Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN KASUS

MALARIA

Disusun oleh :

dr. Leonardho Bayu Wijayanto

Pembimbing:

Dr. Juliana SpPD

I. IDENTITAS
Nama : Tn. John Kristian Kirioma
Usia : 39 thn
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Br. Dns Sega Ds Bunutan
Pekerjaan : Swasta
Agama : Kristen
Tgl MRS : 16 agustus 2018
II. ANAMNESIS
 Keluhan utama :
Demam

 Riwayat penyakit sekarang :


Pasien datang dengan keluhan demam sejak 4 hari yang lalu. Demam dirasakan
hilang timbul. Demam disertai menggigil dan berkeringat. Pasien juga mengeluh mual,
nyeri kepala dan pegal. Pasien telah mengkomsumsi obat penurun panas namun
keluhan tidak berkurang.
Pasien berasal dari Papua dan terakhir berpergian ke papua ± 2 tahun yang lalu.
Di papua pasien jg mengalami hal serupa dan di diagnosa dengan malaria tertiana.
Pasien juga pernah di rawat di RSWP ± 1 tahun yang lalu dengan diagnosa malaria
falcifarum.

 Riwayat Penyakit Dahulu :


Malaria (+), HT (-), DM (-)

 Riwayat Penyakit Keluarga :


Alergi (-)

 Riwayat Pengobatan :
kina 2x1 tiap pasien demam

 Anamnesis Sistem
 Sistem Serebrospinal : demam, nyeri kepala
 Sistem Kardiovaskular : -
 Sistem Pernafasan :-
 Sistem Gastrointestinal : Mual
 Sistem Urogenital :-
 Sistem Integumen :-
 Sistem Muskuloskeletal : pegal
Kesan : terdapat gangguan di sistem serebrospinal yaitu demam dan nyeri kepala, gangguan
di Sistem Gastrointestinal mual serta gangguan di sistem muskuloskeletal yaitu pegal

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : cukup
Kesadaran : composmentis
Vital sign
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 100 x/mnt
RR : 20 x/mnt
Suhu Axilla : 39,8 ˚ C
Status Gizi
BB : 70 kg
TB sekarang : 170 cm
IMT : 24,2 %

Kesan status gizi baik

Pemeriksaan Khusus

1. Kepala
Bentuk : normosephali
Mata : konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/- , Reflek cahaya +/+
Diameter pupil 3mm/3mm; isokor
Hidung : dbn
Telinga : dbn
Mulut : dbn
Lidah : dbn

2. Leher
Bentuk : simetris
Kelenjar limfe : perbesaran (-)
Lainnya : JVP tidak meningkat

3. Thorax
 Cor
I: ictus cordis tidak tampak
P: ictus cordis tidak teraba
P: redup di ICS VI MCL sinistra – ICS VII AAL sinistra
A: S1S2 tunggal, reguler, e/g/m : -/-/-

 Pulmonal
I : simetris, retraksi -/-
P : vocal fremitus +/+ simetris
P : sonor +/+
A: Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-

4. Abdomen:
I : flat
A: BU(+) N (7x/menit)
P: Tympani, CVA -/-
P: Supel, nyeri tekan (-), hepar tak teraba, Lien teraba (skala scuffner 2), ren tak teraba

5. Ektremitas

Akral hangat + +

+ +

Edema - -

- -

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

JENIS HASIL PEMERIKSAAN NILAI NORMAL


PEMERIKSAAN
HEMATOLOGI

Hemoglobin 14,6 11,5 - 16,5 gr/dl

Lekosit 9,4 3,5 - 10 x 10 9/l

Hematokrit 46,8 35 - 55 %
Trombosit 161 145 - 450 x 109/l

Eritrosit 5,76 3,50 – 5.50 x 1012/l

Widal

S. Typhi O ( - ) Negatif Titer 0 < 1/160 atau kenaikan titer < 4x

S. Par. A–O ( + ) 1/80 Titer 0 < 1/160 atau kenaikan titer < 4x

S. Par B–O ( - ) Negatif Titer 0 < 1/160 atau kenaikan titer < 4x

S. Par C–O ( - ) Negatif Titer 0 < 1/160 atau kenaikan titer < 4x

S. Thypi H ( + ) 1/160 Titer 0 < 1/160 atau kenaikan titer < 4x

S. Par A–H ( - ) Negatif Titer 0 < 1/160 atau kenaikan titer < 4x

S. Par B–H ( + ) 1/320 Titer 0 < 1/160 atau kenaikan titer < 4x

S. Par C–H ( - ) Negatif Titer 0 < 1/160 atau kenaikan titer < 4x

V. RESUME
Pasien datang dengan keluhan demam sejak 4 hari yang lalu. Demam disertai menggigil
dan nyeri kepala. Demam dikeluhkan hilang timbul. Riwayat bepergian ke Papua sekitar
2 tahun yang lalu. Di Papua pernah mengalami hal serupa dan didiagnosis Malaria
tertiana. Pasien mendapat obat kina diminum 2 kali sehari. Pasien juga pernah dirawat di
RSWP dengan diagnosa malaria falciparum.

 DIAGNOSIS
Demam thypoid
 DIAGNOSIS BANDING
Malaria
DHF

 PENATALAKSANAAN
• Inf RL 28 tpm
• Diet rendah serat
• Ceftriaxone 2 x 1 gram (IV)
• Ranitidin 2 x 1 ampul (IV)
• Paracetamol 3 x 500mg (PO)
• kina 3 x 1 (PO)
• Cek malaria

 PROGNOSIS
Dubia ad bonam

Follow up hari 1 MRS ( 16 Agustus 2018 )


S) Demam, sakit kepala, mual 5. Extremitas
O) KU : cukup Kes : composmentis Akral hangat + +
vs TD : 120/80 mmHg RR : 20x/mnt + +
N : 100x/mnt Tax : 39,7˚C Edema - -
Kepala: CA -/-, SI -/- - -
Thorax : A) Obs. Febris e.c demam thypoid dd
COR malaria
BJ 1 & 2 normal, reguler, murmur /gallop : -/- P) - IVFD RL 28 tpm
Pulmo : - Diet rendah serat
I : simetris, retraksi -/- - Ceftriaxone 2 x 1 gram (IV)
P: fremitus raba +/+ - Ranitidin 2 x 1 ampul (IV)
P: sonor +/+ - Paracetamol 3 x 500mg (PO)
A: Ves +/+, Rh -/-, Wh -/- - kina 3 x 1 (PO)
4. Abdomen: - Cek malaria
I : flat - DL per hari
A: BU(+) Normal
P: Tympani
P: Supel, nyeri tekan (-), hepar tak teraba, Lien
teraba (skala scufner 2), ren tak teraba

Follow up hari 2 MRS (17 Agustus 2018)


S) Demam ↓ , sakit kepala ↓, mual ( – ) 5. Extremitas
O) KU : cukup Kes : composmentis Akral hangat + +
vs TD : 100/70 mmHg RR : 20x/mnt + +
N : 88x/mnt S : 36,7˚C Edema - -
Kepala: CA -/-, SI -/- - -
Thorax : COR A) Obs. Febris e.c demam thypoid + malaria
BJ 1 & 2 normal, reguler, murmur /gallop : -/- P) - IVFD RL 28 tpm
Pulmo : - Diet rendah serat
I : simetris, retraksi -/- - Ceftriaxone 2 x 1 gram (IV)
P: fremitus raba +/+ - Ranitidin 2 x 1 ampul (IV)
P: sonor +/+ - Domperidone 3 x 1 (PO)
A: Ves +/+, Rh -/-, Wh -/- - Paracetamol 3 x 500mg (PO)
4. Abdomen: - kina 3 x 1 (PO)
I : flat
A: BU(+) Normal
P: Tympani
P: Supel, nyeri tekan (-), hepar tak teraba, Lien
teraba (skala scufner 2), ren tak teraba

Pemeriksaan laboratorium (17 agustus 2018)


JENIS HASIL PEMERIKSAAN NILAI NORMAL
PEMERIKSAAN
HEMATOLOGI
Hemoglobin 15,3 11,5 - 16,5 gr/dl
Lekosit 9,9 3,5 - 10 x 10 9/l
Hematokrit 47,5 35 - 55 %
Trombosit 103 145 - 450 x 109/l
Eritrosit 5,91 3,50 – 5,50 x 1012/l

Malaria Positif Negatif

Follow up hari 3 MRS (18 Agustus 2018)


S) Demam ( – ), sakit kepala ↓, mual ( – ) 5. Extremitas

O) KU : cukup Kes : composmentis Akral hangat + +

vs TD : 110/70 mmHg RR : 20x/mnt + +

N : 76x/mnt S : 36,5˚C Edema - -

Kepala: CA -/-, SI -/- - -

Thorax : COR A) Febris e.c demam thypoid + malaria +


susp DHF
BJ 1 & 2 normal, reguler, murmur /gallop : -/-
P) - IVFD RL 28 tpm
Pulmo :
- Diet rendah serat
I : simetris, retraksi -/-
- Ceftriaxone 2 x 1 gram (IV)
P: fremitus raba +/+
- Ranitidin 2 x 1 ampul (IV)
P: sonor +/+
- Domperidone 3 x 1 (PO)
A: Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
- Paracetamol 3 x 500mg (PO)
4. Abdomen:
- Primakuin 1 x 1 tab
I : flat
- DHP 1 x 4 tab
A: BU(+) Normal

P: Tympani

P: Supel, nyeri tekan (-), hepar tak teraba, Lien


teraba (skala scufner 2), ren tak teraba

Pemeriksaan laboratorium (18 agustus 2018)


JENIS PEMERIKSAAN HASIL PEMERIKSAAN NILAI NORMAL
HEMATOLOGI
Hemoglobin 14,4 11,5 - 16,5 gr/dl
Lekosit 9,6 3,5 - 10 x 10 9/l
Hematokrit 45,1 35 - 55 %
Trombosit 69 145 - 450 x 109/l
Eritrosit 5,55 3,50 – 5,50 x 1012/l

Follow up hari 4 MRS (19 Agustus 2018)


S) Keluhan ( – ) 5. Extremitas

O) KU : cukup Kes : composmentis Akral hangat + +

vs TD : 100/60 mmHg RR : 20x/mnt + +

N : 86 x/mnt S : 36˚C Edema - -

Kepala: CA -/-, SI -/- - -

Thorax : COR A) Febris e.c demam thypoid + malaria +


susp DHF
BJ 1 & 2 normal, reguler, murmur /gallop : -/-
P) - IVFD RL 28 tpm
Pulmo :
- Diet rendah serat
I : simetris, retraksi -/-
- Ceftriaxone 2 x 1 gram (IV)
P: fremitus raba +/+
- Ranitidin 2 x 1 ampul (IV)
P: sonor +/+
- Domperidone 3 x 1 (PO)
A: Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
- Paracetamol 3 x 500mg (PO)
4. Abdomen:
- Primakuin 1 x 1 tab
I : flat
- DHP 1 x 4 tab
A: BU(+) Normal

