Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

“Tuberkulosis Paru”

Oleh:
dr. Intan Pratiwi

Pembimbing:
dr. Artana Made, Sp.P
dr. Widodo Santoso
dr. Ari Sastikawati

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RSUD DR. SAYIDIMAN MAGETAN
2017
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PENDERITA
Nama : Sdr. MA
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 20 tahun
Alamat : Temboro, Magetan
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Menikah
No. RM : 251xxx
Sistem Pembayaran : Umum
Masuk Rumah Sakit : 12 Agustus 2017

PRIMARY SURVEY
Airway : Paten
Breathing : Spontan, RR=28x/m, Simetris, SpO2 97%
Circulation : N=88x/m, reguler, TD 110/70
Disability : Alert

Tindakan : Pasang IV Line, IVFD NS ),9% 20 tpm


O2 Nasal 3 Lpm

SECONDARY SURVEY
B1: A: Bebas
B: Spontan RR 28x/mnt
B2: akral dingin. TD: 110/70. HR: 88x/mnt
B3: GCS 4-5-6
B4: VU tidak teraba
B5: soepel, BU(+) N shifting dullness (-)
B6: edema -/-
ANAMNESIS
Keluhan Utama : Sesak napas 4 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak napas sejak empat hari sebelum
MRS dan memberat dua hari sebelum MRS. Sesak napas tanpa disertai
mengi. Sesak napas memberat setelah pasien batuk. Pasien mengeluhkan
batuk tujuh hari sebelum MRS. Batuk disertai dahak berwarna bening.
Darah pada dahak disangkal. Saat batuk pasien merasakan nyeri dada kanan.
Pasien juga merasakan demam yang naik turun selama tujuh hari sebelum
MRS. Didapatkan penurunan nafsu makan namun penurunan BB disangkal
pasien. Keringat malam disangkal pasien. BAB dan BAK pasien tidak ada
keluhan
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat asma atau alergi disangkal
Riwayat pengobatan TB disangkal
Riwayat Sosial
Merokok disangkal
Pasien merupakan murid pondok pesantren. Satu kamar tidur pondok dihuni
oleh 20 siswa. Teman sekamar yang pengobatan TB tidak diketahui. Teman
kamar yang sering batuk +.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Tanda Vital :
Tensi : 110/70
Nadi : 88 x/menit, reguler, tekanan dan isi cukup
RR : 88 kali permenit
Suhu : 37° C
Berat badan : 49 kg
SpO2 : 97%
Kepala : Konjungtiva palpebra anemis (-)/(-), sklera ikterik (-)/(-)
Pupil isokor Ө 3/3 mm, reflek cahaya (+)N/(+) N, Bibir
pucat (-), bibir sianosis(-).
Leher : Simetris, pembesaran kel. Limfe (-), trakea di tengah
Thorax :
Paru-paru :
Inspeksi : Simetris, retraksi intercosta -/-
Palpasi : Fremitus menurun di basal paru kanan
Perkusi : Redup di basal paru kanan
Auskultasi : Suara dasar vesikuler menurun di basal paru kanan
Ronkhi pada sepertiga tengah paru kanan
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
Palpasi : Ictus teraba di ICS V, linea midklavikularis kiri
Perkusi : Batas jantung kiri ICS V linea midklavikularis kiri
Auskultasi : Suara jantung murni, Bising (-), Gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar, Venektasi (-)
Palpasi : Soepel, lien tak teraba, hepar tak teraba
Perkusi : Shifting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat kering merah CRT <2 detik

PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Darah lengkap
- GDS
- Thorax PA
Hematologi Result Normal Value
WBC 12,06 10^3/µL 4.8 - 10.8
RBC 4,89 10^6/µL 4.7 – 6.1
HGB 13,3 g/dL 14 – 18
HCT 38,0 % 42 – 52
MCV 77,7 fL 82.0 – 92.0
MCH 27.2 pg 27.0 – 31.0
MCHC 35,0 g/dL 32.0 – 37.0
RDW-SD 34,8 fL 35 – 47
RDW-CV 12,5 % 11.5 – 14.5
PLT 188 10^3/µL 150 – 400
PDW 9,2 fL 9.0 – 13.0
MPV 8,7 fL 7.2 – 11.1
P-LCR 16,0 % 15.0 – 25.0
PCT 0.16 % 0.150 – 0.400
NEUT# 10,26 10^3/µL 1,5 - 7
LYMPH# 0,95 10^3/µL 1 – 3,7
MONO# 0,77 10^3/µL 0,16 – 1
EO# 0,01 10^3/µL 0 – 0,8
BASO# 0,07 10^3/µL 0 – 0,2

Pemeriksaan Result Normal Value


Gula darah sewaktu 101 mg/dL <140

Thorax PA
Thorax PA:
 Efusi Pleura Dekstra
 Atelektasis Paru Dekstra
DAFTAR MASALAH

Sesak napas 4 hari

Batuk 7 hari

Demam naik turun 7 hari

Nyeri dada kanan saat batuk

Penurunan nafsu makan

Tinggal di pondok pesantren

RR : 28x/menit

Fremitus raba menurun, perkusi redup, vesikuler menurun pada basal
paru kanan

Ronkhi pada sepertiga tengah paru kanan

WBC 12.060

Limphosit 0,95 x 103

Thorax PA: Efusi Pleura dekstra + Atelektasis paru dekstra

DIAGNOSIS AWAL
Observasi Dispneu
1. Pneumonia CAP
2. TB Paru aktif

RENCANA TERAPI
Planning Therapy
• O2 nasal 3 lpm
• IVFD RL 20 tpm
• Inj. Ceftriaxone 2 x 1 g
• Nebul combivent 3x1
Peroral:
• Ambroxol 3x1
• Parasetamol 3x1

Follow Up
Tanggal Subjective Objective Assessment Planning
Diagnosis Terapi Monitoring
14/08/17 Sesak TD: 110/80 1. TB Paru  LED  O2 nasal 3 lpm Keluhan
Pukul berkurang N: 80 x/mnt 2. Efusi Pleura D  BTA  RL 20 tpm VS
06.10 Batuk + RR: 20 3. Dispepsia SPS  Inj Ceftriaxon
x/mnt Syndrome  LFT 2x1g
 RFT  Inj Ranitidine
BB : 49 Kg 2 x 25 mg
Peroral
 4 FDC 1x3 tablet
 Parasetamol 3 x
500 mg
 Lasal Syr 3 x cth
1
 Lansoprazol 1x1
15/08/17 Pasien
KRS
(APS)

Laboratorium (14 Agustus 2017)

Pemeriksaan Result Normal Value


FAAL HATI
SGOT 43 U/L L:<37 P:<31
SGPT 72 U/L L:<42 P:<32
FAAL GINJAL
BUN 14,9 mg/dL 10-25
Serum Creatinin 1,12 mg/dL L:0,8-1,25 P:0,7-1,20
Uric Acid 4,4 mg/dL L:5,4-7,0 P:2,4-5,7
LED
LED 98/121 mm/jam 0-15

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendahuluan
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis (MTB). Penularan terjadi melalui udara (airborne
spreading) dari “droplet” infeksi. Penyakit tuberculosis merupakan penyakit
menahun, bahkan seumur hidup. Setelah seseorang terinfeksi kuman tuberculosis,
hampir 90% penderita secara klinis tidak sakit dan 10% akan sakit.

2.2. Etiologi
Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis
(MTB). Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung,
tidak berspora dan tidak berkapsul. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri
dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Struktur dinding sel yang kompleks tersebut
menyebebkan bakteri M.tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali
diwarnai, tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam
– alkohol.

2.3. Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberculosis sebagai « Global Emergency ». Diperkirakan terdapat
8,6 juta kasus TB pada tahun 2012 dimana 13 % diantaranya adalah pasien TB
dengan HIV postif. Pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 450.000 orang yang
menderita TBMDR dan 170.000 orang diantaranya meninggal dunia.

2.4. Patogenesis
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB.
Kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5
μm), akan terhirup dan dapat mencapai alveolus.. Pada sebagian kasus, kuman
TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik,
sehingga tidak terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian
kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak
dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit
kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman
TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam
makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB
membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran
limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi
di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena.
Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan
terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer
terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan
antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer
(primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga
terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi.
Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu
waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala
penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2−12 minggu, biasanya
berlangsung selama 4−8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman
berkembang biak hingga mencapai jumlah 103–104, yaitu jumlah yang cukup
untuk merangsang respons imunitas selular
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah
terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB
terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji
tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang
berfungsi baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB
terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam
granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke
dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular
mediated immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru
biasanya akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau
kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe
regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya
biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap
hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak
menimbulkan gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di
paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan
menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus
sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal
pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut,
sehingga bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat
tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui
mekanisme ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan
atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat
merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB
endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi
komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan
atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut
menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen
langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut
sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara
ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ
di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling
sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat
juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada
umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang),
demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan
fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB
apeks paru saat dewasa.

2.5. Manifestasi klinis dan perjalanan penyakit


Diagnosa tuberculosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium, radiologis, dan penunjang lain.
Keluhan terdiri atas gejala respiratorik dan gejala sistemik. Gejala
respiratorik diantaranya Batuk batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk
dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, nyeri dada. Sedangkan gejala
sistemik diantaranya badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu
bulan.
Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan Demam (pada umumnya
subfebris, walaupun bisa juga tinggi sekali), respirasi meningkat, berat badan
menurun. Pada auskultasi dapat terdengar suara napas bronkhial/ronkhi basah/suara
napas melemah di apex paru, tergantung luas lesi dan kondisi pasien.
2.6. Pemeriksaan penunjang
2.6.1. Laboratorium
2.6.1.1 Pemeriksaan Bakteriologi
1. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk menegakkan diagnosis, juga untuk
menentukan potensi penularan dan menilai keberhasilan pengobatan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 2 contoh uji dahak yang dikumpulkan berupa dahak Sewaktu-
Pagi (SP):
S (Sewaktu): dahak ditampung di fasyankes.
P (Pagi): dahak ditampung pada pagi segera setelah bangun tidur. Dapat
dilakukan dirumah pasien atau di bangsal rawat inap bilamana pasien
menjalani rawat inap.

2. Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB


Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode Xpert MTB/RIF. TCM
merupakan sarana untuk penegakan diagnosis, namun tidak dapat
dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan.
3. Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat (Lowenstein-
Jensen) dan media cair (Mycobacteria Growth Indicator Tube) untuk
identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb).
Pemeriksaan tersebut diatas dilakukan disarana laboratorium yang terpantau
mutunya.
2.6.1.2 Pemeriksaan uji kepekaan obat
Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi M.tb
terhadap OAT. Uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan di laboratorium
yang telah lulus uji pemantapan mutu/Quality Assurance (QA), dan
mendapatkan sertifikat nasional maupun internasional
2.6.1.3 Pemeriksaan Darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik
untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua sangat
dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan
keadaan nilai keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat digunakan
untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan
sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar
limfosit bisa menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderida , yaitu
dalam keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi
laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun
kurang spesifik
2.6.1.4 Uji Tuberkulin
Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di daerah
dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan prevalensi
tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu
diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan
mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang dilakukan satu
bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali
atau bula.

2.6.2. Pemeriksaan radiologis


Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB aktif
1. Bayangan nodul berawan/nodular di segmen apical dan posterior lobus
atas dan segmen superior lobus bawah paru
2. Kaviti,
3. Bayangan bercak milier
4. Efusi pleura
Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB inaktif
1. fibrotic, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas dan
atau segmen superior lobus bawah
2. Kalsifikasi
3. Penebalan pleura

2.7. Diagnosis
2.8. Klasifikasi Pasien Tuberkulosis
A. Klasifikasi berdasarkan pemeriksaan bakteriologis
a. Pasien TB yang terkonfirmasi Bakteriologis:
Adalah pasien TB yang terbukti positif pada hasil pemeriksaan contoh uji
biologinya (sputum dan jaringan) melalui pemeriksaan mikroskopis langsung,
TCM TB, atau biakan..
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
1) Pasien TB paru BTA positif
2) Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
3) Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif
4) Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA,
biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
5) TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
b. Pasien TB terdiagnosis secara Klinis
Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis
tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk
diberikan pengobatan TB.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
1) Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks
mendukung TB
2) Pasien TB paru BTA negatif dengan tidak ada perbaikan klinis setelah
diberikan antibiotika non OAT, dan mempunyai faktor risiko TB
3) Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris dan
histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
4) TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring

B. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi


a. Tuberkulosis Paru
b. Tuberkulosis Ekstra Paru

C. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:


a. Pasien baru TB
b. Pasien yang pernah diobati TB yang terdiri atas pasien kambuh, pasien gagal
pengobatan, pasien putus berobat, lain-lain.
c. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui
D. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Terdiri atas mono resisten (TB MR), poli resisten (TB PR), multi drug resisten
(TB MDR), Extensive drug resisten (TB XDR), dan Resisten rifampisin (TB
RR).
E. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV
a. Pasien TB dengan HIV postif
b. Pasien TB dengan HIV negative
c. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui

2.8. Penatalaksanaan Tuberkulosis


Tujuan Pengobatan TB adalah:
1) Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup.
2) Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk
selanjutnya.
3) Mencegah terjadinya kekambuhan TB.
4) Menurunkan risiko penularan TB.
5) Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat.

Prinsip Pengobatan TB:


Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan
TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah
penyebaran lebih lanjut kuman TB.
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:
1) Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.
2) Diberikan dalam dosis yang tepat.
3) Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas
Menelan Obat) sampai selesai pengobatan.
4) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup, terbagi dalam dua (2)
tahap yaitu tahap awal serta tahap lanjutan, sebagai pengobatan yang adekuat
untuk mencegah kekambuhan.
Tahapan Pengobatan TB:
Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan
1) Tahap Awal:
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini adalah
dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada
dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman
yang mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan
pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus
diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur
dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah
pengobatan selama 2 minggu pertama.
2) Tahap Lanjutan:
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa sisa kuman yang
masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persister sehingga pasien dapat
sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Paduan yang digunakan adalah ;
a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).
b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E.
c. Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR.
d. Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu
Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin,
Moksifloksasin, PAS, Bedaquilin, Clofazimin, Linezolid, Delamanid dan obat
TB baru lainnya serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.
Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16
Berat Badan
RHZE (150/75/400/275) minggu
RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Diperuntukkan:
1. Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
2. Pasien TB paru terdiagnosis klinis
3. Pasien TB ekstra paru
Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat tiap hari 3 kali seminggu
Badan RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari selama 20 minggu
30-37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tab Etambutol
38-54 kg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tab Etambutol
55-70 kg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tab Etambutol
≥71 kg 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
+ 1000mg Streptomisin inj. ( > do maks ) + 5 tab Etambutol

Diberikan Pada Pasien yang pernah di obati TB:


1. Pasien kambuh
2. Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya
3. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)

DAFTAR PUSTAKA
Pedomaman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003
Kementrian Kesehatan RI. Petunjuk Teknis Managemen TB Anak. Kemenkes RI
2013
Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Kemenkes RI 2014
Kementrian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis
Wibisono, M Jusuf; Winariani; Hariadi, Slamet. Buku Ajar Ilmu Paru. Surabaya:
Departemen Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR, 2010

Anda mungkin juga menyukai