam Tranexamat 3 x 500 mg
Inj. Paracetamol 3 x 1 gr IV

14
Inj. Dexamethasone 2 x 5 mg amp IV
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg amp IV
18 Februari 2021 S/ Keluhan (-)
O/
KU: Baik
Kesadaran: GCS E4M6V5
TD: 99/55 mmHg
HR: 81 kali/menit
RR: 15 kali/menit
T: 36,5oC
Luka Operasi: Baik, kering, rembesan (-)
Drain: Serous merah ± 100 cc
Mata: Pupil isokor 3mm/3mm, RC (+/+)
Fungsi motorik: Hemiparese (-)
Fungsi sensorik: Baik
A/
Post Tumor Removal H+1 a/i tumor
temporooccipital sinistra / Hiperostosis
P/
Observasi KU, kesadaran, tanda vital
Terapi lanjut
19 Februari 2021 S/ Keluhan (-)
O/
KU: Baik
Kesadaran: GCS E4M6V5
TD: 110/70 mmHg
HR: 80 kali/menit
RR: 20 kali/menit
T: 36,7oC
Luka Operasi: Baik, kering, rembesan (-)
Drain: Serous merah ± 40 cc

15
Mata: Pupil isokor 3mm/3mm, RC (+/+)
Fungsi motorik: Hemiparese (-)
Fungsi sensorik: Baik
A/
Post Tumor Removal H+2 a/i tumor
temporooccipital sinistra / Hiperostosis
P/
Aff drainase
BLPL

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Selaput Otak


Meningens membentang di bawah lapisan dalam dari tengkorak dan
merupakan membrane pelindung dari otak. Meninges tersusun atas lapisan-
lapisan yang terdiri dari duramater, arachmoideamater dan piamater yang
letaknya berurutan dari superfisial ke profunda. Perikranium yang masih
merupakan bagian dari lapisan dalam tengkorak dan duramater bersama-

16
sama disebut juga pachymeningens. Sementara piamater dan
arachnoideamater disebut juga leptomeningens.1

Gambar 1. Potongan melintang tengkorak dan meninges


Duramater terdiri dari jaringan fibrous yang kuat, berwarna putih,
terdiri dari lamina meningialis dan lamina endostealis. Pada medulla
spinalis, lamina endostealis melekat erat pada dinding kanalis vertebralis,
menjadi endosteum (periosteum), sehingga di antara lamina meningialis dan
lamina endostealis terdapat ruangan extraduralis (spatium epiduralis) yang
berisi jaringan ikat longgar, lemak dan pleksus venosus. Pada lapisan
perikranium banyak terdapat arteri meningeal, yang mensuplai duramater
dan sumsum tulang pada kubah tengkorak. Pada enchepalon lamina
endostealis melekat erat pada permukaan interiorkranium, terutama pada
sutura, basis krania dan tepi foramen occipitale magnum. Lamina
meningialis mempunyai permukaan yang licin dan dilapisi oleh suatu
lapisan sel, dan membentuk empat buah septa, yaitu falx cerebri, tentorium
cerebeli, falx cerebeli, dan diafragma sellae. Falx cerebri memisahkan kedua
belahan otak besar dan dibatasi oleh sinus sagital inferior dan superior. Pada
bagian depan falx cerebri terhubung dengan krista galli, dan bercabang di

17
belakang membentuk tentorium cerebeli. Tentorium cerebeli membagi
rongga cranium menjadi ruang supratentorial dan infratentorial. Falx
cerebeli yang berukuran lebih kecil memisahkan kedua belahan otak kecil.
Falx cerebeli menutupi sinus oksipital dan pada bagian belakang terhubung
dengan tulang oksipital.1
Di bawah lapisan duramater, terdapat arachnoideamater. Ruangan
yang terbentuk di antara keduanya, disebut juga spatium subdural, berisi
pembuluh darah kapiler, vena penghubung dan cairan limfe. Jika terjadi
cedera dapat terjadi perdarahan subdural. Arachnoideamater yang
membungkus basis serebri berbentuk tebal, sedangkan yang membungkus
facies superior cerebri tipis dan transparant. Arachnoideamater membentuk
tonjolan-tonjolan kecil yang disebut granulation arachnoidea, masuk ke
dalam sinus venosus, terutama sinus sagitallis superior. Lapisan di sebelah
profunda, meluas ke dalam gyrus cerebri dan di antara folia cerebri.
Membentuk tela chorioidea venticuli. Dibentuk oleh serabut-serabut
reticularis dan elastic, ditutupi oleh pembuluh-pembuluh darah cerebral.1
Di bawah lapisan arachnoideamater terdapat piamater. Ruangan yang
terbentuk di antara keduanya, disebut juga spatium subarachnoid, berisi
cairan serebrospinal dan bentangan serat trabekular (trabekula
arachnoideae). Piamater menempel erat pada permukaan otak dan mengikuti
bentuk setiap sulkus dan girus otak. Pembuluh darah otak memasuki otak
dengan menembus lapisan piamater. Kecuali pembuluh kapiler, semua
pembuluh darah yang memasuki otak dilapisi oleh selubung pial dan
selanjutnya membran glial yang memisahkan mereka dari neuropil.
Ruangan perivaskuler yang dilapisi oleh membran ini (ruang Virchow-
Robin) berisi cairan serebrospinal. Plexus koroid dari ventrikel cerebri yang
mensekresi cairan serebrospinal, dibentuk oleh lipatan pembuluh darah pial
(tela choroidea) yang diselubungi oleh selapis epitel ventrikel (ependyma).1
2.2 Definisi Meningioma
Meningioma adalah tumor pada meningen, yang merupakan selaput
pelindung yang melindungi otak dan medulla spinalis. Meningioma dapat

