PERTANYAAN
JAWABAN
Trauma pada daerah kepala dapat menyebabkan terjadinya fraktur basis cranial yang
mengakibatkan perubahan fisiologis seperti snoring, nyeri kepala dan muntah, serta dapat
menyebabkan keluarnya darah dari hidung dan telinga karena Karena terjadi peningkatan
intra kranial. Untuk menegakkan diagnosis dapat dilihat dari score GCS: 3. Pemeriksaan
penunjang. Yang dapat dilakukan antra lain ct-scan kepala, MRI, x-ray. Tatalaksana yang
dapat diberikan adalah airway, breathing, circulation.
LI. 1. Memahami dan Menjelaskan Trauma Kepala
1.1 Definisi Trauma Kepala
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara
langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis
yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun
permanen.
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma)
yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural
dan atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009).
3. Berdasarkan Morfologi
a. Cedera kulit kepala
Cedera yang hanya mengenai kulit kepala. Cedera kulit kepala dapat
menjadi pintu masuk infeksi intrakranial.
b. Fraktur Tengkorak
Fraktur yang terjadi pada tulang tengkorak. Fraktur basis cranii secara
anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis cranii dan kalvaria yang
meliputi pada basis caranii tulangnya lebih tipis dibandingkan daerah
kalvaria, durameter daerah basis lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria,
durameter daerah basis lebih melekat erat pada tulang dibandingkan
daerah kalvaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis mengakibatkan
robekan durameter klinis ditandai dengan bloody otorrhea, bloody
rhinorrhea, liquorrhea, brill hematom, batle’s sign, lesi nervus cranialis
yang paling sering N. I, N. VII dan N. VIII (Kasan, 2000).
c. Cedera Otak
1. Commotio Cerebri (Gegar Otak)
Commotio Cerebri (Gegar Otak) adalah cidera otak ringan
karena terkenanya benda tumpul berat ke kepala dimana terjadi
pingsan < 10 menit. Dapat terjadi gangguan yang timbul dengan tiba-
tiba dan cepat berupa sakit kepala, mual, muntah, dan pusing. Pada
waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak diingat
(amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/pasien tidak diingatnya
pula sebelum dan sesudah cidera (amnezia retrograd dan antegrad).
Menurut dokter ahli spesialis penyakit syaraf dan dokter ahli
bedah syaraf, gegar otak terjadi jika coma berlangsung tidak lebih
dari 1 jam. Kalau lebih dari 1 jam, dapat diperkirakan lebih berat dan
mungkin terjadi komplikasi kerusakan jaringan otak yang
berkepanjangan.
2. Contusio Cerebri (Memar Otak)
Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya
pembuluh darah kapiler. Hal ini terjadi bersama-sama dengan
rusaknya jaringan saraf/otak di daerah sekitarnya. Di antara yang
paling sering terjadi adalah kelumpuhan N. Facialis atau N.
Hypoglossus, gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi
kejadian cidera kepala.
Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai
dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda koma,
sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda gangguan
pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan
bradikardia, kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka
merah, keringat profus, serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat
dikendalikan (decebracio rigiditas).
3. Perdarahan Intrakranial
- Epiduralis haematoma
Adalah terjadinya perdarahan antara tengkorak dan
durameter akibat robeknya arteri meningen media atau cabang-
cabangnya. Epiduralis haematoma dapat juga terjadi di tempat
lain, seperti pada frontal, parietal, occipital dan fossa posterior.
- Subduralis haematoma
Subduralis haematoma adalah kejadian haematoma di antara
durameter dan corteks, dimana pembuluh darah kecil vena pecah
atau terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena
tekanan jaringan otak ke arteri meninggia sehingga darah cepat
tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter dan corteks.
Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda meningginya tekanan
dalam jaringan otak (TIK = Tekanan Intra Kranial).
- Subrachnoidalis Haematoma
Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak,
yaitu perdarahan pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling
sering dan berarti pada praktik sehari-hari adalah perdarahan pada
permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahir aneurysna
(pelebaran pembuluh darah). Ini sering menyebabkan pecahnya
pembuluh darah otak.
- Intracerebralis Haematoma
Terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan
subkorteks yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau
arteri pada jaringan otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks.
Selaput otak menjadi pecah juga karena tekanan pada durameter
bagian bawah melebar sehingga terjadilah subduralis haematoma.
4. Berdasarkan Patofisiologi
- Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi-decelerasi
rotasi) yang menyebabkan gangguan pada jaringan. Pada cedera primer
dapat terjadi gegar kepala ringan, memar otak dan laserasi.
- Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti hipotensi
sistemik, hipoksia, hiperkapnea, edema otak, komplikasi pernapasan, dan
infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain.
PEMERIKSAAN FISIK
Hal terpenting yang pertama kali dinilai bahkan mendahului trias adalah status
fungsi vital dan status kesadaran pasien.
Kriteria Skor
Respon buka mata
Spontan 4
Perintah suara 3
Rangsang nyeri 2
Rangsang nyeri tidak ada respon 1
Respon bicara
Orientasi baik 5
Gangguan orientasi 4
Rangsang nyeri membuat kata 3
Rangsang nyeri mengerang 2
Rangsang nyeri tidak ada respon 1
Respon motorik
Menurut perintah 6
Rangsang nyeri melokalisir 5
Rangsang nyeri menjauh 4
Rangsang nyeri fleksi abormal 3
Rangsang nyeri ekstensi abnormal 2
Rangsang nyeri tidak ada respon 1
Berdasarkan Skala Koma Glasgow, berat ringan trauma kapitis dibagi atas:
a. Cedera kepala ringan skor = 13-15
b. Cedera kepala sedang skor = 9-12
c. Cedera kepala berat = 3-8
STATUS NEUROLOGIS
Pemeriksaan neurologik pada kasus trauma kapitis terutama ditujukan
untuk mendeteksi adanya tanda-tanda fokal yang dapat menunjukkan adanya
kelainan fokal, dalam hal ini perdarahan intrakranial. Tanda fokal tersebut ialah:
anisokori, paresis / paralisis, dan refleks patologis.
Selain trauma kepala, harus diperhatikan adanya kemungkinan cedera di
tempat lain seperti trauma thorax, trauma abdomen, fraktur iga atau tulang
anggota gerak harus selalu dipikirkan dan dideteksi secepat mungkin.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. CT–Scan : mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran
ventrikel pergeseran cairan otak.
b. MRI : sama dengan CT–Scan dengan atau tanpa kontraks.
c. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
d. EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang
e. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran
struktur dan garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen
tulang).
f. BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang
otak..
g. PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme
pada otak.
h. Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid.
i. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh
dalam peningkatan TIK.
j. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau
oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK.
k. Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
terhadap penurunan kesadaran.
l. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi
yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.
