Anda di halaman 1dari 46

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

LAPORAN KASUS INDIVIDU


Kecacingan

OLEH :
Ida Ayu Padmita Utami
H1A 008 010

Pembimbing
dr. Wahyu S. Affarah

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM


PUSKESMAS GUNUNG SARI
2014
1

BAB 1
PENDAHULUAN
Infeksi cacing masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang
termasuk Indonesia

dan menyebabkan kurang gizi dan gangguan kognitif. Dikatakan pula

bahwa masyarakat pedesaan atau daerah perkotaan yang sangat padat dan kumuh merupakan
sasaran yang mudah terkena infeksi cacing.1 Penyakit infeksi kecacingan merupakan salah satu
penyakit yang masih banyak terjadi di masyarakat namun kurang mendapatkan perhatian
(neglectet diseases). Penyakit yang termasuk dalam kelompok neglected diseases memang tidak
menyebabkan wabah yang muncul dengan tiba-tiba ataupun menyebabkan banyak korban, tetapi
merupakan penyakit yang secara perlahan menggerogoti kesehatan manusia. Infestasi cacing
dalam jumlah yang cukup banyak dapat menimbulkan keadaan kurang gizi (malnutrisi).
Cacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan (absorpsi), dan
metabolisme makanan. Secara kumulatif infeksi cacinganan dapat menimbulkan kurangan gizi
berupa kalori dan protein, serta kehilangan darah yang berakibat menurunnya daya tahan tubuh
dan menimbulkan gangguan tumbuh kembang anak.1,2
Diare yang juga menjadi salah satu penyakit yang masih sering terjadi di Indonesia dapat
disebabkan oleh berbagai hal. Salah satu penyebab yang sering luput dari perhatian kita adalah
diare akibat infeksi parasit yaitu cacing. Indonesia sebagai negara berkembang dan negara tropis
diperkirakan memiliki angka kejadian infeksi parasit yang cukup tinggi.2
Salah satu jenis penyakit dari kelompok cacing adalah penyakit kecacingan yang
diakibatkan oleh infeksi cacing kelompok Soil Transmitted Helminth (STH), yaitu kelompok
cacing yang siklus hidupnya melalui tanah. Penyakit parasitik yang termasuk ke dalam neglected
diseases tersebut merupakan penyakit tersembunyi atau silent diseases, dan kurang terpantau
oleh petugas kesehatan.3 Penyakit kecacingan yang diakibatkan oleh infeksi Soil Transmitted
Helminth merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia.
Infeksi kecacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan
2

produktivitas penderita sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena adanya
kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah yang pada akhirnya dapat
menurunkan kualitas sumber daya manusia. Prevalensi infeksi kecacingan di Indonesia masih
relatif tinggi pada tahun 2006, yaitu sebesar 32,6 %, terutama pada golongan penduduk yang
kurang mampu dari sisi ekonomi.1,2,3
Lima spesies cacing yang termasuk dalam kelompok Soil Transmitted Helminth yang
masih menjadi masalah kesehatan, yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides
stercoralis dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma sp). Di Indonesia, angka
nasional prevalensi kecacingan pada tahun 1987 sebesar 78,6 % masih relatif cukup tinggi.
Program pemberantasan penyakit kecacingan pada anak yang dicanangkan tahun 1995 efektif
menurunkan prevalensi kecacingan menjadi 33,0 % pada tahun 2003. Sejak tahun 2002 hingga
2006, prevalensi penyakit kecacingan secara berurutan adalah sebesar 33,3 %, 33,0 %, 46,8 %
28,4 % dan 32,6 %. Kelompok ekonomi lemah ini mempunyai risiko tinggi terjangkit penyakit
kecacingan karena kurang adanya kemampuan dalam menjaga higiene dan sanitasi lingkungan
tempat tinggalnya.2,3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Infeksi Cacing
Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit paling umum tersebar dan menjangkiti
lebih dari 2 miliar manusia di seluruh dunia. Walaupun tersedia obat-obat baru yang lebih
spesifik dengan kerja lebih efektif, pembasmian penyakit cacing masih tetap merupakan masalah
disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi di beberapa bagian dunia. 2,3 Pada umumnya, cacing
jarang menimbulkan penyakit yang parah, tetapi dapat menyebabkan gangguan kesehatan kronis
yang merupakan suatu faktor ekonomis yang penting. Di negara berkembang, termasuk
Indonesia, penyakit cacing adalah penyakit rakyat umum yang sama pentingnya dengan misalnya
malaria dan TBC. Infeksinya dapat terjadi secara simultan oleh beberapa jenis cacing.2,3
2.1.1 Epidemiologi Penyakit Kecacingan
Di Indonesia, infeksi cacingan merupakan masalah kesehatan yang sering dijumpai.
Angka kejadian infeksi cacingan yang tinggi tidak terlepas dari keadaan Indonesia yang beriklim
tropis dengan kelembaban udara yang tinggi serta tanah yang subur yang merupakan lingkungan
yang optimal bagi kehidupan cacing. Infeksi cacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di
perkotaan. Hasil survei Cacingan di Sekolah Dasar di beberapa propinsi pada tahun 1986-1991
menunjukkan prevalensi sekitar 60% - 80%, sedangkan untuk semua umur berkisar antara 40%
-60%. Hasil Survei Subdit Diare pada tahun 2002 dan 2003 pada 40 SD di 10 provinsi
menunjukkan prevalensi berkisar antara 2,2% - 96,3% .2,3
Pada banyak penelitian, intensitas dan prevalensi infeksi cacingan meningkat pada anakanak dan remaja. Kurva intensitas menurun sejalan dengan bertambahnya usia. Puncak intensitas
terjadi antara umur 5-10 tahun untuk Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura, sedangkan
cacing tambang pada umur 10 tahun. Infeksi cacingan juga dipengaruhi oleh perilaku individu.
Intensitas dan prevalensi yang tinggi pada anak disebabkan oleh kebiasaan memasukkan jari-jari
tangan yang kotor ke dalam mulut. Pada infeksi cacing tambang, prevalensi yang tinggi di

dapatkan pada anak dengan umur lebih tua, hal ini kemungkinan disebabkan oleh mobilitas
anak.6
Penyebaran infeksi cacing Ascharis dan Trichuris mempunyai pola yang hampir
sama. Aschariasis adalah penyakit infeksi cacingan yang distribusinya di seluruh dunia
dan menginfeksi lebih dari 1.000 juta orang. Sebagian besar infeksi terjadi di negara yang
sedang berkembang, di Asia dan Amerika latin. Di daerah endemik dengan tingkat
kejadian Ascaris dan Trichiuris tinggi terjadi penularan secara terus menerus. Transmisi
ini dipengaruhi oleh berbagai hal yang menguntungkan parasit, seperti keadaan iklim dan
tanah yang sesuai. Kedua spesien ini memerlukan tanah liat untuk berkembang. Telur
Ascaris yang telah dibuahi jatuh di tanah yang sesuai, menjadi matang dalam 3 minggu
pada suhu optimum 25-300C. Telur Ascaris akan matang dalam waktu 3 minggu pada
suhu optimum kira-kira 300C. Selain keadaan tanah dan iklim yang sesuai, keadaan
endemic juga dipengaruhi oleh jumlah telur yang dapat hidup sampai menjadi bentuk
infektif dan masuk ke dalam tubuh hospes. Beberapa jenis antelmentik mempunyai efek
memperlambat masa perkembangan telur bahkan menimbulkan perubahan bentuk telur
sehingga memperkecil reinfeksi.2,3
Banyak telur yang dihasilkan satu ekor cacing adalah sebagai berikut : Ascaris
kira-kira 200.000 sehari, Trichuris kira-kira 5.000 sehari dan cacing tambang 9.00010.000 sehari. Jumlah telur yang dapat berkembang semakin banyak pada masyarakat
dengan infeksi yang semakin berat akibat defekasi di sembarang tempat khususnya di
tanah.
Cacing tambang banyak dijumpai pada pekerja perkebunan yang langsung
berhubungan dengan tanah. Kebiasaan defekasi di tanah dan pemakaian tinja sebagai
pupuk kebun penting dalam penyebaran infeksi. Tanah yang gembur (berpasir dan
humus) serta lembab sangat baik untuk perkembangan larva dengan suhu optimum 28320C.6
2.1.2 Jenis Penyakit Cacing
2.1.2.1 Askariasis

Ascaris lumbricoides atau cacing gelang panjangnya kira-kira 10-15 cm dan


biasanya bermukim dalam usus halus. Kira-kira 25% dari seluruh penduduk dunia
terinfeksi cacing ini, terutama di negara tropis (70-90%). Cacing betina mengeluarkan
telur yang sangat banyak, sehingga 200.000 telur sehari melalui tinja. Penularan terjadi
melalui makanan yang terinfeksi oleh telur dan larvanya (panjangnya kira-kira 0,25 mm)
yang berkembang dalam usus halus. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi
tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini
bila tertelan manusia, akan menetas menjadi larva di usus halus. Larva ini menembus
dinding usus, melalui hati untuk kemudian ke paru-paru. Setelah mencapai tenggorok,
lalu larva ditelan untuk kemudian berkembang biak menjadi cacing dewasa di usus
halus.3

Gambar 2.1 Siklus hidup Ascaris lumbricoides (CDC, 2009)


Keterangan :
6

1.

