Anda di halaman 1dari 55

KATA-KATA SULIT

1. Maloklusi : Bentuk rahang atas dan bawah yang menyimpang atau


tidak sesuai dengan keadaan normal.
2. Brill hematoma : Echiomosis bilateral/racoon eye karena arteri ophtalmia.
3. Snoring : Bunyi nafas seperti mengorok yang menandakan adanya
penyumbatan jalan nafas bagian atas.

PERTANYAAN

1. Mengapa keluar darah dari hidung dan telinga?


2. Mengapa ada brill hematoma?
3. Apa yang menyebabkan pupil anisokor?
4. Mengapa terdengar bunyi snoring? Dan apa tindakan yang dapat dilakukan?
5. Apa pemeriksaan penunjangyang dapat dilakukan?
6. Apa tatalaksana yang dapat dilakukan?
7. Mengapa tekanan darah naik dan nadi menurun?
8. Apa yang menyebabkan pasien nyeri kepala dan muntah?
9. Apa yang di maksud score GCS pada kasus ini?
10. Mengapa pasien pingsan, sadar dan pingsan lagi?

JAWABAN

1. Karena adanya trauma pada hidung dan telinga.


2. Karena a. ophtalmica pecah sehingga menyebabkan darah masuk ke cavum orbita.
3. Karena adanya penekanan pada N. opticus.
4. Karena adanya sumbatan pada saluran nafas atas.
Airway, breathing, circulation.
5. Ct-scan kepala, MRI, X-Ray.
6. Airway, breathing, circulation.
7. Karena adanya respon pada intra kranial sehingga nadi menurun.
8. Karena terjadi peningkatan intra kranial.
9. Karena adanya trauma kepala berat karena score GCS: 3.
10. Karena pada saat kecelakaan mengalami fraktur basis cranial, saat itu gerbang sel otak
terbuka sehingga kalium keluar, sedangkan natrium dan kalsium masuk lalu terjadi
pelepasan glutamate yang menyebabkan kerusakan mitokondria sehingga mengakibatkan
oksigen di otak menurun lalu pasien pingsan. Pada saat pasien sadar sesaat karena
adanya interval lucid yang merupakan tanda perdarahan epidural.
HIPOTESIS

Trauma pada daerah kepala dapat menyebabkan terjadinya fraktur basis cranial yang
mengakibatkan perubahan fisiologis seperti snoring, nyeri kepala dan muntah, serta dapat
menyebabkan keluarnya darah dari hidung dan telinga karena Karena terjadi peningkatan
intra kranial. Untuk menegakkan diagnosis dapat dilihat dari score GCS: 3. Pemeriksaan
penunjang. Yang dapat dilakukan antra lain ct-scan kepala, MRI, x-ray. Tatalaksana yang
dapat diberikan adalah airway, breathing, circulation.
LI. 1. Memahami dan Menjelaskan Trauma Kepala
1.1 Definisi Trauma Kepala
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara
langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis
yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun
permanen.
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma)
yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural
dan atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009).

1.2 Etiologi Trauma Kepala


Penyebab cedera kepala dapat dibedakan berdasarkan jenis kekerasan yaitu
jenis kekerasan benda tumpul dan benda tajam Benda tumpul biasanya berkaitan
dengan kecelakaan lalu lintas (kecepatan tinggi, kecepatan rendah), jatuh, dan
pukulan benda tumpul, sedangkan benda tajam berkaitan dengan benda tajam
(bacok).
Menurut Cholik Harun Rosjidi & Saiful Nurhidayat, (2009 : 49) etiologi cedera
kepala adalah:
a. Kecelakaan lalu lintas
b. Jatuh
c. Pukulan
d. Kejatuhan benda
e. Kecelakaan kerja atau industri
f. Cedera lahir
g. Luka tembak

1.3 Klasifikasi Trauma Kepala


Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari dua, yaitu secara garis
besar adalah
a. Trauma kepala tertutup
Fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh pada kepala setelah
luka. The Brain and Spinal Cord Organization 2009, mengatakan
trauma kepala tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada
kepala secara tiba-tiba sehingga menyebabkan jaringan otak menekan
tengkorak.
b. Trauma kepala terbuka
Luka tampak luka telah menembus sampai kepada dura mater. (Anderson,
Heitger, and Macleod, 2006).

Cedera kepala dapat dilasifikasikan sebagai berikut :


1. Berdasarkan Mekanisme
a. Trauma Tumpul
Trauma tumpul adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan
bermotor, kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat bekerja, jatuh,
maupun cedera akibat kekerasaan (pukulan).
b. Trauma Tembus
Trauma yang terjadi karena tembakan maupun tusukan benda-benda
tajam/runcing.
2. Berdasarkan Beratnya Cidera
Adapun pembagian cedera kepala lainnya dengan cara skala koma Glasgow.
Skala koma Glasgow adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien
trauma kapitis, gangguan kesadaran dinilai secara kwantitatif pada setiap
tingkat kesadaran. Bagian-bagian yang dinilai adalah:
a. Proses membuka mata (Eye Opening)
b. Reaksi gerak motorik ekstrimitas (Best Motor Response)
c. Reaksi bicara (Best Verbal Response)

Menurut Perdossi (2006) terdapat klasifikasi trauma kepala minimal dengan


gejala sebagai berikut:
- Tidak ada penurunan kesadaran
- Tidak ada amnesia post trauma
- Tidak ada defisit neurologi
- GCS = 15

3. Berdasarkan Morfologi
a. Cedera kulit kepala
Cedera yang hanya mengenai kulit kepala. Cedera kulit kepala dapat
menjadi pintu masuk infeksi intrakranial.

b. Fraktur Tengkorak
Fraktur yang terjadi pada tulang tengkorak. Fraktur basis cranii secara
anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis cranii dan kalvaria yang
meliputi pada basis caranii tulangnya lebih tipis dibandingkan daerah
kalvaria, durameter daerah basis lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria,
durameter daerah basis lebih melekat erat pada tulang dibandingkan
daerah kalvaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis mengakibatkan
robekan durameter klinis ditandai dengan bloody otorrhea, bloody
rhinorrhea, liquorrhea, brill hematom, batle’s sign, lesi nervus cranialis
yang paling sering N. I, N. VII dan N. VIII (Kasan, 2000).
c. Cedera Otak
1. Commotio Cerebri (Gegar Otak)
Commotio Cerebri (Gegar Otak) adalah cidera otak ringan
karena terkenanya benda tumpul berat ke kepala dimana terjadi
pingsan < 10 menit. Dapat terjadi gangguan yang timbul dengan tiba-
tiba dan cepat berupa sakit kepala, mual, muntah, dan pusing. Pada
waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak diingat
(amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/pasien tidak diingatnya
pula sebelum dan sesudah cidera (amnezia retrograd dan antegrad).
Menurut dokter ahli spesialis penyakit syaraf dan dokter ahli
bedah syaraf, gegar otak terjadi jika coma berlangsung tidak lebih
dari 1 jam. Kalau lebih dari 1 jam, dapat diperkirakan lebih berat dan
mungkin terjadi komplikasi kerusakan jaringan otak yang
berkepanjangan.
2. Contusio Cerebri (Memar Otak)
Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya
pembuluh darah kapiler. Hal ini terjadi bersama-sama dengan
rusaknya jaringan saraf/otak di daerah sekitarnya. Di antara yang
paling sering terjadi adalah kelumpuhan N. Facialis atau N.
Hypoglossus, gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi
kejadian cidera kepala.
Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai
dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda koma,
sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda gangguan
pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan
bradikardia, kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka
merah, keringat profus, serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat
dikendalikan (decebracio rigiditas).
3. Perdarahan Intrakranial
- Epiduralis haematoma
Adalah terjadinya perdarahan antara tengkorak dan
durameter akibat robeknya arteri meningen media atau cabang-
cabangnya. Epiduralis haematoma dapat juga terjadi di tempat
lain, seperti pada frontal, parietal, occipital dan fossa posterior.
- Subduralis haematoma
Subduralis haematoma adalah kejadian haematoma di antara
durameter dan corteks, dimana pembuluh darah kecil vena pecah
atau terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena
tekanan jaringan otak ke arteri meninggia sehingga darah cepat
tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter dan corteks.
Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda meningginya tekanan
dalam jaringan otak (TIK = Tekanan Intra Kranial).
- Subrachnoidalis Haematoma
Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak,
yaitu perdarahan pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling
sering dan berarti pada praktik sehari-hari adalah perdarahan pada
permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahir aneurysna
(pelebaran pembuluh darah). Ini sering menyebabkan pecahnya
pembuluh darah otak.
- Intracerebralis Haematoma
Terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan
subkorteks yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau
arteri pada jaringan otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks.
Selaput otak menjadi pecah juga karena tekanan pada durameter
bagian bawah melebar sehingga terjadilah subduralis haematoma.

4. Berdasarkan Patofisiologi
- Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi-decelerasi
rotasi) yang menyebabkan gangguan pada jaringan. Pada cedera primer
dapat terjadi gegar kepala ringan, memar otak dan laserasi.
- Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti hipotensi
sistemik, hipoksia, hiperkapnea, edema otak, komplikasi pernapasan, dan
infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain.

1.4 Patofisiologi Trauma Kepala


Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya
melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi
kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan
fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar
metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan
koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh,
sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala
permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi
penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan
asidosis metabolik. Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 -
60 ml/menit/100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output dan
akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan
berkontraksi.
Menurut Long (1996) trauma kepala terjadi karena cidera kepala, kulit
kepala, tulang kepala, jaringan otak. Trauma langsung bila kepala langsung
terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi, deselerasi dan pembentukan
rongga. Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya,
kekuatan itu bisa seketika/menyusul rusaknya otak dan kompresi,
goresan/tekanan. Cidera akselerasi terjadi bila kepala kena benturan dari obyek
yang bergerak dan menimbulkan gerakan. Akibat dari akselerasi,
kikisan/konstusio pada lobus oksipital dan frontal batang otak dan cerebellum
dapat terjadi. Sedangkan cidera deselerasi terjadi bila kepala membentur bahan
padat yang tidak bergerak dengan deselerasi yang cepat dari tulang tengkorak.
Pengaruh umum cidera kepala dari tengkorak ringan sampai tingkat berat
ialah edema otak, deficit sensorik dan motorik. Peningkatan TIK terjadi dalam
rongga tengkorak (TIK normal 4-15 mmHg). Kerusakan selanjutnya timbul masa
lesi, pergeseran otot.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar
pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi.
Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi
hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas
kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi
intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa
kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia,
hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan
“menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk
menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan
fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan
otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau
hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara
luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak
hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh
otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang
otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-
duanya.
Sedangkan patofisiologi menurut Markum (1999). trauma pada kepala
menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan yang terjadi tergantung
pada besarnya getaran makin besar getaran makin besar kerusakan yang timbul,
getaran dari benturan akan diteruskan menuju Galia aponeurotika sehingga banyak
energi yang diserap oleh perlindungan otak, hal itu menyebabkan pembuluh darah
robek sehingga akan menyebabkan haematoma epidural, subdural, maupun
intracranial, perdarahan tersebut juga akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke
otak menurun sehingga suplay oksigen berkurang dan terjadi hipoksia jaringan
akan menyebabkan odema cerebral.
Akibat dari haematoma di atas akan menyebabkan distorsi pada otak, karena isi
otak terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada kenaikan T.I.K
(Tekanan Intra Kranial) merangsang kelenjar pituitari dan steroid adrenal sehingga
sekresi asam lambung meningkat akibatnya timbul rasa mual dan muntah dan
anaroksia sehingga masukan nutrisi kurang (Satya, 1998).
1.5 Manifestasi Klinis Trauma Kepala
Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
b. Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan:


a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian
sembuh.
b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
c. Mual atau dan muntah.
d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
e. Perubahan keperibadian diri.
f. Letargik.
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat:
a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak
menurun ataumeningkat.
b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).
d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstrimitas.

1.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding Trauma Kepala


ANAMNESIS
..........Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan: riwayat
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan.
Pada orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari
tangga, jatuh di kamar mandi atau sehabis bangun tidur, harus dipikirkan
kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadang-
kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya, jatuh kemudian tidak sadar atau
kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh.
Anamnesis lebih rinci tentang:
a. Sifat kecelakaan.
b. Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit.
c. Ada tidaknya benturan kepala langsung.
d. Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat
diperiksa.
Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya sejak sebelum
terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui
kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya
tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang / turun
kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung / disorientasi (kesadaran berubah).

PEMERIKSAAN FISIK
Hal terpenting yang pertama kali dinilai bahkan mendahului trias adalah status
fungsi vital dan status kesadaran pasien.

STATUS FUNGSI VITAL


Yang dinilai dalam status fungsi vital adalah:
 Airway (jalan napas) dibersihkan dari benda asing, lendir atau darah, bila
perlu segera dipasang pipa naso/orofaring; diikuti dengan pemberian oksigen.
Manipulasi leher harus berhati-hati bila ada riwayat / dugaan trauma servikal
(whiplash injury).
 Breathing (pernapasan) dapat ditemukan adanya pernapasan Cheyne-Stokes,
Biot / hiperventilasi, atau pernapasan ataksik yang menggambarkan makin
buruknya tingkat kesadaran.
 Circulation (nadi dan tekanan darah). Pemantauan dilakukan untuk menduga
adanya shock, terutama bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya
trauma thorax, trauma abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian
tekanan darah yang disertai dengan melambatnya frekuensi nadi dapat
merupakan gejala awal peninggian tekanan intrakranial, yang biasanya dalam
fase akut disebabkan oleh hematoma epidural.
STATUS KESADARAN PASIEN
Cara penilaian kesadaran yang luas digunakan ialah dengan Skala Koma
Glasgow; cara ini sederhana tanpa memerlukan alat diagnostik sehingga dapat
digunakan balk oleh dokter maupun perawat. Melalui cara ini pula,
perkembangan/perubahan kesadaran dari waktu ke waktu dapat diikuti secara
akurat. Yang dinilai adalah respon membuka mata, respon verbal dan respon
motorik.

Kriteria Skor
         Respon buka mata
          Spontan                      4
          Perintah suara 3
          Rangsang nyeri          2
          Rangsang nyeri tidak ada respon 1
         Respon bicara
          Orientasi baik 5
          Gangguan orientasi    4
          Rangsang nyeri membuat kata 3
          Rangsang nyeri mengerang    2
          Rangsang nyeri tidak ada respon 1
         Respon motorik
          Menurut perintah       6
          Rangsang nyeri melokalisir    5
          Rangsang nyeri menjauh 4
          Rangsang nyeri fleksi abormal 3
          Rangsang nyeri ekstensi abnormal 2
          Rangsang nyeri tidak ada respon 1

Berdasarkan Skala Koma Glasgow, berat ringan trauma kapitis dibagi atas:
a. Cedera kepala ringan skor = 13-15
b. Cedera kepala sedang skor = 9-12
c. Cedera kepala berat = 3-8

STATUS NEUROLOGIS
Pemeriksaan neurologik pada kasus trauma kapitis terutama ditujukan
untuk mendeteksi adanya tanda-tanda fokal yang dapat menunjukkan adanya
kelainan fokal, dalam hal ini perdarahan intrakranial. Tanda fokal tersebut ialah:
anisokori, paresis / paralisis, dan refleks patologis.
Selain trauma kepala, harus diperhatikan adanya kemungkinan cedera di
tempat lain seperti trauma thorax, trauma abdomen, fraktur iga atau tulang
anggota gerak harus selalu dipikirkan dan dideteksi secepat mungkin.

