KELOMPOK 1
1
BAB I
PENDAHULUAN
Filariasis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh tiga nematoda jaringan
yaitu: Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori, dan merupakan salah satu
penyakit parasit yang paling penting terjadi pada manusia. Sekitar 120 juta orang terinfeksi
dengan organisme ini di negara-negara tropis dan subtropis. Sekitar sepertiga dari mereka
menderita konsekuensi klinis dari infeksi, dan banyak yang mengalami perubahan penampilan
yang serius. W. bancrofti menyebabkan sekitar 90% dari episode filariasis limfatik. Dimana
vektor yang menularkan W. bancrofti adalah nyamuk Culex, Aedes, dan Anopheles. W. bancrofti
tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, termasuk subsaharan Afrika, Asia Tenggara, Pasifik
Barat, India, Amerika Selatan, dan Karibia. B. malayi ditularkan oleh nyamuk Mansonia dan
Anopheles dan endemik di beberapa bagian Cina, India, Asia Tenggara, dan Pasifik. B. timori
hanya ditemukan di kepulauan Indonesia tenggara.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
Pemeriksaan Fisik:
Pada axila dan daerah inguinal/lipatan paha teraba benjolan kecil, kenyal, nyeri pada
perabaan
Cor/Pulmo dalam batas normal
Abdomen lemas, Hepar/Lien tidak teraba, tidak ada ascites
Extermitas tampak udem ringan di tungkai bawah berupa pitting oedem
3
Sesi 2, Lembar 1: Kamis, 27 Januari 2011
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan:
Hb : 13 g/dL
Leukosit : 6, 500/ uL
LED : 25 mm/jam
Hitung jenis : 0/20/4/25/45/6
4
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
Untuk menentukan diagnosis yang tepat pada pasien kasus ini, dilakukan hal-hal sebagai
berikut: identifikasi pasien, identifikasi keluhan utama, anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang.
IDENTIFIKASI PASIEN
Identitas pasien adalah sebagai berikut:
Nama :-
Umur : 35 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani
Suku/bangsa/ras : -
Alamat : Desa di Irian Jaya
Dari identitas pasien, disimpulkan bahwa pasien mempunyai faktor risiko yang tinggi
untuk terkena penyakit infeksi. Pada umumnya, laki-laki lebih banyak terkena infeksi, karena
lebih banyak kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure). Selain itu gejala penyakit infeksi
lebih nyata pada laki-laki, karena pekerjaan fisik yang lebih berat.1 Pekerjaan pasien juga bisa
merupakan suatu faktor risiko terhadap penyakit tertentu, misalnya pekerja kehutanan yang
rentan rentan terhadap malaria dan pekerja tambang rentan terhadap askariasis. Pekerjaan pasien
yaitu petani juga merupakan faktor risiko terkenanya penyakit infeksi karena mudah terkena
pajanan oleh mikroorganisme. Penyakit infeksi yang sering dihubungkan dengan petani antara
lain adalah leptospirosis, schistosomiasis, dan filariasis. Tempat tinggal pasien yaitu Irian Jaya
merupakan propinsi yang endemis malaria, filariasis, sistiserkosis, dan berbagai penyakit tropik
infeksi lainya.
5
DEMAM
Keluhan demam merupakan gejala klinis umum adanya suatu infeksi. Maka dari itu semua
penyakit yang bisa menyebabkan demam bisa merupakan hipotesis penyakit pada pasien ini.
Dari keluhan demam, kami menarik hipotesis pada kasus ini yaitu penyakit infeksi yang
prevalensi cukup tinggi di Indonesia:
Filariasis
Malaria
Leptospirosis
Schistosomiasis: dapat disingkirkan karena cacing penyebab penyakit ini yaitu
Schistosoma japonicum (yang terdapat di Indonesia) hanya terdapat di danau Lindu
dan lembah Napu Sulawesi Tengah
Demam berdarah dengue
Demam typhoid
Mekanisme terjadinya demam pada penyakit-penyakit ini dijelaskan secara umum sebagai
berikut:
Patofisiologi demam:
Demam adalah peningkatan suhu tubuh melebihi nilai normal (36,5 – 37,2°C). Suhu
tubuh seseorang diatur oleh
thermosensitive neurons yang
berada di preoptik atau anterior
hipotalamus. Thermosensitive
neurons peka terhadap
perubahan suhu darah dan
rangsang dari reseptor panas
maupun dingin yang terletak di
kulit maupun otot. Rangsang
pada thermosensitive neurons
akan mempengaruhi termostat
tubuh, menimbulkan reaksi
(seperti vasokonstriksi atau
6
vasodilatasi, meningkat atau berkurangnya sekresi keringat, dan regulasi cairan ekstraseluler)
yang akan menimbulkan perubahan suhu. Normalnya, suhu tubuh seseorang berubah mengikuti
pola tertentu setiap hari, dimana suhu tubuh lebih rendah pada pagi hari dan lebih tinggi kira-kira
1°C pada siang/ sore hari. Perubahan suhu ini disebut circadian temperature rhythm atau diurnal
variation.2
Terjadinya demam, seperti pengaturan suhu normal, juga terjadi akibat rangsangan pada
thermosensitive neurons yang meningkatkan termostat tubuh. Termostat ditingkatkan sebagai
respons dari pirogen yang endogen. Pirogen endogen antara lain adalah sitokin IL-1 (interleukin-
1), IL-6, TNF-α (tumor necrosis factor-α), IFN-β (interferon-β), dan IFN-γ. Beberapa produk
lipid yang diproduksi oleh sel serta prostaglandin E2 (PGE2) juga merupakan pirogen endogen.