Cacing dewasa hidup di saluran usus halus, seekor cacing betina mampu

2.

menghasilkan telur sampai 240.000 perhari yang akan keluar bersama feses.
Telur yang sudah dibuahi mengandung embrio dan menjadi infective setelah

3.

18 hari sampai beberpa minggu di tanah.


Tergantung pada kondisi lingkungan (kondisi optimum, lembab, hangat,

4.
5.

tempat teduh)
Telur infective tertelan
Masuk ke usus halus dan menetas mengeluarkan larva yang kemudian
menembus mucosa usus, masuk kelemjar getah bening dan aliran darah dan

6.

terbawa sampai ke paru-paru


Larva mengalami pendewasaan di dalam paru-paru (10 14), menembus
dinding alveoli, naik ke saluran pernafasan dan akhirnya terlelan kembali.
Ketika mencapai usus halus, larva tumbuh menjadi cacing dewasa. Waktu
yang diperlukan mulai tertelan telur infeksi sampai menjadi cacing dewasa
sekitar 2 sampai 3 bulan. Cacing dewasa dapat hidup 1 sampai 2 tahun dalam
tubuh.
2.1.2.2. Oxyuriasis Enterobius vermicularis
Oxyuriasis Enterobius vermicularis (dahulu disebut Oxuriasis) atau cacing
kermi yang biasanya terdapat dalam cecum, menimbulkan gatal di sekitar dubur
(anus) dan kejang hebat pada anak-anak.Infeksi ini juga dapat menimbulkan
apendicitis. Pada wanita, cacing dapat migrasi dari saluran genital dan seterusnya
ke rongga perut sehingga memungkinkan peritonitis.
Penularan pada anak kecil sering kali terjadi melalui auto-reinfeksi, yakni
melalui telur-telur yang melekat pada jari-jari sewaktu menggaruk daerah dubur
yang dirasakan sangat gatal dan dengan demikian memungkinkan terjadinya
infeksi sekunder. Penyebabnya adalah cacing betina yang panjangnya 8-13 mm,
keluar dari dubur antara jam 8-9 malam untuk bertelur di kulit sekitar dubur.
Infeksi cacing kermi adalah satu-satunya infeksi yang dapt ditularkan dari orang
ke orang, sehingga semua anggota keluarga harus diobati serentak, walaupun
tidak menunjukkkan sebarang gejala. Ini karena, cacing betina bertelur 3-6
minggu setelah infeksi.
7

Siklus Hidup

Setelah membuahi cacing betina, cacing jantan biasanya mati dan


mungkin akan keluar bersama tinja. Di dalam cacing betina yang gravid, hampir
seluruh tubuhnya dipenuhi telur dan kemudian cacing dewasa betina bertelur pada
bagian dubur dan sekitar kulit bagian perianal.2,3
2.1.1.3 Ancylostomiasis
Infeksi cacing tambang (hookworm) pada manusia disebabkan oleh
Necator americanus (nekatoriasis) dan Ancylostoma duodenale (ankilostomiasis).
Cacing tambang mempunyai siklus hidup yang kompleks, infeksi oleh larva
melalui kulit dan mengalami migrasi ke paru paru dan berkembang menjadi
dewasa pada usus halus. Infeksi cacing tambang menyebabkan anemia mikrositik
8

dan hipokromik karena kekurangan zat besi akibat kehilangan darah secara
kronis. Cacing dewasa terutama hidup di daerah yeyunum dan duodenum. Telur
dikeluarkan melalui tinja dan tidak infektif pada manusia. Larva filariform yang
bersifat infektif hidup secara bebas di dalam tanah dan air.6
Siklus Hidup

Gambar 2.3 Siklus hidup Hookworm (CDC, 2009)


Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina
mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa
berbentuk seperti hurup S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur
hidup cacing tambang dimulai dari keluarnya telur cacing bersama feses, setelah
1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rhabditiform. Dalam
waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus
9

kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Setelah menembus kulit,
larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru-paru menembus
pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan larynk. Dari larynk, larva
ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi
terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan.
Gambaran klinis walaupun tidak khas, tidak cukup mendukung untuk
memastikan untuk dapat membedakan dengan anemia karena defisiensi makanan
atau karena infeksi cacing lainnya. Diagnosa terakhir ditegakkan dengan
menemukan telur cacing pada feses penderita. Secara praktis telur cacing
Ancylostoma duodenale tidak dapat dibedakan dengan telur Necator americanus.
Untuk membedakan kedua spesies ini biasanya dilakukan tekhnik pembiakan
larva.2,3
2.1.2.4. Trichiuriasis
Trichuris trichiura

merupakan penyebab penyakit trikuriasis. Karena

bentuknya mirip cambuk, cacing ini sering disebut sebagai cacing cambuk (whip
worm). Cacing ini tersebar luas di daerah tropis yang berhawa panas dan lembab.
Trichuris trichiura hanya dapat ditularkan dari manusia ke manusia sehingga
cacing ini bukan parasit zoonosis. Manusia adalah hospes utama cacing Trichuris
trichiura. Cara infeksi adalah langsung, tidak diperlukan hospes perantara.
Adapun cacing dewasa melekat pada mukosa usus penderita, terutama di daerah
sekum dan kolon, dengan membenamkan kepalanya di dalam dinding usus. Larva
menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limpa
kemudian terbawa oleh darah sampai ke jantung menuju paru-paru. Kadang
kadang cacing ini ditemukan hidup di apendiks dan ileum bagian distal.
Kelainan patologis yang disebabkan oleh cacing dewasa terutama terjadi
karena kerusakan mekanik di bagian mukosa usus dan respons alergi. Keadaan ini
erat hubungannya dengan jumlah cacing, lama infeksi, umur dan status kesehatan
umum dari hospes (penderita). Gejala yang ditimbulkan oleh cacing cambuk

10

biasanya tanpa gejala pada infeksi ringan. Pada infeksi menahun dapat
menimbulkan anemia, diare, sakit perut, mual dan berat badan turun.
Siklus Hidup

Gambar 2.2 Siklus hidup Trichuris trchiura (CDC, 2009)


Penyebaran geografis T.trichuira sama A. lumbricoides sehingga seringkali
kedua cacing ini ditemukan bersama-sama dalam satu hospes. Frekuensinya di
Indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan, frekuensinya antara 30% - 90 %.
Angka infeksi tertinggi ditemukan pada anakanak. Faktor terpenting dalam
penyebaran trikuriasis adalah kontaminasi tanah dengan tinja yang mengandung
telur. Telur berkembang baik pada tanah liat, lembab dan teduh.
11

2.2.2 Faktor-faktor yang berhubungan dengan infeksi kecacingan.


Faktor-faktor yang berhubungan dengan infeksi kecacingan sangat banyak.
Beberapa diantaranya adalah faktor lingkungan dan faktor perilaku higiene perorangan.6
a. Faktor Lingkungan
Keadaan lingkungan yang berpengaruh pada infeksi kecacingan adalah ada
tidaknya sumber air bersih dan jamban yang memenuhi syarat kesehatan
b. Faktor Higiene Perorangan
Higiene adalah suatu usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh
kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit
karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan hidup
yang sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan. Dalam pengertian ini
termasuk pula upaya melindungi, memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan
manusia (perorangan ataupun masyarakat), sedemikian rupa sehingga pelbagai faktor
lingkungan yang tidak menguntungkan tersebut, tidak sampai menimbulkan gangguan
terhadap kesehatan. 3
Higiene perorangan merupakan hal yang sangat penting diperhatikan terutama
pada masa perkembangan, dengan higiene perorangan yang buruk pada masa tersebut
akan dapat mengganggu perkembangan kualitas sumber daya manusia. Higiene
perorangan yang belum memadai merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
tingginya prevalensi kecacingan.6
Kulit, tangan, kaki dan kuku harus dipelihara dan ini tidak terlepas dari
kebersihan lingkungan sekitar dan kebiasaan hidup sehari hari. Selain indah dipandang
mata, tangan, kaki dan kuku yang bersih juga dapat menghindarkan kita dari berbagai
penyakit.6
Untuk menghindari hal hal tersebut perlu diperhatikan sebagai berikut :
1. membersihkan tangan sebelum makan
2. membersihkan lingkungan
12

3. memotong kuku secara teratur


4. mencuci kaki sebelum tidur
Higiene perorangan sangat berhubungan dengan sanitasi lingkungan, artinya
apabila melakukan higiene perorangan harus diikuti atau didukung oleh sanitasi
lingkungan yang baik. Kaitan keduanya dapat dilihat dalam kondisi misalnya saat
mencuci tangan sebelum makan dibutuhkan air bersih, yang tentu harus berasal dari
sumber air yang memenuhi syarat kesehatan.
2.2.3 Transmisi Telur Cacing ke Tubuh Manusia
Faktor host merupakan salah satu hal yang penting karena manusia sebagai
sumber infeksi dapat mengurangi kontaminasi ataupun pencemaran tanah oleh telur dan
larva cacing, selain itu manusia justru akan menambah polusi lingkungan sekitarnya. Di
pedesan kasus ini lebih tinggi prevalensinya,hal ini terjadi karena buruknya sistem
sanitasi lingkungan di pedesaan, tidak adanya jamban sehingga tinja manusia tidak
terisolasi sehingga larva cacing mudah menyebar. Hal ini juga terjadi pada golongan
masyarakat yang memiliki tingkat sosial ekonomi yang rendah, sehingga memiliki
kebiasaan membuang tinja (defekasi) ditanah, yang kemudian tanah akan terkontaminasi
dengan telur cacing yang infektif dan larva cacing yang seterusnya akan terjadi reinfeksi
secara terus-menerus.
Perkembangan telur dan larva cacing sangat cocok pada iklim tropik dengan suhu
optimal adalah 23C sampai 30C. Jenis tanah liat merupakan tanah yang sangat cocok
untuk perkembangan telur cacing, sementara dengan bantuan angin maka telur cacing
yang infektif bersama dengan debu dapat menyebar ke lingkungan.2,6

