PICA
Makan adalah salah satu kegiatan biologis yang kompleks pada bayi dan
anak sehat, dan merupakan kegiatan rutin sehari-hari yakni mengkonsumsi
makanan dengan memasukkan makanan ke dalam mulut dan menelannya untuk
sebagai sumber semua jenis zat-zat gizi yang diperlukan. Biasanya melibatkan
berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan keluarga, khususnya ibu. Jika
dilihat dari segi gizi anak, makan merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan
individu terhadap berbagai macam zat gizi (nutrien) untuk berbagai keperluan
metabolisme berkaitan dengan kebutuhan untuk mempertahankan hidup,
mempertahankan kesehatan dan untuk pertumbuhan dan perkembangan. Di
samping itu, makan merupakan pendidikan agar anak terbiasa kebiasaan makan
yang baik dan benar.1
Pica merupakan gangguan makan yang didefinisikan sebagai mengonsumsi
zat-zat yang tidak bergizi secara terus menerus selama kurang lebih satu bulan.
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat
(DSM-IV), ingesti zat tidak bergizi harus tidak sesuai untuk tingkat perkembangan
anak. Pica mungkin saja jinak namun bisa juga mengancam nyawa.1
Dalam beberapa masyarakat, pica adalah suatu hal yang bersifat budaya dan
tidak dianggap sebagai kelainan. Tetapi pica jauh lebih sering ditemukan pada anak
kecil dibandingkan dengan dewasa. Individu yang terdiagnosis pica dilaporkan
menelan berbagai macam zat non pangan termasuk tanah liat, kotoran, pasir, batu,
kerikil, rambut, es, kuku, kertas, kapur, kayu, bahkan batu bara. Pada orang dewasa,
bentuk pica tertentu, termasuk geofagia (makan tanah) dan amilofagia (makan
kanji), telah dilaporkan terjadi pada wanita hamil. Walaupun pica diamati paling
sering terjadi pada anak-anak, gangguan makan ini adalah suatu hal yang paling
umum terjadi pada individu dengan retardasi mental.2
Pica diperkirakan terjadi pada usia 10 tahun dan 32% anak-anak antaranya
usia 1 dan 6 tahun. Pada anak yang lebih dari 10 tahun, laporan pica menyatakan
angka kira-kira 10% dari populasi. Terjadi penurunan linier seiring dengan
bertambahnya usia. Pica kadang-kadang meluas ke golongan remaja namun jarang
ditemukan pada orang dewasa yang tidak cacat mental. Pada individu dengan
keterbelakangan mental, pica paling sering terjadi pada mereka yang berusia 10-20
tahun.2
Bayi dan anak sering menelan cat, plester, tali, rambut, dan kain. Anak-anak
lebih cenderung suka menelan kotoran hewan, pasir, serangga, daun, kerikil, dan
puntung rokok. Sedangkan remaja dan orang dewasa paling sering menelan tanah
liat atau tanah. Pada wanita hamil muda, pica terjadi selama kehamilan pertama
pada masa remaja akhir atau dewasa awal. Meskipun pica biasanya berhenti pada
akhir kehamilan, namun bisa saja terus berlanjut hingga bertahun-tahun. Pica
biasanya terjadi dengan frekuensi yang sama antara laki-laki dan perempuan,
namun sangat jarang pada pria remaja dan dewasa.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Pica adalah gangguan makan yang didefinisikan sebagai konsumsi zat-
zat yang tidak bergizi secara terus menerus selama kurang lebih satu bulan.
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat
(DSM-IV), ingesti zat tidak bergizi harus tidak sesuai untuk tingkat
perkembangan anak. Pica mungkin saja jinak namun bisa juga mengancam
nyawa.4
Gangguan Pica merupakan perilaku abnormal yang ditunjukkan dengan
perilaku mengonsumsi makanan non-nutritif atau tidak bergizi seperti pasir,
rumput, tanah liat, cat, pasir, penghapus pensil, dan lain-lain. Gangguan pica
hanya didiagnosis ketika perilaku dinilai tetap yakni saat berlangsung selama
1 bulan dan tidak tepat dilakukan pada tingkat perkembangan individu
(Kharistie, 2008).