DIAGNOSIS BANDING
Jika riwayat trauma kurang jelas dan pasien tidak sadar, kita harus membedakan
cedera kepala tertutup dengan penyebab lainnya, seperti: koma diabetik, koma
alkoholik, CVD atau epilepsy (jika pasien kejang).
1.7 Tatalaksana Trauma Kepala
c. Infeksi
Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya
berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system
saraf yang lain.
d. Hilangnya kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala
mengalami masalah kesadaran.
e. Penyakit Alzheimer dan Parkinson
Pada kasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit Alzheimer
tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung
frekuensi dan keparahan cedera.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yang
dirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi.
Dilakukan dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu :
a. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan
pembunuh tercepat pada kasus cedera. Guna menghindari gangguan tersebut
penanganan masalah airway menjadi prioritas utama dari masalah yang
lainnya. Beberapa kematian karena masalah airway disebabkan oleh karena
kegagalan mengenali masalah airway yang tersumbat baik oleh karena
aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas
tertutup lidah penderita sendiri. Pada pasien dengan penurunan kesadaran
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan jalan nafas, selain
memeriksa adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena
pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran udara ke
dalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang
mengancam airway.
b. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada
hambatan adalah membantu pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali
gangguan pernafasan dan membantu pernafasan akan dapat menimbulkan
kematian.
c. Menghentikan perdarahan (Circulations).
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang
berdarah sehingga pembuluh darah tertutup. Kepala dapat dibalut dengan
ikatan yang kuat. Bila ada syok, dapat diatasi dengan pemberian cairan infuse
dan bila perlu dilanjutkan dengan pemberian transfusidarah. Syok biasanya
disebabkan karena penderita kehilangan banyak darah.
Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang
lebih berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat
kecelakaan lalu lintas untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan
hidup. Pencegahan tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup
penderita, meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi
penderita.
Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu
lintas perlu ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan
sosial.
1. Rehabilitasi Fisik
a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada
lengan atas dan bawah tubuh
b. Perlengkapan splint dan caliper
c. Transplantasi tendon
2. Rehabilitasi Psikologis
Pertama-tama dimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan
memotivasi kembali keinginan dan rencana masa depannya. Ancaman
kerusakan atas kepercayaan diri dan harga diri datang dari ketidakpastian
financial, sosial serta seksual yang semuanya memerlukan semangat hidup.
3. Rehabilitasi Sosial
a. Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda,
perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga
penderita tidak ketergantungan terhadap bantuan orang lain.
b. Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan
masyarakat).
Fraktur Temporal terjadi pada 75% dari seluruh kasus fraktur basis cranii.
Tiga subtipe dari fraktur temporal yaitu : tipe longitudinal, transversal, dan tipe
campuran (mixed).
a. Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan pars
skuamosa os temporal, atap dari canalis auditorius eksterna, dan tegmen
timpani. Fraktur-fraktur ini dapat berjalan ke anterior dan ke posterior hingga
cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir di fossa media dekat foramen
spinosum atau pada tulang mastoid secara berurut.
b. Fraktur transversal mulai dari foramen magnum dan meluas ke cochlea dan
labyrinth, berakhir di fossa media.
c. Fraktur campuran merupakan gabungan dari fraktur longitudinal dan fraktur
transversal. Masih ada sistem pengelompokan lain untuk fraktur os temporal
yang sedang diusulkan. Fraktur temporal dibagi menjadi fraktur petrous dan
nonpetrous; dimana fraktur nonpetrous termasuk didalamnya fraktur yang
melibatkan tulang mastoid. Fraktur-fraktur ini tidak dikaitkan dengan defisit
dari nervus cranialis.
Fraktur condylus occipital adalah akibat dari trauma tumpul bertenaga besar
dengan kompresi ke arah aksial, lengkungan ke lateral, atau cedera rotasi pada
ligamentum alar. Fraktur jenis ini dibagi menjadi tiga tipe berdasarkan
mekanisme cedera yang terjadi. Cara lain membagi fraktur ini menjadi fraktur
bergeser dan fraktur stabil misalnya dengan atau tanpa cedera ligamentum yakni:
a. Fraktur tipe I, adalah fraktur sekunder akibat kompresi axial yang
mengakibatkan fraktur kominutif condylus occipital. Fraktur ini adalah suatu
fraktur yang stabil.
b. Fraktur tipe II merupakan akibat dari benturan langsung. Meskipun akan
meluas menjadi fraktur basioccipital, fraktur tipe II dikelompokkan sebagai
fraktur stabil karena masih utuhnya ligamentum alae dan membran tectorial.
c. Fraktur tipe III adalah suatu fraktur akibat cedera avulsi sebagai akibat rotasi
yang dipaksakan dan lekukan lateral. Ini berpotensi menjadi suatu fraktur
yang tidak stabil.
Fraktur Temporal, dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis Cranii.
Terdapat 3 suptipe dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan
mixed. Tipe transversal dari fraktur temporal dan type longitudinal fraktur
temporal ditunjukkan di bawah ini.
A B
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Sebagai tambahan pada suatu pemeriksaan neurologis lengkap, pemeriksaan
darah rutin, dan pemberian tetanus toxoid (yang sesuai seperti pada fraktur
terbuka tulang tengkorak), pemeriksaan yang paling menunjang untuk
diagnosa satu fraktur adalah pemeriksaan radiologi.
b. Pemeriksaan Radiologi
1. Foto Rontgen
Sejak ditemukannya CT-scan, maka penggunaan foto Rontgen
cranium dianggap kurang optimal. Dengan pengecualian untuk kasus-
kasus tertentu seperti fraktur pada vertex yang mungkin lolos dari CT-can
dan dapat dideteksi dengan foto polos maka CT-scan dianggap lebih
menguntungkan daripada foto Rontgen kepala.
Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak tersedia, maka foto
polos x-ray dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Diperlukan
foto posisi AP, lateral, Towne’s view dan tangensial terhadap bagian yang
mengalami benturan untuk menunjukkan suatu fraktur depresi. Foto polos
cranium dapat menunjukkan adanya fraktur, lesi osteolitik atau
osteoblastik, atau pneumosefal. Foto polos tulang belakang digunakan
untuk menilai adanya fraktur, pembengkakan jaringan lunak, deformitas
tulang belakang, dan proses-proses osteolitik atau osteoblastik.
2. CT scan
CT scan adalah kriteria modalitas standar untuk menunjang
diagnosa fraktur pada cranium. Potongan slice tipis pada bone windows
hingga ketebalan 1-1,5 mm, dengan rekonstruksi sagital berguna dalam
menilai cedera yang terjadi. CT scan Helical sangat membantu untuk
penilaian fraktur condylar occipital, tetapi biasanya rekonstruksi tiga
dimensi tidak diperlukan.
3. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Bernilai sebagai pemeriksaan penunjang tambahan terutama untuk
kecurigaan adanya cedera ligamentum dan vaskular. Cedera pada tulang
jauh lebih baik diperiksa dengan menggunakan CT scan. MRI
memberikan pencitraan jaringan lunak yang lebih baik dibanding CT scan.
c. Pemeriksaan Penunjang Lain
Perdarahan melalui telinga dan hidung pada kasus-kasus yang dicurigai
adanya kebocoran CSF, bila di dab dengan menggunakan kertas tissu akan
menunjukkan adanya suatu cincin jernih pada tissu yang telah basah diluar
dari noda darah yang kemudian disebut suatu “halo” atau “ring” sign. Suatu
kebocoran CSF juga dapat diketahui dengan menganalisa kadar glukosa dan
mengukur tau-transferrin, suatu polipeptida yang berperan dalam transport ion
Fe.
DIAGNOSIS BANDING
- Echimosis periorbita (racoon eyes) dapat disebabkan oleh trauma langsung
seperti kontusio fasial atau blow-out fracture dimana terjadi fraktur pada
tulang-tulang yang membentuk dasar orbita (arcus os zygomaticus, fraktur Le
Fort tipe II atau III, dan fraktur dinding medial atau sekeliling orbital).
- Rhinorrhea dan otorrhea selain akibat fraktur basis cranii juga bisa
diakibatkan oleh:
a. Kongenital
b. Ablasi tumor atau hidrosefalus
c. Penyakit-penyakit kronis atau infeksi
d. Tindakan bedah
B. Penatalaksanaan
Adapun penangannan umum dari trauma kepala sendiri, meliputi:
1. Pengendalian Tekanan IntraCraniial
Manitol efektif untuk mengurangi edem serebral dan TIK. Selain
karena efek osmotik , manitol juga dapat mengurangi TIK dengan
meningkatkan arus microcirculatory otak dan pengiriman oksigen. Efek
pemberian bolus manitol tampaknya sama selama rentang 0,25 sampai 1,0
g / kg.
2. Mengontrol tekanan perfusi otak
Tekanan perfusi otak harus dipertahankan antara 60 dan 70 mmHg,
baik dengan mengurangi TIK atau dengan meninggikan MAP . Rehidrasi
secara adekuat dan mendukung kardiovaskular dengan vasopressors dan
inotropik untuk meningkatkan MAP dan mempertahankan tekanan perfusi
otak > 70 mmHg.
3. Mengontrol hematokrit
Aliran darah otak dipengaruhi oleh hematokrit. Viskositas darah
meningkat sebanding dengan semakin meningkatnya hematokrit dan
tingkat optimal sekitar 35%. Aliran darah otak berkurang jika hematokrit
meningkat lebih dari 50% dan meningkat dengan tingkat hematokrit di
bawah 30.
4. Obat obatan
Pemberian rutin obat sedasi, analgesik dan agen yang memblokir
neuromuscular. Propofol telah menjadi obat sedatif pilihan. Fentanil dan
morfin sering diberikan untuk membatasi nyeri, memfasilitasi ventilasi
mekanis dan mempotensiasi efek sedasi. Obat yang memblokir
neuromuscular mencegah peningkatan TIK yang dihasilkan oleh batuk
dan penegangan pada endotrachealtube.
5. Pengaturan suhu
Demam dapat memperberat defisit neurologis yang ada dan dapat
memperburuk kondisi pasien. Metabolisme otak akan oksigen meningkat
sebesar 6-9 % untuk setiap kenaikan derajat Celcius. Tiap fase akut
cedera kepala, hipertermia harus diterapi karena akan memperburuk
iskemik otak.
6. Mengontrol bangkitan
Bangkitan terjadi terutama di mereka yang telah menderita
hematoma, menembus cedera, termasuk patah tulang tengkorak dengan
penetrasi dural, adanya tanda fokal neurologis dan sepsis. Antikonvulsan
harus diberikan apabila terjadi bangkitan.
7. Kontrol cairan
NaCl 0,9% , dengan osmolaritas 308 mosm / l, telah menjadi
kristaloid pilihan dalam manajemen dari cedera otak. Resusitasi dengan
0,9 % saline membutuhkan 4 kali volume darah yang hilang untuk
memulihkan parameter hemodinamik.
8. Posisi kepala
Menaikkan posisi kepala dengan sudut 15-300 dapat menurunkan
TIK dan meningkatkan venous return ke jantung.
9. Merujuk ke dokter bedah saraf
Rujukan ke seorang ahli bedah saraf:
- GCS kurang dari atau sama dengan setelah resusitasi awal
- Disorientasi yang berlangsung lebih 4 jam
- Penurunan skor GCS terutama respon motoric
- Tanda-tanda neurologis fokal progresif
- Kejang tanpa pemulihan penuh
- Cedera penetrasi
- Kebocoran cairan serebrospinal
ETIOLOGI
Penyebab trauma nasal ada 4 yaitu:
¤ Mendapat serangan misal dipukul
¤ Injury karena olah raga
¤ Kecelakaan (personal accident)
¤ Kecelakaan lalu lintas
Dari 4 causa diatas, yang paling sering karena mendapat serangan misalnya
dipukul dan kebanyakan pada remaja. Jenis olah raga yang dapat menyebabkan
injury nasal misalnya sepak bola, khususnya ketika dua pemain berebut bola diatas
kepala; olah raga yang menggunakan raket misalnya ketika squash, raket dapat
mengayun ke belakang atau depan dan dapat memukul hidung atau karate; petinju.
Trauma nasal yang disebabkan oleh kecepatan yang tinggi menyebabkan fraktur
wajah.
KLASIFIKASI
Murray melaporkan bahwa kebanyakan deviasi akibat fraktur nasal meliputi
juga fraktur pada kartilago septum nasal. Fraktur nasal lateral merupakan yang
paling sering dijumpai pada fraktur nasal. Fraktur nasal lateral akan menyebabkan
penekanan pada hidung ipsilateral yang biasanya meliputi setengah tulang hidung
bagian bawah, prosesus nasomaksilaris dan bagian tepi piriformis. Trauma nasal
yang dihasilkan dari suatu pukulan bervariasi tergantung pada :
¤ Usia pasien yang sangat berpengaruh pada fleksibilitas jaringan dalam
meredam energi dari pukulan
¤ Besarnya tenaga pukulan, arah pukulan dimana akan menentukan bagian nasal
yang rusak. Kondisi dari obyek yang menyebabkan trauma nasal dan trauma
jaringan lunak yang umum terjadi meliputi: laserasi, ekimosis, hematom di
luar dan di dalam rongga hidung. Trauma pada kerangka hidung meliputi
fraktur (putusnya hubungan, lebih sering pada usia lanjut), dislokasi (pada
anak-anak), dan fraktur dislokasi. Trauma dislokasi dapat mengenai artikulasi
kerangka hidung luar atau pada septum nasi.