13

Berbagai penyakit dapat ditularkan oleh lalat, misalnya telur cacing. Lalat Musca
domestica yang sering terdapat pada tumpukan sampah dapat membawa telur cacing
Oxyrus vermicularis, Trichuris trichiura, cacing tambang, serta acsaris lumbricoides.
Lalat suka hidup di tempat kotor yaitu tumpukan sampah, makanan, dan tinja, dari situlah
lalat membawa berbagai mikroorganisme, karena tubuh lalat tertutup bulu-bulu yang
mengandung semacam perekat. Telur ascaris banyak ditemukan di sekitar tumpukan
sampah (55%) dan di tempat teduh di

bawah pohon(33,3%). Telur juga banyak

ditemukan di sekitar sumur, tempat cuci, dekat jamban, pinggir kali bahkan di dalam
rumah. Kepadatan penghuni dalam rumah juga berperan dalam penularan cacing.
Pencemaran tanah dengan tinja manusia merupakan penyebab transmisi telur
A.lumbricoides dan T.trichiura dari tanah kepada manusia melalui tangan dan kuku yang
tercemar telur cacing, lalu masuk kemulut melalui makanan. Transmisi telur cacing,
selain melalui tangan, ini dapat juga melalui makanan dan minuman, terutama makanan
jajanan yang tidak dikemas dan tidak tertutup rapat. Telur cacing yang ada di tanah/debu
akan sampai pada makanan tersebut, jika diterbangkan oleh angin, atau dapat juga
melalui lalat yang sebelumnya hinggap di tanah/selokan/air limbah sehingga kakikakinya membawa telur cacing tersebut.3
Transmisi melalui sayuran yang dimakan mentah (tidak dimasak) dan proses
membersihkannya tidak sempurna juga dapat terjadi, terlebih jika sayuran tersebut diberi
14

pupuk dengan tinja segar. Di beberapa negara penggunaan tinja sebagai pupuk harus
diolah dahulu dengan bahan kimia tertentu berupa desinfestasi.6
2.4.5 Dampak Infeksi Kecacingan pada Anak
Kecacingan jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung, namun sangat
mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Infeksi cacing gelang yang berat akan
menyebabkan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak-anak.
Infeksi

cacing

tambang

(Ancylostoma

duodenale

dan

Necator

americanus)

mengakibatkan anemia defesiensi besi, sedangkan Trichuris trichiura menimbulkan


morbiditas yang tinggi.
Berbagai penelitian membuktikan bahwa sebagian kalori yang dikonsumsi
manusia tidak dimanfaatkan badan karena adanya parasit dalam tubuh. Pada infeksi
ringan akan menyebabkan gangguan penyerapan nutrien lebih kurang 3% dari kalori
yang dicerna, pada infeksi berat 25% dari kalori yang dicerna tidak dapat dimanfaatkan
oleh badan. Infeksi Ascaris lumbricoides yang berkepanjangan dapat menyebabkan
kekurangan kalori protein dan diduga dapat mengakibatkan defisiensi vitamin A.
Sebanyak 20 ekor cacing Ascaris lumbricoides dewasa dalam usus manusia mampu
mengkonsumsi hidrat arang sebanyak 2,8 gr dan 0,7 gr protein setiap hari. Dari hal
tersebut dapat di perkirakan besarnya kerugian yang disebabkan oleh infestasi cacing
dalam jumlah yang cukup banyak sehingga dapat menimbulkan keadaan kurang gizi.
Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga
memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing-cacing ini
menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus).6
Pada infeksi Trichuris trichiura berat sering dijumpai diare darah, turunnya berat
badan dan anemia. Diare pada umumnya berat sedangkan eritrosit di bawah 2,5 juta dan
hemoglobin 30% di bawah normal.

Infeksi cacing tambang umumnya berlangsung

secara menahun, cacing tambang ini sudah dikenal sebagai penghisap darah. Seekor
cacing tambang mampu menghisap darah 0,2 ml per hari. Apabila terjadi infeksi berat,
maka penderita akan kehilangan darah secara perlahan dan dapat menyebabkan anemia
berat.6
15

2.4.6 Pemeriksaan Penunjang


Diagnosa ditegakkan berdasarkan pemeriksaan tinja dengan ditemukannya telur,
larva,atau bahkan cacing dewasa. Pemeriksaan penunjang saat awal infeksi (fase migrasi
larva) akan ditemukan :
a) eosinofilia (1.000-4.000 sel/ml),
b) feses normal,
c) infiltrat patchy pada foto toraks dan
d) peningkatan kadar IgE
Pemeriksaan penunjang pada cacing tambang dewasa dilakukan dan dapat
ditemukan telur cacing dan atau cacing dewasa pada pemeriksaan feses. Tanda-tanda
anemia defisiensi besi yang sering dijumpai adalah anemia mikrositik-hipokrom, kadar
besi serum yang rendah, kadar total iron binding capacity yang tinggi. Di sini perlu
dieksklusi penyebab anemia hipokrom mikrositer lainnya. Dapat ditemukan peningkatan
IgE dan IgG4,tetapi pemeriksaan IgG4 tidak direkomendasikan karena tinggi biayanya.
Hal-hal penting pada pemeriksaan laboratorium, diantaranya adalah telur cacing tambang
yang ditemukan dalam tinja sering dikacaukan oleh telur A.lumbricoides yang berbentuk
dekortikasi. Tinja yang dibiarkan lebih dari 24 jam tanpa diawetkan maka telur yang ada
di dalamnya akan berkembang, menetas dan mengeluarkan larva labditiform. Telur
cacing tambang mudah rusak oleh perwanaan permanen dan telur lebih mudah di lihat
pada sediaan basah
Diagnosis infeksi cacing tambang dapat dilakukan dengan beberapa cara:
1. Pemeriksaan Sediaan langsung
Diambil tinja kira-kira 0,2 g diletakan pada kaca benda. Kemudian
ditambah 1-2 tetes larutan garam fisiologis dan diratakan. Selanjutnya
ditutup dengan kaca penutup dan langsung diperiksa dibawah mikroskop.
Untuk memberikan warna pada tinja agar telur cacing tampak lebih jelas,
dapat digunakan 1 tetes eosin 0,2% sebagai pengganti garam fisilogis.
16

2. Tehnik Pengapungan Dengan NaCl jenuh.


Dimasukan tinja kurang lebih 5 g kedalam tabung reaksi dan
ditambah NaCl jenuh,diaduk sampai homogen, diambil kaca tutup, dan
diamkan 10-15 menit di dalam tabung reaksi. Diambil kaca tutup tanpa
mengubah kedudukannya langsung diletakan pada kaca benda dan
diperiksa telur-telurnya.2,3
2.4.7. Antihelmintik
Antihelmintik atau obat anti cacing adalah obat yang dapat memusnahkan cacing
dalam tubuh manusia dan hewan. Dalam istilah ini termasuk semua zat yang bekerja
lokal menghalau cacing dari saluran cerna maupun obat-obat sistemik yang membasmi
cacing serta larvanya yang menghinggapi organ dan jaringan tubuh. Obat-obat yang tidak
diresorpsi lebih diutamakan untuk cacing di dalam rongga usus agar kadar setempat
setinggi mungkin. Sebaliknya terhadap cacing yang dapat menembus dinding-dinding
usus dan menjalar ke jaringan dan organ lain, misalnya cacing gelang, hendaknya
digunakan obat sistemik yang justeru diresorpsi baik ke dalam darah hingga mencapai
jaringan. Berikut jenis-jenis antihelmintik;6

Mebendazol
Ester-metil dari benzimidazol ini adalah antihelmintik berspektrum luas yang
sangat efektif terhadap cacing kermi, gelang, pita, cambuk dan tambang. Obat
ini banyak digunakan sebagai monoterapi untuk penanganan massal penyakit
cacing, juga pada infeksi campuran dengan dua atau lebih jenis cacing.
Mebendazol bekerja sebagai vermisid, larvisid dan juga ovisid. Mekanisme
kerjanya melalui perintangan pemasukan glukosa dan mempercepat
penggunaan glikogen pada cacing. Penggunaan mebendazol tdak memerlukan
laksans. Resorpsinya dari usus adalah kecil yaitu kurang dari 10%.

Ekskresinya berlangsung lewat empedu dan urin.