P: Tympani

P: Supel, nyeri tekan (-), hepar tak teraba, Lien


teraba (skala scufner 2), ren tak teraba

Pemeriksaan laboratorium (19 agustus 2018)


JENIS PEMERIKSAAN HASIL PEMERIKSAAN NILAI NORMAL

HEMATOLOGI

Hemoglobin 14,2 11,5 - 16,5 gr/dl

Lekosit 8,4 3,5 - 10 x 10 9/l

Hematokrit 45,7 35 - 55 %

Trombosit 85 145 - 450 x 109/l

Eritrosit 5,58 3,50 – 5,50 x 1012/l

Follow up hari 5 MRS (20 Agustus 2018)


S) Keluhan ( – ) 5. Extremitas

O) KU : cukup Kes : composmentis Akral hangat + +

vs TD : 110/70 mmHg RR : 20x/mnt + +

N : 80 x/mnt S : 36,5˚C Edema - -

Kepala: CA -/-, SI -/- - -

Thorax : COR A) Febris e.c demam thypoid + malaria +


susp DHF
BJ 1 & 2 normal, reguler, murmur /gallop : -/-
P) - IVFD RL 28 tpm
Pulmo :
- Diet rendah serat
I : simetris, retraksi -/-
- Ceftriaxone 2 x 1 gram (IV)
P: fremitus raba +/+
- Ranitidin 2 x 1 ampul (IV)
P: sonor +/+
- Domperidone 3 x 1 (PO)
A: Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
- Paracetamol K/P (PO)
4. Abdomen:
- Primakuin 1 x 1 tab
I : flat
- DHP 1 x 4 tab
A: BU(+) Normal
- cek malaria ulang
P: Tympani

P: Supel, nyeri tekan (-), hepar tak teraba, Lien


teraba (skala scufner 1), ren tak teraba

Pemeriksaan laboratorium (20 agustus 2018)


JENIS PEMERIKSAAN HASIL PEMERIKSAAN NILAI NORMAL
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13,3 11,5 - 16,5 gr/dl
Lekosit 6,9 3,5 - 10 x 10 9/l
Hematokrit 41,8 35 - 55 %
Trombosit 125 145 - 450 x 109/l
Eritrosit 5,11 3,50 – 5,50 x 1012/l

Malaria Negatif Negatif


Follow up hari 6 MRS (21 Agustus 2018)

S) Keluhan ( – ) 5. Extremitas

O) KU : cukup Kes : composmentis Akral hangat + +

vs TD : 120/70 mmHg RR : 20x/mnt + +

N : 80 x/mnt S : 36,5˚C Edema - -

Kepala: CA -/-, SI -/- - -

Thorax : COR A) Febris e.c demam thypoid + malaria + susp


DHF
BJ 1 & 2 normal, reguler, murmur /gallop : -/-
P) - Boleh pulang
Pulmo :
Obat pulang : - Primakuin 1 x 15 ( s/d 14 hari)
I : simetris, retraksi -/-
- Cetixime 2 x 200 mg (s/d 5 hari)
P: fremitus raba +/+
- Domperidone 3 x 1 tab
P: sonor +/+
- Vitamin B complex 3 x 1
A: Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-

4. Abdomen:

I : flat

A: BU(+) Normal

P: Tympani

P: Supel, nyeri tekan (-), hepar tak teraba, Lien


teraba (skala scufner 1), ren tak teraba
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa parasit yang merupakan golongan
plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia. Penyakit ini secara
alami ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles. Malaria merupakan salah satu penyakit yang
tersebar di beberapa wilayah di dunia. Umumnya tempat-tempat yang rawan malaria terdapat pada
Negara-negara berkembang dimana tidak memiliki tempat penampungan atau pembuangan air yang
cukup, sehingga menyebabkan air menggenang dan dapat dijadikan sebagai tempat ideal nyamuk
untuk bertelur.1

Malaria disebabkan oleh parasit dari genus plasmodium. Ada empat jenis plasmodium yang dapat
menyebabkan malaria, yaitu plasmodium falciparum, plasmodium vivax, plasmodium oval, dan
plasmodium malaria. Parasit-parasit tersebut ditularkan pada manusia melalui gigitan seekor nyamuk
dari genus anopheles. Gejala yang ditimbulkan antara lain adalah demam, anemia, panas dingin, dan
keringat dingin. Untuk mendiagnosa seseorang menderita malaria adalah dengan memeriksa ada
tidaknya plasmodium pada sampel darah. Namun yang seringkali ditemui dalam kasus penyakit
malaria adalah plasmodium falciparum dan plasmodium vivax.1

Malaria merupakan masalah yang ditemukan di seluruh dunia, dengan penyebaran di lebih dari
100 negara dengan populasi lebih dari ,6 milyar penderita. Malaria merupakan penyebab utama dari
demam dan morbiditas di negara tropis. Daerah penyebaran utama adalah daerah Afrika sub-Sahara,
Asia Selatan, Asia Tenggara, Meksiko, Haiti, Republika Dominika, Amerika Tengah, dan Selatan, Papua
Nugini, dan Kepulauan Solomon. Sekitar 1000 sampai 2000 kasus impor malaria ditemukan setiap
tahun di Amerika Serikat, dengan sebagian besar kasus muncul di antara penduduk asing yang berasal
dari daerah endemik dan melakukan perjalanan ke Amerika Serikat, serta penduduk Amerika Serikat
yang berpergian ke area endemik tanpa kemoprofilaksis yang memadai.2

Menurut survei kesehatan rumah tangga tahun 2001, terdapat 15 juta kasus malaria dengan
38.000 kematian setiap tahunnya di Indonesia. Diperkirakan 35% penduduk Indonesia tinggal di
daerah berisiko terinfeksi malaria. Pada tahun 2010 WHO memperkirakan terdapat sekitar 600.000
kematian akibat malaria di seluruh dunia dan 86% adalah anak-anak di bawah usia 5 tahun.3

Di tahun 1950, WHO telah meluncurkan program ambisius bertujuan untuk mengontrol atau
mengeradikasi malaria. Setelah terjadi beberapa kesuksesan dalam pelaksanaannya kini terdapat
masalah baru, yakni daerah yang dulunya bebas malaria kini kembali menjadi daerah dengan malaria.
Hal tersebut terjadi karena terdapat resistensi plasmodium dan nyamuk terhadap obat dan
insektisida. Oleh karena itu bahaya malaria semakin mengancam dan penyakit ini kini menjadi
masalah global yang besar.5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi

Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit malaria (Plasmodium) yang masuk ke
dalam tubuh manusia yang ditularkan oleh nyamuk malaria (Anopheles spp) betina. Definisi malaria
lainnya adalah suatu jenis penyakit menular yang disebabkan oleh agen tertentu yang inefektif dengan
perantara suatu vektor dan dapat disebabkan dari suatu sumber infeksi kepada host.1

2.2. Epidemiologi

Malaria merupakan penyakit endemis atau hiperendemis di daerah tropis maupun subtropis dan
menyerang negara dengan penduduk padat. Kini malaria terutama dijumpai di Meksiko, sebagian Karibia,
Amerika Tengah dan Selatan, Afrika Sub-sahara, Timur tengah, India, Asia Selatan, Indo Cina, dan pulau-
pulau di Pasifik Selatan. Diperkirakan prevalensi malaria di seluruh dunia berkisar antara 160-400 juta
kasus. Batas dari penyebaran malaria adalah 64 derajat lintang utara (Rusia) dan 32 derajat lintang selatan
(Argentina). Ketinggian yang memungkinkan parasit hidup adalah 400 meter di bawah permukaan laut
(Laut Mati) dan 2600 meter di atas permukaan laut (Bolivia). Plasmodium vivax mempunyai distribusi
geografis yang paling luas, mulai dari daerah yang beriklim dingin, subtropik sampai ke daerah tropis,
kadang-kadang dijumpai di Pasifik Barat. Plasmodium falciparum terutama menyebabkan malaria di Afrika
dan daerah-daerah tropis lainnya. Diperkirakan 300-500 juta kasus malaria muncul tiap tahunnya, dan
menyebabkan 1-2 juta kematian, kebanyakan pada anak.4

Di Indonesia, malaria sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Angka
kesakitan malaria masih cukup tinggi, terutama di luar Jawa dan Bali, oleh karena di daerah tersebut
terdapat campuran penduduk yang berasal dari daerah endemis dan non-endemis malaria. Pada daerah-
daerah tersebut masih sering terjadi letusan wabah malaria yang menimbulkan banyak kematian.4

Di Indonesia, malaria tersebar di seluruh pulau dengan derajat endemisitas yang berbeda-beda
dan dapat berjangkit di daerah dengan ketinggian sampai 1800 meter di atas permukaan laut. Angka
Annual Parasite Incidence (API) malaria di pulau Jawa dan Bali pada tahun 1997 adalah 0,120 per 1000
penduduk, sedangkan di luar Pulau Jawa angka Parasite Rate (PR) tetap tinggi yaitu 4,78% pada tahun
1997, tidak banyak berbeda dengan angka PR tahun 1900 (4,84%). Spesies yang terbanyak dijumpai adalah
Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax. Plasmodium malariae dijumpai di Indonesia bagian timur,
Plasmodium ovale pernah ditemukan di Irian Jaya dan Nusa Tenggara Timur. Angka kesakitan malaria
untuk Jawa Bali diukur dengan API dan untuk luar Jawa Bali diukur dengan PR. Air tergenang dan udara
panas masing-masing diperlukan untuk untuk pembiakan nyamuk menunjang endemitas penyakit
malaria. Pada 25 tahun terakhir ini dijumpai adanya endemis malaria termasuk Indonesia. Resistensi ini
mungkin karena munculnya gen yang telah mengalami mutasi. Akhir-akhir ini juga dijumpai resistensi
Plasmodium falciparum terhadap primetamin-sulfadoksin meningkat di negara-negara Asia tenggara,
Amerika Selatan dan Afrika Sub-Sahara.4
Plasmodium falciparum adalah spesies predominan di Afrika, Haiti, dan New Guinea. Plasmodium vivax
predominan di Bangladesh, Amerika Tengah, India, Pakistan, dan Sri Lanka. P. vivax dan P. falciparum
predominan di Asia Tenggara, Amerika Selatan, dan Oceania. Plasmodium ovale adalah spesies yang
paling tidak umum, terutama tersebar di Afrika.3

Distribusi global spesies Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax.3