¤ Waktu kejadian
Trauma lain yang sering dihubungkan dengan fraktur nasal adalah fraktur
frontalis, ethmoid dan tulang lakrimalis, fraktur nasoorbital ethmoid; fraktur
dinding orbita; fraktur lamina kribriformis; fraktur sinus frontalis dan fraktur
maksila Le Fort I, II, dan III. Terdapat beberapa jenis fraktur nasal antara lain :
¤ Fraktur lateral
Adalah kasus yang paling sering terjadi, dimana fraktur hanya terjadi pada
salah satu sisi saja, kerusakan yang ditimbulkan tidak begitu parah.
¤ Fraktur bilateral
Merupakan salah satu jenis fraktur yang juga paling sering terjadi selain
fraktur lateral, biasanya disertai dislokasi septum nasal atau terputusnya tulang
nasal dengan tulang maksilaris.
DIAGNOSIS
Diagnosis fraktur tulang hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan
pemeriksaan hidung bagian dalam dilakukan dengan rinoskopi anterior, biasanya
ditandai dengan pembengkakan mukosa hidung terdapatnya bekuan dan
kemungkinan ada robekan pada mukosa septum, hematoma septum, dislokasi atau
deviasi pada septum.
Pemeriksaan penunjang berupa foto os nasal, foto sinusparanasal posisi
Water dan bila perlu dapat dilakukan pemindaian dengan CT scan. CT scan
berguna untuk melihat fraktur hidung dan kemungkinan terdapatnya fraktur
penyerta lainnya.
Pasien harus selalu diperiksa terhadap adanya hematoma septum akibat
fraktur, bilamana tidak terdeteksi. Dan tidak dirawat dapat berlanjut menjadi abses,
dimana terjadi resorpsi kartilago septum dan deformitas hidung pelana (saddle
nose) yang berat.
Anamnesis
Rentang waktu antara trauma dan konsultasi dengan dokter sangatlah
penting untuk penatalaksanaan pasien. Sangatlah penting untuk menentukan
waktu trauma dan menentukan arah dan besarnya kekuatan dari benturan.
Sebagai contoh, trauma dari arah frontal bisa menekan dorsum nasal, dan
menyebabkan fraktur nasal. Pada kebanyakan pasien yang mengalami trauma
akibat olahraga, trauma nasal yang terjadi berulang dan terus menerus, dan
deformitas hidung akan menyebabkan sulit menilai antara trauma lama dan
trauma baru sehingga akan mempengaruhi terapi yang diberikan. Informasi
mengenai keluhan hidung sebelumnya dan bentuk hidung sebelumnya juga
sangat berguna. Keluhan utama yang sering dijumpai adalah epistaksis,
deformitas hidung, obstruksi hidung dan anosmia.
Pemeriksaan fisik
Kebanyakan fraktur nasal adalah pelengkap trauma seperti trauma akibat
dihantam atau terdorong. Sepanjang penilaian awal dokter harus menjamin
bahwa jalan napas pasien aman dan ventilasi terbuka dengan sewajarnya.
Fraktur nasal sering dihubungkan dengan trauma pada kepala dan leher yang
bisa mempengaruhi patennya trakea. Fraktur nasal ditandai dengan laserasi
pada hidung, epistaksis akibat robeknya membran mukosa. Jaringan lunak
hidung akan nampak ekimosis dan udem yang terjadi dalam waktu singkat
beberapa jam setelah trauma dan cenderung nampak di bawah tulang hidung
dan kemudian menyebar ke kelopak mata atas dan bawah.
Deformitas hidung seperti deviasi septum atau depresi dorsum nasal
yang sangat khas, deformitas yang terjadi sebelum trauma sering
menyebabkan kekeliruan pada trauma baru. Pemeriksaan yang teliti pada
septum nasal sangatlah penting untuk menentukan antara deviasi septum dan
hematom septi, yang merupakan indikasi absolut untuk drainase bedah segera.
Sangatlah penting untuk memastikan diagnosa pasien dengan fraktur, terutama
yang meliputi tulang ethmoid. Fraktur tulang ethmoid biasanya terjadi pada
pasien dengan fraktur nasal fragmental berat dengan tulang piramid hidung
telah terdorong ke belakang ke dalam labirin ethmoid, disertai remuk dan
melebar, menghasilkan telekantus, sering dengan rusaknya ligamen kantus
medial, apparatus lakrimalis dan lamina kribriformis, yang menyebabkan
rhinorrhea cerebrospinalis.
Pada pemeriksaan fisis dengan palpasi ditemukan krepitasi akibat
emfisema subkutan, teraba lekukan tulang hidung dan tulang menjadi
irregular. Pada pasien dengan hematom septi tampak area berwarna putih
mengkilat atau ungu yang nampak berubah-ubah pada satu atau kedua sisi
septum nasal. Keterlambatan dalam mengidentifikasi dan penanganan akan
menyebabkan deformitas bentuk pelana, yang membutuhkan penanganan
bedah segera. Pemeriksaan dalam harus didukung dengan pencahayaan,
anestesi, dan semprot hidung vasokonstriktor. Spekulum hidung dan lampu
kepala akan memperluas lapangan pandang. Pada pemeriksaan dalam akan
nampak bekuan darah dan/atau deformitas septum nasal.
Pemeriksaan radiologis
Jika tidak dicurigai adanya fraktur nasal komplikasi, radiografi jarang
diindikasikan. Karena pada kenyataannya kurang sensitif dan spesifik,
sehingga hanya diindikasikan jika ditemukan keraguan dalam mendiagnosa.
Radiografi tidak mampu untuk mengidentifikasi kelainan pada kartilago dan
ahli klinis sering salah dalam menginterpretasikan sutura normal sebagi fraktur
yang disertai dengan pemindahan posisi. Bagaimanapun, ketika ditemukan
gejala klinis seperti rhinorrhea cerebrospinalis, gangguan pergerakan
ekstraokular atau maloklusi. CT-scan dapat diindikasikan untuk menilai
fraktur wajah atau mandibular.
Gambar Foto x-ray fraktur hidung
TATALAKSANA
Konservatif
Penatalaksanaan fraktur nasal berdasarkan atas gejala klinis, perubahan
fungsional dan bentuk hidung, oleh karena itu pemeriksaan fisik dengan
dekongestan nasal dibutuhkan. Dekongestan berguna untuk mengurangi
pembengkakan mukosa. Pasien dengan perdarahan hebat, biasanya dikontrol
dengan pemberian vasokonstriktor topikal. Jika tidak berhasil bebat kasa tipis,
kateterisasi balon, atau prosedur lain dibutuhkan tetapi ligasi pembuluh darah
jarang dilakukan. Bebat kasa tipis merupakan prosedur untuk mengontrol
perdarahan setelah vasokonstriktor topikal. Biasanya diletakkan dihidung
selama 2-5 hari sampai perdarahan berhenti. Pada kasus akut, pasien harus
diberi es pada hidungnya dan kepala sedikit ditinggikan untuk mengurangi
pembengkakan. Antibiotik diberikan untuk mengurangi resiko infeksi,
komplikasi dan kematian. Analgetik berperan simptomatis untuk mengurangi
nyeri dan memberikan rasa nyaman pada pasien.
