OLEH :
Ida Ayu Padmita Utami
H1A 008 010
Pembimbing
dr. Wahyu S. Affarah
BAB 1
PENDAHULUAN
Infeksi cacing masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang
termasuk Indonesia
bahwa masyarakat pedesaan atau daerah perkotaan yang sangat padat dan kumuh merupakan
sasaran yang mudah terkena infeksi cacing.1 Penyakit infeksi kecacingan merupakan salah satu
penyakit yang masih banyak terjadi di masyarakat namun kurang mendapatkan perhatian
(neglectet diseases). Penyakit yang termasuk dalam kelompok neglected diseases memang tidak
menyebabkan wabah yang muncul dengan tiba-tiba ataupun menyebabkan banyak korban, tetapi
merupakan penyakit yang secara perlahan menggerogoti kesehatan manusia. Infestasi cacing
dalam jumlah yang cukup banyak dapat menimbulkan keadaan kurang gizi (malnutrisi).
Cacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan (absorpsi), dan
metabolisme makanan. Secara kumulatif infeksi cacinganan dapat menimbulkan kurangan gizi
berupa kalori dan protein, serta kehilangan darah yang berakibat menurunnya daya tahan tubuh
dan menimbulkan gangguan tumbuh kembang anak.1,2
Diare yang juga menjadi salah satu penyakit yang masih sering terjadi di Indonesia dapat
disebabkan oleh berbagai hal. Salah satu penyebab yang sering luput dari perhatian kita adalah
diare akibat infeksi parasit yaitu cacing. Indonesia sebagai negara berkembang dan negara tropis
diperkirakan memiliki angka kejadian infeksi parasit yang cukup tinggi.2
Salah satu jenis penyakit dari kelompok cacing adalah penyakit kecacingan yang
diakibatkan oleh infeksi cacing kelompok Soil Transmitted Helminth (STH), yaitu kelompok
cacing yang siklus hidupnya melalui tanah. Penyakit parasitik yang termasuk ke dalam neglected
diseases tersebut merupakan penyakit tersembunyi atau silent diseases, dan kurang terpantau
oleh petugas kesehatan.3 Penyakit kecacingan yang diakibatkan oleh infeksi Soil Transmitted
Helminth merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia.
Infeksi kecacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan
2
produktivitas penderita sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena adanya
kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah yang pada akhirnya dapat
menurunkan kualitas sumber daya manusia. Prevalensi infeksi kecacingan di Indonesia masih
relatif tinggi pada tahun 2006, yaitu sebesar 32,6 %, terutama pada golongan penduduk yang
kurang mampu dari sisi ekonomi.1,2,3
Lima spesies cacing yang termasuk dalam kelompok Soil Transmitted Helminth yang
masih menjadi masalah kesehatan, yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides
stercoralis dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma sp). Di Indonesia, angka
nasional prevalensi kecacingan pada tahun 1987 sebesar 78,6 % masih relatif cukup tinggi.
Program pemberantasan penyakit kecacingan pada anak yang dicanangkan tahun 1995 efektif
menurunkan prevalensi kecacingan menjadi 33,0 % pada tahun 2003. Sejak tahun 2002 hingga
2006, prevalensi penyakit kecacingan secara berurutan adalah sebesar 33,3 %, 33,0 %, 46,8 %
28,4 % dan 32,6 %. Kelompok ekonomi lemah ini mempunyai risiko tinggi terjangkit penyakit
kecacingan karena kurang adanya kemampuan dalam menjaga higiene dan sanitasi lingkungan
tempat tinggalnya.2,3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Infeksi Cacing
Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit paling umum tersebar dan menjangkiti
lebih dari 2 miliar manusia di seluruh dunia. Walaupun tersedia obat-obat baru yang lebih
spesifik dengan kerja lebih efektif, pembasmian penyakit cacing masih tetap merupakan masalah
disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi di beberapa bagian dunia. 2,3 Pada umumnya, cacing
jarang menimbulkan penyakit yang parah, tetapi dapat menyebabkan gangguan kesehatan kronis
yang merupakan suatu faktor ekonomis yang penting. Di negara berkembang, termasuk
Indonesia, penyakit cacing adalah penyakit rakyat umum yang sama pentingnya dengan misalnya
malaria dan TBC. Infeksinya dapat terjadi secara simultan oleh beberapa jenis cacing.2,3
2.1.1 Epidemiologi Penyakit Kecacingan
Di Indonesia, infeksi cacingan merupakan masalah kesehatan yang sering dijumpai.
Angka kejadian infeksi cacingan yang tinggi tidak terlepas dari keadaan Indonesia yang beriklim
tropis dengan kelembaban udara yang tinggi serta tanah yang subur yang merupakan lingkungan
yang optimal bagi kehidupan cacing. Infeksi cacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di
perkotaan. Hasil survei Cacingan di Sekolah Dasar di beberapa propinsi pada tahun 1986-1991
menunjukkan prevalensi sekitar 60% - 80%, sedangkan untuk semua umur berkisar antara 40%
-60%. Hasil Survei Subdit Diare pada tahun 2002 dan 2003 pada 40 SD di 10 provinsi
menunjukkan prevalensi berkisar antara 2,2% - 96,3% .2,3
Pada banyak penelitian, intensitas dan prevalensi infeksi cacingan meningkat pada anakanak dan remaja. Kurva intensitas menurun sejalan dengan bertambahnya usia. Puncak intensitas
terjadi antara umur 5-10 tahun untuk Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura, sedangkan
cacing tambang pada umur 10 tahun. Infeksi cacingan juga dipengaruhi oleh perilaku individu.