2.3. Etiologi

Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus Plasmodium. Pada manusia Plasmodium terdiri dari 4
spesies, yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, dan Plasmodium ovale.
Plasmodium falciparum merupakan penyebab infeksi berat bahkan dapat menimbulkan kematian.
Keempat spesies Plasmodium yang terdapat di Indonesia yaitu Plasmodium falciparum yang
menyebabkan malaria tropika, Plasmodium vivax yang menyebabkan malaria tertiana, Plasmodium
malariae yang menyebabkan malaria kuartana dan Plasmodium ovale yang menyebabkan malaria ovale.4
Plasmodium knowlesi pertama kali terdokumentasi pada tahun 1927 oleh Giuseppe Franchiti saat
mengamati darah Macaca fascicularis dan disadari penampakan yang berbeda dari Plasmodium
cynomogli dan Plasmodium inui. Pada tahun 1932, dr. Knowles dan dr. Das Gupta mengamati sebuah
spesies malaria pada kera makakus rhesus (Macaca mulata), menggambarkannya dengan detail untuk
pertama kali dan menunjukkan bahwa spesies ini dapat ditularkan ke manusia melalui darah, tetapi tidak
memberinya nama. Kemudian Sinton dan Mulligan memberinya nama sesuai penemunya yaitu
Plasmodium knowlesi. Sejak dikenal oleh dr. Knowles dan dr. Das Gupta, infeksi Plasmodium knowlesi
secara alamiah hanya diketahui terjadi pada kera terutama spesies Macaca fascicularis. Laporan pertama
infeksi alamiah Plasmodium knowlesi pada manusia terjadi pada seorang warga Amerika yang baru pulang
bekerja di hutan semenanjung Malaysia tahun 1965. Awalnya pasien dicurigai terinfeksi Plasmodium
falciparum tetapi kemudian diidentifikasi sebagai Plasmodium malariae dan kemudian baru diketahui
sebagai Plasmodium knowlesi setelah darah pasien diinokulasi ke kera Rhesus dan ternyata juga
menginfeksi kera. Laporan kedua tahun 1971 pada seorang warga Malaysia. Pada saat itu diagnosis
dilakukan atas dasar deteksi molekuler karena secara mikroskopis Plasmodium knowlesi memiliki bentuk
serupa dengan Plasmodium malariae.9

Seseorang dapat terinfeksi lebih dari satu jenis Plasmodium, dikenal sebagai infeksi
campuran/majemuk (mixed infection). Pada umumnya dua jenis plasmodium yang paling banyak dijumpai
adalah campuran antara Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax atau Plasmodium malariae.
Kadang-kadang dijumpai tiga jenis Plasmodium sekaligus, meskipun hal ini jarang sekali terjadi. Infeksi
campuran biasanya terdapat di daerah dengan angka penularan tinggi. Akhir-akhir ini di beberapa daerah
dilaporkan kasus malaria yang telah resisten terhadap klorokuin, bahkan juga resisten terhadap
pirimetamin-sulfadoksin.4

Penyakit ini jarang ditemui pada bulan-bulan pertama kehidupan, tetapi pada anak-anak yang
berumur beberapa tahun dapat terjadi serangan malaria tropika yang berat bahkan tertiana dan kuartana
dan dapat menyebabkan kematian terutama pada anak dengan gangguan gizi.4

Malaria dapat ditularkan melalui dua cara yaitu cara alamiah dan bukan alamiah4

1. Penularan secara alamiah, melalui gigitan nyamuk Anopheles


2. Penularan bukan alamiah, dapat dibagi menurut cara penularannya, yaitu :
3. Malaria bawaan (kongenital), disebabkan adanya kelainan pada sawar darah plasenta sehingga
tidak ada penghalang infeksi dari ibu kepada bayi yang dikandungnya. Selain melalui plasenta
penularan dari ibu kepada bayi melalui tali pusat
4. Penularan secara mekanik terjadi melalui transfusi darah atau jarum suntik. Penularan melalui
jarum suntik pada para pecandu obat bius yang menggunakan jarum suntik yang tidak steril.
Infeksi malaria melalui transfusi hanya menghasilkan siklus eritrositer karena tidak melalui
sporozoit yang memerlukan siklus hati sehingga dapat diobati dengan mudah
5. Penularan secara oral, pernah dibuktikan pada ayam (Plasmodium gallinasum), burung dara
(Plasmodium relection) dan monyet (Plasmodium knowlesi).

Pada umumnya sumber infeksi malaria pada manusia adalah manusia lain yang sakit malaria, baik
dengan gejala maupun tanpa gejala klinis.
2.4. Patogenesis dan Patofisiologi

2.4.1 Patogenesis

Dalam penyakit malaria, manusia berperan sebagai hospes perantara (intermediate host) tempat
Plasmodium mengadakan skizogoni (siklus aseksual), sedangkan nyamuk Anopheles betina bertindak
sebagai vector sekaligus hospes definitif tempat Plasmodium melangsungkan siklus seksualnya. Pada
manusia, parasit ini hidup di dalam sel tubuh dan sel darah merah.6

Siklus aseksual 6

Ketika nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi parasit malaria menggigit manusia, sporozoit
keluar dari kelenjar liur nyamuk dan masuk ke dalam darah. Sporozoit ini segera menghilang dari sirkulasi
darah dan menetap di sel parenkim hati untuk bermultiplikasi dan berkembang menjadi skizon jaringan
(skizogoni). Bagian siklus ini dikenal sebagai stadium intrahepatik atau pra-eritrosit/eksoeritrosit.
Selanjutnya, skizon jaringan akan pecah dan mengeluarkan banyak merozoit. Merozoit merozoit tersebut
akan menginvasi sel-sel hati lainnya dan memasuki peredaran darah untuk kemudian menginvasi eritrosit.
Begitu merozoit memasuki eritrosit, dimulailah bagian siklus yang dinamakan fase eritrosit. Pada infeksi
P. falciparum dan P. malariae, skizon jaringan pecah serentak, sedangkan pada infeksi P. vivax dan P. ovale,
beberapa skizon jaringan tetap dalam keadaan laten untuk menimbulkan relaps di kemudian hari. Di
dalam eritrosit, merozoit berkembang menjadi sel uninukleus yang disebut trofozoit cincin. Nukleus
trofozoit cincin tersebut kemudian membelah secara aseksual, membentuk skizon yang mempunyai
beberapa nukleus. Selanjutnya, skizon membelah dan membentuk merozoit mononukelus. Eritrosit
kemudian pecah dan melepaskan 6-24 merozoit ke sirkulasi. Penghancuran eritrosit terjadi secara
periodik sehingga menimbulkan gejala khas malaria, yaitu demam diikuti menggigil. Sebagian besar
merozoit masuk kembali ke eritrosit dan mengulangi fase skizogoni. Sebagian kecil membentuk gametosit
jantan dan betina yang siap diisap oleh nyamuk malaria betina dan melanjutkan siklus hidup di tubuh
nyamuk (stadium sporogoni).

Siklus seksual 6

Sebagian merozoit dalam eritrosit berdiferensiasi menjadi gametosit yang akan berpindah ke
tubuh nyamuk saat menggigit penderita. Pada lambung nyamuk, gametosit akan menghasilkan gamet
jantan (mikrogamet) dan betina (makrogamet) yang kemudian menghasilkan zigot. Zigot akan berubah
menjadi ookinet, lalu masuk dan menetap pada dinding lambung nyamuk dan berubah menjadi ookista.
Setelah ookista pecah, keluarlah sporozoit yang selanjutnya memasuki kelenjar liur nyamuk yang siap
untuk menginfeksi manusia lain. Khusus P. vivax dan P. ovale, pada siklus hidupnya di jaringan hati (skizon
jaringan), sebagian parasit yang berada dalam sel hati tidak melanjutkan siklusnya ke fase eritrosit, tetapi
“berdiam” (dorman) di jaringan hati; bentuk dorman ini disebut hipnozoit, yang menyebabkan relaps
jangka panjang dan malaria rekuren. Apabila daya tahan tubuh menurun, misalnya karena terlalu lelah,
stres, atau perubahan iklim (seperti saat musim hujan), hipnozoit akan terangsang dan melanjutkan siklus
hidupnya, dari dalam sel hati menuju eritrosit. Ketika eritrosit yang mengandung parasit pecah, akan
timbul gejala penyakitnya kembali. Infeksi P. falciparum dapat mengakibatkan malaria berat atau malaria
dengan komplikasi, yang menimbulkan kerusakan pada otak, ginjal, paru, hati, dan jantung, bahkan
menyebabkan kematian, sedangkan infeksi P. vivax, P. ovale, dan P. malariae tidak menimbulkan
kerusakan organ.

Siklus hidup parasit malaria6


Siklus hidup Plasmodium3

Secara umum, pada dasarnya semua orang dapat terkena malaria; walaupun terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi, yaitu4:

Ras atau suku bangsa. Di Afrika, apabila prevalensi hemoglobin S (HbS) cukup tinggi, penduduknya lebih
tahan terhadap infeksi Plasmodium falciparum. Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa HbS
menghambat perkembangbiakan Plasmodium falciparum baik sewaktu invasi maupun sewaktu
berkembang biak.

Kurangnya suatu enzim tertentu. Kurangnya enzim G6PD (glucosa 6-phosphat dehydrogenase)
memberikan perlindungan terhadap infeksi Plasmodium falciparum yang berat. Walaupun demikian,
kurangnya enzim ini merugikan ditinjau dari segi pengobatan dengan golongan sulfonamid dan primakuin
oleh karena dapat terjadi hemolisis darah. Defisiensi enzim ini merupakan penyakit genetik dengan
manifestasi utama pada perempuan

Kekebalan pada malaria terjadi apabila tubuh mampu menghancurkan Plasmodium yang masuk atau
menghalangi perkembangbiakannya.

