Anda di halaman 1dari 25

REFERAT Oktober 2017

KECACINGAN

Nama : Muhammad Taufiq Usmani


No. Stambuk : N 111 17 067
Pembimbing : dr. Kartin Akune, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi cacing masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara


berkembang termasuk Indonesia dan menyebabkan kurang gizi dan gangguan
kognitif. Dikatakan pula bahwa masyarakat pedesaan atau daerah perkotaan yang
sangat padat dan kumuh merupakan sasaran yang mudah terkena infeksi cacing.1
Penyakit infeksi kecacingan merupakan salah satu penyakit yang masih banyak
terjadi di masyarakat namun kurang mendapatkan perhatian (neglectet diseases).
Penyakit yang termasuk dalam kelompok neglected diseases memang tidak
menyebabkan wabah yang muncul dengan tiba-tiba ataupun menyebabkan banyak
korban, tetapi merupakan penyakit yang secara perlahan menggerogoti kesehatan
manusia. Infestasi cacing dalam jumlah yang cukup banyak dapat menimbulkan
keadaan kurang gizi (malnutrisi). Cacingan mempengaruhi pemasukan (intake),
pencernaan (digestif), penyerapan (absorpsi), dan metabolisme makanan. Secara
kumulatif infeksi cacinganan dapat menimbulkan kurangan gizi berupa kalori dan
protein, serta kehilangan darah yang berakibat menurunnya daya tahan tubuh dan
menimbulkan gangguan tumbuh kembang anak.1,2

Diare yang juga menjadi salah satu penyakit yang masih sering terjadi di
Indonesia dapat disebabkan oleh berbagai hal. Salah satu penyebab yang sering
luput dari perhatian kita adalah diare akibat infeksi parasit yaitu cacing. Indonesia
sebagai negara berkembang dan negara tropis diperkirakan memiliki angka
kejadian infeksi parasit yang cukup tinggi.2

Salah satu jenis penyakit dari kelompok cacing adalah penyakit kecacingan
yang diakibatkan oleh infeksi cacing kelompok Soil Transmitted Helminth (STH),
yaitu kelompok cacing yang siklus hidupnya melalui tanah. Penyakit parasitik yang
termasuk ke dalam neglected diseases tersebut merupakan penyakit tersembunyi
atau silent diseases, dan kurang terpantau oleh petugas kesehatan.3 Penyakit
kecacingan yang diakibatkan oleh infeksi Soil Transmitted Helminth merupakan
salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Infeksi

1
kecacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi,
kecerdasan dan produktivitas penderita sehingga secara ekonomi banyak
menyebabkan kerugian, karena adanya kehilangan karbohidrat dan protein serta
kehilangan darah yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas sumber daya
manusia. Prevalensi infeksi kecacingan di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun
2006, yaitu sebesar 32,6 %, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu
dari sisi ekonomi.1,2,3

Lima spesies cacing yang termasuk dalam kelompok Soil Transmitted


Helminth yang masih menjadi masalah kesehatan, yaitu Ascaris lumbricoides,
Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis dan cacing tambang (Necator
americanus dan Ancylostoma sp). Di Indonesia, angka nasional prevalensi
kecacingan pada tahun 1987 sebesar 78,6 % masih relatif cukup tinggi. Program
pemberantasan penyakit kecacingan pada anak yang dicanangkan tahun 1995
efektif menurunkan prevalensi kecacingan menjadi 33,0 % pada tahun 2003. Sejak
tahun 2002 hingga 2006, prevalensi penyakit kecacingan secara berurutan adalah
sebesar 33,3 %, 33,0 %, 46,8 % 28,4 % dan 32,6 %. Kelompok ekonomi lemah ini
mempunyai risiko tinggi terjangkit penyakit kecacingan karena kurang adanya
kemampuan dalam menjaga higiene dan sanitasi lingkungan tempat tinggalnya.2,3

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Cacing


Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit paling umum tersebar dan
menjangkiti lebih dari 2 miliar manusia di seluruh dunia. Walaupun tersedia
obat-obat baru yang lebih spesifik dengan kerja lebih efektif, pembasmian
penyakit cacing masih tetap merupakan masalah disebabkan oleh kondisi
sosial-ekonomi di beberapa bagian dunia.2,3 Pada umumnya, cacing jarang
menimbulkan penyakit yang parah, tetapi dapat menyebabkan gangguan
kesehatan kronis yang merupakan suatu faktor ekonomis yang penting. Di
negara berkembang, termasuk Indonesia, penyakit cacing adalah penyakit
rakyat umum yang sama pentingnya dengan misalnya malaria dan TBC.
Infeksinya dapat terjadi secara simultan oleh beberapa jenis cacing.2,3

2.2 Epidemiologi Penyakit Kecacingan


Di Indonesia, infeksi cacingan merupakan masalah kesehatan yang sering
dijumpai. Angka kejadian infeksi cacingan yang tinggi tidak terlepas dari
keadaan Indonesia yang beriklim tropis dengan kelembaban udara yang tinggi
serta tanah yang subur yang merupakan lingkungan yang optimal bagi
kehidupan cacing. Infeksi cacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di
perkotaan. Hasil survei Cacingan di Sekolah Dasar di beberapa propinsi pada
tahun 1986-1991 menunjukkan prevalensi sekitar 60% - 80%, sedangkan untuk
semua umur berkisar antara 40% -60%. Hasil Survei Subdit Diare pada tahun
2002 dan 2003 pada 40 SD di 10 provinsi menunjukkan prevalensi berkisar
antara 2,2% - 96,3% .2,3

