Anda di halaman 1dari 34

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Indonesia sebagai negara berkembang masih mengalami banyak masalah kesehatan,
antara lain masalah kesehatan penyakit infeksi. Salah satu penyakit infeksi yang masih tinggi
insidennya adalah infeksi kecacingan. Penyakit akibat cacing masih merupakan penyakit
endemik yang masih banyak ditemukan diberbagai tempat di indonesia. Salah satu penyakit
cacing adalah penyakit cacing usus yang ditularkan melalui tanah atau sering disebut soil
transmitted helminths yang sering dijumpai pada anak sekolah dasar dimana pada usia ini
anak masih sering kontak dengan tanah.1
Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan golongan cacing yang bentuk penularan
penyakit cacing itu sendiri membutuhkan tanah sebagai media perkembangbiakannya dengan
didukung oleh kondisi tertentu. Kondisi yang dapat mendukung perkembangbiakan cacing
tersebut tergantung dari jenis cacing itu sendiri. Cacing yang masuk dalam golongan STH
yakni Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris
trichiura, dan Strongyloides stercoralis.2
World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan infeksi STH ke dalam salah satu
Neglected Tropical Diseases (NTDs) di dunia yang artinya penyakit ini selama ini
terabaikan, meskipun tidak berakibat fatal tapi sangat mempengaruhi status kesehatan
masyarakat dan tak jarang menyebabkan kematian.WHO menyebutkan 150.000 kematian
terjadi setiap tahunnya akibat infeksi STH.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2008 didapatkan sekitar
800 juta sampai dengan 1 milyar penduduk di dunia terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides,
700 juta sampai 900 juta penduduk dunia terinfeksi cacing tambang (Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale), 500 juta penduduk terinfeksi Trichuris trichiura, dan 300 juta
penduduk dunia terinfeksi Oxyuris vermicularis. Data WHO (2013) pada bulan Juni,
didapatkan lebih dari 1,5 milyar atau 24% dari populasi penduduk di dunia terinfeksi Soil
Transmitted Helminths.
Infeksi cacing Ascaris lumbricoides merupakan kejadian terbanyak yang ditemukan di
dunia yaitu dengan prevalensi sekitar 807 juta jiwa dan populasi yang berisiko sekitar 4,2

1
milyar jiwa. Risiko tertinggi untuk terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides ialah di daerah
benua Asia, Sub Sahara, India, China, Amerika Latin, dan Kepulauan Pasifik.3
Sebagai negara yang beriklim tropis dengan tanah yang lembab dan terlindung dari
sinar matahari, Indonesia merupakan tempat yang baik untuk perkembang biakan cacing
yang siklus hidupnya di tanah. Prevalensi kecacingan di Indonesia masih relatif tinggi
pada tahun 2006, yaitu sebesar 32,6% dan pada tahun 2007 mencapai 65%. 4 Berdasarkan
survei yang dilakukan dibeberapa tempat di Indonesia, prevalensi infeksi cacing Ascaris
lumbricoides ini mencapai sekitar 60-90% dan merupakan prevalensi terbesar dibandingkan
infeksi cacing lainnya.5
Dari data yang ada di atas menyebutkan bahwa di negara kita indonesia penyakit infeksi
cacing masih tinggi karena di dukung oleh kondisi iklim dan geografis, dan infeksi cacing
golongan soil transmitted helminths yaitu adalah cacing Ascaris lumbriocides. Infeksi dengan
Trichiuris trichiura dan Ascaris lumbricoides secara tipikal diderita pada anak-anak berusia
5-10 tahun, semakin bertambah usia akan menurun dan menetap pada usia dewasa. Profil
yang berbeda terjadi pada infeksi cacing tambang dengan intensitas maksimum sampai usia
20-25 tahun.6 Anak-anak usia sekolah mempunyai risiko paling tinggi untuk terjadinya
manifestasi klinis dari infeksi ini. Diwaktu-waktu yang lalu dampak infeksi cacing sebagai
masalah kesehatan masyarakat secara konsisten tidak pernah mendapat perhatian serius dan
seringkali diabaikan (underestimated). Sekarang masalah ini mendapat perhatian cukup besar
dan ada kesepakatan umum bahwa penyakit karena infeksi helminth merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang penting, terutama untuk anak- anak
Semua umur dapat terinfeksi kecacingan dan prevalensi tertinggi banyak mengenai pada
usia anak-anak. Penyakit ini sangat erat hubungannya dengan keadaan sosial-ekonomi,
kebersihan diri dan lingkungan. Prevalensi kecacingan ini sangat bervariasi dari satu daerah
ke daerah lain, tergantung dari beberapa faktor antara lain : lokasi (desa atau kota, kumuh,
dll), kelompok umur, kebiasaan penduduk setempat (tempat buang air besar, cuci tangan
sebelum makan, tidak beralas kaki, dll), dan pekerjaan penduduk. Pelita IV (1984).
Walaupun telah dilakukan pemberantasan sejak lama dengan pengobatan dan lain-lain,
prevalensi penyakit ini tetap tinggi. Hal ini disebabkan oleh sebagian penduduk hidup masih
secara tidak sehat.7

2
Penelitian epidemiologi telah dilakukan hampir di seluruh propinsi Indonesia, terutama pada
anak-anak sekolah dan umumnya didapatkan angka prevalensi tinggi yang bervariasi. Dari 9
propinsi yang menjadi tempat survey pnelitian ternyata prevalensi kecacingan yang paling tinggi
berada di propinsi DKI Jakarta didapatkan angka prevalensi untuk cacing Ascaris lumbricoides
4-91%, Trichuris trichiura, 30-100%, Ancylostoma 1-30%.

Lalu di lakukan kembali penelitian epidemiologi dimana hasil prevalensi cacingan dari survei
di 10 propinsi sentinel tahun 2005 dengan sasaran anak sekolah dasar sangat bervariasi antara
1,37 % sampai 77,14 % dengan prevalensi tertinggi di Propinsi Banten dan terendah di Propinsi
Kalimantan Selatan.8 Prevalensi cacingan berdasarkan data dari Departemen Parasitologi
FKUI mulai 2002 hingga 2009 angkanya berbeda-beda di setiap daerah di Indonesia.
Sumatera Barat di posisi pertama sementara Jakarta Utara tertinggi di Provinsi DKI Jakarta.
Angkanya mulai 1,1 hingga 85 dan jenis cacing yang paling banyak ditemukan adalah cacing
gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing kremi
(Oxyuris vermicularis). Berdasarkan data angka kecacingan yang dimiliki dinas kesehatan
DKI, Jakarta Utara menempati urutan pertama sebesar 49 persen, Jakarta selatan 15,4 persen,
Jakarta Barat 33.20 persen, dan Jakarta Timur 9,38.

Penelitian tentang kecacingan pada anak sekolah dasar juga menunjukkan angka
kejadian yang cukup tinggi. Penelitian Mardiana dan Djarismawati (2008) menemukan
data prevalensi cacing usus pada murid SD WGT Taskin dari lima wilayah, dua
wilayah yaitu Jakarta Utara dan Jakarta Barat, penderita askariasis masing-masing 80%
dan 74,70%, sedangkan penderita trikuriasis di Jakarta Selatan dan Jakarta Barat
masing-masing 68,42% dan 25,30%.9Sasongko dkk melakukan penelitian terhadap anak sd
di Jakarta menyatakan bahwa prevalensi askariasis sebesar 62,2% dan trikuriasis 48,1 %.

Tingginya angka kecacingan tersebut pada usia anak prasekolah dan sekolah
dikarenakan mereka sering bermain atau kontak dengan tanah yang merupakan tempat
tumbuh dan berkembangnya cacing- cacing perut.10 Demikian pula dengan kebiasaan
mengkonsumsi makanan yang di jual di sekolah tanpa memperhatikan higeinitas serta
sanitasi lingkungan.11 Di samping itu infeksi helminth juga berdampak terhadap gizi,
pertumbuhan fisik, mental, kognitif dan kemunduran intelektual pada anak-anak.12,13

3
Seperti kita tahu salah satu penyebab infeksi cacing adalah Ascaris lumbricoides atau
yang secara umum dikenal sebagai cacing gelang. Infeksi yang disebabkan oleh cacing ini
disebut askariasis.14 Cacing gelang ini merupakan salah satu nematoda yang hidup di usus
halus, tetapi kadang-kadang mengembara di bagian usus lainnya. Hospes definitif cacing ini
adalah manusia. Cara infeksi cacing ini dapat terjadi melalui beberapa jalan, yaitu telur
infektif masuk ke dalam mulut bersama makanan dan minuman yang tercemar, melalui
tangan yang kotor tercemar terutama pada anak, atau telur infektif terhirup melalui udara
bersama debu. Prevalensi infeksi Ascaris lumbricoides yang tinggi dapat disebabkan oleh
beberapa faktor seperti kurangnya pemakaian jamban keluarga yang menimbulkan
pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, bawah pohon, tempat mencuci dan
tempat pembuangan sampah. Kebiasaan pemakaian tinja sebagai pupuk juga merupakan
salah satu faktor yang dapat mempengaruhi. Tanah liat, kelembaban tinggi dan suhu yang
berkisar antara 25°-30°C merupakan hal-hal yang sangat baik untuk berkembangnya telur
Ascaris lumbricoides menjadi bentuk infektif.1

Anak sekolah merupakan aset atau modal utama pembangunan di masa depan yang perlu
dijaga, ditingkatkan dan dilindungi kesehatannya. Sekolah selain berfungsi sebagai tempat
pembelajaran, juga dapat menjadi ancaman penularan penyakit jika tidak dikelola dengan
baik. Usia sekolah bagi anak juga merupakan masa rawan terserang berbagai penyakit. Salah
satu penyakit yang banyak diderita oleh anak-anak, khususnya usia sekolah dasar adalah
penyakit infeksi kecacingan, yaitu sekitar 40-60 %. Penyakit kecacingan atau biasa disebut
cacingan masih dianggap sebagai hal sepele oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Padahal jika dilihat dampak jangka panjangnya, kecacingan menimbulkan kerugian yang
cukup besar bagi penderita dan keluarganya. Kecacingan dapat menyebabkan anemia, lesu,
prestasi belajar menurun. 15

Berdasarkan beberapa data dan uraian di atas maka penulis melakukan penelitian untuk
mengetahui bagaimana gambaran askariasis pada anak usia sekolah dasar di Sekolah Negeri
Tanjung Duren Utara 06 pagi wilayah kelurahan Tanjung Duren Kota Jakarta Barat.

4
1.2 MASALAH PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang diatas maka dalam penelitian ini, saya mengangkat suatu
masalah yaitu “Bagaimana Gambaran Askariasis terhadap anak usia sekolah dasar di Sekolah
Dasar Negeri Tanjung Duren Utara 06 pagi”

1.3 TUJUAN PENELITIAN


1.3.1 TUJUAN UMUM
1. Mengetahui angka kejadian infeksi cacing askaris lumbricoides pada anak usia sekolah
dasar di kelurahan Tanjung Duren.

1.3.2 TUJUAN KHUSUS


1. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian ascariasis pada murid sekolah dasar tanjung
duren utara 06 pagi

1.4 MANFAAT PENELITIAN


1. Manfaat bagi Peneliti
Penelitian diharapkan dapat menambah wawasan serta pengalaman penelitian dibidang
kesehatan, sehingga kedepannya dapat bermanfaat dalam proses pendidikan.
2. Manfaat bagi Institusi
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada seluruh staf guru pengajar
mengenai bagaimana gambaran infeksi cacing askaris lumbricoides terhadap anak-anak
di sekolah dasar tanjung duren utara 06 pagi.
3. Manfaat bagi masyarakat
Penelitian ini diharapkan masyarakat setempat khususnya yang tinggal di daerah tempat
penelitian bisa menjadi tolak ukur dalam upaya pencegahan terhadap penyakit cacing
khususnya cacing askaris lumbricoides.

5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Askariasis
2.1. Definisi Askariasis

Askariasis adalah infeksi kecacingan yang disebabkan oleh cacing Ascaris


lumbricoides. Askariasis sendiri termasuk penyakit cacing yang paling besar
prevalensinya diantara penyakit cacing lainnya yang menginfeksi tubuh manusia.
Manusia merupakan satu-satunya hospes untuk Ascaris.lumbricoides.2
Cacing Ascaris.lumbricoides merupakan golongan nematoda. Nematoda berasal
dari kata nematos yang berarti benang dan oidos yang berarti bentuk, sehingga cacing ini
sering disebut cacing gilik ataupun cacing gelang. Nematoda itu sendiri dibagi menjadi 2
jenis yakni nematoda usus dan nematoda jaringan. Manusia merupakan hospes untuk
beberapa nematoda usus yang dapat menimbulkan masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia.2 Cacing gelang ini tergolong Nematoda intestinal berukuran terbesar pada
manusia. Distribusi penyebaran cacing ini paling luas dibanding infeksi cacing lain
karena kemampuan cacing betina dewasa menghasilkan telur dalam jumlah banyak dan
relatif tahan terhadap kekeringan atau temperatur yang panas.16
2.1.2. Taksonomi Ascaris Lumbricoides
Phylum : Nemathelminthes

Sub phylum : Ascaridoidea


Ordo : Ascaridida
Family : Ascaridae
Genus : Ascaris
Spesies : Ascaris lumbricoides
2.1.3 Epidemiologi

Ascaris lumbricoides tersebar luas di seluruh dunia (kosmopolitan),terutama di


daerah tropis dan sub tropis yang kelembapan udaranya tinggi dan parasit ini merupakan
jenis cacing terbanyak yang menyebabkan infeksi pada manusia. Angka kejadian infeksi

6
Ascaris lumbricoides ini cukup tinggi di negara berkembang seperti Indonesia
dibandingkan dengan negara maju.17 Tingginya angka kejadian Askariasis ini terutama
disebabkan oleh karena banyaknya telur disertai dengan daya tahan larva cacing pada
keadaan tanah kondusif. Parasit ini lebih banyak ditemukan pada tanah liat dengan
kelembaban tinggi dan suhu 25°- 30°C sehingga sangat baik untuk menunjang
perkembangan telur cacing Ascaris.lumbricoides tersebut.2

Telur Ascaris lumbricoides mudah mati pada suhu diatas 40° C sedangkan dalam
suhu dingin tidak mempengaruhinya.17. Telur cacing tersebut tahan terhadap desinfektan
dan rendaman yang bersifat sementara pada berbagai bahan kimiawi keras. 18 Infeksi
Ascaris lumbricoides dapat terjadi pada semua usia, namun cacing ini terutama menyerang
anak usia 5-9 tahun dengan frekuensi kejadian sama antara laki-laki dan perempuan. 19
Bayi yang menderita Askariasis kemungkinan terinfeksi telur Akcariasis dari tangan
ibunya yang telah tercemar oleh larva infektif .

2.1.4 Morfologi

Cacing jantan mempunyai ujung posterior tajam agak melengkung ke ventral seperti
kait, mempunyai 2 buah copulatory spicule panjangnya 2 mm yang muncul dari orifisium
kloaka dan di sekitar anus terdapat sejumlah papillae. Cacing betina mempunyai ujung
posterior tidak melengkung ke arah ventral tetapi lurus. Cacing betina juga mempunyai
vulva yang sangat kecil terletak di ventral antara pertemuan bagian anterior dan tengah
tubuh dan mempunyai tubulus genitalis berpasangan terdiri dari uterus, saluran telur
(oviduct) dan ovarium. Cacing dewasa memiliki jangka hidup 10-12 bulan.20

Gambar 2.1. Cacing Ascaris Lumbricoides Stadium Dewasa

7
Telur Ascaris lumbricoides ditemukan dalam dua bentuk yaitu yang dibuahi
(fertilized) dan yang tidak buahi (Unfertilized). Telur ini memerlukan waktu inkubasi
untuk menjadi bentuk yang infektif. Perkembangan telur menjadi infektif tergantung dari
kondisi lingkungan misalnya temperature, sinar matahari, kelembapan dan tanah liat.
Telur akan mengalami kerusakan karena pengaruh bahan kimia, sinar matahari langsung,
dan pemanasan 70o celcius. Telur yang dibuahi berbentuk bulat lonjong ukuran 45-75 mi
kron dan lebarnya 35-45 mikron.

Telur yang dibuahi ini berdinding tebal terdiri dari tiga lapis, yaitu lapisan dalam dari
bahan lipoid (tidak ada pada telur unfertile), lapisan tengah dari bahan glikogen, lapisan
paling luar dari bahan albumin.(tidak rata, bergerigi,berwarna coklat keemasan berasal
dari pigmen empedu) kadang-kadang telur yang dibuahi , lapisan albuminoid nya
terkelupas dikenal sebagai decorticated eggs. Telur yang dibuahi ini mempunyai bagian
dalam yang tidak bersegmen berisi granula lesitin yang kasar. Telur yang tidak dibuahi
mempunyai panjang 88-94 mikron dan lebar 44 mikron. . Telur unfertile dikeluarkan
oleh cacing betina yang belum mengalami fertilisasi atau pada periode awal pelepasan
telur oleh cacing betina fertile.20

Gambar 2.2. Cacing Ascaris Lumbricoides stadium telur yang tidak dibuahi

Telur yang tidak dibuahi adalah telur yang dihasilkan oleh cacing betina yang
tidak subur ataupun terlalu cepat dikeluarkan oleh cacing betina yang subur, telur tersebut
berbentuk memanjang, terkadang segitiga dengan lapisan yang tipis dan berwarna coklat,

8
lalu berukuran 90–40 πm.20 Telur yang berwarna kecoklatan ini akibat pengaruh dari
pigmen empedu di saluran cerna dan tidak terdapatnya rongga udara.21

Telur yang telah dibuahi ini berisikan embrio regular yang tidak bersegmen. Dalam
lingkungan yang sesuai yakni di tanah liat, dengan kelembaban tinggi, dan suhu yang
sesuai, dapat terjadi pematangan telur atau larva dari bentuk yang tidak infektif menjadi
infektif.20 Kedua kutub pada telur ini juga terdapat rongga yang tampak sebagai daerah
yang terang berbentuk bulan sabit.22

Gambar 2.3 Cacing Ascaris Lumbricoides stadium telur yang dibuahi

2.1.5 Siklus Hidup

Siklus hidup Ascaris lumbricoides terjadi dalam 3 stadium yaitu stadium telur, larva, dan
dewasa. Siklus ini biasanya membutuhkan fase di luar tubuh manusia (hospes) dengan atau tanpa
tuan rumah perantara.19 Telur cacing yang telah dibuahi dan keluar bersama tinja penderita akan
berkembang menjadi infektif jika terdapat di tanah yang lembab dan suhu yang optimal dalam
waktu kurang lebih 3 bulan. Seseorang akan terinfeksi Ascaris lumbricoides apabila masuknya
telur Ascaris lumbricoides yang infektif kedalam mulut bersamaan dengan makanan atau
minuman yang terkontaminasi tanah yang mengandung tinja penderita Askariasis.20

Telur infektif yang tertelan oleh manusia akan melewati lambung tanpa terjadi kerusakan
oleh asam lambung akibat proteksi yang tebal pada lapisan telur tersebut dan akan menetas di
dalam usus halus. Kemudian larvanya akan secara aktif menembus dinding usus halus menuju
vena porta hati dan pembuluh limfe. Bersama dengan aliran vena, larva Ascaris Lumbricoides

9
akan beredar menuju jantung kanan dan berhenti di paru.22 Saat di dalam paru-paru larva yang
berdiameter 0,02 mm akan masuk kedalam kapiler paru yang hanya berukuran 0,01 mm maka
kapiler tersebut akan pecah dan larva akan masuk ke alveolus kemudian larva berganti kulit.
Larva tersebut akan ke alveoli lalu naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus setelah dari
kapiler paru. Selanjutnya mengarah ke faring dan terjadi refleks batuk hingga tertelan untuk
kedua kalinya sampai ke usus halus. Masa migrasi ini berlangsung selama 10 – 15 hari. Cacing
akan berkembang menjadi dewasa, kawin, dan bertelur di usus halus dalam waktu 6 – 10
minggu.

Gambar 2.4. Siklus Hidup Ascaris lumbricoides

Keterangan gambar:
Cacing dewasa hidup di dalam lumen usus halus. Cacing betina menghasilkan telur
sampai 200.000 butir per hari yang dikeluarkan bersama tinja . Telur yang tidak
dibuahi (unfertilized) bisa saja tertelan tetapi tidak menginfeksi. Telur yang dibuahi
(fertilized) yang mengandung embrio menjadi infektif setelah 18 hari sampai beberapa
minggu , hal ini tergantung pada kondisi lingkungan (tempat yang lembap, hangat dan
teduh). Setelah telur yang berkembang menjadi infektif tertelan oleh hospes , larva
akan menetas , menginvasi mukosa usus, selanjutnya terbawa aliran darah portal
kemudian melalui aliran darah sistemik ke paru-paru . Larva yang matang menuju ke
paru-paru (10-14 hari), penetrasi pada dinding alveoli, ke cabang bronchi, kerongkongan,
dan selanjutnya tertelan . Setelah mencapai usus, berkembang menjadi cacing dewasa
.

10
2.1.6 Cara Penularan

Cara penularan Askariasis terjadi melalui beberapa jalan yakni telur infektif
Ascaris.lumbricoides yang masuk ke dalam mulut bersamaan dengan makanan dan
minuman yang terkontaminasi, melalui tangan yang kotor tercemar terutama pada anak,
atau telur infektif yang terhirup udara bersamaan dengan debu. Pada keadaan telur
infektif yang terhirup oleh pernapasan, telur tersebut akan menetas di mukosa alat
pernapasan bagian atas dan larva akan segera menembus pembuluh darah dan beredar
bersama aliran darah.23 Infeksi sering terjadi pada anak daripada orang dewasa. Hal ini
disebabkan karena anak sering berhubungan dengan tanah yang merupakan tempat
berkembangnya telur Ascaris lumbricoides. Diperoleh juga laporan bahwa dengan adanya
usaha untuk meningkatkan kesuburan tanaman sayuran dengan mempergunakan feses
manusia menyebabkan sayuran merupakan sumber infeksi dari cacing ini.23

2.1.7 Patosiologi

Gangguan dapat disebabkan oleh larva yang masuk ke paru-paru sehingga dapat
menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus yang disebut Sindroma loeffler.
Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang
penderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare
dan konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan
penyerapan makanan (Malabsorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing menggumpal
dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus (Ileus obstructive).24

2.1.8 Gejala Klinis

Diagnosa Askariasis

Cara menegakkan diagnosis Askariasis biasanya melalui pemeriksaan


laboratorium karena gejala klinis dari penyakit ini tidak spesifik. Secara garis
besar Askariasis dapat ditegakkan berdasarkan kriteria sebagai berikut:

1. Ditemukannya telur Ascaris lumbricoides fertilized, unfertilized, maupun


dekortikasi di dalam tinja seseorang.
11
2. Ditemukannya larva Ascaris lumbricoides di dalam sputum seseorang.
3. Ditemukannya cacing dewasa yang keluar melalui anus ataupun bersama dengan
muntahan
Telur dapat dengan mudah ditemukan dengan sediaan hapus basah tinja
(direct wet smear) atau sediaan basah dari sedimen pada metode konsentrasi.5 Untuk
mendignosis adanya larva pada paru-paru dapat dilakukan dengan melakukan rontgen
pada rongga dada atau dapat ditetapkan dari penemuan larva pada sediaan sputum
atau kumbah lambung.23
Table 2.1 Klasifikasi intensitas infeksi cacing menurut WHO
Cacing Tingkat Infeksi Jumlah telur/ Gram tinja
Ringan 1-4999

Ascaris limbricoides Sedang 5000-49.999

Berat ≥50.000

2.1.9Pengobatan pada Askariasis


Beberapa obat yang efektif terhadap askariasis adalah sebagai berikut :
1. Pirantel pamoat: dosis 10 mg/kg BB (maksimum 1 g) dapat diberikan dosis
tunggal. Efek samping : gangguan gastrointestinal, sakit kepala, pusing,
kemerahan pada kulit dan demam.
2. Mebendazol : dosis 100 mg dua kali per hari selama lebih dari 3 hari. Efek
samping : diare rasa sakit pada abdomen, kadang-kadang leukopenia.
Mebendazol tidak di anjurkan pada wanita hamil karena dapat membahayakan
janin.
3. Piperasin sitrat : dosis 75 mg/kg BB (maksimum 3,5 g/hari), pemeberian
selama dua hari. Efek samping : kadang – kadang menyebabkan urtikaria,
gangguan gastrointestinal dan pusing
4. Albendazol : dosis tunggal 400 mg, dengan angka kesembuhan 100% pada
infeksi cacing Ascaris.23

12
2.1.11 Pencegahan

Penularan Askariasis dapat terjadi secara oral, maka untuk pencegahannya hindari
tangan dalam keadaan kotor, karena dapat menimbulkan adanya kontaminasi dari telur-
telur Ascaris lubricoidea. Oleh karena itu, biasakan mencuci tangan sebelum makan.

Selain hal tersebut, hindari juga mengkonsumsi sayuran mentah dan jangan
membiarkan makanan terbuka begitu saja, sehingga debu-debu yang berterbangan dapat
mengontaminasi makan tersebut ataupun dihinggapi serangga yang membawa telur-telur
tersebut. Untuk menekan volume dan lokasi dari aliran telur-telur melalui jalan ke
penduduk, maka pencegahannya dengan mengadakan penyaluran pembuangan feses yang
teratur dan sesuai dengan syarat pembuangan kotoran yang memenuhi aturan kesehatan
dan tidak boleh mengotori air permukaan untuk mencegah agar tanah tidak
terkontaminasi telur-telur Ascaris lumbricoides.

Mengingat tingginya prevalensi terjadinya askariasis pada anak-anak, maka perlu


diadakan pendidikan di sekolah-sekolah mengenai cacing Ascaris Lumbricoides ini.
Dianjurkan juga untuk membiasakan diri mencuci tangan sebelum makan, mencuci
makanan dan memasaknya dengan baik, memakai alas kaki terutama diluar rumah. Ada
baiknya di desa-desa diberikan pendidikan dengan cara peragaan berupa gambar atau
video, sehingga dengan cara ini dapat dengan mudah dimengerti oleh mereka.

Untuk melengkapi hal di atas perlu ditambah dengan penyediaan sarana air
minum dan jamban keluarga, sehingga sebagaimana telah terjadi program nasional,
rehabilitasi sarana perumahan juga merupakan salah satu perbaikan keadaan sosial-
ekonomi yang menjurus kepada perbaikan kebersihan dan sanitasi. Cara- cara perbaikan
tersebut adalah buang air pada jamban dan menggunakan air untuk membersihkannya,
makan makanan yang sudah dicuci dan dipanaskan serta menggunakan sendok garpu
dalam waktu makan dapat mencegah infeksi oleh telur cacing. Anak-anak dianjurkan
tidak bermain di tanah yang lembab dan kotor, serta selalu memotong kuku secara
teratur. Halaman rumah selalu dibersihkan.23

13
2.2 Epidemiologi Kecacingan oleh Cacing yang di Tularkan Melalui Tanah

Di Indonesia, infeksi cacing merupakan masalah kesehatan yang sering


dijumpai.Angka kejadian infeksi cacing yang tinggi tidak terlepas dari keadaan Indonesia
yang beriklim tropis dngan kelembaban udara yang tinggi serta tanah yang subur yang
merupakan lingkungan yang optimal bagi kehidupan cacing. Infeksi cacing tersebar luas,
baik di pedesaan maupun di perkotaan. Hasil survey infeksi cacing di Sekolah Dasar di
beberapa provinsi pada tahun 1986-1991 menunjukkan prevalensi sekitar 60-80%,
sedangkan untuk semua umur berkisar antara 40-60%. Hasil survey subdit diare pada
tahun 2002 dan 2003 pada 40 sekolah dasar di 10 provinsi menunjukkan prevalensi
berkisar antara 2,2% - 96,3%.1 Pada banyak penelitian, intensitas dan prevalensi infeksi
cacing meningkat pada anak-anak dan remaja. Kurva intesitas menurun sejalan dengan
bertambahnya usia. Puncak intensitas terjadi antara umur 5-10 tahun untuk Ascaris
Lumbricoides dan Trichuris trichiura, sedangkan cacing tambang pada umur 10 tahun. 1

2.2.1 Faktor Sanitasi Lingkungan terhadap Infeksi Cacing

Selain faktor iklim dan kelembaban udara yang tinggi serta tanah yang subur,
fakotr lain juga yang berpengaruh terhadap infeksi cacing yaitu adalah sanitasi
llingkungan yang buruk. Dimana Faktor lingkungan dapat dinilai dari berbagai cakupan
diantaranya indikator akses air bersih rumah tangga dengan kondisi tersedianya
jamban.Data Survei Ekonomi dan Sosial Nasional (Susenas) 2001 menunjukkan
persentase rumah tangga yang memiliki akses air bersih di perkotaan (92%) lebih tinggi
dibandingkan di pedesaan (69%). Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu
lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status
kesehatan. Sanitasi lingkungan mencakup perumahan, penyediaan air bersih,
pembuangan air limbah,jamban, dan pembuangan sampah.

Lingkungan sangat berpengaruh pada penyebaran cacing usus. Penyakit cacing


usus sangat di pengaruhi oleh terjadinya pencemaran tinja pada tanah dan air, sehingga
pola pembuangan tinja/kotoran akan sangat menentukan. Di daerah rural dan kumuh pada
umum nya tingkat social dan ekonomi renadah, tingkat pendidikan terbatas maka
ketersediaan jamban yang memenuhi criteria higeinis juga sangat terbatas. Sebagai

14
akibatnya terjadi pembuangan kotoran di sembarang tempat seperti kebiasaan membuang
kotoran di sungai, sehingga terjadi pencemaran lingkungan melalui air. Air sungai akan
tercemar sehingga memungkinkan terjadinya penyebaran yang lebih luas ke daerah hilir
maupun ke area pemukiman yang jauh dari local point.29

Pencemaran lingkungan cacing usus yang luas atau jauh dari focal point dapat
dilihat dari laporan penelitian Sasongko dimana tidak dijumpai perbedaan bermakna
antara prevalensi kecacingan pada usia SD di daerah perkotaan tidak berbeda secara
bermakna dengan di daerah kumuh. Hal ini juga dijelaskan sebagai berikut: bila di luar
lingkungan yang memiliki tingkat sosial ekonomi baik, perilaku pribadi dengan adanya
jamban dan tidak adanya pembuangan kotoran sembarangan masih terdapat lingkungan
kumuh atau kondisi kesehatan dan kesadaran tentang kesehatan masih buruk, maka
lingkungan yang baik akan tetap tercemar tinja dari lingkungan yang buruk. Hal ini akan
diperparah dengan terjadinya banjir.

2.2.2. Faktor Kebersihan Pribadi terhadap Infeksi Cacing

Kebersihan Pribadi adalah Suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan


kesehatan yaitu kesejahteraan fisik dan psikis untuk mencegah timbulnya penyakit pada
diri sendiri maupun orang lain.

Higiene merupakan hal yang sangat penting diperhatikan terutama pada masa-
masa perkembangan. Dengan kesehatan pribadi yang buruk pada masa tersebut akan
dapat mengganggu perkembangan kualitas sumber daya manusia. Higiene yang belum
memadai merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya prevalensi infeksi
cacing.

Hygiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi


lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya untuk mencegah timbulnya penyakit
karena pengaruh lingkungan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa
sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan. Keadaan hygiene yang tidak baik seperti
tangan dan kuku yang kotor, kebersihan diri dan penggunaan alas kaki hal ini dapat
menimbulkan infeksi cacing.

15
Untuk menjaga kesehatan pribadi tentu saja tidak lepas dari kebiasaan sehat yang
dilakukan setiap hari. Higiene perorangan pada anak sekolah dasar meliputi:

1. Kebersihan Kulit
Kebersihan kulit biasanya merupakan cerminan kesehatan yang laing pertama
memberikan kesan. Oleh karena itu, perlunya memelihara kesehatan kulit
sebaik-baiknya. Pemeliharaan kesehatan kulit tidak terlepas dari kebersihan
lingkungan, makanan yang dimakan serta. Kebiasaan hidup sehari-hari.
Untuk selalu memelihara kebersihan kulit, kebiasaan-kebiasaan yang sehat
selalu diperhatikan, seperti”
a. Mandi minimal 2x Sehari
b. Mandi memakai sabun
c. Menjaga kebersihan pakaian
d. Menjaga kebersihan lingkungan
e. Makan yang bergizi terutama sayur-sayuran dan buah-buahan
f. Menggunakan barang-barang keperluan sehari-hari milik sendiri

2. Kebersihan Tangan, Kaki, dan Kuku’


Kuku yang terawat dan bersih juga merupakan cerminan kepribadian
seseorang, kuku yang panjang dan tidak terawat akan menjadi tempat
melekatanya berbagai kotoran yang mengandung berbagai bahan dan
mikroorganisme diantaranya bakteri dan telur cacing.
Penularan kecacing diantarnya melalui tangan yang kotor, kuku yang kotor
yang kemungkinan terselip telur cacing akan tertelan ketika makan, hal ini
diperparah lagi apabila tidak terbiasa mencuci tangan memakai sabun sebleum
makan.

16
2.3 Kerangka Teori

Gambar 2.5 Kerangka Teori Penelitian

Infeksi Cacing Ascaris


lumbricoides

Anak Usia Daur Hidup Sanitasi


Sekolah Dasar cacing Ascaris Lingkungan
lumbricoides

Masih Sering Iklim Tropis Kebersihan


kontak dengan dan Pribadi
Tanah Kelembaban
Tinggi

17
Anak usia sekolah dasar memiliki risiko terbesar untuk terinfeksi. Infeksi cacing
memiliki dampak yang cukup signifikan di dalam mengganggu pertumbuhan dan perkembangan
seorang anak. Seorang anak dapat kehilangan kesempatan untuk menjadi sehat dan bebas dari
penyakit. Seorang anak yang merupakan aset masa depan suatu bangsa akan mengalami
pertumbuhan yang terputus akibat mekanisme gangguan yang ditimbulkan oleh cacing yang
tersembunyi di dalam tubuhnya.

2.4 Kerangka Konsep

Kebersihan pribadi adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan
seseorang yaitu kesejahteraan fisik dan psikis untuk mencegah timbulnya penyakit pada diri
sendiri maupun orang lain.

Kebersihan pribadi meliputi kebersihan semua angota tubuh, tetapi variabel yang diteliti
adalah sesuai dengan kerangka konsep sebagai berikut

Variabel Independen Variabel Dependen

Faktor Kebersihan

 Cuci Tangan
Infeksi Cacing Ascaris
 Kontak dengan Tanah
Lumbricoides
 Pengunaan alas kaki
 Kebersihan kuku

Gambar 2.6 Kerangka Konsep Penelitian

18
2.5 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Skala


Ukur Pengukuran
1 Cuci Tangan Tindakan 1.Ya Ordinal
membersihkan Kuesioner Wawancara 2.Tidak
tangan dan jari
dengan
menggunakan air dan
sabun

2 Kontak Kebiasaan bermain 1.Ya Ordinal


dengan Tanah di lapangan dan Kuesioner Wawancara 2.Tidak
terpapar tanah

3 Pengunaan Selalu menggunakan Wawancara 1.Ya Ordinal


Alas kaki alas kaki saat keluar Kuesioner 2.Tidak
rumah

4 Kebersihan Kuku pendek dan 1.Ya Ordinal


Kuku bersih Kuesioner Wawancara 2.Tidak

5 Infeksi Cacing Ditemukannya satu 1.Ya Nominal


atau lebih telur Mikroskop Pemeriksaa 2.Tidak
cacing melalu n Telur
pemeriksaan feses

19
BAB 3
Metode Penelitian
a. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dilakukan secara observasional
menggunakan studi atau metode cross sectional yaitu untuk mengetahui gambaran
Ascariasis pada Anak Usia Sekolah Dasar di SDN Tanjung Duren 06 Pagi. Kecamatan
Grogol Jakarta Barat.30

b. Lokasi dan Waktu Penelitian


Pengambilan data dilakukan di SDN Tanjung Duren 06 Pagi,Kecamatan Grogol
Jakarta Barat dan pemeriksann sampel feses di lakukan di laboratorium Parasitologi
Fakultas Kedokteran Ukrida. Kegiatan dan Waktu Penelitian dilakukan sesuai rincian
berikut..
Tabel 3.2 Jadwal Kegiatan Penelitian

Kegiatan Waktu
Penyusunan Proposal Bln November 2015 – Bln Maret 2016
Persiapan alat - bahan Bln April 2016- