Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

SIROSIS HEPATIS

Dipresentasikan oleh :

dr. Anita

Pembimbing :

dr. Mey Sitanggang

Wahana Internsip:

Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang

KOMITE INTERNSIP DOKTER INDONESIA

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PPDSM KESEHATAN

2019
HALAMAN PENGESAHAN
Nama : dr. Anita
Judul Lapkas : Sirosis Hepatis
Pendamping : dr. Mey Margaretha Sitanggang

Sidikalang, Agustus 2019

Pendamping Dokter Internsip

dr. Mey Margaretha Sitanggang dr. Anita


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini
dengan judul ”Sirosis Hepatis ”.

Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Program Dokter Internsip stase IGD di RSUD Sidikalang.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dokter


pembimbing dr Mey Sitanggang yang telah sabar serta mau untuk meluangkan
waktunya dan memberikan banyak masukan dalam penyusunan laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis mengharapkan
saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan laporan kasus
selanjutnya. Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat, akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.

Sidikalang, Agustus 2019

Penulis

dr. Anita
DAFTAR ISI

Halaman

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 3

2.1. Anatomi Hati ................................................................................ 4


2.2. Definisi Sirosis Hati ................................................................................ 4
2.3. Etiologi Sirosi Hati ................................................................................ 4
2.4. Klasifikasi Sirosis Hati ................................................................................ 4
2.5. Patogenesis Sirosis Hati ................................................................................ 6
2.6. Diagnosa Sirosis Hati ................................................................................ 8
2.7. Petalaksanaan Sirosis Hati ........................................................................... 12
2.8. Komplikasi Sirosis Hati ................................................................................ 15
2.9. Prognosis Sirosis Hati ................................................................................ 16

BAB III STATUS PASIEN ............................................................................... 18

BAB IV FOLLOW UP ................................................................................ 22

BAB V KESIMPULAN ................................................................................ 25

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 26


1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.1.Latar Belakang Masalah


Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan
pembentukan jaringan ikat yang disertai dengan pembentukan nodul. Istilah sirosis
dikemukakan pertama kali oleh Laennec pada tahun 1826 yang diambil dari
bahasa Yunani scirrhus atau kirrhos yang artinya warna oranye dan dipakai untuk
menunjukkan warna oranye atau kuning kecoklatan permukaan hati yang tampak
pada saat autopsi. Lebih dari 40% pasien sirosis bersifat asimtomatik. Pada
keadaan ini sirosis ditemukan pada waktu pemeriksaan rutin kesehatan atau pada
saat autopsi. (Sudoyo, 2006)

Sirosis hepatis dapat disebabkan oleh banyak hal namun mayoritas


disebabkan oleh virus maupun kebiasaan meminum alkohol. Penyebab tersering
yang lain adalah penyakit infeksi, penyakit keturunan dan metabolik, obat-obatan
dan toksin. Di negara barat, penyebab terbanyak sirosis hepatis adalah konsumsi
alkohol, sedangkan di negara berkembang seperti Indonesia kebanyakan
disebabkan oleh virus hepatitis B maupun C. (Nurdjanah S, 2009)

Secara klinis, sirosis dibagi menjadi sirosis hepatis kompensata yaitu


sirosis hepatis yang belum menunjukkan gejala klinis dan sirosis hepatis
dekompensata yaitu sirosis hati yang menunjukkan gejala-gejala gangguan hati
yang khas. Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan
secara tidak sengaja pada saat pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin.3
Komplikasi utama dari sirosis hepatis meliputi ascites, spontaneous bacterial
peritonitis (SBP), encephalopathy hepatic, hipertensi portal, perdarahan variseal
dan sindrom hepatorenal. (Joel J, 2006)

Berdasarkan data WHO (2004) sirosis hati merupakan penyebab kematian


ke delapan belas di dunia, dengan prevalensi 1,3%.Menurut National Vital
Statistics Reports (2013), di Amerika Serikat pada tahun 2010, penyakit hati
kronik dan sirosis hati menempati peringkat kedua belas penyebab kematian
dengan jumlah kasus 31.903, dengan jumlah kasus pada laki- laki adalah 20.798

1
2

dan pada perempuan adalah 11.105. Di Asia Tenggara, lebih dari 70%
penduduknya terinfeksi virus Hepatitis B dan sekitar 20% akan berkembang
menjadi sirosis hati. Pada tahun tahun 2006, prevalensi sirosis hati di Inggris
sebesar 2% dan di Thailand sebesar 2,5%. (Cahyono SB, 2010)

Sirosis hati dengan komplikasinya merupakan masalah kesehatan yang


masih sulit diatasi di Indonesia. Hal ini ditandai dengan angka kesakitan dan
kematian yang tinggi. Secara umum diperkirakan angka insiden sirosis hepatis di
rumah sakit seluruh Indonesia berkisar antara 0,6-14,5%. Menurut laporan rumah
sakit umum pemerintah di Indonesia, rata-rata prevalensi sirosis hati adalah 3.5%
dari seluruh pasien yang dirawat di bangsal penyakit dalam, atau rata-rata 47.4%
dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat. Perbandingan prevalensi sirosis
pada pria : wanita adalah 2,1:1 dan usia rata-rata adalah 44 tahun. Di Medan,
penderita penyakit hati merupakan 5% dari penderita yang dirawat di bagian
Penyakit Dalam dan sebanyak 72,7% di antaranya menderita sirosis hati. ( Tortora
GJ, 2008)

1.2. Tujuan
Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah :
1. Mengerti dan memahami tentang sirosis hepatis.
2. Dapat mengintegrasikan teori terhadap pasien dengan sirosis hepatis.
3. Sebagai persyaratan dalam memenuhi tugas presentasi program dokter intersip
di RSUD Sidikalang.

1.2. Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada penulis dan
pembaca khusunya yang terlibat dalam bidang medis serta masyarakat secara
umum agar dapat lebih mengetahui dan memahami lebih mengenai sirosis hepatis.
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Hati


Hati adalah organ intestinal terbesar dalam tubuh kita warna merah tua dan
beratnya 1,2-1,8 kg atau lebih. Pada orang dewasa diperkirakan 1/50 dari berat
badannya sedangkan pada bayi diperkirakan 1/8 berat bayi. Hati terletak di bagian
atas dalam rongga abdomen sebelah kanan diafragma. Hati berwarna merah tua
karena kaya akan persediaan darah dan oksigen. Pada hati terdapat dua lobus yaitu
lobus kiri dan lobus kanan. Pada orang dewasa lobus kanan 6 kali lebih besar
daripada lobus kiri. Lobus kanan dan lobus kiri dipisahkan oleh ligamentum
falsiformis. Pada bagian inferior terdapat fisura untuk ligamentum teres dan pada
bagian posterior terdapat fisura untuk ligamentum venosum. Hati dikelilingi oleh
kapsula fibrosa yang dinamakan kapsul glisson dan dibungkus peritorium pada
sebagian besar keseluruhan permukaanya. Hati disuplai oleh dua pembuluh darah
yaitu: vena porta hepatika membawa darah dari lambung dan usus yang kaya akan
nutrisi seperti asam amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam air, mineral
dan arteri hepatika, cabang dari arteri coeliaca yang kaya akan oksigen. ( Tortora
GJ, 2008)
4

2.2. Definisi Sirosis Hepatis

Sirosis hati merupakan tahap akhir proses difus fibrosis hati yang ditandai
oleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul regeneratif. Biasanya dimulai
dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan
jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan
menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat
penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut. Pada sirosis dini biasanya hati
membesar, teraba kenyal, tepi tumpul, dan terasa nyeri bila ditekan. (Nurdjanah,
2009)

2.3. Etiologi Sirosis Hepatis


Penyebab pasti dari sirosis hati sampai sekarang belum jelas, tetapi sering
disebutkan antara lain :

a. Virus hepatitis B, C, dan D.


b. Alkohol.
c. Obat-obatan atau toksin.
d. Kelainan metabolik : hemokromatosis, penyakit Wilson, defisiensi α1-
antitripsin, diabetes melitus, glikogenosis tipe IV, galaktosemia, tirosinemia,
kfruktosa intoleran.

e. Kolestasis intra dan ekstra hepatik.


f. Gagal jantung dan obstruksi aliran vena hepatika.
g. Gangguan imunitas.
h. Sirosis biliaris primer dan sekunder.
i. Idiopatik atau kriptogenik. (Daniel K, 2012)

2.4. Klasifikasi Sirosis Hepatis


Secara klinis sirosis hati dibagi menjadi:
1. Sirosis hati kompensata, yang berarti belum adanya gejala klinis yang
nyata.

2. Sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinik


yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses
hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaanya secara
klinis, hanya dapat dibedakan melalui biopsi hati.
Secara morfologis dan etiologi terbagi atas:
5

1. Sirosis Laennec atau Alkoholik


Sirosis Laennec disebabkan oleh alkoholisme kronis. Perubahan pertama
pada hati yang ditimbulkan alkohol adalah akumulasi lemak secara bertahap di
dalam sel-sel hati (infiltrasi lemak) dan alkohol menimbulkan efek toksik langsung
terhadap hati. Akumulasi lemak mencerminkan adanya sejumlah gangguan
metabolik yang mencakup pembentukan trigliserida secara berlebihan,
menurunnya pengeluaran trigliserida dari hati dan menurunnya oksidasi asam

lemak.
Sirosis alkohol memiliki tiga stadium:
1) Perlemakan Hati Alkoholik
Stadium pertama dari sirosis alkohol yang relatif jinak, ditandai oleh
penimbunan trigliserida di hepatosit dan terjadi pada 90% pecandu
alkohol kronis (Corwin, 2009). Alkohol dapat menyebabkan
penimbunan trigliserida di hati yang dapat meluas hingga mengenai
lobulus hati. Hati menjadi besar, lunak, berminyak dan berwarna

kuning.
2) Hepatitis Alkoholik
Stadium kedua sirosis alkohol dan diperkirakan diderita oleh 20- 40%
pecandu alkohol kronis. Kerusakan hepatosit mungkin disebabkan oleh
toksisitas produk akhir metabolisme alkohol, terutama asetaldehida dan
ion hidrogen.

3) Sirosis Alkoholik
Pada stadium ini, sel hati yang mati diganti oleh jaringan parut. Pitapita
fibrosa terbentuk dari aktivasi respon peradangan yang kronis dan
mengelilingi serta melilit di antara hepatosit yang masih ada.
Peradangan kronis menyebabkan timbulnya pembengkakan dan edema
interstisium yang membuat kolapsnya pembuluh darah kecil dan
meningkatkan resistensi terhadap aliran darah yang melalui hati yang
menyebabkan hipertensi portal dan asites. (Nurdjanah S, 2009)

2. Sirosis Pascanekrotik
Sirosis pascanekrotik terjadi setelah nekrosis berbercak pada jaringan hati,
sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya. Hepatosit
dikelilingi dan dipisahkan oleh jaringan parut dengan kehilangan banyak sel hati
6

dan di selingi dengan parenkim hati normal, biasanya mengkerut dan berbentuk
tidak teratur dan banyak nodul.

3. Sirosis Biliaris
Penyebab tersering sirosis biliaris adalah obstruksi biliaris pascahepatik.
Statis empedu menyebabkan penumpukan empedu di dalam massa hati dan
kerusakan sel-sel hati. Terbentuk lembar-lembar fibrosa di tepi lobulus, hati
membesar, keras, bergranula halus dan berwarna kehijauan. Ikterus selalu menjadi
bagian awal dan utama dari sindrom ini. Terdapat dua jenis sirosis biliaris: primer
(statis cairan empedu pada duktus intrahepatikum dan gangguan autoimun) dan
sekunder (obstruksi duktus empedu di ulu hati). (Cahyono SB, 2010)

2.5. Patogenesis Sirosis Hepatis


Sel-sel penyusun organ hati terdiri dari sel parenkimal dan sel
nonparenkimal. Hepatosit merupakan sel parenkimal, sedangkan untuk sel
nonparenkimal ialah sel endotel, sel Kupffer dan sel stelata atau sel Ito yang berada
pada ruang perisinusoid. (Zhou W, 2014)

Transisi dari penyakit hati kronik menjadi sirosis hati melibatkan proses
inflamasi, aktivasi sel stelata di mana selanjutnya terjadi fibrogenesis,
angiogenesis dan lesi parenkimal yang hilang oleh karena oklusi vaskular.
Terjadinya fibrosis hati menggambarkan ketidakseimbangan antara produksi
matriks ekstraselular dan proses degradasinya. Matriks esktraselular yang
merupakan tempat perancah (scaffolding) normal untuk hepatosit, terdiri dari
jaringan kolagen (terutama tipe I, III dan V), glikoprotein dan proteoglikan. Selsel
stelata yang berada pada ruang perisinusoid berfungsi untuk memproduksi matriks
ekstraselular. (Tsochatzis, 2014).

Pada penderita hepatitis C kronik dan sirosis, terjadi peningkatan TGF -1,
yang selanjutnya akan merangsang sel stelata yang aktif untuk memproduksi
kolagen tipe I. Enkapsulasi atau penggantian jaringan yang terluka oleh bekas luka
kolagen inilah yang disebut dengan fibrosis. Peningkatan deposisi kolagen dalam
ruang Disse (ruang antara hepatosit dan sinusoid) dan pengurangan fenestra
endotel akan menimbulkan kapilarisasi sinusoid. Sel-sel stelata yang aktif juga
mempunyai sifat konstriksi. Kapilarisasi dan konstriksi oleh sel-sel stelata dapat
memacu hipertensi portal. Dengan terjadinya hipertensi portal, aliran balik dan
statis substansi vasodilator berupa nitric oxide mulai terakumulasi. Vasodilatasi
7

dari arteri splanchnic mengubah hemodinamika dalam mikrosirkulasi splanchnic.


Arus masuk darah arteri yang cepat dan tinggi ke dalam mikrosirkulasi splanchnic
adalah faktor utama yang meningkatkan tekanan hidrostatik pada kapiler
splanchnic yang menyebabkan produksi splanchnic limfatik berlebihan akibat
kembalinya aliran getah bening. Kebocoran cairan pada kelenjar getah bening dari
hati dan organ splanchnic lainnya merupakan mekanisme terakumulasi cairan di
rongga abdomen. Retensi natrium dan retensi ginjal terus-menerus menyebabkan
pembentukan asites. ( Moore CM, 2013)

Pembentukan dan peningkatan ukuran varises pada penderita sirosis terjadi


oleh karena faktor anatomis, peningkatan tekanan portal dan aliran darah kolateral
serta angiogenesis yang berkontribusi pada perdarahan variseal.( Moore CM, 2013)

Gambar 2.4.1. Sel-sel pada Hati16

Selain infeksi oleh virus hepatitis B dan C, alkohol merupakan salah satu
penyebab yang paling sering ditemukan pada penderita sirosis hepatis. Etanol yang
terdapat pada alkohol diserap paling banyak di usus halus, dan sedikit diserap oleh
lambung. Gastric alcohol dehydrogenase (ADH) menginisiasi metabolisme
alkohol. Terdapat 3 sistem enzim yang berkerja dalam proses metabolisme alkohol
di hati, yaitu ADH sitosolik, microsomal ethanol oxidizing system (MEOS) dan
peroksisomal katalase. Oksidasi etanol paling banyak terjadi melalui sistem ADH,
untuk membentuk asetaldehid, di mana asetaldehid merupakan molekul yang
sangat reaktif yang dapat menimbulkan beberapa efek. Kemudian, asetaldehid
dimetabolisme menjadi asetal oleh aldehid dehidrogenase (ALDH). Asupan dari
etanol meningkatkan akumulasi intraselular dari trigliserida dengan meningkatkan
serapan dari asam lemak dan dengan menurunkan oksidasi asam lemak serta
sekresi lipoprotein. Sintesis protein, glikosilasi dan sekresi terganggu. (Kasper,
2012)
8

Kerusakan oksidatif terhadap membran hepatosit terjadi oleh karena


pembentukan reactive oxygen species (ROS), yaitu asetaldehid. Asetaldehid
adalah molekul yang sangat reaktif yang berkombinasi dengan protein untuk
membentuk protein-acetaldehyde adducts. Dengan adanya hepatosit yang rusak
yang dimediasi oleh asetaldehid, reactive oxygen species tertentu dapat
mengaktivasi sel Kupffer. Sebagai hasilnya, sitokin profibrogenik diproduksi di
mana akan menginisiasi dan menyebabkan aktiviasi sel stelata secara terus
menerus, dengan hasil produksi berupa kolagen yang berlebihan dan matriks
ekstraselular. Jaringan ikat terdapat pada kedua zona periportal dan perisentral,
yang di mana akhirnya menyambungkan trias portal dengan vena sentral
membentuk nodul-nodul regeneratif. Kehilangan sel-sel hepatosit terjadi, dan
dengan peningkatan produksi dan deposit dari kolagen serta dengan destruksi dari
hepatosit yang terus menerus terjadi, hati berkontraksi dan ukurannya menyusut.
Proses ini umumya memakan waktu bertahun-tahun untuk terjadi. (Kasper, 2012)

2.6. Diagnosis Sirosis Hepatis


Diagnosis sirosis hepatis dikonfirmasi dengan beberapa kajian atau
pemeriksaan yang dilakukan antara lain anamnesa riwayat medis dan keluarga,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi atau

pencitraan serta biopsi hati.(Runyon, 2014)


2.6.1. Anamnesa
Sirosis sering dikatakan penyakit diam karena pasien tidak menunjukkan
gejala sampai fase dekompensata. Oleh karena itu harus ditanyakan tentang faktor
risiko yang mempengaruhi pasien sirosis. Kuantitas dan durasi konsumsi alkohol
merupakan faktor penting dalam diagnosis awal sirosis. Faktor risiko yaitu
transmisi hepatitis B dan C (misalnya, kelahiran di daerah endemis, risiko paparan
sejarah seksual, intranasal atau penggunaan obat intravena, tindik tubuh atau tato,
kontaminasi dengan darah atau cairan tubuh), serta riwayat transfusi dan riwayat
pribadi atau keluarga terhadap penyakit autoimun atau hati.

Sirosis fase kompensata bermanifestasi anoreksia dan penurunan berat badan,


kelemahan, kelelahan, dan bahkan osteoporosis sebagai akibat dari malabsorpsi
vitamin D dan kekurangan kalsium. Sedangkan fase dekompensata dapat
mengakibatkan komplikasi seperti asites, peritonitis bakteri spontan, ensefalopati,
dan varises hipertensi portal.(Heidelbaugh, 2006)
9

2.6.2. Pemeriksaan Fisik


Kebanyakan pasien dengan sirosis menyebabkan terjadinya asites. Temuan
fisik yang paling berguna dalam mengkonfirmasi adanya asites adalah shifting
dullness pada perkusi. Tanda lain yang sering ditemukan adalah Vascular spider
(spider angiomata, spider telangiectasias) adalah lesi vaskular yang biasanya
ditemukan pada badan, wajah, dan ekstremitas atas. Meskipun patogenesis
vascular spider belum jelas, namun diyakini bahwa kehadirannya pada pria
dikaitkan dengan peningkatan rasio estradiol dan testosteron bebas. Vascular
spider tidak spesifik untuk sirosis, dimana juga terjadi selama kehamilan dan pada
pasien dengan malnutrisi berat. Jumlah dan ukuran dari vascular spider telah
terbukti berkorelasi dengan tingkat keparahan penyakit hati kronis. Beberapa
temuan yang didapatkan pada pemeriksaan fisik pasien sirosis hepatis adalah:
Pasien sirosis juga dapat mengalami keluhan dan gejala akibat komplikasi sirosis
hatinya. Pada beberapa penderita, komplikasi ini dapat menjadi gejala pertama
yang membawa pasien pergi ke dokter. Sesuai dengan Konsensus Baveno IV,
sirosis hati dapat diklasifikasikan menjadi empat stadium klinis, sebagai berikut
(Kusumobroto, 2012) :

Tabel 2.6.1. Klasifikasi Konsensus Baveno IV

Stadium Tanda Klinis


Stadium 1 Tidak ada varises, tidak ada asites
Stadium 2 Varises, tanpa asites
Stadium 3 Asites, dengan atau tanpa varises
Stadium 4 Perdarahan dengan atau tanpa asites

Stadium 1 dan 2 dimasukkan dalam kelompok sirosis kompensata, sementara


staiudm 3 dan 4 dimasukkan dalam kelompok sirosis dekompensata. Tabel 2.6.2
Tanda-Tanda Klinis Sirosis Hati dan Penyebabnya.

Tanda Penyebab
Spider angioma atau spider nevi Estradiol meningkat
Palmar erytema Gangguan metabolisme hormon seks
Perubahan kuku:
• Muehrche’s lines • Hipoalbuminemia
• Terry’s nails • Hipoalbuminemia
• Clubbing • Hipertensi portopulmonal

Osteoartopati Hipertrofi Chronic proliferative periostitis


Kontraktur Dupuytren Proliferative fibroplastik dan gangguan
deposit kolagen
10

Ginekomastia Estradiol meningkat


Hipogonadisme Perlukaan gonad primer atau supresi
fungsi hipofise atau hipotalamus
Ukuran hati: besar, normal, mengecil Hipertensi portal
Splenomegali Hipertensi portal
Ascites Hipertensi portal
Caput medusae Hipertensi portal
Murmur Cruveilhier-Baungarten (bising Hipertensi portal
daerah epigastrium)
Fetor hepatikus Diamethyl sulfide meningkat
Ikterus Bilirubin meningkat (sekurangkurangnya
2-3 mg/dl)
Asterixis / Flapping tremor Ensefalopati hepatikum

2.6.3. Pemeriksaan Laboratorium


Ketika curiga atau teridentifikasi adanya kelainan hati, pemeriksaan fungsi
hati, hitung darah lengkap (CBC) dengan trombosit, dan tes waktu protrombin
harus dilakukan. Pemeriksaan umum fungsi hati termasuk enzim serum aspartate
transaminase (AST), alanine transaminase (ALT), alkaline phosphatase, dan
gglutamyl- transferase; bilirubin serum total, direk, and indirek; dan albumin
serum. ALT dianggap merupakan tes skrining yang paling efektif untuk
mengidentifikasi kerusakan hati metabolik atau diinduksi obat, tapi seperti tes
fungsi hati lainnya, tes tersebut terbatas dalam memprediksi tingkat peradangan
dan dalam memperkirakan keparahan fibrosis. Satu studi menemukan bahwa
jumlah trombosit kurang dari 160.000 per mm3 memiliki sensitivitas 80% untuk
mendeteksi sirosis pada pasien dengan hepatitis C kronis. (Runyon, 2014)

Pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk mendiagnosa sirosis hepatis


adalah:
Tabel 2.6.3.Pemeriksaan Laboratorium untuk Sirosis Hati.
Jenis pemeriksaan Hasil
Aminotransferase: ALT dan AST Normal atau sedikit meningkat
Alkali fosfatase / ALP Sedikit meningkat
Gamma-glutamil transferase / γGT Korelasi dengan ALP, spesifik khas akibat
alkohol sangat meningkat

Bilirubin Meningkat pada SH lanjut prediksi penting


mortalitas

Albumin Menurun pada SH lanjut


Globulin Meningkat terutama Ig G
11

Waktu protombin Meningkat / penurunan produksi faktor


V/VII dari hati
Natrium darah Menurun akibat peningkatan ADH dan
aldosteron

Trombosit Menurun (hipersplenisme)


Leukost dan Netrofil Menurun (hipersplenisme)
Anemia Makrositik, mikrositik, normositik

2.6.4. Pemeriksaan Radiologi


Pencitraan dengan ultrasonografi, CT, atau MRI dari hati yang irregular
dan nodular serta dengan gangguan fungsi hati digunakan untuk mengonfirmasi
diagnosis dari sirosis hepatis. CT dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada
umumnya lemah dalam mendeteksi perubahan morfologi berkaitan dengan sirosis
pada fase awal, tapi dapat menunjukkan nodularitas dan atrofi lobar dan perubahan
hipertrofi secara akurat, serta asites dan varises pada penyakit lanjut. Meskipun
MRI kadang-kadang sulit membedakan antara regenerasi atau nodul displastik dan
karsinoma hepatoseluler, namun merupakan pencitraan terbaik yang digunakan
sebagai studi lanjutan untuk menentukan apakah adanya perubahan bentuk dan
ukuran lesi. Pencitraan CT fase portal dapat digunakan untuk menilai patensi vena
portal, meskipun volume dan arah alirannya tidak dapat ditentukan secara akurat.
Meskipun jarang digunakan, magnetic resonance angiography (MRA) dapat
menilai perubahan hipertensi portal yang termasuk volume aliran dan arahnya,
serta trombosis vena porta. Satu studi melaporkan bahwa MRI dapat secara akurat
mendiagnosis sirosis dan memberikan korelasi dengan beratnya. (Runyon, 2014)