Mengenai patogenesis malaria lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas


pembuluh darah daripada koagulasi intravaskular. Oleh karena skizogoni menyebabkan kerusakan
eritrosit maka akan terjadi anemia. Beratnya anemia yang tidak sebanding dengan parasitemia
menunjukkan adanya kelainan eitrosit selain yang mengandung parasit. Suatu bentuk khusus anemia
hemolitik pada malaria adalah black water fever, yaitu bentuk malaria berat yang disebabkan oleh
Plasmodium falciparum, ditandai oleh hemolisis intravaskular berat, hemoglobinuria, kegagalan ginjal
akut akibat nekrosis tubulus, disertai angka kematian yang tinggi. Telah lama dicurigai bahwa kina dapat
memprovokasi terjadinya black water fever. Sebagai tambahan, kasus meninggal yang disebabkan malaria
selalu menunjukkan adanya perubahan yang menonjol dari sistem retikuloendotelial dan mungkin juga
melibatkan berbagai sitem organ.4

Pada infeksi malaria, limpa akan membesar, mengalami pembendungan dan pigmentasi sehingga
mudah pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis dari
eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi hiperplasia dari
retikulum disertai peningkatan makrofag. Pada sindrom pembesaran limpa di daerah tropis atau penyakit
pembesaran limpa pada malaria kronis biasanya dijumpai bersama dengan peningkatan kadar IgM.
Peningkatan antibodi terhadap malaria ini mungkin menimbulkan respons imunologis yang tidak lazim
pada malaria kronis.4

Pada malaria juga terjadi pembesaran hepar, sel Kupffer seperti sel dalam sistem
retikuloendotelial terlibat dalam respon fagositosis. Sebagai akibatnya hati menjadi berwarna kecoklatan
agak kelabu atau kehitaman. Pada malaria kronis terjadi infiltrasi difus oleh sel mononukleus pada
periportal yang meningkat sejalan dengan berulangnya serangan malaria. Hepatomegali dengan infiltrasi
sel mononukleus merupakan bagian dari sindrom pembesaran hati di daerah tropis. Nekrosis
sentrilobulus terjadi pada syok.4

Organ lain yang sering diserang oleh malaria adalah otak dan ginjal. Pada malaria serebral, otak
berwarna kelabu akibat pigmen malaria, sering disertai edema dan hipermesi. Perdarahan berbentuk
ptekie tersebar pada substansi putih otak dan dapat menyebar sampai ke sumsum tulang belakang. Pada
pemeriksaan mikroskopis, sebagian besar dari pembuluh darah kecil dan menengah dapat terisi eritrosit
yang telah mengandung parasit dan dapat dijumpai bekuan febrin, dan terdapat reaksi seluler pada ruang
perivaskular yang luas. Terserangnya pembuluh darah oleh malaria tidak saja terbatas pada otak tetapi
juga dapat dijumpai pada jantung atau saluran cerna atau di tempat lain di tubuh, yang berakibat pada
berbagai manifestasi klinis.4

Pada ginjal selain terjadi perwarnaan oleh pigmen malaria juga dijumpai salah satu atau dua
proses patologis yaitu nekrosis tubulus akut dan/atau membranoproliverative glomerulonephritis.
Nekrosis tubulus akut dapat terjadi bersama dengan hemolisis masif atau hemoglobinuria pada black
water fever tetapi dapat juga terjadi tanpa hemolisis, akibat berkurangnya aliran darah karena
hipovolemia dan hiperviskositas darah. Plasmodium falciparum menyebabkan nefritis sedangkan
Plasmodium malariae menyebabkan glomerulonefritis kronik dan sindroma nefrotik.4
2.4.2 Patofisiologi

Gejala malaria timbul saat pecahnya eritrosit yang mengandung parasit. Gejala yang paling mencolok
adalah demam yang diduga disebabkan oleh pirogen endogen, yaitu TNF dan interleukin-1. Akibat demam
terjadi vasodilatasi perifer yang mungkin disebabkan oleh bahan vasoaktif yang diproduksi oleh parasit.
Pembesaran limpa disebabkan oleh terjadinya peningkatan eritrosit yang terinfeksi parasit, teraktivasinya
sistem retikuloendotelial untuk memfagositosis eritrosit yang terinfeksi parasit dan sisa eritrosit akibat
hemolisis. Juga terjadi penurunan jumlah trombosit dan leukosit neutrofil. Terjadinya kongestif pada
organ lain meningkatkan risiko terjadinya ruptur limpa.4

Anemia terutama disebabkan oleh pecahnya eritrosit dan difagositosis oleh sistem
retikuloendotelial. Hebatnya hemolisis tergantung jenis Plasmodium dan status imunitas penjamu.
Anemia juga disebabkan oleh hemolisis autoimun, sekuestrasi oleh limpa pada eritrosit yang terinfeksi
maupun yang normal, dan gangguan eritropoiesis. Pada hemolisis berat dapat terjadi hemoglobuniuria
dan hemoglobinemia. Hiperkalemia dan hiperbilirubinemia juga sering ditemukan.4

Kelainan patologis pembuluh darah kapiler pada malaria tropika, disebabkan karena sel darah
merah yang terinfeksi menjadi kaku dan lengket, sehingga perjalanannya dalam kapiler terganggu dan
mudah melekat pada endotel kapiler karena adanya penonjolan membran eritrosit. Setelah terjadi
pengumpulan sel dan bahan pecahan sel, maka aliran kapiler terhambat dan timbul hipoksia jaringan,
terjadi gangguan pada integritas kapiler dan dapat terjadi perembesan cairan bahkan perdarahan ke
jaringan sekitarnya. Rangkaian kelainan patologis ini dapat menimbulkan manifestasi klinis sebagai
malaria serebral, edema, paru, ginjal dan malabsorpsi usus.4

Pertahanan tubuh individu terhadap malaria dapat berupa faktor yang diturunkan maupun yang
didapat. Pertahanan terhadap malaria yang diturunkan terutama penting untuk melindungi anak
kecil/bayi karena sifat eritrosit yang relatif resistensi terhadap masuknya parasit. Masuknya parasit
tergantung pada interaksi antara organel spesifik dan pada merozoit dan struktur khusus pada permukaan
eritrosit. Sebagai contoh eritrosit yang mengandung glikoprotein A penting untuk masuknya Plasmodium
falciparum. Individu yang tidak mempunyai determinan golongan darah Duffy (termasuk kebanyakan
negro Afrika) mempunyai resistensi alamiah terhadap Plasmodium vivax, spesies ini mungkin memerlukan
protein pada permukaan sel yang spesifik untuk masuk ke dalam eritrosit. Resistensi relatif yang
diturunkan pada individu dengan HbS terhadap malaria telah lama diketahui dan pada kenyataannya
terbatas pada daerah endemis malaria. Seleksi yang sama juga dijumpai pada hemoglobinopati tipe lain,
kelainan genetik tertentu dari eritrosit, thalasemia, defisiensi enzim G6PD dan defisiensi pirufatkinase.
Masing-masing kelainan ini menyebabkan resistensi membran eritrosit atau keadaan sitoplasma yang
menghambat pertumbuhan parasit.4

Imunitas humoral dan seluler terhadap malaria didapat sejalan dengan infeksi ulangan. Namun
imunitas ini tidak mutlak dapat mengurangi gambaran klinis infeksi ataupun dapat menyebabkan
asimptomatik dalam periode panjang. Pada individu dengan malaria dapat dijumpai
hipergamaglobulinemia poliklonal, yang merupakan suatu antibodi spesifik yang diproduksi untuk
melengkapi beberapa aktivitas opsonin terhadap eritrosit yang terinfeksi, tetapi proteksi ini tidak lengkap
dan hanya bersifat sementara bilamana tanpa disertai infeksi ulangan. Tendensi malaria untuk
menginduksi imunosupresi, dapat diterangkan sebagian oleh tidak adekuatnya respon ini. Antigen yang
heterogen terhadap Plasmodium mungkin juga merupakan salah satu faktor. Monosit/makrofag
merupakan partisipan seluler yang terpenting dalam fagositosis eritrosit yang terinfeksi.4

2.5. Manifestasi Klinis

Pada anak anak dan dewasa tidak menunjukkan gejala pada fase awal, yaitu masa inkubasi dari
infeksi malaria. Biasanya masa inkubasi dari P. falciparum, 9-14 hari, P.vivak, 12-17 hari, P. ovale 16-18
hari. Dan P. malaria, 18-40 hari. Masa inkubasi bisa selama 6-12 bulan untuk P. vivax dan juga dapat
diperrpanjang untuk pasien dengan imunitas parsial atau kemoprofilaksis yang tidak lengkap. Gejala
prodromal 2-3 hari pada sebagian besar pasien sebelum parasite dapat dideteksi di dalam darah. Gejala
prodromal termasuk sakit kepala, lemah, tidak ada nafsu makan, myalgia, demam, dan nyeri pada dada,
perut, dan sendi. 7

Secara klinis, gejala malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri atas beberapa serangan
demam dengan interval tertentu (paroksisme), yang diselingi oleh suatu periode (periode laten) bebas
demam. Sebelum demam pasien biasanya merasa lemah, nyeri kepala, tidak ada nafsu makan, mual atau
muntah. Pada pasien dengan infeksi majemuk/campuran (lebih dari satu jenis Plasmodium atau jenis
Plasmodium tetapi infeksi berulang dalam waktu berbeda), maka serangan demam terus menerus (tanpa
interval), sedangkan pada penjamu yang imun gejala klinisnya minimal.7

Periode paroksisme biasanya terdiri dari tiga stadium yang berurutan yakni stadium dingin (cold
stage), stadium demam (hot stage) dan stadium berkeringat (sweating stage). Paroksisme ini biasanya
jelas terlihat pada orang dewasa namun jarang dijumpai pada usia muda. Pada anak di bawah umur lima
tahun, stadium dingin seringkali bermanifestasi sebagai kejang. Serangan demam yang pertama didahului
oleh masa inkubasi (intrinsik). Masa inkubasi bervariasi antara 9-30 hari tergantung pada spesies parasit,
paling pendek pada Plasmodium falciparum dan paling panjang pada Plasmodium malariae. Masa
inkubasi ini juga tergantung pada intensitas infeksi, pengobatan yang pernah didapat sebelumnya, dan
derajat imunitas penjamu. Pada malaria akibat transfusi darah, masa inkubasi Plasmodium falciparum
adalah 10 hari, Plasmodium vivax 16 hari dan Plasmodium malariae 40 hari atau lebih setelah transfusi.
Masa inkubasi pada penularan secara alamiah bagi masing-masing spesies parasit, untuk Plasmodium
fakciparum 12 hari, Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale 13-17 hari, dan Plasmodium malariae 28-30
hari. Setelah lewat masa inkubasi, pada anak besar dan orang dewasa timbul gejala demam yang terbagi
dalam tiga stadium yaitu:4

Stadium Dingin

Stadium ini diawali dengan gejala menggigil atau perasaan yang sangat dingin. Gigi gemeretak dan
pasien biasanya menutupi tubuhnya dengan segala macam pakaian dan selimut yang tersedia. Nadi cepat
tapi lemah, bibir dan jari-jari pucat atau sianosis, kulit kering dan pucat, pasien mungkin muntah dan pada
anak sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam.
Stadium Demam

Setelah merasa kedinginan, pada stadium ini pasien merasa kepanasan. Muka merah, kulit kering,
dan terasa sangat panas seperti terbakar, nyeri kepala, seringkali terjadi mual dan muntah, nadi menjadi
kuat lagi. Biasanya pasien menjadi sangat haus dan suhu badan dapat meningkat sampai 41 derajat C atau
lebih. Stadium ini berlangsung antara 2-12 jam. Demam disebabkan oleh karena pecahnya skizon dalam
sel darah merah yang telah matang dan masuknya merozoit darah ke dalam aliran darah. Pada
Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale, skizon dari tiap generasi menjadi matang setiap 48 jam sekali,
sehingga timbul demam setiap hari ketiga terhitung dari serangan demam sebelumnya. Pada Plasmodium
malariae demam terjadi pada 72 jam (setiap hari keempat), sehingga disebut malaria kuartana. Pada
Plasmodium falciparum, setiap 24-48 jam.

