Epidemiologi
Infeksi virus dengue merupakan masalah kesehatan global . Kejadian luar biasa
penyakit sering dilaporkan dari berbagai negara.
56
S
u
m
b
e
r
:
D
a
t
a
Etiologi
Penyebab DD atau DBD adalah virus dengue yang merupakan anggota genus
Falvivirus dan terdiri dari 4 serotipe, yakni DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. DEN-3
merupakan serotype terbanyak di Indonesia. Virus tersebut ditularkan oleh gigitan vector
nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus ke tubuh manusia dengan masa inkubasi 4-
10 hari. Tempat berkembangnya vector ini adalah air, terutama pada penampungan
seperti ember, ban bekas, bak mandi, dan sebagainya. Biasanya nyamuk ini menggigit
pada siang hari.
Patogenesis
Berhubungan dengan
1. Faktor Virus, yaitu serotype, jumlah, virulensi.
2. Faktor Pejamu, genetic, usia, status gizi, penyakit komorbid, dan interaksi antara
virus pejamu.
3. Faktor lingkungan, musim, curah hujan, suhu udara, kepadatan penduduk,
mobiitas penduduk, dan kesehatan lingkungan.
Imunopatogenesis
Mekanisme Autoimun
Antibodi terhadap protein NS1 dengue menunjukkan reaksi silang dengan sel
endotel dan trombosit, sehingga menimbulkan gangguan pada kedua sel tersebut, serta
menimbulkan respon inflamasi. Autoantibodi yang bereaksi dengan komponen yang di
maksud mengakibatkan sel yang mengandung molekul hasil ikatan keduanya akan
dihancurkan oleh makrofag atau mengalami kerusakan . Akibatnya, pada trombosit
terjadi penghancuran sehingga menyebabkan trombositopenia dan pada sel endotel terjadi
peningkatan perembesan plasma.
Faktor pejamu
Beberapa faktor pejamu yang dilaporkan dapat menjadi faktor resiko unyuk
terkena infesi virus dengue yang berat, antara lain status gizi, faktor genetic, dan penyakit
tertentu khususnya yang berkaitan dengan sistem imun. Obesitas merupakan salah satu
faktor resiko yang pernah dilaporkan. Faktor genetic berhubungan denga HLA (human
leucocyte antigen).
Infeksi Virus
Dengue
asimtomatik simtomatik
Expanded dengue
Demam tidak khas ( Demam berdarah
Demam dengue syndrome/organop
sindrom virus ) dengue
ati
Sindrom virus
Bayi, anak-anak, dan dewasa yang telah terinfeksi virus dengue, terutama
untuk pertama kalinya (infeksi primer), dapat menunjukkan manifestasi klinis berupa
demam sederhana tidak khas, yang sulit dibedakan dengan demam akibat infeksi virus
lain.Ruam makulopapular dapat menyertai demam atau pada saat penyembuhan. Gejala
gangguan saluran napas atau gangguan pecernaan dapat ditemukan (Bruce R,2010).
Demam Dengue
Sering ditemukan pada anak besar, remaja, dan dewasa. Setelah melalui masa
inkubasi rata-rata 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala berupa demam, myalgia,
sakit punggung, dan gejala konstitusional lain yang tidak spesifik, seperti rasa lemah
(malaise), nyeri retroorbita saat mata digerakkan atau ditekan, anoreksia, dan gangguan
rasa kecap. Demam mendadak, tinggi (39 C- 40 C), terus menerus, bifasik, berlangsung
2-7 hari, gejala lain dapat berupa gangguan pencernaan, nyeri perut, sakit tenggorok,
depresi (Bruce R,2010).
Manisfestasi klinis DBD terdiri atas 3 fase yaitu fase demam, kritis serta
konvalesens , setiap fase perlu pemantauan yang cermat, karena setiap fase mempunyai
resiko yang dapat memperberat keadaan sakit (Bruce R,2010).
Fase Demam
Pada kasus ringan semua tanda dan gejala sembuh seiring dengan
menghilangnya demam. Penurunan demam terjadi secara lisis, artinya suhu tubuh
menurun segera, tidak secara bertahap. Menghilangnya demam dapat disertai dengan
berkeringat dan perubahan pada laju nadi dan tekanan darah (Bruce R,2010).
Fase kritis terjadi pada saat demam turun (time of fever defervescence), pada
saat ini terjadi puncak keboran plasma sehingga pasien mengalami syok hipovolemi.