GERAKAN BOLA MATA


Gerakan bola mata merupakan indeks penting untuk penilaian aktifitas fungsional
batang otak (formasio rektikularis). Penderita yang sadar penuh (alert) dan
mempunyai gerakan bola mata yang baik menandakan intaknya sistem
motorikokuler di batang otak. Pada keadaan kesadaran yang menurun, gerakan
bola mata volunter menghilang, sehingga untuk menilai gerakannya ditentukan
dari refleks okulosefalik dan okulovestibuler.
PUPIL
Penilaian ukuran pupil dan responnya terhadap rangsangan cahaya adalah
pemeriksaan awal terpenting dalam menangani cedera kepala. Salah satu gejala
dini dari herniasi dari lobus temporal adalah dilatasi dan perlambatan respon
cahaya pupil. Dalam hal ini adanya kompresi maupun distorsi saraf
okulomotorius sewaktu kejadian herniasi tentorial unkal akan mengganggu fungsi
akson parasimpatis yang menghantarkan sinyal eferen untuk konstriksi pupil.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. CT–Scan : mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran
ventrikel pergeseran cairan otak.
b. MRI : sama dengan CT–Scan dengan atau tanpa kontraks.
c. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
d. EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang
e. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran
struktur dan garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen
tulang).
f. BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang
otak..
g. PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme
pada otak.
h. Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid.
i. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh
dalam peningkatan TIK.
j. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau
oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK.
k. Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
terhadap penurunan kesadaran.
l. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi
yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.

Indikasi  pemeriksaan CT Scan pada kasus cedera kepala adalah :


a. Bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi cedera kepala
sedang dan berat.
b. Cedera kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak
c. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii
d. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran
e. Sakit kepala yang hebat
f. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan
otak
g. Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral.

DIAGNOSIS BANDING
Jika riwayat trauma kurang jelas dan pasien tidak sadar, kita harus membedakan
cedera kepala tertutup dengan penyebab lainnya, seperti: koma diabetik, koma
alkoholik, CVD atau epilepsy (jika pasien kejang).
1.7 Tatalaksana Trauma Kepala

Pada pertolongan pertama :


 Perhatikan imobilisasi kepala leher, lakukan pemasangan neck collar, sebab
sering trauma kepala disertai trauma leher.
 Hyperventilasi dengan oksigen 100 %, monitor tingkat sat.O2 dan CO2
 Pada kasus berat mungkin diperlukan pemasangan ETT
 Pasang BACK BOARD ( spinal board)
 Sediakan suction untuk menghindari penderita aspirasi karena muntah.
 Hentikan perdarah dengan melakukan penekanan pada daerah luka sebelum
dilakukan penjahitan situsional.
 Perdarahan kepala yang tidak terkontrol akan mengakibatkan syock. Atasi
syok dengan pemasangan IV canule yang besar (bila perlu 2 line ), beri cairan
yang memadai. (lihat penatalaksanaan hemoragik syok)
 Pemberian obat-obatan lasix, manitol dilapangan tidak dianjurkan, begitu pula
obat penenang tidak boleh diberikan tanpa supervisi dokter.

Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah


sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah, hanya cairan
infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya
kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Pada anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Terapi obat-obatan.
a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral,
dosis sesuai dengan berat ringanya trauma.
b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi
vasodilatasi.
c. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20 %
atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
d. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidasol.
e. Pada trauma berat. karena hari-hari pertama didapat penderita
mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium
dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak
cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan
dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah
makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500 - 3000 TKTP).
6. Pembedahan bila ada indikasi.

PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA RINGAN (GCS 13–15)


1. Observasi atau dirawat di rumah sakit bila CT Scan tidak ada atau hasil CT
Scan abnormal, semua cedera tembus, riwayat hilang kesadaran, sakit kepala
sedang–berat, pasien dengan intoksikasi alkohol/obat-obatan, fraktur
tengkorak, rinorea-otorea, cedera penyerta yang bermakna, tidak ada
keluarga yang di rumah, tidak mungkin kembali ke rumah sakit dengan
segera, dan adanya amnesia. Bila tidak memenuhi kriteria rawat maka pasien
dipulangkan dengan diberikan pengertian kemungkinan kembali ke rumah
sakit bila dijumpai tanda-tanda perburukan.
2. Observasi tanda vital serta pemeriksaan neurologis secara periodik setiap ½-
2 jam.
3. Pemeriksaan CT Scan kepala sangat ideal pada penderita CKR kecuali
memang sama sekali asimtomatik dan pemeriksaan neurologis normal.

PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA SEDANG (GCS 9-12)


1. Dirawat di rumah sakit untuk observasi, pemeriksaan neurologis secara
periodik.
2. Bila kondisi membaik, pasien dipulangkan dan kontrol kembali, bila kondisi
memburuk dilakukan CT Scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol
cedera kepala berat.

PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA  BERAT (GCS <= 8)


1. Pastikan jalan nafas korban clear (pasang ET), berikan oksigenasi 100% dan
jangan banyak memanipulasi gerakan leher sebelum cedera cervical dapat
disingkirkan.
2. Berikan cairan secukupnya (ringer laktat/ringer asetat) untuk resusitasi
korban agar tetap normovolemia, atasi hipotensi yang terjadi dan berikan
transfusi darah jika Hb kurang dari 10 gr/dl.
3. Periksa tanda vital, adanya cedera sistemik di bagian anggota tubuh lain,
GCS dan pemeriksaan batang otak secara periodik.
4. Berikan manitol iv dengan dosis 1 gr/kgBB diberikan secepat mungkin pada
penderita dengan ancaman herniasi dan peningkatan TIK yang mencolok.
5. Berikan anti edema cerebri: kortikosteroid deksametason 0,5 mg 3×1,
furosemide diuretik 1 mg/kg BB tiap 6-12 jam bila ada edema cerebri,
berikan anti perdarahan.
6. Berikan obat-obatan neurotonik sebagai obat lini kedua, berikan anti kejang
jika penderita kejang, berikan antibiotik dosis tinggi pada cedera kepala
terbuka, rhinorea, otorea.
7. Berikan antagonis H2 simetidin, ranitidin iv untuk mencegah perdarahan
gastrointestinal.
8. Koreksi asidodis laktat dengan natrium bikarbonat.
9. Operasi cito pada perkembangan ke arah indikasi operasi.
10. Fisioterapi dan rehabilitasi.

1.8 Komplikasi Trauma Kepala


Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut (Markam, 1999) pada
cedera kepala meliputi
a. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi
ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini
penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya memasuki
vegetatife state. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak
menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada vegetatife state lebih dari
satu tahun jarang sembuh.
b. Kejang/Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun
demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy.

c. Infeksi
Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya
berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system
saraf yang lain.
d. Hilangnya kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala
mengalami masalah kesadaran.
e. Penyakit Alzheimer dan Parkinson
Pada kasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit Alzheimer
tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung
frekuensi dan keparahan cedera.

1.9 Pencegahan Trauma Kepala


Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan
pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma.

Upaya yang dilakukan yaitu :


Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya
kecelakaan lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang
terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan
memakai helm.

Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yang
dirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi.
Dilakukan dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu :
a. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan
pembunuh tercepat pada kasus cedera. Guna menghindari gangguan tersebut
penanganan masalah airway menjadi prioritas utama dari masalah yang
lainnya. Beberapa kematian karena masalah airway disebabkan oleh karena
kegagalan mengenali masalah airway yang tersumbat baik oleh karena
aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas
tertutup lidah penderita sendiri. Pada pasien dengan penurunan kesadaran
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan jalan nafas, selain
memeriksa adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena
pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran udara ke
dalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang
mengancam airway.
b. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada
hambatan adalah membantu pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali
gangguan pernafasan dan membantu pernafasan akan dapat menimbulkan
kematian.
c. Menghentikan perdarahan (Circulations).
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang
berdarah sehingga pembuluh darah tertutup. Kepala dapat dibalut dengan
ikatan yang kuat. Bila ada syok, dapat diatasi dengan pemberian cairan infuse
dan bila perlu dilanjutkan dengan pemberian transfusidarah. Syok biasanya
disebabkan karena penderita kehilangan banyak darah.

Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang
lebih berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat
kecelakaan lalu lintas untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan
hidup. Pencegahan tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup
penderita, meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi
penderita.
Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu
lintas perlu ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan
sosial.
1. Rehabilitasi Fisik
a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada
lengan atas dan bawah tubuh
b. Perlengkapan splint dan caliper
c. Transplantasi tendon
2. Rehabilitasi Psikologis
Pertama-tama dimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan
memotivasi kembali keinginan dan rencana masa depannya. Ancaman
kerusakan atas kepercayaan diri dan harga diri datang dari ketidakpastian
financial, sosial serta seksual yang semuanya memerlukan semangat hidup.
3. Rehabilitasi Sosial
a. Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda,
perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga
penderita tidak ketergantungan terhadap bantuan orang lain.
b. Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan
masyarakat).

1.10 Prognosis Trauma Kepala


Tengkorak anak masih elastis dan mempunyai kesanggupan untuk
mengalami deformasi, maka tengkorak anak dapat mengabsorpsi sebagian
energi kekuatan fisik tersebut sehingga dapat memberikan perlindungan pada
otak. Prognosis trauma kepala pada anak lebih baik dibandingkan orang
dewasa.
Menurut Evans pada cedera kepala yang berat, 80% akan mengalami
perbaikan, 20% menunjukkan gangguan neurologik yang berat dan 10%
mengalami kerusakan yang tidak dapat diperbaiki/meninggal. Menurut Chusid
(1982), prognosis TK tergantung berat dan letak TK.
Menurut King & Bewes (2001), prognosis TK buruk jika pada
pemeriksaan ditemukan pupil midriasis dan tidak ada respon E, V, M dengan
rangsangan apapun. Jika kesadarannya baik, maka prognosisnya dubia,
tergantung jenis TK, yaitu: pasien dapat pulih kembali atau traumanya
bertambah berat.
Menurut Fauzi (2002), faktor yang memperjelek prognosis adalah
terlambatnya penanganan awal/resusitasi, transportasi yang lambat, dikirim ke
RS yang tidak memadai, terlambat dilakukan tindakan pembedahan dan
disertai trauma multipel yang lain.

LI. 2. Memahami dan Menjelaskan Fraktur Basis Cranii


2.1 Memahami dan Menjelaskan Definisi Fraktur Basis Cranii
Fraktur basis cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat
benturan langsung pada daerah daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid,
supraorbita); transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah atau
mandibula; atau efek remote dari benturan pada kepala (gelombang tekanan yang
dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).

2.2 Memahami dan Menjelaskan Etiologi Fraktur Basis Cranii


Suatu fraktur tulang tengkorak berarti patahnya tulang tengkorak dan
biasanya terjadi akibat benturan langsung. Tulang tengkorak mengalami
deformitas akibat benturan terlokalisir yang dapat merusak isi bagian dalam meski
tanpa fraktur tulang tengkorak. Suatu fraktur menunjukkan adanya sejumlah besar
gaya yang terjadi pada kepala dan kemungkinan besar menyebabkan kerusakan
pada bagian dalam dari isi cranium. Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi tanpa
disertai kerusakan neurologis, dan sebaliknya

2.3 Klasifikasi Fraktur Basis Cranii


Suatu fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar
tulang tengkorak yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada
duramater. Fraktur basis cranii paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi
tertentu yaitu regio temporal dan regio occipital condylar.
Fraktur basis cranii dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fossa-nya
menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media, dan fraktur fossa posterior.
Jenis fraktur lain pada tulang tengkorak yang mungkin terjadi yaitu:
a. Fraktur linear yang paling sering terjadi merupakan fraktur tanpa pergeseran,
dan umumnya tidak diperlukan intervensi.
b. Fraktur depresi terjadi bila fragmen tulang terdorong kedalam dengan atau
tanpa kerusakan pada scalp. Fraktur depresi mungkin memerlukan tindakan
operasi untuk mengoreksi deformitas yang terjadi.
c. Fraktur diastatik terjadi di sepanjang sutura dan biasanya terjadi pada
neonatus dan bayi yang suturanya belum menyatu. Pada fraktur jenis ini,
garis sutura normal jadi melebar.
d. Fraktur basis merupakan yang paling serius dan melibatkan tulang-tulang
dasar tengkorak dengan komplikasi rhinorrhea dan otorrhea cairan
serebrospinal (Cerebrospinal Fluid).
(Gambar jenis – jenis fraktur pada os. Cranium)

2.4 Patofisiologi Fraktur Basis Cranii


Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada
daerah-daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi
energy yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula, atau efek “remote”
dari benturan pada kepala (“gelombang tekanan” yang dipropagasi dari titik
benturan atau perubahan bentuk tengkorak).
Tipe dari fraktur basis cranii yang parah adalah jenis ring fracture, karena
area ini mengelilingi foramen magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal
cord lewat. Ring fracture komplit biasanya segera berakibat fatal akibat cedera
batang otak. Ring fracture in komplit lebih sering dijumpai (Hooper et al. 1994).
Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera batang otak disertai dengan
avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar tengkorak.
Fraktur basis Cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk
benturan dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban
inersia pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban
inersia, misalnya, ketika dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak
akibat mengalami benturan dengan sebuah objek misalnya pagar. Kepala
kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun pada area
medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia
tersebut kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi
akibat ruda paksa pada benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior
diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari arah superior
kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula.
Trauma dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak yang diklasifikasikan
menjadi :
 Fraktur sederhana (simple) suatu fraktur linear pada tulang tengkorak
 Fraktur depresi (depressed) apabila fragmen tulang tertekan ke bagian lebih
dalam dari tulang tengkorak
 Fraktur campuran (compound) bila terdapat hubungan langsung dengan
lingkungan luar. Ini dapat disebabkan oleh laserasi pada fraktur atau suatu
fraktur basis cranii yang biasanya melalui sinus-sinus.
Pada dasarnya, suatu fraktur basiler adalah suatu fraktur linear pada basis
cranii. Biasanya disertai dengan robekan pada duramater dan terjadi pada pada
daerah-daerah tertentu dari basis cranii.

Fraktur Temporal terjadi pada 75% dari seluruh kasus fraktur basis cranii.
Tiga subtipe dari fraktur temporal yaitu : tipe longitudinal, transversal, dan tipe
campuran (mixed).
a. Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan pars
skuamosa os temporal, atap dari canalis auditorius eksterna, dan tegmen
timpani. Fraktur-fraktur ini dapat berjalan ke anterior dan ke posterior hingga
cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir di fossa media dekat foramen
spinosum atau pada tulang mastoid secara berurut.
b. Fraktur transversal mulai dari foramen magnum dan meluas ke cochlea dan
labyrinth, berakhir di fossa media.
c. Fraktur campuran merupakan gabungan dari fraktur longitudinal dan fraktur
transversal. Masih ada sistem pengelompokan lain untuk fraktur os temporal
yang sedang diusulkan. Fraktur temporal dibagi menjadi fraktur petrous dan
nonpetrous; dimana fraktur nonpetrous termasuk didalamnya fraktur yang
melibatkan tulang mastoid. Fraktur-fraktur ini tidak dikaitkan dengan defisit
dari nervus cranialis.