2.6.5. Biopsi Hati


Biopsi hati merupakan baku emas untuk diagnosis sirosis hepatis. Sensitivitas
dan spesifisitas untuk diagnosis yang akurat dari sirosis dan berbagai etiologi dari
80 menjadi 100 persen, tergantung pada jumlah dan ukuran sampel histologis dan
metodenya. Pengambilan sampel biopsi hati dilakukan melalui perkutan,
transjugular, laparoskopi, atau dengan biopsy jarum halus. Sebelum prosedur,
CBC dengan trombosit dan waktu pengukuran protrombin harus diperoleh. Pasien
harus dianjurkan untuk menahan diri dari konsumsi aspirin dan obat anti inflamasi
non steroid selama 7 sampai 10 hari sebelum biopsi untuk meminimalkan risiko
perdarahan.(Heidelbaugh JJ, 2006)
12

2.7. Tatalaksana
Secara umum, kerusakan sel-sel hati tidak dapat direhabilitasi. Tujuan
pengobatan adalah mencegah pembentukan jaringan parut hati lebih lanjut, atau
memperlambat kerusakan sel-sel hati. Sirosis cenderung semakin memburuk jika
penyebab yang mendasari tetap ada. Oleh karena itu perlu upaya untuk
memperlambat atau menghentikan penyebab sirosis, misalnya:

• Tidak minum alkohol


• Steroid atau obat penekan kekebalan lainnya untuk mengobati penyakit
autoimun yang menyebabkan kerusakan hati

• Obat-obatan yang dapat membantu mengurangi hipertensi portal (diuretic)


• Pada sirosis hati akibat infeksi virus hepatitis C dapat dicoba dengan
interferon. Sekarang telah dikembangkan perubahan strategi terapi bagian
pasien dengan hepatitis C kronik yang belum pernah mendapatkan
pengobatan IFN seperti:

- Kombinasi IFN dengan ribavirin


IFN 3 juta unit 3 x seminggu dan RIB 1000-2000 mg perhari
tergantung berat badan (1000mg untuk berat badan kurang dari 75kg) yang
diberikan untukjangka waktu 24-48 minggu.

- Terapi induksi IFN


Interferon diberikan dengan dosis yang lebih tinggi dari 3 juta unit
setiap hari untuk 2-4 minggu yang dilanjutkan dengan 3 juta unit 3 x
seminggu selama 48 minggu dengan atau tanpa kombinasi dengan RIB.

- Terapi dosis IFN tiap hari


Dasar pemberian IFN dengan dosis 3 juta atau 5 juta unit tiap hari sampai
HCV-RNA negatif di serum dan jaringan hati.

Pemberian diuretik hanya bagi penderita yang telah menjalani diet rendah
garam dan pembatasan cairan karena satu komplikasi akibat pemberian diuretic
adalah hipokalemia dan hal ini dapat mencetuskan encepalophaty hepatic
Pengobatan yang spesifik dari sirosishati akan diberikan jika telah terjadi
13

komplikasi seperti asites, spontaneous bacterial peritonitis, hepatorenal syndrome,


dan ensefalophaty hepatic.(Dienstag JL, 2001)

Secara ringkas, tatalaksana sirosis hati dengan komplikasi dapat dilihat pada tabel
berikut.
Komplikasi Terapi Dosis
Asites Tirah baring
• Diet rendah garam 5,2 gram atau 90mmol/hari
Obat antidiuretik: diawali 100-200 mg sekali sehari maks

spironolakton, bila respons tidak 400 mg
adekuat dikombinasi Furosemid 20-40 mg/hari, maks 160 mg/hari
8-10 g IV per liter cairan
• Parasintesis bila asites sangat besar parasintests (jika > 5L)
4-6 L & dilindungi pemberian
albumin
Direkombinasikan jika natrium
• Restriksi cairan
serum kurang dari 120-125
mmol/L
Ensefalopati Laktulosa 30-45 mL sirup oral 3-4 kali/ hari
hepatikum atau 300 mL enema sampai 2-4
kali BAB/ hari dan perbaikan
status mental
4-12 g oral/ hari dibagi tiap 6-8
Neomisin jam; dapat ditambahkan pada
pasien yang refrakter laktulosa
Varises Propanolol 40-80 mg oral 2 kali/ hari
Esofagus Isosorbid mononitrat 20 mg oral 2 kali/ hari
Saat perdarahan akut diberikan
somatostatin atau okreotid diteruskan
skleroterapi atau ligasi endoskopi
Peritonitis Pasien asites dengan jumlah sel PMN
bacterial spontan > 250 / mm3 mendapat profilaksis
untuk mencegah PBS dengan
Sefotaksism dan Albumin

• Albumin 2 g IV tiap 8 jam


1,5 g per kg IV dalam 6 jam, 1 g
per kg IV hari ke 3
400 mg oral 2 kali/ hari untuk
• Norfloksasin terapi, 400 mg oral 2 kali/ hari
selama 7 hari untuk perdarahan
gastrointestinal, 400 mg oral per
hari untuk profilaksis
1 tablet oral/ hari selama 7 hari
• untuk perdarahan gastrointestinal
Trimethoprim/ sulfamethoxazole
Sindrom Transjugular intra hepatic portosystemic shunt efektif menurunkan hipertensi porta
hepatorenal dan memperbaiki HRS, serta menurunkan perdarahan gastrointestinal. Bila terapi
sindrom (HRS) medis gagal dipertimbangkan transplantasi hati merupakan terapi definitif

2.7.1. Diet Hati


Terdapat 3 jenis diet khusus penyakit hati. Hal ini didasarkan pada gejala
dan keadaan penyakit pasien. Jenis diet penyakit hati tersebut adalah Diet Hati I
(DH I), Diet Hati II (DH II), Diet Hati III (DH III). Selain itu pada diet penyakit
hati ini juga menyertakan Diet Garam Rendah I.
14

a. Diet Garam Rendah I (DGR I)