Stadium berkeringat

Pada stadium ini pasien berkeringat banyak sekali, tempat tidurnya basah, kemudian suhu badan
menurun dengan cepat, kadang-kadang sampai di bawah normal. Gejala tersebut di atas tidak selalu sama
pada setiap pasien, tergantung pada spesies parasit, berat infeksi dan usia pasien. Gejala klinis yang berat
biasanya terjadi pada malaria tropika yang disebabkan oleh adanya kecenderungan parasit (bentuk
tropozoit dan skizon) untuk berkumpul pada pembuluh darah organ tubuh tertentu seperti otak, hati, dan
ginjal, sehingga menyebabkan tersumbatnya pembuluh darah organ-organ tubuh tersebut. Gejala
mungkin berupa koma, kejang sampai gangguan fungsi ginjal. Kematian paling banyak disebabkan oleh
malaria jenis ini. Black water fever yang merupakan komplikasi berat, adalah munculnya hemoglobin pada
urin sehingga menyebabkan warna urin berwarna tua atau hitam. Gejala lain dari black water fever adalah
ikterus dan muntah berwarna seperti empedu. Black water fever biasnya dijumpai pada mereka yang
menderita infeksi Plasmodium falciparum berulang dengan infeksi yang cukup berat.

Malaria kongenital diperoleh dari ibu sebelum lahir atau kandungan dan merupakan masalah serius di
daerah tropis tetapi jarang dilaporkan di Amerika Serikat. Di daerah endemis, malaria kongenital
merupakan penyebab penting dari terjadinya aborsi, keguguran, lahir mati, kelahiran prematur,
intrauterin retardasi pertumbuhan, dan kematian neonatal. Malaria kongenital biasanya terjadi pada anak
dari seorang ibu yang tidak mempunyai kekebalan terhadap P. vivax atau infeksi P. malariae, walaupun
dapat diamati dengan salah satu spesies malaria manusia. Satu gejala atau gejala yang paling umum
terjadi antara 10 dan 30 hari usia (kisaran 14 jam untuk usia beberapa bulan). tanda dan gejala termasuk
demam, gelisah, mengantuk, pucat, kuning, susah makan, muntah, diare, sianosis, dan
hepatosplenomegali. malaria sering parah selama kehamilan dan mungkin memiliki efek buruk pada janin
atau neonatus karena penyakit ibu atau infeksi plasenta bahkan tanpa adanya penularan dari ibu ke anak.7
2.5.1 Malaria tanpa Komplikasi

Pada daerah hiper atau holoendemik, kontrol malaria tidak efektif sehingga serangan malaria akut
sering terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun, secara bertahap menginduksi imunitas secara aktif.
Pada anak besar yang sudah mendapat imunitas, maka gejala klinisnya menjadi lebih ringan. Infeksi akut
dapat terjadi pada anak besar yang mendapat kemoprofilaksis yang tidak sempurna atau lupa minum obat
pada saat masuk ke endemis malaria. Pada daerah hipoendemik malaria, semua usia dapat terserang
malaria.4

Anak pada mulanya menjadi letargik, mengantuk atau gelisah, anoreksia pada anak besar dapat
mengeluh nyeri kepala dan mual. Demam selalu dijumpai tetapi bervariasi. Muntah, nyeri perut dan diare
agak jarang dijumpai. Pembesaran hati sering dijumpai pada anak. Pada serangan akut, pembesaran hati
biasanya terjadi pada awal perjalanan penyakit (pada akhir minggu pertama) dan lebih sering terjadi
daripada pembesaran limpa.4

Hati biasanya lunak dan terus membesar sesuai dengan progresifitas penyakit, namun fungsinya
jarang terganggu dibandingkan dengan orang dewasa. Ikterus dapat dijumpai pada beberapa anak,
terutama berhubungan dengan hemolisis. Kadar transaminase darah sedikit meningkat untuk waktu
singkat.4

Limpa yang membesar umumnya dapat diraba pada minggu kedua; pembesaran limpa progresif
sesuai dengan perjalanan penyakit. Pada anak yang telah mengalami serangan berulang, limpa dapat
sangat besar dengan konsistensi keras. Pada infeksi akut, beratnya anemia berhubungan langsung dengan
derajat parasitemia.4

Malaria ovale mempunyai gejala klinis lebih ringan daripada malaria tertiana. Pada hari terakhir
masa inkubasi, anak menjadi gelisah, anoreksia sedangkan anak besar mengeluh nyeri kepala dan nausea.
Demam periodik tiap 48 jam tetapi stadium dingin dan menggigil jarang dijumpai pada bayi dan balita.
Selama periode demam, anak selalu merasa dingin dan menggigil dalam waktu singkat. Demam sering
terjadi pada sore hari. Pada anak jarang terjadi parasitemia berat, terdapat pada kurang dari 2%. Malaria
tertiana dan ovale jarang disertai anemia berat. Hati pada umumnya membesar dan teraba pada akhir
minggu pertama. Bilirubin total dapat meningkat tetapi jarang disertai ikterus, sedangkan kadar
transaminase sedikit meningkat untuk waktu singkat. Limpa bertambah besar selama serangan dan dapat
teraba pada minggu kedua. Kejang dapat terjadi pada saat demam tinggi pada usia 6 bulan sampai 5
tahun. Kematian pada anak sangat jarang terjadi, tetapi dapat terjadi bila disertai berbagai penyakit lain
yang berat, gizi buruk, dan anemia berat. Pada malaria tertiana dan ovale bentuk dormant dari parasit
dapat tetap berada dalam hati dan dapat menyebabkan relaps. Relaps dapat terjadi pada kasus yang
mendapat pengobatan hanya dengan obat skizontosida saja.4

Gambaran klinis malaria kuartana menyerupai malaria tertiana, hanya periode demam terjadi tiap
72 jam. Sindroma nefrotik dapat terjadi pada umur 2 sampai 12 tahun dengan puncak pada usia 5-7 tahun.
Dijumpai edema berat, proteinuria berat yang menetap, hipoproteinemia berat, dan asites. Serum
albumin kurang dari 2g/dl bahkan pada 95% kurang dari 1 g/dl. Tekanan darah biasanya normal dan tidak
jelas adanya azotemia dan hematuria.4
2.5.2 Malaria Berat

Malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum stadium aseksual.
Malaria dengan disertai satu atau lebih kelainan seperti tertera di bawah ini merupakan malaria berat,
antara lain 4 :

A. Malaria Serebral

Kejang pada anak dengan malaria berat dapat merupakan permulaan serangan malaria serebral.
Walaupun demikian, harus diingat bahwa kejang demam sering terjadi pada anak balita oleh sebab lain.
Di Thailand, angka kejadian kejang pada malaria tropika 9,6% pada anak kurang dari 5 tahun dan hanya
1,5% pada anak 5-12 tahun.

Malaria serebral adalah malaria falciparum yang disertai kejang dan koma, tanpa penyebab lain
dari koma. Gejala paling dini malaria serebral pada anak-anak umumnya adalah demam (37,5-41 derajat
C), selanjutnya tidak bisa makan atau minum, sering mengalami rasa mual dan batuk, jarang diare.
Riwayat gejala yang mendahului koma dapat sangat singkat, umumnya 1-2 hari. Anak-anak yang sering
kehilangan kesadaran setelah demam harus diperkirakan mengalami malaria serebral, terutama jika koma
menetap lebih dari setengah jam setelah kejang. Dalamnya koma dapat dinilai sesuai dengan skala
Glasgow atau modifikasi khusus pada anak yaitu skala koma Blantyre, melalui pengamatan terhadap
respon rangsangan bayi atau rasa nyeri yang standar, ketukan iga pada dada anak dan jika tidak ada
respon lakukan tekanan kuat pada kuku ibu jari dengan pensil pada posisi mendatar. Selalu singkirkan dan
atasi kemungkinan hipoglikemia. Skala koma dapat digunakan berulang kali untuk menilai ada kemajuan
atau kemunduran. Kejang biasanya terjadi pada sebelum atau sesudah timbul koma. Hal ini secara
bermakna berhubungan dengan morbiditas dan gejala sisa. Sekelompok anak-anak yang dapat bertahan
hidup setelah menderita malaria serebral kurang lebih 10% mengalami gejala sisa neurologik yang
menetap. Selama periode penyembuhan, gejala sisa dapat terbentuk hemiparesis, ataksia serebelar,
kebutaan kortikal, hipotonia berat, retardasi mental, kekakuan yang menyeluruh atau afasia

B. Anemia

Derajat anemia tergantung dari derajat dan lama parasitemia terjadi. Pada beberapa pasien,
serangan malaria berulang yang tidak diobati secara adekuat akan menyebabkan anemia normokrom
sebagai akibat perdarahan eritropoietik di dalam sumsum tulang. Walaupun parasitemia tidak berat, di
dalam darah perifer sudah tampak sel leukosit monosit berpigmen. Anemia dapat pula terjadi akibat
penghancuran eritosit yang mengandung parasit. Anemia turut berperan dalam (1) gejala serebral yaitu
bingung, gelisah, koma dan perdarahan retina, (2) gejala kardiopulmonal yaitu irama derap, gagal jantung,
hepatomegali dan edema paru.

C. Dehidrasi, Asidosis Metabolik dan Ganggua Elektrolit

Gejala klinis dehidrasi sedang sampai berat adalah penurunan perfusi perifer, rasa haus,
penurunan berat badan 3-4%, nafas cepat dan dalam, penurunan turgor kulit, peningkatan kadar ureum
darah (6,5 mmol/L atau 40 mg/dl), asidosis metabolik pada pemeriksaan urin, kadar natrium urin rendah
dan sedimen normal, merupakan tanda terjadinya dehidrasi bukan gangguan ginjal.

D. Hipoglikemia Berat

Hipoglikemia dapat terjaid pada malaria berat, terutama pada anak kecil (dibawah 3 tahun)
dengan gejala kejang, hiperparasitemia, penurunan kesadaran atau dengan gejala yang lebih ringan
seperti berkeringat, kulit teraba dingin dan lembab, serta napas yang tidak teratur. Hipoglikemia
berhubungan dengan hiperinsulinemia yang diinduksi oleh malaria dan kina. Hipoglikemia pada anak
adalah keadaan dimana kadar glukosa darah turun menjadi 40 mg/dl atau lebih rendah.

E. Gagal Ginjal

Gagal ginjal jarang terdapat pada anak dengan malaria. Kadar ureum sedikit meningkat kira-kira
10% pada anak lebih dari 5 tahun, seringkali gagal ginjal disebabkan oleh dehidrasi yang tidak diobati
adekuat.

F. Edema Paru Akut

Pada kasus malaria serebral dapat dijumpai anemia berat dan parasitemia berat. Frekuensi nafas
meningkat dan dijumpai krepitasi serta ronki yang menyebar. Gejala edema paru seringkali timbul
beberapa hari setelah pemberian obat antimalaria, pada umumnya terjadi bersamaan dengan
hiperparasitemia, gagal ginjal, hipoglikemia dan asidosis. Sebagai akibat edema paru dapat terjadi
hipoksia yang mengakibatkan kejang dan penurunan kesadaran serta kematian.