Fraktur condylus occipital adalah akibat dari trauma tumpul bertenaga besar
dengan kompresi ke arah aksial, lengkungan ke lateral, atau cedera rotasi pada
ligamentum alar. Fraktur jenis ini dibagi menjadi tiga tipe berdasarkan
mekanisme cedera yang terjadi. Cara lain membagi fraktur ini menjadi fraktur
bergeser dan fraktur stabil misalnya dengan atau tanpa cedera ligamentum yakni:
a. Fraktur tipe I, adalah fraktur sekunder akibat kompresi axial yang
mengakibatkan fraktur kominutif condylus occipital. Fraktur ini adalah suatu
fraktur yang stabil.
b. Fraktur tipe II merupakan akibat dari benturan langsung. Meskipun akan
meluas menjadi fraktur basioccipital, fraktur tipe II dikelompokkan sebagai
fraktur stabil karena masih utuhnya ligamentum alae dan membran tectorial.
c. Fraktur tipe III adalah suatu fraktur akibat cedera avulsi sebagai akibat rotasi
yang dipaksakan dan lekukan lateral. Ini berpotensi menjadi suatu fraktur
yang tidak stabil.

Fraktur clivus digambarkan sebagai akibat dari benturan bertenaga besar


yang biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Sumber literatur
mengelompokkannya menjadi tipe longitudinal, transversal, dan oblique. Fraktur
tipe longitudinal memiliki prognosis paling buruk, terutama bila mengenai sistem
vertebrobasilar. Biasanya fraktur tipe ini disertai dengan defisit n.VI dan n.VII.
Jenis Fraktur Basis Cranii

Fraktur Temporal, dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis Cranii.
Terdapat 3 suptipe dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan
mixed. Tipe transversal dari fraktur temporal dan type longitudinal fraktur
temporal ditunjukkan di bawah ini.

A B

A: Transverse temporal bone fracture and B: Longitudinal temporal bone fracture


(courtesy of Adam Flanders, MD, Thomas Jefferson University, Philadelphia,
Pennsylvania)

Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan


bagian squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus
externus dan tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu
bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir
pada fossa Cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells.
Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%).
Fraktur transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui
cochlea dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed
memiliki unsur unsur dari kedua fraktur longitudinal dan transversal.
Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan.
Sistem ini membagi fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous
fraktur, yang terakhir termasuk fraktur yang melibatkan mastoid air cells. Fraktur
tersebut tidak disertai dengan deficit nervus cranialis.

Fraktur condylar occipital (Posterior), adalah hasil dari trauma tumpul


energi tinggi dengan kompresi aksial, lateral bending, atau cedera rotational pada
pada ligamentum Alar. Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan
morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternative membagi fraktur ini
menjadi displaced dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen. Tipe I
fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi dari
kondilus oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur yang
dihasilkan dari pukulan langsung meskipun fraktur basioccipital lebih luas,
fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil karena ligament alar
dan membrane tectorial tidak mengalami kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi
sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur
tidak stabil.

2.5 Manifestasi Klinis Fraktur Basis Cranii


Gambaran klinis dari fraktur basis crania yaitu:
a. Hemotimpanum
b. Kebocoran Cairan Serebrospinal dari telinga dan hidung
c. Parese nervus cranialis ( nervus I, II, III, IV, VII, dan VIII ) dapat terjadi.
d. Hematoma, hemoragi
e. Otorrhea atau keluarnya cairan otak melalui telinga menunjukan terjadi
fraktur pada petrous pyramid yang merusak kanal auditory eksternal dan
merobek membrane timpani mengakibatkan bocornya cairan otak atau darah
terkumpul disamping membrane timpani (tidak robek)
f. Battle Sign (warna kehitaman di belakang telinga) : Fraktur meluas ke
posterior dan merusak sinus sigmoid

( Gambar Battle Sign)


g. Racoon atau pandabear: fraktur dasar tengkorak dari bagian anterior
menyebabkan darah bocor masuk ke jaringan periorbital.
( Gambar Racoon’s Eye )

2.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding Fraktur Basis Cranii


Diagnosa cedera kepala dibuat melalui suatu pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan diagnostik. Selama pemeriksaan, bisa didapatkan riwayat medis yang
lengkap dan mekanisme trauma. Trauma pada kepala dapat menyebabkan
gangguan neurologis dan mungkin memerlukan tindak lanjut medis yang lebih
jauh. Alasan kecurigaan adanya suatu fraktur cranium atau cedera penetrasi antara
lain:
 Keluar cairan jernih (CSF) dari hidung
 Keluar darah atau cairan jernih dari telinga
 Adanya luka memar di sekeliling mata tanpa adanya trauma pada mata (panda
eyes)
 Adanya luka memar di belakang telinga (Battle’s sign)
 Adanya ketulian unilateral yang baru terjadi
 Luka yang signifikan pada kulit kepala atau tulang tengkorak

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Sebagai tambahan pada suatu pemeriksaan neurologis lengkap, pemeriksaan
darah rutin, dan pemberian tetanus toxoid (yang sesuai seperti pada fraktur
terbuka tulang tengkorak), pemeriksaan yang paling menunjang untuk
diagnosa satu fraktur adalah pemeriksaan radiologi.
b. Pemeriksaan Radiologi
1. Foto Rontgen
Sejak ditemukannya CT-scan, maka penggunaan foto Rontgen
cranium dianggap kurang optimal. Dengan pengecualian untuk kasus-
kasus tertentu seperti fraktur pada vertex yang mungkin lolos dari CT-can
dan dapat dideteksi dengan foto polos maka CT-scan dianggap lebih
menguntungkan daripada foto Rontgen kepala.
Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak tersedia, maka foto
polos x-ray dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Diperlukan
foto posisi AP, lateral, Towne’s view dan tangensial terhadap bagian yang
mengalami benturan untuk menunjukkan suatu fraktur depresi. Foto polos
cranium dapat menunjukkan adanya fraktur, lesi osteolitik atau
osteoblastik, atau pneumosefal. Foto polos tulang belakang digunakan
untuk menilai adanya fraktur, pembengkakan jaringan lunak, deformitas
tulang belakang, dan proses-proses osteolitik atau osteoblastik.
2. CT scan
CT scan adalah kriteria modalitas standar untuk menunjang
diagnosa fraktur pada cranium. Potongan slice tipis pada bone windows
hingga ketebalan 1-1,5 mm, dengan rekonstruksi sagital berguna dalam
menilai cedera yang terjadi. CT scan Helical sangat membantu untuk
penilaian fraktur condylar occipital, tetapi biasanya rekonstruksi tiga
dimensi tidak diperlukan.
3. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Bernilai sebagai pemeriksaan penunjang tambahan terutama untuk
kecurigaan adanya cedera ligamentum dan vaskular. Cedera pada tulang
jauh lebih baik diperiksa dengan menggunakan CT scan. MRI
memberikan pencitraan jaringan lunak yang lebih baik dibanding CT scan.
c. Pemeriksaan Penunjang Lain
Perdarahan melalui telinga dan hidung pada kasus-kasus yang dicurigai
adanya kebocoran CSF, bila di dab dengan menggunakan kertas tissu akan
menunjukkan adanya suatu cincin jernih pada tissu yang telah basah diluar
dari noda darah yang kemudian disebut suatu “halo” atau “ring” sign. Suatu
kebocoran CSF juga dapat diketahui dengan menganalisa kadar glukosa dan
mengukur tau-transferrin, suatu polipeptida yang berperan dalam transport ion
Fe.

(Gambar HALO sign)

DIAGNOSIS BANDING
- Echimosis periorbita (racoon eyes) dapat disebabkan oleh trauma langsung
seperti kontusio fasial atau blow-out fracture dimana terjadi fraktur pada
tulang-tulang yang membentuk dasar orbita (arcus os zygomaticus, fraktur Le
Fort tipe II atau III, dan fraktur dinding medial atau sekeliling orbital).
- Rhinorrhea dan otorrhea selain akibat fraktur basis cranii juga bisa
diakibatkan oleh:
a. Kongenital
b. Ablasi tumor atau hidrosefalus
c. Penyakit-penyakit kronis atau infeksi
d. Tindakan bedah

2.7 Tatalaksana Fraktur Basis Cranii


A. Penananganan Khusus
Penanganan khusus dari fraktur basis Cranii terutama untuk mengatasi
komplikasi yang timbul, meliputi : fistula cairan serebrospinal, infeksi, dan
pneumocephalus dengan fistula.
 Fistula cairan serebrospinal
Mengakibatkan kebocoran cairan dari ruang subarachnoid ke ruang
extraarachnoid, duramater, atau jaringan epitel.Yang terlihat sebagai
rinore dan otore.Sebagian besar rinore dan otore baru terlihat satu minggu
setelah terjadinya trauma.Kebocoran cairan ini membaik satu minggu
setelah dilakukan terapi konservatif. Penatalaksanaan secara konservatif
dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari
batuk, bersin, dan melakukan aktivitas berat. Dapat diberikan obat-obatan
seperti laxantia, diuretic dan steroid.
 Rinore
Terjadi pada sekitar 25 persen pasien dengan fraktura basis
anterior. CSS mungkin bocor melalui sinus frontal (melalui pelat
kribrosa atau pelat orbital dari tulang frontal), melalui sinus sfenoid, dan
agak jarang mela- lui klivus. Kadang-kadang pada fraktura bagian
petrosa tulang temporal, CSS mungkin memasuki tuba Eustachian dan
bila membran timpani intak, mengalir dari hidung. Pengaliran dimulai
dalam 48 jam sejak cedera pada hampir 80 persen kasus.
Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest
dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, meniup hidung
dan melakukan aktivitas berat. Dapat diberikan obat-obatan seperti
laxantia, diureticdan steroid. Dilakukan punksi lumbal secara serial dan
pemasangan kateter sub-rachnoid secara berkelanjutan. Disamping itu
diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi.
Pendekatan pembedahan dapat secara intraCraniial, ekstraCraniial
dan secara bedah sinus endoskopi. Pendekatan intraCraniial yaitu dengan
melakukan Craniiotomi melalui daerah frontal (frontal anterior fossa
craniotomi), daerah temporal (temporal media fossa craniotomi) atau
daerah oksipital (ocsipital posterior fossa craniotomi) tergantung dari
lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini dapat melihat langsung robekan
dari dura dan jaringan sekitarnya. Bila dilakukan tampon pada kebocoran
akan berhasil baik dan berguna bagi pasien yang tidak dapat diketahui
lokasi kebocoran atau fistel yang abnormal. Kerugian teknik ini adalah
angka kematian yang tinggi, terjadi retraksi dari otak seperti edema,
hematoma dan perdarahan. Disamping itu dapat terjadi anosmia yang
permanen. Sering terjadi kebutaan terutama pada pembedahan didaerah
fossa Craniii anterior. Kerugian lain adalah waktu operasi dan perawatan
yang lama.
Pendekatan Ekstra Craniial dilakukan dengan cara eksternal sinus
dan bedah sinus endoskopi. Pendekatan eksternal sinus yaitu melakukan
flap osteoplasti anterior dengan sayatan pada koronal dan alis mata.
Disamping itu dapat juga dengan pendekatan eksternal etmoidektomi,
trans-etmoidal sfenoidotomi, trans-septal sfenoidotomi atau trans antral,
tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini adalah memiliki
lapangan pandang yang baik, angka kematian yang rendah, tidak terdapat
anosmia dan angka keberhasilan 80%. Kerugian teknik ini adalah cacat
pada wajah dan tidak dapat mengatasi fistel yang abnormal. Di samping
itu sulit menangani fistel pada sinus frontal dan sfenoid.
Endoskopi merupakan tehnik operasi yang lebih disukai dengan
angka keberhasilan yang tinggi (83% - 94%) dan angka kematian yang
rendah. Pada fistel yang kecil (<3mm) dapat diperbaiki dengan free
graftmukoperikondrial yang diletakkan diatas fistel. Pada fistel yang
besar (>3mm) digunakan graft dari tulang rawan dan tulang yang
diletakkan dibawah fistel dan dilapisi dengan flap local atau free graft.
Keuntungan teknik ini adalah lapangan pandang yang jelas sehingga
memberikan lokasi kebocoran yang tepat. Mukosa dapat dibersihkan dari
kerusakan tulang tanpa memperbesar ukuran dan kerusakan dari tulang.
Disamping itu graft dapat ditempatkan lebih akurat pada kerusakannya.
 Otore
Terjadi bila tulang petrosa mengalami fraktura, duramater
dibawahnya serta arakhnoid robek, serta membran timpanik perforasi.
Fraktura tulang petrosa diklasifi- kasikan menjadi longitudinal dan
transversal, berdasar hubungannya terhadap aksis memanjang dari
piramid petrosa; namun kebanyakan fraktura adalah campuran. Pasien
dengan fraktura longitudinal tampil dengan kehilangan pendengaran
konduktif, otore, dan perdarahan dari telinga luar. Pasien dengan fraktura
transversal umumnya memiliki membran timpanik normal dan
memperlihatkan kehilangan pendengaran sensorineural akibat kerusakan
labirin, kokhlea, atau saraf kedelapan didalam kanal auditori. Paresis
fasial tampil hingga pada 50 persen pasien. Fraktura longitudinal empat
hingga enam kali lebih sering dibanding yang transversal, namun kurang
umum menyebabkan cedera saraf fasial. Otore CSS berhenti spontan pada
kebanyakan pasien dalam seminggu. Insidens meningitis pasien dengan
otore mungkin sekitar 4 persen, dibanding 17 persen pada rinore CSS.
Pada kejadian jarang, dimana ia tidak berhenti, diperlukan pengaliran
lumbar dan bahkan operasi.
 Infeksi
Meningitis merupakan infeksi tersering pada fraktur basis
Cranii.Penyebab paling sering dari meningitis pada fraktur basis Cranii
adalah S. Pneumoniae.Profilaksis meningitis harus segera diberikan,
mengingat tingginya angka morbiditas dan mortalitas walaupun terapi
antibiotic telah digunakan.Pemberian antibiotic tidak perlu menunggu tes
diagnostic.Karena pemberian antinbiotik yang terlambat berkaitan erat
dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi.Profilaksis antibiotic
yang diberikan berupa kombinasi vancomycin dan ceftriaxone.Antiobiotik
golongan ini digunakan mengingat tingginya angka resistensi antibiotic
golongan penicillin, cloramfenikol, maupun meropenem.
 Pnemocephalus
Adanya udara pada cranial cavity setelah trauma yang melalui
menings.Meningkatnya tekanan di nasofaring menyebabkan udara masuk
melalui cranial cavity melalui defek pada duramater dan menjadi
terperangkap.Tik yang meningkat dapat memperbesar defek yang ada dan
menekan otak dan udara yang terperangkap. Terapi dapat berupa
kombinasi dari: operasi untuk membebaskan udara intracranial,serta
memperbaiki defek yang ada, dan tredelenburg position.

B. Penatalaksanaan
Adapun penangannan umum dari trauma kepala sendiri, meliputi:
1. Pengendalian Tekanan IntraCraniial
Manitol efektif untuk mengurangi edem serebral dan TIK. Selain
karena efek osmotik , manitol juga dapat mengurangi TIK dengan
meningkatkan arus microcirculatory otak dan pengiriman oksigen. Efek
pemberian bolus manitol tampaknya sama selama rentang 0,25 sampai 1,0
g / kg.
2. Mengontrol tekanan perfusi otak
Tekanan perfusi otak harus dipertahankan antara 60 dan 70 mmHg,
baik dengan mengurangi TIK atau dengan meninggikan MAP . Rehidrasi
secara adekuat dan mendukung kardiovaskular dengan vasopressors dan
inotropik untuk meningkatkan MAP dan mempertahankan tekanan perfusi
otak > 70 mmHg.
3. Mengontrol hematokrit
Aliran darah otak dipengaruhi oleh hematokrit. Viskositas darah
meningkat sebanding dengan semakin meningkatnya hematokrit dan
tingkat optimal sekitar 35%. Aliran darah otak berkurang jika hematokrit
meningkat lebih dari 50% dan meningkat dengan tingkat hematokrit di
bawah 30.
4. Obat obatan
Pemberian rutin obat sedasi, analgesik dan agen yang memblokir
neuromuscular. Propofol telah menjadi obat sedatif pilihan. Fentanil dan
morfin sering diberikan untuk membatasi nyeri, memfasilitasi ventilasi
mekanis dan mempotensiasi efek sedasi. Obat yang memblokir
neuromuscular mencegah peningkatan TIK yang dihasilkan oleh batuk
dan penegangan pada endotrachealtube.
5. Pengaturan suhu
Demam dapat memperberat defisit neurologis yang ada dan dapat
memperburuk kondisi pasien. Metabolisme otak akan oksigen meningkat
sebesar 6-9 % untuk setiap kenaikan derajat Celcius. Tiap fase akut
cedera kepala, hipertermia harus diterapi karena akan memperburuk
iskemik otak.
6. Mengontrol bangkitan
Bangkitan terjadi terutama di mereka yang telah menderita
hematoma, menembus cedera, termasuk patah tulang tengkorak dengan
penetrasi dural, adanya tanda fokal neurologis dan sepsis. Antikonvulsan
harus diberikan apabila terjadi bangkitan.
7. Kontrol cairan
NaCl 0,9% , dengan osmolaritas 308 mosm / l, telah menjadi
kristaloid pilihan dalam manajemen dari cedera otak. Resusitasi dengan
0,9 % saline membutuhkan 4 kali volume darah yang hilang untuk
memulihkan parameter hemodinamik.
8. Posisi kepala
Menaikkan posisi kepala dengan sudut 15-300 dapat menurunkan
TIK dan meningkatkan venous return ke jantung.
9. Merujuk ke dokter bedah saraf
Rujukan ke seorang ahli bedah saraf:
- GCS kurang dari atau sama dengan setelah resusitasi awal
- Disorientasi yang berlangsung lebih 4 jam
- Penurunan skor GCS terutama respon motoric
- Tanda-tanda neurologis fokal progresif
- Kejang tanpa pemulihan penuh
- Cedera penetrasi
- Kebocoran cairan serebrospinal

2.8 Komplikasi Fraktur Basis Cranii


- Mengingoensefalitis
- abses serebri.
- Lesi nervii cranialis permanen
- Liquorrhea.
- CCF (Carotis cavernous fistula)

2.9 Pencegahan Fraktur Basis Cranii


Pencegahan fraktur dapat dilakukan berdasarkan penyebabnya. Pada
umumnya fraktur disebabkan oleh peristiwa trauma benturan atau terjatuh baik
ringan maupun berat. Pada dasarnya upaya pengendalian kecelakaan dan trauma
adalah suatu tindakan pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang
menyebabkan fraktur.
 Pencegahan Primer
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan upaya menghindari
terjadinya trauma benturan, terjatuh atau kecelakaan lainnya. Dalam
melakukan aktifitas yang berat atau mobilisasi yang cepat dilakukan dengan
cara hati – hati, memperhatikan pedoman keselamatan dengan memakai alat
pelindung diri.
 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan untuk mengurangi akibat – akibat yang
lebih serius dari terjadinya fraktur dengan memberikan pertolongan pertama
yang tepat dan terampil pada penderita. Mengangkat penderita dengan posisi
yang benar agar tidak memperparah bagian tubuh yang terkena fraktur untuk
selanjutnya dilakukan pengobatan. Pemeriksaan klinis dilakukan untuk
melihat bentuk dan keparahan tulang yang patah. Pemeriksaan dengan foto
radiologis sangat membantu untuk mengetahui bagian tulang yang patah
yang tidak terlihat dari luar. Pengobatan yang dilakukan dapat berupa traksi,
pembidaian dengan gips atau dengan fiksasi internal maupun eksternal.
 Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier pada penderita fraktur yang bertujuan untuk
mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih berat dan memberikan tindakan
pemulihan yang tepat untuk menghindari atau mengurangi kecacatan.
Pengobatan yang dilakukan disesuaikan dengan jenis dan beratnya fraktur
dengan tindakan operatif dan rehabilitasi. Rehabilitasi medis diupayakan
untuk mengembalikan fungsi tubuh untuk dapat kembali melakukan
mobilisasi seperti biasanya. Penderita fraktur yang telah mendapat
pengobatan atau tindakan operatif, memerlukan latihan fungsional perlahan
untuk mengembalikan fungsi gerakan dari tulang yang patah. Upaya
rehabilitasi dengan mempertahankan dan memperbaiki fungsi dengan
mempertahankan reduksi dan imobilisasi antara lain meminimalkan bengkak,
memantau status neurovaskuler, mengontrol ansietas dan nyeri, latihan dan
pengaturan otot, partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari, dan melakukan
aktivitas ringan secara bertahap.
2.10 Prognosis Fraktur Basis Cranii
Pada frakur basis Cranii fossa anterior dan media, prognosis baik selama
tanda tanda vital dan status neurologis dievaluasi secara teratur dan dilakukan
tindakan sedini mungkin apabila ditemukan deficit neurologis serta diberikan
profilaksis antibiotic untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder, sedangkan
pada fraktur basis Cranii posterior, prognosis buruk dikarenakan fraktur pada
fossa posterior dapat mengakibatkan kompresi batang otak.
Walaupan fraktur pada cranium memiliki potensi resiko tinggi untuk
cedera nervus cranialis, pembuluh darah, dan cedera langsung pada otak,
sebagian besar jenis fraktur adalah jenis fraktur linear pada anak-anak dan
tidak disertai dengan hematom epidural. Sebagian besar fraktur, termasuk
fraktur depresi tulang cranium tidak memerlukan tindakan operasi.

LI. 3. Memahami dan Menjelaskan Fraktur Nasal dan Fraktur Wajah


A. Fraktur Nasal
DEFINISI
Fraktur adalah terjadinya diskontinuitas jaringan tulang (patah tulang) yang
biasanya disebabkan benturan keras. Fraktur tulang hidung dapat mengakibatkan
terhalangnya jalan pernafasan dan deformitas pada hidung. Jenis dan kerusakan
yang timbul tergantung pada kekuatan, arah dan mekanismenya.
Fraktur os nasal merupakan kasus trauma terbanyak pada wajah dan
merupakan kasus fraktur ketiga terbanyak di seluruh tulang penyusun tubuh
manusia. Kejadian fraktur nasal sekitar 39%-45% dari seluruh fraktur maksilofasial
yang ditangani oleh dokter telinga hidung dan tenggorokkan (THT) dan dokter
bedah plastik. Di Amerika Serikat, kejadian fraktur os nasal rata-rata 51.200 per
tahun. Fraktur os nasal banyak terjadi pada usia 15-40 tahun dan tiga kali lebih
banyak terjadi pada laki-laki. Penyebab fraktur nasal adalah kekerasan (42,65%),
kecelakaan lalu lintas (35,29%), pekerjaan (13,24%) dan terjatuh saat olahraga
(8,82%).

ETIOLOGI
Penyebab trauma nasal ada 4 yaitu:
¤ Mendapat serangan misal dipukul
¤ Injury karena olah raga
¤ Kecelakaan (personal accident)
¤ Kecelakaan lalu lintas
Dari 4 causa diatas, yang paling sering karena mendapat serangan misalnya
dipukul dan kebanyakan pada remaja. Jenis olah raga yang dapat menyebabkan
injury nasal misalnya sepak bola, khususnya ketika dua pemain berebut bola diatas
kepala; olah raga yang menggunakan raket misalnya ketika squash, raket dapat
mengayun ke belakang atau depan dan dapat memukul hidung atau karate; petinju.
Trauma nasal yang disebabkan oleh kecepatan yang tinggi menyebabkan fraktur
wajah.

KLASIFIKASI
Murray melaporkan bahwa kebanyakan deviasi akibat fraktur nasal meliputi
juga fraktur pada kartilago septum nasal. Fraktur nasal lateral merupakan yang
paling sering dijumpai pada fraktur nasal. Fraktur nasal lateral akan menyebabkan
penekanan pada hidung ipsilateral yang biasanya meliputi setengah tulang hidung
bagian bawah, prosesus nasomaksilaris dan bagian tepi piriformis. Trauma nasal
yang dihasilkan dari suatu pukulan bervariasi tergantung pada :
¤ Usia pasien yang sangat berpengaruh pada fleksibilitas jaringan dalam
meredam energi dari pukulan
¤ Besarnya tenaga pukulan, arah pukulan dimana akan menentukan bagian nasal
yang rusak. Kondisi dari obyek yang menyebabkan trauma nasal dan trauma
jaringan lunak yang umum terjadi meliputi: laserasi, ekimosis, hematom di
luar dan di dalam rongga hidung. Trauma pada kerangka hidung meliputi
fraktur (putusnya hubungan, lebih sering pada usia lanjut), dislokasi (pada
anak-anak), dan fraktur dislokasi. Trauma dislokasi dapat mengenai artikulasi
kerangka hidung luar atau pada septum nasi.
¤ Waktu kejadian

Trauma lain yang sering dihubungkan dengan fraktur nasal adalah fraktur
frontalis, ethmoid dan tulang lakrimalis, fraktur nasoorbital ethmoid; fraktur
dinding orbita; fraktur lamina kribriformis; fraktur sinus frontalis dan fraktur
maksila Le Fort I, II, dan III. Terdapat beberapa jenis fraktur nasal antara lain :
¤ Fraktur lateral
Adalah kasus yang paling sering terjadi, dimana fraktur hanya terjadi pada
salah satu sisi saja, kerusakan yang ditimbulkan tidak begitu parah.

Gambar Fraktur lateral

¤ Fraktur bilateral
Merupakan salah satu jenis fraktur yang juga paling sering terjadi selain
fraktur lateral, biasanya disertai dislokasi septum nasal atau terputusnya tulang
nasal dengan tulang maksilaris.

Gambar Fraktur bilateral


¤ Fraktur direct frontal
Yaitu fraktur os nasal dan os frontal sehingga menyebabkan desakan dan
pelebaran pada dorsum nasalis. Pada fraktur jenis ini pasien akan terganggu
suaranya.

Gambar Fraktur direct frontal


¤ Fraktur comminuted
Adalah fraktur kompleks yang terdiri dari beberapa fragmen. Fraktur ini akan
menimbulkan deformitas dari hidung yang tampak jelas.

Gambar Fraktur comminuted, 1: tulang hidung, 2: frontal dan 3 septum nasi


MANIFESTASI KLINIS
Tanda yang mendukung terjadinya fraktur tulang hidung dapat berupa :
¤ Depresi atau pergeseran tulang – tulang hidung.
¤ Terasa lembut saat menyentuh hidung.
¤ Adanya pembengkakan pada hidung atau muka.
¤ Memar pada hidung atau di bawah kelopak mata (black eye).
¤ Deformitas hidung.
¤ Keluarnya darah dari lubang hidung (epistaksis).
¤ Saat menyentuh hidung terasa krepitasi.
¤ Rasa nyeri dan kesulitan bernapas dari lubang hidung.

Tanda-tanda berikut merupakan saat dimana sebaiknya meminta pertolongan


dokter meliputi:
¤ Nyeri dan pembengkakan tidak menghilang 3x24 jam
¤ Hidung terlihat miring atau melengkung
¤ Sulit bernapas melalui hidung meskipun reaksi peradangan telah mereda
¤ Terjadi demam
¤ Perdarahan hidung berulang

Tanda-tanda berikut dimana sebaiknya meminta pertolongan ke unit gawat


darurat:
¤ Perdarahan yang berlangsung lebih dari beberapa menit pada satu atau kedua
lubang hidung
¤ Keluar cairan berwarna bening dari lubang hidung
¤ Cedera lain pada tubuh dan muka
¤ Kehilangan kesadaran
¤ Sakit kepala yang hebat
¤ Muntah yang berulang
¤ Penurunan indra penglihatan
¤ Nyeri pada leher
¤ Rasa kebas, baal,atau lemah pada lengan.

DIAGNOSIS
Diagnosis fraktur tulang hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan
pemeriksaan hidung bagian dalam dilakukan dengan rinoskopi anterior, biasanya
ditandai dengan pembengkakan mukosa hidung terdapatnya bekuan dan
kemungkinan ada robekan pada mukosa septum, hematoma septum, dislokasi atau
deviasi pada septum.
Pemeriksaan penunjang berupa foto os nasal, foto sinusparanasal posisi
Water dan bila perlu dapat dilakukan pemindaian dengan CT scan. CT scan
berguna untuk melihat fraktur hidung dan kemungkinan terdapatnya fraktur
penyerta lainnya.
Pasien harus selalu diperiksa terhadap adanya hematoma septum akibat
fraktur, bilamana tidak terdeteksi. Dan tidak dirawat dapat berlanjut menjadi abses,
dimana terjadi resorpsi kartilago septum dan deformitas hidung pelana (saddle
nose) yang berat.

 Anamnesis
Rentang waktu antara trauma dan konsultasi dengan dokter sangatlah
penting untuk penatalaksanaan pasien. Sangatlah penting untuk menentukan
waktu trauma dan menentukan arah dan besarnya kekuatan dari benturan.
Sebagai contoh, trauma dari arah frontal bisa menekan dorsum nasal, dan
menyebabkan fraktur nasal. Pada kebanyakan pasien yang mengalami trauma
akibat olahraga, trauma nasal yang terjadi berulang dan terus menerus, dan
deformitas hidung akan menyebabkan sulit menilai antara trauma lama dan
trauma baru sehingga akan mempengaruhi terapi yang diberikan. Informasi
mengenai keluhan hidung sebelumnya dan bentuk hidung sebelumnya juga
sangat berguna. Keluhan utama yang sering dijumpai adalah epistaksis,
deformitas hidung, obstruksi hidung dan anosmia.