Adanya pirogen endogen dapat dihubungkan dengan infeksi, penyakit rematik, dan keganasan.2
Mikroba atau toksin yang dihasilkan oleh mikroba merupakan pirogen eksogen (dari luar
tubuh) yang dapat menyebabkan demam. Saat pirogen eksogen masuk ke dalam tubuh seseorang,
pirogen eksogen akan merangsang makrofag dan sel-sel lain untuk memproduksi pirogen
endogen. Pirogen endogen yang dihasilkan mempengaruhi endotel hipotalamus untuk
menghasilkan PGE2 dan metabolit asam arakhidonat yang lain. PGE2 dan asam arakhidonat
merangsang thermosensitive neurons sehingga terjadi peningkatan termostat tubuh. Cara tubuh
meningkatkan suhu tubuh antara lain dengan meningkatkan produksi panas melalui kontraksi
otot dan aktivitas metabolisme yang meningkat, dan dengan mengkonservasi panas dengan
vasokonstriksi perifer.2
Selain disebabkan oleh infeksi, demam juga bisa disebabkan oleh:
Vaksinasi
Kerusakan jaringan (infark, trauma, injeksi intramuscular, luka bakar)
Malignansi atau keganasan (leukemia, limfoma, hepatoma, tumor metastatik)
Obat-obatan (cocaine, amfoterisin B)
Penyakit autoimun (sistemik lupus eritematosus, reumatoid artritis)
Inflammasi (inflammatory bowel disease)
Kelainan sistem endokrin (tirotoksikosis, feokromositoma)
Kelainan metabolic (gout, uremia, hiperlipidemia tipe I)
Kelainan genetik (familial Mediterranean fever)
7
INFECTIOUS CAUSES
Tuberculosis
Histoplasmosis
Coccidioidomycosis
Blastomycosis
Dengue fever
Yellow fever
Chronic meningococcemia
Leptospirosis
Brucellosis
Visceral leishmaniasis
Malaria
8
Babesiosis
Epstein-Barr virus
NONINFECTIOUS CAUSES
Behçet disease
Crohn disease
Leukoclastic angiitis
Sweet syndrome
Cyclic neutropenia
Muckle-Wells syndrome
9
BENGKAK
Keluhan pada tungkai kanan atas yang dialami oleh pasien pada kasus ini kemungkinan
besar menunjukkan telah terjadinya edema. Selain itu bisa dicurigai bengkak pada tungkai akibat
trauma yang dialami oleh pasien. Edema sendiri menurut definisi adalah adanya cairan dalam
jumlah besar yang abnormal di ruang jaringan interselular tubuh; biasanya menunjukkan jumlah
yang nyata dalam jaringan subkutis.3
Distribusi edema merupakan pedoman penting untuk menunjukan penyebabnya. Edema
dapat terbatas/ setempat/ lokalisata, juga dapat bersifat sistemik/ menyeluruh/ generalisata.
Edema lokalisata biasa terjadi akibat obstruksi vena atau limfatik yang dapat disebabkan oleh
tromboflebitis, limfangitis kronik, reseksi kelenjar limfe regional, filariasis dan lain-lain. Selain
itu juga bisa disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vascular akibat kerusakan pada
endothelium kapiler oleh bahan-bahan kimia, infeksi bakteri, atau reaksi hipersensitivitas.
Meningkatnya permeabilitas kapiler menyebabkan perpindahan protein ke dalam kompartemen
interstitial sehingga cairan vascular “tertarik” ke dalam kompartemen interstitial tubuh.
Kerusakan pada endotel kapiler menyebabkan edema inflamasi yang biasanya non-pitting,
lokalisata, dan disertai tanda klasik inflamasi lain (kemerahan, panas, nyeri tekan). Edema pada
salah satu tungkai atau pada salah satu atau kedua lengan biasanya terjadi akibat obstruksi vena
dan/atau limfatik. Edema unilateral kadang-kadang terjadi akibat lesi sistem saraf sentral, dimana
keadaan paralisis akan mengurangi drainase limfatik serta vena sehingga timbul edema.4
Edema generalisata biasa disebabkan oleh dekompensation kordis, sindroma nefrotik,
atau sirosis hati. Pada dekompensatio cordis terdapat peningkatan tekanan darah vena yang
menganggu aliran cairan dari ruang interstitiel kembali ke sistem vaskular pada ujung vena
kapiler. Selain itu, penurunan curah jantung pada dekompensatio cordis menyebabkan penurunan
volume darah sehingga ginjal akan merentensi cairan sebagai mekanisme kompensasi. Pada
sindroma nefrotik dan sirosis hati, edema terjadi karena berkurangnya tekanan onkotik koloid
yang berperan menyebabkan gerakan cairan dari ruang interstitiel ke dalam sistem vaskular.
Pada sindroma nefrotik tekanan onkotik koloid berkurang karena kehilangan protein plasma
secara masif melalui urin, sedangkan pada sirosis hati terjadi karena hati gagal mengsintesis
protein plasma. Keadaan lain yang menyebabkan hipoalbuminemia seperti malnutrisi berat juga
dapat menyebabkan edema generalisata.4 Pada sebagian besar keadaan, edema terjadi pada
kompartemen cairan ekstrasel, tapi dapat juga melibatkan kompartemen cairan intrasel.3
10
Edema Intrasel. Kondisi yang memudahkan terjadinya edema intrasel yaitu depresi
sistem metabolisme jaringan dan tidak adanya nutrisi sel yang adekuat sehingga menyababkan
ion natrium tidak dapat dipompa keluar sel dan menimbulkan osmosis air ke dalam sel. Edema
intrasel juga dapat terjadi pada jaringan yang meradang. Peradangan biasanya mempunyai efek
langsung pada membran sel yaitu meningkatnya permeabilitas membran dan memungkinkan
natrium dan ion-ion lain berdifusi masuk ke dalam sel, dan seperti yang terjadi pada dua kondisi
sebelumnya, keadaan ini akan diikuti dengan osmosis air ke dalam sel sehingga terjadilah
edema.3
Edema Ekstrasel. Edema ekstrasel terjadi apabila ada akumulasi cairan yang berlebihan
dalam ruang ekstrasel. Ada dua penyebab edema ekstrasel yang umum dijumpai, yaitu
kebocoran abnormal cairan dari plasma ke ruang interstitial dengan melintasi kapiler dan
kegagalan sistem limfatik untuk mengembalikan cairan dari interstitium ke dalam darah.
Penyebab klinis akumulasi cairan interstitial yang paling sering adalah filtrasi cairan kapiler yang
berlebihan karena tekanan hidrostatik kapiler yang meningkat atau karena tekanan onkotik
koloid yang berkurang.3
11
Keluhan utama pasien ini ialah edema lokalisata (yaitu hanya pada tungkai kanan atas)
maka pada pasien ini disimpulkan bahwa bengkak terjadi akibat obstruksi pada vena atau saluran
limfe di daerah tungkai. Selain itu bisa juga disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular.