Intensitas dan prevalensi yang tinggi pada anak disebabkan oleh kebiasaan memasukkan jari-jari
tangan yang kotor ke dalam mulut. Pada infeksi cacing tambang, prevalensi yang tinggi di
dapatkan pada anak dengan umur lebih tua, hal ini kemungkinan disebabkan oleh mobilitas
anak.6
Penyebaran infeksi cacing Ascharis dan Trichuris mempunyai pola yang hampir
sama. Aschariasis adalah penyakit infeksi cacingan yang distribusinya di seluruh dunia
dan menginfeksi lebih dari 1.000 juta orang. Sebagian besar infeksi terjadi di negara yang
sedang berkembang, di Asia dan Amerika latin. Di daerah endemik dengan tingkat
kejadian Ascaris dan Trichiuris tinggi terjadi penularan secara terus menerus. Transmisi
ini dipengaruhi oleh berbagai hal yang menguntungkan parasit, seperti keadaan iklim dan
tanah yang sesuai. Kedua spesien ini memerlukan tanah liat untuk berkembang. Telur
Ascaris yang telah dibuahi jatuh di tanah yang sesuai, menjadi matang dalam 3 minggu
pada suhu optimum 25-300C. Telur Ascaris akan matang dalam waktu 3 minggu pada
suhu optimum kira-kira 300C. Selain keadaan tanah dan iklim yang sesuai, keadaan
endemic juga dipengaruhi oleh jumlah telur yang dapat hidup sampai menjadi bentuk
infektif dan masuk ke dalam tubuh hospes. Beberapa jenis antelmentik mempunyai efek
memperlambat masa perkembangan telur bahkan menimbulkan perubahan bentuk telur
sehingga memperkecil reinfeksi.2,3
Banyak telur yang dihasilkan satu ekor cacing adalah sebagai berikut : Ascaris
kira-kira 200.000 sehari, Trichuris kira-kira 5.000 sehari dan cacing tambang 9.00010.000 sehari. Jumlah telur yang dapat berkembang semakin banyak pada masyarakat
dengan infeksi yang semakin berat akibat defekasi di sembarang tempat khususnya di
tanah.
Cacing tambang banyak dijumpai pada pekerja perkebunan yang langsung
berhubungan dengan tanah. Kebiasaan defekasi di tanah dan pemakaian tinja sebagai
pupuk kebun penting dalam penyebaran infeksi. Tanah yang gembur (berpasir dan
humus) serta lembab sangat baik untuk perkembangan larva dengan suhu optimum 28320C.6
2.1.2 Jenis Penyakit Cacing
2.1.2.1 Askariasis
1.
Cacing dewasa hidup di saluran usus halus, seekor cacing betina mampu
2.
menghasilkan telur sampai 240.000 perhari yang akan keluar bersama feses.
Telur yang sudah dibuahi mengandung embrio dan menjadi infective setelah
3.
4.
5.
tempat teduh)
Telur infective tertelan
Masuk ke usus halus dan menetas mengeluarkan larva yang kemudian
menembus mucosa usus, masuk kelemjar getah bening dan aliran darah dan
6.
Siklus Hidup
dan hipokromik karena kekurangan zat besi akibat kehilangan darah secara
kronis. Cacing dewasa terutama hidup di daerah yeyunum dan duodenum. Telur
dikeluarkan melalui tinja dan tidak infektif pada manusia. Larva filariform yang
bersifat infektif hidup secara bebas di dalam tanah dan air.6
Siklus Hidup
kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Setelah menembus kulit,
larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru-paru menembus
pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan larynk. Dari larynk, larva
ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi
terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan.
Gambaran klinis walaupun tidak khas, tidak cukup mendukung untuk
memastikan untuk dapat membedakan dengan anemia karena defisiensi makanan
atau karena infeksi cacing lainnya. Diagnosa terakhir ditegakkan dengan
menemukan telur cacing pada feses penderita. Secara praktis telur cacing
Ancylostoma duodenale tidak dapat dibedakan dengan telur Necator americanus.
Untuk membedakan kedua spesies ini biasanya dilakukan tekhnik pembiakan
larva.2,3
2.1.2.4. Trichiuriasis
Trichuris trichiura
bentuknya mirip cambuk, cacing ini sering disebut sebagai cacing cambuk (whip
worm). Cacing ini tersebar luas di daerah tropis yang berhawa panas dan lembab.
Trichuris trichiura hanya dapat ditularkan dari manusia ke manusia sehingga
cacing ini bukan parasit zoonosis. Manusia adalah hospes utama cacing Trichuris
trichiura. Cara infeksi adalah langsung, tidak diperlukan hospes perantara.