 Pemeriksaan fisik
Kebanyakan fraktur nasal adalah pelengkap trauma seperti trauma akibat
dihantam atau terdorong. Sepanjang penilaian awal dokter harus menjamin
bahwa jalan napas pasien aman dan ventilasi terbuka dengan sewajarnya.
Fraktur nasal sering dihubungkan dengan trauma pada kepala dan leher yang
bisa mempengaruhi patennya trakea. Fraktur nasal ditandai dengan laserasi
pada hidung, epistaksis akibat robeknya membran mukosa. Jaringan lunak
hidung akan nampak ekimosis dan udem yang terjadi dalam waktu singkat
beberapa jam setelah trauma dan cenderung nampak di bawah tulang hidung
dan kemudian menyebar ke kelopak mata atas dan bawah.
Deformitas hidung seperti deviasi septum atau depresi dorsum nasal
yang sangat khas, deformitas yang terjadi sebelum trauma sering
menyebabkan kekeliruan pada trauma baru. Pemeriksaan yang teliti pada
septum nasal sangatlah penting untuk menentukan antara deviasi septum dan
hematom septi, yang merupakan indikasi absolut untuk drainase bedah segera.
Sangatlah penting untuk memastikan diagnosa pasien dengan fraktur, terutama
yang meliputi tulang ethmoid. Fraktur tulang ethmoid biasanya terjadi pada
pasien dengan fraktur nasal fragmental berat dengan tulang piramid hidung
telah terdorong ke belakang ke dalam labirin ethmoid, disertai remuk dan
melebar, menghasilkan telekantus, sering dengan rusaknya ligamen kantus
medial, apparatus lakrimalis dan lamina kribriformis, yang menyebabkan
rhinorrhea cerebrospinalis.
Pada pemeriksaan fisis dengan palpasi ditemukan krepitasi akibat
emfisema subkutan, teraba lekukan tulang hidung dan tulang menjadi
irregular. Pada pasien dengan hematom septi tampak area berwarna putih
mengkilat atau ungu yang nampak berubah-ubah pada satu atau kedua sisi
septum nasal. Keterlambatan dalam mengidentifikasi dan penanganan akan
menyebabkan deformitas bentuk pelana, yang membutuhkan penanganan
bedah segera. Pemeriksaan dalam harus didukung dengan pencahayaan,
anestesi, dan semprot hidung vasokonstriktor. Spekulum hidung dan lampu
kepala akan memperluas lapangan pandang. Pada pemeriksaan dalam akan
nampak bekuan darah dan/atau deformitas septum nasal.

Gambar Deformitas septum nasal

 Pemeriksaan radiologis
Jika tidak dicurigai adanya fraktur nasal komplikasi, radiografi jarang
diindikasikan. Karena pada kenyataannya kurang sensitif dan spesifik,
sehingga hanya diindikasikan jika ditemukan keraguan dalam mendiagnosa.
Radiografi tidak mampu untuk mengidentifikasi kelainan pada kartilago dan
ahli klinis sering salah dalam menginterpretasikan sutura normal sebagi fraktur
yang disertai dengan pemindahan posisi. Bagaimanapun, ketika ditemukan
gejala klinis seperti rhinorrhea cerebrospinalis, gangguan pergerakan
ekstraokular atau maloklusi. CT-scan dapat diindikasikan untuk menilai
fraktur wajah atau mandibular.
Gambar Foto x-ray fraktur hidung

Gambar CT-scan potongan coronal dan axial pada fraktur nasal

TATALAKSANA
 Konservatif
Penatalaksanaan fraktur nasal berdasarkan atas gejala klinis, perubahan
fungsional dan bentuk hidung, oleh karena itu pemeriksaan fisik dengan
dekongestan nasal dibutuhkan. Dekongestan berguna untuk mengurangi
pembengkakan mukosa. Pasien dengan perdarahan hebat, biasanya dikontrol
dengan pemberian vasokonstriktor topikal. Jika tidak berhasil bebat kasa tipis,
kateterisasi balon, atau prosedur lain dibutuhkan tetapi ligasi pembuluh darah
jarang dilakukan. Bebat kasa tipis merupakan prosedur untuk mengontrol
perdarahan setelah vasokonstriktor topikal. Biasanya diletakkan dihidung
selama 2-5 hari sampai perdarahan berhenti. Pada kasus akut, pasien harus
diberi es pada hidungnya dan kepala sedikit ditinggikan untuk mengurangi
pembengkakan. Antibiotik diberikan untuk mengurangi resiko infeksi,
komplikasi dan kematian. Analgetik berperan simptomatis untuk mengurangi
nyeri dan memberikan rasa nyaman pada pasien.
Fraktur nasal merupakan fraktur wajah yang tersering dijumpai. Jika
dibiarkan tanpa dikoreksi, akan menyebabkan perubahan struktur hidung dan
jaringan lunak sehingga akan terjadi perubahan bentuk dan fungsi. Karena itu,
ketepatan waktu terapi akan menurunkan resiko kematian pasien dengan
fraktur nasal. Terdapat banyak silang pendapat mengenai kapan seharusnya
penatalaksanaan dilakukan. Penatalaksanaan terbaik seharusnya dilakukan
segera setelah fraktur terjadi, sebelum terjadi pembengkakan pada hidung.
Sayangnya, jarang pasien dievaluasi secara cepat. Pembengkakan pada
jaringan lunak dapat mengaburkan apakah patah yang terjadi ringan atau berat
dan membuat tindakan reduksi tertutup menjadi sulit dilakukan. Sebab dari itu
pasien dievaluasi setelah 3-4 hari berikutnya. Tindakan reduksi tertutup
dilakukan 7-10 hari setelahnya dapat dilakukan dengan anestesi lokal. Jika
tindakan ditunda setelah 7-10 hari maka akan terjadi kalsifikasi.
Setelah memastikan bahwa saluran napas dalam kondisi baik,
pernapasan optimal dan keadaan pasien cenderung stabil, dokter baru
melakukan penatalaksaan terhadap fraktur. Penatalaksanaan dimulai dari
cedera luar pada jaringan lunak. Jika terjadi luka terbuka dan kemungkinan
kontaminasi dari benda asing, maka irigasi diperlukan. Tindakan pembersihan
(debridement) juga dapat dilakukan. Namun pada tindakan debridement harus
diperhatikan dengan bijak agar tidak terlalu banyak bagian yang dibuang
karena lapisan kulit diperlukan untuk melapisi kartilago yang terbuka.

 Operatif
Untuk fraktur nasal yang tidak disertai dengan perpindahan fragmen
tulang, penanganan bedah tidak dibutuhkan karena akan sembuh dengan
spontan. Deformitas akibat fraktur nasal sering dijumpai dan membutuhkan
reduksi dengan fiksasi adekuat untuk memperbaiki posisi hidung.
¤ Teknik reduksi tertutup
Reduksi tertutup adalah tindakan yang dianjurkan pada fraktur
hidung akut yang sederhana dan unilateral. Teknik ini merupakan satu
teknik pengobatan yang digunakan untuk mengurangi fraktur nasal yang
baru terjadi. Namun, pada kasus tertentu tindakan reduksi terbuka di ruang
operasi kadang diperlukan. Penggunaan analgesia lokal yang baik, dapat
memberikan hasil yang sempurna pada tindakan reduksi fraktur tulang
hidung. Jika tindakan reduksi tidak sempurna maka fraktur tulang hidung
tetap saja pada posisi yang tidak normal. Tindakan reduksi ini dikerjakan
1-2 jam sesudah trauma, dimana pada waktu tersebut edema yang terjadi
mungkin sangat sedikit. Namun demikian tindakan reduksi secara lokal
masih dapat dilakukan sampai 14 hari sesudah trauma. Setelah waktu
tersebut tindakan reduksi mungkin sulit dikerjakan karena sudah terbentuk
proses kalsifikasi pada tulang hidung sehingga perlu dilakukan tindakan
rinoplasti estetomi.

Gambar Reposisi Fraktur Hidung


Gambar Teknik reduksi tertutup

¤ Teknik reduksi terbuka


Fraktur nasal reduksi terbuka cenderung tidak memberikan
keuntungan. Pada daerah dimana fraktur berada sangat beresiko
mengalami infeksi sampai ke dalam tulang. Masalah pada hidung menjadi
kecil karena hidung mempunyai banyak suplai aliran darah bahkan pada
masa sebelum adanya antibiotik, komplikasi infeksi setelah fraktur nasal
dan rhinoplasti sangat jarang terjadi.
Teknik reduksi terbuka diindikasikan untuk :
♪ Ketika operasi telah ditunda selama lebih dari 3 minggu setelah
trauma.
♪ Fraktur nasal berat yang meluas sampai ethmoid. Disini, sangat nyata
adanya fragmentasi tulang sering dengan kerusakan ligamentum
kantus medial dan apparatus lakrimalis. Reposisi dan perbaikan hanya
mungkin dengan reduksi terbuka, dan sayangnya hal ini harus segera
dilakukan.
♪ Reduksi terbuka juga dapat dilakukan pada kasus dimana teknik
manipulasi reduksi tertutup telah dilakukan dan gagal. Pada teknik
reduksi terbuka harus dilakukan insisi pada interkartilago. Gunting
Knapp disisipkan di antara insisi interkartilago dan lapisan kulit
beserta jaringan subkutan yang terpisah dari permukaan luar dari
kartilago lateral atas, dengan melalui kombinasi antara gerakan
memperluas dan memotong.

KOMPLIKASI
¤ Hematom septi
Merupakan komplikasi yang sering dan serius dari trauma nasal. Septum
hematom ditandai dengan adanya akumulasi darah pada ruang subperikondrial.
Ruangan ini akan menekan kartilago di bawahnya, dan mengakibatkan
nekrosis septum irreversible. Deformitas bentuk pelana dapat berkembang dari
jaringan lunak yang hilang. Prosedur yang harus dilakukan adalah drainase
segera setelah ditemukan disertai dengan pemberian antibiotik setelah
drainase.

Gambar 17:
Bilateral septal hematomas associated with a nasal fracture

Penanganan hematom septum berupa :


♪ Insisi dan drainase hematoma
♪ Pemasangan drain sementara
♪ Pemasangan balutan intranasal untuk menekan mukosa septum
♪ Memperkecil kemungkinan terjadinya hematom ulang
♪ Dimulainya terapi antibiotik untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
bahaya infeksi.
¤ Fraktur dinding orbita
Fraktur pada dinding orbita dan lantai orbita akibat pukulan dapat
terjadi. Gejala klinis yang muncul adalah disfungsi otot ekstraokuler.
¤ Fraktur septum nasal
Sekitar 70% fraktur nasal dihubungkan dengan fraktur septum nasal.
Trauma pada hidung bagian bawah akan menyebabkan fraktur septum nasal
tanpa adanya kerusakan tulang hidung. Teknik yang dilakukan adalah teknik
manipulasi reduksi tertutup dengan menggunakan forceps Asch.
¤ Fraktur lamina kribriformis
Merupakan predisposisi pengeluaran cairan cerebrospinalis, yang akan
menyebabkan komplikasi berupa meningitis, encephalitis dan abses otak.

PROGNOSIS
Kebanyakan fraktur nasal tanpa disertai dengan perpindahan posisi akan
sembuh tanpa adanya kelainan kosmetik dan fungsional. Dengan teknik reduksi
terbuka dan tertutup akan mengurangi kelainan kosmetik dan fungsional pada 70 %
pasien.

B. Fraktur Wajah
Fraktur maksila sendiri sebagai bagian dari trauma maxillofacial cukup
sering ditemukan, walaupun lebih jarang dibandingkan dengan fraktur mandibula.
Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab tersering fraktur maksila
maupun fraktur wajah lainnya. Pada fraktur maksila juga dapat muncul berbagai
komplikasi yang cukup berat, dimana apabila tidak ditangani dengan baik dapat
mengakibatkan kecacatan dan kematian.
Trauma maxillofacial cukup sering terjadi. Hampir semua dokter baik itu
dokter umum maupun dokter spesialis bedah mendapatkan pasien trauma wajah
selama praktiknya. Dokter bedah plastik yang memiliki keahlian khusus dalam
anatomi wajah, latar belakang estetika, dan keahlian dalam penyembuhan luka
sering kali mendapatkan rujukan untuk menangani pasien trauma wajah.

KLASIFIKASI
Berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh Rene Le Fort, terdapat tiga
pola fraktur maksila, yaitu Le Fort I, II, dan III. Selain fraktur Le Fort, terdapat
pula fraktur alveolar, dan vertikal atau sagital maupun parasagital.

Gambar Fraktur Le Fort I, II, dan III

a. Fraktur Le Fort I
Fraktur Le Fort I dikenal juga dengan fraktur Guerin yang terjadi di atas
level gigi yang menyentuh palatum, meliputi keseluruhan prosesus alveolar
dari maksila, kubah palatum, dan prosesus pterigoid dalam blok tunggal.
Fraktur membentang secara horizontal menyeberangi basis sinus maksila.
Dengan demikian buttress maksilari transversal bawah akan bergeser terhadap
tulang wajah lainnya maupun kranium.

b. Fraktur Le Fort II
Pukulan pada maksila atas atau pukulan yang berasal dari arah frontal
menimbulkan fraktur dengan segmen maksilari sentral yang berbentuk
piramida. Karena sutura zygomaticomaxillary dan frontomaxillary (buttress)
mengalami fraktur maka keseluruhan maksila akan bergeser terhadap basis
kranium.

c. Fraktur Le Fort III


Selain pada pterygomaxillary buttress, fraktur terjadi pada zygomatic
arch berjalan ke sutura zygomaticofrontal membelah lantai orbital sampai ke
sutura nasofrontal. Garis fraktur seperti itu akan memisahkan struktur
midfasial dari kranium sehingga fraktur ini juga disebut dengan craniofacial
dysjunction. Maksila tidak terpisah dari zygoma ataupun dari struktur nasal.
Keseluruhan rangka wajah tengah lepas dari basis kranium dan hanya
disuspensi oleh soft tissue.

d. Fraktur Alveolar
Bagian dentoalveolar dari maksila dapat mengalami fraktur akibat
pukulan langsung maupun secara tidak tidak langsung pada mandibula.
Sebagian dari prosesus alveolar dapat mengalami fraktur.

e. Fraktur Maksila Sagital atau Vertikal


Fraktur sagital biasanya dihubungkan dengan fraktur maksila lainnya.
Fraktur seperti ini dapat meningkatkan lebar arkus denta dan wajah, dimana
cukup sulit untuk ditangani.