Fraktur nasal merupakan fraktur wajah yang tersering dijumpai. Jika
dibiarkan tanpa dikoreksi, akan menyebabkan perubahan struktur hidung dan
jaringan lunak sehingga akan terjadi perubahan bentuk dan fungsi. Karena itu,
ketepatan waktu terapi akan menurunkan resiko kematian pasien dengan
fraktur nasal. Terdapat banyak silang pendapat mengenai kapan seharusnya
penatalaksanaan dilakukan. Penatalaksanaan terbaik seharusnya dilakukan
segera setelah fraktur terjadi, sebelum terjadi pembengkakan pada hidung.
Sayangnya, jarang pasien dievaluasi secara cepat. Pembengkakan pada
jaringan lunak dapat mengaburkan apakah patah yang terjadi ringan atau berat
dan membuat tindakan reduksi tertutup menjadi sulit dilakukan. Sebab dari itu
pasien dievaluasi setelah 3-4 hari berikutnya. Tindakan reduksi tertutup
dilakukan 7-10 hari setelahnya dapat dilakukan dengan anestesi lokal. Jika
tindakan ditunda setelah 7-10 hari maka akan terjadi kalsifikasi.
Setelah memastikan bahwa saluran napas dalam kondisi baik,
pernapasan optimal dan keadaan pasien cenderung stabil, dokter baru
melakukan penatalaksaan terhadap fraktur. Penatalaksanaan dimulai dari
cedera luar pada jaringan lunak. Jika terjadi luka terbuka dan kemungkinan
kontaminasi dari benda asing, maka irigasi diperlukan. Tindakan pembersihan
(debridement) juga dapat dilakukan. Namun pada tindakan debridement harus
diperhatikan dengan bijak agar tidak terlalu banyak bagian yang dibuang
karena lapisan kulit diperlukan untuk melapisi kartilago yang terbuka.
Operatif
Untuk fraktur nasal yang tidak disertai dengan perpindahan fragmen
tulang, penanganan bedah tidak dibutuhkan karena akan sembuh dengan
spontan. Deformitas akibat fraktur nasal sering dijumpai dan membutuhkan
reduksi dengan fiksasi adekuat untuk memperbaiki posisi hidung.
¤ Teknik reduksi tertutup
Reduksi tertutup adalah tindakan yang dianjurkan pada fraktur
hidung akut yang sederhana dan unilateral. Teknik ini merupakan satu
teknik pengobatan yang digunakan untuk mengurangi fraktur nasal yang
baru terjadi. Namun, pada kasus tertentu tindakan reduksi terbuka di ruang
operasi kadang diperlukan. Penggunaan analgesia lokal yang baik, dapat
memberikan hasil yang sempurna pada tindakan reduksi fraktur tulang
hidung. Jika tindakan reduksi tidak sempurna maka fraktur tulang hidung
tetap saja pada posisi yang tidak normal. Tindakan reduksi ini dikerjakan
1-2 jam sesudah trauma, dimana pada waktu tersebut edema yang terjadi
mungkin sangat sedikit. Namun demikian tindakan reduksi secara lokal
masih dapat dilakukan sampai 14 hari sesudah trauma. Setelah waktu
tersebut tindakan reduksi mungkin sulit dikerjakan karena sudah terbentuk
proses kalsifikasi pada tulang hidung sehingga perlu dilakukan tindakan
rinoplasti estetomi.
KOMPLIKASI
¤ Hematom septi
Merupakan komplikasi yang sering dan serius dari trauma nasal. Septum
hematom ditandai dengan adanya akumulasi darah pada ruang subperikondrial.
Ruangan ini akan menekan kartilago di bawahnya, dan mengakibatkan
nekrosis septum irreversible. Deformitas bentuk pelana dapat berkembang dari
jaringan lunak yang hilang. Prosedur yang harus dilakukan adalah drainase
segera setelah ditemukan disertai dengan pemberian antibiotik setelah
drainase.
Gambar 17:
Bilateral septal hematomas associated with a nasal fracture
PROGNOSIS
Kebanyakan fraktur nasal tanpa disertai dengan perpindahan posisi akan
sembuh tanpa adanya kelainan kosmetik dan fungsional. Dengan teknik reduksi
terbuka dan tertutup akan mengurangi kelainan kosmetik dan fungsional pada 70 %
pasien.
B. Fraktur Wajah
Fraktur maksila sendiri sebagai bagian dari trauma maxillofacial cukup
sering ditemukan, walaupun lebih jarang dibandingkan dengan fraktur mandibula.
Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab tersering fraktur maksila
maupun fraktur wajah lainnya. Pada fraktur maksila juga dapat muncul berbagai
komplikasi yang cukup berat, dimana apabila tidak ditangani dengan baik dapat
mengakibatkan kecacatan dan kematian.
Trauma maxillofacial cukup sering terjadi. Hampir semua dokter baik itu
dokter umum maupun dokter spesialis bedah mendapatkan pasien trauma wajah
selama praktiknya. Dokter bedah plastik yang memiliki keahlian khusus dalam
anatomi wajah, latar belakang estetika, dan keahlian dalam penyembuhan luka
sering kali mendapatkan rujukan untuk menangani pasien trauma wajah.
KLASIFIKASI
Berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh Rene Le Fort, terdapat tiga
pola fraktur maksila, yaitu Le Fort I, II, dan III. Selain fraktur Le Fort, terdapat
pula fraktur alveolar, dan vertikal atau sagital maupun parasagital.
a. Fraktur Le Fort I
Fraktur Le Fort I dikenal juga dengan fraktur Guerin yang terjadi di atas
level gigi yang menyentuh palatum, meliputi keseluruhan prosesus alveolar
dari maksila, kubah palatum, dan prosesus pterigoid dalam blok tunggal.
Fraktur membentang secara horizontal menyeberangi basis sinus maksila.
Dengan demikian buttress maksilari transversal bawah akan bergeser terhadap
tulang wajah lainnya maupun kranium.
b. Fraktur Le Fort II
Pukulan pada maksila atas atau pukulan yang berasal dari arah frontal
menimbulkan fraktur dengan segmen maksilari sentral yang berbentuk
piramida. Karena sutura zygomaticomaxillary dan frontomaxillary (buttress)
mengalami fraktur maka keseluruhan maksila akan bergeser terhadap basis
kranium.
d. Fraktur Alveolar
Bagian dentoalveolar dari maksila dapat mengalami fraktur akibat
pukulan langsung maupun secara tidak tidak langsung pada mandibula.