Adapun cacing dewasa melekat pada mukosa usus penderita, terutama di daerah
sekum dan kolon, dengan membenamkan kepalanya di dalam dinding usus. Larva
menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limpa
kemudian terbawa oleh darah sampai ke jantung menuju paru-paru. Kadang
kadang cacing ini ditemukan hidup di apendiks dan ileum bagian distal.
Kelainan patologis yang disebabkan oleh cacing dewasa terutama terjadi
karena kerusakan mekanik di bagian mukosa usus dan respons alergi. Keadaan ini
erat hubungannya dengan jumlah cacing, lama infeksi, umur dan status kesehatan
umum dari hospes (penderita). Gejala yang ditimbulkan oleh cacing cambuk
10
biasanya tanpa gejala pada infeksi ringan. Pada infeksi menahun dapat
menimbulkan anemia, diare, sakit perut, mual dan berat badan turun.
Siklus Hidup
13
Berbagai penyakit dapat ditularkan oleh lalat, misalnya telur cacing. Lalat Musca
domestica yang sering terdapat pada tumpukan sampah dapat membawa telur cacing
Oxyrus vermicularis, Trichuris trichiura, cacing tambang, serta acsaris lumbricoides.
Lalat suka hidup di tempat kotor yaitu tumpukan sampah, makanan, dan tinja, dari situlah
lalat membawa berbagai mikroorganisme, karena tubuh lalat tertutup bulu-bulu yang
mengandung semacam perekat. Telur ascaris banyak ditemukan di sekitar tumpukan
sampah (55%) dan di tempat teduh di
ditemukan di sekitar sumur, tempat cuci, dekat jamban, pinggir kali bahkan di dalam
rumah. Kepadatan penghuni dalam rumah juga berperan dalam penularan cacing.
Pencemaran tanah dengan tinja manusia merupakan penyebab transmisi telur
A.lumbricoides dan T.trichiura dari tanah kepada manusia melalui tangan dan kuku yang
tercemar telur cacing, lalu masuk kemulut melalui makanan. Transmisi telur cacing,
selain melalui tangan, ini dapat juga melalui makanan dan minuman, terutama makanan
jajanan yang tidak dikemas dan tidak tertutup rapat. Telur cacing yang ada di tanah/debu
akan sampai pada makanan tersebut, jika diterbangkan oleh angin, atau dapat juga
melalui lalat yang sebelumnya hinggap di tanah/selokan/air limbah sehingga kakikakinya membawa telur cacing tersebut.3
Transmisi melalui sayuran yang dimakan mentah (tidak dimasak) dan proses
membersihkannya tidak sempurna juga dapat terjadi, terlebih jika sayuran tersebut diberi
14
pupuk dengan tinja segar. Di beberapa negara penggunaan tinja sebagai pupuk harus
diolah dahulu dengan bahan kimia tertentu berupa desinfestasi.6
2.4.5 Dampak Infeksi Kecacingan pada Anak
Kecacingan jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung, namun sangat
mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Infeksi cacing gelang yang berat akan
menyebabkan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak-anak.
Infeksi
cacing
tambang
(Ancylostoma
duodenale
dan
Necator
americanus)
secara menahun, cacing tambang ini sudah dikenal sebagai penghisap darah. Seekor
cacing tambang mampu menghisap darah 0,2 ml per hari. Apabila terjadi infeksi berat,
maka penderita akan kehilangan darah secara perlahan dan dapat menyebabkan anemia
berat.6
15
Mebendazol
Ester-metil dari benzimidazol ini adalah antihelmintik berspektrum luas yang
sangat efektif terhadap cacing kermi, gelang, pita, cambuk dan tambang. Obat
ini banyak digunakan sebagai monoterapi untuk penanganan massal penyakit
cacing, juga pada infeksi campuran dengan dua atau lebih jenis cacing.
Mebendazol bekerja sebagai vermisid, larvisid dan juga ovisid. Mekanisme
kerjanya melalui perintangan pemasukan glukosa dan mempercepat
penggunaan glikogen pada cacing. Penggunaan mebendazol tdak memerlukan
laksans. Resorpsinya dari usus adalah kecil yaitu kurang dari 10%.
Piperazin
Zat basa ini sangat efektif terhadap cacing gelang (Ascaris) dan cacing kermi
(Oxyuris) berdasarkan perintangan penerusan-impuls neuromuskuler, hingga
cacing dilumpuhkan dan kemudian dikeluarkan dari tubuh melalui gerakan
peristaltik usus. Di samping itu juga, piperazin juga mempunyai khasiat
sebagai laksans lemah. Dahulu obat ini banyak digunakan kerana efektif dan
murah, tetapi sejak tahun 1984, banyak negara Barat menghentikan
penggunaannya berhubung efek samping terutama neurotoksisitasnya.
Resorpsi dari usus adalah cepat dan kurang lebih 20% diekskresikan melalui
18
pencegahan penyakit Cacingan di Indonesia secara nasional dimulai tahun 1975 setelah dibentuk
unit struktural di Direktorat Jenderal P3M (Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular).
Departemen Kesehatan, yaitu Sub Direktorat Cacing Tambang dan Parasit Perut Lainnya karena
terbatasnya dana kebijakan pemberantasan cacingan dilakukan Limited Control Programme.