Untuk dapat menentukan penyebab edema perlu dilakukan pemeriksaan fisik untuk memastikan
bahwa edema hanya setempat dan tidak terdapat di tempat lain (generalisata) dan juga untuk
menyingkirkan penyebab edema yang lain seperti kelainan pada jantung, ginjal, maupun hepar.
12
ANAMNESIS (keluhan utama)
- Sejak kapan timbul demam? Anamnesa ini digunakan untuk mengetahui sifat demam yang
akut atau kronis. Juga untuk memperkirakan perkembangan penyakit yang diderita pasien.
Apabila diduga malaria, bisa digunakan untuk menentukan masa prapaten dari parasit malaria
tersebut. Agar dapat ditentukan waktu yang tepat untuk mengadakan pemeriksaan SADT,
karena pemeriksaan SADT pada malaria harus dilakukan saat pasien tersebut demam.
- Bagaimana sifat demam? Demam terjadi pada siang atau malam hari? Demam terjadi
selama berapa hari? Sifat demam ditanyakan untuk mengetahui jenis demam yang diderita
oleh pasien. Secara klinis, demam dibagi berdasarkan sifatnya menjadi:
Demam septik : pada demam septik, suhu tubuh berangsur naik ke tingkat yang tinggi
sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat yang normal pada pagi hari.
Demam septik sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat. Perbedaan suhu lebih
besar dari dua derajat.
Demam hektik : pada demam hektik, suhu tubuh berangsur naik ke tingkat yang tinggi
sekali kemudian turun ke tingkat yang normal. Perbedaan suhu lebih besar dari dua
derajat.
Demam remiten : pada demam remiten, suhu badan naik turun tetapi tidak pernah
mencapai nilai normal. Perbedaan suhu kurang dari dua derajat.
Demam intermiten : pada demam intermiten, suhu badan naik turun mencapai nilai
yang normal, dengan perbedaan suhu lebih dari 0,5 derajat.
Demam tersiana : demam intermiten yang terjadi setiap dua kali sehari. Disebabkan
oleh malaria akibat Plasmodium vivax.
Demam kuartana : pada demam kuartana, terjadi dua hari bebas demam di antara dua
serangan demam intermiten. Disebabkan oleh malaria akibat Plasmodium malariae.
Demam kontinyu : pada demam kontinyu, variasi suhu sepanjang hari tidak melebihi
satu derajat.
Hiperpireksia : demam yang terus menerus tinggi sampai 41,2°C atau lebih.
Demam siklik : pada demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari
yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh
kenaikan suhu seperti semula.5
13
Sifat demam pada pasien dapat mengarahkan pada penyakit tertentu. Sifat demam pada
malaria adalah demam hektik atau demam intermitten, dimana plasmodium vivax
menyebabkan demam tersiana dan plasmodium ovale menyebabkan demam kuartana.
Sedangkan sifat demam pada demam berdarah dengue adalah demam septik yang remitten
dengan pola bifasik. Untuk demam typhoid, sifat demam adalah demam kontinu, dan kadang
ditemukan pola demam seperti anak tangga. Pada filariasis, didapatkan sifat demam yang
hilang timbul dan terjadi pada malam hari.
- Apakah ada keluhan yang menyertai demam? Keluhan yang menyertai demam juga dapat
mengarahkan kepada suatu penyakit tertentu. Pada malaria akan terdapat trias malaria yaitu
demam disertai menggigil dan berkeringat. Pada demam berdarah tifoid demam sering
disertai oleh tanda-tanda perdarahan pada kulit seperti petekiae. Pada tifoid terdapat five
cardinal signs yaitu demam, bradikardi relatif, organomegali, coated tounge, dan roseola.
Pada filariasis terdapat demam yang disertai pembengkakan kelenjar getah bening. Pada
leptospirosis yang berat terdapat demam yang disertai dengan ikterus.
- Pengobatan apa saja yang sudah dijalani? Anamnesa ini dimaksudkan untuk mencurigai
penyebab demam yang dialami pasien. Apakah demam tersebut terjadi karena konsumsi obat-
obatan. Bisa juga penurunan demam pada pasien disebabkan karena pasien mengkonsumsi
obat antipiretik.
- Apakah ada gatal, eritema atau papul di daerah bengkak? Reaksi reaksi semacam ini
salah satunya untuk menunjukan adanya gejala alergi maupun autoimun yang terjadi di dalam
tubuh pasien. Keadaan ini juga biasa timbul pada filariasis, dimana bengkak disertai dengan
eritema, papul, bahkan ulkus.1
- Sejak kapan timbul bengkak?
- Apakah pernah mengalami trauma pada derah pembengkakan? Anamnesa trauma disini
dimaksudkan untuk membantu diagnosa pembesaran ekstremitas yang dialami oleh pasien
tersebut. Apakah pembesaran itu karena memar atau hematom. Atau terjadi reaksi inflamasi
karena fraktur tulang yang mengakibatkan pembengkakan. Atau adanya hal lain diluar itu.
- Apakah ada bengkak di tempat lain?
14
IDENTIFIKASI KELUHAN TAMBAHAN
Selain demam dan bengkak pada tungkai kanan atas, terdapat keluhan tambahan yaitu:
1. Bengkak di daerah lipat paha dan ketiak : Ini menunjukan adanya pembengkakan pada
kelenjar getah bening, yang disebut limfadenitis. Pembengkakan merupakan salah satu tanda
klasik reaksi inflammasi. Bengkak yang disertai dengan limfadenitis didapatkan pada
filariasis.1
2. Nyeri : Rasa nyeri pada pasien ini menandakan adanya peradangan akut, dimana lima tanda
radang akut adalah rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (nyeri), tumor (bengkak), dan
fungsiolaesa (hilangnya fungsi).