Sebagian dari prosesus alveolar dapat mengalami fraktur.
TATALAKSANA
Penatalaksanaan pada fraktur maksila meliputi penegakan airway, kontrol
pendarahan, penutupan luka pada soft tissue, dan menempatkan segmen tulang
yang fraktur sesuai dengan posisinya melalui fiksasi intermaksilari.
Sebelumnya, fraktur midface direkonstruksi dengan teknik yang pertama kali
diperkenalkan oleh Milton Adams. Adam mendeskripsikan reduksi terbuka direk
dan fiksasi internal rima orbita serta kombinasi reduksi tertutup dengan fiksasi
maksilomandibular midface bawah dan kompresi menggunakan kawat. Namun
teknik ini menyebabkan wajah pasien memendek dan tetap mengalami retrusi.
Sekarang ini treatment fraktur Le Fort tidak hanya bertujuan untuk memperbaiki
oklusi sebelum fraktur, tapi juga proyeksi, lebar, dan panjang wajah serta integritas
kavitas nasal, orbita dan kontur soft tissue. Tujuan tersebut dicapai dengan
melakukan CT scan potongan tipis, reduksi terbuka ekstensif semua fraktur,
stabilisasi rigid menggunakan plat dan sekrup, cangkok tulang apabila terdapat gap
akibat hilangnya segmen tulang, dan reposisi selubung soft tissue.
Fiksasi Maksilomandibular. Teknik ini merupakan langkah pertama dalam
treatment fraktur maksila untuk memungkinkan restorasi hubungan oklusal
yang tepat dengan aplikasi arch bars serta kawat interdental pada arkus dental
atas dan bawah. Prosedur ini memerlukan anestesi umum yang diberikan
melalui nasotracheal tube. Untuk ahli bedah yang sudah berpengalaman dapat
pula diberikan melalui oral endotracheal tube yang ditempatkan pada gigi
molar terakhir. Tracheostomy biasanya dihindari kecuali terjadi perdarahan
masif dan cedera pada kedua rahang, karena pemakaian fiksasi rigid akan
memerlukan operasi selanjutnya untuk membukannya.
Akses Fiksasi. Akses untuk mencapai rangka wajah dilakukan pada tempat-
tempat tertentu dengan pertimbangan nilai estetika selain kemudahan untuk
mencapainya. Untuk mencapai maksila anterior dilakukan insisi pada sulkus
gingivobuccal, rima infraorbital, lantai orbital, dan maksila atas melalui
blepharoplasty (insisi subsiliari). Daerah zygomaticofrontal dicapai melalui
batas lateral insisi blepharoplasty. Untuk daerah frontal, nasoethmoidal, orbita
lateral, arkus zygomatic dilakukan melalui insisi koronal bila diperlukan.
Reduksi Fraktur. Segmen-segmen fraktur ditempatkan kembali secara
anatomis. Tergantung pada kompleksitas fraktur, stabilisasi awal sering
dilakukan dengan kawat interosseous. CT scan atau visualisasi langsung pada
fraktur membantu menentukan yang mana dari keempat pilar/buttress yang
paling sedikit mengalami fraktur harus direduksi terlebih dahulu sebagai
petunjuk restorasi yang tepat dari panjang wajah. Sedangkan fiksasi
maksilomandibular dilakukan untuk memperbaiki lebar dan proyeksi wajah.
Stabilisasi Plat dan Sekrup. Fiksasi dengan plat kecil dan sekrup lebih
disukai. Pada Le Fort I, plat mini ditempatkan pada tiap buttress
nasomaxillary dan zygomaticomaxillary. Pada Le Fort II, fiksasi tambahan
dilakukan pada nasofrontal junction dan rima infraorbital. Pada Le Fort III,
plat mini ditempatkan pada artikulasi zygomaticofrontal untuk stabilisasi. Plat
mini yang menggunakan sekrup berukuran 2 mm dipakai untuk stabilisasi
buttress maksila. Ukuran yang sedemikian kecil dipakai agar plat tidak terlihat
dan teraba. Kompresi seperti pada metode yang dijukan oleh Adam tidak
dilakukan kecuali pada daerah zygomaticofrontal. Sebagai gantinya maka
dipakailah plat mini agar dapat beradaptasi secara pasif menjadi kontur rangka
yang diinginkan. Pengeboran untuk memasang sekrup dilakukan dengan gurdi
bor yang tajam dengan diameter yang tepat. Sebelumnya sekrup didinginkan
untuk menghindari terjadinya nekrosis dermal tulang serta dilakukan dengan
kecepatan pengeboran yang rendah. Fiksasi maksilomandibular dengan traksi
elastis saja dapat dilakukan pada fraktur Le Fort tanpa mobilitas. Namun,
apabila dalam beberapa hari oklusi tidak membaik, maka dilakukan reduksi
terbuka dan fiksasi internal.
Cangkok Tulang Primer. Tulang yang rusak parah atau hilang saat fraktur
harus diganti saat rekonstruksi awal. Bila Gap yang terbentuk lebih dari 5 mm
maka harus digantikan dengan cangkok tulang. Cangkok tulang diambil dari
kranium karena aksesibilitasnya (terutama jika diakukan insisi koronal),
morbiditas tempat donor diambil minimal, dan memiliki densitas kortikal
tinggi dengan volum yang berlimpah. Pemasangan cangkokan juga dilakukan
dengan plat mini dan sekrup. Penggantian defek dinding antral lebih dari 1.5
cm bertujuan untuk mencegah prolaps soft tissue dan kelainan pada kontur
pipi.
Pelepasan Fiksasi Maksilomandibular. Setelah reduksi dan fiksasi semua
fraktur dilakukan, fiksasi maksilomandibular dilepaskan, oklusi diperiksa
kembali. Apabila terjadi gangguan oklusi pada saat itu, berarti fiksasi rigid
harus dilepas, MMF dipasang kembali, reduksi dan fiksasi diulang.
Resuspensi Soft tissue. Pada saat menutup luka, soft tissue yang telah terpisah
dari rangka dibawahnya ditempelkan kembali. Untuk menghindari dystopia
lateral kantal, displacement massa pipi malar ke inferior, dan kenampakan
skleral yang menonjol, dilakukan canthoplexy lateral dan penempelan kembali
massa soft tissue pipi pada rima infraorbita.
Fraktur Sagital dan Alveolar Maksila. Pada fraktur ini dapat terjadi rotasi
pada segmen alveolar denta, dan merubah lebar wajah. Sebagian besar terjadi
mendekati garis tengah pada palatum dan keluar di anterior diantara gigi-gigi
kuspid. Fraktur sagital dan juga tuberosity dapat distabilkan setelah fiksasi
maksilomandibular dengan fiksasi sekrup dan plat pada tiap buttress
nasomaksilari dan zygomaticomaxillary.