Menteri Kesehatan mencanangkan Pemberantasan Cacingan melalui UKS (Usaha
Kesehatan Sekolah) dan Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) ialah suatu
upaya untuk meningkatkan ketahanan fisik bagi anak Sekolah Dasar/MI di seluruh Indonesia.
Sebagai salah satu upaya untuk mempertahankan efektifitas asupan gizi yang diberikan, para
pakar gizi dan kesehatan menyarankan agar PMT-AS diberikan dengan pemberian obat cacing.
Pemikiran ini didasarkan pada kajian teknis medis dampak Cacingan terhadap keadaan zat gizi.
Cacing sebagai hewan parasit tidak saja mengambil zat-zat gizi dalam usus anak, tetapi juga
merusak dinding usus sehingga mengganggu penyerapan zatzat gizi tersebut.
Sebenarnya infeksi cacing perut akan berkurang bahkan dapat dihilangkan sama sekali
bila diupayakan budaya hidup sehat, lingkungan bersih, makanan bergizi, yang nantinya akan
tercapai dengan sendirinya dalam program pembangunan pengentasan kemiskinan. Bila keadaan
ekonomi naik, maka ia akan membuat rumah yang lebih baik, jamban yang baik, mengirim anakanaknya ke sekolah supaya lebih mengetahui masalah kesehatan, membeli radio dan TV supaya
dapat mendengar siaran-siaran tentang penyuluhan kesehatan, sehingga dapat merubah perilaku
ke arah budaya hidup sehat. Jelaslah bahwa pembangunan di semua sektor akan membantu
meningkatkan derajat kesehatan secara umum termasuk menanggulangi infeksi cacing.
Dalam program jangka pendek, dimulai dengan mengurangi prevalensi infeksi cacing
dengan membunuh cacing itu melalui pengobatan, dengan pengobatan, intensitas infeksi (jumlah
cacing per individu) dapat ditekan, sehingga dapat memperbaiki derajat kesehatan.
Program penanggulangan jangka panjang harus dilaksanakan secara berkesinambungan
dengan melalui pemberdayaan masyarakat dan peran swasta sehingga mereka mampu dan
mandiri dalam melaksanakan penanggulangan penyakit cacingan, yaitu berperilaku hidup bersih
dan sehat, meningkatkan kesehatan perorangan dan lingkungan, dengan demikian diharapkan
produktifitas kerja akan meningkat. Menurut rekomendasi WHO bahwa dalam penanggulangan
penyakit cacingan ada tiga hal yang harus dilakukan yaitu:
20
1)
Pengobatan
Pengobatan dilakukan dengan dua cara pendekatan yaitu Blanket Treatment dan
Selective Treatment dengan mengunakan obat yang aman dan berspektrum luas, efektif,
tersedia dan terjangkau harganya, serta dapat membunuh cacing dewasa, larva dan telur.
Pada awal pelaksanaan kegiatan pengobatan harus didahului dengan survei untuk
mendapat data dasar. Bila pemeriksaan tinja dilakukan secara sampling dan hasil pemeriksaan
tinja menunjukan prevalensi 30% atau lebih, dilakukan pengobatan massal, sebaliknya bila
prevalensi kurang dari 30%, maka dilakukan pemeriksaan tinja secara menyeluruh (total
screening). Apabila hasil pemeriksaan total screening menunjukkan prevalensi di atas 30%, maka
harus dilakukan pengobatan massal. Apabila prevalensi kurang dari
Pencegahan
Tindakan preventif yaitu dengan melakukan pengendalian faktor risiko, yang meliputi
kebersihan lingkungan, keberhasilan pribadi, penyediaan air bersih yang cukup, semenisasi lantai
rumah, pembuatan dan penggunaan jamban yang memadai, menjaga kebersihan
makanan,
Promotif
22
ditemukan 2 kasus cacingan. Sehingga total kasus dari tahun 2009 hingga Maret 2014
kecacingan adalah 155 kasus kecacingan.
jumlah kasus
45
40
35
30
25
Axis Title
20
15
10
5
0
2009
2010
2011
2012
2013
23
2.2 Gambaran Penyakit Diare dan Gizi Buruk di Puskesmas Gunung Sari
Berdasarkan data Puskesmas Gunung Sari, jumlah kasus diare pada balita tahun 2012
sebanyak 2.471 kasus meningkat dari tahun 2011 yaitu sebanyak 1.239 kasus. Jumlah kasus diare
pada balita tertinggi di daerah Desa Sesela seperti pada tahun sebelumnya yaitu sebanyak 827
kasus sedangkan jumlah kasus terendah di desa Guntur Macan dengan jumlah 33 kasus. Kasuskasus diare biasanya terjadi pada musim kemarau karena terbatasnya air bersih dan pada saat
bulan pertama musim hujan karena sumber air bersih yang digenangi air hujan.5
24
Jumlah balita gizi buruk dengan status gizi kurus sekali sebanyak 25 kasus dimana desa
terbanyak adalah Desa Sesela dan dea Midang sebanyak 6 kasus dan terendah atau tidak ada
kasus di Desa Taman Sari. Kasus gizi buruk dengan status kurus sekali didapatkan dari penapisan
kasus BGM yang diukur Tinggi Badannya kemudian disesuaikan dengan indikator BB/TB.5
Dari 25 kasus tersebut semuanya telah mendapatkan penanganan PMT penyuluhan di Pos
Gizi dan PMT-Pemulihan selama 90 Hma (Hari makan) yang dananya bersumber dari BOK.
Kasus gizi kurang/Kurus berdasarkan BB/TB tahun 2012 sebanyak 39 orang meningkat
dibanding tahun 2011 yang ada 20 kasus. Kemudian segera dilakukan tindakan pemberian PMTpemulihan untuk mencegah jatuh menjadi gizi buruk. Yang diberikan adalah pemberian susu dan
makanan tambahan selama 90 hari.5
Tabel 1. Data 10 Penyakit Terbanyak (rawat inap) Puskesmas Gunung Sari Tahun 2012
NO
PENYAKIT
TOTAL
1.
Gastritis
190
2.
174
3.
Infeksi Saluran
116
4.
Thypoid
102
5.
Diare
93
6.
Asma
34
25
7.
Diabetes Melitus
31
8.
Disentri
31
9.
Anemia
22
10.
Pneumonia
31
PENYAKIT
TOTAL
1.
ISPA
1837
2.
Gastritis
1546
3.
1002
4.
Hipertensi
864
5.
862
6.
774
7.
655
8.
566
9.
556
Penyakit terbanyak pada tahun 2012 di Puskesmas Gunung sari dapat dilihat pada grafik di
bawah ini.
26
27
Berdasarkan mekanismenya, diare dibedakan menjadi dua, yaitu diare akibat gangguan
absorbsi dan diare akibat gangguan sekresi. Menurut lamanya, diare dibedakan menjadi diare
akut yang berlangsung kurang dari 14 hari, diare persisten yang berlangsung lebih dari 14 hari,
dan diare kronik berlangsung lebih dari 14 hari dan berlangsung intermitten.
Diare akut disebabkan 90% oleh infeksi bakteri dan parasit sedangkan yang lain dapat
disebabkan oleh obat-obatan dan bahan-bahan toksik. Diare ditularkan fekal oral. Faktor penentu
terjadinya diare akut sangat dipengaruhi oleh faktor pejamu (host), yaitu faktor yang berkaitan
dengan kemampuan pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme dan faktor penyebab (agent),
yang berkaitan dengan kemampuan mikroorganisme dalam menyerang sistem pertahanan tubuh
host. Beberapa agen infeksi yang dapat menyebabkan diare inflamasi antara lain dari golongan
protozoa adalah Entamoeba hystolitica dan dari golongan cacing adalah Trichuris
trichiura( cacing cambuk)
Trichuris trichiura dapat ditemukan baik di negara maju maupun negara berkembang.
Diperkirakan Trichuris trichiura merupakan prevalensi terbesar ketiga infeksi oleh cacing usus
dan merupakan penyebab terbanyak diare karena infeksi cacing. Prevalensi sangat tergantung
dari pola sanitasi, higiene perorangan, dan juga status nutrisi seseorang. Cacing ini terutama
ditemukan di daerah panas dan lembab, seperti Indonesia. Di beberapa daerah di Indonesia,
prevalensi masih tinggi seperti yang dilaporkan oleh Departemen Kesehatan pada tahun
1990/1991; 53% pada masyarakat Bali, 36,2% di perkebunan di Sumatra Selatan, 51,6% pada
sejumlah sekolah di Jakarta.6
2.5.3. Patogenesis
Cacing trichuris terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat juga ditemukan di kolon
asendens. Pada infeksi berat, cacing trichuris tersebar di seluruh kolon dan rektum. Cacing ini
memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus sehingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi
dan peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Selain itu
cacing ini menghisap darah pejamu sehingga dapat menimbulkan anemia.2,3
BAB 3
28
LAPORAN KASUS
Keluhan utama: keluhan keluar cacing saat berak bercampur darah dan lendir sejak seminggu
lalu.
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke UGD Puskesmas Gunung Sari pada 12/04/2014 dengan keluhan berak
bercampur darah dan lendir sejak seminggu lalu. Buang air besar dalam sehari mencapai 4-5
kali/hari, konsistensi lembek, terdapat ampas disertai lendir dan darah serta nyeri sewaktu BAB.
Ayah pasien juga menyatakn sudah beberapa kali keluar cacing dari anusnya, terakhir dua hari
sebelum berobat ke puskesmas (10/04 2014). Keluar cacing putih panjang berukuran >15 cm
sebanyak tiga ekor terjadi saat pasien buang air besar di pagi hari. Menurut keluarga pasien ,
pasien tidak pernah merasakan anusnya gatal. Pasien juga sering mual dan muntah terutama
setelah makan. Perut pasien juga kadang tampak kembung.
Pasien juga dikeluhkan demam, hilang timbul dirasakan terutama pada malam hari.
Demam dirasakan sejak 3 hari terakhir namun tidak terlalu tinggi. Demam disertai dengan
batuk-pilek.