G. Kegagalan Sirkulasi (Algid Malaria)

Malaria algid adalah malaria falciparum yang disertai syok oleh karena adanya septikemia kuman
gram negatif. Penderita dapat jatuh pada keadaan kolaps dengan tekanan darah sistolik kurang dari 50
mmHg pada posisi berbaring, kulit teraba dingin, lembab, sianotik, konstriksi vena perifer, denyut nadi
lemah dan cepat. Dehidrasi dengan hipovolemia juga dapat menyebabkan hipotensi

H. Kecenderungan Terjadi Perdarahan

Perdarahan yang sering terjadi adalah perdarahan gusi, epistaksis, ptekia, dan perdarahan
subkonjungtiva. Apabila terjadi koagulasi intravaskular diseminata akan timbul perdarahan yang lebih
hebat yaitu melena dan hematemesis. Kecenderungan terjadi perdarahan ditandai dengan perpanjangan
waktu perdarahan, trombositopenia dan menurunnya faktor koagulasi.

I. Hiperpireksia

Hiperpireksia lebih banyak dijumpai pada anak daripada dewasa dan seringkali berhubungan
dengan kejang, delirium dan koma, maka pada malaria monitor suhu berkala sangat diajurkan.
Hiperpireksia adalah keadaan dimana suhu tubuh meningkat menjadi 42 derajat C atau lebih dan dapat
menyebabkan gejala sisa neurologik yang menetap.
J. Hemoglobinuria

Hal ini jarang terjadi pada anak. Hampir seluruh kasus ini berhubungan dengan defisiensi G6PD
pada pasien malaria. Pada kasus ini hemolisis akan berhenti setelah pecahnya eritrosit tua.

K. Ikterus (Bilirubin > 3mg%)

Manifestasi ikterus sering dijumpai pada orang dewasa namun bila ditemukan pada anak
prognosisnya jelek.

L. Hiperparasitemia

Umumnya pada penderita yang non-imun, densitas parasit >5% dan adanya skizontae sering
berhubungan dengan malaria berat.
2.6 Penegakkan Diagnosis

Diagnosis malaria dapat ditegakkan secara klinis dan laboratoris. Secara klinis, sesuai rekomendasi WHO
malaria dapat dicurigai berdasarkan daerah epidemiologisnya.3 :

• Di daerah non-endemis, diagnosis klinis malaria tidak berat harus didasarkan pada kemungkinan
paparan malaria (berpergian ke daerah endemis) dan riwayat demam 3 hari terakhir tanpa gejala penyakit
berat lainnya.

• Di daerah endemis, diagnosis klinis didasarkan pada riwayat demam dalam 24 jam terakhir dan atau
adanya gejala anemia (pucat pada palmar merupakan tanda paling reliabel pada anak yang lebih muda).

Tetap perlu diperhatikan adanya gejala klasik seperti demam, menggigil, pucat disertai splenomegali; dan
gejala lain seperti nyeri kepala, mual-muntah, nyeri otot-tulang, riwayat kejang (terutama bayi <1 tahun),
diare (balita), dan nyeri perut (anak >5 tahun). Riwayat tinggal di daerah endemis malaria, riwayat
sakit malaria, riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir dan juga riwayat transfusi darah penting
ditelusuri.3

Hasil pemeriksaan laboratorium yang menyertai antara lain anemia, trombositopenia, leukosit
normal/leukopenia, dan peningkatan LED. Diagnosis pasti dengan pemeriksaan apusan darah tebal dan
apusan darah tipis. Apusan darah tebal dibuat dengan pewarnaan Giemsa atau Field Stain, sedangkan
apusan darah tipis dengan pewarnaan Wright atau Giemsa. Pemeriksaan apusan darah tebal bertujuan
melihat jumlah eritrosit dalam darah, sementara pemeriksaan apusan darah tipis bertujuan melihat
perubahan bentuk eritrosit, jenis Plasmodium, dan persentase eritrosit yang terinfeksi. Hasil apusan darah
negatif tunggal tidak meniadakan diagnosis malaria, karena sebagian besar pasien bergejala akan
menunjukkan hasil positif dalam 48 jam. Pemeriksaan darah serial setiap 6 jam selama tiga hari berurutan
dapat dilakukan. Pemeriksaan apusan darah tipis tidak mungkin dapat membedakan morfologi spesies P.
malariae dan P. knowlesi, sehingga diperlukan pemeriksaan lebih canggih seperti polymerase chain
reaction (PCR). Pemeriksaan praktis terutama di daerah endemis dapat dilakukan dengan rapid diagnostic
test (RDT) berbentuk dipstick, dianjurkan menggunakan tes diagnostik cepat yang memiliki kemampuan
minimal sensitivitas 95% dan spesifisitas 95%. Malaria tanpa komplikasi harus dibedakan dengan penyakit
infeksi lain, seperti demam tifoid, demam dengue, infeksi saluran pernafasan akut, leptospirosis ringan
dan infeksi virus akut lainnya.3

Tes serologis yang digunakan untuk diagnosis malaria adalah IFA (indirect fluorescence antibody
test), IHA (indirect hemaglutination test) dan ELISA (enzyme linked immunosorbence assay). Kegunaan tes
serologis untuk diagnosis malaria akut sangat terbatas, karena baru akan positif beberapa hari setelah
parasit malaria ditemukan dalam darah. Jadi sampai saat ini tes serologi merupakan cara terbaik untuk
studi epidemiologi. Pada daerah endemia atau pernah endemis, tes serologi berguna untuk 4 :

 Menentukan berapa lama endemisitas berlangsung


 Menentukan perubahan derajat transmisi malaria
 menentukan daerah malaria dan fokus transmisi.

Sedangkan di daerah non endemis, tes serologi digunakan untuk

- skrining donor darah


- menyingkirkan diagnosis malaria pada kasus demam sedangkan pada pemeriksaan darah tidak
ditemukan parasite
- menentukan kasus dan mengidentifikasi spesies parasit malaria bila cara lain tidak berhasil

Teknik diagnostik lainnya adalah pemeriksaan QBC (quantitative buffy coat), dengan
menggunakan tabung kapiler dan pulasan jingga akridin kemudian diperiksa di bawah mikroskop
fluoresens. Teknik mutakhir lain yang dikembangkan saat ini menggunakan pelacak DNA probe untuk
mendeteksi antigen.4
2.7 Diagnosis Banding

Presentasi klinis pada malaria seringkali bervariasi dan dapat mengarah ke kondisi/ penyakit lain
seperti meningitis, ensefalitis atau epilepsi. Malaria serebral dapat dipertimbangkan merupakan suatu
diagnosis banding dari gangguan saraf lainnya. Kondisi-kondisi yang bisa dipertimbangkan menjadi
diagosis banding dari malaria antara lain 8 :

1. Kolangitis asendens
2. Encephalitis
3. Hepatitis
4. Pneumonia
5. Faringitis
6. Tonsilitis
7. Demam thyphoid
8. Sinusitis
9. Tetanus
10. Giardiasis
11. Meningitis aseptic
12. Meningitis bacterial
13. Otitis media
14. Yellow fever

2.8 Pengobatan

Pengobatan malaria dibagi atas malaria ringan (tanpa komplikasi) dan malaria berat (disertai
komplikasi)

2.8.1 Malaria ringan tanpa komplikasi

Malaria ringan tanpa kompikasi dapat dilakukan pengobatan secara rawat jalan atau rawat inap
sebagai berikut 4 :

Klorokuin bisa diberikan total 25 mg/kgBB selama 3 hari, dengan perincian sebagai berikut : hari pertama
10 mg/kgBB (maksimal 600 mg basa), 6 jam kemudian dilanjutkan 10 mg/kgBB (maksimal 600 mg basa)
dan 5 mg/kgBB pada 24 jam (maksimal 300 mg basa). Atau hari I dan II masing-masing 10 mg/kgBB dan
hari IIII 5 mg/kgBB. Pada malaria tropika ditambahkan primakuin 0,75 mg/kgBB, 1 hari. Pada malaria
tersiana ditambahkan primakuin 0,25 mg/kgBB/hari, 14 hari.

Bila dengan pengobatan butir 1 ternyata pada hari ke IV masih demam atau hari VIII masih dijumpai
parasit dalam darah maka diberikan :

Kina sulfat 30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis, selama 7 hari atau


Fansidar atau suldox dengan dasar pirimetamin 1-1,5 mg/kgBB atau sulfadoksin 20-30 mg/kgBB single
dose (usia di atas 6 bulan). Obat ini tidak digunakan pada malaria tersiana

Bila dengan pengobatan butir 2 pada hari IV masih demam atau pada hari VIII masih dijumpai parasit maka
diberikan :

Tetrasiklin Hcl 50 mg/kgBB/kali, sehari 4 kali selama 7 hari + fansidar/suldox bila sebelumnya telah
mendapat pengobatan butir 2a, atau :

Tetrasiklin Hcl + kina sulfat bila sebelumnya telah mendapat pengobatan butir 2b. Dosis Kina dan
Fansidar/Suldox sesuai butir 2a dan 2b (Tetrasiklin diberikan pada umur 8 tahun atau lebih)

Pada saat ini sudah lebih dari 25% provinsi di Indonesia telah terjadi multiresistensi terhadap obat
standard yang cukup tinggi. Oleh karena itu Komisi Ahli Malaria (KOMLI) menganjurkan strategi baru
pengobatan malaria pada daerah-daerah tersebut dan sesuai dengan rekomendasi WHO untuk secara
global menggunakan obat artemisinin yang dikombinasi dengan obat lain. Pengobatan tersebut dikenal
sebagai Artemisinin based Combination Therapy (ACT).4

Derivat artemisinin 4 :

Artesunat :

Tablet/kapsul 50 mg/200 mg. Dosis 2 mg/kgBB sekali sehari selama 5 hari untuk hari pertama diberi 2
dosis

Suntikan im/iv; ampul 60 mg/ampul. Dosis 1,2 mg/kgBB sekali sehari selama 5 hari; untuk hari pertama
diberi 2 dosis

Artemether:

Tablet/ kapsul 40 mg/50 mg. Dosis 2 mg/kgBB sekali sehari selama 6 hari; untuk hari pertama diberi 2
dosis.