18
timbul pada tempat manapun di bagian otak maupun medulla spinalis, tetapi
umumnya lebih sering terjadi di intracranial dibandingkan intraspinal. 2
Kebanyakan meningioma bersifat jinak (benign), sedangkan meningioma
malignan jarang terjadi.3
2.3 Epidemiologi
Meningioma merupakan tumor kedua terbanyak, diperkirakan sekitar
13%-26% dari tumor intrakranial primer, dengan insidens sekitar 6 /
100.000 populasi per tahun. Meningioma di medulla spinalis sekitar 8% dari
seluruh tumor meningioma dan 25% sampai 46% dari seluruh tumor
medulla spinalis. Paling sering di daerah thorakal sekitar 55% - 80% dari
tumor meningioma di medulla spinalis, sedangkan di daerah servical sekitar
33% dari semua lesi. 90% dari tumor ini adalah jinak dan paling sering
terjadi antara usia 40 dan 70 tahun. Meningioma terjadi 2-3 kali lebih
sering pada wanita dari pada pria. Meningioma yang kecil atau dengan
gejala yang minimal seringkali ditemukan secara kebetulan. Dilaporkan
1,44% meningioma intrakranial pada semua otopsi tumor, yang sebagian
besar tanpa gejala-gejala klinik.4
2.4 Etiologi dan Faktor Risiko
Penyebab meningioma belum dipahami dengan baik, tetapi dapat
mencakup faktor genetik dan lingkungan. Beberapa kondisi yang membuat
resiko meningioma meningkat seperti neurofibromatosis type 2.
Kebanyakan kelainan cytogenetic dimana terjadi kehilangan kromosom 22,
terjadinya delesi pada long arm (22q) termasuk daerah 22q12 itu
berhubungan dengan NF2 gen. Kebanyakan hasil dari mutasi sehingga
hilangnya fungsi protein. Kelainan genetik ini paling sering pada
meningioma tipe fibroblastik dan transisional pada gambaran patologi.2,3
Hingga saat ini diyakini radioterapi merupakan faktor resiko utama
terjadinya meningioma. Radiasi dosis rendah seperti pada pengobatan tinea
kapitis maupun dosis tinggi seperti pada penanganan tumor otak lain
(misalnya meduloblastoma) meningkatkan resiko terjadinya meningioma.
Radioterapi dosis tinggi berhubungan dengan terjadinya meningioma dalam

19
waktu yang relative singkat, antara 5-10 tahun. Sementara radiasi dosis
rendah membutuhkan waktu beberapa dekade sampai timbulnya
meningioma. Tumor yang timbul akibat radiasi cenderung bersifat multiple
dan secara histologi ganas, serta memiliki kecenderungan yang lebih tinggi
untuk timbul kembali.2,3
Rangsangan endogen dan eksogen via hormonal memainkan peran
yang cukup penting juga dalam timbulnya tumor meningens. Estrogen dan
progesterone diduga merupakan salah satu penyebab timbulnya meningioma
karena angka prevalensi yang lebih tinggi pada wanita. Reseptor estrogen
ditemukan pada meningioma, yakni ikatan pada reseptor tipe 2 walaupun
tingkat afinitasnya terhadap estrogen tidak sekuat reseptor yang ditemukan
pada kanker payudara. Sebagai perbandingan, reseptor progesterone
diekspresikan pada 80% wanita penderita meningioma dan 40% pada pria.
Lokasi ikatan dengan progesterone lebih jarang pada meningioma yang
agresif. Cara kerja reseptor-reseptor ini masih belum diketahui, namun
inhibitor estrogen dan progesterone telah dicoba sebagai terapi walaupun
belum ada bukti keberhasilan.2,3
Beberapa factor pertumbuhan, termasuk epidermal growth factor,
PDGF, insulin-likegrowth factors, transforming growth factor I2 dan
somatostatin diekspresikan secara berlebih dan dapat merangsang
pertumbuhan meningioma. Meningioma merupakan tumor yang kaya akan
pembuluh darah dan mengandung VEGF (vascular endothelial growth
factor) dalam konsentrasi yang tinggi.2,3

2.5 Klasifikasi
Klasifikasi meningioma terbagi berdasarkan lokasi tumor, pola
pertumbuhan dan histopatologi. Mayoritas meningioma terjadi intrakranial,
yaitu 85-90% daerah supratentorial sepanjang sinus vena dural, antara lain
daerah convexity (34,7%), parasagital (22,3%), daerah sayap sphenoid
(17,1%). Lokasi yang lebih jarang ditemukan adalah pada selabung nervus
optikus, angulus cerebellopontine. Meningioma juga dapat timbul secara

20
ekstrakranial walaupun sangat jarang, yaitu pada medula spinalis, orbita,
cavum nasi, glandula parotis.