Beberapa subtipe pica yang dinamakan sesuai dengan substansi yang
dimakan misalnya: Amylophagia (konsumsi pati); Coprophagy (konsumsi
tinja); Geophagy (konsumsi tanah, tanah liat, atau kapur); Hyalophagia
(konsumsi kaca); Konsumsi debu atau pasir; Lithophagia (subset dari
geophagia, konsumsi kerikil atau batu); Mucophagia (konsumsi lendir);
Odowa (batu lembut dimakan oleh ibu hamil di Kenya); Konsumsi cat;
Pagophagia (konsumsi patologis es); Self-kanibalisme (kondisi langka di mana
bagian tubuh dapat dikonsumsi); Trichophagia (konsumsi rambut, bulu atau
wol); Urophagia (konsumsi urin); Xylophagia (konsumsi kayu atau kertas)
2.2 EPIDEMIOLOGI
Insiden pica jarang pada anak yang berusia lebih tua dan remaja. Pica
lebih lazim pada anak dan remaja dengan retardasi mental. Pica dilaporkan
hingga 15% individu dengan retardasi mental berat. Pica dapat dijumpai pada
kedua jenis kelamin dengan angka kejadian sama besar.3
Pica terjadi di seluruh dunia. Geofagia adalah bentuk paling umum dari
pica pada orang yang hidup dalam kemiskinan serta orang yang hidup di daerah
tropis dan bersuku-suku. Pica adalah hal yang lazim terjadi di bagian barat
Kenya, Afrika Selatan, dan India. Pica juga dilaporkan di Australia, Kanada,
Israel, Iran, Uganda, Wales, Turki, dan Jamaika. Di beberapa Negara, bahkan
tanah dijual untuk tujuan konsumsi. Di Indonesia sendiri belum ada data dan
informasi yang jelas mengenai gangguan makan jenis ini.3
2.3 ETIOLOGI
Insiden pica yang lebih tinggi dari perkiraan tampak terdapat pada
kerabat orang dengan gejala ini. Defisiensi gizi didalilkan sebagai penyebab
pica, pada keadaan tertentu, perasaan “nagih” zat-zat yang tidak dapat dimakan
diakibatkan oleh insufisiensi diet. Contohnya, perasaan “nagih” debu dan es
kadang-kadang disebabkan oleh defisiensi besi dan seng, yang dihilangkan
dengan pemberiannya. Insiden pengabaian dan deprivasi orang tua juga
dikaitkan dengan kasus pica. Teori yang menghubungkan deprivasi psikologis
dan konsumsi zat yang tidak dapat dimakan diajukan sebagai mekanisme
kompensasi untuk memenuhi kebutuhan oral.4
Penyebabnya hingga kini masih belum diketahui dengan jelas. Tapi
beberapa peneliti menduga kurangnya zat besi dan anemia memicu pola makan
tersebut.4
Pica disebabkan oleh gangguan perilaku. Kebiasaan anak
mengonsumsi berbagai jenis benda yang tidak lazim, dan tidak memiliki
kandungan gizi, seperti; tanah, kapur, cat, kertas, dll. Hal ini terjadi karena
kebiasaan anak mencoba-coba dan tidak disertai penjelasan, atau dibiarkan
karena tidak diketahui oleh orang tua (orang dewasa yang mengasuh anak).4
Selain itu terdapat kondisi-kondisi tertentu yang dapat meningkatkan
faktor risiko terjadinya pica, yaitu:
Terdapat pada golongan anak di bawah umur 3 tahun, biasanya di atas 1
tahun, sebab bayi yang sedang belajar merangkak dan anak sapihan wajar
bila suka memasukkan benda-benda yang dipegangnya ke dalam mulutnya.
Diet. Orang yang diet mungkin mencoba untuk meringankan kelaparan
dengan makan zat non-pangan untuk mendapatkan perasaan kenyang,
Malnutrisi dan Penderita defisiensi gizi. Terutama di negara-negara
terbelakang, di mana orang-orang dengan pica paling sering makan tanah
atau tanah liat.
Faktor budaya. Dalam keluarga, agama, atau kelompok yang makan zat non-
pangan, digunakan untuk praktek pembelajaran.
Kelalaian orang tua, kurangnya pengawasan, atau kekurangan makanan
sering terlihat pada anak-anak yang hidup dalam kemiskinan.
Masalah perkembangan, seperti keterbelakangan mental, autisme, cacat
perkembangan lainnya, atau kelainan otak.
Kondisi kesehatan mental, seperti gangguan obsesif-kompulsif (OCD) dan
skizofrenia.
Kehamilan. Pica selama kehamilan lebih sering terjadi pada wanita yang
selama masa kecil mereka atau sebelum kehamilan, memiliki riwayat pica
baik dirinysa sendiri, maupun dalam keluarga.5
Pemeriksaan fisik
Temuan fisik yang terkait dengan pica sangat bervariasi dan
berhubungan langsung dengan bahan yang tertelan dan konsekuensi medis
selanjutnya. Temuan ini seperti berikut:
a. Tanda keracunan
b. Tanda infeksi atau infestasi dari parasit
c. Manifestasi pada Gastrointestinal (GI)
d. Manifestasi pada gigi
Toksisitas adalah keracunan yang paling umum yang terkait dengan
pica. Tanda fisiknya tidak spesifik dan tak terlihat, dan kebanyakan anak
dengan keracunan timah tidak menunjukkan gejala. Manifestasi fisik dari
keracunan dapat seperti gejala neurologis (misalnya, mudah tersinggung, lesu,
ataksia, inkoordinasi, sakit kepala, kelumpuhan saraf, papilledema ,
ensefalopati, kejang, koma, atau kematian) dan gejala pada saluran GI
(misalnya, sembelit, sakit perut, kolik , muntah, anoreksia, atau diare). 1,4,5
Toxocariasis (termasuk larva migrans visceral dan ocular larva
migrans) dan ascariasis merupakan infeksi parasit paling sering yang terkait
dengan pica. Gejala Toxocariasis beragam dan tampaknya terkait dengan
jumlah larva yang tertelan dan organ mana tempat larva bermigrasi. Temuan
fisik yang terkait dengan migrans larva visceral adalah demam, hepatomegali,
malaise, batuk, miokarditis , dan encephalitis. Ocular larva migrans dapat
menyebabkan lesi retina dan kehilangan penglihatan. 1,4,5
Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada tes laboratorium tunggal yang mengkonfirmasi atau
menyingkirkan diagnosis pica, tetapi beberapa tes laboratorium berguna karena
pica sering disertai dengan indeks yang abnormal misalnya kadar serum besi
dan seng. 1,4,5
2.6 TERAPI
Langkah pertama di dalam terapi pica adalah untuk menentukan
penyebabnya jika memungkinkan. Jika pica disebabkan oleh situasi
pengabaian atau penganiayaan, tentu saja keadaan ini perlu diubah. Pajanan
pada zat toksik, seperti timah, harus dihilangkan. Tidak ada terapi definitif
untuk pica; sebagian besar terapi ditujukan pada edukasi dan modifikasi
perilaku. Terapi menekankan pendekatan psikososial, lingkungan, perilaku,
dan pedoman keluarga. Upaya harus dilakukan untuk mengurangi stresor
psikososial yang signifikan.
1. Terapi lama
Menurut ADA Manual Clinical Dietetics tahun 2000, Pica
didefinisikan sebagai kelainan psikobehavioral yang melibatkan
keinginan-keinginan yang abnormal untuk memakan sesuatu yang
sebenarnya bukan merupakan makanan yang lazim dikonsumsi seperti
tanah, kapur, dan sebagainya. Pica menjadi sebuah perhatian karena
substansi-substansi yang bukan merupakan makanan itu dikhawatirkan
dapat menggantikan nutrisi-nutrisi dari makanan yang sesungguhnya dan
hal ini bisa menjadi berbahaya. Menurut Andrews, 1998 sebenarnya tidak
ada suatu panduan yang spesifik mengenai rencana terapi pada pica, tetapi
pendekatan personal dan pemberian edukasi serta saran-saran yang baik
mengenai nutrisi yang seimbang pada pasien pica menjadi suatu hal
penting untuk upaya mengurangi keinginan-keinginan mengkonsumsi
benda-benda yang aneh sehingga dapat tercipta keseimbangan nutrisi
dalam tubuh. Rose, 2000 menyatakan bahwa penatalaksanaan pasien pica
dengan cara yang sama belum tentu mendapatkan hasil yang sama.7
2. Terapi Baru
a. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (Farmakologis)
Terapi baru yang kemungkinan dapat digunakan dan telah
direkomendasikan karena hasil yang memuaskan saat diuji coba pada
pasien pica adalah terapi farmakologis dengan selective serotonin
reuptake inhibitors (SSRi) dan neuroleptic atipical lain. Terapi baru
ini bekerja dengan memblok reuptake atau reabsorpsi serotonin oleh
sel-sel saraf di otak. Beberapa jenis SSRi ini antara lain adalah
fluvoxamin, zimelidin, paroxetin, fluoxetin, dan citalopram.8
b. Bupropion (Farmakologis)
Bupropion merupakan golongan obat dari aminoketone
norepinephrine and dopamine reuptake inhibitor yang terbukti dapat
digunakan sebagai terapi pada gangguan pica yang persisten, kronik,
dan mengalami ketergantungan nikotin yang parah.9
Intervensi perilaku pada pasien pica dengan tujuan untuk mengalihkan
