Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK MODUL TROPIK INFEKSI

Seorang Laki-laki dengan Keluhan Demam dan Bengkak di Tungkai Kanan Atas

KELOMPOK 1

030.06.095 030.07.066 030.07.073 030.08.131 030.09.157 030.09.161 030.09.169 030.09.171 030.09.173 030.09.175 030.09.177 030.09.261

Ferio Julian Dicky Pratama Dwi Kartika Sari Jonathan Sinarta Kurniawan Monica Raharjo Muthi Melatiara Neneng Maya Ni Nyoman Nami Arthisari Noviana Sie Nurul Fitria Nyoman Arya Adi Wangsa Yusrina Affiatika

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI Jakarta, 28 Januari 2011

BAB I PENDAHULUAN

Filariasis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh tiga nematoda jaringan yaitu: Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori, dan merupakan salah satu penyakit parasit yang paling penting terjadi pada manusia. Sekitar 120 juta orang terinfeksi dengan organisme ini di negara-negara tropis dan subtropis. Sekitar sepertiga dari mereka menderita konsekuensi klinis dari infeksi, dan banyak yang mengalami perubahan penampilan yang serius. W. bancrofti menyebabkan sekitar 90% dari episode filariasis limfatik. Dimana vektor yang menularkan W. bancrofti adalah nyamuk Culex, Aedes, dan Anopheles. W. bancrofti tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, termasuk subsaharan Afrika, Asia Tenggara, Pasifik Barat, India, Amerika Selatan, dan Karibia. B. malayi ditularkan oleh nyamuk Mansonia dan Anopheles dan endemik di beberapa bagian Cina, India, Asia Tenggara, dan Pasifik. B. timori hanya ditemukan di kepulauan Indonesia tenggara.

BAB II LAPORAN KASUS

Sesi 1, Lembar 1: Rabu, 26 Januari 2011 Seorang laki-laki, umur 35 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan demam, dan bengkak di tungkai kanan atas.

Sesi 1, Lembar 2: Rabu, 26 Januari 2011 Seorang laki-laki, umur 35 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan utama demam. Demam terjadi terutama pada malam hari dan pada saat demam dirasakan ada bengkak di daerah lipatan paha dan ketiaknya. Pasien sering mengalami demam dan demam sering dirasakan setelah bekerja berat di sawah. Demam dan bengkak disertai rasa nyeri yang dirasakn selama 3-5 hari. Pada saat serangan sering pasien tidak dapat bekerja selama beberapa hari. Menurut pasien serangannya hilang timbul dan terjadi beberpa kali dalam setahun. Pasien sering minum obat demam dan penghilang rasa nyeri, sembuh tetapi sering berulang. Pasien juga pernah batuk dan sesak nafas, malam hari dengan mengeluarkan dahak kental. Pasien adalah seorang petani yang tinggal di sebuah desa di Irian Jaya.

Sesi 1, Lembar 3: Rabu, 26 Januari 2011 Tanda Vital: Tekanan darah : 110/70 mmHg Nadi RR Suhu : 85 x/menit : 18 x/menit : 39,4C

Pemeriksaan Fisik: Pada axila dan daerah inguinal/lipatan paha teraba benjolan kecil, kenyal, nyeri pada perabaan Cor/Pulmo dalam batas normal Abdomen lemas, Hepar/Lien tidak teraba, tidak ada ascites Extermitas tampak udem ringan di tungkai bawah berupa pitting oedem
3

Sesi 2, Lembar 1: Kamis, 27 Januari 2011 Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan: Hb Leukosit LED Hitung jenis : 13 g/dL : 6, 500/ uL : 25 mm/jam : 0/20/4/25/45/6

Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan gambaran sebagai berikut:

BAB III PEMBAHASAN KASUS

Untuk menentukan diagnosis yang tepat pada pasien kasus ini, dilakukan hal-hal sebagai berikut: identifikasi pasien, identifikasi keluhan utama, anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

IDENTIFIKASI PASIEN Identitas pasien adalah sebagai berikut: Nama Umur Jenis kelamin Pekerjaan :: 35 tahun : Laki-laki : Petani

Suku/bangsa/ras : Alamat : Desa di Irian Jaya

Dari identitas pasien, disimpulkan bahwa pasien mempunyai faktor risiko yang tinggi untuk terkena penyakit infeksi. Pada umumnya, laki-laki lebih banyak terkena infeksi, karena lebih banyak kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure). Selain itu gejala penyakit infeksi lebih nyata pada laki-laki, karena pekerjaan fisik yang lebih berat.1 Pekerjaan pasien juga bisa merupakan suatu faktor risiko terhadap penyakit tertentu, misalnya pekerja kehutanan yang rentan rentan terhadap malaria dan pekerja tambang rentan terhadap askariasis. Pekerjaan pasien yaitu petani juga merupakan faktor risiko terkenanya penyakit infeksi karena mudah terkena pajanan oleh mikroorganisme. Penyakit infeksi yang sering dihubungkan dengan petani antara lain adalah leptospirosis, schistosomiasis, dan filariasis. Tempat tinggal pasien yaitu Irian Jaya merupakan propinsi yang endemis malaria, filariasis, sistiserkosis, dan berbagai penyakit tropik infeksi lainya.

IDENTIFIKASI KELUHAN UTAMA Keluhan utama pada pasien ini ialah demam dan bengkak pada tungkai kanan atas.

DEMAM Keluhan demam merupakan gejala klinis umum adanya suatu infeksi. Maka dari itu semua penyakit yang bisa menyebabkan demam bisa merupakan hipotesis penyakit pada pasien ini. Dari keluhan demam, kami menarik hipotesis pada kasus ini yaitu penyakit infeksi yang prevalensi cukup tinggi di Indonesia: Filariasis Malaria Leptospirosis Schistosomiasis: dapat disingkirkan karena cacing penyebab penyakit ini yaitu Schistosoma japonicum (yang terdapat di Indonesia) hanya terdapat di danau Lindu dan lembah Napu Sulawesi Tengah Demam berdarah dengue Demam typhoid

Mekanisme terjadinya demam pada penyakit-penyakit ini dijelaskan secara umum sebagai berikut: Patofisiologi demam: Demam adalah peningkatan suhu tubuh melebihi nilai normal (36,5 37,2C). Suhu tubuh seseorang diatur oleh thermosensitive neurons yang berada di preoptik atau anterior hipotalamus. neurons perubahan Thermosensitive peka suhu terhadap darah dan

rangsang dari reseptor panas maupun dingin yang terletak di kulit maupun otot. Rangsang pada thermosensitive neurons akan mempengaruhi termostat tubuh, (seperti menimbulkan vasokonstriksi reaksi atau
6

vasodilatasi, meningkat atau berkurangnya sekresi keringat, dan regulasi cairan ekstraseluler) yang akan menimbulkan perubahan suhu. Normalnya, suhu tubuh seseorang berubah mengikuti pola tertentu setiap hari, dimana suhu tubuh lebih rendah pada pagi hari dan lebih tinggi kira-kira 1C pada siang/ sore hari. Perubahan suhu ini disebut circadian temperature rhythm atau diurnal variation.2 Terjadinya demam, seperti pengaturan suhu normal, juga terjadi akibat rangsangan pada thermosensitive neurons yang meningkatkan termostat tubuh. Termostat ditingkatkan sebagai respons dari pirogen yang endogen. Pirogen endogen antara lain adalah sitokin IL-1 (interleukin1), IL-6, TNF- (tumor necrosis factor-), IFN- (interferon-), dan IFN-. Beberapa produk lipid yang diproduksi oleh sel serta prostaglandin E2 (PGE2) juga merupakan pirogen endogen. Adanya pirogen endogen dapat dihubungkan dengan infeksi, penyakit rematik, dan keganasan.2 Mikroba atau toksin yang dihasilkan oleh mikroba merupakan pirogen eksogen (dari luar tubuh) yang dapat menyebabkan demam. Saat pirogen eksogen masuk ke dalam tubuh seseorang, pirogen eksogen akan merangsang makrofag dan sel-sel lain untuk memproduksi pirogen endogen. Pirogen endogen yang dihasilkan mempengaruhi endotel hipotalamus untuk menghasilkan PGE2 dan metabolit asam arakhidonat yang lain. PGE2 dan asam arakhidonat merangsang thermosensitive neurons sehingga terjadi peningkatan termostat tubuh. Cara tubuh meningkatkan suhu tubuh antara lain dengan meningkatkan produksi panas melalui kontraksi otot dan aktivitas metabolisme yang meningkat, dan dengan mengkonservasi panas dengan vasokonstriksi perifer.2 Selain disebabkan oleh infeksi, demam juga bisa disebabkan oleh: Vaksinasi Kerusakan jaringan (infark, trauma, injeksi intramuscular, luka bakar) Malignansi atau keganasan (leukemia, limfoma, hepatoma, tumor metastatik) Obat-obatan (cocaine, amfoterisin B) Penyakit autoimun (sistemik lupus eritematosus, reumatoid artritis) Inflammasi (inflammatory bowel disease) Kelainan sistem endokrin (tirotoksikosis, feokromositoma) Kelainan metabolic (gout, uremia, hiperlipidemia tipe I) Kelainan genetik (familial Mediterranean fever)
7

INFECTIOUS CAUSES Relapsing fever (Borrelia recurrentis) Trench fever (Rochalimaea quintana) Q Fever (Coxiella burnetii) Typhoid fever (Salmonella typhi) Syphilis (Treponema pallidum) Tuberculosis Histoplasmosis Coccidioidomycosis Blastomycosis Melioidosis (Pseudomonas pseudomallei) Lymphocytic choriomeningitis (LCM) virus Dengue fever Yellow fever Chronic meningococcemia Colorado tick fever Leptospirosis Brucellosis Oroya fever (Bartonella bacilliformis) Acute rheumatic fever Rat-bite fever (Spirillum minus) Visceral leishmaniasis Lyme disease (Leptospira burgdorferi) Malaria

Babesiosis Noninfluenza respiratory viruses Epstein-Barr virus NONINFECTIOUS CAUSES Behet disease Crohn disease Weber-Christian disease (panniculitis) Leukoclastic angiitis Sweet syndrome Systemic lupus erythematosus PERIODIC FEVER SYNDROMES Familial Mediterranean fever Cyclic neutropenia Periodic fever, aphthous stomatitis, pharyngitis, adenopathy (PFAPA) Hyper IgD syndrome Hibernian fever (tumor necrosis factor super-family IgA-associated syndrome [TRAPS]) Muckle-Wells syndrome Tabel 1. Penyebab Demam (Modified from Cunha BA: The clinical significance of fever patterns. Infect Dis Clin North Am 1996;10:3344.)

BENGKAK Keluhan pada tungkai kanan atas yang dialami oleh pasien pada kasus ini kemungkinan besar menunjukkan telah terjadinya edema. Selain itu bisa dicurigai bengkak pada tungkai akibat trauma yang dialami oleh pasien. Edema sendiri menurut definisi adalah adanya cairan dalam jumlah besar yang abnormal di ruang jaringan interselular tubuh; biasanya menunjukkan jumlah yang nyata dalam jaringan subkutis.3 Distribusi edema merupakan pedoman penting untuk menunjukan penyebabnya. Edema dapat terbatas/ setempat/ lokalisata, juga dapat bersifat sistemik/ menyeluruh/ generalisata. Edema lokalisata biasa terjadi akibat obstruksi vena atau limfatik yang dapat disebabkan oleh tromboflebitis, limfangitis kronik, reseksi kelenjar limfe regional, filariasis dan lain-lain. Selain itu juga bisa disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vascular akibat kerusakan pada endothelium kapiler oleh bahan-bahan kimia, infeksi bakteri, atau reaksi hipersensitivitas. Meningkatnya permeabilitas kapiler menyebabkan perpindahan protein ke dalam kompartemen interstitial sehingga cairan vascular tertarik ke dalam kompartemen interstitial tubuh. Kerusakan pada endotel kapiler menyebabkan edema inflamasi yang biasanya non-pitting, lokalisata, dan disertai tanda klasik inflamasi lain (kemerahan, panas, nyeri tekan). Edema pada salah satu tungkai atau pada salah satu atau kedua lengan biasanya terjadi akibat obstruksi vena dan/atau limfatik. Edema unilateral kadang-kadang terjadi akibat lesi sistem saraf sentral, dimana keadaan paralisis akan mengurangi drainase limfatik serta vena sehingga timbul edema.4 Edema generalisata biasa disebabkan oleh dekompensation kordis, sindroma nefrotik, atau sirosis hati. Pada dekompensatio cordis terdapat peningkatan tekanan darah vena yang menganggu aliran cairan dari ruang interstitiel kembali ke sistem vaskular pada ujung vena kapiler. Selain itu, penurunan curah jantung pada dekompensatio cordis menyebabkan penurunan volume darah sehingga ginjal akan merentensi cairan sebagai mekanisme kompensasi. Pada sindroma nefrotik dan sirosis hati, edema terjadi karena berkurangnya tekanan onkotik koloid yang berperan menyebabkan gerakan cairan dari ruang interstitiel ke dalam sistem vaskular. Pada sindroma nefrotik tekanan onkotik koloid berkurang karena kehilangan protein plasma secara masif melalui urin, sedangkan pada sirosis hati terjadi karena hati gagal mengsintesis protein plasma. Keadaan lain yang menyebabkan hipoalbuminemia seperti malnutrisi berat juga dapat menyebabkan edema generalisata.4 Pada sebagian besar keadaan, edema terjadi pada kompartemen cairan ekstrasel, tapi dapat juga melibatkan kompartemen cairan intrasel.3
10

Edema Intrasel. Kondisi yang memudahkan terjadinya edema intrasel yaitu depresi sistem metabolisme jaringan dan tidak adanya nutrisi sel yang adekuat sehingga menyababkan ion natrium tidak dapat dipompa keluar sel dan menimbulkan osmosis air ke dalam sel. Edema intrasel juga dapat terjadi pada jaringan yang meradang. Peradangan biasanya mempunyai efek langsung pada membran sel yaitu meningkatnya permeabilitas membran dan memungkinkan natrium dan ion-ion lain berdifusi masuk ke dalam sel, dan seperti yang terjadi pada dua kondisi sebelumnya, keadaan ini akan diikuti dengan osmosis air ke dalam sel sehingga terjadilah edema.3 Edema Ekstrasel. Edema ekstrasel terjadi apabila ada akumulasi cairan yang berlebihan dalam ruang ekstrasel. Ada dua penyebab edema ekstrasel yang umum dijumpai, yaitu kebocoran abnormal cairan dari plasma ke ruang interstitial dengan melintasi kapiler dan kegagalan sistem limfatik untuk mengembalikan cairan dari interstitium ke dalam darah . Penyebab klinis akumulasi cairan interstitial yang paling sering adalah filtrasi cairan kapiler yang berlebihan karena tekanan hidrostatik kapiler yang meningkat atau karena tekanan onkotik koloid yang berkurang.3

11 Gambar2. Berbagai etiologi edema

Peningkatan tekanan kapiler A. Retensi garam dan air yang berlebihan di ginjal 1. Gagal ginjal akut atau kronik 2. Kelebihan mineralokortikoid B. Tekanan vena yang tinggi dan konstriksi vena 1. Gagal jantung 2. Obstruksi vena 3. Kegagalan pompa vena a) Paralisis otot b) Imobilisasi bagian-bagian tubuh c) Kegagalan katup vena C. Penurunan resistensi arteriol 1. Panas tubuh yang berlebihan 2. Insufisiensi sistem saraf simpatis 3. Obat-obat vasodilator II. Penurunan protein plasma A. Kehilangan protein dalam urin (sindrom nefrotik) B. Kehilangan protein dari kulit yang terkelupas 1. Luka bakar 2. Luka C. Kegagalan menghasilkan protein 1. Penyakit hati (sirosis) 2. Malnutrisi protein atau kalori yang berat III. Peningkatan permeabilitas kapiler A. Reaksi imun yang menyebabkan pelepasan histamin dan produk imun lainnya B. Toksin C. Infeksi bakteri D. Defisiensi vitamin, khususnya vitamin C E. Iskemia yang lama F. Luka bakar IV. Hambatan aliran balik limfe A. Kanker B. Infeksi (filariasis) C. Pembedahan D. Kelainan atau tidak adanya pembuluh limfatik secara congenital

I.

Tabel 2. Penyebab Edema Ekstrasel

Keluhan utama pasien ini ialah edema lokalisata (yaitu hanya pada tungkai kanan atas) maka pada pasien ini disimpulkan bahwa bengkak terjadi akibat obstruksi pada vena atau saluran limfe di daerah tungkai. Selain itu bisa juga disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular. Untuk dapat menentukan penyebab edema perlu dilakukan pemeriksaan fisik untuk memastikan bahwa edema hanya setempat dan tidak terdapat di tempat lain (generalisata) dan juga untuk menyingkirkan penyebab edema yang lain seperti kelainan pada jantung, ginjal, maupun hepar.

12

ANAMNESIS (keluhan utama) - Sejak kapan timbul demam? Anamnesa ini digunakan untuk mengetahui sifat demam yang akut atau kronis. Juga untuk memperkirakan perkembangan penyakit yang diderita pasien. Apabila diduga malaria, bisa digunakan untuk menentukan masa prapaten dari parasit malaria tersebut. Agar dapat ditentukan waktu yang tepat untuk mengadakan pemeriksaan SADT, karena pemeriksaan SADT pada malaria harus dilakukan saat pasien tersebut demam. - Bagaimana sifat demam? Demam terjadi pada siang atau malam hari? Demam terjadi selama berapa hari? Sifat demam ditanyakan untuk mengetahui jenis demam yang diderita oleh pasien. Secara klinis, demam dibagi berdasarkan sifatnya menjadi: Demam septik : pada demam septik, suhu tubuh berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat yang normal pada pagi hari. Demam septik sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat. Perbedaan suhu lebih besar dari dua derajat. Demam hektik : pada demam hektik, suhu tubuh berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali kemudian turun ke tingkat yang normal. Perbedaan suhu lebih besar dari dua derajat. Demam remiten : pada demam remiten, suhu badan naik turun tetapi tidak pernah mencapai nilai normal. Perbedaan suhu kurang dari dua derajat. Demam intermiten : pada demam intermiten, suhu badan naik turun mencapai nilai yang normal, dengan perbedaan suhu lebih dari 0,5 derajat. Demam tersiana : demam intermiten yang terjadi setiap dua kali sehari. Disebabkan oleh malaria akibat Plasmodium vivax. Demam kuartana : pada demam kuartana, terjadi dua hari bebas demam di antara dua serangan demam intermiten. Disebabkan oleh malaria akibat Plasmodium malariae. Demam kontinyu : pada demam kontinyu, variasi suhu sepanjang hari tidak melebihi satu derajat. Hiperpireksia : demam yang terus menerus tinggi sampai 41,2C atau lebih. Demam siklik : pada demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.5
13

Sifat demam pada pasien dapat mengarahkan pada penyakit tertentu. Sifat demam pada malaria adalah demam hektik atau demam intermitten, dimana plasmodium vivax menyebabkan demam tersiana dan plasmodium ovale menyebabkan demam kuartana. Sedangkan sifat demam pada demam berdarah dengue adalah demam septik yang remitten dengan pola bifasik. Untuk demam typhoid, sifat demam adalah demam kontinu, dan kadang ditemukan pola demam seperti anak tangga. Pada filariasis, didapatkan sifat demam yang hilang timbul dan terjadi pada malam hari. - Apakah ada keluhan yang menyertai demam? Keluhan yang menyertai demam juga dapat mengarahkan kepada suatu penyakit tertentu. Pada malaria akan terdapat trias malaria yaitu demam disertai menggigil dan berkeringat. Pada demam berdarah tifoid demam sering disertai oleh tanda-tanda perdarahan pada kulit seperti petekiae. Pada tifoid terdapat five cardinal signs yaitu demam, bradikardi relatif, organomegali, coated tounge, dan roseola. Pada filariasis terdapat demam yang disertai pembengkakan kelenjar getah bening. Pada leptospirosis yang berat terdapat demam yang disertai dengan ikterus. - Pengobatan apa saja yang sudah dijalani? Anamnesa ini dimaksudkan untuk mencurigai penyebab demam yang dialami pasien. Apakah demam tersebut terjadi karena konsumsi obatobatan. Bisa juga penurunan demam pada pasien disebabkan karena pasien mengkonsumsi obat antipiretik. - Apakah ada gatal, eritema atau papul di daerah bengkak? Reaksi reaksi semacam ini salah satunya untuk menunjukan adanya gejala alergi maupun autoimun yang terjadi di dalam tubuh pasien. Keadaan ini juga biasa timbul pada filariasis, dimana bengkak disertai dengan eritema, papul, bahkan ulkus.1 - Sejak kapan timbul bengkak? - Apakah pernah mengalami trauma pada derah pembengkakan? Anamnesa trauma disini dimaksudkan untuk membantu diagnosa pembesaran ekstremitas yang dialami oleh pasien tersebut. Apakah pembesaran itu karena memar atau hematom. Atau terjadi reaksi inflamasi karena fraktur tulang yang mengakibatkan pembengkakan. Atau adanya hal lain diluar itu. - Apakah ada bengkak di tempat lain?

14

IDENTIFIKASI KELUHAN TAMBAHAN Selain demam dan bengkak pada tungkai kanan atas, terdapat keluhan tambahan yaitu: 1. Bengkak di daerah lipat paha dan ketiak : Ini menunjukan adanya pembengkakan pada kelenjar getah bening, yang disebut limfadenitis. Pembengkakan merupakan salah satu tanda klasik reaksi inflammasi. Bengkak yang disertai dengan limfadenitis didapatkan pada filariasis.1 2. Nyeri : Rasa nyeri pada pasien ini menandakan adanya peradangan akut, dimana lima tanda radang akut adalah rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (nyeri), tumor (bengkak), dan fungsiolaesa (hilangnya fungsi). 3. Batuk dan sesak nafas malam hari dengan mengeluarkan dahak kental : Keluhan batuk dan sesak nafas menandakan adanya iritasi pada paru-paru. Kemungkinan terjadi bronkokonstriksi dan juga hipersekresi di saluran pernafasan yang menyebabkan sesak nafas disertai dengan pengeluaran dahak yang kental. Pada filariasis, batuk dan sesak nafas dengan dahak yang kental dan mukopurulen dapat terjadi pada occult filariasis atau tropical pulmonary eosinophilia. Gejala klinis tersebut timbul akibat mikrofilaria yang tersumbat di kapiler alat-alat dalam yaitu paru. Gejala klinis juga timbul akibat penghancuran mikrofilaria dalam jumlah yang besar oleh sistem imun penderita.1 Penghancuran mikrofilaria oleh sistem imun melibatkan degranulasi dari eosinofil dan sel mast sehingga dikeluarkan mediatormediator antara lain yaitu protease, prostaglandin, leukotriene, histamin, dan juga sitokinsitokin. Leukotriene menyebabkan kontraksi dari pada otot polos sehingga terjadi bronkokonstriksi. Sedangkan histamin meningkatkan sekresi dari mukus oleh mukosa saluran pernafasan. Selain itu, prostaglandin juga bisa mempengaruhi pengaturan suhu oleh hipotalamus sehingga timbul demam.6 Dari hasil anamnesis didapatkan riwayat penyakit pasien seperti berikut: - Demam terjadi terutama pada malam hari: suhu tubuh yang meninggi terutama pada malam hari ditemukan pada filariasis.1 - Demam disertai bengkak di daerah lipat paha dan ketiaknya (lihat pembahasan sebelumnya) - Demam sering dirasakan setelah bekerja berat di sawah: gejala-gejala penyakit umumnya lebih nyata setelah melakukan pekerjaan fisik yang lebih berat.1
15

- Demam dan bengkak disertai rasa nyeri (lihat pembahasan sebelumnya) - Demam, bengkak, dan nyeri dirasakan selama 3-5 hari - Serangan (demam, bengkak, dan nyeri) hilang timbul dan dapat terjadi beberapa kali dalam setahun: berdasarkan serangan demam yang hilang timbul maka dapat disingkirikan demam berdarah dengue, demam tifoid, dan leptospirosis dari hipotesis. Ini karena selama periode infeksi, demam berdarah dengue, demam tifoid, dan leptospirosis selalu disertai oleh demam (demam tidak hilang timbul). Demam berdarah dengue merupakan demam tipe septik remitten, sedangkan demam tifoid dan demam pada leptospirosis merupakan demam tipe kontinu. Hipotesis yang masi mungkin pada kasus ini adalah filariasis dan malaria, dua penyakit infeksi yang endemis di Irian Jaya. - Pada saat serangan pasien tidak dapat bekerja: Pasien tidak dapat bekerja kemungkinan karena fungsiolaesa pada tungkainya yang mengalami bengkak. Fungsiolaesa merupakan salah satu tanda klasik dari inflamasi/ peradangan akut. - Pasien sering minum obat demam dan penghilang rasa nyeri - Pasien juga pernah batuk dan sesak nafas (lihat pembahasan sebelumnya) - Batuk dan sesak nafas terjadi malam hari dengan mengeluarkan dahak kental (lihat pembahasan sebelumnya)

ANAMNESIS (tambahan) Dari anamnesis sebelumnya dan hasil anamnesis yang telah didapatkan, didapatkan dua hipotesis pada kasus ini yaitu filariasis dan malaria. Untuk dapat menegakan diagnosis maka diperlukan anamnesis tambahan, yang perlu ditanyakan pada pasien ini adalah sebagai berikut: - Apakah demam juga disertai oleh menggigil dan berkeringat? - Apakah terdapat pembengkakan dari alat-alat kelamin selain pembengkakan tungkai? - Apakah keluarga pasien ada yang menderita malaria atau kaki gajah (filariasis)? - Apakah terdapat banyak nyamuk di rumah atau di tempat kerja pasien? - Apakah urin berwarna putih seperti susu?

16

PEMERIKSAAN FISIK Dengan kecurigaan akan adanya filariasis atau malaria pada pasien ini, maka direncanakan pemeriksaan fisik pada pasien. Yang peling penting adalah mencari ke lima tanda radang pada pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik yang direncanakan untuk pasien adalah sebagai berikut: I. Status Generalis - Tanda vital: suhu; nadi; tekanan darah; frekuensi nafas; antropometri - Keadaan umum: kesan sakit, kesadaran - Inspeksi mata: untuk melihat adanya tanda-tanda anemia yaitu konjungtiva anemis atau sklera ikterik yang menandakan ada gangguan pada hati - Pemeriksaan kelenjar getah bening: Pemeriksaan kelenjar getah bening dilakukan karena biasanya terdapat pembengkakan kelenjar getah bening pada filariasis. Selain itu pasien juga mengeluh adanya bengkak di daerah lipat paha dan ketiak yang dicurigai sebagai pembengkakan kelenjar getah bening. Kelenjar getah bening yang diperiksa adalah di kepala, di leher, di supraklavikula, di axila, di inguinal (medialis dan lateralis), dan di poplitea. Pada keadaan normal, kelenjar getah bening tidak teraba atau bila teraba konsistensinya lunak, mudah digerakan dari kulit di atasnya serta dasarnya, suhu normal, permukaanya licin, dan tidak nyeri tekan. Pembesaran kelenjar getah bening dapat terjadi sebagai akibat penjalaran dari infeksi regional (konsistensi kelenjar getah bening kenyal/lunak dan nyeri) atau metastasis dari tumor ganas (kelenjar getah bening keras seperti batu dan tidak nyeri). Pembesaran kelenjar getah bening yang menyeluruh/ merata pada seluruh tubuh terdapat pada infeksi virus, leukemia, dan penyakit Hodgkin.7 - Pemeriksaan thoraks: dilakukan untuk menilai jantung dan paru. Ini dilakukan karena pasien mengeluh batuk dan sesak nafas yang menandakan adanya gangguan pada paruparunya. - Pemeriksaan abdomen: dilakukan terutama untuk menilai adanya pembesaran hepar atau lien yang bisa didapatkan pada malaria. Pemeriksaan abdomen juga dilakukan untuk melihat adakah tanda-tanda rigiditas dinding perut yang menandakan adanya suatu kegawatdaruratan pada rongga abdomen.7

17

- Pemeriksaan ekstremitas: dilakukan sesuai dengan keluhan utama pasien yaitu bengkak pada tungkai kanan atas. Ini bisa membantu menentukan etiologi dari bengkak. II. Status lokalis : dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh pada tungkai kanan pasien. Pertama dilihat dari kulit pasien apakah terdapat atrofi, eritema, papul, ulkus, atau luka. Dinilai juga apakah ada keterlibatan dari sendi seperti pembengkakan pada sendi atau gangguan pergerakan. Selain itu juga untuk mengetahui apakah bengkak/edema bersifat pitting atau non-pitting.7

Hasil pemeriksaan fisik pada pasien ini adalah sebagai berikut: - Kesadaran: kompos mentis - Tanda vital: TD Nadi RR Suhu : 110/70 mmHg (normal : 120/80 mmHg) N : 85x/m (normal : 60 100x/m) N : 18x/m (normal : 14 - 18x/m) N : 39,4oC (normal : 36,5 - 37,2oC) febris

- Pemeriksaan kelenjar getah bening: pada axilla dan daerah inguinal/ lipat paha teraba benjolan kecil, kenyal, nyeri pada perabaan terdapat pembesaran kelenjar getah bening (di axila dan inguinal) akibat infeksi regional yang disebut limfadenitis. Seperti yang telah dijelaskan, pembesaran kelenjar getah bening akibat infeksi regional bersifat kenyal dan nyeri pada perabaan.7 Pemeriksaan thoraks: cor dan pulmo dalam batas normal fungsi paru-paru normal maka dapat disimpulkan bahwa batuk dan sesak nafas pada paru mungkin karena suatu hipersensitivitas yang menyebabkan hipersekresi dan bronkokonstriksi sementara. Jantung normal sehingga edema/bengkak pada tungkai tidak disebabkan oleh decompensatio cordis. Pemeriksaan abdomen: lemas, hepar dan lien tidak teraba, tidak ada ascites tidak terdapat kegawatdaruratan abdomen. Hepar dan lien tidak membesar sehingga adanya malaria pada pasien ini merupakan kemungkinan yang kecil. Tidak ada ascites menandakan tidak ada kebocoran plasma atau kerusakan kapiler seperti pada
18

demam berdarah. Selain itu tidak ada ascites menunjukan bahwa edema pada tungkai bersifat lokalisata dan menyingkirkan kemungkinan adanya edema generalisata yang bisa terjadi akibat gagal jantung, sindroma nefrotik, atau sirosis hati. Status lokalis (tungkai kanan): tampak oedem ringan di tungkai bawah berupa pitting oedem pitting oedem merupakan suatu edema dimana kulit akan mencekung bila ditekan. Edema yang berisifat pitting menandakan bahwa pembengkakan di tungkai pasien ini bukan elephantiasis (sering ditemukan pada filariasis), karena pada elephantiasis terdapat non-pitting oedem yang disertai perubahan sklerotik dari kulit.1 Edema yang pitting juga menandakan bahwa edema bukanlah edema inflamasi yang disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas vaskular.4

DIAGNOSIS KERJA DAN DIAGNOSIS BANDING Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan, disimpulkan bahwa diagnosis kerja untuk pasien ini adalah filariasis, dengan diagnosis banding malaria maka diperlukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakan diagnosis adalah: - Pemeriksaan darah lengkap: Pada penyakit infeksi sering ditemukan LED yang cukup tinggi. Pada malaria biasa didapatkan anemia karena plasmodium/ parasit malaria menyerang eritrosit. Pada stadium akut dari filariasis sering ditemukan eosinofilia, akibat reaksi sistem imun penderita terhadap cacing yang dianggap sebagai antigen.1 - Pemerikasaan sediaan apus darah tepi: Pemeriksaan ini sangat berguna untuk menegakan diagnosis pada kasus ini. Diagnosis pada malaria dapat ditegakan dengan menemukan parasit malaria/ plasmodium di dalam eritrosit pada sediaan pulasan Giemsa. Pada penyakit malaria, darah diambil pada saat penderita sedang demam karena pada saat demam itulah trofozoit dari plasmodium berada di dalam sirkulasi darah dan tidak bersembunyi di dalam eritrosit. Diagnosis pada filariasis juga ditegakan dengan
19

menemukan mikrofilaria pada darah tepi dengan sediaan apus darah tepi. Untuk menemukan mikrofilaria, pengambilan darah dilakukan pada malam hari setelah pukul 20:00 karena mikrofilaria dari nematode jaringan penyebab filariasis mempunyai periodisitas nokturna (terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam dan terdapat di kapiler alat dalam pada siang hari).1 - Pemeriksaan USG pada kelenjar getah bening inguinal: Pada filariasis yang disebabkan oleh Wuchereria bancrofti (filariasis bankrofti), pemeriksaan USG pada kelenjar limfe inguinal akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak atau filarial dance sign. Pemeriksaan USG tidak dapat digunakan untuk infeksi filarial oleh Brugia malayi atau Brugia timori (filariasis brugia).1

Hasil pemeriksaan laboratorium yang didapatkan untuk pasien ini adalah sebagai berikut: I. Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan Hb Leukosit Nilai normal 8 13,5 - 18 gr/dl 5,000-10,000/l Hasil I 13g/dl () 6,500/l (N) Interpretasi Anemia ringan bisa dicurigai malaria pada pasien Eosinofilia kondisi ini biasa didapatkan pada alergi (asma bronchial, urtikaria, rhinitis, Basofil: 0-1 Eosinofil: 1-3 Hitung jenis N.batang: 1-6 N.segmen: 40-60 Limfosit: 20-45 Monosit: 1-8 0 (N) 20 () 4 (N) 25 () 45 (N) 6 (N) hipersensitivitas); infeksi oleh parasit seperti pada amoebiasis atau infeksi oleh cacing; atau kelainan kulit psoriasis, pemfigus, atau dermatitis Neutropenia kondisi ini biasa didapatkan pada infeksi bakteri (tifoid, paratifoid, brucellosis); infeksi virus (dengue, influenza); keracunan obat seperti kloramfenikol; keracunan bahan kimia seperti benzene; atau pada kelainan darah (anemia aplastik, anemia pernisiosa, hipersplenisme) Wintrobe: 0-5 LED mm/jam Westergren: 0-15 mm/jam 25 mm/jam () LED yang meningkat melebihi batas normal menunjukan bahwa pasien menderita infeksi

20

Eosinofilia yang didapatkan pada pasien ini disebabkan oleh respons imun terhadap infeksi cacing, yaitu filariasis, yang diperankan oleh Th2, IgE, eosinofil, serta sel mast. Eosinofil meningkat dalam darah sebagai respons imun untuk melindungi penderita dari cacing yang dianggap antigen bagi tubuh. Cacing terlalu besar untuk difagositosis oleh makrofag, selain itu, cacing mempunyai lapisan luar (integument) yang resisten terhadap aktivitas mikrobisidal makrofag dan netrofil. Respons imun terhadap cacing sebagian besar diperankan oleh Th 2 yang melepaskan IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 merangsang produksi IgE yang akan mengopsinisasi cacing, sedangkan IL-5 mengaktifkan eosinofil. Eosinofil mengekspresikan Fc reseptor yang spesifik dan mempunyai affinitas yang tinggi terhadap IgE (FcRI) sehingga akan berikatan dengan IgE yang ada di permukaan cacing. Ikatan eosinofil dengan IgE mengaktivasi eosinofil untuk mengeluarkan granulanya, mengandung protein yang toksik bagi cacing. Kebanyakan sel mast juga mengekspresikan FcRI yang akan berikatan dengan IgE pada permukaan cacing. Setelah berikatan dengan IgE maka sel mast akan mengalami degranulasi mengeluarkan granulanya yang mengandung amin vasoaktif, protease, sitokin seperti TNF, dan mediator lipid (prostaglandin dan leukotriene). Mediator dari sel mast yang telah dikeluarkan akan menginduksi inflamasi lokal untuk menyingkirkan cacing (juga berperan pada beberapa ektoparasit lainya).6

II. Pemeriksaan sediaan apus darah tepi

Ditemukan mikrofilaria pada sediaan apus darah tepi yaitu Wuchereria

bancrofti ini karena: - cephalic space 1:1 - tidak ada inti tambahan di terminal ekor - ujung bagian anterior membulat - ujung bagian posterior lancip - inti tersebar merata dan tersusun rapi

21

DIAGNOSIS PASTI : filariasis et causa Wuchereria bancrofti Diagnosis pasti ditegakan berdasarkan ditemukanya mikrofilaria Wuchereria bancrofti pada pemeriksaan sediaan apus darah tepi. Ini tidak menutup kemungkinan bahwa pasien menderita malaria karena malaria merupakan penyakit yang endemis di Irian Jaya, selain itu terdapat anemia ringan pada pasien ini. Namun, untuk memastikan diagnosis malaria perlu dikaji lagi gejala klinis pasien (dari anamnesis dan pemeriksaan fisik) dan pemeriksaan sediaan apus darah tepi pada pasien ini. Selain malaria, filariasis et causa Brugia malayi atau Brugia timori juga bisa dimasukan sebagai diagnosis banding karena mempunyai gejala klinis yang sama. Perbedaanya ialah filariasis brugia tidak menyerang alat-alat kelamin.1

PRINSIP PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan pada pasien ini ditujukan untuk mengeliminasi cacing Wuchereria bancrofti, memperbaiki keadaan umum pasien, dan mencegah perkembangan penyakit serta reinfeksi oleh cacing tersebut. 1. Medikamentosa - DEC (dietil karbamasin sitrat) 6 mg/kg BB/hari selama 12 hari diberikan dalam tiga kali pemberian sesudah makan: DEC digunakan untuk membunuh mikrofilaria dan cacing dewasa. Karena DEC menimbulkan efek samping yang cukup berat akibat reaksi sistem imun terhadap mikrofilaria/ cacing yang sudah mati maka dosis dapat diberikan secara bertahap selama 4 hari pertama.1 - Ivermektin dosis tunggal 400 mg/kg BB sebagai obat tunggal setiap 6 bulan sekali atau kombinasi dengan DEC setiap setahun sekali: obat ini merupakan antibiotik dari golongan makrolid yang hanya membunuh mikrofilaria. Keuntunganya ialah memberikan efek samping yang lebih ringan dibanding DEC.1 - Doksisiklin 100-200 mg/kg BB selama 4-6 minggu: Doksisiklin merupakan antibiotik golongan makrolid, digunakan untuk membunuh Wolbachia dalam parasit filaria yang berperan pada perkembangan, reproduksi, dan kelangsungan hidup parasit filaria di dalam tubuh penderita.1 - Paracetamol dan asam mefenamat: diberikan sebagai terapi simptomatik untuk mengatasi demam dan nyeri pada pasien. 2. Non-medikamentosa
22

- Istirahat - Edukasi: memberitahu kepada pasien mengenai efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan obat. Seperti DEC yang menimbulkan efek lokal maupun sistemik sementara. Pasien diingatkan bahwa hal tersebut merupakan kewajaran (selama dalam batas wajar), sehingga pasien tidak menghentikan penggunaan obat yang dapat berefek kegagalan dalam proses penyembuhan. - Membersihkan kaki dengan air dan sabun: dilakukan untuk mencegah infeksi sekunder oleh bakteri dan jamur, dan untuk mencegah perkembangan lanjut dari limfedema menjadi elephantiasis.1 - Menghindari gigitan nyamuk dengan menggunakan lotion anti-nyamuk atau dengan tidur dengan kelambu.1 - Menggunakan insektisida untuk pemberantasan vektor nyamuk pada daerah yang endemis.

PROGNOSIS Ad vitam: bonam Filariasis jarang menimbulkan kematian. Ad fungsionam: dubia ad malam Limfedema pada pasien ini mengganggu fungsi dari tungkai yang terkena. Ad sanationam: dubia ad malam Reinfeksi dapat terjadi karena pasien tinggal di propinsi yang endemis untuk filariasis.

23

BAB IV TINJAUAN PUSTAKA

A. FILARIASIS Definisi Filariasis adalah penyakit zoonosis menular yang banyak ditemukan di wilayah tropika seluruh dunia. Penyebabnya adalah infeksi oleh sekelompok cacing nematoda parasit yang tergabung dalam superfamilia Filarioidea. Gejala yang umum terlihat adalah terjadinya elefantiasis, berupa membesarnya tungkai bawah dan skrotum, sehingga penyakit ini secara awam dikenal sebagai penyakit kaki gajah. Walaupun demikian, gejala pembesaran ini tidak selalu disebabkan oleh filariasis.

Etiologi Filariasis disebabkan karena infeksi oleh sekelompok cacing nematoda yang termasuk superfamilial Filariodea. Jenis cacing ini adalah Wuchereria bancrofti, Brugia Malayi, dan Brugia Timori. Masa inkubasi penyakit ini cukup lama lebih kurang 1 tahun, sedangkan penularan penyakit terjadi melalui vektor nyamuk sebagai hospes perantara, dan manusia atau hewan kera dan anjing sebagai hospes definitif. Periodositas beradanya mikrofilaria dalam darah tepi tergantung pada spesies. Periodositas tersebut menunjukkan adanya filaria di dalam darah tepi sehingga mudah dideteksi.9

Patofisiologi dan Gambaran Klinis Wuchereria bancrofti Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran kelenjar limfe, bentuk halus seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing betina ukurannya 65-100 mm x 0,25 mm dan cacing jantan berukuran 40 mm x 0,1 mm. Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung dan mikrofilaria ini hidup di dalam darah dan terdapat di aliran darah tepi dalam waktu-waktu tertentu saja. Pada umumnya mikrofilaria W. bancrofti bersifat periodositas nokturna, yaitu mikrofilaria terdapat di dalam darah tepi pada malam hari. Pada siang hari mikrofilaria terdapat di kapiler alat dalam (jantng, paru-paru, ginjal, dan sebagainya).
24

Di daerah perkotaan, parasit ini ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus. Di pedesaan, vektornya berupa nyamuk Anopheles atau nyamuk Aedes.1

Gambar3. Mikrofilaria W. bancrofti

Daur hidup microfilaria ini adalah mula-mula mikrofilaria yang terisap oleh nyamuk, melapaskan sarungnya dalam lambung, menembus dinding lambung dan bersarang di daerah toraks. Bentuknya mengalami pemendekan seperti sosis dan disebut larva stadium I. Kurang lebih satu minggu, larva bertukar kulit dan tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang, disebut larva stadium II. Pada hari kesepuluh dan selanjutnya, larva bertukar kulit dan lagi dan tumbuh makin panjang dan makin kurus, disebut larva stadium III. Bentuk larva stadium III bermigrasi mula- mula ke abdomen kemudian ke kepala lalu ke alat tusuk hisap nyamuk. Bila nyamuk menggigit manusia, maka larva tersebut secara aktif masuk ke dalam tubuh hospes dan bersarang di saluran limfe setempat lalu mengalami pergantian kulit dan tumbuh menjadi larva stadium IV kemudian stadium V atau cacing dewasa. 1

Gambar4. Siklus hidup W. bancrofti 25

Mikrofilaria biasanya tidak menimbulkan kelainan tetapi dalam keadaan tertentu dapat menyebabkan occult filariasis. Gejala yang disebabkan oleh cacing dewasa menimbulkan limfadenitis dan limfangitis retrograd dalam stadium akut, disusul dengan obstruktif menahun 10-15 tahun kemudian.1 Perjalanan penyakit filariasis limfatik dapat dibagi dalam beberapa stadium yaitu stadium mikrofilaremia, stadium akut, dan stadium menahun. Pada penderita mikrofilaremia tanpa gejala klinis, pemeriksaan dengan limfosintigrafi menunjukkan adanya kerusakan saluran limfe. Cacing dewasa hidup dapat menyumbat saluran limfe dan terjadi dilatasi yang disebut limphangiektasia. Jika jumlah cacing banyak dan limphangiektasia terjadi secara intensif akan menyebabkan disfungsi sistem limfatik. Cacing dewasa yang mati dapat menyebabkan reaksi inflamasi. Setelah infiltrasi limfositik yang intensif, lumen tertutup dan cacing mengalami kalsifikasi. Sumbatan tersebut terus berlanjut hingga saluran limfatik tertutup menyebabkan limfedema.1 Stadium akut ditandai dengan peradangan yaitu limfangitis dan limfadenitis retrograd dan disertai demam dan malaise. Gejala peradangan tersebut hilang timbul beberapa kali dalam setahun dan berlangsung beberapa hari sampai satu dua minggu lamanya. Pada stadium menahun gejala klinis yang sering dijumpai adalah hidrokel. Dapat pula dijumpai limfangitis dan limfadenitis yang mengenai seluruh tungkai, lengan, testis, payudara, vulva. Kadang terjadi chyluria yaitu urin yang berwarna putih susu yang terjadi karena dilatasi pembuluh limfe pada sistem ekskretori dan urinari.1

Brugia malayi dan Brugia timori Cacing dewasa jantan dan betina hidup di pembuluh limfe. Cacing dewasa bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung. Periodositas B. malayi adalah periodik nokturna, subperiodik nokturna, atau non periodik, sedangkan B. timori periodik nokturna. B. malayi yang hidup pada manusia ditularkan oleh nyamuk Anopheles barbirostris dan Mansonia. B. timori ditularkan oleh nyamuk Anopheles barbirostris.1 Daur hidup pertumbuhan parasit ini pada nyamuk kurang lebih 10 hari dan pada manusiakurang lebih 3 bulan. Dalam tubuh nyamuk, parasit ini mengalami

26

perkembangan larva seperti pada parasit W. bancrofti. Begitu juga dengan perkembangan parasit ini pada manusia, sama dengan parasit W. bancrofti.1 Gejala klinis filariasis malayi sama seperti filariasis timori namun berbeda dengan filariasis bankrofti. Stadium akut ditandai dengan serangan demam dan peradangan saluran dan kelenjar limfe, yang hilang timbul berulang kali. Limfadenitis biasanya mengenai kelenjar limfe inguinal di satu sisi dan peradangan sering tombul setelah panderita bekerja berat di lading atau sawah. Limfadenitis biasanya berlangsung 2-5 hari dan dapat sembuh tanpa pengobatan.Kadang peradangan pada kelenjar limfe menjalar ke bawah mengenai saluran limfe dan menimbulkan limfangitis retrograd yang dapat terlihat sebagai garis merah yang menjalar ke bawah dan peradangan ini dapat pula menjalar ke jaringan sekitarnya. Pada stadium ini tungkai bawah biasanya membenkak dan menimbulkan gejala limfedema. Limfadenitis dapat pula berkembang menjadi bisul, pecah menjadi ulkus yang meninggalkan bekas sebagai jaringan parut. Limfadenitis beserta komplikasina dapat berlangsung beberapa minggu sampai tiga bulan. Pada filariasis brugia, sistem limfe alat kelamin tidak pernah terkena.1 Limfedema biasanya hilang lagi setelah gejala peradangan menyembuh, tetapi dengan serangan yang berulang kali, lambat laun pembengkakan di tungkai tidak menghilang setelah gejala peradangan sembuh sehingga timbul elefantiasis. Selain kelenjar limfe inguinal, kelenjar limfe di bagian medial tungkai, di ketiak, dan di bagian medial lengan juga sering terkena. Chyluria bukan merupakan gejala klinis filariasis brugia.1

( g b r

Gambar5. Mikrofilaria B. malayi

Gambar6.

Mikrofilaria B. timori

27

Diagnosis 1. Diagnosis parasitologi Deteksi parasit dengan menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau cairan chyluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik konsentrasi Knott, membran filtrasi. Pengambilan darah harus dilakukan pada malam hari (pukul 22.00) mengingat periodositas mikrofilaria umumnya nokturna. Teknik biologi molekuler dapat digunakan untuk mendeteksi parasit melalui DNA parasit dengan menggunakan PCR (Polymerase Chain Reaction). 1 2. Radiologis USG akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak (filarial dance sign) , berguna untuk evaluasi hasil pengobatan. Pemeriksaan ini hanya dapat digunakan untuk infeksi filaria oleh W. banccrofti. Limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai dengan zat radioaktif menunjukkan adanya abnormalitas sistem limfatik sekalipun pada penderita yang asimtomatik mikrofilaremia. 1 3. Diagnosis Imunologi Deteksi dengan Immunochromatoghraphic test (ICT) yang menggunakan antibody monoklonal, hasil positif menunjukkan adanya infeksi aktif walaupun mikrofilaria tidak ditemukan dalam darah. 1

Pencegahan Pencegahan massal baru-baru ini dikenal dengan pengobatan dosis tunggal , sekali per tahun, 2 regimen obat (Albendazol 400 mg dan Ivermectin 200 mg/KgBB) cukup efektif. Hal ini merupakan pendekatan alternatif dalam menurunkan jumlah mikrofilatia dalam populasi.9 Pencegahan individu, kontak dengan nyamuk dapat dikurangi dengan penggunaan obat oles anti nyamuk, kelambu, atau insektisida.9

Penatalaksanaan Perawatan umum dapat dilakukan dengan : Istirahat di tempat tidur, atau pindah tempat ke daerah yang lebih dingin untuk mengurangi derajat serangan akut.
28

Antibiotik dapat diberikan untuk infeksi sekunder dan abses. Pengikatan di daerah pembendungan akan mengurangi edema.

Pengobatan infeksi individu ditujukan untuk menghancurkan parasitdan mengeleminasi, mengurangi atau mencegah kesakitan. Hingga saat ini WHO menetapkan Dietilcarbamazine (DEC) sebagai obat yang efektif, aman, dan relatif murah. Pengobatan dilakukan dengan pemberian DEC 6 mg/KgBB/hari selama 12 hari dan diulangi 1 hingga 6 bulan kemudianbila perlu, atau DEC selama 2 hari perbulan (6-8 mg/KgBB). Efek samping DEC dibagi dalam 2 jenis, yaitu bersifat farmakolgis , tergantung dosisnya dan respon dari hospes yang terinfeksi terhadap kematian parasit.1 Obat lain yang dapat digunakan adalah Ivermektin yang sangat efektif untuk menurunkan kadar mikrofilaremia namun tidak dapat mebunuh cacing dewasa (non-makrofilarisidal), sehingga terapi tersebut tidak dapat diharapkan untuk menyembuhkan infeksi secara menyeluruh.9

Prognosis Pada kasus-kasus dini dan sedang, prognosis baik terutama bila pasien pindah dari daerah endemik. Pengawasan daerah endemik dapat dilakukan dengan pemberian obat dan pemberantasan vektor. Pada kasus-kasus lanjut terutama dengan edema tungkai, prognosis lebih buruk.2

29

B. MALARIA Definisi Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam darah.

Etiologi Penyebab infeksi malaria adalah plasmodium yang termasuk genus plasmodium dari famili plasmodiae. Plasmodium ini pada manusia menginfeksi eritrosit dan mengalami pembiakan di jaringan hati dan di eritrosit. Pembiakan seksual terjadi di tubuh nyamuk yaitu anopheles betina. Plasmodium yang sering dijumpai di Indonesia adalah plasmodium vivax yang menyebabkan malaria tertiana, dan plasmodium falciparum yang menyebabkan malaria tropika. Plasmodium malariae pernah juga dijumpai tetapi sangat jarang. Plasmodium ovale pernah dilaporkan dijumpai di Irian Jaya, pulau Timor, pulau Owi.10

Patofisiologi Daur hidup Plasmodium ada dua, yaitu: (a) Fase di dalam tubuh nyamuk (fase sporogoni) Di dalam tubuh nyamuk ini terlihat Plasmodium melakukan reproduksi secara seksual. Pada tubuh nyamuk, spora berubah menjadi makrogamet dan mikrogamet, kemudian bersatu dan membentuk zigot yang menembus dinding usus nyamuk. Di dalam dinding usus tersebut zigot akan berubah menjadi ookinet ookista sporozoit, kemudian bergerak menuju kelenjar liur nyamuk. Sporozoit ini akan menghasilkan spora seksual yang akan masuk dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk.10 (b) Fase di dalam tubuh manusia (fase skizogoni) Setelah tubuh manusia terkena gigitan nyamuk malaria, sporozoit masuk dalam darah manusia dan menuju ke sel-sel hati. Di dalam hati ini sporozoit akan membelah dan membentuk merozoit, akibatnya sel-sel hati banyak yang rusak. Selanjutnya, merozoit akan menyerang atau menginfeksi eritrosit. Di dalam eritrosit, merozoit akan membelah diri dan menghasilkan lebih banyak merozoit. Dengan demikian, ia akan menyerang atau menginfeksi
30

pada eritrosit lainnya yang menyebabkan eritrosit menjadi rusak, pecah, dan mengeluarkan merozoit baru. Pada saat inilah dikeluarkan racun dari dalam tubuh manusia sehingga menyebabkan tubuh manusia menjadi demam. Merozoit ini dapat juga membentuk gametosit apabila terisap oleh nyamuk (pada saat menggigit) sehingga siklusnya akan terulang lagi dalam tubuh nyamuk, demikian seterusnya.10

Setelah melalui jaringan hati P.falcifarum melepaskan 18-24 merozoit kedalam sirkulasi. Merozoit yang dilepaskan akan masuk ke dalam sel RES di limpa dan mengalami fagositosis serta filtrasi. Merozoit yang lepas dari fagosit serta filtrasi. Merozoit yang lepas dari filtrasi serta fagositosis dari limpa akan menginvasi eritrosit. selanjutnya parasit berkembang biak secara aseksual dalam eritrosit. Bentuk aseksual parasit dalam eritosit (EP) inilah yang bertanggung jawab dalam patogenesa terjadinya malaria pada manusia. Patogenesa yang banyak di teliti adalah patogenesa malaria yang disebabkan oleh malaria P.falcifarum. Patogenesis malaria falcifarum di pengaruhi oleh factor parasit dan factor penjamu (host). Yang termaksud dalam factor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit dan virulensi parasit. Sedangkan yang dimaksud dengan factor penjamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal, genetic, usia, status nutrisi dan status immunologi. EP secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu stadium cincin pada 24 jam I dan stadium matur pada 24 II. Permukaan stadium cincin akan memampilkan antigen RESA (Ring-erythrocyte surgace antigen) yang menghilang setelah parasit masuk stadium matur. Permukaan membrane EP stadium matur akan mengalami penonjolan dan membentuk knob dengan histidin rich-protein-1 (HRP-1) sebagai komponen utamanya. Selanjutnya bila EP tersebut mengalami merogoni, akan dilepaskan toxin malaria berupa GPI yaitu glikosilfosfatidilinasitol yang merangsang pelepasan TNF- dan interleukin-1 (IL-1) dari makrofag.10

Gambaran Klinis Gejala klasik yaitu terjadinya Trias Malaria : periode dingin (15-60 menit) mulai menggigil, periode panas : wajah merah, nadi cepat, panas badan tetap tinggi, periode berkeringat : penderita berkeringat banyak dan panas menurun, penderita merasa sehat. Anemia merupakan gejala yang sering dijumpaipada infeksi malaria. Bberapa mekanisme terjadniya anemia adalah pengrusakan eritrosit oleh parasit, hambatan eritropoesis sementara,
31

hemolisis oleh karena complement mediated immune complex, eritrofsgositosis, penghambatan pengeluaran retikulosit, dan pengaruh sitokin. Splenomegali sering dijumpai pada penderita.10

Diagnosis Pemeriksaan mikroskopis darah tepi untuk menemukan parasit malaria. Tes Serologi untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap malaria. Metode tes serologi antara lain: Indirect haemagglutination test, immuno-precipitation techniques, ELISA, radio-immunoassay. Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction) dianggap sangat peka, cepat, sensitivitas dan spesifitasnya tinggi.

Penatalaksanaan Secara global, WHO telah menetapkan dipakainya pengobatan malaria dengan memakai obat ACT (Artemisinin base Combination Therapy). Golongan Artemisinin (ART) telah dipilih sebagai obat utama karena efektif dalam mengatasiplasmodium yang resistendengan pengobatan. Selain itu, Artemisinin juga bekerja membunuh plasmodium dalam semua stadium termasuk gametosit juga efektif terhadap semua spesies.10

32

BAB V KESIMPULAN

Pada kasus kali ini didapatkan pasien seorang laki-laki berusia 35 tahun yang datang dengan keluhan utama demam dan bengkak di tungkai kanan atas. Dari demam dapat ditarik beberapa hipotesis yaitu filariasis, malaria, leptospirosis, schistosomiasis, demam berdarah dengue, dan demam tifoid. Sedangkan untuk bengkak di tungkai diduga merupakan edema, atau akibat dari trauma yang mungkin pernah dialami pasien. Dengan anamnesis tambahan didapatkan keluhan tambahan yaitu demam sering disertai oleh bengkak pada daerah axilla dan inguinal, juga disertai oleh rasa nyeri. Sifat demam, dijelaskan oleh pasien, hilang timbul dan terutama terjadi pada malam hari setelah bekerja keras di sawah. Dari sifat demam yang hilang timbul maka leptospirosis, demam berdarah dengue, dan demam tifoid dapat disingkirkan dari hipotesis karena penyakit ini disertai oleh demam yang tidak hilang-timbul. Selain itu, pasien juga mengeluhkan adanya batuk dan sesak nafas pada malam hari dengan mengeluarkan dahak yang kental. Dicurigai karena adanya gangguan pada paru-paru, yang bisa didapatkan pada occult filariasis. Dari hasil anamnesis juga diketahui bahwa pasien tinggal di sebuah desa di Irian Jaya, maka schistosomiasis dapat disingkirkan dari hipotesis sebab cacing penyebab yang ditemukan di Indonesia yaitu Schistosoma japonicum hanya ditemukan di Sulawesi. Pemeriksaan fisik dilakukan dimana dapat ditemukan pembesaran kelenjar getah bening yang kenyal dan nyeri pada perabaan (yaitu disebabkan oleh suatu infeksi bukan suatu keganasan) dan edema ringan pada tungkai yang pitting terlokalisasi yang kemungkinan terjadi karena obstruksi vena atau pembuluh limfe. Edema yang pitting menunjukan bahwa belum terjadi elephantiasis dan edema bukan disebabkan oleh permeabilitas vaskular yang meningkat (edema inflamasi). Tidak adanya asites menyingkirkan kemungkinan adanya edema generalisata yang bisa disebabkan oleh gagal jantung, sindroma nefrotik, atau sirosis hati. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik disimpulkan diagnosis kerja pada pasien ini yaitu filariasis dengan diagnosis banding malaria. Maka dari itu, diperlukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium darah lengkap dan sediaan apus darah tepi untuk menegakan suatu diagnosis pasti. Hasil pemeriksaan lab menunjukan anemia ringan yang bisa terdapat pada malaria, dan eosinofilia yang biasa terdapat pada filariasis. Pada sediaan apus darah tepi

33

ditemukan mikrofilaria dari Wuchereria bancrofti sehingga diagnosis pasti filariasis dapat ditegakan. Ini tidak menutup kemungkinan terjadi malaria menyertai filariasis pada pasien ini. Penatalaksanaan ditujukan untuk membunuh parasit dan mencegah perkembangan dari penyakit. Obat-obatan yang dapat digunakan ialah DEC, ivermektin, dan doksisiklin. Selain itu pasien diedukasi agar menjaga kebersihan tungkainya yang sudah mengalami limfedema. Pasien juga dianjurkan untuk menghindar dari gigitan nyamuk. Filariasis pada pasien ini tidak akan menyebabkan kematian namun karena sudah menyebabkan limfedema pada tungkai bisa menggangu fungsi dari tungkai pasien. Selain itu reinfeksi dapat terjadi karena pasien tinggal di Irian Jaya yang endemis untuk penyakit ini.

34

BAB VI DAFTAR PUSTAKA

1. Supali T, Sri S, Margono, Alisah SN, Abidin. Nematoda jaringan. In: Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S; editors. Buku ajar parasitologi kedokteran. 4th ed. Jakarta: FKUI; 2008. p.32-42. 2. KR. Fever. In: Kleigman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF; editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. p.1084-6. 3. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. 11th ed. Jakarta: Elsevier; 2007. p.319. 4. Braunwald E, Loscalzo J. Edema. In: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J; editors. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17 th ed. New York: McGraw Hill Companies; 2008. 5. Nelwan RHH. Demam: tipe dan pendekatan. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S; editors. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2007. p.1697. 6. Abbas AK, Lichtman AH. Basic Immunology: Functions and Disorders of the Immune System. In: Malley J, editor. 2nd ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2004. p.115, 148, 198. 7. Natadidjaja H. Penuntun Kuliah: Anamnesis dan Pemeriksaan Jasmani. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti; 2003. 8. Priyana A. Patologi klinik: untuk kurikulum pendidikan dokter berbasis kompetensi. 2nd ed. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti; 2007. p.7, 15, 21, 25, 33, 37. 9. Pohan HT. Filariasis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S; editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th ed. Jakarta: InternaPublishing; 2009. p.2931. 10. Widodo D. Malaria. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S; editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th ed. Jakarta: InternaPublishing; 2009. p.2797.

35

Anda mungkin juga menyukai