Albendazol
Adalah derivat karbamat dari benzimidazol berspektrum luas terhadap cacing
kermi, gelang, pita, cambuk dan tambang. Di dalam hati, zat ini segera diubah
menjadi sulfoksida, yag kemudian diekskresikan melalui empedu dan urin
17

Piperazin
Zat basa ini sangat efektif terhadap cacing gelang (Ascaris) dan cacing kermi
(Oxyuris) berdasarkan perintangan penerusan-impuls neuromuskuler, hingga
cacing dilumpuhkan dan kemudian dikeluarkan dari tubuh melalui gerakan
peristaltik usus. Di samping itu juga, piperazin juga mempunyai khasiat
sebagai laksans lemah. Dahulu obat ini banyak digunakan kerana efektif dan
murah, tetapi sejak tahun 1984, banyak negara Barat menghentikan
penggunaannya berhubung efek samping terutama neurotoksisitasnya.
Resorpsi dari usus adalah cepat dan kurang lebih 20% diekskresikan melalui

urin dalam keadaan utuh.


Pirantel
Derivat pirimidin ini berkhasiat terhadap Ascaris, Oxyuris dan Necator, tetapi
tidak efektif terhadap Trichiuris. Mekanisme bekerjanya melumpuhkan cacing
dengan jalan menghambat propagasi impuls neuromuskuler. Kemudian,
parasit dikeluarkan oleh peristaltik usus tanpa memerlukan laksans,
diekskresikan dalam keadaan utuh bersama metabolitnya melalui tinja

sebanyak 50% dan lebih kurang 7% dikeluarkan melalui urin.


Levamisol
Derivat imidazol ini sangat efektif terhadap cacing gelang dan cacing tambang
dengan jalan melumpuhkannya. Khasiat lainnya yang sangat penting adalah

stimulasi sistem imunologi tubuh (imunostimulator pada kemoterapi).


Praziquantel
Derivat pirazino-isokinolin ini (1980) berkhasiat baik terhadap jenis tertentu
Schistosoma dan Taenia, sedangkan terhadap cacing hati Fasciola hepatica
tidak efektif. Obat ini satu-satunya digunakan pada schistosomiasis dan juga
dianjurkan pada taeniasis. Khasiatnya berdasarkan kontraksi cepat pada
cacing dan disintegrasi membran cacing.

2.4.8 Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Soil Transmitted Helminths


Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan ini dapat dilakukan dengan :
a. Pencegahan Primer
1. Memutuskan rantai daur hidup dengan cara: berdefekasi di jamban,
menjaga kebersihan perorangan.

18

2. Penularan Strongyloides dapat dicegah dengan menghindari kontak


dengan tanah, tinja atau genangan air yang diduga terkontaminasi
oleh larva infektif.
3. Pencegahan infeksi cacing tambang adalah dengan cara mencegah
kontak manusia dengan tanah yang mengandung bentuk infektif.
Salah satu caranya adalah dengan memakai alas kaki jika keluar
rumah.
4. Bagi individu atau keluarga yang sering mengkonsumsi sayuran
mentah/lalapan diharapkan agar mencuci sayur dengan benar.
5. Bagi petani yang menggunakan kotoran manusia sebagai pupuk
tanaman dihimbau untuk mencuci tangan dengan sabun setelah
melakukan pemupukan dan menggunakan alat pelindung diri
seperti sepatu bot dan sarung tangan.
6. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai sanitasi
lingkungan yang baik dan cara menghindari penyakit kecacingan.
b. Pencegahan Sekunder
1. Memberi pengobatan masal secara berkala 6 bulan sekali dengan
obat antelmintik yang efektif, terutama pada golongan rawan.
2. Apabila diketahui seseorang positif terinfeksi, maka orang tersebut
harus segera diberi obat cacing.2,3
2.4.9 Program Pengendalian Kecacingan di Indonesia
Dasar utama untuk pengendalian kecacingan adalah memutuskan mata rantai lingkaran
hidup cacing. Data WHO tahun 2009 menunjukkan di Regional Asia Tenggara memiliki 42%
proporsi anak diseluruh dunia yang membutuhkan pengobatan cacaing, dimana Indonesia
diperkirakan memiliki 15% dari anak sekolah dan prasekolah yang memerlukan pengobatan.
Hasil pemeriksaan tinja pada anak sekolah dasar yang dilakukan oleg Sub Dit Diare,
Kecacingan dan Infeksi Saluran Pencernaan lain pada tahun 2002-2009 di 398 SD yang tersebar
di 33 Provinsi menunjukkan rata-rata prevalensi cacingan adalah 31,8%.
Pemberantasan cacingan sebenarnya sudah dilakukan sejak zaman penjajahan oleh sektor
kesehatan saja yang meliputi pengobatan dan pembuatan jamban. Upaya pemberantasan dan
19

pencegahan penyakit Cacingan di Indonesia secara nasional dimulai tahun 1975 setelah dibentuk
unit struktural di Direktorat Jenderal P3M (Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular).
Departemen Kesehatan, yaitu Sub Direktorat Cacing Tambang dan Parasit Perut Lainnya karena
terbatasnya dana kebijakan pemberantasan cacingan dilakukan Limited Control Programme.
Menteri Kesehatan mencanangkan Pemberantasan Cacingan melalui UKS (Usaha
Kesehatan Sekolah) dan Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) ialah suatu
upaya untuk meningkatkan ketahanan fisik bagi anak Sekolah Dasar/MI di seluruh Indonesia.
Sebagai salah satu upaya untuk mempertahankan efektifitas asupan gizi yang diberikan, para
pakar gizi dan kesehatan menyarankan agar PMT-AS diberikan dengan pemberian obat cacing.
Pemikiran ini didasarkan pada kajian teknis medis dampak Cacingan terhadap keadaan zat gizi.
Cacing sebagai hewan parasit tidak saja mengambil zat-zat gizi dalam usus anak, tetapi juga
merusak dinding usus sehingga mengganggu penyerapan zatzat gizi tersebut.
Sebenarnya infeksi cacing perut akan berkurang bahkan dapat dihilangkan sama sekali
bila diupayakan budaya hidup sehat, lingkungan bersih, makanan bergizi, yang nantinya akan
tercapai dengan sendirinya dalam program pembangunan pengentasan kemiskinan. Bila keadaan
ekonomi naik, maka ia akan membuat rumah yang lebih baik, jamban yang baik, mengirim anakanaknya ke sekolah supaya lebih mengetahui masalah kesehatan, membeli radio dan TV supaya
dapat mendengar siaran-siaran tentang penyuluhan kesehatan, sehingga dapat merubah perilaku
ke arah budaya hidup sehat. Jelaslah bahwa pembangunan di semua sektor akan membantu
meningkatkan derajat kesehatan secara umum termasuk menanggulangi infeksi cacing.
Dalam program jangka pendek, dimulai dengan mengurangi prevalensi infeksi cacing
dengan membunuh cacing itu melalui pengobatan, dengan pengobatan, intensitas infeksi (jumlah
cacing per individu) dapat ditekan, sehingga dapat memperbaiki derajat kesehatan.
Program penanggulangan jangka panjang harus dilaksanakan secara berkesinambungan
dengan melalui pemberdayaan masyarakat dan peran swasta sehingga mereka mampu dan
mandiri dalam melaksanakan penanggulangan penyakit cacingan, yaitu berperilaku hidup bersih
dan sehat, meningkatkan kesehatan perorangan dan lingkungan, dengan demikian diharapkan
produktifitas kerja akan meningkat. Menurut rekomendasi WHO bahwa dalam penanggulangan
penyakit cacingan ada tiga hal yang harus dilakukan yaitu:
20

1)

Pengobatan

Pengobatan dilakukan dengan dua cara pendekatan yaitu Blanket Treatment dan
Selective Treatment dengan mengunakan obat yang aman dan berspektrum luas, efektif,
tersedia dan terjangkau harganya, serta dapat membunuh cacing dewasa, larva dan telur.
Pada awal pelaksanaan kegiatan pengobatan harus didahului dengan survei untuk
mendapat data dasar. Bila pemeriksaan tinja dilakukan secara sampling dan hasil pemeriksaan
tinja menunjukan prevalensi 30% atau lebih, dilakukan pengobatan massal, sebaliknya bila
prevalensi kurang dari 30%, maka dilakukan pemeriksaan tinja secara menyeluruh (total
screening). Apabila hasil pemeriksaan total screening menunjukkan prevalensi di atas 30%, maka
harus dilakukan pengobatan massal. Apabila prevalensi kurang dari

30%, maka lakukan

pengobatan selektif, yaitu yang positif saja.


a) Blanket Mass Treatment
Suatu jenis pengobatan yang dilakukan secara menyeluruh kepada seluruh
penduduk yang menjadi sasaran program. Blanket Treatment dilakukan bila sarana dan
prasarana laboratorium tidak ada/tidak memadai atau ada sarana laboratorium tapi
kondisi geografis menyulitkan pengumpulan sampel tinja, pengobatan massal ini dapat
dilakukan sampai 3 tahun tanpa survei evaluasi. Daerah yang melaksanakan sistem
Blanket, agar diikuti dengan kegiatan penyuluhan tentang hidup bersih dan memperbaiki
sanitasi lingkungan di wilayah tersebut. Disamping itu agar diupayakan meningkatkan
SDM dan sarana laboratorium untuk menunjang kemampuan pemeriksaan tinja, dengan
harapan suatu saat mampu melaksanakan pengobatan selektif di wilayahnya.
Selain itu pengobatan massal dilakukan apabila di daerah sasaran pernah
mempunyai prevalensi 30 % atau lebih.
b) Selective Mass Treatment
Pengobatan yang dilakukan terhadap penduduk yang menjadi sasaran program,
tetapi hanya kepada penduduk yang hasil pemeriksaan tinjanya positif. Hal ini dilakukan
pada daerah yang mempunyai sarana dan prasarana laboratorium yang memadai, karena
pemeriksaan tinja harus dilakukan pada seluruh sasaran. Di samping itu kondisi geografis
21

memungkinkan untuk pengumpulan sediaan tinja secara berkala. Pengobatan dilakukan


secara berurutan (satu per satu) dan harus diminum didepan petugas (tidak boleh dibawa
pulang).
2)

Pencegahan

Tindakan preventif yaitu dengan melakukan pengendalian faktor risiko, yang meliputi
kebersihan lingkungan, keberhasilan pribadi, penyediaan air bersih yang cukup, semenisasi lantai
rumah, pembuatan dan penggunaan jamban yang memadai, menjaga kebersihan

makanan,

pendidikan kesehatan di sekolah baik untuk guru maupun murid.