Gambar 2. Jenis-jenis meningioma berdasarkan lokasi

Meskipun pada kebanyakan kasus bersifat jinak, meningioma secara


mengejutkan memiliki karakteristik klinis yang sangat luas.
Membedakannya secara histologis berhubungan erat dengan resiko kejadian
berulang yang tinggi. Pada kasus yang jarang, meningioma dapat bersifat
ganas. Klasifikasi dari WHO bertujuan untuk memprediksi perbedaan
karakteristik klinis dari meningioma dengan grading secara histologis
berdasarkan statistik korelasi klinikopatologis yang signifikan. Berdasarkan

21
tingkat keganasannya, meningioma dibagi menjadi 3, yaitu jinak (WHO
grade 1), atipikal (WHO grade 2), dan anaplastik (WHO grade 3).

Tabel 1. Kriteria grading secara histologi menurut WHO


a. Grade I
Meningioma jinak yang tergolong dalam grade 1 WHO dapat
menginvasi duramater, sinus dura, tulang tengkorak, dan kompartmen
ekstrakranial seperti bola mata, jaringan lunak, dan kulit. Meskipun
invasi ini membuat mereka semakin sulit direseksi, mereka tidak
termasuk meningioma atipikal maupun malignan. Sebaliknya, invasi
otak dihubungkan dengan angka kekambuhan dan kematian yang
hampir sama dengan meningioma atipikal secara umum, meskipun
tumor nampak jinak. Meskipun lebih banyak terjadi pada meningioma
tipe baru, invasi otak belum dihubungkan dengan perubahan genetik
tertentu, namun telah dilaporkan terjadi pada tumor tanpa
ketidakseimbangan kromosom yang jelas.
Meningioma grade I tumbuh dengan lambat. Tumor tidak
menimbulkan gejala, mungkin pertumbuhannya sangat baik jika
diobservasi dengan MRI secara periodik. Jika tumor semakin
berkembang, maka pada akhirnya dapat menimbulkan gejala,
kemudian penatalaksanaan bedah dapat direkomendasikan.
Kebanyakan meningioma grade I diterapi dengan tindakan bedah dan
observasi secara kontinu.

22
Gambar 3. Histologi meningioma grade I WHO
b. Grade II
Meningioma grade II disebut juga meningioma atypical. Jenis
ini tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan grade I dan mempunyai
angka kekambuhan yang lebih tinggi juga. Pembedahan adalah
penatalaksanaan awal pada tipe ini. Meningioma grade II biasanya
membutuhkan terapi radiasi setelah pembedahan.

23
Gambar 4. Histologi meningioma grade II WHO
c. Grade III
Meningioma berkembang dengan sangat agresif dan disebut
meningioma malignant atau meningioma anaplastik. Tumor ini
memiliki karakteristik klinik serupa dengan neoplasma ganas lainnya,
yang dapat menginfiltrasi jaringan sekitarnya secara luas dan
membentuk deposit metastasis. Meningioma malignant terhitung
kurang dari 1% dari seluruh kejadian meningioma. Pembedahan
adalah penatalaksanaan yang pertama untuk grade III diikuti dengan
terapi radiasi. Jika terjadi rekurensi tumor, dapat dilakukan
kemoterapi.

Gambar 5. Histologi meningioma grade III WHO


2.6 Gejala Klinis
Gejala yang paling sering timbul meliputi sakit kepala hebat terutama
pada pagi hari, kejang, perubahan kepribadian dan gangguan ingatan, mual
dan muntah, serta penglihatan kabur. Gejala umum yang terjadi disebabkan
karena gangguan fungsi serebral akibat edema otak dan tekanan intrakranial
yang meningkat. Gejala spesifik terjadi akibat destruksi dan kompresi
jaringan saraf, bisa berupa nyeri kepala, muntah, kejang, penurunan
kesadaran, gangguan mental, gangguan visual dan sebagainya. Edema papil
dan defisit neurologis lain biasanya ditemukan pada stadium yang lebih
lanjut. Gejala umumnya seperti:
a. Nyeri kepala