DIAGNOSIS DAN MANIFESTASI KLINIS


Mobilitas dan maloklusi merupakan hallmark adanya fraktur maksila.
Namun, kurang dari 10 % fraktor Le Fort dapat terjadi tanpa mobilitas maksila.
Gangguan oklusal biasanya bersifat subtle, ekimosis kelopak mata bilateral
biasanya merupakan satu-satunya temuan fisik. Hal ini dapat terjadi pada Le Fort II
dan III dimana disrupsi periosteum tidak cukup untuk menimbulkan mobilitas
maksila.
 Anamnesis. Jika memungkinkan, riwayat cedera seharusnya didapatkan
sebelum pasien tiba di departemen emergency. Pengetahuan tentang
mekanisme cedera memungkinkan dokter untuk mencurigai cedera yang
terkait selain cedera primer. Waktu diantara cedera atau penemuan korban dan
inisiasi treatment merupakan informasi yang amat berharga yang
mempengaruhi resusitasi pasien.
 Inspeksi. Epistaksis, ekimosis (periorbital, konjungtival, dan skleral), edema,
dan hematoma subkutan mengarah pada fraktur segmen maksila ke bawah dan
belakang mengakibatkan terjadinya oklusi prematur pada pergigian posterior.
 Palpasi. Palpasi bilateral dapat menunjukkan step deformity pada sutura
zygomaticomaxillary, mengindikasikan fraktur pada rima orbital inferior.
 Manipulasi Digital. Mobilitas maksila dapat ditunjukkan dengan cara
memegang dengan kuat bagian anterior maksila diantara ibu jari dengan
keempat jari lainnya, sedangkan tangan yang satunya menjaga agar kepala
pasien tidak bergerak. Jika maksila digerakkan maka akan terdengar suara
krepitasi jika terjadi fraktur.
 Cerebrospinal Rhinorrhea atau Otorrhea. Cairan serebrospinal dapat
mengalami kebocoran dari fossa kranial tengah atau anterior
(pneumochepalus) yang dapat dilihat pada kanal hidung ataupun telinga.
Fraktur pada fossa kranial tengah atau anterior biasanya terjadi pada cedera
yang parah. Hal tersebut dapat dilihat melalui pemeriksaaan fisik dan
radiografi.
 Maloklusi Gigi. Jika mandibula utuh, adanya maloklusi gigi menunjukkan
dugaan kuat ke arah fraktur maksila. Informasi tentang kondisi gigi terutama
pola oklusal gigi sebelumnya akan membantu diagnosis dengan tanda
maloklusi ini. Pada Le Fort III pola oklusal gigi masih dipertahankan, namun
jika maksila berotasi dan bergeser secara signifikan ke belakang dan bawah
akan terjadi maloklusi komplit dengan kegagalan gigi-gigi untuk kontak satu
sama lain.
 Pemeriksaan Radiologi. Pada kecurigaan fraktur maksila yang didapat secara
klinis, pemeriksaan radiologi dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis.
Pemeriksaan radiologi dapat berupa foto polos, namun CT scan merupakan
pilihan untuk pemeriksaan diagnostik. Teknik yang dipakai pada foto polos
diantaranya; waters, caldwell, submentovertex, dan lateral view. Jika terjadi
fraktur maksila, maka ada beberapa kenampakan yang mungkin akan kita
dapat dari foto polos. Kenampakan tersebut diantaranya; opasitas pada sinus
maksila, pemisahan pada rima orbita inferior, sutura zygomaticofrontal, dan
daerah nasofrontal. Dari film lateral dapat terlihat fraktur pada lempeng
pterigoid. Diantara pemeriksaan CT scan, foto yang paling baik untuk menilai
fraktur maksila adalah dari potongan aksial. Namun potongan koronal pun
dapat digunakan untuk mengamati fraktur maksila dengan cukup baik. Adanya
cairan pada sinus maksila bilateral menimbulkan kecurigaan adanya fraktur
maksila.

Di bawah ini merupakan foto CT scan koronal yang menunjukkan fraktur Le


Fort I, II, dan III bilateral. Dimana terjadi fraktur pada buttress maksilari medial
dan lateral di superior maupun inferior (perpotongan antara panah hitam dan
putih). Perlu dilakukan foto CT scan aksial untuk mengkonfirmasi diagnosis
dengan mengamati adanya fraktur pada zygomatic arch dan buttress
pterigomaksilari.

Gambar CT Scan Koronal

Banyaknya komponen tulang yang terlibat dalam fraktur maksila, membuat


klasifikasi ini cukup sulit untuk diterapkan. Untuk memudahkan tugas dalam
mengklasifikasikan fraktur maksila, terdapat tiga langkah yang bisa diterapkan.
Pertama, selalu memperhatikan prosesus pterigoid terutama pada foto CT scan
potongan koronal. Fraktur pada prosesus pterigoid hampir selalu mengindikasikan
bahwa fraktur maksila tersebut merupakan salah satu dari tiga fraktur Le Fort.
Untuk terjadinya fraktur Le Fort, prosesus pterigoid haruslah mengalami
disrupsi. Ke-dua, untuk mengklasifikasikan fraktur tipe Le Fort, perhatikan tiga
struktur tulang yang unik untuk masing-masing tipe yaitu; margin anterolateral
nasal fossa untuk Le Fort I, rima orbita inferior untuk Le Fort II, dan zygomatic
arch untuk Le Fort III. Jika salah satu dari tulang ini masih utuh, maka tipe Le Fort
dimana fraktur pada tulang tersebut merupakan ciri khasnya, dapat dieksklusi. Ke-
tiga, jika salah satu tipe fraktur sudah dicurigai akibat patahnya komponen unik
tipe tersebut, maka selanjutnya lakukan konfirmasi dengan cara mengidentifikasi
fraktur-fraktur komponen tulang lainnya yang seharusnya juga terjadi pada tipe itu.
Skema dibawah ini menunjukkan komponen unik untuk masing-masing tipe
Le Fort. Pada Le Fort I, margin anterolateral nasal fossa (tanda panah) mengalami
fraktur, struktur ini tetap utuh pada Le Fort II dan III. Sedangkan pada Le Fort II,
rima orbita inferior (tanda panah) yang mengalami fraktur, tapi utuh pada Le Fort I
dan III. Pada Le Fort III, yang mengalami fraktur adalah zygomatic arch (tanda
panah) namun utuh pada Le Fort I dan II.

Gambar Komponen Unik Masing-masing Tipe Le Fort

TATALAKSANA
Penatalaksanaan pada fraktur maksila meliputi penegakan airway, kontrol
pendarahan, penutupan luka pada soft tissue, dan menempatkan segmen tulang
yang fraktur sesuai dengan posisinya melalui fiksasi intermaksilari.
Sebelumnya, fraktur midface direkonstruksi dengan teknik yang pertama kali
diperkenalkan oleh Milton Adams. Adam mendeskripsikan reduksi terbuka direk
dan fiksasi internal rima orbita serta kombinasi reduksi tertutup dengan fiksasi
maksilomandibular midface bawah dan kompresi menggunakan kawat. Namun
teknik ini menyebabkan wajah pasien memendek dan tetap mengalami retrusi.
Sekarang ini treatment fraktur Le Fort tidak hanya bertujuan untuk memperbaiki
oklusi sebelum fraktur, tapi juga proyeksi, lebar, dan panjang wajah serta integritas
kavitas nasal, orbita dan kontur soft tissue. Tujuan tersebut dicapai dengan
melakukan CT scan potongan tipis, reduksi terbuka ekstensif semua fraktur,
stabilisasi rigid menggunakan plat dan sekrup, cangkok tulang apabila terdapat gap
akibat hilangnya segmen tulang, dan reposisi selubung soft tissue.
 Fiksasi Maksilomandibular. Teknik ini merupakan langkah pertama dalam
treatment fraktur maksila untuk memungkinkan restorasi hubungan oklusal
yang tepat dengan aplikasi arch bars serta kawat interdental pada arkus dental
atas dan bawah. Prosedur ini memerlukan anestesi umum yang diberikan
melalui nasotracheal tube. Untuk ahli bedah yang sudah berpengalaman dapat
pula diberikan melalui oral endotracheal tube yang ditempatkan pada gigi
molar terakhir. Tracheostomy biasanya dihindari kecuali terjadi perdarahan
masif dan cedera pada kedua rahang, karena pemakaian fiksasi rigid akan
memerlukan operasi selanjutnya untuk membukannya.
 Akses Fiksasi. Akses untuk mencapai rangka wajah dilakukan pada tempat-
tempat tertentu dengan pertimbangan nilai estetika selain kemudahan untuk
mencapainya. Untuk mencapai maksila anterior dilakukan insisi pada sulkus
gingivobuccal, rima infraorbital, lantai orbital, dan maksila atas melalui
blepharoplasty (insisi subsiliari). Daerah zygomaticofrontal dicapai melalui
batas lateral insisi blepharoplasty. Untuk daerah frontal, nasoethmoidal, orbita
lateral, arkus zygomatic dilakukan melalui insisi koronal bila diperlukan.
 Reduksi Fraktur. Segmen-segmen fraktur ditempatkan kembali secara
anatomis. Tergantung pada kompleksitas fraktur, stabilisasi awal sering
dilakukan dengan kawat interosseous. CT scan atau visualisasi langsung pada
fraktur membantu menentukan yang mana dari keempat pilar/buttress yang
paling sedikit mengalami fraktur harus direduksi terlebih dahulu sebagai
petunjuk restorasi yang tepat dari panjang wajah. Sedangkan fiksasi
maksilomandibular dilakukan untuk memperbaiki lebar dan proyeksi wajah.
 Stabilisasi Plat dan Sekrup. Fiksasi dengan plat kecil dan sekrup lebih
disukai. Pada Le Fort I, plat mini ditempatkan pada tiap buttress
nasomaxillary dan zygomaticomaxillary. Pada Le Fort II, fiksasi tambahan
dilakukan pada nasofrontal junction dan rima infraorbital. Pada Le Fort III,
plat mini ditempatkan pada artikulasi zygomaticofrontal untuk stabilisasi. Plat
mini yang menggunakan sekrup berukuran 2 mm dipakai untuk stabilisasi
buttress maksila. Ukuran yang sedemikian kecil dipakai agar plat tidak terlihat
dan teraba. Kompresi seperti pada metode yang dijukan oleh Adam tidak
dilakukan kecuali pada daerah zygomaticofrontal. Sebagai gantinya maka
dipakailah plat mini agar dapat beradaptasi secara pasif menjadi kontur rangka
yang diinginkan. Pengeboran untuk memasang sekrup dilakukan dengan gurdi
bor yang tajam dengan diameter yang tepat. Sebelumnya sekrup didinginkan
untuk menghindari terjadinya nekrosis dermal tulang serta dilakukan dengan
kecepatan pengeboran yang rendah. Fiksasi maksilomandibular dengan traksi
elastis saja dapat dilakukan pada fraktur Le Fort tanpa mobilitas. Namun,
apabila dalam beberapa hari oklusi tidak membaik, maka dilakukan reduksi
terbuka dan fiksasi internal.
 Cangkok Tulang Primer. Tulang yang rusak parah atau hilang saat fraktur
harus diganti saat rekonstruksi awal. Bila Gap yang terbentuk lebih dari 5 mm
maka harus digantikan dengan cangkok tulang. Cangkok tulang diambil dari
kranium karena aksesibilitasnya (terutama jika diakukan insisi koronal),
morbiditas tempat donor diambil minimal, dan memiliki densitas kortikal
tinggi dengan volum yang berlimpah. Pemasangan cangkokan juga dilakukan
dengan plat mini dan sekrup. Penggantian defek dinding antral lebih dari 1.5
cm bertujuan untuk mencegah prolaps soft tissue dan kelainan pada kontur
pipi.
 Pelepasan Fiksasi Maksilomandibular. Setelah reduksi dan fiksasi semua
fraktur dilakukan, fiksasi maksilomandibular dilepaskan, oklusi diperiksa
kembali. Apabila terjadi gangguan oklusi pada saat itu, berarti fiksasi rigid
harus dilepas, MMF dipasang kembali, reduksi dan fiksasi diulang.
 Resuspensi Soft tissue. Pada saat menutup luka, soft tissue yang telah terpisah
dari rangka dibawahnya ditempelkan kembali. Untuk menghindari dystopia
lateral kantal, displacement massa pipi malar ke inferior, dan kenampakan
skleral yang menonjol, dilakukan canthoplexy lateral dan penempelan kembali
massa soft tissue pipi pada rima infraorbita.
 Fraktur Sagital dan Alveolar Maksila. Pada fraktur ini dapat terjadi rotasi
pada segmen alveolar denta, dan merubah lebar wajah. Sebagian besar terjadi
mendekati garis tengah pada palatum dan keluar di anterior diantara gigi-gigi
kuspid. Fraktur sagital dan juga tuberosity dapat distabilkan setelah fiksasi
maksilomandibular dengan fiksasi sekrup dan plat pada tiap buttress
nasomaksilari dan zygomaticomaxillary.
 Perawatan Postoperative Fraktur Maksila. Manajemen pasca operasi terdiri
dari perawatan secara umum pada pasien seperti kebesihan gigi dan mulut,
nutrisi yang cukup, dan antibiotik selama periode perioperasi.
KOMPLIKASI
Komplikasi awal fraktur maksila dapat berupa pendarahan ekstensif serta
gangguan pada jalan nafas akibat pergeseran fragmen fraktur, edema, dan
pembengkakan soft tissue. Infeksi pada luka maksilari lebih jarang dibandingkan
pada luka fraktur mandibula. Padahal luka terkontaminasi saat terjadi cedera oleh
segmen gigi dan sinus yang juga mengalami fraktur. Infeksi akibat fraktur yang
melewati sinus biasanya tidak akan terjadi kecuali terdapat obstruksi sebelumnya.
Pada Le Fort II dan III, daerah kribiform dapat pula mengalami fraktur, sehingga
terjadi rhinorrhea cairan serebrospinal. Selain itu, kebutaan juga dapat terjadi
akibat pendarahan dalam selubung dural nervus optikus. Komplikasi akhir dapat
berupa kegagalan penyatuan tulang yang mengalami fraktur, penyatuan yang salah,
obstruksi sistem lakrimal, anestesia/hipoestesia infraorbita, devitalisasi gigi,
ketidakseimbangan otot ekstraokuler, diplopia, dan enoftalmus. Kenampakan
wajah juga dapat berubah (memanjang, retrusi).

PROGNOSIS
Fiksasi intermaksilari merupakan treatment paling sederhana dan salah satu
yang paling efektif pada fraktur maksila. Jika teknik ini dapat dilakukan sesegera
mungkin setelah terjadi fraktur, maka akan banyak deformitas wajah akibat fraktur
dapat kita eliminasi. Mandibula yang utuh dalam fiksasi ini dapat membatasi
pergeseran wajah bagian tengah menuju ke bawah dan belakang, sehingga elongasi
dan retrusi wajah dapat dihindari. Sedangkan fraktur yang baru akan ditangani
setelah beberapa minggu kejadian, dimana sudah mengalami penyembuhan secara
parsial, hampir tidak mungkin untuk direduksi tanpa full open reduction, bahkan
kalaupun dilakukan tetap sulit untuk direduksi.

LI. 4. Memahami dan Menjelaskan Perdarahan Intrakranial


4.1 Definisi Perdarahan Intrakranial
Perdarahan intrakranial adalah perdarahan (patologis) yang terjadi di dalam
kranium, yang mungkin ekstradural, subdural, subaraknoid, atau serebral
(parenkimatosa). Perdarahan intrakranial dapat terjadi pada semua umur dan juga
akibat trauma kepala seperti kapitis,tumor otak dan lain-lain.
8-13% ICH menjadi penyebab terjadinya stroke dan kelainan dengan
spectrum yang luas. Bila dibandingkan dengan stroke iskemik atau perdarahan
subaraknoid, ICH umumnya lebih banyak mengakibatkan kematian atau cacat
mayor. ICH yang disertai dengan edema akan mengganggu atau mengkompresi
jaringan otak sekitarnya, menyebabkan disfungsi neurologis. Perpindahan
substansi parenkim otak dapat menyebabkan peningkatan ICP dan sindrom
herniasi yang berpotensi fatal.