3)

Promotif

Pendidikan kesehatan dapat diberikan melalui penyuluhan kepada masyarakat pada


umumnya atau kepada anak-anak sekolah, yaitu melalui program UKS, sedangkan untuk
masyarakat dapat dilakukan penyuluhan secara langsung atau melalui media massa baik cetak
maupun media elektronik.
2.1 Gambaran Umum Puskesmas Gunung Sari
Puskesmas Gunung Sari merupakan salah satu dari 15 Puskesmas yang ada di kabupaten
Lombok barat, dengan luas wilayah mencapai 28,86 Km2. Di sebelah utara berbatasan dengan
Kabupaten Lombok Utara, di sebelah selatan berbatasan dengan Kota Mataram, di sebelah barat
berbatasan dengan Kecamatan Batu Layar dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan
Lingsar. Wilayah kerjaa Puskesmas Gunungsari mencakup 7 Desa merupakan kombinasi antara
daerah daratan, pegunungan, perbukitan di wilayah utara berada pada ketinggian 0-256 m di atas
permukaan laut.5
2.2 Gambaran Penyakit Kecacingan di Puskesmas Gunung Sari
Berdasarkan data pasien Rawat Jalan Puskesmas Gunung Sari, dari tahun 2009 sampai
2013 terjadi penurunan kasus kecacingan. Pada tahun 2009 terdapat 45 kasus kecacingan di
bagian rawat jalan Puskesmas Gunung Sari. Hingga tahun 2013 terjadi penurunan jumlah kasus
menjadi 27 kasus kecacingan. Untuk data tahun 2014, hingga bulan Maret 2014 hanya

22

ditemukan 2 kasus cacingan. Sehingga total kasus dari tahun 2009 hingga Maret 2014
kecacingan adalah 155 kasus kecacingan.

jumlah kasus
45
40
35
30
25
Axis Title

20
15
10
5
0
2009

2010

2011

2012

2013

Grafik.2. Jumlah Kasus Kecacingan bagian Rawat Jalan Puskesmas Gunung


Pencemaran tanah dengan tinja manusia merupakan penyebab transmisi telur
A.lumbricoides dan T.trichiura dari tanah kepada manusia melalui tangan dan kuku yang
tercemar telur cacing, lalu masuk ke mulut melalui makanan. Pembuangan tinja sembarangan
turut berkontribusi terhadap munculnya infeksi cacing.
Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa rumah tangga di Indonesia menggunakan
fasilitas BAB milik sendiri (76,2%), milik bersama (6,7%), dan fasilitas umum (4,2%).Lima
provinsi rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB/BAB sembarangan tertinggi adalah
Sulawesi Barat (34,4%), NTB (29,3%), Sulawesi Tengah (28,2%), Papua (27,9%), dan Gorontalo
(24,1%) (Buku Riskesdas 2013 dalam Angka).

23

2.2 Gambaran Penyakit Diare dan Gizi Buruk di Puskesmas Gunung Sari
Berdasarkan data Puskesmas Gunung Sari, jumlah kasus diare pada balita tahun 2012
sebanyak 2.471 kasus meningkat dari tahun 2011 yaitu sebanyak 1.239 kasus. Jumlah kasus diare
pada balita tertinggi di daerah Desa Sesela seperti pada tahun sebelumnya yaitu sebanyak 827
kasus sedangkan jumlah kasus terendah di desa Guntur Macan dengan jumlah 33 kasus. Kasuskasus diare biasanya terjadi pada musim kemarau karena terbatasnya air bersih dan pada saat
bulan pertama musim hujan karena sumber air bersih yang digenangi air hujan.5

24

Jumlah balita gizi buruk dengan status gizi kurus sekali sebanyak 25 kasus dimana desa
terbanyak adalah Desa Sesela dan dea Midang sebanyak 6 kasus dan terendah atau tidak ada
kasus di Desa Taman Sari. Kasus gizi buruk dengan status kurus sekali didapatkan dari penapisan
kasus BGM yang diukur Tinggi Badannya kemudian disesuaikan dengan indikator BB/TB.5
Dari 25 kasus tersebut semuanya telah mendapatkan penanganan PMT penyuluhan di Pos
Gizi dan PMT-Pemulihan selama 90 Hma (Hari makan) yang dananya bersumber dari BOK.
Kasus gizi kurang/Kurus berdasarkan BB/TB tahun 2012 sebanyak 39 orang meningkat
dibanding tahun 2011 yang ada 20 kasus. Kemudian segera dilakukan tindakan pemberian PMTpemulihan untuk mencegah jatuh menjadi gizi buruk. Yang diberikan adalah pemberian susu dan
makanan tambahan selama 90 hari.5
Tabel 1. Data 10 Penyakit Terbanyak (rawat inap) Puskesmas Gunung Sari Tahun 2012
NO

PENYAKIT

TOTAL

1.

Gastritis

190

2.

Demam sebab lain

174

3.

Infeksi Saluran

116

4.

Thypoid

102

5.

Diare

93

6.

Asma

34
25

7.

Diabetes Melitus

31

8.

Disentri

31

9.

Anemia

22

10.

Pneumonia

31

Sumber : Data Puskesmas Gunung Sari tahun 2012


Tabel 2. Data 10 Penyakit Terbanyak (rawat jalan) Puskesmas Gunung Sari Tahun 2012
NO

PENYAKIT

TOTAL

1.

ISPA

1837

2.

Gastritis

1546

3.

Penyakit Kulit Infeksi

1002

4.

Hipertensi

864

5.

Penyakit sistem otot dan tulang

862

6.

Penyakit lain di saluran

774

7.

Penyakit lain dari sluran

655

8.

Penyakit Pulpa dan jaringan gigi

566

9.

Penyakit kulit alergi

556

Sumber : Data Puskesmas Gunung Sari tahun 2012

Penyakit terbanyak pada tahun 2012 di Puskesmas Gunung sari dapat dilihat pada grafik di
bawah ini.

26

2.5 Diare Akut Akibat Infeksi Parasit


Diare masih merupakan masalah di Indonesia, dilaporkan 60 juta pasien per tahun 7080% mengenai anak berusia di bawah 5 tahun. World Health Organization membagi diare
menjadi tiga kelompok yaitu diare cair akut, diare berdarah (disentri) dan diare persisten. Diare
berdarah dapat disebabkan disentri basiler (Shigella) dan amuba, enterokolitis (misalnya cows
milk allergy), trichuriasis, EIEC, Campylobacter jejuni dan virus (rotavirus).
2.5.1 Definisi Diare
Diare menurut WHO adalah buang air besar encer atau cair lebih dari tiga kali sehari.
Apabila frekuensi buang air besar lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja yang lebih
lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya serta berlangsung dalam waktu kurang dari 2
minggu maka hal ini disebut diare akut . Diare merupakan salah satu manifestasi klinis dari
banyak penyakit, dan mempunyai berbagai etiologi yang bervariasi pula. Karena itu diagnosis
yang akurat diperlukan agar dapat menentukan penatalaksanaan yang paling tepat.
2.5.2 Etiologi Diare

27

Berdasarkan mekanismenya, diare dibedakan menjadi dua, yaitu diare akibat gangguan
absorbsi dan diare akibat gangguan sekresi. Menurut lamanya, diare dibedakan menjadi diare
akut yang berlangsung kurang dari 14 hari, diare persisten yang berlangsung lebih dari 14 hari,
dan diare kronik berlangsung lebih dari 14 hari dan berlangsung intermitten.
Diare akut disebabkan 90% oleh infeksi bakteri dan parasit sedangkan yang lain dapat
disebabkan oleh obat-obatan dan bahan-bahan toksik. Diare ditularkan fekal oral. Faktor penentu
terjadinya diare akut sangat dipengaruhi oleh faktor pejamu (host), yaitu faktor yang berkaitan
dengan kemampuan pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme dan faktor penyebab (agent),
yang berkaitan dengan kemampuan mikroorganisme dalam menyerang sistem pertahanan tubuh
host. Beberapa agen infeksi yang dapat menyebabkan diare inflamasi antara lain dari golongan
protozoa adalah Entamoeba hystolitica dan dari golongan cacing adalah Trichuris
trichiura( cacing cambuk)
Trichuris trichiura dapat ditemukan baik di negara maju maupun negara berkembang.
Diperkirakan Trichuris trichiura merupakan prevalensi terbesar ketiga infeksi oleh cacing usus
dan merupakan penyebab terbanyak diare karena infeksi cacing. Prevalensi sangat tergantung
dari pola sanitasi, higiene perorangan, dan juga status nutrisi seseorang. Cacing ini terutama
ditemukan di daerah panas dan lembab, seperti Indonesia. Di beberapa daerah di Indonesia,
prevalensi masih tinggi seperti yang dilaporkan oleh Departemen Kesehatan pada tahun
1990/1991; 53% pada masyarakat Bali, 36,2% di perkebunan di Sumatra Selatan, 51,6% pada
sejumlah sekolah di Jakarta.6
2.5.3. Patogenesis
Cacing trichuris terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat juga ditemukan di kolon
asendens. Pada infeksi berat, cacing trichuris tersebar di seluruh kolon dan rektum. Cacing ini
memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus sehingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi
dan peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Selain itu
cacing ini menghisap darah pejamu sehingga dapat menimbulkan anemia.2,3