Warning signs umumnya terjadi menjelang akhir fase demam, yaitu antara hari sakit ke
3-7. Muntah terus menerus dan nyeri perut hebat merupakan petunjuk awal perembesan
plasma dan bertambah hebat saat pasien masuk keadaan syok. Kelemahan, pusing atau
hipotensi postural dapat terjadi selama syok. Perdarahan mukoa spontan atau perdarahan
ditempat pengambilan darah merupakan manisfestasi perdarahan penting. Umumnya
lebih lambat.hematocrit diatas data dasar merupakan tanda awal perembesan plasma, dan
pada umumnya didahului oleh leukopenia (< 5.000 sel/mm3 ). Peningkatan hematocrit
mendahului perubahan tekanan darah serta volume nadi, oleh karena itu pengukuran
hematocrit berkala sangat penting, apabila makin meningkat berarti kebutuhan cairan
intravena untuk mempetahankan volume intravascular bertambah (Prasittisuk C,2011).
Beberapa pasien masuk ke fase kritis perembesan plasma dan kemudian mengalami syok
sebelum demam turun, pada pasien tersebut peningkatan hematocrit serta
trombositopenia terjadi sangat cepat. Selain itu pada pasien DBD baik yang disertai syok
atau tidak dapat terjadi keterlibatan organ misalnya hepatitis berat, ensefalitis,
miokarditis, dan/atau perdarahan hebat, yang dikenal sebagai expanded dengue syndrome
(Bruce R,2010).
Apabila pasien dapat melalui fase kritis yang berlangsung sekitar 24-48 jam,
terjadi reabsorpsi cairan dari ruang ekstravaskular kedalam ruang intra vascular yang
berlangsung secara bertahap pada 48-72 jam berikutnya. Keadaan umum dan nafsu
makan membaik, gejala gastrointestinal mereda, status hemodinamik stabildan diuresis
menyusul kemudian. Jumlah lekosit mulai meningkat segera setelah penurunan suhu
tubuh akan tetapi pemulihan jumlah trombosit umumnya lebih lambat (Prasittisuk
C,2011).
Sindrom syok dengue merupakan syok hipovolemik yang terjadi pada DBD,
yang diakibatkan penigkatan permeabilitas kapier yang disertai perembesan plasma
(Bruce R,2010).
1. Syok terkompensasi
Sistem kardiovaskular mempertahankan sirkulasi melalui peningkatan isis
sekuncup, laju jantung dan vasokontriksi perifer. Sistem pernapasan melakukan
kompensasi berupa quite tachypnea. Pemberian cairan yang adekuat pada
umumnya akan memberikan prognosis baik. Bila keadaan kritis luput dari
pengalaman sehingga pengobatan tidak diberikan dengan cepat dan tepat, maka
pasien akan jatuh kedalam syok terdekompensasi.
2. Syok dekompensasi
Pada keadaan syok dekompensasi, upaya fisiologis untuk mempertahankan sistem
kardiovaskular telah gagal, pada keadaan ini tekanan sistolik dan diastolic telah
menurun, disebut syok hipotensif. Slah satu tanda perburukan klinis utama adalah
perubahan kondisi menta karena penurunan perfusi otak. Pasien menjadi gelisah,
bingung letargi.
I. Diagnosis laboratorium
1. Pemeriksaan darah
Leukopenia pada hari ke 2 dan ke 3 pada DD. Sedangkan pada DBD dijumpai
trombositopenia dan hemokonsentrasi yang terlihatbermakna pada fase kritis.
Demam disertai dengan dua atau lebih manifestasi klinik, ditambah bukti perembesan
plasma dan trombositopenia cukup untuk menegakkan diagnosis DBD.
Klinis :
Laboratorium:
Syok terkompensasi
Takikardia
Takipnea
Tekanan nadi ( perbedaanantara sistolik dan diastolic ) < 20 mmHg
Waktu pengisian kapiler > 2 detik
Kulit dingin
Produksi urin menurun, < 1 ml/kgBB/jam
Gelisah
Syok dekompensasi
Takikardia
Hipotensi ( sistolik dan diastolic turun)
Nadi cepat dan kecil
Pernapasan Kusmaull atau hiperpne
Sianosis
Kulit lembab dan dingin
Profound shock, nadi tidak teraba tekanan darah tidak terukur
Antipiretika
Diberikan Parasetamol 10-15 mg/kgbb/kali apabila suhu > 38°C dengan interval 4 – 6 jam. 1
Pemantauan
Selama perawatan pantau keadaan umum pasien, nafsu makan, muntah, perdarahan, dan
tanda peringatan.