Perawatan Postoperative Fraktur Maksila. Manajemen pasca operasi terdiri
dari perawatan secara umum pada pasien seperti kebesihan gigi dan mulut,
nutrisi yang cukup, dan antibiotik selama periode perioperasi.
KOMPLIKASI
Komplikasi awal fraktur maksila dapat berupa pendarahan ekstensif serta
gangguan pada jalan nafas akibat pergeseran fragmen fraktur, edema, dan
pembengkakan soft tissue. Infeksi pada luka maksilari lebih jarang dibandingkan
pada luka fraktur mandibula. Padahal luka terkontaminasi saat terjadi cedera oleh
segmen gigi dan sinus yang juga mengalami fraktur. Infeksi akibat fraktur yang
melewati sinus biasanya tidak akan terjadi kecuali terdapat obstruksi sebelumnya.
Pada Le Fort II dan III, daerah kribiform dapat pula mengalami fraktur, sehingga
terjadi rhinorrhea cairan serebrospinal. Selain itu, kebutaan juga dapat terjadi
akibat pendarahan dalam selubung dural nervus optikus. Komplikasi akhir dapat
berupa kegagalan penyatuan tulang yang mengalami fraktur, penyatuan yang salah,
obstruksi sistem lakrimal, anestesia/hipoestesia infraorbita, devitalisasi gigi,
ketidakseimbangan otot ekstraokuler, diplopia, dan enoftalmus. Kenampakan
wajah juga dapat berubah (memanjang, retrusi).
PROGNOSIS
Fiksasi intermaksilari merupakan treatment paling sederhana dan salah satu
yang paling efektif pada fraktur maksila. Jika teknik ini dapat dilakukan sesegera
mungkin setelah terjadi fraktur, maka akan banyak deformitas wajah akibat fraktur
dapat kita eliminasi. Mandibula yang utuh dalam fiksasi ini dapat membatasi
pergeseran wajah bagian tengah menuju ke bawah dan belakang, sehingga elongasi
dan retrusi wajah dapat dihindari. Sedangkan fraktur yang baru akan ditangani
setelah beberapa minggu kejadian, dimana sudah mengalami penyembuhan secara
parsial, hampir tidak mungkin untuk direduksi tanpa full open reduction, bahkan
kalaupun dilakukan tetap sulit untuk direduksi.
a. Etiologi
Kausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi:
- Trauma kepala
- Sobekan a/v meningea mediana
- Ruptur sinus sagitalis / sinus tranversum
- Ruptur v. diplorica
b. Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi:
- Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma
- Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24 jam – 7 hari
- Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7
SUBDURAL HEMATOMA
Perdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan
araknoid. Perdarahan subdural dapat berasal dari:
1. Ruptur vena jembatan ("Bridging vein") yaitu vena yang berjalan dari
ruangan subaraknoid atau korteks serebri melintasi ruangan subdural dan
bermuara di dalam sinus venosus duramater.
2. Robekan pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid
(Gambar CT SCAN Subdural hematom)
a. Etiologi
- Trauma kepala
- Malformasi arteriovenosa
- Diskrasia darah
- Terapi antikoagulan
b. Klasifikasi
1. Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah
trauma.Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat
mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah
terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5
mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya,
didapatkan lesi hiperdens.
2. Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari
sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan
darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada
pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya
didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena
terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
3. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa
lebih.Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu
berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma
yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan
perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular
atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita
harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi
membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan
herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk
mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum
terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat
pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini
mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi
duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat
menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah
ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan
menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk
cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea.
Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor
serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien
yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya
didapatkan lesi hipodens
INTRASEREBRAL HEMATOM
Adalah perdarahan yang terjadi di dalam jaringan otak. Hematom intraserbral
pasca traumatik merupkan koleksi darah fokal yang biasanya diakibatkan cedera
regangan atau robekan rasional terhadap pembuluh-pembuluh darahintraparenkimal
otak atau kadang-kadang cedera penetrans. Ukuran hematom ini bervariasi dari
beberapa milimeter sampai beberapa centimeter dan dapat terjadi pada 2%-16% kasus
cedera.
Intracerebral hematom mengacu pada hemorragi / perdarahan lebih dari 5
mldalam substansi otak (hemoragi yang lebih kecil dinamakan punctate atau
petechial /bercak).
a. Etiologi
Intraserebral hematom dapat disebabkan oleh:
- Trauma kepala
- Hipertensi
- Malformasi arteriovenosa
- Aneurisme
- Terapi antikoagulan
- Diskrasia darah
b. Klasifikasi
Klasifikasi intraserebral hematom menurut letaknya:
- Hematom supra tentoral
- Hematom serebeller
- Hematom pons-batang otak
SUBDURAL HEMATOMA
Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar
atau laserasi, adalah lokasi umum terjadinya perdarahan. Hal ini sangat
berhubungan dengan comtusio serebral dan oedem otak. CT Scan menunjukkan
effect massa dan pergeseran garis tengah dalam exsess dari ketebalan hematom
yamg berhubungan dengan trauma otak.
INTRASEREBRAL HEMATOM
Hematom intraserebral biasanya 80%-90% berlokasi di frontotemporal atau
di daerah ganglia basalis, dan kerap disertai dengan lesi neuronal primer lainnya
serta fraktur kalvaria.
SUBDURAL HEMATOMA
Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala)
sampai penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak
begitu hebat deperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada effek massa
atau lesi lainnya.
Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian
tekanan intrakranial seperti : sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema,
diplopia akibat kelumpuhan N. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis
lainnya. Kadang kala yang riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga tumor
otak.
INTRASEREBRAL HEMATOM
Klinis penderita tidak begitu khas dan sering (30%-50%) tetap sadar, mirip
dengan hematom ekstra aksial lainnya. Manifestasi klinis pada puncaknya tampak
setelah 2-4 hari pasca cedera, namun dengan adanya scan computer tomografi
otak, diagnosanya dapat ditegakkan lebih cepat.
Kriteria diagnosis hematom supra tentorial:
Nyeri kepala mendadak
Penurunan tingkat kesadaran dalam waktu 24-48 jam
Tanda fokal yang mungkin terjadi:
- Hemiparesis / hemiplegi
- Hemisensorik
- Hemi anopsia homonim
- Parese nervus III
c. Pencitraan
Radiografi
o Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan
vaskular cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau
vertex juga mungkin diamati.
o Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan
epidural. Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan
dengan fraktur kranium. Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena
kecacatan kranium yang lebih besar.