24
Nyeri kepala biasanya terlokalisir, tapi bisa juga menyeluruh.
Biasanya muncul pada pagi hari setelah bangun tidur dan berlangsung
beberapa waktu, datang pergi (rekuren) dengan interval tak teratur
beberapa menit sampai beberapa jam. Serangan semakin lama
semakin sering dengan interval semakin pendek. Nyeri kepala ini
bertambah hebat pada waktu penderita batuk, bersin atau mengejan
(misalnya waktu buang air besar atau koitus). Nyeri kepala juga
bertambah berat waktu posisi berbaring, dan berkurang bila duduk.
Penyebab nyeri kepala ini diduga akibat tarikan (traksi) pada pain
sensitive structure seperti dura, pembuluh darah atau serabut saraf.
b. Kejang
Kejang terjadi bila tumor berada di hemisfer serebri serta
merangsang korteks motorik. Kejang yang sifatnya lokal sukar
dibedakan dengan kejang akibat lesi otak lainnya, sedang kejang yang
sifatnya umum/general sukar dibedakan dengan kejang karena
epilepsi. Tapi bila kejang terjadi pertama kali pada usia dekade III dari
kehidupan harus diwaspadai kemungkinan adanya tumor otak.
c. Mual dan Muntah
Lebih jarang dibanding dengan nyeri kepala. Muntah biasanya
proyektil (menyemprot) tanpa didahului rasa mual, dan jarang terjadi
tanpa disertai nyeri kepala.
d. Edema Papil
Keadaan ini bisa terlihat dengan pemeriksaan funduskopi
menggunakan oftalmoskop. Gambarannya berupa kaburnya batas
papil, warna papil berubah menjadi lebih kemerahan dan pucat,
pembuluh darah melebar atau kadang-kadang tampak terputus-putus.
Untuk mengetahui gambaran edema papil seharusnya kita sudah
mengetahui gambaran papil normal terlebih dahulu. Penyebab edema
papil ini masih diperdebatkan, tapi diduga akibat penekanan terhadap
vena sentralis retinae.

25
Meningioma dapat tumbuh di mana saja di sepanjang meningen dan
dapat menimbulkan manifestasi klinis yang sangat bervariasi sesuai dengan
bagian otak yang terganggu dan seringkali berhubungan dengan
peningkatan tekanan intrakranial.
a. Meningioma lobus frontalis. Sekitar 40% meningioma berlokasi di
lobus frontalis dan 20% menimbulkan gejala sindroma lobus frontalis.
Sindroma lobus frontalis sendiri merupakan gejala ketidakmampuan
mengatur perilaku seperti impulsif, apati, disorganisasi, defisit memori
dan atensi, disfungsi eksekutif, dan ketidakmampuan mengatur mood.
b. Meningioma falx dan parasagital, sering melibatkan sinus sagitalis
superior. Gejala yang timbul biasanya berupa kelemahan pada tungkai
bawah.
c. Meningioma konveksitas, terjadi pada permukaan atas otak. Gejala
meliputi kejang, nyeri kepala hebat, defisit neurologis fokal, dan
perubahan kepribadian sertagangguan ingatan. Defisit neurologis
fokal merupakan gangguan pada fungsi saraf yang mempengaruhi
lokasi tertentu, misalnya wajah sebelah kiri, tangan kiri, kakikiri, atau
area kecil lain seperti lidah. Selain itu dapat juga terjadi gangguan
fungsispesifik, misalnya gangguan berbicara, kesulitan bergerak, dan
kehilangan sensasirasa.
d. Meningioma sphenoid, berlokasi pada daerah belakang mata dan
paling seringmenyerang wanita. Gejala dapat berupa kehilangan
sensasi atau rasa baal pada wajah,serta gangguan penglihatan.
Gangguan penglihatan disini dapat berupa penyempitanlapangan
pandang, penglihatan ganda, sampai kebutaan. Dapat juga terjadi
kelumpuhan pada nervus III.
e. Meningioma olfaktorius, terjadi di sepanjang nervus yang
menghubungkan otak dengan hidung. Gejala dapat berupa kehilangan
kemampuan menghidu dan gangguan penglihatan.
f. Meningioma fossa posterior, berkembang di permukaan bawah bagian
belakang otak terutama pada sudut serebelopontin. Merupakan tumor

26
kedua tersering di fossaposterior setelah neuroma akustik. Gejala yang
timbul meliputi nyeri hebat pada wajah, rasa baal atau kesemutan pada
wajah, dan kekakuan otot-otot wajah. Selain itudapat terjadi gangguan
pendengaran, kesulitan menelan, dan kesulitan berjalan.
g. Meningioma suprasellar, terjadi di atas sella tursica, sebuah kotak
pada dasartengkorak dimana terdapat kelenjar pituitari. Gejala yang
dominan berupa gangguanpenglihatan akibat terjadi pembengkakan
pada diskus optikus. Dapat juga terjadi anosmia, sakit kepala dan
gejala hipopituari.
h. Meningioma tentorial. Gejala yang timbul berupa sakit kepala dan
tanda-tanda serebelum.
i. Meningioma foramen magnus, seringkali menempel dengan nervus
kranialis. Gejalayang timbul berupa nyeri, kesulitan berjalan, dan
kelemahan otot-otot tangan.
j. Meningioma spinal, paling sering menyerang daerah dada terhitung
sekitar 25-46% dari tumor spinal primer. Gejala yang timbul
merupakan akibat langsung daripenekanan terhadap medula spinalis
dan korda spinalis, paling sering berupa nyeriradikular pada anggota
gerak, paraparesis, perubahan refleks tendon, disfungsisfingter, dan
nyeri pada dada. Paraparesis dan paraplegia timbul pada 80% pasien,
namun sekitar 67% pasien masih dapat berjalan.
k. Meningioma intraorbital. Gejala yang dominan terutama pada mata
berupa pembengkakan bola mata, dan kehilangan penglihatan.
l. Meningioma intraventrikular, timbul dari sel araknoid pada pleksus
koroidales danterhitung sekitar 1% dari keseluruhan kasus
meningioma. Gejala meliputi gangguankepribadian dan gangguan
ingatan, sakit kepala hebat, pusing seperti berputar. Selain itu dapat
juga terjadi hidrosefalus komunikans sekunder akibat peningkatan
protein cairan otak.
2.7 Pemeriksaan Penunjang

27
Meningioma sering baru terdeteksi setelah muncul gejala. Diagnosis
dari meningioma dapat ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis pasien
dan gambaran radiologis. Meskipun demikian, diagnosis pasti serta grading
dari meningioma hanya dapat dipastikan melalui biopsi dan pemeriksaan
histologi.
Dalam mendiagnosis suatu tumor otak, selain klinis, peranan radiologi
sangat besar. Dahulu angiografi, kemudian CT Scan dan terakhir MRI;
terutama untuk tumor-tumor di daerah fossa posterior, karena CT Scan
sukar mendiagnosis tumor otak akibat banyaknya artefak, sekalipun
dengan kontras. Dengan MRI suatu tumor dapat dengan jelas tervisualisasi
melalui di potongan 3 dimensi, sehingga memudahkan ahli bedah saraf
untuk dapat menentukan teknik operasi atau menentukan tumor tersebut
tidak dapat dioperasi mengingat risiko/komplikasi yang akan timbul.
1) Foto Polos
Hiperostosis adalah salah satu gambaran mayor dari
meningioma pada foto polos. Diindikasikan untuk tumor pada mening.
Tampak erosi tulang dan dekstruksi sinus sphenoidales, kalsifikasi
dan lesi litik pada tulang tengkorak. Pembesaran pembuluh
darah mening menggambarkan dilatasi arteri meningea yang
mensuplai darah ke tumor. Kalsifikasi terdapat pada 20-25% kasus
dapat bersifat fokal maupun difus.
2) CT Scan
Modalitas CT scan baik yang tanpa kontras maupun dengan
kontras paling banyak memperlihatkan meningioma. Pada CT Scan
tanpa kontras, meningioma akan memberikan gambaran isodense
hingga sedikit hyperdense dan kalsifikasi. Sedangkan CT Scan dengan
kontras akan memberikan gambaran peningkatan densitas yang
homogen. Gambaran hiperostosis, edema peritumoral dan nekrosis
sentral dapat dijumpai pada pencitraan CT Scan kepala.
Pada CT Scan tanpa kontras, kebanyakan meningioma
memperlihatkan lesi hiperdens yang homogen atau berbintik-bintik,

28
bentuknya reguler dan berbatas tegas. Bagian yang hiperdens dapat
memperlihatkan gambaran psammomatous calcifications. Kadang-
kadang meningioma memperlihatkan komponen hipodens yang
prominen apabila disertai dengan komponen kistik, nekrosis,
degenerasi lipomatous atau rongga-rongga. Sepertiga dari
meningioma memperlihatkan gambaran isodens yang biasanya dapat
dilihat berbeda dari jaringan parenkim di sekitarnya dan, hampir
semua lesi-lesi isodens ini menyebabkan efek masa yang bermakna.
Pada CT Scan dengan kontras, semua meningioma
memperlihatkan enhancement kontras yang nyata kecuali lesi-lesi
dengan perkapuran. Pola enhancement biasanya homogen tajam
(intense) dan berbatas tegas. Duramater yang berlanjut ke lesinya
biasanya tebal, tanda yang relatif spesifik karena bisa tampak juga
pada glioma dan metastasis. Di sekitar lesi yang menunjukkan
enhancement, bisa disertai gambaran hypodense semilunar collar atau
berbentuk cincin. Meningioma sering menunjukkan enhancement
heterogen yang kompleks.

Gambar 6. CT Scan tanpa kontras (kiri) dan dengan kontras (kanan)

3) MRI
MRI merupakan pencitraan yang sangat baik digunakan untuk
mengevaluasi meningioma. MRI memperlihatkan lesi berupa massa,
dengan gejala tergantung pada lokasi tumor berada. Melalui MRI,

29
suatu jaringan menunjukkan sifat-sifat karakteristik tertentu pada
gambar Tl dan T2 maupun protondensity. Intensitas jaringan tersebut
biasanya berbeda pada gambar Tl dan T2, kecuali lemak, darah segar,
kalsifikasi, maupun peredaran darah yang cepat. Dengan melihat
gambar Tl maupun T2 dapat ditentukan karakteristik suatu tumor
apakah tumor tersebut padat, kistik, ada perdarahan, kalsifikasi,
nekrosis maupun lemak dan lain-lain. Intensitas jaringan tersebut
mulai dari hipo, iso dan hiper intensitas terlihat jelas pada T1 dan T2.