perhatian, seperti menyusun ulang lingkungannya, konseling, dan
terapi-terapi perilaku yang lain tidak berhasil, maka terapi
farmakologis merupakan opsi selanjutnya seperti bupropion.9
Pada penelitian yang telah dikakukan, pemberian bupropion
selama 12 bulan, pasien mengalami penurunan episode pica menjadi
6.25 kali setiap bulan.9
d. Response Blocking
Response Blocking merupakan usaha yang dilakukan oleh
individu yang merawat atau menjaga pasien pica agar tidak
mengambil benda (bukan makanan) untuk dimakan. McCord dan
Grosser (2005) melakukan penelitian tentang response blocking pada
pasien pica yang dilakukan selama 10 menit selama 3 sampai dengan
5 hari setiap minggu. Pada penelitian ini, pasien ditempatkan di
ruangan tertutup yang di dalamnya terdapat kertas segi empat yang
dilekatkan ke lantai dan di atas kertas tersebut disimpan benda-benda
(bukan makanan) yang 12 ias dimakan oleh pasien pica. Lalu ada
seorang terapis yang ada di ujung ruangan berjarak 3.1 m dari benda
yang ada di atas lantai. Pada percobaan pertama, terapis tidak bereaksi
apa-apa (tidak mencegah/mem-block) pasien saat akan mengambil
benda di atas kertas. Percobaan kedua, terapis mencegah ketika benda
sudah berjarak 0.3 m dari mulut pasien, pada percobaan ketiga, terapis
mencegah pasien mengambil benda di atas kertas.11
Pada penelitian ini menunjukan bahwa jika pasien tidak
dicegah maka pasien akan dengan leluasa memakan benda-benda
bukan makanan tersebut, walaupun dicegah, tetapi jika dicegah saat
makanan sudah diambil maka efeknya tidak efektif, pasien tetap tidak
mau menjatuhkan makanan tersebut. Hasil dari pencegahan ini akan
efektif jika perawat atau seseorang yang menjaga pasien mencegah
pasien mengambil benda-benda berbahaya untuk dimakan. Sehingga,
kesimpulannya adalah pencegahan tidak efektif jika dilakukan setelah
pasien mengambil benda untuk dimakan, tetapi harus dilakukan usaha
untuk mencegah pasien menjangkau benda-benda berbahaya untuk
dimakan tersebut.11
2.6 PROGNOSIS
Prognosis untuk pica beragam, meskipun pada anak dengan intelegensi
normal, gangguan ini paling sering bersifat pulih spontan. Pada anak, pica
biasanya pulih seiring dengan meningkatnya usia; pada perempuan hamil, pica
biasanya terbatas pada masa kehamilan saja. Meskipun demikian, pada
beberapa orang dewasa, terutama mereka yang mengalami retardasi mental,
pica dapat berlanjut hingga bertahun-tahun. Data pemantauan lanjutan pada
populasi ini terlalu terbatas untuk memberikan suatu kesimpulan. Keberhasilan
dalam pengobatan bervariasi, sebagian besar kasus pica berlasung beberapa
bulan dan akan sembuh dengan sendirinya, tapi ada beberapa kasus yang
berlanjut kemasa remaja dan dewasa terutama ketika terjadi bersamaan dengan
gangguan perkembangan.
2.7 KOMPLIKASI
Komplikasi pica dapat berupa11:
a. Infeksi
b. Obstruksi usus
c. Menyebabkan keracunan
d. Malnutrisi
e. Diare
f. Anemia
g. Konstipasi
h. Kecacingan
Komplikasi termasuk usus buntu akut (Appendicitis) dan intususepsi.
Kadang bezoars yang berukuran raksasa, seperti dalam kasus kami dan
mungkin meniru massa intraabdominal klinis. Anemia dan hypoalbuminaemia
dikaitkan dengan gastritis kronis biasanya pergi tanpa diketahui sampai kasus
ini dibawa ke cahaya oleh timbulnya komplikasi berat seperti perdarahan,
obstruksi atau perforasi. Perforasi dan peritonitis adalah sebagian besar
bertanggung jawab untuk kematian
BAB III
KESIMPULAN
Pica ialah nafsu makan penderita yang menunjukkan terhadap berbagai atau
salah satu obyek yang bukan tergolong makan, misalnya tanah, pasir, rumput, bulu,
selimut wol, pecahan kaca, kotoran hewan, cat kering, dinding tembok, dan
sebagainya.
Gejala bisa seperti sembelit, sakit perut kronis atau akut yang mungkin
menyebar atau terfokus, mual dan muntah, distensi perut, dan kehilangan nafsu
makan pada saluran Gastrointestinal (GI).
Terapi yang dapat diberikan diantaranya dengan:
- Farmakologis dengan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors dan Bupropion.
- Non farmakologis dengan respons effort dan respons blocking.
Prognosis pica pada anak, pica biasanya pulih seiring dengan meningkatnya
usia; pada perempuan hamil, pica biasanya terbatas pada masa kehamilan saja.
DAFTAR PUSTAKA