CT-scan
o CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam
mendiagnosa perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang
ditempati perdarahan epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema
bagian dalam kranium, khususnya pada garis sutura, memberi
tampilan lentikular atau bikonveks. Hidrosefalus mungkin muncul
pada pasien dengan perdarahan epidural fossa posterior yang besar
mendesak efek massa dan menghambat ventrikel keempat.
o CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu
hematom kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas hemoglobin
dalam hematom menentukan jumlah radiasi yang diserap.
o Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim
otak dari waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut memperlihatkan
hiperdensitas (yaitu tanda terang pada CT-scan). Hematom kemudian
menjadi isodensitas dalam 2-4 minggu, lalu menjadi hipodensitas
(yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah hiperakut mungkin diamati
sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang mungkin
mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau level
hemoglobin serum yang rendah.
o Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area
dimana konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan
epidural vertex dapat disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan
CT-scan aksial tradisional. Bahkan ketika terdeteksi dengan benar,
volume dan efek massa dapat dengan mudah disalahartikan. Pada
beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital dapat digunakan
untuk mengevaluasi hematom pada lempengan coronal.
o Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi
intrakranial lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan subdural,
kontusio serebral, dan hematom intraserebral
MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini
kurang tepat untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa,
bagaimanapun, dapat diamati ketika meluas.
SUBDURAL HEMATOMA
a. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah rutin,
elektrolit, profil hemostasis/koagulasi.
Foto tengkorak
Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk memperkirakan
adanya SDH. Fraktur tengkorak sering dipakai untuk meramalkan
kemungkinan adanya perdarahan intrakranial tetapi tidak ada hubungan
yang konsisten antara fraktur tengkorak dan SDH. Bahkan fraktur sering
didapatkan kontralateral terhadap SDH.
CT-Scan
Pemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila dicurigai
terdapat suatu lesi pasca-trauma, karena prosesnya cepat, mampu melihat
seluruh jaringan otak dan secara akurat membedakan sifat dan keberadaan
lesi intra-aksial dan ekstra-aksial.
MRI
Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna untuk
mengidentifikasi perdarahan ekstraserebral. Akan tetapi CT-scan
mempunyai proses yang lebih cepat dan akurat untuk mendiagnosa SDH
sehingga lebih praktis menggunakan CT-scan dibandingkan MRI pada
fase akut penyakit. MRI baru dipakai pada masa setelah trauma terutama
untuk menetukan kerusakan parenkim otak yang berhubungan dengan
trauma yang tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan CT-scan. MRI lebih
sensitif untuk mendeteksi lesi otak nonperdarahan, kontusio, dan cedera
aksonal difus. MRI dapat membantu mendiagnosis bilateral subdural
hematom kronik karena pergeseran garis tengah yang kurang jelas pada
CT-scan.
b. Diagnosis Banding
Stroke
Encephalitis
Abses otak
Adverse drugs reactions
Tumor otak
Perdarahan subarachnoid
Hydrocephalus
INTRASEREBRAL HEMATOM
a. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : Darah rutin (Hemoglobin, Laju endap darah, Leukosit,
Hitung jenis, Hematokrit, Trombosit, Waktu perdarahan dan pembekuan,
Gula darah puasa, Gula darah 2 jam post prandial, Total kolesterol, HDL-
Kolesterol, LDL-Kolesterol, Trigliserida, Asam urat, Natrium, Kalium,
Klorida).
Elektrokardiografi
Elektroensefalografi
CT-Scan kepala
Rontgen foto thoraks
Angiografi
b. Diagnosis banding
Acute Stroke Management
Amyloid Angiopathy
Anisocoria
Arteriovenous Malformations
Blood Dyscrasias and Stroke
Cardioembolic Stroke
Cerebellar Hemorrhage
Cerebral Aneurysms
Cerebral Venous Thrombosis
CNS Melanoma
Cocaine
Dissection Syndromes
Epidural Hematoma
Head Injury
Herpes Simplex Encephalitis
Hydrocephalus
Lumbar Puncture (CSF Examination)
Magnetic Resonance Imaging in Acute Stroke
Moyamoya Disease
Neonatal Injuries in Child Abuse
Neurological Sequelae of Infectious Endocarditis
Posttraumatic Epilepsy
Reperfusion Injury in Stroke
Status Epilepticus
Stroke Anticoagulation and Prophylaxis
Subarachnoid Hemorrhage
Subdural Empyema
Subdural Hematoma
Thrombolytic Therapy in Stroke
Vein of Galen Malformation
SUBDURAL HEMATOMA
Tindakan terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi hematom
secepatnya dengan irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita hematom
subdural kronis usia tua dimana biasanya mempunyai kapsul hematom yang tebal
dan jaringan otaknya sudah mengalami atrofi, biasanya lebih dianjurkan untuk
melakukan operasi kraniotomi (diandingkan dengan burr-hole saja).
INTRASEREBRAL HEMATOM
a. Terapi konservatif dan operatif (Craniotomy)
b. Pengendalian tekanan intrakranial
c. Pengobatan hipertensi untuk memelihara tekanan perfusi serebral antara 60
sampai 70 mmHg, anticonvulsant
d. Pengendalian peningkatan TIK dilakukan Hiperventilasi, Diuretika dan
kortikosteroid tetapi dapat memberi kerugian, misalnya mudah terkena
infeksi hiperglikemia, perdarahan lambung (stress ulcer)
SUBDURAL HEMATOMA
Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa:
1. Hemiparese/hemiplegia
2. Disfasia/afasia
3. Epilepsi
4. Hidrosepalus
5. Subdural empiema
INTRASEREBRAL HEMATOM
Intraserebral hematom dapat memberikan komplikasi berupa:
1. Oedem serebri, pembengkakan otak
2. Kompresi batang otak, meninggal
5.6 Tatalaksana
Sebagian besar kasus Sindrom Cushing merupakan kasus iatrogenik akibat
administrasi glukokortikoid jangka panjang. Jadi untuk tata laksana nya adalah
memberikan terapi secara hati-hati dengan pengawasan atau menghentikan terapi
glukokortikoidnya.
Pada pasien dengan adenoma pituitari ataupun adenoma adrenal, adenoma dapat
dicabut (opeerasi) setelah diagnosis ditegakkan. Biasanya pasien akan
membutuhkan terapi replacement steroid pascaoperasi tidak peduli dimana lokasi
adenomanya. Pada pasien yang dicabut kedua kelenjar adrenalnya, replacement
dapat dilakukan dengan hydrocortisone dan prednisolone.
Kebanyakan pasien dengan karsinoma adrenal meninggal dalam 3 tahun setelah
diagnosis karena terjadi metastasis. Metastasis tersering terjadi di hati dan paru.
Obat utama untuk karsinoma adrenal adakah mitotan. Obat ini menekan produksi
kortisol dan menurunkan kadar kortisol dalam darah dan urine. Obat ini biasa
diberikan 3-4 kali sehari dengan dosis ditingkatkan bertahap 8-10g per hari.