BAB 3
28

LAPORAN KASUS

Keluhan utama: keluhan keluar cacing saat berak bercampur darah dan lendir sejak seminggu
lalu.
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke UGD Puskesmas Gunung Sari pada 12/04/2014 dengan keluhan berak
bercampur darah dan lendir sejak seminggu lalu. Buang air besar dalam sehari mencapai 4-5
kali/hari, konsistensi lembek, terdapat ampas disertai lendir dan darah serta nyeri sewaktu BAB.
Ayah pasien juga menyatakn sudah beberapa kali keluar cacing dari anusnya, terakhir dua hari
sebelum berobat ke puskesmas (10/04 2014). Keluar cacing putih panjang berukuran >15 cm
sebanyak tiga ekor terjadi saat pasien buang air besar di pagi hari. Menurut keluarga pasien ,
pasien tidak pernah merasakan anusnya gatal. Pasien juga sering mual dan muntah terutama
setelah makan. Perut pasien juga kadang tampak kembung.
Pasien juga dikeluhkan demam, hilang timbul dirasakan terutama pada malam hari.
Demam dirasakan sejak 3 hari terakhir namun tidak terlalu tinggi. Demam disertai dengan
batuk-pilek.
Riwayat penyakit dahulu
Pasien sering mengalami keluhan berak darah disertai lendir dan keluar cacing sejak usia 2
tahun. Pasien pun sempat di rawat inap beberapa kali di puskesmas gunung sari dan RSUP NTB
karena keluhan serupa dan sempat dinyatakan mengalami gizi buruk oleh dokter.
Menurut ibunya, anaknya memang telah dinyatakan mengalami gizi buruk sewaktu berusia
3 tahun. Sudah sering diberikan makanan penambah gizi tetapi anknya tetap saja kurus.
Riwayat penyakit keluarga
Adik pasien mengalami keluhan serupa yaitu keluar cacing saat berak beberapa bulan yang
lalu. Namun menurut pengakuan ayah sudah meminum obat dari puskesmas.
Riwayat pengobatan

29

Pasien sudah pernah mendapatkan pengobatan untuk keluhanya saat ini. Pasien berulang
kali pernah di opname di rumah sakit atau puskesmas sebelumnya.
Riwayat alergi
Menurut Ibu pasien, ia tidak memiliki alergi terhadap makanan ataupun obat obatan.
Riwayat pribadi dan sosial
1. Riwayat nutrisi
Saat ini pasien sudah berusia 5 tahun, dan telah diberikan makanan seperti nasi, sayur,
dan lauk yang sama dengan orang tuanya. Menurut ibu, pasien jarang makan di rumah
dan lebih sering membeli makanan yang dijual di warung. Nafsu makan pasien beberapa
bulan terakhir menurun.
2. Perkembangan dan kepandaian
Pasien anak ke 7 dari delapan bersaudara. Menurut pengakuan ibu,

ada gangguan

perkembangan dan kepandaian pada anaknya. Anaknya lebih kecil dan kurus dibanding
anak lain yang umurnya sama. Anak juga lebih terlihat lemas, jarang suka bermain atau
berlari-lari seperti anak lainnya. Pasien belum bersekolah. Sehari-hari hanya berdiamdiri
di rumah.
3. Vaksinasi
Menurut pengakuan ibunya, pasien imunisasi pasien sudah lengkap.

Ikhtisar Keluarga

30

Keterangan:
1: ibu pasien

H: adik pasien

2: ayah pasien

A-F: Kakak kandung pasien

G: pasien
: tinggal dalam satu rumah
Riwayat Lingkungan, Sosial, dan Ekonomi
Pasien tinggal dalam satu rumah bersama ibu dan adik pasien. Ibu bekerja
sebagai pembantu dengan penghasilan sekitar 500.000/ bulan, terkadang ibu pasien
juga berjualan seadanya. Ibu pasien mengaku dengan penghasilan tersebut ia mampu
mencukupi kebutuhan makan sehari-hari keluarganya.
Tempat tinggal pasien adalah rumah beratap genteng, tidak memiliki plavon, dengan
lantai semen dan keramik, yang terdiri dari 3 kamar tidur, satu ruang tamu, dan satu
ruang gudang, dapur dan kamar mandi. Pasien biasanya tidur bersama ibu dan
kakaknya dalam satu kamar berukuran 3 meter x 2 meter, dengan sebuah kasur
berbahan kapuk. Kamar tidur memiliki sebuah jendela berkuran 50 cmx 25cm,
sedangkan ruang keluarga memiliki dua buah jendela berukuran 50 cm x 25 cm.
Jendela tersebut jarang dibuka. Ibu pasien memasak menggunakan gas. Sumur
sebagai sumber air terdapat di luar rumah. Air sumur digunaka untuk minum,
memasak, mencuci dan keperluan mandi. Air sumur yang diminum terkadang tidak
31

dimasak terlebih dahulu. Sumur tersebut tidak terlalu dalam dan airnya agak keruh,
terutama pada musim hujan. Tanah disekitar rumah agak lembab dan di beberapa
lokasi becek dan terdapat tumpukan sampah.

Anak

juga

tidak

pernah

menggunakan alas kaki saat di rumah dan jarang memotong kuku jari dan kaki.
Warga

disekitar

rumah

pasien

masing

sering

melakukan

aktifitas

mandi,cuci,kakus di sungai dekat rumah. Pasien pun lebih sering berak disungai dan
mandi di sungai.

PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Present (16 April 2014)
Keadaan umum

: Baik

Kesadaran

: Somnolen

GCS

: E4V5M5

Nadi

: 96 X/menit, kuat angkat, irama teratur

Pernapasan
Suhu

b.

BB
TB:
Lingkar kepala
Status gizi

: 24 X/menit
: 37,3C
: 19 kg
: 102 cm
: 50 cm
: buruk

Status General

Kepala :
Ekspresi wajah: seperti orang tua, Bentuk dan ukuran: bulat dan sedang, Edema (-),
Malar rash (-),Nyeri tekan kepala (-), rambut : berwarna kecoklatan

Mata :
Bentuk: mata cowong , Alis: normal, Bola mata: exopthalmus (-/-),nystagmus (-/-),
strabismus (-/-), Palpebra: edema (-/-), ptosis (-/-), Konjungtiva : anemia (+/+),
Sklera : ikterus (-/-), perdarahan (-), hiperemia (-/-),Pupil : bulat, isokor, refleks cahaya
(+/+), Lensa: tampak jernih.

Telinga :
32

Bentuk: normal, Lubang telinga: normal, sekret (-/-), Nyeri tekan (-/-).

Hidung :
Bentuk: simetris, deviasi septum (-), Napas cuping hidung (-), Perdarahan (-), sekret
(+), Daya penciuman normal.

Mulut :
Bentuk: simetris, Bibir: sianosis (-), kering (+), edema (-), stomatitis (+),Gigi :
lengkap, Gusi: hiperemia (-), edema (-), perdarahan (-), Mukosa: normal, Lidah:
glositis (-), atropi papil lidah (-), Faring: hiperemia (+)

Leher :
Kaku kuduk (-), Scrofuloderma (-), Pembesaran KGB (-), Trakea: di tengah, JVP:
tidak meningkat, Pembesaran otot sternocleidomastoideus (-), Otot bantu nafas SCM
tidak aktif , Pembesaran thyroid (-).

Thorax :
Cor:
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba ICS 5 midklavikula sinistra
Perkusi : Auskultasi : S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo:
Inspeksi : Bentuk simetris
Pergerakan simetris
Iga dan sela iga : retraksi (-), penggunaan otot bantu intercostal (-),
Pelebaran sela iga ()
Pernafasan : frekuensi 24 x/menit, teratur
Palpasi : Pergerakan simetris
Fremitus raba dan vokal simetris
Provokasi nyeri ()
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Nyeri ketok ()
Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+
Suara tambahan rhonki -/33

Suara tambahan wheezing -/

Abdomen :
Inspeksi :
Bentuk: distensi (+), Umbilicus: masuk merata, Permukaan Kulit : sikatrik (-), pucat
(-), sianosis (-).
Auskultasi :
Palpasi :

Bising usus (+)meningkat, Metallic sound (-), Bising aorta (-)


Turgor dan tonus: normal, nyeri tekan epigastrium: (-), Hepar/Lien/Ren:

ttb
Perkusi : Timpani (+), Redup beralih (-), Nyeri ketok CVA: (-/-)

Inguinal-genitalia-anus :
Inspeksi tidak ditemukan kelainan

Ekstremitas atas :Akral hangat : +/+


Kulit normal
Deformitas : (-)
Sendi : dbn
Edema: (-/-)
Sianosis : (-)
Kekuatan-tenaga : normal
Kuku panjang berwarna hitam

Ekstremitas bawah: Akral hangat : +/+


Kulit normal
Deformitas : (-)
Sendi : dbn
Edema : (-/-)
Sianosis : (-)
Foto Pasien ( diambil 14/4/2014)

34

Pemeriksaan Penunjang
Cek DL, UL, Feces lengkap
Diagnosis Kerja
Diare akut et causa Suspek Ascariasis dengan Gizi buruk
Terapi

Pirantel Pamoat tab 2x 125 mg (dosis tunggal)


CTM Tab 3x 4 mg
Cotrimokzazol 2 x tablet per hari

Prognosis
Dubia ad Bonam
KIE

35

Menjaga kebersihan diri, sering gunting kuku, membiasakan cuci tangan dengan sabun

menjelang makan atau sesudah buang air besar.