Riwayat penyakit dahulu
Pasien sering mengalami keluhan berak darah disertai lendir dan keluar cacing sejak usia 2
tahun. Pasien pun sempat di rawat inap beberapa kali di puskesmas gunung sari dan RSUP NTB
karena keluhan serupa dan sempat dinyatakan mengalami gizi buruk oleh dokter.
Menurut ibunya, anaknya memang telah dinyatakan mengalami gizi buruk sewaktu berusia
3 tahun. Sudah sering diberikan makanan penambah gizi tetapi anknya tetap saja kurus.
Riwayat penyakit keluarga
Adik pasien mengalami keluhan serupa yaitu keluar cacing saat berak beberapa bulan yang
lalu. Namun menurut pengakuan ayah sudah meminum obat dari puskesmas.
Riwayat pengobatan
29
Pasien sudah pernah mendapatkan pengobatan untuk keluhanya saat ini. Pasien berulang
kali pernah di opname di rumah sakit atau puskesmas sebelumnya.
Riwayat alergi
Menurut Ibu pasien, ia tidak memiliki alergi terhadap makanan ataupun obat obatan.
Riwayat pribadi dan sosial
1. Riwayat nutrisi
Saat ini pasien sudah berusia 5 tahun, dan telah diberikan makanan seperti nasi, sayur,
dan lauk yang sama dengan orang tuanya. Menurut ibu, pasien jarang makan di rumah
dan lebih sering membeli makanan yang dijual di warung. Nafsu makan pasien beberapa
bulan terakhir menurun.
2. Perkembangan dan kepandaian
Pasien anak ke 7 dari delapan bersaudara. Menurut pengakuan ibu,
ada gangguan
perkembangan dan kepandaian pada anaknya. Anaknya lebih kecil dan kurus dibanding
anak lain yang umurnya sama. Anak juga lebih terlihat lemas, jarang suka bermain atau
berlari-lari seperti anak lainnya. Pasien belum bersekolah. Sehari-hari hanya berdiamdiri
di rumah.
3. Vaksinasi
Menurut pengakuan ibunya, pasien imunisasi pasien sudah lengkap.
Ikhtisar Keluarga
30
Keterangan:
1: ibu pasien
H: adik pasien
2: ayah pasien
G: pasien
: tinggal dalam satu rumah
Riwayat Lingkungan, Sosial, dan Ekonomi
Pasien tinggal dalam satu rumah bersama ibu dan adik pasien. Ibu bekerja
sebagai pembantu dengan penghasilan sekitar 500.000/ bulan, terkadang ibu pasien
juga berjualan seadanya. Ibu pasien mengaku dengan penghasilan tersebut ia mampu
mencukupi kebutuhan makan sehari-hari keluarganya.
Tempat tinggal pasien adalah rumah beratap genteng, tidak memiliki plavon, dengan
lantai semen dan keramik, yang terdiri dari 3 kamar tidur, satu ruang tamu, dan satu
ruang gudang, dapur dan kamar mandi. Pasien biasanya tidur bersama ibu dan
kakaknya dalam satu kamar berukuran 3 meter x 2 meter, dengan sebuah kasur
berbahan kapuk. Kamar tidur memiliki sebuah jendela berkuran 50 cmx 25cm,
sedangkan ruang keluarga memiliki dua buah jendela berukuran 50 cm x 25 cm.
Jendela tersebut jarang dibuka. Ibu pasien memasak menggunakan gas. Sumur
sebagai sumber air terdapat di luar rumah. Air sumur digunaka untuk minum,
memasak, mencuci dan keperluan mandi. Air sumur yang diminum terkadang tidak
31
dimasak terlebih dahulu. Sumur tersebut tidak terlalu dalam dan airnya agak keruh,
terutama pada musim hujan. Tanah disekitar rumah agak lembab dan di beberapa
lokasi becek dan terdapat tumpukan sampah.
Anak
juga
tidak
pernah
menggunakan alas kaki saat di rumah dan jarang memotong kuku jari dan kaki.
Warga
disekitar
rumah
pasien
masing
sering
melakukan
aktifitas
mandi,cuci,kakus di sungai dekat rumah. Pasien pun lebih sering berak disungai dan
mandi di sungai.
PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Present (16 April 2014)
Keadaan umum
: Baik
Kesadaran
: Somnolen
GCS
: E4V5M5
Nadi
Pernapasan
Suhu
b.
BB
TB:
Lingkar kepala
Status gizi
: 24 X/menit
: 37,3C
: 19 kg
: 102 cm
: 50 cm
: buruk
Status General
Kepala :
Ekspresi wajah: seperti orang tua, Bentuk dan ukuran: bulat dan sedang, Edema (-),
Malar rash (-),Nyeri tekan kepala (-), rambut : berwarna kecoklatan
Mata :
Bentuk: mata cowong , Alis: normal, Bola mata: exopthalmus (-/-),nystagmus (-/-),
strabismus (-/-), Palpebra: edema (-/-), ptosis (-/-), Konjungtiva : anemia (+/+),
Sklera : ikterus (-/-), perdarahan (-), hiperemia (-/-),Pupil : bulat, isokor, refleks cahaya
(+/+), Lensa: tampak jernih.
Telinga :
32
Bentuk: normal, Lubang telinga: normal, sekret (-/-), Nyeri tekan (-/-).