3. Batuk dan sesak nafas malam hari dengan mengeluarkan dahak kental : Keluhan batuk
dan sesak nafas menandakan adanya iritasi pada paru-paru. Kemungkinan terjadi
bronkokonstriksi dan juga hipersekresi di saluran pernafasan yang menyebabkan sesak nafas
disertai dengan pengeluaran dahak yang kental. Pada filariasis, batuk dan sesak nafas dengan
dahak yang kental dan mukopurulen dapat terjadi pada occult filariasis atau tropical
pulmonary eosinophilia. Gejala klinis tersebut timbul akibat mikrofilaria yang tersumbat di
kapiler alat-alat dalam yaitu paru. Gejala klinis juga timbul akibat penghancuran mikrofilaria
dalam jumlah yang besar oleh sistem imun penderita.1 Penghancuran mikrofilaria oleh sistem
imun melibatkan degranulasi dari eosinofil dan sel mast sehingga dikeluarkan mediator-
mediator antara lain yaitu protease, prostaglandin, leukotriene, histamin, dan juga sitokin-
sitokin. Leukotriene menyebabkan kontraksi dari pada otot polos sehingga terjadi
bronkokonstriksi. Sedangkan histamin meningkatkan sekresi dari mukus oleh mukosa saluran
pernafasan. Selain itu, prostaglandin juga bisa mempengaruhi pengaturan suhu oleh
hipotalamus sehingga timbul demam.6
- Demam terjadi terutama pada malam hari: suhu tubuh yang meninggi terutama pada
malam hari ditemukan pada filariasis.1
- Demam disertai bengkak di daerah lipat paha dan ketiaknya (lihat pembahasan
sebelumnya)
- Demam sering dirasakan setelah bekerja berat di sawah: gejala-gejala penyakit
umumnya lebih nyata setelah melakukan pekerjaan fisik yang lebih berat.1
15
- Demam dan bengkak disertai rasa nyeri (lihat pembahasan sebelumnya)
- Demam, bengkak, dan nyeri dirasakan selama 3-5 hari
- Serangan (demam, bengkak, dan nyeri) hilang timbul dan dapat terjadi beberapa kali
dalam setahun: berdasarkan serangan demam yang hilang timbul maka dapat disingkirikan
demam berdarah dengue, demam tifoid, dan leptospirosis dari hipotesis. Ini karena selama
periode infeksi, demam berdarah dengue, demam tifoid, dan leptospirosis selalu disertai oleh
demam (demam tidak hilang timbul). Demam berdarah dengue merupakan demam tipe
septik remitten, sedangkan demam tifoid dan demam pada leptospirosis merupakan demam
tipe kontinu. Hipotesis yang masi mungkin pada kasus ini adalah filariasis dan malaria, dua
penyakit infeksi yang endemis di Irian Jaya.
- Pada saat serangan pasien tidak dapat bekerja: Pasien tidak dapat bekerja kemungkinan
karena fungsiolaesa pada tungkainya yang mengalami bengkak. Fungsiolaesa merupakan
salah satu tanda klasik dari inflamasi/ peradangan akut.
- Pasien sering minum obat demam dan penghilang rasa nyeri
- Pasien juga pernah batuk dan sesak nafas (lihat pembahasan sebelumnya)
- Batuk dan sesak nafas terjadi malam hari dengan mengeluarkan dahak kental (lihat
pembahasan sebelumnya)
ANAMNESIS (tambahan)
Dari anamnesis sebelumnya dan hasil anamnesis yang telah didapatkan, didapatkan dua
hipotesis pada kasus ini yaitu filariasis dan malaria. Untuk dapat menegakan diagnosis maka
diperlukan anamnesis tambahan, yang perlu ditanyakan pada pasien ini adalah sebagai berikut:
16
PEMERIKSAAN FISIK
Dengan kecurigaan akan adanya filariasis atau malaria pada pasien ini, maka
direncanakan pemeriksaan fisik pada pasien. Yang peling penting adalah mencari ke lima tanda
radang pada pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik yang direncanakan untuk pasien adalah
sebagai berikut:
I. Status Generalis
17
- Pemeriksaan ekstremitas: dilakukan sesuai dengan keluhan utama pasien yaitu
bengkak pada tungkai kanan atas. Ini bisa membantu menentukan etiologi dari bengkak.
II. Status lokalis : dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh pada tungkai kanan pasien.
Pertama dilihat dari kulit pasien apakah terdapat atrofi, eritema, papul, ulkus, atau luka.
Dinilai juga apakah ada keterlibatan dari sendi seperti pembengkakan pada sendi atau
gangguan pergerakan. Selain itu juga untuk mengetahui apakah bengkak/edema bersifat
pitting atau non-pitting.7
18
demam berdarah. Selain itu tidak ada ascites menunjukan bahwa edema pada
tungkai bersifat lokalisata dan menyingkirkan kemungkinan adanya edema
generalisata yang bisa terjadi akibat gagal jantung, sindroma nefrotik, atau sirosis
hati.
- Status lokalis (tungkai kanan): tampak oedem ringan di tungkai bawah berupa
pitting oedem
→ pitting oedem merupakan suatu edema dimana kulit akan mencekung bila ditekan.
Edema yang berisifat pitting menandakan bahwa pembengkakan di tungkai pasien
ini bukan elephantiasis (sering ditemukan pada filariasis), karena pada elephantiasis
terdapat non-pitting oedem yang disertai perubahan sklerotik dari kulit.1 Edema
yang pitting juga menandakan bahwa edema bukanlah edema inflamasi yang
disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas vaskular.4
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakan diagnosis adalah:
- Pemeriksaan darah lengkap: Pada penyakit infeksi sering ditemukan LED yang cukup
tinggi. Pada malaria biasa didapatkan anemia karena plasmodium/ parasit malaria
menyerang eritrosit. Pada stadium akut dari filariasis sering ditemukan eosinofilia, akibat
reaksi sistem imun penderita terhadap cacing yang dianggap sebagai antigen.1
- Pemerikasaan sediaan apus darah tepi: Pemeriksaan ini sangat berguna untuk
menegakan diagnosis pada kasus ini. Diagnosis pada malaria dapat ditegakan dengan
menemukan parasit malaria/ plasmodium di dalam eritrosit pada sediaan pulasan Giemsa.