Tidak boleh buang air kecil/besar di sembarang tempat, tidak menjadikan tinja segar
sebagai pupuk; tinja harus dikelola dengan tangki septik, agar tidak mencemari sumber

air.
Tidak makan makanan mentah (sayuran,daging babi, daging sapi dan daging ikan), buah

dan melon dikonsumsi setelah dicuci bersih dengan air.


Minum air yang sudah dimasak mendidih baru aman.
Bila muncul serupa gejala infeksi parasit usus, segera periksa dan berobat ke rumah sakit
Meski kebanyakan penderita parasit usus ringan tidak ada gejala sama sekali, tetapi
mereka tetap bisa menularkannya kepada orang lain, dan telur cacing akan secara
sporadik keluar dari tubuh bersama tinja, hanya diperiksa sekali mungkin tidak ketahuan,
maka sebaiknya secara teratur memeriksa dan mengobatinya.

BAB IV
36

PENELUSURAN KASUS
4. 1.

Dasar Pemilihan Kasus


Infeksi cacing masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara

berkembang termasuk Indonesia. Dikatakan pula bahwa masyarakat pedesaan atau daerah
perkotaan yang sangat padat dan kumuh merupakan sasaran yang mudah terkena infeksi
cacing. Penyakit infeksi kecacingan merupakan salah satu penyakit yang masih banyak
terjadi di masyarakat namun kurang mendapatkan perhatian (neglectet diseases). Penyakit
yang termasuk dalam kelompok neglected diseases memang tidak menyebabkan wabah yang
muncul dengan tiba-tiba ataupun menyebabkan banyak korban, tetapi merupakan penyakit
yang secara perlahan menggerogoti kesehatan manusia.
Infestasi cacing dalam jumlah yang cukup banyak dapat menimbulkan keadaan
kurang gizi (malnutrisi). Cacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif),
penyerapan (absorpsi), dan metabolisme makanan. Secara kumulatif infeksi cacinganan dapat
menimbulkan kurangan gizi berupa kalori dan protein, serta kehilangan darah yang berakibat
menurunnya daya tahan tubuh dan menimbulkan gangguan tumbuh kembang anak.
Diare yang juga menjadi salah satu penyakit yang masih sering terjadi di Indonesia
dapat disebabkan oleh berbagai hal. Salah satu penyebab yang sering luput dari perhatian kita
adalah diare akibat infeksi parasit yaitu cacing. Indonesia sebagai negara berkembang dan
negara tropis diperkirakan memiliki angka kejadian infeksi cacing yang cukup tinggi.
Sejak tahun 2002 hingga 2006, prevalensi penyakit kecacingan secara berurutan
adalah sebesar 33,3 %, 33,0 %, 46,8 % 28,4 % dan 32,6 %. Kelompok ekonomi lemah ini
mempunyai risiko tinggi terjangkit penyakit kecacingan karena kurang adanya kemampuan
dalam menjaga higiene dan sanitasi lingkungan tempat tinggalnya.
Berdasarkan data Puskesmas Gunung Sari pada tahun 2012, jumlah angka
Kecacingan masih cukup banyak. Oleh karena itu, dengan diambilnya kasus mengenai
infeksi cacing ini, diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai infeksi cacing,
sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan yang tepat dan dapat menurunkan angka kesakitan
dan kematian pada bayi dan anak.
37

4. 2.

Tujuan
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi cacing pada pasien

dalam kasus ini yaitu An.A dan memberikan intervensi dari aspek ilmu kesehatan
masyarakat.
4. 3.

Metodologi
Metode yang digunakan dalam laporan kasus ini adalah wawancara dan pengamatan

tempat tinggal pasien dengan melakukan kunjungan rumah untuk mengetahui kondisi fisik
pasien setelah pulang dari puskesmas dan kondisi rumah pasien yang mendukung terjadinya
pneumonia.
4. 4.

Hasil Penelusuran

Skema Denah Rumah Pasien :


Gudan
g

WC

Dapur

R. Tidur

R.

R.tidur

Sumur

Pengkajian Masalah Kesehatan Pasien

BIOLOGIS

Usia pasien 5 tahun, sistem


imunnya belum sempurna.
faktor 38
gizi yang buruk yang
memperberat kondisi pasien

LINGKUNGA
N

PERILAKU
Minimnya pengetahuan
PHBS kurang dalam keluarga
Jarang mencuci tangan
dengan sabun, Baik
sebelum dan sesudah
makan dan setelah
BAB
Bermain di halaman
tanpa alas kaki
Kuku tangan dan kaki
panjang dan kotor
jarang di potong
Makanan di meja
makan jarang ditutup
sehingga
sering
dihinggapi lalat, dan
kadang
dibiarkan
berhari-hari
tidak
segera dibuang

Cacingan

PELAYANAN
KESEHATAN
Kurangnya informasi mengenai
penyakit infeksi oleh parasit
( cacing)

Penyuluhan untuk anak


prasekolah masih belum
ada
Pemberian
pengobatan
kecacingan masal belum
pernah diadakan

39

Tanah sekitar
rumah yang
lembab dan
becek
Sampah dibuang
sembarangan

BAB V
PEMBAHASAN

Suatu penyakit dapat terjadi oleh karena adanya ketidakseimbangan faktor-faktor


utama yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Paradigma hidup sehat yang
diperkenalkan oleh H. L. Blum mencakup 4 faktor yaitu faktor genetik/biologis (keturunan),
perilaku (gaya hidup) individu atau masyarakat, faktor lingkungan (sosial ekonomi, fisik,
politik) dan faktor pelayanan kesehatan (jenis, cakupan dan kualitasnya). Berdasarkan hasil
penulusuran kasus di atas, jika dilihat dari segi konsep kesehatan masyarakat, maka ada
beberapa faktor yang menjadi faktor resiko terjadinya penyakit kecacingan, yaitu :
1. Faktor Genetik/Biologis
Pasien dalam kasus ini berusia 5 tahun Pada usia tersebut, pasien termasuk
dalam usia yang rentan untuk mengalami penyakit terutama penyakit infeksi Hal ini
disebabkan karena pada usia bayi dan balita, daya tahan tubuhnya belum terbentuk
secara sempurna sehingga mudah untuk terserang penyakit Infeksi sering terjadi pada
anak daripada orang dewasa. Hal ini disebabkan karena anak sering berhubungan
dengan tanah yang merupakan tempat berkembangnya telur Ascaris atau larva
cacing.
2. Faktor Lingkungan
Dalam kasus ini, lingkungan tempat tinggal pasien yang mendukung terjadinya
kecacingan yang dialaminya adalah:
. Di pedesan kasus ini lebih tinggi prevalensinya,hal ini terjadi karena buruknya
sistem sanitasi lingkungan di pedesaan, tidak adanya jamban sehingga tinja manusia tidak
terisolasi sehingga larva cacing mudah menyebar. Hal ini juga terjadi pada golongan
masyarakat yang memiliki tingkat social ekonomi yang rendah, sehingga memiliki
kebiasaan membuang tinja (defekasi) ditanah, yang kemudian tanah akan terkontaminasi
dengan telur cacing yang infektif dan larva cacing yang seterusnya akan terjadi reinfeksi
secara terus-menerus.

40

Buang air besar di jamban yang memenuhi syarat, Menjaga kebersihan


lingkungan rumah, menggunakan air bersih merupakan upaya pencegahan dan
penanggulangan infeksi kecacingan.
Menurut kriterian Depkes RI (1985), syarat sebuah jamban keluarga
dikatagorikan jamban sehat, jika memenuhi persyaratan sebagai berikut :

Tidak mencemari sumber air minum, untuk itu letak lubang penampungan
kotoran paling sedikit berjarak 10 meter dari sumur (SPT SGL maupun
jenis sumur lainnya). Perkecualian jarak ini menjadi lebih jauh pada
kondisi tanah liat atau berkapur yang terkait dengan porositas tanah. Juga
akan berbeda pada kondisi topografi yang menjadikan posisi jamban

diatas muka dan arah aliran air tanah.


Tidak berbau serta tidak memungkinkan serangga dapat masuk ke
penampungan tinja. Hal ini misalnya dapat dilakukan dengan menutup

lubang jamban atau dengan sistem leher angsa.


Air seni, air pembersih dan air penggelontor tidak mencemari tanah di
sekitarnya. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat lantai jamban dengan
luas minimal 1x1 meter, dengan sudut kemiringan yang cukup kearah

lubang jamban.
Mudah dibersihkan, aman digunakan, untuk itu harus dibuat dari bahanbahan yang kuat dan tahan lama dan agar tidak mahal hendaknya

dipergunakan bahan-bahan yang ada setempat;


Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna

terang;
Cukup penerangan;
Lantai kedap air;
Luas ruangan cukup, atau tidak terlalu rendah;
Ventilasi cukup baik, dan
Tersedia air dan alat pembersih.

3. Faktor Perilaku
Pendidikan yang rendah

41

Ayah dan Ibu pasien berpendidikan rendah sehingga memiliki pengetahuan


yang rendah terutama mengenai perilaku hidup yang bersih dan sehat. Akibatnya,
keluarga pasien kurang memiliki kesadaran untuk berperilaku yang bersih dan
sehat di rumah sehingga memudahkan untuk terjadinya penyakit infeksi. Tingkat
pendidikan orang tua juga akan berpengaruh terhadap tindakan perawatan kepada
anak yang menderita kecacingan.
Selain pembuatan jamban yang memenuhi syarat, hal yang tidak kalah penting
dalam hal mengurangi risiko infestasi kecacingan yaitu dengan

tidak

melakukan defekasi disembarang tempat karena dengan melakukan defekasi


sembarang tempat menyebabkan pencemaran tanah, selain itu tinja dapat
menjadi sumber penularan yang berpotensi menjadi penyebab timbulnya
penularan berbagai macam penyakit termasuk kecacingan
Pencemaran tanah dengan tinja manusia merupakan penyebab transmisi telur
A.lumbricoides dan T.trichiura dari tanah kepada manusia melalui tangan dan
kuku yang tercemar telur cacing, lalu masuk kemulut melalui makanan.
Transmisi telur cacing, selain melalui tangan, ini dapat juga melalui makanan
dan minuman, terutama makanan jajanan yang tidak dikemas dan tidak tertutup
rapat. Telur cacing yang ada di tanah/debu akan sampai pada makanan tersebut,
jika diterbangkan oleh angin, atau dapat juga melalui lalat yang sebelumnya
hinggap di tanah/selokan/air limbah.
Untuk menghindari penyebaran tersebut perlu diperhatikan sebagai berikut :

membersihkan tangan sebelum dan sesudah makan serta setelah BAB dengan

sabun
membersihkan lingkungan
memotong kuku secara teratur
mencuci kaki sebelum tidur
Higiene perorangan sangat berhubungan dengan sanitasi lingkungan,

artinya apabila melakukan higiene perorangan harus diikuti atau didukung oleh
sanitasi lingkungan yang baik. Kaitan keduanya dapat dilihat dalam kondisi
misalnya saat mencuci tangan sebelum makan dibutuhkan air bersih, yang tentu
harus berasal dari sumber air yang memenuhi syarat kesehatan.
42

Kondisi

tanah

yang

gembur

ini

sangat

memungkinkan

menjadi

tempat

perkembangbiakan cacing tambang mengingat cacing tambang berkembang biak pada


tanah pasir yang gembur, tercampur humus dan terlindungi dari sinar matahari
langsung. Lahan pertanian di desa tidak selalu berupa tanah persawahan, tetapi juga
berupa kebun bahkan sering ditemukan kebun di sekeliling rumah yang biasanya
ditanami palawija. Kebun di sekeliling rumah ini biasanya juga ditanami pepohonan
produktif lainnya seperti pohon buah-buahan atau kelapa bahkan pohon jati.
Rindangnya tanaman buah ini akan membuat suasana tanah kebun di sekeliling rumah
menjadi teduh dan sebagian tanah kebun tidak terkena sinar matahari secara langsung.

Kondisi ini sangat disukai oleh cacing tambang untuk perkembangbiakannya.


Sampah merupakan salah satu indikator suatu lingkungan, dan lingkungan yang kotor
adalah temapt yang sangat disukai oleh lalat. Apabila perhatian masyarakat terhadap
sampah sangat renfah, maka kondisi lingkungan tersebut dapat mendukung lalat untuk
berkembang biak dan menjadi sumber penularan penyakit, diataranya kecacingan.
Telur cacing dapat menempel pada tubuh lalat. Telur ascaris banyak ditemukan di
sekitar tumpukan sampah (55%). Lalat suka hidup di tempat kotor yaitu tumpukan
sampah, makanan, dan tinja, dari situlah lalat membawa berbagai mikroorganisme,

karena tubuh lalat tertutup bulu-bulu yang mengandung semacam perekat.


Perilaku bermain merupakan hal yang penting diperhatikan dalam kaitannya dengan
kondisi sanitasi lingkungan rumah. Kondisi sanitasi lingkungan rumah yang baik tentu
akan memberikan rasa aman dan nyaman bagi anak untuk bermain. Pada lingkungan
masyarakat pedesaan, seorang anak bermain di halaman rumah, di kebun bersama
teman sebaya tetangga merupakan hal yang sangat wajar terjadi. Dalam kaitannya
dengan kebiasaan anak bermain di kebun, perlu diwaspadai kemungkinan anak terpapar
oleh

cacing

tambang

yang

memang

membutuhkan

media

tanah

untuk

perkembangbiakannya apalagi jika anak tidak mengunakan alas kaki.


4. Faktor Pelayanan Kesehatan
-

Kurangnya informasi mengenai penyakit kecacingan

Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua pasien yang rendah akan
berpengaruh terhadap tindakan yang diambil terhadap pasien yang mengalami
infeksi cacing. Hal ini menyebabkan keluarga pasien memerlukan informasi

43

mengenai infeksi cacing, Sehingga, dapat mencegah terjadinya penyakit yang

semakin memberat bahkan kematian.


Di Taman Kanak Kanak dan Sekolah Dasar harus secara rutin diadakan
pemeriksaan parasit, sedini mungkin menemukan anak yang terinfeksi parasit
dan mengobatinya dengan obat cacing.

Dari beberapa uraian faktor tersebut di atas, dapat diketahui bahwa banyak hal
yang dapat menyebabkan pasien dalam kasus ini menderita infeksi cacingyang pada
akhirnya mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak sendiri. Ketidakseimbangan
antara faktor penjamu, agen dan lingkungan dapat menyebabkan timbulnya suatu penyakit.
Selain itu adanya faktor-faktor dalam empat determinan kesehatan, seperti faktor
biologis/genetik, lingkungan, perilaku, dan faktor pelayanan kesehatan masyarakat dapat
menjadi penyebab timbulnya suatu penyakit dalam masyarakat.
Berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya infeksi cacing makan, dapat
dilakukan berbagai intervensi untuk mencegah terjadinya infeksi cacing berulang pada
pasien tersebut, antara lain:

Tidak makan makanan mentah (sayuran,daging babi, daging sapi dan daging ikan), buah

dan melon dikonsumsi setelah dicuci bersih dengan air.


Minum air yang sudah dimasak mendidih baru aman.
Menjaga kebersihan diri, sering gunting kuku, membiasakan cuci tangan menjelang

makan atau sesudah buang air besar.


Tidak boleh buang air kecil/besar di sembarang tempat, tidak menjadikan tinja segar
sebagai pupuk; tinja harus dikelola dengan tangki septik, agar tidak mencemari sumber

air.
Bila muncul serupa gejala infeksi parasit usus, segera periksa dan berobat ke rumah sakit
Meski kebanyakan penderita parasit usus ringan tidak ada gejala sama sekali, tetapi
mereka tetap bisa menularkannya kepada orang lain, dan telur cacing akan secara
sporadik keluar dari tubuh bersama tinja, hanya diperiksa sekali mungkin tidak ketahuan,

maka sebaiknya secara teratur memeriksa dan mengobatinya.


diadakan pemeriksaan parasit, sedini mungkin menemukan anak yang terinfeksi parasit
dan mengobatinya dengan obat cacing.

44

DAFTAR PUSTAKA
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil Data Kesehatan Indonesia
2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
2. Didik Sumanto, 2010, Faktor Resiko Infeksi Cacing Tambang Pada Anak Sekolah. Tesis.
Universitas

Diponegoro.

Availlable

http://eprints.undip.ac.id/23985/1/DIDIK_SUMANTO.pdf , accessed at 14/4/2014


45

at

3. Yohandromeda Syamsu, 2009. Ascariasis , Respon IgE dan Upaya Penanggulangannya.


Studi

Imunologi

Universitas

Airlangga.

Availlable

at

http://www.fk.unair.ac.id/attachments/1012_Ascariasis,%20Respons%20IgE%20dan
%20Upaya%20Penanggulangannya.pdf
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil Data Kesehatan Indonesia
2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
5. Tim Penyusun. 2012. Data Puskesmas Gunung Sari Tahun 2012. Puskesmas Gunung
Sari..
6. Salbiah, 2008. Hubungan Karakteristik Siswa dengan Sanitasi Lingkungan Dengan
Infeksi Cacingan Siswa Sekolah Dasar di Kecamatan Belawan Medan. Universitas
Sumatra

Utara.

Availlable

at

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6776/1/057023018.pdf
7. Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan RI. 2010. Lima kondisi Anak
Gizi

Buruk.

Availlable

at

http://ocw.usu.ac.id/course/download/1125-

GIZI/mk_giz_slide_lima_kondisi_anak_bergizi_buruk.pdf

46

Anda mungkin juga menyukai