4.2 Etiologi Perdarahan Intrakranial


Bermacam macam penyebab terjadinya perdarahan spontan pada otak dan
umumnya multifaktorial. Berbagai bentuk kelainan kongenital dan yang diperoleh
pada penyakit kardiovaskuler merupakan mekanisme penyebab yang paling
sering, tapi struktur yang mirip dapat juga terjadi akibat komplikasi tumor otak
primer dan sekunder, peradangan dan penyakit autoimmune, trauma, atau
manifestasi penyakit sistemik yang menyebabkan hipertensi atau koagulopathy.
Perdarahan otak juga dapat terjadi karena terapi trombolitik pada miokard infark
dan cerebral infark. Oleh karena faktor-faktor penyebabnya heterogen,
pengobatannya khusus dan intervensi penyesuaiannya harus hati-hati terhadap
masing-masing individu.
Penyebab yang paling sering dari perdarahan non-trauma adalah hipertensi,
dimana terjadi perubahan-perubahan patologi, seperti micro-aneurysma,
lipohyalinosis, terutama pada arteri-arteri kecil, lemahnya dinding pembuluh darah
dan cenderung pecah.
Perokok, peminum alkohol, kadar serum kolesterol juga mempengaruhi
terjadinya perdarahan otak. Resiko perdarahan 2,5 kali lebih tinggi pada perokok.
Resiko perdarahan bertambah pada peminum alkohol. Serum kolesterol yang
rendah dibawah 160mg/dl, berhubungan dengan meningkatnya resiko perdarahan
pada laki-laki Jepang. Sedangkan pemakaian Aspirin dengan terjadinya
perdarahan dalam otak masih kontroversi. Dalam penelitian dimana penggunaan
Aspirin dosis rendah (325mg/hari) terhadap plasebo pada pencegahan primer
penyakit jantung, diperoleh hasil signifikan bertambah resiko perdarahan pada
group Aspirin.

Penyebab perdarahan dalam otak yang non hipertensi antara lain:


- Kelainan pembuluh darah yang kecil seperti angioma, biasanya lokasi
perdarahannya lobar. Umumnya terjadi pada usia muda. Lokasi perdarahan
biasanya superfisial.
- Obat-obat symptomatik. Perdarahan dalam otak berhubungan dengan
penggunaan amphetamine. Penggunaan obat ini kebanyakan secara intra vena,
juga dilaporkan dengan intra nasal atau oral. Lokasi perdarahan kebanyakan
luas. Efeknya karena tekanan darah meninggi (50% dari kasus) atau perubahan
histologis pembuluh darah seperti arteritis, mirip, periarteritis nodosa. Ini oleh
karena efek toksik dari obat tersebut. Pada angiography dijumpai multiple area
dari fokal arteri stenosis atau konstriksi dengan ukuran sedang pada arteri
besar intra kranial. Ini bersifat reversible dan akan hilang dengan berhentinya
penyalah gunaan obat ini.
- Cerebral amyloid angiopathy atau congophilic angiopathy merupakan bentuk
yang unik dan pada angiography khas adanya penumpukan/deposit amyloid
pada bagian media dan adventitia dengan ukuran sedang dan kecil dari arteri
cortical dan leptomeningeal. Deposit pada dinding arteri cenderung
menyebabkan penyumbatan pada lumen arteri karena penebalan dasar
membran, fragmentasi dari lamina interna elastik dan hilangnya sel-sel
endothel. Juga terjadi nekrosis fibrinoid pada pembuluh darah. Keadaan ini
tidak berhubungan dengan amyloidosis vascular sistemik. Cerebral amyloid
angiopathy berhubungan dengan dementia senilis yang progressive. Biasanya
terjadi pada usia yang lebih lanjut dan jarang berhubungan dengan hipertensi.
- Tumor intrakranial (jarang terjadi perdarahan pada tumor otak; dijumpai
sekitar 6-10%). Yang paling sering menimbulkan perdarahan yaitu tumor
ganas, baik primer ataupun metastase; jarang pada meningioma atau
oligodendroma. Tumor ganas primer pada otak yang paling sering
menimbulkan perdarahan yaitu glioblastoma multiform, lokasi perdarahan
umumnya deep cortical seperti basal ganglia, corpus callosum. Tumor
metastase yang paling sering menimbulkan perdarahan yaitu tumor sel
germinal, sekitar 60% dan lokasi perdarahan umumnya sucortical.
- Anti koagulan. Pemakaian obat oral antikoagulan yang lama dengan warfarin
sering menyebabkan perdarahan otak; dijumpai sekitar 9% dari kasus. Resiko
terjadinya perdarahan dengan pemakaian antikoagulan oral dalam jangka
panjang, 8-11 kali dibandingkan dengan yang tidak menggunakan obat
tersebut pada usia yang sama. Lokasi perdarahan paling sering pada
serebellum. Mekanisme terjadinya perdarahan ini masih belum diketahui.
- Agen fibrinolitik. Ini termasuk Streptokinase, Urokinase dan tissue type
plasminogen aktivator (tPA) yang digunakan dalam pengobatan coronary,
arteri dan venous trombosis. Kemampuan obat-obat ini yaitu menghancurkan
klot dan relatif menurunkan tingkatan sistemik hipofibrinogenemia, sehingga
sangat ideal dalam pengobatan trombosis akut. Komplikasi utama, walaupun
jarang, adalah perdarahan intraserebral. Dijumpai 0,4%-1,3% penderita dengan
miokard infark yang diobati dengan tPA. Perdarahan yang cenderung terjadi
setelah pemberian tPA 40% sewaktu dalam pemberian infus, 25% terjadai
dalam 24 jam setelah pemberian. 70-90% lokasi perdarahan lobar, 30%
perdarahannya multiple dan mortality 40-65%. Mekanisme terjadinya
perdarahan ini masih belum diketahui.
- Vaskulitis. Vaskulitis serebri dapat menyebabkan penyumbatan arteri dan
infark serebri, serta jarang menimbulkan perdarahan intraserebral. Proses
radang umumnya terjadi dalam lapisan media dan adventitia, serta pada
pembuluh darah arteri dan vena dengan ukuran kecil dan sedang. Biasanya
berhubungan dengan pembentukan mikroaneurysma. Gejalanya sakit kepala
kronis, penurunan kesadaran atau kognitif yang progresif, kejang-kejang,
infark serebri yang recurrent. Diagnosanya berupa limpositik CSF pleocytosis
dengan protein yang tinggi. Lokasi perdarahan umumnya lobar.

4.3 Klasifikasi Perdarahan Intrakranial


EPIDURAL HEMATOMA
Hematom epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan
duramater (dikenal dengan istilah hematom ekstradural). Hematom jenis ini biasanya
berasal dari perdarahan arteriel akibat adanya fraktur linier yang menimbulkan
laserasi langsung atau robekan arteri-arteri meningens (a. Meningea media). Fraktur
tengkorak yang menyertai dijumpai pada 8% - 95% kasus, sedangkan sisanya (9%)
disebabkan oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur (terutama pada kasus
anak-anak dimana deformitas yang terjadi hanya sementara). Hematom epidural yang
berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi.

(Gambar CT SCAN Epidural hematom)


Merupakan kumpulan massa darah akibat robeknya middle meningeal
arteri antara skull dan duramater di regio temporal, yang sangat kuat
hubungannya dengan fraktur linear. Dapat juga terjadi akibat robeknya vena &
tipikalnya, terjadi di region posterior fosa atau dekat daerah occipital lobe.

Gambaran pada CT Scan :


Tampak sebagai bentuk “ BI CONVEX “ dan adanya pemisahan jaringan otak
dengan tengkorak.
Akut > Hyperdens, Sub Akut > Isodens, Kronis > Hyperdens

a. Etiologi
Kausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi:
- Trauma kepala
- Sobekan a/v meningea mediana
- Ruptur sinus sagitalis / sinus tranversum
- Ruptur v. diplorica

Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arterial akibat


adanya fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri
meningea mediana. Fraktur tengkorak yang menyertainya dijumpai 85-95 %
kasus, sedang sisanya (9 %) disebabkan oleh regangan dan robekan arteri
tanpa ada fraktur terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang
terjadi hanya sementara.
Hematom jenis ini yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang
terjadi, umumnya disebabkan oleh laserasi sinus duramatris oleh fraktur
oksipital, parietal atau tulang sfenoid.

b. Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi:
- Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma
- Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24 jam – 7 hari
- Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7

SUBDURAL HEMATOMA
Perdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan
araknoid. Perdarahan subdural dapat berasal dari:
1. Ruptur vena jembatan ("Bridging vein") yaitu vena yang berjalan dari
ruangan subaraknoid atau korteks serebri melintasi ruangan subdural dan
bermuara di dalam sinus venosus duramater.
2. Robekan pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid
(Gambar CT SCAN Subdural hematom)

Merupakan kumpulan perdarahan vena yang berlokasi antara duramater


dan arachnoid membrane (subdural space). Biasanya terjadi akibat kepala
berbenturan dengan bentuk tak bergerak yang menyebabkan robeknya vena
antara cerebral cortex & vena dura.

Gambaran pada CT Scan :


Tampak sebagai bentuk “BULAN SABIT“ mengikuti kontur dari cranium
bagian dalam.
Perdarahan akut > hyperdens, sub akut > isodens, kronis > hypodens.

a. Etiologi
- Trauma kepala
- Malformasi arteriovenosa
- Diskrasia darah
- Terapi antikoagulan
b. Klasifikasi
1. Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah
trauma.Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat
mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah
terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5
mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya,
didapatkan lesi hiperdens.
2. Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari
sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan
darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada
pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya
didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena
terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
3. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa
lebih.Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu
berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma
yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan
perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular
atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita
harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi
membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan
herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk
mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum
terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat
pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini
mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi
duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat
menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah
ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan
menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk
cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea.
Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor
serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien
yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya
didapatkan lesi hipodens

INTRASEREBRAL HEMATOM
Adalah perdarahan yang terjadi di dalam jaringan otak. Hematom intraserbral
pasca traumatik merupkan koleksi darah fokal yang biasanya diakibatkan cedera
regangan atau robekan rasional terhadap pembuluh-pembuluh darahintraparenkimal
otak atau kadang-kadang cedera penetrans. Ukuran hematom ini bervariasi dari
beberapa milimeter sampai beberapa centimeter dan dapat terjadi pada 2%-16% kasus
cedera.
Intracerebral hematom mengacu pada hemorragi / perdarahan lebih dari 5
mldalam substansi otak (hemoragi yang lebih kecil dinamakan punctate atau
petechial /bercak).

(Gambar CT SCAN Intraserebral hematom)

a. Etiologi
Intraserebral hematom dapat disebabkan oleh:
- Trauma kepala
- Hipertensi
- Malformasi arteriovenosa
- Aneurisme
- Terapi antikoagulan
- Diskrasia darah

b. Klasifikasi
Klasifikasi intraserebral hematom menurut letaknya:
- Hematom supra tentoral
- Hematom serebeller
- Hematom pons-batang otak

4.4 Patofisiologi Perdarahan Intrakranial


EPIDURAL HEMATOMA
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam
waktu yang lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu
berhubungan dengan fraktur cranial linier. Pada kebanyakan pasien, perdarahan
terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau keduanya. Pembuluh darah
meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis fraktur melewati lekukan meningeal
pada squama temporal.

SUBDURAL HEMATOMA
Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar
atau laserasi, adalah lokasi umum terjadinya perdarahan. Hal ini sangat
berhubungan dengan comtusio serebral dan oedem otak. CT Scan menunjukkan
effect massa dan pergeseran garis tengah dalam exsess dari ketebalan hematom
yamg berhubungan dengan trauma otak.

INTRASEREBRAL HEMATOM
Hematom intraserebral biasanya 80%-90% berlokasi di frontotemporal atau
di daerah ganglia basalis, dan kerap disertai dengan lesi neuronal primer lainnya
serta fraktur kalvaria.

4.5 Manifestasi Klinis Perdarahan Intrakranial


EPIDURAL HEMATOMA
Gejala klinis hematom epidural terdiri dari tria gejala:
a. Interval lusid (interval bebas)
Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti
dengan perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere
contralateral. Lebih dari 50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid,
dan ketidaksadaran yang terjadi dari saat terjadinya cedera.
Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya jalan
dura dari bagian dalam cranium, dan biasanya progresif bila terdapat interval
lucid. Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal.
Interval ini menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang
pertama diderita karena trauma dan dimulainya kekacauan pada diencephalic
karena herniasi transtentorial. Panjang dari interval lucid yang pendek
memungkinkan adanya perdarahan yang dimungkinkan berasal dari arteri.
b. Hemiparesis
Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari
efek pembesaran massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis
sampai penjendalan dapat juga menyebabkan tekanan pada cerebral
kontralateral peduncle pada permukaan tentorial.
c. Anisokor pupil
Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalanannya, pelebaran pupil
akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih
positif akan menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan
bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam,
pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil
tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.

SUBDURAL HEMATOMA
Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala)
sampai penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak
begitu hebat deperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada effek massa
atau lesi lainnya.
Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian
tekanan intrakranial seperti : sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema,
diplopia akibat kelumpuhan N. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis
lainnya. Kadang kala yang riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga tumor
otak.