Gambar 7. MRI T1WI (kiri), T2WI (tengah) dan dengan kontras


(kanan)
4) Angiografi
Angiografi secara khusus mampu menunjukan massa
hipervaskular, menilai aliran darah sinus dan vena. Angiografi
dilakukan hanya jika direncakan dilakukan embolisasi pre-operasi
untuk mengurangi resiko perdarahan intraoperatif. Kelainan pembuluh
darah yang paling khas pada meningioma adalah adanya pembuluh
darah yang memberi darah pada neoplasma oleh cabang-cabang arteri
sistim karotis eksterna. Bila mendapatkan arteri karotis ekstema
yang memberi darah ke tumor yang letaknya intrakranial maka
ini mungkin sekali meningioma. Umumnya meningioma merupakan
tumor vascular. Arteri dan kapiler memperlihatkan gambaran
vascular yang homogen dan prominen yang disebut dengan
mother and law phenomenon.
2.8 Penatalaksanaan
1) Operatif

30
Penatalaksanaan meningioma tergantung dari lokasi dan ukuran
tumor itu sendiri. Terapi meningioma masih menempatkan reseksi
operatif sebagai pilihan pertama. Beberapa faktor yang mempengaruhi
operasi removal massa tumor ini antara lain lokasi tumor, ukuran dan
konsistensi, vaskularisasi dan pengaruh terhadap sel saraf, dan
pada kasus rekurensi, riwayat operasi sebelumnya dan atau
radioterapi. Terdapat dua tujuan utama dari pembedahan yaitu paliatif
dan reseksi tumor. Tujuan dari reseksi meningioma adalah
menentukan diagnosis definitif, mengurangi efek massa, dan
meringankan gejala-gejala. Reseksi harus dilakukan sebersih mungkin
agar memberikan hasil yang lebih baik dan menurunkan kejadian
rekurensi. Reseksi yang dilakukan tidak hanya mengangkat seluruh
tumor tetapi juga meliputi jaringan lunak, batas duramater sekitar
tumor, dan tulang kranium apabila terlibat. Reseksi tumor pada skull
base sering kali subtotal karena lokasi dan perlekatan dengan
pembuluh darah. Tindakan operasi tidak hanya mengangkat seluruh
tumor tetapi juga termasuk dura, jaringan lunak, dan tulang untuk
menurunkan kejadian rekurensi.
Klasifikasi Simpson dari ukuran reseksi pada meningioma
intracranial.
Grade I : Reseksi total tumor, perlekatan dural dan tulang abnormal
Grade II : Reseksi total tumor, koagulasi dari perlekatan dura
Grade III : Reseksi total tumor, tanpa reseksi atau koagulasi dari
perlekatan dura, atau mungkin perluasan ekstradural (misalnya sinus
yang terserang atau tulang yang hiperostotik)
Grade IV : Reseksi parsial tumor
Grade V : Dekompresi sederhana (biopsi)

2) Radioterapi
Indikasi dilakukannya terapi radiasi adalah tumor residual / sisa
setelah tindakan pembedahan, tumor berulang, dan riwayat atipikal

31
atau malignan. Radio terapi digunakan sebagai terapi primer jika
tumor tidak dapat dicapai melalui pembedahan atau ada kontraindikasi
untuk dilakukan pembedahan. Regresi total terlihat pada 95% pasien
dalam 5 tahun pertama dan 92% dalam 10 dan 15 tahun setelah
dilakukan radioterapi dengan atautanpa eksisi subtotal. Angka regresi
tumor untuk 10 tahun pada pasien yang dilakukankombinasi reseksi
subtotal dan radiasi adalah 82%, sementara pada pasien yang
hanyadilakukan reseksi subtotal adalah 18%. Waktu kekambuhan
sekitar 125 bulan pada pasienyang mendapat terapi kombinasi dan 66
bulan pada pasien yang menjalani reseksi subtotalsaja. Pada tumor
malignan, angka harapan hidup 5 tahun setelah pembedahan dan
radiasi adalah 28%. Angka kekambuhan tumor maligna adalah 90%
setelah reseksi subtotal dan 41% setelah terapi kombinasi.
3) Terapi Medis
Interferon saat ini sedang diteliti sebagai inhibitor angiogenesis.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghentikan pertumbuhan
pembuluh darah yang mensuplai tumor. Interferon dapat
dipertimbangkan pada pasien yang mengalami kekambuhan dan
meningioma maligna. Hidroxyurea dan obat-obat kemoterapi lain
diyakini dapat memulai proses kematian sel atau apoptosis pada
sebagian meningioma. Namun pada uji coba klinis, obat ini dianggap
gagal karena meningioma bersifat kemoresisten. Inhibitor dari
receptor progesteron seperti RU-486 juga sedang dievaluasi sebagai
pengobatan untuk meningioma. Namun percobaan klinik terbaru, RU-
486 tidak menunjukan perbaikan apapun. Begitu juga dengan terapi
anti estrogen yang tidak menunjukan perbaikan nyata ssecara klinis
pada percobaan. Beberapa agen molekular seperti penghambat
receptor faktor pertumbuhan epidermal (Epidermal Growth Factor
Receptor / EGFR), inhibitor receptor faktor pertumbuhan derivat
platelet (Platelet Derived Growth Factor Receptor / PDGFR), dan
penghambat tirosin kinase masih diuji coba secara klinis. Kebanyakan

32
uji coba ini terbuka untuk pasien dengan meningioma yang tidak dapat
dioperasi atau yang mengalami kekambuhan. Kortikosteroid dapat
digunakan untuk mengontrol edema sekitar tumor namun tidak dapat
digunakan dalam jangka panjang karena efek sampingnya yang
merugikan.
2.9 Prognosis
Pada umumnya prognosis meningioma adalah baik, karena
pengangkatan tumor yang sempurna akan memberikan penyembuhan yang
permanen. Pada orang dewasa, kelangsungan hidupnya relatif lebih tinggi
dibandingkan pada anak-anak, dilaporkan kelangsungan hidup rate lima
tahun adalah 75%. Pada anak-anak lebih agresif, perubahan menjadi
keganasan lebih besar dan tumor dapat menjadi sangat besar. Pada
penyelidikan pengarang-pengarang barat lebih dari 10% meningioma akan
mengalami keganasan dan kekambuhannya tinggi. Angka kematian
(mortalitas) meningioma sebelum operasi jarang dilaporkan, dengan
kemajuan teknik dan pengalaman operasi para ahli bedah maka angka
kematian post operasi makin kecil.

BAB III

33
PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil anamnesis, pasien dirawat inap dengan keluhan benjolan


di kepala sebeah kiri di belakang telinga berbentuk bulat dengan ukuran kira-kira
sebesar telur puyuh, terasa padat dan keras. Benjolan tidak terasa nyeri. Ukuran
benjolan dirasakan semakin membesar sejak pertama kali muncul benjolan 1
tahun yang lalu. Pasien sering merasa sakit kepala berdenyut yang mereda jika
minum obat. Riwayat penurunan kesadaran (-), muntah proyektil (-) kejang (-).
Dari pemeriksaan fisik, didapatkan status lokalis adanya massa di regio
temporooccipital sinistra berjumlah satu, ukuran 5 cm x 6 cm x 3 cm. Konsistensi
padat dan keras, tidak dapat digerakkan, permukaan rata, warna kulit sama dengan
sekitar, dan ditumbuhi oleh rambut kepala. Tidak ada nyeri pada daerah
penonjolan. Pemeriksaan neurologi dalam batas normal.
Benjolan yang terdapat di belakang telinga kiri pasien ini merupakan
hyperostosis dari tulang tengkorak. Hiperostosis adalah penonjolan tulang yang
berlebihan. Hiperostosis yang terjadi ini diduga merupakan tahap awal dari
meningioma. Meningioma adalah tumor pada meningen, pada umumnya
merupakan tumor jinak, terjadi 2-3 kali lebih banyak pada wanita. Insiden
meningioma yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan dengan laki-laki memicu
timbulnya dugaan bahwa ada pengaruh ekspresi hormon sex. Hormon sex diduga
berperan dalam patogenesis meningioma, dengan ditemukannya beberapa bukti
seperti peningkatan pertumbuhan tumor selama kehamilan dan perubahan ukuran
selama menstruasi. Data observasional juga menunjukkan bahwa menopause dan
oophorectomy merupakan faktor proteksi terhadap perkembangan meningioma,
sedangkan adipositas berhubungan positif dengan penyakit ini.5
Berbagai studi menunjukkan bahwa sebagian besar meningioma
mengekspresikan reseptor hormon estrogen dan progesterone pada membran sel
dengan berbagai variasi. Kedua hormone tersebut dapat memodulasi proliferasi
dan mempercepat siklus sel melalui mekanisme transkripsional. Selain itu,
esterogen juga dapat berinteraksi dengan IGF, dimana dapat menstimulasi
pertumbuhan tumor dan menghambat apoptosis sel.6

34
Dugaan mengenai efek dari hormon sex wanita yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan dari meningioma ini juga membuat para peneliti mencari tau apakah
terdapat hubungan antara penggunaan terapi hormonal exogenous, contohnya
kontrasepsi hormonal, terhadap pertumbuhan meningioma. Pada kasus ini, pasien
juga menggunakan kontrasepsi hormon yaitu KB suntik per 3 bulan sejak 25
tahun yang lalu. Dari suatu studi case control, didapatkan adanya hubungan antara
penggunaan kontrasepsi hormonal, jenis KB hormonal suntik selama 3 bulan, dan
lama penggunaan kontrasepsi hormonal. Pasien yang memiliki riwayat
penggunaan kontrasepsi hormonal memiliki risiko 12,31 kali lebih tinggi.
Penggunaan KB suntik satu bulan dan pengguna pil KB berisiko meningioma
lebih rendah daripada penggunaan KB suntik 3 bulan. Pasien pengguna
kontrasepsi hormonal lebih dari 10 tahun meningkatkan risiko meningioma
sebanyak 18,216 kali.7
Hiperostosis sering dikatakan sebagai suatu tanda awal dari meningioma.
Hiperostosis merupakan penonjolan tulang yang berlebihan. Penyebab
hyperostosis sendiri masih kontroversial, apakah perubahan sekunder tanpa invasi
tumor, atau apakah ada infiltrasi langsung dari sel tumor. Beberapa teori mengenai
penyebab hyperostosis adalah adanya gangguan vaskuler dari tulang karena
adanya tumor, infiltrasi sel tumor meningioma ke tulang, dan bagian dari proses
neoplasma dimana sel tumor menstimulasi osteoblast di tulang normal.8
Gejala klinis yang ditimbulkan dari meningioma sangat bervariasi
tergantung dari bagian otak yang terganggu, seringkali berhubungan dengan
peningkatan tekanan intrakranial. Gejala umum yang sering terjadi berkaitan
dengan peningkatan tekanan intracranial adalah nyeri kepala, kejang, mual dan
muntah. Pada kasus ini, pasien sering mengalami nyeri kepala. Penyebab nyeri
kepala ini diduga akibat tarikan (traksi) pada pain sensitive structure seperti dura,
pembuluh darah atau serabut saraf seiring dengan bertambahnya ukuran dari
tumor. Pada pasien ini juga tidak didapatkan adanya defisit neurologis. Edema
papil dan defisit neurologis lain biasanya ditemukan pada stadium yang lebih
lanjut.