Pada penyakit malaria, darah diambil pada saat penderita sedang demam karena pada saat
demam itulah trofozoit dari plasmodium berada di dalam sirkulasi darah dan tidak
bersembunyi di dalam eritrosit. Diagnosis pada filariasis juga ditegakan dengan
19
menemukan mikrofilaria pada darah tepi dengan sediaan apus darah tepi. Untuk
menemukan mikrofilaria, pengambilan darah dilakukan pada malam hari setelah pukul
20:00 karena mikrofilaria dari nematode jaringan penyebab filariasis mempunyai
periodisitas nokturna (terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam dan terdapat di
kapiler alat dalam pada siang hari).1
- Pemeriksaan USG pada kelenjar getah bening inguinal: Pada filariasis yang
disebabkan oleh Wuchereria bancrofti (filariasis bankrofti), pemeriksaan USG pada
kelenjar limfe inguinal akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak atau
filarial dance sign. Pemeriksaan USG tidak dapat digunakan untuk infeksi filarial oleh
Brugia malayi atau Brugia timori (filariasis brugia).1
Hasil pemeriksaan laboratorium yang didapatkan untuk pasien ini adalah sebagai berikut:
I. Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan Nilai normal 8 Hasil I Interpretasi
Hb 13,5 - 18 gr/dl 13g/dl (↓) Anemia ringan → bisa dicurigai malaria pada pasien
Leukosit 5,000-10,000/μl 6,500/μl (N) -
Eosinofilia → kondisi ini biasa didapatkan pada
alergi (asma bronchial, urtikaria, rhinitis,
hipersensitivitas); infeksi oleh parasit seperti pada
Basofil: 0-1 0 (N)
amoebiasis atau infeksi oleh cacing; atau kelainan
Eosinofil: 1-3 20 (↑)
kulit psoriasis, pemfigus, atau dermatitis
N.batang: 1-6 4 (N)
Hitung jenis Neutropenia → kondisi ini biasa didapatkan pada
N.segmen: 40-60 25 (↓)
infeksi bakteri (tifoid, paratifoid, brucellosis);
Limfosit: 20-45 45 (N)
infeksi virus (dengue, influenza); keracunan obat
Monosit: 1-8 6 (N)
seperti kloramfenikol; keracunan bahan kimia
seperti benzene; atau pada kelainan darah (anemia
aplastik, anemia pernisiosa, hipersplenisme)
Wintrobe: 0-5
mm/jam 25 mm/jam LED yang meningkat melebihi batas normal
LED
Westergren: 0-15 (↑) menunjukan bahwa pasien menderita infeksi
mm/jam
20
Eosinofilia yang didapatkan pada pasien ini disebabkan oleh respons imun terhadap
infeksi cacing, yaitu filariasis, yang diperankan oleh Th2, IgE, eosinofil, serta sel mast. Eosinofil
meningkat dalam darah sebagai respons imun untuk melindungi penderita dari cacing yang
dianggap antigen bagi tubuh. Cacing terlalu besar untuk difagositosis oleh makrofag, selain itu,
cacing mempunyai lapisan luar (integument) yang resisten terhadap aktivitas mikrobisidal
makrofag dan netrofil. Respons imun terhadap cacing sebagian besar diperankan oleh Th 2 yang
melepaskan IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 merangsang produksi IgE yang akan
mengopsinisasi cacing, sedangkan IL-5 mengaktifkan eosinofil. Eosinofil mengekspresikan Fc
reseptor yang spesifik dan mempunyai affinitas yang tinggi terhadap IgE (FcεRI) sehingga akan
berikatan dengan IgE yang ada di permukaan cacing. Ikatan eosinofil dengan IgE mengaktivasi
eosinofil untuk mengeluarkan granulanya, mengandung protein yang toksik bagi cacing.
Kebanyakan sel mast juga mengekspresikan FcεRI yang akan berikatan dengan IgE pada
permukaan cacing. Setelah berikatan dengan IgE maka sel mast akan mengalami degranulasi
mengeluarkan granulanya yang mengandung amin vasoaktif, protease, sitokin seperti TNF, dan
mediator lipid (prostaglandin dan leukotriene). Mediator dari sel mast yang telah dikeluarkan
akan menginduksi inflamasi lokal untuk menyingkirkan cacing (juga berperan pada beberapa
ektoparasit lainya).6
21
DIAGNOSIS PASTI : filariasis et causa Wuchereria bancrofti
Diagnosis pasti ditegakan berdasarkan ditemukanya mikrofilaria Wuchereria bancrofti
pada pemeriksaan sediaan apus darah tepi. Ini tidak menutup kemungkinan bahwa pasien
menderita malaria karena malaria merupakan penyakit yang endemis di Irian Jaya, selain itu
terdapat anemia ringan pada pasien ini. Namun, untuk memastikan diagnosis malaria perlu dikaji
lagi gejala klinis pasien (dari anamnesis dan pemeriksaan fisik) dan pemeriksaan sediaan apus
darah tepi pada pasien ini. Selain malaria, filariasis et causa Brugia malayi atau Brugia timori
juga bisa dimasukan sebagai diagnosis banding karena mempunyai gejala klinis yang sama.
Perbedaanya ialah filariasis brugia tidak menyerang alat-alat kelamin.1
PRINSIP PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada pasien ini ditujukan untuk mengeliminasi cacing Wuchereria
bancrofti, memperbaiki keadaan umum pasien, dan mencegah perkembangan penyakit serta
reinfeksi oleh cacing tersebut.
1. Medikamentosa
- DEC (dietil karbamasin sitrat) 6 mg/kg BB/hari selama 12 hari diberikan dalam
tiga kali pemberian sesudah makan: DEC digunakan untuk membunuh mikrofilaria
dan cacing dewasa. Karena DEC menimbulkan efek samping yang cukup berat
akibat reaksi sistem imun terhadap mikrofilaria/ cacing yang sudah mati maka dosis
dapat diberikan secara bertahap selama 4 hari pertama.1
- Ivermektin dosis tunggal 400 mg/kg BB sebagai obat tunggal setiap 6 bulan sekali
atau kombinasi dengan DEC setiap setahun sekali: obat ini merupakan antibiotik dari
golongan makrolid yang hanya membunuh mikrofilaria. Keuntunganya ialah
memberikan efek samping yang lebih ringan dibanding DEC.1
- Doksisiklin 100-200 mg/kg BB selama 4-6 minggu: Doksisiklin merupakan
antibiotik golongan makrolid, digunakan untuk membunuh Wolbachia dalam parasit
filaria yang berperan pada perkembangan, reproduksi, dan kelangsungan hidup
parasit filaria di dalam tubuh penderita.1
- Paracetamol dan asam mefenamat: diberikan sebagai terapi simptomatik untuk
mengatasi demam dan nyeri pada pasien.