Hidung :
Bentuk: simetris, deviasi septum (-), Napas cuping hidung (-), Perdarahan (-), sekret
(+), Daya penciuman normal.
Mulut :
Bentuk: simetris, Bibir: sianosis (-), kering (+), edema (-), stomatitis (+),Gigi :
lengkap, Gusi: hiperemia (-), edema (-), perdarahan (-), Mukosa: normal, Lidah:
glositis (-), atropi papil lidah (-), Faring: hiperemia (+)
Leher :
Kaku kuduk (-), Scrofuloderma (-), Pembesaran KGB (-), Trakea: di tengah, JVP:
tidak meningkat, Pembesaran otot sternocleidomastoideus (-), Otot bantu nafas SCM
tidak aktif , Pembesaran thyroid (-).
Thorax :
Cor:
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba ICS 5 midklavikula sinistra
Perkusi : Auskultasi : S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo:
Inspeksi : Bentuk simetris
Pergerakan simetris
Iga dan sela iga : retraksi (-), penggunaan otot bantu intercostal (-),
Pelebaran sela iga ()
Pernafasan : frekuensi 24 x/menit, teratur
Palpasi : Pergerakan simetris
Fremitus raba dan vokal simetris
Provokasi nyeri ()
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Nyeri ketok ()
Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+
Suara tambahan rhonki -/33
Abdomen :
Inspeksi :
Bentuk: distensi (+), Umbilicus: masuk merata, Permukaan Kulit : sikatrik (-), pucat
(-), sianosis (-).
Auskultasi :
Palpasi :
ttb
Perkusi : Timpani (+), Redup beralih (-), Nyeri ketok CVA: (-/-)
Inguinal-genitalia-anus :
Inspeksi tidak ditemukan kelainan
34
Pemeriksaan Penunjang
Cek DL, UL, Feces lengkap
Diagnosis Kerja
Diare akut et causa Suspek Ascariasis dengan Gizi buruk
Terapi
Prognosis
Dubia ad Bonam
KIE
35
Menjaga kebersihan diri, sering gunting kuku, membiasakan cuci tangan dengan sabun
air.
Tidak makan makanan mentah (sayuran,daging babi, daging sapi dan daging ikan), buah
BAB IV
36
PENELUSURAN KASUS
4. 1.
berkembang termasuk Indonesia. Dikatakan pula bahwa masyarakat pedesaan atau daerah
perkotaan yang sangat padat dan kumuh merupakan sasaran yang mudah terkena infeksi
cacing. Penyakit infeksi kecacingan merupakan salah satu penyakit yang masih banyak
terjadi di masyarakat namun kurang mendapatkan perhatian (neglectet diseases). Penyakit
yang termasuk dalam kelompok neglected diseases memang tidak menyebabkan wabah yang
muncul dengan tiba-tiba ataupun menyebabkan banyak korban, tetapi merupakan penyakit
yang secara perlahan menggerogoti kesehatan manusia.
Infestasi cacing dalam jumlah yang cukup banyak dapat menimbulkan keadaan
kurang gizi (malnutrisi). Cacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif),
penyerapan (absorpsi), dan metabolisme makanan. Secara kumulatif infeksi cacinganan dapat
menimbulkan kurangan gizi berupa kalori dan protein, serta kehilangan darah yang berakibat
menurunnya daya tahan tubuh dan menimbulkan gangguan tumbuh kembang anak.
Diare yang juga menjadi salah satu penyakit yang masih sering terjadi di Indonesia
dapat disebabkan oleh berbagai hal. Salah satu penyebab yang sering luput dari perhatian kita
adalah diare akibat infeksi parasit yaitu cacing. Indonesia sebagai negara berkembang dan
negara tropis diperkirakan memiliki angka kejadian infeksi cacing yang cukup tinggi.
Sejak tahun 2002 hingga 2006, prevalensi penyakit kecacingan secara berurutan
adalah sebesar 33,3 %, 33,0 %, 46,8 % 28,4 % dan 32,6 %. Kelompok ekonomi lemah ini
mempunyai risiko tinggi terjangkit penyakit kecacingan karena kurang adanya kemampuan
dalam menjaga higiene dan sanitasi lingkungan tempat tinggalnya.
Berdasarkan data Puskesmas Gunung Sari pada tahun 2012, jumlah angka
Kecacingan masih cukup banyak. Oleh karena itu, dengan diambilnya kasus mengenai
infeksi cacing ini, diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai infeksi cacing,
sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan yang tepat dan dapat menurunkan angka kesakitan
dan kematian pada bayi dan anak.
37
4. 2.
Tujuan
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi cacing pada pasien
dalam kasus ini yaitu An.A dan memberikan intervensi dari aspek ilmu kesehatan
masyarakat.
4. 3.
Metodologi
Metode yang digunakan dalam laporan kasus ini adalah wawancara dan pengamatan
tempat tinggal pasien dengan melakukan kunjungan rumah untuk mengetahui kondisi fisik
pasien setelah pulang dari puskesmas dan kondisi rumah pasien yang mendukung terjadinya
pneumonia.
4. 4.
Hasil Penelusuran
WC
Dapur
R. Tidur
R.