35
Pada pemeriksaan CT Scan kepala tanpa dan dengan kontras didapatkan
kesan sugestif meningioma multiple di frontalis kanan dan temporooccipital kiri,
hiperostosis minimal os frontalis kanan, dan hiperostosis os
temporoparietooccipital kiri. Pada kasus ini, pasien khawatir dengan hyperostosis
di os temporoparietooccipital kiri yang semakin besar, sehingga dilakukan operasi
removal kelebihan tulang itu dan durameter yang mensuplai tumornya. Pada
pasien ini juga terdapat sugestif meningioma multiple di frontalis kanan. Namun,
pada pasien tidak terdapat sindroma lobus frontalis. Oleh karena itu, pada
meningioma lobus frontalis pasien ini dilakukan pengawasan terlebih dahulu.
Edukasi dapat diberikan pada pasien mengenai kontrasepsi hormonal yang
digunakannya, untuk mengganti KB suntik 3 bulan dengan kontrasepsi non
hormonal seperti pemasangan IUD atau penggunaan kondom.

36
BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien dirawat


inap dengan keluhan benjolan di kepala sebelah kiri di belakang telinga.
Massa di regio temporooccipital sinistra berjumlah satu, ukuran 5 cm x 6 cm
x 3 cm. Konsistensi padat dan keras, tidak dapat digerakkan, permukaan
rata, warna kulit sama dengan sekitar, dan ditumbuhi oleh rambut kepala.
Tidak ada nyeri pada daerah penonjolan. Ukuran benjolan dirasakan
semakin membesar sejak pertama kali muncul benjolan 1 tahun yang lalu.
Keluhan nyeri kepala (+). Riwayat penurunan kesadaran (-), muntah
proyektil (-), kejang (-). Tidak ada riwayat keganasan pada keluarga.
Riwayat penggunaan KB suntik 3 bulan selama 25 tahun. Defisit neurologi
(-). Pada pemeriksaan CT Scan kepala tanpa dan dengan kontras didapatkan
kesan sugestif meningioma multiple di frontalis kanan dan temporooccipital
kiri, hiperostosis minimal os frontalis kanan, dan hiperostosis os
temporoparietooccipital kiri. Didapatkan diagnosis pada pasien ini adalah
hyperostosis at regio temporooccipital sinistra, sehingga dilakukan operasi
craniectomi tumor removal.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Rohkamm, Reinhard. 2004. Color Atlas of Neurology. Stuttgart: Thieme.


2. Rowland, Lewis P, ed. 2005. Merritt’s Neurology. 11th ed. New York:
Lippincott Williams & Wilkins.
3. Black, Peter, et al. 2007. Meningiomas =: Science and Surgery. Clinical
Neurosurgery. vol 54 chapter 16 p. 91-99.
4. Louis,D., et al, Meningeal tumours in: WHO Classification of Tumor of The
Central Nervous System, International Agency for Research on
Cancer, 4th ed, Lyon, 2007; 164,167-169
5. M. Wahab & F. Al-Azzawi. 2003. Meningioma and Hormonal Influences.
Climacteric, 6:4, 285-292.
6. Qi Z-Y, Shao C, Huang Y-L, Hui G-Z, Zhou Y-X, et al. 2013. Reproductive
and Exogenous Hormone Factors in Relation to Risk of Meningioma in
Women: A Meta-Analysis. PLoS ONE 8(12): e83261.
7. Wahyuhadi J, Heryani D, Basuki D. 2018. Risk of Meningioma Associated
with Exposure of Hormonal Contraception: A Case Control Study. Maj Obs
Gin 1(26): p36-41.
8. Pieper DR, Al-Mefty O, Hanada Y, Buechner D. 1999. Hyperostosis
Associated with Meningioma of the Cranial Base: Secondary Changes or
Tumor Invasion. Neurosurgery 4(44): 742-747.

38

Anda mungkin juga menyukai