2. Non-medikamentosa
22
- Istirahat
- Edukasi: memberitahu kepada pasien mengenai efek samping yang ditimbulkan dari
penggunaan obat. Seperti DEC yang menimbulkan efek lokal maupun sistemik
sementara. Pasien diingatkan bahwa hal tersebut merupakan kewajaran (selama
dalam batas wajar), sehingga pasien tidak menghentikan penggunaan obat yang dapat
berefek kegagalan dalam proses penyembuhan.
- Membersihkan kaki dengan air dan sabun: dilakukan untuk mencegah infeksi
sekunder oleh bakteri dan jamur, dan untuk mencegah perkembangan lanjut dari
limfedema menjadi elephantiasis.1
- Menghindari gigitan nyamuk dengan menggunakan lotion anti-nyamuk atau
dengan tidur dengan kelambu.1
- Menggunakan insektisida untuk pemberantasan vektor nyamuk pada daerah yang
endemis.
PROGNOSIS
Ad vitam: bonam
Filariasis jarang menimbulkan kematian.
Ad fungsionam: dubia ad malam
Limfedema pada pasien ini mengganggu fungsi dari tungkai yang terkena.
Ad sanationam: dubia ad malam
Reinfeksi dapat terjadi karena pasien tinggal di propinsi yang endemis untuk filariasis.
23
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
A. FILARIASIS
Definisi
Filariasis adalah penyakit zoonosis menular yang banyak ditemukan di wilayah tropika
seluruh dunia. Penyebabnya adalah infeksi oleh sekelompok cacing nematoda parasit yang
tergabung dalam superfamilia Filarioidea. Gejala yang umum terlihat adalah terjadinya
elefantiasis, berupa membesarnya tungkai bawah dan skrotum, sehingga penyakit ini secara
awam dikenal sebagai penyakit kaki gajah. Walaupun demikian, gejala pembesaran ini tidak
selalu disebabkan oleh filariasis.
Etiologi
Filariasis disebabkan karena infeksi oleh sekelompok cacing nematoda yang termasuk
superfamilial Filariodea. Jenis cacing ini adalah Wuchereria bancrofti, Brugia Malayi, dan
Brugia Timori. Masa inkubasi penyakit ini cukup lama lebih kurang 1 tahun, sedangkan
penularan penyakit terjadi melalui vektor nyamuk sebagai hospes perantara, dan manusia atau
hewan kera dan anjing sebagai hospes definitif. Periodositas beradanya mikrofilaria dalam darah
tepi tergantung pada spesies. Periodositas tersebut menunjukkan adanya filaria di dalam darah
tepi sehingga mudah dideteksi.9
24
Di daerah perkotaan, parasit ini ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus.
Di pedesaan, vektornya berupa nyamuk Anopheles atau nyamuk Aedes.1
Daur hidup microfilaria ini adalah mula-mula mikrofilaria yang terisap oleh
nyamuk, melapaskan sarungnya dalam lambung, menembus dinding lambung dan
bersarang di daerah toraks. Bentuknya mengalami pemendekan seperti sosis dan disebut
larva stadium I. Kurang lebih satu minggu, larva bertukar kulit dan tumbuh menjadi lebih
gemuk dan panjang, disebut larva stadium II. Pada hari kesepuluh dan selanjutnya, larva
bertukar kulit dan lagi dan tumbuh makin panjang dan makin kurus, disebut larva stadium
III. Bentuk larva stadium III bermigrasi mula- mula ke abdomen kemudian ke kepala lalu
ke alat tusuk hisap nyamuk. Bila nyamuk menggigit manusia, maka larva tersebut secara
aktif masuk ke dalam tubuh hospes dan bersarang di saluran limfe setempat lalu
mengalami pergantian kulit dan tumbuh menjadi larva stadium IV kemudian stadium V
atau cacing dewasa. 1
26
perkembangan larva seperti pada parasit W. bancrofti. Begitu juga dengan perkembangan
parasit ini pada manusia, sama dengan parasit W. bancrofti.1
Gejala klinis filariasis malayi sama seperti filariasis timori namun berbeda dengan
filariasis bankrofti. Stadium akut ditandai dengan serangan demam dan peradangan
saluran dan kelenjar limfe, yang hilang timbul berulang kali. Limfadenitis biasanya
mengenai kelenjar limfe inguinal di satu sisi dan peradangan sering tombul setelah
panderita bekerja berat di lading atau sawah. Limfadenitis biasanya berlangsung 2-5 hari
dan dapat sembuh tanpa pengobatan.Kadang peradangan pada kelenjar limfe menjalar ke
bawah mengenai saluran limfe dan menimbulkan limfangitis retrograd yang dapat terlihat
sebagai garis merah yang menjalar ke bawah dan peradangan ini dapat pula menjalar ke
jaringan sekitarnya. Pada stadium ini tungkai bawah biasanya membenkak dan
menimbulkan gejala limfedema. Limfadenitis dapat pula berkembang menjadi bisul,
pecah menjadi ulkus yang meninggalkan bekas sebagai jaringan parut. Limfadenitis
beserta komplikasina dapat berlangsung beberapa minggu sampai tiga bulan. Pada
filariasis brugia, sistem limfe alat kelamin tidak pernah terkena.1
Limfedema biasanya hilang lagi setelah gejala peradangan menyembuh, tetapi
dengan serangan yang berulang kali, lambat laun pembengkakan di tungkai tidak
menghilang setelah gejala peradangan sembuh sehingga timbul elefantiasis. Selain
kelenjar limfe inguinal, kelenjar limfe di bagian medial tungkai, di ketiak, dan di bagian
medial lengan juga sering terkena. Chyluria bukan merupakan gejala klinis filariasis
brugia.1
(
g
b
r
27
Diagnosis
1. Diagnosis parasitologi
Deteksi parasit dengan menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau
cairan chyluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik konsentrasi Knott,
membran filtrasi. Pengambilan darah harus dilakukan pada malam hari (pukul 22.00)
mengingat periodositas mikrofilaria umumnya nokturna.