Pada banyak penelitian, intensitas dan prevalensi infeksi cacingan


meningkat pada anak-anak dan remaja. Kurva intensitas menurun sejalan
dengan bertambahnya usia. Puncak intensitas terjadi antara umur 5-10 tahun
untuk Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura, sedangkan cacing tambang

3
pada umur 10 tahun. Infeksi cacingan juga dipengaruhi oleh perilaku individu.
Intensitas dan prevalensi yang tinggi pada anak disebabkan oleh kebiasaan
memasukkan jari-jari tangan yang kotor ke dalam mulut. Pada infeksi cacing
tambang, prevalensi yang tinggi di dapatkan pada anak dengan umur lebih tua,
hal ini kemungkinan disebabkan oleh mobilitas anak.6

Penyebaran infeksi cacing Ascharis dan Trichuris mempunyai pola yang


hampir sama. Aschariasis adalah penyakit infeksi cacingan yang distribusinya
di seluruh dunia dan menginfeksi lebih dari 1.000 juta orang. Sebagian besar
infeksi terjadi di negara yang sedang berkembang, di Asia dan Amerika latin.
Di daerah endemik dengan tingkat kejadian Ascaris dan Trichiuris tinggi
terjadi penularan secara terus menerus. Transmisi ini dipengaruhi oleh berbagai
hal yang menguntungkan parasit, seperti keadaan iklim dan tanah yang sesuai.
Kedua spesien ini memerlukan tanah liat untuk berkembang. Telur Ascaris
yang telah dibuahi jatuh di tanah yang sesuai, menjadi matang dalam 3 minggu
pada suhu optimum 25-300C. Telur Ascaris akan matang dalam waktu 3
minggu pada suhu optimum kira-kira 300C. Selain keadaan tanah dan iklim
yang sesuai, keadaan endemic juga dipengaruhi oleh jumlah telur yang dapat
hidup sampai menjadi bentuk infektif dan masuk ke dalam tubuh hospes.
Beberapa jenis antelmentik mempunyai efek memperlambat masa
perkembangan telur bahkan menimbulkan perubahan bentuk telur sehingga
memperkecil reinfeksi.2,3

Banyak telur yang dihasilkan satu ekor cacing adalah sebagai berikut :
Ascaris kira-kira 200.000 sehari, Trichuris kira-kira 5.000 sehari dan cacing
tambang 9.000-10.000 sehari. Jumlah telur yang dapat berkembang semakin
banyak pada masyarakat dengan infeksi yang semakin berat akibat defekasi di
sembarang tempat khususnya di tanah.

Cacing tambang banyak dijumpai pada pekerja perkebunan yang langsung


berhubungan dengan tanah. Kebiasaan defekasi di tanah dan pemakaian tinja
sebagai pupuk kebun penting dalam penyebaran infeksi. Tanah yang gembur

4
(berpasir dan humus) serta lembab sangat baik untuk perkembangan larva
dengan suhu optimum 28-320C.6

2.3 Jenis Penyakit Cacing


A. Askariasis
Ascaris lumbricoides atau cacing gelang panjangnya kira-kira 10-15 cm
dan biasanya bermukim dalam usus halus. Kira-kira 25% dari seluruh
penduduk dunia terinfeksi cacing ini, terutama di negara tropis (70-90%).
Cacing betina mengeluarkan telur yang sangat banyak, sehingga 200.000
telur sehari melalui tinja. Penularan terjadi melalui makanan yang terinfeksi
oleh telur dan larvanya (panjangnya kira-kira 0,25 mm) yang berkembang
dalam usus halus. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh
menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif
ini bila tertelan manusia, akan menetas menjadi larva di usus halus. Larva
ini menembus dinding usus, melalui hati untuk kemudian ke paru-paru.
Setelah mencapai tenggorok, lalu larva ditelan untuk kemudian berkembang
biak menjadi cacing dewasa di usus halus.3

Gambar 2.1 Siklus hidup Ascaris lumbricoides (CDC, 2009)

5
Keterangan :

1. Cacing dewasa hidup di saluran usus halus, seekor cacing betina mampu
menghasilkan telur sampai 240.000 perhari yang akan keluar bersama
feses.
2. Telur yang sudah dibuahi mengandung embrio dan menjadi infective
setelah 18 hari sampai beberpa minggu di tanah.
3. Tergantung pada kondisi lingkungan (kondisi optimum, lembab, hangat,
tempat teduh)
4. Telur infective tertelan
5. Masuk ke usus halus dan menetas mengeluarkan larva yang kemudian
menembus mucosa usus, masuk kelemjar getah bening dan aliran darah
dan terbawa sampai ke paru-paru
6. Larva mengalami pendewasaan di dalam paru-paru (10 –14), menembus
dinding alveoli, naik ke saluran pernafasan dan akhirnya terlelan
kembali. Ketika mencapai usus halus, larva tumbuh menjadi cacing
dewasa. Waktu yang diperlukan mulai tertelan telur infeksi sampai
menjadi cacing dewasa sekitar 2 sampai 3 bulan. Cacing dewasa dapat
hidup 1 sampai 2 tahun dalam tubuh.