Diet garam rendah I diberikan kepada pasien dengan edema, asites dan atau
atau hipertensi berat. Pada pengolahan makanannya tidak menambahkan
garam dapur. Dihindari bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya.
Kadar Natrium pada Diet garam rendah I ini adalah 200-400 mg Na.

b. Diet Hati I (DH I)


Diet Hati I diberikan bila pasien dala keadaan akut atau bila prekoma sudah
dapat diatasi dan pasien sudah mulai mempunyai nafsu makan. Melihat
keadaan pasien, makanan diberikan dalam bentuk cincang atau lunak.
Pemberian protein dibatasi (30 g/hari) dan lemak diberikan dalam bentuk
mudah dicerna. Formula enteral dengan asam amino rantai cabang
(Branched Chain Amino Acid /BCAA) yaitu leusin, isoleusin, dan valin
dapat digunakan. Bila ada asites dan diuresis belum sempurna, pemberian
cairan maksimal 1 L/hari.

c. Diet Hati II (DH II)


Diet hati II diberikan sebagai makanan perpindahan dari diet hati II kepada
pasien dengan nafsu makannya cukup. Menurut keadaan pasien, makanan
diberikan dalam bentuk lunak / biasa. Protein diberikan 1 g/Kg berat badan
dan lemak sedang (20-25% dari kebutuhan energi total) dalam bentuk yang
mudah dicerna. Makanan ini cukup mengandung energi, zat besi, vitamin
A & C, tetapi kurang kalsium dan tiamin. Menurut beratnya retensi garam
atau air, makanan diberikan sebagai diet hati II rendah garam. Bila asites
hebat dan diuresis belum baik, diet mengikuti pola Diet Rendah garam I.

d. Diet Hati III (DH III)

Diet Hati III diberikan sebagai makanan perpindahan dari Diet Hati II atau
kepada pasien hepatitis akut (Hepatitis Infeksiosa/A dan Hepatitis
Serum/B) dan sirosis hati yang nafsu makannya telah baik, telah dapat
menerima protein, lemak, mineral dan vitamin tapi tinggi karbohidrat.
(Sudoyo, 2006)
15

2.8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita sirosis hati :
1. Perdarahan varises esofagus
Perdarahan varises esofagus merupakan komplikasi serius yang sering
terjadi akibat hipertensi portal. Duapuluh sampai 40% pasien sirosis
dengan varises esofagus pecah yang menimbulkan perdarahan. Angka
kematiannya sangat tinggi, sebanyak duapertiganya akan meninggal dalam
waktu satu tahun walaupun dilakukan tindakan untuk menanggulangi
varises ini dengan beberapa cara. (Nurdjanah, 2009)

2. Ensefalopati hepatikum
Disebut juga koma hepatikum. Merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat
disfungsi hati. Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan hipersomnia),
selanjutnya dapat timbul gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma.
Timbulnya koma hepatikum akibat dari faal hati yang sudah sangat rusak,
sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya sama sekali. (Nurdjanah,
2009)

3. Peritonitis bakterialis spontan


Peritonitis bakterialis spontan yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis
bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya pasien
ini tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen.
(Nurdjanah, 2009)

4. Sindroma hepatorenal
Keadaan ini terjadi pada penderita penyakit hati kronik lanjut, ditandai oleh
kerusakan fungsi ginjal dan abnormalitas sirkulasi arteri menyebabkan
vasokonstriksi ginjal yang nyata dan penurunan GFR. Dan dapat terjadi
gangguan fungsi ginjal akut berupa oliguri, peningkatan ureum, kreatinin
tanpa adanya kelainan organik ginjal. (Nurdjanah, 2009)

5. Karsinoma hepatoseluler

Karsinoma hepatoseluler berhubungan erat dengan 3 faktor yang dianggap


merupakan faktor predisposisinya yaitu infeksi virus hepatitis B kronik,
sirosis hati dan hepatokarsinogen dalam makanan. Meskipun prevalensi
dan etiologi dari sirosis berbeda-beda di seluruh dunia, namun jelas bahwa
di seluruh negara, karsinoma hepatoseluler sering ditemukan bersama
sirosis, terutama tipe makronoduler.(Friedman, 2003)
16

6. Asites
Penderita sirosis hati disertai hipertensi portal memiliki sistem pengaturan
volume cairan ekstraseluler yang tidak normal sehingga terjadi retensi air
dan natrium. Asites dapat bersifat ringan, sedang dan berat. Asites berat
dengan jumlah cairan banyak menyebabkan rasa tidak nyaman pada
abdomen sehingga dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. (Friedman,
2003)

2.9. Prognosis
Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor,
meliputi etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain yang
menyertainya. Salah satu system skoring yang digunakan adalah kriteria
ChildTurcotte-Pugh.

Kriteria Child-Turcotte-Pugh merupakan modifikasi dari kriteria Child-


Pugh, dan telah banyak digunakan oleh para ahli hepatologi saat ini. Kriteria ini
digunakan untuk mengukur derajat kerusakan hati dalam menegakkan prognosis
kasus-kasus sirosis hepatis. Tabel dibawah ini menunjukkan sistem skoring kriteria
Child-Turcotte-Pugh.

Kriteria Child-Turcotte-Pugh
NILAI
PARAMETER
1 2 3
Asites Tidak ada Terkontrol Kurang
dengan terapi terkontrol
Terkontrol Kurang
Ensefalopati Tidak ada dengan terapi terkontrol
Bilirubin serum (mg/dL) <2 2-3 >3
Albumin serum (g/L) > 3,5 2,8-3,5 < 2,8
INR <1,7 1,7-2,2 > 2.2

Keterangan :
Child-Turcotte-Pugh A : 5-6 poin (prognosis baik: angka kesintasan 1 dan 2 tahun
pertama= 100% dan 85%)

Child-Turcotte-Pugh B : 7-9 poin (prognosis sedang: angka kesintasan 1 dan 2


tahun pertama= 81% dan 60%)

Child-Turcotte-Pugh C : 10-15 (prognosis buruk: angka kesintasan 1 dan 2 tahun


pertama= 45% dan 35%)
17

Selain itu, Model End-stage Liver Disease (MELD) dapat digunakan untuk
mengevaluasi pasien dengan rencana transplantasi hati. Skor MELD dapat dilihat
pada tabel 2.9.2.

Tabel 2.9.2. Skor Model End-stage Liver Disease (MELD)


Rumus = { 0,957 x ln(kreatinin (mg/dL)} + {0,378 x ln (bilirubin (mg/dL)} +
1,12 x ln(INR (mg/dL) + 0,643}x 10
Interpretasi Prediksi mortalitas dalam 3 bulan sebagai berikut:
Skor MELD ≥ 40 : mortalitas 71,3%
Skor MELD 30-39 : mortalitas 52,6%
Skor MELD 20-29 : mortalitas 19,6% Skor
MELD 10-19 : mortalitas 6%
Skor MELD ≤ 9 : mortalitas 1,9%
18

BAB III
STATUS PASIEN

I. ANAMNESA PRIBADI

Nama : An. PS
Umur : 36 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Sumbul Pegagan, Paratusan
Agama : Kristen Protestan
No. RM : 15 88 92
Tanggal Masuk : 17 Januari 2018
Pukul : 21.90 WIB
DPJP : dr. Lidya Siburian
dr internsip : dr. Anita

II. ANAMNESA PENYAKIT


Keluhan Utama : Perut semakin lama semakin membesar
Telaah : Hal ini dialami oleh os sejak 5 tahun yang lalu, keluhan
sudah pernah dialami dan dilakukan penyedotan cairan perut
sebanyak 1 kali, namun perut kembali membesar dalam 3
bulan SMRS. Setelah os mengaku meminum obat-obatan
herbal. Os mengeluh kan rasa menyesak di perut, keluhan
semakin memberat jika os makan. Os juga mengeluh tidak
bisa BAB selama 3 hari SMRS. Os tidak selera makan
karena takut perut semakin menyesak. Mata menguning (+)
dialami ± 1 bulan ini. BAK berwarna seperti teh pekat (+)
namun dengan volume dan frekuensi yang normal. Riw
penurunan berat badan dijumpai ± 15 kg semenjak 3 bulan
yang lalu. Riw mimisan dan gusi berdarah (-), Riw. Mual
dan Muntah (-). Kedua Kaki membengkak (+) Riwayat
19

minum-minuman keras (+), Riw os mudah lelah ketika


beraktivitas (+), Riw BAB bewarna hitam (-).
RPO : tidak jelas
RPT : tidak jelas
III. Anjuran : DR, KGD ad Random, LFT, RFT, Albumin
IV. Pemeriksaan Fisik
Status present
Sensorium : Compos mentis
HR : 90 x/menit
RR : 23 x/menit
Temperatur : 36,60C
TD : 100/80 mmHg
Status lokalisata
 Kepala
Mata : RC (+/+), pupil bulat isokor, sclera ikterik (+/+), konjungtiva
palpebra inf. Anemis (+/+)
Hidung : Tidak ada kelainan
Telinga : Tidak ada kelainan
Mulut : Tidak ada kelainan
 Leher
Pembesaran KGB (-), Pembesaran Tiroid (-)
 Thorax
Paru-paru
Inspeksi : Simetris kanan=kiri
Palpasi : Strem fremitus kanan dan kiri sama,nyeri tekan (-/-)
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+)
Suara Tambahan: ronchi(-/-),Wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V midclavicula
Auskultasi : BJ I & BJ II regular N,Murmur (-), Gallop (-)
20

Abdomen
Inspeksi : Simetris, perut membesar (+), caput medusa (-),
distensi abdomen (+)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar dan Lien : Sulit dinilai
Perkusi : Shift Dullnes : (+)
Auskultasi : Peristaltik usus (+)

 Extremitas
Superior : akral hangat, eritema palmaris (+), spider nevi (+) di
lengan kanan atas
Inferior : akral hangat, edema tungkai (+/+), ekimosis (+) di
kedua ungkai

V. Pemeriksaan Penunjang
Darah Rutin :
Eritrosit : 3,93 x 10³/mm³ ( L.4,5-6,5 P.3,8-5,8 )
Hb : 8,2 g% (13-15 )
Leukosit : 5,7 x 10³/mm³ ( 5-11 )
Hematokrit : 26,0 % (35-47 )
Trombosit : 83 x 10³/mm³ (150-450 )
KGD ad Random : 117 mg/dl

Kesan : Anemia, Trombositopeni

Faal Hati :
SGOT : 41,2 U/L (L≤38)
SGPT : 15,6 (L≤ 32)

VI. Diagnosa Kerja

Sirosis Hepatis std dekompensata


21

VII. Penatalaksanan

 Bed Rest
 Diet Hati III
 IVFD D 5% 10 gtt/i
 IVFD Aminoleben 1 flash/ hari
 Inj. Cefotaxim 1gr/12 jam
 Inj Ranitidin 50 mg /12 jam
 Propanolol tab 2 x 10 mg
 Inj Furosemid 10 mg/12 jam
 Spironolakton tab 2x 100 mg
22

BAB 4
FOLLOW UP PASIEN

Tanggal S O A P

18/01-2018 -Perut membesar Sens = CM - Sirosis hepatis stadium  Tirah baring


- Sesak napas(+) TD = 110/80 mmHg dekompensata  Diet Hati III
- Susah BAB(+) HR = 118 x/i  O2 2-4 L/i
- Anemia ec penyakit
 IVFD Dextrose 5% 10gtt/i
RR = 36 x/i kronik
micro
T˚ = 37,0˚C  IVFD D 5% 10 gtt/i
Mata  IVFD Aminoleben 1 flash/
anemis (+/+), ikterik (+/+)
Leher hari
 Inj. Cefotaxim 1gr/12 jam
TVJ R-2 cm H2O
 Inj Ranitidin 50 mg /12 jam
Thorax
 Propanolol tab 2 x 10 mg
SP : Vesikuler,
Stemfremitus ka  Inj Furosemid 10 mg/12 jam
= ki
 Spironolakton tab 2x 100 mg
ST :(-/-)
Abdomen
Inspeksi = Simetris membesar,
kolateral vein (+)
23

Palpasi = Undulasi (+)


Perkusi = Shifting dullness (+)
Auskultasi = peristaltik (+)
Ekstremitas
eritema palmaris (+), spider nevi (+) di
lengan kanan atas
19/01/2018 -Perut membesar Sens = CM - Sirosis hepatis stadium  Tirah baring
- Susah BAB dekompensata  Diet Hati III
TD = 100/60 mmHg
- Sesak Napas
HR = 84 x/i  O2 2-4 L/i
- Anemia ec penyakit
 IVFD Dextrose 5% 10gtt/i
RR = 21 x/i kronik
micro
T˚ = 36,5˚C  IVFD D 5% 10 gtt/i
Mata :  IVFD Aminoleben 1 flash/
anemis(+/+)ikterus(+/+) hari
Leher :  Inj. Cefotaxim 1gr/12 jam

TVJ R-2 cm H2O  Inj Ranitidin 50 mg /12 jam


 Propanolol tab 2 x 10 mg
Thorax : SP :
Vesikuler,  Inj Furosemid 10 mg/12 jam
Stemfremitus ka = ki
 Spironolakton tab 2x 100 mg
ST :(-/-)
Tindakan : dilakukan parasintesis
Abdomen oleh dokter yang merawat di ruangan
Inspeksi = Simetris membesar, kolateral dikeluarkan cairan sebanyak 400 cc
vein (+)
24

Abdomen
Inspeksi = Simetris membesar
Palpasi = Undulasi (+)
Perkusi = Shifting dullness (+)
Auskultasi = Peristaltik (+)
Ekstremitas
eritema palmaris (+), spider nevi (+) di
lengan kanan atas
25

20/01/2018 Perut besar Sens = CM - Sirosis hepatis stadium  Tirah baring


berkurang dekompensata  Diet Hati III
TD = 100/80 mmHg
Sesak berkurang HR = 89 x/i  O2 2-4 L/i
- Anemia ec penyakit
Bab (+)  IVFD Dextrose 5% 10gtt/I
RR = 24 x/i kronik
micro
T˚ = 36,5˚C  IVFD D 5% 10 gtt/i
 IVFD Aminoleben 1
Mata
flash/hari
anemis (+/+),ikterus(+/+)  Inj. Cefotaxim 1gr/12 jam
Leher  Inj Ranitidin 50 mg /12
TVJ R-2 cm H2O jam

Thorax  Propanolol tab 2 x 10 mg


SP :  Inj Furosemid 10 mg/12
Vesikuler,Stemfremitus
ka = ki jam
 Spironolakton tab 2x 100
ST :(-)
mg
26

Abdomen
Inspeksi = perut membesar(+)
berkurang
Palpasi = Undulasi (+)
Perkusi = Shifting dullness (+)
Auskultasi = Normoperistaltik
Ekstremitas
eritema palmaris (+), spider nevi
(+) di lengan kanan atas
27

BAB 5
KESIMPULAN

Laporan kasus dengan pasien atas nama PS Laki-laki, usia 36 tahun,


berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien ini
didiagnosis dengan Sirosis Hepatis Stadium Dekompensata. Pada saat pasien dirawat
dilakukan pemeriksaan darah rutin, fungsi hati, direncanakan untuk parasintesis
cairan asites. Selama dirawat os ditatalaksana dengan Bed Rest ,Diet Hati III, IVFD
D 5% 10 gtt/I, IVFD Aminoleben 1 flash/ hari , Inj. Cefotaxim 1gr/12 jam, Inj
Ranitidin 50 mg /12 jam, Propanolol tab 2 x 10 mg , Inj Furosemid 10 mg/12 jam,
Spironolakton tab 2x 100 mg .
28

DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, Aru W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi ke 4, Jilid 1. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2006.

2. Nurdjanah S. Sirosis hati. In: Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor.
Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. 6th Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2009;668-669.

3. Joel J, Heidelbaugh, Sherbondy M. Cirrhosis and Chronic Liver Failure: Part II.
Complications and Treatment. University of Michigan Medical School.

2006.(http://www.aafp.org/afp/2006/0901/p767.pdf)
4. Cahyono SB. Vaksinasi Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi. 2010. Yogyakarta :
Kanisisus.

5. Tortora GJ, Derrickson BH. Principles of anatomy and physiology. John Wiley &
Sons; 2008 Apr 11.

6. Daniel K, Issekbacher. Penyakit hati yang berkaitan dengan alkohol dan sirosis.
Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. 13th Ed, Jakarta : EGC.
2012;1665-69.

7. Tsochatzi EA, Bosch J, Burroughs AK. Liver cirrhosis. 2014 Jan21. [cited 017
June3].Available from:

http://news.medlive.cn/uploadfile/20140326/13958054684195.pdf

8. Kusumobroto HO. Buku ajar ilmu penyakit hati. In: Sulaiman HA, Akbar HN,
Lesmana LA. Noer HM, editors. Sirosis hati. 1st ed. Jakarta: Sagung
Seto;2012.p.348-349.

9. Moore CM, Thiel DH. Cirrhotic ascites review: pathophysiology, diagnosis and
management. 2013 May27. Page : 251-263. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3664283/#B17

10. Kasper, Fauci, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. Cirrhosis and its
complications. In: Bacon RB, editor. Harrison’s principle of internal medicine.
19th ed. United States: McGraw-Hill Education; 2012.p.2058-2059.
29

11. Runyon BA, Gores G, Talwalkar JA. Chirrocis. National Institute of Diabetes and
Digestive and Kidney Disease. 2014 March. Page 1-14. Available from:
https://www.niddk.nih.gov/health-information/liverdisease/cirrhosis.

12. Heidelbaugh JJ, Bruderly M. Cirrhosis and Chronic Liver Failure: Part I.
Diagnosis and Evaluation. 2006 .Page 756-762. Available from:
www.aafp.org/afp

13. Tsochatzis E, Bosch J, Burroughs AK. Liver Cirrhocis. UCL Institute of Liver
and Digestive Health. 2014 Jan . page 1-10. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/ S0140-6736(14)60121-5

14. Dienstag JL, Isselbacher KJ. Chronic hepatitis. In Braunwald E, Fauci AS, Kasner
DL, et al (eds). Harrison's Principles of Internal Medicine. 15th ed.

McGraw Hill, New York 2001, pp 1742-52.


15. Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH. Current diagnosis and treatment in
gastroenterology. 2nd ed. New York: Mc Graw Hill, 2003: 644-62.

Anda mungkin juga menyukai