Teknik biologi molekuler dapat digunakan untuk mendeteksi parasit melalui DNA parasit
dengan menggunakan PCR (Polymerase Chain Reaction). 1
2. Radiologis
USG akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak (filarial dance sign) ,
berguna untuk evaluasi hasil pengobatan. Pemeriksaan ini hanya dapat digunakan untuk
infeksi filaria oleh W. banccrofti.
Limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai dengan zat
radioaktif menunjukkan adanya abnormalitas sistem limfatik sekalipun pada penderita
yang asimtomatik mikrofilaremia. 1
3. Diagnosis Imunologi
Deteksi dengan Immunochromatoghraphic test (ICT) yang menggunakan antibody
monoklonal, hasil positif menunjukkan adanya infeksi aktif walaupun mikrofilaria tidak
ditemukan dalam darah. 1
Pencegahan
Pencegahan massal baru-baru ini dikenal dengan pengobatan dosis tunggal , sekali per
tahun, 2 regimen obat (Albendazol 400 mg dan Ivermectin 200 mg/KgBB) cukup efektif. Hal ini
merupakan pendekatan alternatif dalam menurunkan jumlah mikrofilatia dalam populasi.9
Pencegahan individu, kontak dengan nyamuk dapat dikurangi dengan penggunaan obat
oles anti nyamuk, kelambu, atau insektisida.9
Penatalaksanaan
Perawatan umum dapat dilakukan dengan :
Istirahat di tempat tidur, atau pindah tempat ke daerah yang lebih dingin untuk mengurangi
derajat serangan akut.
28
Antibiotik dapat diberikan untuk infeksi sekunder dan abses.
Pengikatan di daerah pembendungan akan mengurangi edema.
Prognosis
Pada kasus-kasus dini dan sedang, prognosis baik terutama bila pasien pindah dari daerah
endemik. Pengawasan daerah endemik dapat dilakukan dengan pemberian obat dan
pemberantasan vektor. Pada kasus-kasus lanjut terutama dengan edema tungkai, prognosis lebih
buruk.2
29
B. MALARIA
Definisi
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang
menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam darah.
Etiologi
Penyebab infeksi malaria adalah plasmodium yang termasuk genus plasmodium dari
famili plasmodiae.
Plasmodium ini pada manusia menginfeksi eritrosit dan mengalami pembiakan di
jaringan hati dan di eritrosit. Pembiakan seksual terjadi di tubuh nyamuk yaitu anopheles betina.
Plasmodium yang sering dijumpai di Indonesia adalah plasmodium vivax yang
menyebabkan malaria tertiana, dan plasmodium falciparum yang menyebabkan malaria tropika.
Plasmodium malariae pernah juga dijumpai tetapi sangat jarang. Plasmodium ovale pernah
dilaporkan dijumpai di Irian Jaya, pulau Timor, pulau Owi.10
Patofisiologi
30
pada eritrosit lainnya yang menyebabkan eritrosit menjadi rusak, pecah, dan mengeluarkan
merozoit baru. Pada saat inilah dikeluarkan racun dari dalam tubuh manusia sehingga
menyebabkan tubuh manusia menjadi demam. Merozoit ini dapat juga membentuk gametosit
apabila terisap oleh nyamuk (pada saat menggigit) sehingga siklusnya akan terulang lagi
dalam tubuh nyamuk, demikian seterusnya.10
Setelah melalui jaringan hati P.falcifarum melepaskan 18-24 merozoit kedalam sirkulasi.
Merozoit yang dilepaskan akan masuk ke dalam sel RES di limpa dan mengalami fagositosis
serta filtrasi. Merozoit yang lepas dari fagosit serta filtrasi. Merozoit yang lepas dari filtrasi serta
fagositosis dari limpa akan menginvasi eritrosit. selanjutnya parasit berkembang biak secara
aseksual dalam eritrosit. Bentuk aseksual parasit dalam eritosit (EP) inilah yang bertanggung
jawab dalam patogenesa terjadinya malaria pada manusia. Patogenesa yang banyak di teliti
adalah patogenesa malaria yang disebabkan oleh malaria P.falcifarum.
Patogenesis malaria falcifarum di pengaruhi oleh factor parasit dan factor penjamu (host).
Yang termaksud dalam factor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit dan virulensi
parasit. Sedangkan yang dimaksud dengan factor penjamu adalah tingkat endemisitas daerah
tempat tinggal, genetic, usia, status nutrisi dan status immunologi. EP secara garis besar
mengalami 2 stadium, yaitu stadium cincin pada 24 jam I dan stadium matur pada 24 II.
Permukaan stadium cincin akan memampilkan antigen RESA (Ring-erythrocyte surgace
antigen) yang menghilang setelah parasit masuk stadium matur. Permukaan membrane EP
stadium matur akan mengalami penonjolan dan membentuk knob dengan histidin rich-protein-1
(HRP-1) sebagai komponen utamanya. Selanjutnya bila EP tersebut mengalami merogoni, akan
dilepaskan toxin malaria berupa GPI yaitu glikosilfosfatidilinasitol yang merangsang pelepasan
TNF-α dan interleukin-1 (IL-1) dari makrofag.10
Gambaran Klinis
Gejala klasik yaitu terjadinya Trias Malaria : periode dingin (15-60 menit) mulai
menggigil, periode panas : wajah merah, nadi cepat, panas badan tetap tinggi, periode
berkeringat : penderita berkeringat banyak dan panas menurun, penderita merasa sehat.
Anemia merupakan gejala yang sering dijumpaipada infeksi malaria. Bberapa mekanisme
terjadniya anemia adalah pengrusakan eritrosit oleh parasit, hambatan eritropoesis sementara,
31
hemolisis oleh karena complement mediated immune complex, eritrofsgositosis, penghambatan
pengeluaran retikulosit, dan pengaruh sitokin. Splenomegali sering dijumpai pada penderita.10
Diagnosis
Pemeriksaan mikroskopis darah tepi untuk menemukan parasit malaria.