Suntikan : ampul 80 mg/ampul. Dosis 1,6 mg/kgBB sekali sehari selama 6 hari; untuk hari pertama diberi
2 dosis

Dehidroartemisinin:

Tablet /kapsul 20 mg/ 60 mg/ 80 mg. Dosis 2 mg/kgBB sekali sehari selama 4 hari; untuk hari pertama
diberi 2 dosis

Artheeter:

Suntikan 150 mg/ampul, dalam bentuk beta artheether (artenotil). Dosis pertama 4,8 mg/kgBB, 6 jam
kemudian 1,6 mg/kgBB, selanjutnya 1,6 mg/kgBB tiap hari selama 4 hari.
Obat kombinasi yang saat ini tersedia di Indonesia yaitu kombinasi artesunat + amodiakuin
dengan nama dagang Arttesdiaquine atau Artesumoon. Obat ini tersedia untuk program dan telah
diedarkan di 10 provinsi yang terdapat resistensi tinggi (>25%) terhadap obat klorokuin dan sulfadoksin-
pirimetamin. Dosis arttesdiaquine merupakan ganbungan artesunat 2 mg/kgBB sekali sehari selama 3
hari, untuk hari pertama diberi 2 dosis dan amodiakuin hari I dan II 10 mg/kgBB dan hari III 5 mg/kgBB.
Untuk pemakaian obat golongan artemisinin harus dibuktikan malaria positif, sedangkan bila hanya klinis
malaria digunakan obat non-ACT. 4

Pemantauan respon pengobatan sangat penting untuk dapat mendeteksi pengobatan malaria
secara dini berdasarkan respon klinis dan pemeriksaan parasitologis. Dikatakan gagal pengobatan bila
dijumpai salah satu kriteria berikut 4:

Kegagalan pengobatan dini, bila:

- Parasitemia dengan komplikasi malaria berat pada hari 1,2,3


- Parasitemia hari ke 2 > hari 0
- Parasitemia hari ke 3 (> 25% dari hari 0)
- Parasitemia hari ke 3 dengan suhu aksila > 37,5 C
- Kegagalan pengobatan kasep, bila antara hari ke 4-28 dijumpai 1 atau lebih keadaan berikut :

a) Secara klinis dan parasitologis:

Adanya malaria berat setelah hari ke 3 dan parasitemia, atau Parasitemia dan suhu aksila >37,5 C pada
hari ke 4-28 tanpa ada kriteria gagal pengobatan dini

b) Secara patologis

- Adanya parasitemia pada hari ke 7, 14, 21 dan 28


- Suhu aksila <37,5 C tanpa ada kriteria kegagalan pengobatan dini
- Respon klinis dan parasitologis memadai, apabila pasien sebelumnya tidak berkembang menjadi
kegagalan butir no.1 atau 2 dan tidak ada parasitemia.

2.8.2 Malaria Berat

Penatalaksanaan malaria berat harus dapat dilakukan diagnosis dan tindakan secara cepat dan
tepat sebagai berikut 4 :

- Tindakan umum/perawatan
- Pemberian obat anti malaria/transfusi tukar
- Pemberian cairan/nutrisi
- Penanganan terhadap gangguan fungsi organ
- Tindakan perawatan umum pada malaria berat di ruang intensif:
- Pertahankan fungsi vital: sirkulasi, respirasi, kebutuhan cairan dan nutrisi
- Hindari trauma: dekubitus, jatuh dari tempat tidur
- Monitoring: suhu tubuh, nadi, tensi tiap 1/2 jam. Awasi ikterus dan perdarahan
- Posisi tidur sesuai kebutuhan
- Perhatikan warna dan suhu kulit
- Cegah hiperpireksi
- Pemberian cairan: oral, sonde, infus
- Diet porsi kecil dan sering, cukup kalori, karbohidrat dan garam
- Perhatikan kebersihan rambut
- Perhatikan diuresis dan defekasi, aseptik kateterisasi
- Kebersihan kulit: mandikan tiap hari dan keringkan
- Perawatan mata: hindarkan trauma, tutup dengan kasa lembab
- Perawatan: hati-hati aspirasi, hisap lendir sesering mungkin, letakkan kepala sedikit rendah, posisi
diubah cukup sering, pemberian cairan dan obat harus hati-hati.

Pemberian obat anti malaria pada malaria berat berbeda dengan malaria biasa karena pada
malaria berat diperlukan daya membunuh parasit secara cepat dan bertahan cukup lama di dalam darah
untuk segera menurunkan derajat parasitemia. Oleh karenanya dipilih pemakaian obat secara suntikan
(IV/per infus, IM yang berefek cepat dan masih sensitif untuk membunuh parasit malaria).4

1. Kina (kina Hcl/kinin antipiria)

Kina merupakan obat anti malaria yang sangat efektif untuk semua jenis Plasmodium dan efektif
sebagai skizontozid maupun gametosid. Dipilih sebagai obat utama untuk malaria berat karena masih
berefek kuat terhadap Plasmodium falciparum yang resisten terhadap klorokuin dan dapat diberikan
cepat per infus atau IM dan cukup aman.

Cara pemberian kina dihidroklorida melalui infus, dosis 10 mg/kgBB/kulit dilarutkan dalam 100-200 ml
infus garam fisiologis atau cairan 2a atau dextrose 5% dan diberikan selama 4 jam, 3 kali sehari selama
pasien belum sadar (maksimal 3 hari), tetapi apabila pasien telah sadar (walaupun belum 3 hari) kina
dilanjutkan per oral hingga total IV + oral selama 7 hari. Kalau tidak dapat diberikan secara iv, maka dapat
diberikan secara im berupa kina Hcl atau kina antipirin dengan pengenceran 4x lipat pada paha kiri dan
kanan.4

2. Kinidin

Kinidin diberikan bila tidak tersedia kina, dengan cara pemberian sama dengan kina tetapi dosisnya
adalah 7,5 mg basa/kgBB/kali 4

3. Derivat artemisinin

Derivat artemisinin merupakan obat baru dengan efektifitas tinggi terhadap strain malaria yang
multiresisten terhadap obat malaria.4

a) Artesunat

Artesunat diberikan iv atau im dengan dosis 2,4 mg/kgBB/kali selama 3 hari; untuk hari pertama diberi 2
dosis, dan selanjutnya diberi oral 2 mg/kgBB/hari sekali sehari sampai total 7 hari untuk seluruh
pengobatan. Dapat dikombinasikan dengan tetrasiklin/ doksisiklin selama 7 hari untuk anak >7 tahun atau
dengan klindamisin 5 mg/ kgBB selama 7 hari 4

b) Artemeter

Artemeter dalam larutan minyak diberi im. Dosis 1,6 mg/kgBB sekali sehari selama 6 hari; untuk hari
pertama diberi 2 dosis.4

2.8.3 Penatalaksanaan Tambahan pada Malaria Berat

A. Malaria Serebral

Sebagai penatalaksanaan umum untuk malaria berat maka pada malaria serebral, petalaksanaan/
pencegahan kejang sangat penting dilaksanakan dan dapat diberi 4 :

Diazepam iv 0,3-0,5 mg/kgBB atau 0,5-1 mg/kgBB rektal 5 mg dengan dosis optimal 10 mg/ kali dan dapat
diulangi tiap 5-15 menit

Paraldehid 0,1 mg/kgBB

Klormetiazol 0,8% diinfus sampai kejang berhenti

Fenitoin 5 mg/kgBB iv selama 20 menit

Fenobarbital im 30-75 mg dilanjutkan oral 8 mg/ kgBB/ hari dibagi dalam 2 dosis, selama 2 hari, dilanjutkan
dengan dosis rumat 4 mg/ kgBB/ hari dibagi 2 dosis

B. Anemia Berat (Hb <5 g/dl)

Kebutuhan transfusi bukan hanya berdasarkan kadar hemoglobin saja tetapi harus dilihat pula
densitas parasitemia dan keadaan klinis. WHO menganjurkan kadar hematokrit sebagai patokan anemia;
kadar hematokrit 15% atau lebih rendah merupakan indikasi pemberian transfusi darah (10 ml/ kgBB
packed red cell atau 20 ml/kgBB whole blood), disertai pemberian furosemid 1-2 mg/kgBB sampai
maksimal 20 mg, dapat diberikan secara iv untuk mengurangi beban jantung. 4

C. Dehidrasi, Gangguan Asam-Basa (Asidosis Metabolik) dan Gangguan Elektrolit

Lactic acidosis sering terjadi sebagai komplikasi malaria berat, ditandai dengan peningkatan kadar
asam laktat darah atau dalam likuor serebrospinal. Larutan garam fisiologis isotonis atau glukosa 5%
segera diberikan secara hati-hati dan awasi tekanan darah. Apabila telah terjadi rehidrasi, tetapi jumlah
urin tetap < 1ml/kgBB/ jam maka dapat diberikan furosemid 3 mg/kgBB (diberikan dalam waktu 15 menit).
Untuk memperbaiki oksigenasi, bersihkan jalan napas, beri oksigen 2-4 liter/ menit, dan apabila
diperlukan dapat dipasang ventilator mekanik sebagai penunjang.4

D. Hipoglikemia (gula darah <40 mg/ dl)


Dalam menghadapi malaria berat, terutama pada anak yang mengalami penurunan kesadaran
perlu diberikan glukosa rumatan untuk mencegah hipoglikemia yang disebabkan karena anak tidak bisa
makan. Diberikan larutan rumatan glukosa 5% atau glukosa konsentrasi tinggi secara intermitten. Apabila
terjadi hipoglikemia berikan glukosa 20% (2-4 ml/ kgBB) dilanjutkan dengan cairan rumatan glukosa 10%
sambil dilakukan pemeriksaan kadar gula darah berkala atau mempergunakan dextrostick.4

E. Gagal Ginjal

Pada semua penderita malaria berat sebaiknya kadar ureum dan kreatinin diperiksa 2-3 kali/
minggu. Apabila pemeriksaan ureum dan kreatinin serum tidak memungkinkan, maka dapat dipakai cara
sederhana dengan mengukur produksi urin. Bila terjadi oliguria (produksi urin <1 ml/kgBB/ jam) yang
disertai dengan tanda klinik dehidrasi, maka diberi cairan untuk rehidrasi dengan pengawasan yang ketat
untuk mencegah overload. Observasi tanda-tanda vital, balans cairan, pemeriksaan auskultasi paru,
jugular venous pressure (JVP) dan central venous pressure (CVP) dipertahankan pada tekanan 0-5 cm H20.
Bila terjadi anuria, yaitu tidak ada produksi urin dalam 8 jam, diberi furosemid 1 mg/ kgBB/ kali. Bila tidak
ada respon dapat diulang setelah 8 jam dengan dosis 3 mg/kgBB dan dapat diulang. 4

F. Edema Paru Akut

Anak ditidurkan setengah duduk, diberikan oksigen konsentrasi tinggi dan diuretik intravena.
Pemberian ventilator mekanik dapat dipertimbangkan bila terjadi gagal napas dan fasilitas
memungkinkan. Apabila edema paru disebabkan oleh cairan intravena berlebihan, segera hentikan
pemberian cairan intravena, berikan furosemid 1 mg/ kgBB/ kali dan diulangi bila perlu.4

G. Kegagalan Sirkulasi (Algid Malaria)

Hipovolemia dikoreksi dengan pemberian cairan yang tepat. Rehidrasi dengan cairan RL sebanyak
10-20 ml/ kgBB secepatnya sampai nadi teraba. Bila nadi belum teraba selama 20 menit, ulangi loading
dose. Bila sesudah 2 kali loading dose nadi belum teraba, berikan loading dose dengan plasma expander
20 ml/kgBB secepatnya. Bila syok belum teratasi, berikan dopamin 3-5 mcg/ kgBB/ menit.4

Bila nadi sudah teraba, dilanjutkan dengan pemberian rehidrasi dengan cairan RL sesuai dengan
keadaan pasien. Periksa nadi, tekanan darah dan pernapasan setiap 20 menit. Bila memungkinkan
monitor dengan CVP, tekanan dipertahankan antara 5-8 cm H2O. Kadar gula darah diperiksa periodik. Bila
ada kecurigaan septikemia, lakukan biakan darah dan uji sensitivitas dan segera berikan antibiotika
spektrum luas.4

H. Perdarahan (Kecenderungan terjadi Perdarahan)

Biasanya terjadi akibat trombositopenia berat dengan manifestasi perdarahan pada kulit berupa
ptekia, purpura, hematom atau perdarahan hidung, gusi dan saluran pencernaan. Pasien dapat diberi
darah segar, fresh frozen plasma (berisi faktor pembekuan), dan suspensi trombosit. Bila terdapat
perpanjangan waktu protrombin dan partial thromboplastin, dianjurkan pemberian vitamin K 10 mg
perlahan-lahan.4
I. Hiperpireksia

Bila suhu >40 C segera beri kompres hangat dan antipiretik Parasetamol dosis awal 20 mg/ kgBB
per oral, melalui sonde lambung, atau rektal, diikuti 15 mg/ kgBB tiap 4-6 jam. Bila kejang diberi 4 :

Diazepam intravena 0,3-0,5 mg/ kgBB perlahan-lahan (1 mg/ menit) atau rektal 5 mg untuk BB < 10 kg dan
10 mg untuk BB > 10 kg. Bila kejang belum teratasi setelah 2 kali pemberian diazepam, berikan Fenitoin
dengan dosis awal 10-15 mg/ kgBB dalam NaCl 0,9% sama banyak diberi bolus intravena perlahan-lahan,
kemudian diikuti dosis rumat fenitoin 5 mg/ kgBB dibagi dalam 2-3 dosis

Fenobarbital, bila tidak ada pilihan lain sebagai alternatif, diberikan intramuskular. 30 mg untuk usia < 1
bulan, 50 mg untuk usia 1 bulan-1 tahun, 75 mg untuk usia > 1 tahun. Setelah 4 jam pemberian dosis awal
dilanjutkan dengan fenobarbital 8 mg/kgBB/ hari dibagi dalam 2 dosis, diberikan selama 2 hari, dilanjutkan
dengan dosis rumat 4 mg/ kgBB/ hari dibagi 2 dosis sampai 3 hari bebas panas.

J. Hemoglobinuria/ Black water fever

Pada hemoglobinuria malaria, jika terdapat parasitemia maka pengobatan anti malaria yang
sesuai harus diteruskan. Transfusikan darah segar untuk mempertahankan nilai hematokrit di atas 20%.
Pantau tekanan vena jugularis atau sentralis untuk menghindari kelebihan cairan dan hipervolemia.
Berikan furosemid 1 mg/ kgBB secara intravena. Jika timbul oliguria disertai kadar ureum darah dan
kreatinin serum yang meningkat, mungkin perlu dilakukan dialisis peritoneal atau hemodialisa.4

K. Ikterus

Tidak ada terapi khusus untuk ikterus. Bila ditemukan hemolisis berat dan Hb sangat turun, maka
diberikan transfusi darah. Kadar bilirubin akan kembali normal dalam beberapa hari setelah pengobatan
dengan antimalaria. Pada ikterus berat, dosis obat antimalaria sebaiknya diberi setengah dosis dengan
waktu pemberian dua kali lebih lama.4

L. Hiperparasitemia

Segera beri obat anti malaria. Respons pengobatan dievaluasi dengan memeriksa ulang
parasitemianya. Indikasi transfusi tukar bila 4 :

Parasitemia > 30%

Parasitemia > 10% disertai komplikasi berat lainnya seperti malaria serebral, GGA, ARDS, ikterus dan
anemia berat

Parasitemia > 10% dengan gagal pengobatan setelah 12-24 jam pemberian anti malaria yang optimal

Parasitemia > 10% disertai adanya skizon pada darah perifer


Kemoprofilaksis bertujuan untuk mengurangi risiko terinfeksi malaria, sehingga bila terinfeksi gejala
klinisnya tidak berat. Ditujukan terutama untuk orang yang berpergian ke daerah endemis dalam waktu
yang tidak terlalu lama, seperti turis. Untuk jangka waktu lama pada anak sebaiknya mengggunakan
perlindungan diri seperti kelambu, repellent (Diethyltoluamide/DEET 25-35%), kawat kasa, dan lain-lain.
Penggunaan DEET 25-35% dihindari pada bayi <2 bulan dan sebaiknya dibilas secepatnya dari kulit apabila
berada di dalam ruangan yang terlindungi. Kemoprofi laksis ditujukan terutama untuk P. falciparum
karena virulensinya tinggi. Sehubungan dengan tingginya resistensi P. falciparum terhadap klorokuin,
doksisiklin menjadi pilihan untuk kemoprofilaksis pada anak usia lebih dari 8 tahun. Doksisiklin diminum
1 hari sebelum keberangkatan dengan dosis 2 mg/kgBB setiap hari selama tidak lebih dari 12 minggu.
Pada anak yang lebih kecil dapat digunakan atovaquoneproguanil dan mefloquine. Atovaquoneproguanil
memiliki sediaan tablet anak dan lebih ditoleransi dari mefl oquine, dimulai dari 2 hari sebelum berpergian
dan dikonsumsi setiap hari, sesuai waktu berpergian yang singkat. Untuk waktu berpergian yang lama,
dapat diberikan mefloquine 4,6 mg basa/kgBB/minggu, dimulai dari 2 minggu sebelum keberangkatan.
Namun, mefloquine kurang disukai karena tidak ada sediaan untuk anak dan rasanya pahit.3

2.9 Prognosis

Malaria tanpa komplikasi yang disebabkan oleh Plasmodium vivax , Plasmodium malariae, dan
Plasmodium ovale memiliki prognosis yang baik. Prognosis malaria yang disebabkan oleh Plasmodium
vivax pada umumnya baik, tidak menyebabkan kematian, walaupun apabila tidak diobati infeksi rata-rata
dapat berlangsung sampai 3 bulan atau lebih lama oleh karena mempunyai sifat relaps, sedangkan
Plasmodium malariae dapat berlangsung sangat lama dengan kecenderungan relaps, pernah dilaporkan
sampai 30-50 tahun. Infeksi Plasmodium falciparum dengan penyulit prognosis menjadi buruk, apabila
tidak ditanggulangi secara cepat dan tepat bahkan dapat meninggal terutama pada gizi buruk. WHO
mengemukanan indikator prognosis buruk apabila 4:

a) Indikator Klinis

Umur 3 tahun atau kurang

Koma yang berat

Kejang berulang

Refleks kornea negatif

Deserebrasi

Dijumpai disfungsi organ (gagal ginjal, edema paru)

Terdapat perdarahan retina

b) Indikator laboratorium
Hiperparasitemia (> 250.000/ ml atau >5%)

Skizontemia dalam darah perifer

Leukositosis

PCV (packed cell volume) < 15%

Hemoglobin <5g/dl

Glukosa darah <40 mg/ dl

Ureum >60 mg/dl

Glukosa LCS rendah

Kreatinin >3,0 mg/dl

Laktat dalam LCS meningkat

SGOT meningkat >3 kali normal

Antitrombin rendah

Peningkatan kadar plasma 5'-nukleotidase

Malaria yang terjadi pada anak berusia <5 tahun memiliki prognosis paling buruk di daerah
endemis. Di daerah dengan populasi non imun, prognosis malaria bersifat mematikan di seluruh umur.
BAB III

KESIMPULAN
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa parasit yang merupakan golongan
plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia. Penyakit ini secara alami
ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles. Malaria merupakan salah satu penyakit yang tersebar di
beberapa wilayah di dunia. Secara klinis, gejala malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri atas
beberapa serangan demam dengan interval tertentu (paroksisme), yang diselingi oleh suatu periode
(periode laten) bebas demam. Sebelum demam pasien biasanya merasa lemah, nyeri kepala, tidak ada
nafsu makan, mual atau muntah. Pada pasien dengan infeksi majemuk/campuran (lebih dari satu jenis
Plasmodium atau jenis Plasmodium tetapi infeksi berulang dalam waktu berbeda), maka serangan demam
terus menerus (tanpa interval), sedangkan pada penjamu yang imun gejala klinisnya minimal. . Diagnosis
malaria dapat ditegakkan secara klinis dan laboratoris. Malaria tanpa komplikasi yang disebabkan oleh
Plasmodium vivax , Plasmodium malariae, dan Plasmodium ovale memiliki prognosis yang baik. Prognosis
malaria yang disebabkan oleh Plasmodium vivax pada umumnya baik, tidak menyebabkan kematian,
walaupun apabila tidak diobati infeksi rata-rata dapat berlangsung sampai 3 bulan atau lebih lama oleh
karena mempunyai sifat relaps, sedangkan Plasmodium malariae dapat berlangsung sangat lama dengan
kecenderungan relaps, pernah dilaporkan sampai 30-50 tahun.
DAFTAR PUSTAKA

1. Dit Jen P2M & PLP Dep Kes RI. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria, Jakarta, 2007
2. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE, NELSON ILMU KESEHATAN ANAK
ESENSIAL. Singapura: Elsevier. 2011
3. Liwan A S. Diagnosis dan Penatalaksanaan Malaria Tanpa Komplikasi pada Anak. CDK-229/ vol.
42 no. 6, th. 2015. Dapat diakses di :
http://www.kalbemed.com/Portals/6/08_229Diagnosis%20dan%20Penatalaksanaan%20Malaria
%20tanpa%20Komplikasi%20pada%20Anak.pdf
4. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari EI. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012
5. http://emedicine.medscape.com/article/998942-overview
6. Laksono R D, Profilaksis Malaria di Perbatasan Indonesia-Timor Leste. CDK 188 / vol. 38 no. 7 /
November 2011. Dapat diakses di :
http://www.kalbemed.com/Portals/6/09_188Profilaksis%20Malaria%20di%20Perbatasan%20In
donesia-Timor%20Leste.pdf
7. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics. Philadelphia:
Elsevier. 2007
8. http://emedicine.medscape.com/article/998942-differential#1
9. Nelwan RHH. Malaria Plasmodium Knowlesi. CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013. Dapat diakses di
http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_204Malaria%20Plasmodium%20Knowlesi.pdf

Anda mungkin juga menyukai