B. Oxyuriasis Enterobius vermicularis


Oxyuriasis Enterobius vermicularis (dahulu disebut Oxuriasis) atau
cacing kermi yang biasanya terdapat dalam cecum, menimbulkan gatal di
sekitar dubur (anus) dan kejang hebat pada anak-anak. Infeksi ini juga dapat
menimbulkan apendicitis. Pada wanita, cacing dapat migrasi dari saluran
genital dan seterusnya ke rongga perut sehingga memungkinkan peritonitis.

Penularan pada anak kecil sering kali terjadi melalui auto-reinfeksi,


yakni melalui telur-telur yang melekat pada jari-jari sewaktu menggaruk
daerah dubur yang dirasakan sangat gatal dan dengan demikian
memungkinkan terjadinya infeksi sekunder. Penyebabnya adalah cacing
betina yang panjangnya 8-13 mm, keluar dari dubur antara jam 8-9 malam

6
untuk bertelur di kulit sekitar dubur. Infeksi cacing kermi adalah satu-
satunya infeksi yang dapt ditularkan dari orang ke orang, sehingga semua
anggota keluarga harus diobati serentak, walaupun tidak menunjukkkan
sebarang gejala. Ini karena, cacing betina bertelur 3-6 minggu setelah
infeksi.

Siklus Hidup

Setelah membuahi cacing betina, cacing jantan biasanya mati dan


mungkin akan keluar bersama tinja. Di dalam cacing betina yang gravid,
hampir seluruh tubuhnya dipenuhi telur dan kemudian cacing dewasa betina
bertelur pada bagian dubur dan sekitar kulit bagian perianal.2,3

C. Ancylostomiasis
Infeksi cacing tambang (hookworm) pada manusia disebabkan oleh
Necator americanus (nekatoriasis) dan Ancylostoma duodenale
(ankilostomiasis). Cacing tambang mempunyai siklus hidup yang
kompleks, infeksi oleh larva melalui kulit dan mengalami migrasi ke paru –

7
paru dan berkembang menjadi dewasa pada usus halus. Infeksi cacing
tambang menyebabkan anemia mikrositik dan hipokromik karena
kekurangan zat besi akibat kehilangan darah secara kronis. Cacing dewasa
terutama hidup di daerah yeyunum dan duodenum. Telur dikeluarkan
melalui tinja dan tidak infektif pada manusia. Larva filariform yang bersifat
infektif hidup secara bebas di dalam tanah dan air.6

Siklus Hidup

Gambar 2.3 Siklus hidup Hookworm (CDC, 2009)

Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing


betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm,
cacing dewasa berbentuk seperti hurup S atau C dan di dalam mulutnya ada
sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang dimulai dari keluarnya telur
cacing bersama feses, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas
menjadi larva rhabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh
menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan
hidup 7-8 minggu di tanah. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah

8
ke jantung terus ke paru-paru. Di paru-paru menembus pembuluh darah
masuk ke bronchus lalu ke trachea dan larynk. Dari larynk, larva ikut
tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi
terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama
makanan.

Gambaran klinis walaupun tidak khas, tidak cukup mendukung untuk


memastikan untuk dapat membedakan dengan anemia karena defisiensi
makanan atau karena infeksi cacing lainnya. Diagnosa terakhir ditegakkan
dengan menemukan telur cacing pada feses penderita. Secara praktis telur
cacing Ancylostoma duodenale tidak dapat dibedakan dengan telur Necator
americanus. Untuk membedakan kedua spesies ini biasanya dilakukan
tekhnik pembiakan larva.2,3

D. Trichiuriasis
Trichuris trichiura merupakan penyebab penyakit trikuriasis. Karena
bentuknya mirip cambuk, cacing ini sering disebut sebagai cacing cambuk
(whip worm). Cacing ini tersebar luas di daerah tropis yang berhawa panas
dan lembab. Trichuris trichiura hanya dapat ditularkan dari manusia ke
manusia sehingga cacing ini bukan parasit zoonosis. Manusia adalah hospes
utama cacing Trichuris trichiura. Cara infeksi adalah langsung, tidak
diperlukan hospes perantara. Adapun cacing dewasa melekat pada mukosa
usus penderita, terutama di daerah sekum dan kolon, dengan membenamkan
kepalanya di dalam dinding usus. Larva menembus dinding usus halus
menuju pembuluh darah atau saluran limpa kemudian terbawa oleh darah
sampai ke jantung menuju paru-paru. Kadang – kadang cacing ini
ditemukan hidup di apendiks dan ileum bagian distal.

Kelainan patologis yang disebabkan oleh cacing dewasa terutama


terjadi karena kerusakan mekanik di bagian mukosa usus dan respons alergi.
Keadaan ini erat hubungannya dengan jumlah cacing, lama infeksi, umur
dan status kesehatan umum dari hospes (penderita). Gejala yang

9
ditimbulkan oleh cacing cambuk biasanya tanpa gejala pada infeksi ringan.
Pada infeksi menahun dapat menimbulkan anemia, diare, sakit perut, mual
dan berat badan turun.

Siklus Hidup

Gambar 2.2 Siklus hidup Trichuris trchiura (CDC, 2009)

Penyebaran geografis T.trichuira sama A. lumbricoides sehingga


seringkali kedua cacing ini ditemukan bersama-sama dalam satu hospes.
Frekuensinya di Indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan,
frekuensinya antara 30% - 90 %. Angka infeksi tertinggi ditemukan pada
anak–anak. Faktor terpenting dalam penyebaran trikuriasis adalah
kontaminasi tanah dengan tinja yang mengandung telur. Telur berkembang
baik pada tanah liat, lembab dan teduh.

10
2.4 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Infeksi Kecacingan
Faktor-faktor yang berhubungan dengan infeksi kecacingan sangat
banyak. Beberapa diantaranya adalah faktor lingkungan dan faktor perilaku
higiene perorangan.6

a. Faktor Lingkungan
Keadaan lingkungan yang berpengaruh pada infeksi kecacingan adalah
ada tidaknya sumber air bersih dan jamban yang memenuhi syarat
kesehatan.

b. Faktor Higiene Perorangan


Higiene adalah suatu usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari
pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah
timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta
membuat kondisi lingkungan hidup yang sedemikian rupa sehingga terjamin
pemeliharaan kesehatan. Dalam pengertian ini termasuk pula upaya
melindungi, memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan manusia
(perorangan ataupun masyarakat), sedemikian rupa sehingga pelbagai faktor
lingkungan yang tidak menguntungkan tersebut, tidak sampai menimbulkan
gangguan terhadap kesehatan.3

Higiene perorangan merupakan hal yang sangat penting diperhatikan


terutama pada masa perkembangan, dengan higiene perorangan yang buruk
pada masa tersebut akan dapat mengganggu perkembangan kualitas sumber
daya manusia. Higiene perorangan yang belum memadai merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi tingginya prevalensi kecacingan.6

Kulit, tangan, kaki dan kuku harus dipelihara dan ini tidak terlepas dari
kebersihan lingkungan sekitar dan kebiasaan hidup sehari – hari. Selain
indah dipandang mata, tangan, kaki dan kuku yang bersih juga dapat
menghindarkan kita dari berbagai penyakit.6

Untuk menghindari hal – hal tersebut perlu diperhatikan sebagai


berikut:

11
1. membersihkan tangan sebelum makan
2. membersihkan lingkungan
3. memotong kuku secara teratur
4. mencuci kaki sebelum tidur

Higiene perorangan sangat berhubungan dengan sanitasi lingkungan,


artinya apabila melakukan higiene perorangan harus diikuti atau didukung
oleh sanitasi lingkungan yang baik. Kaitan keduanya dapat dilihat dalam
kondisi misalnya saat mencuci tangan sebelum makan dibutuhkan air bersih,
yang tentu harus berasal dari sumber air yang memenuhi syarat kesehatan.

2.5 Transmisi Telur Cacing ke Tubuh Manusia


Faktor host merupakan salah satu hal yang penting karena manusia sebagai
sumber infeksi dapat mengurangi kontaminasi ataupun pencemaran tanah oleh
telur dan larva cacing, selain itu manusia justru akan menambah polusi
lingkungan sekitarnya. Di pedesan kasus ini lebih tinggi prevalensinya, hal ini
terjadi karena buruknya sistem sanitasi lingkungan di pedesaan, tidak adanya
jamban sehingga tinja manusia tidak terisolasi sehingga larva cacing mudah
menyebar. Hal ini juga terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki
tingkat sosial ekonomi yang rendah, sehingga memiliki kebiasaan membuang
tinja (defekasi) ditanah, yang kemudian tanah akan terkontaminasi dengan telur
cacing yang infektif dan larva cacing yang seterusnya akan terjadi reinfeksi
secara terus-menerus.

Perkembangan telur dan larva cacing sangat cocok pada iklim tropik
dengan suhu optimal adalah 23°C sampai 30°C. Jenis tanah liat merupakan
tanah yang sangat cocok untuk perkembangan telur cacing, sementara dengan
bantuan angin maka telur cacing yang infektif bersama dengan debu dapat
menyebar ke lingkungan.2,6

12
Berbagai penyakit dapat ditularkan oleh lalat, misalnya telur cacing. Lalat
Musca domestica yang sering terdapat pada tumpukan sampah dapat membawa
telur cacing Oxyrus vermicularis, Trichuris trichiura, cacing tambang, serta
acsaris lumbricoides. Lalat suka hidup di tempat kotor yaitu tumpukan
sampah, makanan, dan tinja, dari situlah lalat membawa berbagai
mikroorganisme, karena tubuh lalat tertutup bulu-bulu yang mengandung
semacam perekat. Telur ascaris banyak ditemukan di sekitar tumpukan sampah
(55%) dan di tempat teduh di bawah pohon (33,3%). Telur juga banyak
ditemukan di sekitar sumur, tempat cuci, dekat jamban, pinggir kali bahkan di
dalam rumah. Kepadatan penghuni dalam rumah juga berperan dalam
penularan cacing.

Pencemaran tanah dengan tinja manusia merupakan penyebab transmisi


telur A.lumbricoides dan T.trichiura dari tanah kepada manusia melalui tangan
dan kuku yang tercemar telur cacing, lalu masuk kemulut melalui makanan.
Transmisi telur cacing, selain melalui tangan, ini dapat juga melalui makanan
dan minuman, terutama makanan jajanan yang tidak dikemas dan tidak tertutup
rapat. Telur cacing yang ada di tanah/debu akan sampai pada makanan tersebut,
jika diterbangkan oleh angin, atau dapat juga melalui lalat yang sebelumnya
hinggap di tanah/selokan/air limbah sehingga kaki-kakinya membawa telur
cacing tersebut.3

13
Transmisi melalui sayuran yang dimakan mentah (tidak dimasak) dan
proses membersihkannya tidak sempurna juga dapat terjadi, terlebih jika
sayuran tersebut diberi pupuk dengan tinja segar. Di beberapa negara
penggunaan tinja sebagai pupuk harus diolah dahulu dengan bahan kimia
tertentu berupa desinfestasi.6

2.6 Dampak Infeksi Kecacingan pada Anak


Kecacingan jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung, namun
sangat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Infeksi cacing gelang yang
berat akan menyebabkan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan dan
perkembangan pada anak-anak. Infeksi cacing tambang (Ancylostoma
duodenale dan Necator americanus) mengakibatkan anemia defesiensi besi,
sedangkan Trichuris trichiura menimbulkan morbiditas yang tinggi.

Berbagai penelitian membuktikan bahwa sebagian kalori yang dikonsumsi


manusia tidak dimanfaatkan badan karena adanya parasit dalam tubuh. Pada
infeksi ringan akan menyebabkan gangguan penyerapan nutrien lebih kurang
3% dari kalori yang dicerna, pada infeksi berat 25% dari kalori yang dicerna
tidak dapat dimanfaatkan oleh badan. Infeksi Ascaris lumbricoides yang
berkepanjangan dapat menyebabkan kekurangan kalori protein dan diduga
dapat mengakibatkan defisiensi vitamin A. Sebanyak 20 ekor cacing Ascaris
lumbricoides dewasa dalam usus manusia mampu mengkonsumsi hidrat arang
sebanyak 2,8 gr dan 0,7 gr protein setiap hari. Dari hal tersebut dapat di
perkirakan besarnya kerugian yang disebabkan oleh infestasi cacing dalam
jumlah yang cukup banyak sehingga dapat menimbulkan keadaan kurang gizi.
Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga
memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing-cacing
ini menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus).6

Pada infeksi Trichuris trichiura berat sering dijumpai diare darah,


turunnya berat badan dan anemia. Diare pada umumnya berat sedangkan
eritrosit di bawah 2,5 juta dan hemoglobin 30% di bawah normal. Infeksi

14
cacing tambang umumnya berlangsung secara menahun, cacing tambang ini
sudah dikenal sebagai penghisap darah. Seekor cacing tambang mampu
menghisap darah 0,2 ml per hari. Apabila terjadi infeksi berat, maka penderita
akan kehilangan darah secara perlahan dan dapat menyebabkan anemia berat.6

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Diagnosa ditegakkan berdasarkan pemeriksaan tinja dengan ditemukannya
telur, larva, atau bahkan cacing dewasa. Pemeriksaan penunjang saat awal
infeksi (fase migrasi larva) akan ditemukan :

a) eosinofilia (1.000-4.000 sel/ml),


b) feses normal,
c) infiltrat patchy pada foto toraks dan
d) peningkatan kadar IgE

Pemeriksaan penunjang pada cacing tambang dewasa dilakukan dan dapat


ditemukan telur cacing dan atau cacing dewasa pada pemeriksaan feses. Tanda-
tanda anemia defisiensi besi yang sering dijumpai adalah anemia mikrositik-
hipokrom, kadar besi serum yang rendah, kadar total iron binding capacity
yang tinggi. Di sini perlu dieksklusi penyebab anemia hipokrom mikrositer
lainnya. Dapat ditemukan peningkatan IgE dan IgG4, tetapi pemeriksaan IgG4
tidak direkomendasikan karena tinggi biayanya. Hal-hal penting pada
pemeriksaan laboratorium, diantaranya adalah telur cacing tambang yang
ditemukan dalam tinja sering dikacaukan oleh telur A.lumbricoides yang
berbentuk dekortikasi. Tinja yang dibiarkan lebih dari 24 jam tanpa diawetkan
maka telur yang ada di dalamnya akan berkembang, menetas dan
mengeluarkan larva labditiform. Telur cacing tambang mudah rusak oleh
perwanaan permanen dan telur lebih mudah di lihat pada sediaan basah.

15
Diagnosis infeksi cacing tambang dapat dilakukan dengan beberapa cara:
 Pemeriksaan Sediaan langsung
Diambil tinja kira-kira 0,2 g diletakan pada kaca benda. Kemudian
ditambah 1-2 tetes larutan garam fisiologis dan diratakan. Selanjutnya
ditutup dengan kaca penutup dan langsung diperiksa dibawah mikroskop.
Untuk memberikan warna pada tinja agar telur cacing tampak lebih jelas,
dapat digunakan 1 tetes eosin 0,2% sebagai pengganti garam fisilogis.
 Tehnik Pengapungan Dengan NaCl jenuh.
Dimasukan tinja kurang lebih 5 g kedalam tabung reaksi dan ditambah
NaCl jenuh, diaduk sampai homogen, diambil kaca tutup, dan diamkan 10-
15 menit di dalam tabung reaksi. Diambil kaca tutup tanpa mengubah
kedudukannya langsung diletakan pada kaca benda dan diperiksa telur-
telurnya.2,3

2.8 Antihelmintik
Antihelmintik atau obat anti cacing adalah obat yang dapat memusnahkan
cacing dalam tubuh manusia dan hewan. Dalam istilah ini termasuk semua zat
yang bekerja lokal menghalau cacing dari saluran cerna maupun obat-obat
sistemik yang membasmi cacing serta larvanya yang menghinggapi organ dan
jaringan tubuh. Obat-obat yang tidak diresorpsi lebih diutamakan untuk cacing
di dalam rongga usus agar kadar setempat setinggi mungkin. Sebaliknya
terhadap cacing yang dapat menembus dinding-dinding usus dan menjalar ke
jaringan dan organ lain, misalnya cacing gelang, hendaknya digunakan obat
sistemik yang justeru diresorpsi baik ke dalam darah hingga mencapai jaringan.
Berikut jenis-jenis antihelmintik;6
 Mebendazol
Ester-metil dari benzimidazol ini adalah antihelmintik berspektrum luas
yang sangat efektif terhadap cacing kermi, gelang, pita, cambuk dan
tambang. Obat ini banyak digunakan sebagai monoterapi untuk penanganan
massal penyakit cacing, juga pada infeksi campuran dengan dua atau lebih
jenis cacing. Mebendazol bekerja sebagai vermisid, larvisid dan juga ovisid.

16
Mekanisme kerjanya melalui perintangan pemasukan glukosa dan
mempercepat penggunaan glikogen pada cacing. Penggunaan mebendazol
tdak memerlukan laksans. Resorpsinya dari usus adalah kecil yaitu kurang
dari 10%. Ekskresinya berlangsung lewat empedu dan urin.
 Albendazol
Adalah derivat karbamat dari benzimidazol berspektrum luas terhadap
cacing kermi, gelang, pita, cambuk dan tambang. Di dalam hati, zat ini
segera diubah menjadi sulfoksida, yag kemudian diekskresikan melalui
empedu dan urin
 Piperazin
Zat basa ini sangat efektif terhadap cacing gelang (Ascaris) dan cacing
kermi (Oxyuris) berdasarkan perintangan penerusan-impuls neuromuskuler,
hingga cacing dilumpuhkan dan kemudian dikeluarkan dari tubuh melalui
gerakan peristaltik usus. Di samping itu juga, piperazin juga mempunyai
khasiat sebagai laksans lemah. Dahulu obat ini banyak digunakan kerana
efektif dan murah, tetapi sejak tahun 1984, banyak negara Barat
menghentikan penggunaannya berhubung efek samping terutama
neurotoksisitasnya. Resorpsi dari usus adalah cepat dan kurang lebih 20%
diekskresikan melalui urin dalam keadaan utuh.
 Pirantel
Derivat pirimidin ini berkhasiat terhadap Ascaris, Oxyuris dan Necator,
tetapi tidak efektif terhadap Trichiuris. Mekanisme bekerjanya
melumpuhkan cacing dengan jalan menghambat propagasi impuls
neuromuskuler. Kemudian, parasit dikeluarkan oleh peristaltik usus tanpa
memerlukan laksans, diekskresikan dalam keadaan utuh bersama
metabolitnya melalui tinja sebanyak 50% dan lebih kurang 7% dikeluarkan
melalui urin.
 Levamisol
Derivat imidazol ini sangat efektif terhadap cacing gelang dan cacing
tambang dengan jalan melumpuhkannya. Khasiat lainnya yang sangat

17
penting adalah stimulasi sistem imunologi tubuh (imunostimulator pada
kemoterapi).
 Praziquantel
Derivat pirazino-isokinolin ini (1980) berkhasiat baik terhadap jenis
tertentu Schistosoma dan Taenia, sedangkan terhadap cacing hati Fasciola
hepatica tidak efektif. Obat ini satu-satunya digunakan pada schistosomiasis
dan juga dianjurkan pada taeniasis. Khasiatnya berdasarkan kontraksi cepat
pada cacing dan disintegrasi membran cacing.

2.9 Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Soil Transmitted Helminths


Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan ini dapat dilakukan
dengan :
a. Pencegahan Primer
1. Memutuskan rantai daur hidup dengan cara: berdefekasi di jamban,
menjaga kebersihan perorangan.
2. Penularan Strongyloides dapat dicegah dengan menghindari kontak
dengan tanah, tinja atau genangan air yang diduga terkontaminasi oleh
larva infektif.
3. Pencegahan infeksi cacing tambang adalah dengan cara mencegah
kontak manusia dengan tanah yang mengandung bentuk infektif. Salah
satu caranya adalah dengan memakai alas kaki jika keluar rumah.
4. Bagi individu atau keluarga yang sering mengkonsumsi sayuran
mentah/lalapan diharapkan agar mencuci sayur dengan benar.
5. Bagi petani yang menggunakan kotoran manusia sebagai pupuk tanaman
dihimbau untuk mencuci tangan dengan sabun setelah melakukan
pemupukan dan menggunakan alat pelindung diri seperti sepatu bot dan
sarung tangan.
6. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai sanitasi
lingkungan yang baik dan cara menghindari penyakit kecacingan.

18
b. Pencegahan Sekunder
1. Memberi pengobatan masal secara berkala 6 bulan sekali dengan obat
antelmintik yang efektif, terutama pada golongan rawan.
2. Apabila diketahui seseorang positif terinfeksi, maka orang tersebut harus
segera diberi obat cacing.2,3

2.10Program Pengendalian Kecacingan di Indonesia


Dasar utama untuk pengendalian kecacingan adalah memutuskan mata
rantai lingkaran hidup cacing. Data WHO tahun 2009 menunjukkan di
Regional Asia Tenggara memiliki 42% proporsi anak diseluruh dunia yang
membutuhkan pengobatan cacaing, dimana Indonesia diperkirakan memiliki
15% dari anak sekolah dan prasekolah yang memerlukan pengobatan.

Hasil pemeriksaan tinja pada anak sekolah dasar yang dilakukan oleg Sub
Dit Diare, Kecacingan dan Infeksi Saluran Pencernaan lain pada tahun 2002-
2009 di 398 SD yang tersebar di 33 Provinsi menunjukkan rata-rata prevalensi
cacingan adalah 31,8%.

Pemberantasan cacingan sebenarnya sudah dilakukan sejak zaman


penjajahan oleh sektor kesehatan saja yang meliputi pengobatan dan
pembuatan jamban. Upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit Cacingan
di Indonesia secara nasional dimulai tahun 1975 setelah dibentuk unit
struktural di Direktorat Jenderal P3M (Pencegahan dan Pemberantasan
Penyakit Menular). Departemen Kesehatan, yaitu Sub Direktorat Cacing
Tambang dan Parasit Perut Lainnya karena terbatasnya dana kebijakan
pemberantasan cacingan dilakukan “Limited Control Programme”.

Menteri Kesehatan mencanangkan Pemberantasan Cacingan melalui UKS


(Usaha Kesehatan Sekolah) dan Program Makanan Tambahan Anak Sekolah
(PMT-AS) ialah suatu upaya untuk meningkatkan ketahanan fisik bagi anak
Sekolah Dasar/MI di seluruh Indonesia. Sebagai salah satu upaya untuk
mempertahankan efektifitas asupan gizi yang diberikan, para pakar gizi dan

19
kesehatan menyarankan agar PMT-AS diberikan dengan pemberian obat
cacing. Pemikiran ini didasarkan pada kajian teknis medis dampak Cacingan
terhadap keadaan zat gizi. Cacing sebagai hewan parasit tidak saja mengambil
zat-zat gizi dalam usus anak, tetapi juga merusak dinding usus sehingga
mengganggu penyerapan zat–zat gizi tersebut.

Sebenarnya infeksi cacing perut akan berkurang bahkan dapat dihilangkan


sama sekali bila diupayakan budaya hidup sehat, lingkungan bersih, makanan
bergizi, yang nantinya akan tercapai dengan sendirinya dalam program
pembangunan pengentasan kemiskinan. Bila keadaan ekonomi naik, maka ia
akan membuat rumah yang lebih baik, jamban yang baik, mengirim anak-
anaknya ke sekolah supaya lebih mengetahui masalah kesehatan, membeli
radio dan TV supaya dapat mendengar siaran-siaran tentang penyuluhan
kesehatan, sehingga dapat merubah perilaku ke arah budaya hidup sehat.
Jelaslah bahwa pembangunan di semua sektor akan membantu meningkatkan
derajat kesehatan secara umum termasuk menanggulangi infeksi cacing.

Dalam program jangka pendek, dimulai dengan mengurangi prevalensi


infeksi cacing dengan membunuh cacing itu melalui pengobatan, dengan
pengobatan, intensitas infeksi (jumlah cacing per individu) dapat ditekan,
sehingga dapat memperbaiki derajat kesehatan.

Program penanggulangan jangka panjang harus dilaksanakan secara


berkesinambungan dengan melalui pemberdayaan masyarakat dan peran
swasta sehingga mereka mampu dan mandiri dalam melaksanakan
penanggulangan penyakit cacingan, yaitu berperilaku hidup bersih dan sehat,
meningkatkan kesehatan perorangan dan lingkungan, dengan demikian
diharapkan produktifitas kerja akan meningkat. Menurut rekomendasi WHO
bahwa dalam penanggulangan penyakit cacingan ada tiga hal yang harus
dilakukan yaitu:

20
1) Pengobatan
Pengobatan dilakukan dengan dua cara pendekatan yaitu “Blanket
Treatment” dan “Selective Treatment” dengan mengunakan obat yang aman
dan berspektrum luas, efektif, tersedia dan terjangkau harganya, serta dapat
membunuh cacing dewasa, larva dan telur.
Pada awal pelaksanaan kegiatan pengobatan harus didahului dengan
survei untuk mendapat data dasar. Bila pemeriksaan tinja dilakukan secara
sampling dan hasil pemeriksaan tinja menunjukan prevalensi 30% atau
lebih, dilakukan pengobatan massal, sebaliknya bila prevalensi kurang dari
30%, maka dilakukan pemeriksaan tinja secara menyeluruh (total
screening). Apabila hasil pemeriksaan total screening menunjukkan
prevalensi di atas 30%, maka harus dilakukan pengobatan massal. Apabila
prevalensi kurang dari 30%, maka lakukan pengobatan selektif, yaitu yang
positif saja.
- Blanket Mass Treatment
Suatu jenis pengobatan yang dilakukan secara menyeluruh kepada
seluruh penduduk yang menjadi sasaran program. Blanket Treatment
dilakukan bila sarana dan prasarana laboratorium tidak ada/tidak
memadai atau ada sarana laboratorium tapi kondisi geografis
menyulitkan pengumpulan sampel tinja, pengobatan massal ini dapat
dilakukan sampai 3 tahun tanpa survei evaluasi. Daerah yang
melaksanakan sistem Blanket, agar diikuti dengan kegiatan penyuluhan
tentang hidup bersih dan memperbaiki sanitasi lingkungan di wilayah
tersebut. Disamping itu agar diupayakan meningkatkan SDM dan sarana
laboratorium untuk menunjang kemampuan pemeriksaan tinja, dengan
harapan suatu saat mampu melaksanakan pengobatan selektif di
wilayahnya.
Selain itu pengobatan massal dilakukan apabila di daerah sasaran
pernah mempunyai prevalensi 30 % atau lebih.
- Selective Mass Treatment

21
Pengobatan yang dilakukan terhadap penduduk yang menjadi
sasaran program, tetapi hanya kepada penduduk yang hasil pemeriksaan
tinjanya positif. Hal ini dilakukan pada daerah yang mempunyai sarana
dan prasarana laboratorium yang memadai, karena pemeriksaan tinja
harus dilakukan pada seluruh sasaran. Di samping itu kondisi geografis
memungkinkan untuk pengumpulan sediaan tinja secara berkala.
Pengobatan dilakukan secara berurutan (satu per satu) dan harus
diminum didepan petugas (tidak boleh dibawa pulang).
2) Pencegahan
Tindakan preventif yaitu dengan melakukan pengendalian faktor risiko,
yang meliputi kebersihan lingkungan, keberhasilan pribadi, penyediaan air
bersih yang cukup, semenisasi lantai rumah, pembuatan dan penggunaan
jamban yang memadai, menjaga kebersihan makanan, pendidikan kesehatan
di sekolah baik untuk guru maupun murid.
3) Promotif
Pendidikan kesehatan dapat diberikan melalui penyuluhan kepada
masyarakat pada umumnya atau kepada anak-anak sekolah, yaitu melalui
program UKS, sedangkan untuk masyarakat dapat dilakukan penyuluhan
secara langsung atau melalui media massa baik cetak maupun media
elektronik.

22
BAB III
KESIMPULAN

1. Cacingan merupakan penyakit infeksi yang masih sangat sering dijumpai di


Indonesia, yang berkaitan dengan pola hidup masyarakat yang tidak bersih,
sehingga memudahkan terjadinya infeksi oleh cacing.
2. Cacing yang sering menginfeksi adalah cacing yang siklus hidupnya melalui
tanah (Soil Transmitted Helminthes), diantaranya yaitu Ascariasis
lumbricoides, cacing tambang, dan Strengyloides stercoralis. Cacing-cacing
tersebut dapat tumbuh dan berkembang biak di dalam usus manusia. Pada
kondisi kronis cacing tersebut dapat menyebabkan tersumbatnya lumen usus
sehingga pasien akan mengalami tanda-tanda ileus obstruktif dikarenakan
gumpalan cacing.
3. Untuk menghindari terjadinya infeksi, hal yang harus dilakukan adalah
menjaga pola hidup bersih dan sehat. Contohnya seperti selalu mencuci tangan
sebelum dan sesudah makan, menggunakan alas kaki, sanitasi rumah dan
lingkungan sekitar yang baik, BAB di jamban, dan lain-lain.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil Data Kesehatan


Indonesia 2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
2. Didik Sumanto, 2010, Faktor Resiko Infeksi Cacing Tambang Pada Anak
Sekolah. Tesis. Universitas Diponegoro. Availlable at
http://eprints.undip.ac.id/23985/1/DIDIK_SUMANTO.pdf , accessed at
14/4/2014
3. Yohandromeda Syamsu, 2009. Ascariasis, Respon IgE dan Upaya
Penanggulangannya. Studi Imunologi Universitas Airlangga. Availlable at
http://www.fk.unair.ac.id/attachments/1012_Ascariasis,%20Respons%20I
gE%20dan%20Upaya%20Penanggulangannya.pdf
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil Data Kesehatan
Indonesia 2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
5. Tim Penyusun. 2012. Data Puskesmas Gunung Sari Tahun 2012.
Puskesmas Gunung Sari..
6. Salbiah, 2008. Hubungan Karakteristik Siswa dengan Sanitasi Lingkungan
Dengan Infeksi Cacingan Siswa Sekolah Dasar di Kecamatan Belawan
Medan. Universitas Sumatra Utara. Availlable at
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6776/1/057023018.pdf
7. Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan RI. 2010. Lima
kondisi Anak Gizi Buruk. Availlable at
http://ocw.usu.ac.id/course/download/1125-
GIZI/mk_giz_slide_lima_kondisi_anak_bergizi_buruk.pdf

24

Anda mungkin juga menyukai