Tes Serologi untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap malaria. Metode tes
serologi antara lain: Indirect haemagglutination test, immuno-precipitation techniques,
ELISA, radio-immunoassay.
Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction) dianggap sangat peka, cepat, sensitivitas
dan spesifitasnya tinggi.
Penatalaksanaan
Secara global, WHO telah menetapkan dipakainya pengobatan malaria dengan memakai
obat ACT (Artemisinin base Combination Therapy). Golongan Artemisinin (ART) telah dipilih
sebagai obat utama karena efektif dalam mengatasiplasmodium yang resistendengan pengobatan.
Selain itu, Artemisinin juga bekerja membunuh plasmodium dalam semua stadium termasuk
gametosit juga efektif terhadap semua spesies.10
32
BAB V
KESIMPULAN
Pada kasus kali ini didapatkan pasien seorang laki-laki berusia 35 tahun yang datang
dengan keluhan utama demam dan bengkak di tungkai kanan atas. Dari demam dapat ditarik
beberapa hipotesis yaitu filariasis, malaria, leptospirosis, schistosomiasis, demam berdarah
dengue, dan demam tifoid. Sedangkan untuk bengkak di tungkai diduga merupakan edema, atau
akibat dari trauma yang mungkin pernah dialami pasien. Dengan anamnesis tambahan
didapatkan keluhan tambahan yaitu demam sering disertai oleh bengkak pada daerah axilla dan
inguinal, juga disertai oleh rasa nyeri. Sifat demam, dijelaskan oleh pasien, hilang timbul dan
terutama terjadi pada malam hari setelah bekerja keras di sawah. Dari sifat demam yang hilang
timbul maka leptospirosis, demam berdarah dengue, dan demam tifoid dapat disingkirkan dari
hipotesis karena penyakit ini disertai oleh demam yang tidak hilang-timbul. Selain itu, pasien
juga mengeluhkan adanya batuk dan sesak nafas pada malam hari dengan mengeluarkan dahak
yang kental. Dicurigai karena adanya gangguan pada paru-paru, yang bisa didapatkan pada
occult filariasis. Dari hasil anamnesis juga diketahui bahwa pasien tinggal di sebuah desa di Irian
Jaya, maka schistosomiasis dapat disingkirkan dari hipotesis sebab cacing penyebab yang
ditemukan di Indonesia yaitu Schistosoma japonicum hanya ditemukan di Sulawesi.
Pemeriksaan fisik dilakukan dimana dapat ditemukan pembesaran kelenjar getah bening
yang kenyal dan nyeri pada perabaan (yaitu disebabkan oleh suatu infeksi bukan suatu
keganasan) dan edema ringan pada tungkai yang pitting terlokalisasi yang kemungkinan terjadi
karena obstruksi vena atau pembuluh limfe. Edema yang pitting menunjukan bahwa belum
terjadi elephantiasis dan edema bukan disebabkan oleh permeabilitas vaskular yang meningkat
(edema inflamasi). Tidak adanya asites menyingkirkan kemungkinan adanya edema generalisata
yang bisa disebabkan oleh gagal jantung, sindroma nefrotik, atau sirosis hati.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik disimpulkan diagnosis kerja pada pasien ini yaitu
filariasis dengan diagnosis banding malaria. Maka dari itu, diperlukan pemeriksaan penunjang
berupa pemeriksaan laboratorium darah lengkap dan sediaan apus darah tepi untuk menegakan
suatu diagnosis pasti. Hasil pemeriksaan lab menunjukan anemia ringan yang bisa terdapat pada
malaria, dan eosinofilia yang biasa terdapat pada filariasis. Pada sediaan apus darah tepi
33
ditemukan mikrofilaria dari Wuchereria bancrofti sehingga diagnosis pasti filariasis dapat
ditegakan. Ini tidak menutup kemungkinan terjadi malaria menyertai filariasis pada pasien ini.
Penatalaksanaan ditujukan untuk membunuh parasit dan mencegah perkembangan dari
penyakit. Obat-obatan yang dapat digunakan ialah DEC, ivermektin, dan doksisiklin. Selain itu
pasien diedukasi agar menjaga kebersihan tungkainya yang sudah mengalami limfedema. Pasien
juga dianjurkan untuk menghindar dari gigitan nyamuk.
Filariasis pada pasien ini tidak akan menyebabkan kematian namun karena sudah
menyebabkan limfedema pada tungkai bisa menggangu fungsi dari tungkai pasien. Selain itu
reinfeksi dapat terjadi karena pasien tinggal di Irian Jaya yang endemis untuk penyakit ini.
34
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. Supali T, Sri S, Margono, Alisah SN, Abidin. Nematoda jaringan. In: Sutanto I, Ismid IS,
Sjarifuddin PK, Sungkar S; editors. Buku ajar parasitologi kedokteran. 4th ed. Jakarta: FKUI;
2008. p.32-42.
2. KR. Fever. In: Kleigman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF; editors. Nelson Textbook of
Pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. p.1084-6.
3. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. 11th ed. Jakarta: Elsevier; 2007. p.319.
4. Braunwald E, Loscalzo J. Edema. In: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL,
Jameson JL, Loscalzo J; editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17 th ed. New York:
McGraw Hill Companies; 2008.
5. Nelwan RHH. Demam: tipe dan pendekatan. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S; editors. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2007. p.1697.
6. Abbas AK, Lichtman AH. Basic Immunology: Functions and Disorders of the Immune System.
In: Malley J, editor. 2nd ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2004. p.115, 148, 198.
7. Natadidjaja H. Penuntun Kuliah: Anamnesis dan Pemeriksaan Jasmani. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti; 2003.
8. Priyana A. Patologi klinik: untuk kurikulum pendidikan dokter berbasis kompetensi. 2nd ed.
Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti; 2007. p.7, 15, 21, 25, 33, 37.
9. Pohan HT. Filariasis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S; editors.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th ed. Jakarta: InternaPublishing; 2009. p.2931.
10. Widodo D. Malaria. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S; editors.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th ed. Jakarta: InternaPublishing; 2009. p.2797.
35