Perfusi perifer, harus sering diulang untuk mendeteksi awal gejala syok.
Tanda-tanda vital seperti suhu, frekuensi nadi, frekuensi napas, dan tekanan darah harus
dilakukan setiap 2 – 4 jam sekali.
Pemeriksaan hematokrit awal dilakukan sebelum resusitasi atau pemberian cairan
intravena (sebagai data dasar), diupayakan dilakukan setiap 4 – 6 jam sekali.
Volume urin perlu ditampung minimal 8 – 12 jam.
Diupayakan jumlah urin ≥ 1.0 mL/kgBB/jam (berat badan diukur dari berat badan ideal).
Pada pasien dengan resiko tinggi, misalnya obesitas, bayi, ibu hamil, komorbid (diabetes
mellitus, hipertensi, thalassemia, sindrom nefrotik dll) diperlukan pemeriksaan
laboratorium atas indikasi.
Apabila diperlukan pemeriksaan radiologi untuk mendeteksi adanya efusi pleura,
pemeriksaan yang diminta adalah foto radiologi dada dengan posisi lateral kanan
decubitus (right lateral decubitus).
Periksa golongan darah.
Pemeriksaan lain atas indikasi, misalnya ultrasonografi abdomen, EKG dan lainnya.
DATA SUBJEKTIF
I. Identitas Pasien (No. RM 78605)
Nama : I Nyoman Winada
Umur : 54 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Hindu
Pendidikan : S1
Pekerjaan : PNS
Alamat : Br.Babahan Kawan, Ds.Babahan, Penebel
II. Anamnesis
Keluhan utama : Demam
Paru - Paru
• Inspeksi : Pergerakan dinding dada kanan dan kiri simetris
Retraksi (-)
• Palpasi : Vokal fremitus kanan dan kiri sama
• Perkusi : Perkusi perbandingan kanan dan kiri sonor - sonor
• Auskultasi : Bunyi napas dasar vesikuler
Ronki -/-, Wheezing -/-
Jantung
• Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
• Palpasi : Ictus cordis teraba di IC V lateral midclavicula sinistra
• Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
• Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
• Inspeksi : Perut tampak datar (lingkar perut = 63 cm)
• Auskultasi : Bising usus (+) 3 x/menit
• Palpasi : Supel, nyeri tekan + (regio epigastrica), hepatosplenomegali (-)
• Perkusi : Thympani, nyeri ketuk (-)
Hematokrit 43.8 % 35 – 55 %
IV. Diagnosa Kerja
DHF grade I
V. Diagnosa Banding
• Demam Dengue
• Demam Thyfoid
VI. Penatalaksanaan
- Rawat inap
- IVFD: RL 30 tpm
- Diet : TKTP
- Sanmol forte 3x650 mg
- Vitamin B complex 1x1
- ODR 4 mg (i.v) (k/p)
VIII. PROGNOSIS
Ad Vitam : Dubia ad bonam
Ad Fungsionam : Dubia ad bonam
Ad Sanationam : Dubia ad bonam
FOLLOW-UP PASIEN
Tanggal/Jam Subyektif Obyektif Assesment Rencana Terapi
KASUS TEORI
Denyut Nadi : 74 x/menit (reguler, kuat angkat, Manifestasi perdarahan baik yang
isi cukup) spontan seperti petekie, purpura,
Frekuensi Nafas : 18 x/menit (regular, retraksi -) ekimosis, epistaksis, perdarahan
Laboratorium
Laboratorium
Terdapat kebocoran plasma yang ditandai
Jenis Hasil dengan salah satu tanda/gejala:
Pemeriksaan o Peningkatan nilai hematocrit > 20%
Hemoglobin 14.9 g/dl dari pemeriksaan awal atau dari data
Hematokrit 43.8 % populasi menurut umur.
2. Prasittisuk C, Kalra NL, Dash AP et. al. Comprehensive Guidelines for Prevention and
Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. Revised and expanded ed. WHO.
2011. Pg 9, 25-7
3. Lum LC, Guzman MG, Martinez E, Tan LH, Hung NT. Handbook for Clinical
Management of Dengue. WHO. 2012. Pg 1, 23.
4. Lesser CF, Miller SI. Salmonellosis. Dalam: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser
SL, Jameson JL, Loscalzo J, penyunting Harrison’s principles of internal medicine. Edisi
ke-18. New York: McGraw-Hill: 2012.