R.tidur
Sumur
BIOLOGIS
LINGKUNGA
N
PERILAKU
Minimnya pengetahuan
PHBS kurang dalam keluarga
Jarang mencuci tangan
dengan sabun, Baik
sebelum dan sesudah
makan dan setelah
BAB
Bermain di halaman
tanpa alas kaki
Kuku tangan dan kaki
panjang dan kotor
jarang di potong
Makanan di meja
makan jarang ditutup
sehingga
sering
dihinggapi lalat, dan
kadang
dibiarkan
berhari-hari
tidak
segera dibuang
Cacingan
PELAYANAN
KESEHATAN
Kurangnya informasi mengenai
penyakit infeksi oleh parasit
( cacing)
39
Tanah sekitar
rumah yang
lembab dan
becek
Sampah dibuang
sembarangan
BAB V
PEMBAHASAN
40
Tidak mencemari sumber air minum, untuk itu letak lubang penampungan
kotoran paling sedikit berjarak 10 meter dari sumur (SPT SGL maupun
jenis sumur lainnya). Perkecualian jarak ini menjadi lebih jauh pada
kondisi tanah liat atau berkapur yang terkait dengan porositas tanah. Juga
akan berbeda pada kondisi topografi yang menjadikan posisi jamban
lubang jamban.
Mudah dibersihkan, aman digunakan, untuk itu harus dibuat dari bahanbahan yang kuat dan tahan lama dan agar tidak mahal hendaknya
terang;
Cukup penerangan;
Lantai kedap air;
Luas ruangan cukup, atau tidak terlalu rendah;
Ventilasi cukup baik, dan
Tersedia air dan alat pembersih.
3. Faktor Perilaku
Pendidikan yang rendah
41
tidak
membersihkan tangan sebelum dan sesudah makan serta setelah BAB dengan
sabun
membersihkan lingkungan
memotong kuku secara teratur
mencuci kaki sebelum tidur
Higiene perorangan sangat berhubungan dengan sanitasi lingkungan,
artinya apabila melakukan higiene perorangan harus diikuti atau didukung oleh
sanitasi lingkungan yang baik. Kaitan keduanya dapat dilihat dalam kondisi
misalnya saat mencuci tangan sebelum makan dibutuhkan air bersih, yang tentu
harus berasal dari sumber air yang memenuhi syarat kesehatan.
42
Kondisi
tanah
yang
gembur
ini
sangat
memungkinkan
menjadi
tempat
cacing
tambang
yang
memang
membutuhkan
media
tanah
untuk
Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua pasien yang rendah akan
berpengaruh terhadap tindakan yang diambil terhadap pasien yang mengalami
infeksi cacing. Hal ini menyebabkan keluarga pasien memerlukan informasi
43
Dari beberapa uraian faktor tersebut di atas, dapat diketahui bahwa banyak hal
yang dapat menyebabkan pasien dalam kasus ini menderita infeksi cacingyang pada
akhirnya mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak sendiri. Ketidakseimbangan
antara faktor penjamu, agen dan lingkungan dapat menyebabkan timbulnya suatu penyakit.
Selain itu adanya faktor-faktor dalam empat determinan kesehatan, seperti faktor
biologis/genetik, lingkungan, perilaku, dan faktor pelayanan kesehatan masyarakat dapat
menjadi penyebab timbulnya suatu penyakit dalam masyarakat.
Berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya infeksi cacing makan, dapat
dilakukan berbagai intervensi untuk mencegah terjadinya infeksi cacing berulang pada
pasien tersebut, antara lain:
Tidak makan makanan mentah (sayuran,daging babi, daging sapi dan daging ikan), buah
air.
Bila muncul serupa gejala infeksi parasit usus, segera periksa dan berobat ke rumah sakit
Meski kebanyakan penderita parasit usus ringan tidak ada gejala sama sekali, tetapi
mereka tetap bisa menularkannya kepada orang lain, dan telur cacing akan secara
sporadik keluar dari tubuh bersama tinja, hanya diperiksa sekali mungkin tidak ketahuan,
44
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil Data Kesehatan Indonesia
2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
2. Didik Sumanto, 2010, Faktor Resiko Infeksi Cacing Tambang Pada Anak Sekolah. Tesis.
Universitas
Diponegoro.
Availlable
at
Imunologi
Universitas
Airlangga.
Availlable
at
http://www.fk.unair.ac.id/attachments/1012_Ascariasis,%20Respons%20IgE%20dan
%20Upaya%20Penanggulangannya.pdf
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil Data Kesehatan Indonesia
2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
5. Tim Penyusun. 2012. Data Puskesmas Gunung Sari Tahun 2012. Puskesmas Gunung
Sari..
6. Salbiah, 2008. Hubungan Karakteristik Siswa dengan Sanitasi Lingkungan Dengan
Infeksi Cacingan Siswa Sekolah Dasar di Kecamatan Belawan Medan. Universitas
Sumatra
Utara.
Availlable
at
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6776/1/057023018.pdf
7. Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan RI. 2010. Lima kondisi Anak
Gizi
Buruk.
Availlable
at
http://ocw.usu.ac.id/course/download/1125-
GIZI/mk_giz_slide_lima_kondisi_anak_bergizi_buruk.pdf
46