INTRASEREBRAL HEMATOM
Klinis penderita tidak begitu khas dan sering (30%-50%) tetap sadar, mirip
dengan hematom ekstra aksial lainnya. Manifestasi klinis pada puncaknya tampak
setelah 2-4 hari pasca cedera, namun dengan adanya scan computer tomografi
otak, diagnosanya dapat ditegakkan lebih cepat.
Kriteria diagnosis hematom supra tentorial:
 Nyeri kepala mendadak
 Penurunan tingkat kesadaran dalam waktu 24-48 jam
 Tanda fokal yang mungkin terjadi:
- Hemiparesis / hemiplegi
- Hemisensorik
- Hemi anopsia homonim
- Parese nervus III

Kriteria diagnosis hematom serebeller:


 Nyeri kepala akut
 Penurunan kesadaran
 Ataksia
 Tanda tanda peninggian tekanan intrakranial

Diagnosis hematom pons batang otak:


 Penurunan kesadaran koma
 Tetraparesa
 Respirasi irreguler
 Pupil pint point
 Pireksia
 Gerakan mata diskonjugat

4.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding Perdarahan Intrakranial


EPIDURAL HEMATOMA
b. Pemeriksaan Laboratorium
Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung
trombosit) penting dalam penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik
spontan maupun trauma. Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan
tromboplastin jaringan, yang mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan
koagulopati dibutuhkan jika pembedahan akan dilakukan. Jika dibutuhkan,
faktor-faktor yang tepat diberikan pre-operatif dan intra-operatif.
Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan penurunan
yang signifikan pada level hematokrit dalam rongga kranium kaku. Pada bayi,
yang volume darahnya terbatas, perdarahan epidural dalam kranium meluas
dengan sutura terbuka yang menyebabkan kehilangan darah yang berarti.
Perdarahan yang demikian mengakibatkan ketidakstabilan hemodinamik;
karenanya dibutuhkan pengawasan berhati-hati dan sering terhadap level
hematokrit.

c. Pencitraan
 Radiografi
o Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan
vaskular cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau
vertex juga mungkin diamati.
o Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan
epidural. Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan
dengan fraktur kranium. Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena
kecacatan kranium yang lebih besar.
 CT-scan
o CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam
mendiagnosa perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang
ditempati perdarahan epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema
bagian dalam kranium, khususnya pada garis sutura, memberi
tampilan lentikular atau bikonveks. Hidrosefalus mungkin muncul
pada pasien dengan perdarahan epidural fossa posterior yang besar
mendesak efek massa dan menghambat ventrikel keempat.
o CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu
hematom kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas hemoglobin
dalam hematom menentukan jumlah radiasi yang diserap.
o Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim
otak dari waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut memperlihatkan
hiperdensitas (yaitu tanda terang pada CT-scan). Hematom kemudian
menjadi isodensitas dalam 2-4 minggu, lalu menjadi hipodensitas
(yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah hiperakut mungkin diamati
sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang mungkin
mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau level
hemoglobin serum yang rendah.
o Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area
dimana konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan
epidural vertex dapat disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan
CT-scan aksial tradisional. Bahkan ketika terdeteksi dengan benar,
volume dan efek massa dapat dengan mudah disalahartikan. Pada
beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital dapat digunakan
untuk mengevaluasi hematom pada lempengan coronal.
o Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi
intrakranial lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan subdural,
kontusio serebral, dan hematom intraserebral
 MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini
kurang tepat untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa,
bagaimanapun, dapat diamati ketika meluas.

SUBDURAL HEMATOMA
a. Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah rutin,
elektrolit, profil hemostasis/koagulasi.
 Foto tengkorak
Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk memperkirakan
adanya SDH. Fraktur tengkorak sering dipakai untuk meramalkan
kemungkinan adanya perdarahan intrakranial tetapi tidak ada hubungan
yang konsisten antara fraktur tengkorak dan SDH. Bahkan fraktur sering
didapatkan kontralateral terhadap SDH.
 CT-Scan
Pemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila dicurigai
terdapat suatu lesi pasca-trauma, karena prosesnya cepat, mampu melihat
seluruh jaringan otak dan secara akurat membedakan sifat dan keberadaan
lesi intra-aksial dan ekstra-aksial.
 MRI
Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna untuk
mengidentifikasi perdarahan ekstraserebral. Akan tetapi CT-scan
mempunyai proses yang lebih cepat dan akurat untuk mendiagnosa SDH
sehingga lebih praktis menggunakan CT-scan dibandingkan MRI pada
fase akut penyakit. MRI baru dipakai pada masa setelah trauma terutama
untuk menetukan kerusakan parenkim otak yang berhubungan dengan
trauma yang tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan CT-scan. MRI lebih
sensitif untuk mendeteksi lesi otak nonperdarahan, kontusio, dan cedera
aksonal difus. MRI dapat membantu mendiagnosis bilateral subdural
hematom kronik karena pergeseran garis tengah yang kurang jelas pada
CT-scan.

b. Diagnosis Banding
 Stroke
 Encephalitis
 Abses otak
 Adverse drugs reactions
 Tumor otak
 Perdarahan subarachnoid
 Hydrocephalus

INTRASEREBRAL HEMATOM
a. Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium : Darah rutin (Hemoglobin, Laju endap darah, Leukosit,
Hitung jenis, Hematokrit, Trombosit, Waktu perdarahan dan pembekuan,
Gula darah puasa, Gula darah 2 jam post prandial, Total kolesterol, HDL-
Kolesterol, LDL-Kolesterol, Trigliserida, Asam urat, Natrium, Kalium,
Klorida).
 Elektrokardiografi
 Elektroensefalografi
 CT-Scan kepala
 Rontgen foto thoraks
 Angiografi

b. Diagnosis banding
 Acute Stroke Management
 Amyloid Angiopathy
 Anisocoria
 Arteriovenous Malformations
 Blood Dyscrasias and Stroke
 Cardioembolic Stroke
 Cerebellar Hemorrhage
 Cerebral Aneurysms
 Cerebral Venous Thrombosis
 CNS Melanoma
 Cocaine
 Dissection Syndromes
 Epidural Hematoma
 Head Injury
 Herpes Simplex Encephalitis
 Hydrocephalus
 Lumbar Puncture (CSF Examination)
 Magnetic Resonance Imaging in Acute Stroke
 Moyamoya Disease
 Neonatal Injuries in Child Abuse
 Neurological Sequelae of Infectious Endocarditis
 Posttraumatic Epilepsy
 Reperfusion Injury in Stroke
 Status Epilepticus
 Stroke Anticoagulation and Prophylaxis
 Subarachnoid Hemorrhage
 Subdural Empyema
 Subdural Hematoma
 Thrombolytic Therapy in Stroke
 Vein of Galen Malformation

4.7 Tatalaksana Perdarahan Intrakranial


EPIDURAL HEMATOMA
Hematom epidural adalah tindakan pembedahan untuk evakuasi secepat
mungkin, dekompresi jaringan otak di bawahnya dan mengatasi sumber
perdarahan. Biasanya pasca operasi dipasang drainase selama 2 x 24 jam untuk
menghindari terjadinya pengumpulan darah yang baru.
 Trepanasi-kraniotomi, evakuasi hematom
 Kraniotomi-evakuasi hematom

SUBDURAL HEMATOMA
Tindakan terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi hematom
secepatnya dengan irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita hematom
subdural kronis usia tua dimana biasanya mempunyai kapsul hematom yang tebal
dan jaringan otaknya sudah mengalami atrofi, biasanya lebih dianjurkan untuk
melakukan operasi kraniotomi (diandingkan dengan burr-hole saja).

INTRASEREBRAL HEMATOM
a. Terapi konservatif dan operatif (Craniotomy)
b. Pengendalian tekanan intrakranial
c. Pengobatan hipertensi untuk memelihara tekanan perfusi serebral antara 60
sampai 70 mmHg, anticonvulsant
d. Pengendalian peningkatan TIK dilakukan Hiperventilasi, Diuretika dan
kortikosteroid tetapi dapat memberi kerugian, misalnya mudah terkena
infeksi hiperglikemia, perdarahan lambung (stress ulcer)

4.8 Komplikasi Perdarahan Intrakranial


EPIDURAL HEMATOMA
Hematom epidural dapat memberikan komplikasi :
1. Edema serebri, merupakan keadaan-gejala patologis, radiologis, maupun
tampilan ntra-operatif dimana keadaan ini mempunyai peranan yang sangat
bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan
tekanan intracranial
2. Kompresi batang otak – meninggal

Sedangkan outcome pada hematom epidural yaitu :


1. Mortalitas 20% -30%
2. Sembuh dengan defisit neurologik 5% - 10%
3. Sembuh tanpa defisit neurologik
4. Hidup dalam kondisi status vegetatif

SUBDURAL HEMATOMA
Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa:
1. Hemiparese/hemiplegia
2. Disfasia/afasia
3. Epilepsi
4. Hidrosepalus
5. Subdural empiema

Sedangkan outcome untuk subdural hematom adalah:


1. Mortalitas pada subdural hematom akut sekitar 75%-85%
2. Pada sub dural hematom kronis:
- Sembuh tanpa gangguan neurologi sekitar 50%-80%
- Sembuh dengan gangguan neurologi sekitar 20%-50%

INTRASEREBRAL HEMATOM
Intraserebral hematom dapat memberikan komplikasi berupa:
1. Oedem serebri, pembengkakan otak
2. Kompresi batang otak, meninggal

Sedangkan outcome intraserebral hematom dapat berupa:


1. Mortalitas 20%-30%
2. Sembuh tanpa defisit neurologis
3. Sembuh denga defisit neurologis
4. Hidup dalam kondisi status vegetatif

4.9 Pencegahan Perdarahan Intrakranial


Beberapa faktor yang dapat dicegah untuk mengurangi risiko terjadinya
perdarahan otak meliputi :
- Atasi tekanan darah tinggi. Sekitar 80% perdarahan otak terjadi pada penderita
yang memiliki riwayat darah tinggi. Untuk itu perlu tindakan untuk mengatasi
tekanan darah yang tinggi, yaitu melalui diet yang sehat, olahraga, dan obat-
obatan
- Jangan merokok
- Jangan menggunakan obat-obat terlarang, misalnya kokain, dapat
meningkatkan risiko terjadinya perdarahan di otak
- Mengemudi dengan hati-hati, gunakan sabuk pengaman Anda
- Selalu memakai helm saat mengendarai sepeda motor
- Jika Anda memiliki aneurisma, tindakan pembedahan dapat diakukan untuk
mencegah perdarahan di kemudian hari

4.10 Prognosis Perdarahan Intrakranial


Prognosis tergantung pada:
- Lokasinya
- Besarnya
- Kesadaran saat masuk kamar operasi
Jika ditangani dengan cepat, prognosis biasanya baik, karena kerusakan otak
secara menyeluruh dapat dibatasi. Prognosis sangat buruk pada pasien yang
mengalami koma sebelum operasi.

LI. 5. Memahami dan Menjelaskan Trias Cushing


5.1 Definisi
Sindrom Cushing merupakan kumpulan gejala-gejala berupa peningkatan berat
badan yang cepat terutama pada perut (obesitas sentral) dan wajah (moon face),
penumpukan lemak pada leher bagian belakang (buffalo hump), hiperhidrosis
(berkeringat berlebihan), striae pada abdomen, penipisan kulit, hirsutisme, hipertensi,
penurunan libido, gangguan menstruasi, dan lain-lain. Kelainan ini disebabkan oleh
kelebihan hormon kortisol dalam darah. Patologi penyakit ini dijelaskan oleh Harvey
Cushing pada 1932.

5.2 Etiologi dan patogenesis


Secara umum penyebab dari sindrom Cushing adalah kelebihan sekresi hormon
kortisol dalam darah. Namun penyebab dari berlebihnya sekresi hormon kortisol
tersebut dapat berbeda-beda.
 Segala kondisi yang menyebabkan peningkatan sekresi dari hormon kortisol
adalah penyebab terjadinya sindrom Cushing. Sindrom Cushing ini dapat
diklasifikasikan menjadi 2 berdasarkan penyebabnya yaitu eksogen dan endogen.
Pada umumnya sindrom Cushing disebabkan oleh penyebab eksogen yaitu
administrasi glukokortikoid jangka lama (disebut juga Sindrom Cushing
iatrogenik). Biasanya terapi steroid ini diberikan untuk penyakit asma atau
reumatoid artritis dan terapi imunosurpresi setelah transplantasi organ. Penyebab
eksogen lainnya adalah administrasi ACTH namun lebih jarang ditemukan.
 Sindrom Cushing juga dapat disebabkan oleh penyebab endogen dimana terjadi
kelainan pada sekresi kortisol dalam tubuh kita sendiri. Penyebab endogen
sindrom Cushing ini bisa dibagi menjadi 2 macam yaitu ACTH-dependent
(kelainan terdapat pada kelenjar pituitari) dan ACTH-independent (kelainan
terdapat pada kelenjar adrenal) seperti dapat dilihat pada tabel di atas.
 Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ACTH-secreting pituitary adenoma adalah
penyebab tersering sindrom Cushing yang disebabkan penyebab endogen. Pada
kebanyakan kasus adenoma yang terjadi adalah mikroadenoma (<10mm). ACTH-
secreting pituitary adenoma bertanggung jawab atas 70% kasus sindrom Cushing
endogen dan sering juga disebut Cushing disease.
 Sekresi dari ACTH ektopik oleh sel tumor nonpituitari terjadi pada sekitaar 10%
kasus sindrom Cushing endogen. Pada sebagian besar kasus, tumor yang
menyebabkan hal ini adalah small cell carcinoma pada paru-paru. Varian ini biasa
terjadi pada usia antara 40 sampai 50 tahun.
 Neoplasma adrenal primer seperti adenoma adrenal dan karsinoma adrenal
merupakan penyebab tersering pada sindrom Cushing ACTH-independent. Secara
biokimia tanda yang bisa dilihat adalah peningkatan kortisol serum namun ACTH
rendah. Hiperkortisolisme pada karsinoma biasanya lebih parah daripada
adenoma atau hiperplasia.

5.3 Manifestasi klinis


 Hiperkortisolisme mendorong penumpukan lemak ke jaringan-jaringan tertentu
khususnya pada wajah bagian atas (menyebabkan moon face), diantara tulang
belikat (buffalo hump) dan mesenterik (obesitas sentral). Alasan untuk distribusi
jaringan adiposa yang aneh ini belum diketahui namun diperkirakan berhubungan
dengan resistensi insulin atau peningkatan kadar insulin.
 Selain itu hiperkortisolisme juga menyebabkan atrofi selektif pada otot fast-
twitch (tipe 2) yang berakibat pada penurunan massa otot dan kelemahan pada
ekstremitas bagian proksimal. Glukokortikoid dapat menginduksi
glukoneogenesis dan menghambat pengambilan glukosa oleh sel yang
menyebabkan hiperglikemia, glucosuria, dan polidipsi. Efek kataboliknya
menyebabkan resorpsi tulang dan hilangnya kolagen sehingga kulit menjadi tipis,
mudah luka, penyembuhan luka yang buruk, dan striae. Resorpsi tulang
menyebabkan osteoporosis.
 Pada wanita, peningkatan androgen adrenal menyebabkan jerawat, hirsutisme,
oligomenorea atau amenorea. Hipertensi sering terjadi dan dapat dijumpai
perubahan emosional, mudah tersinggung dan emosi labil sampai depresi berat,
bingung, atau psikosis.

5.6 Tatalaksana
 Sebagian besar kasus Sindrom Cushing merupakan kasus iatrogenik akibat
administrasi glukokortikoid jangka panjang. Jadi untuk tata laksana nya adalah
memberikan terapi secara hati-hati dengan pengawasan atau menghentikan terapi
glukokortikoidnya.
 Pada pasien dengan adenoma pituitari ataupun adenoma adrenal, adenoma dapat
dicabut (opeerasi) setelah diagnosis ditegakkan. Biasanya pasien akan
membutuhkan terapi replacement steroid pascaoperasi tidak peduli dimana lokasi
adenomanya. Pada pasien yang dicabut kedua kelenjar adrenalnya, replacement
dapat dilakukan dengan hydrocortisone dan prednisolone.
 Kebanyakan pasien dengan karsinoma adrenal meninggal dalam 3 tahun setelah
diagnosis karena terjadi metastasis. Metastasis tersering terjadi di hati dan paru.
Obat utama untuk karsinoma adrenal adakah mitotan. Obat ini menekan produksi
kortisol dan menurunkan kadar kortisol dalam darah dan urine. Obat ini biasa
diberikan 3-4 kali sehari dengan dosis ditingkatkan bertahap 8-10g per hari.

Anda mungkin juga menyukai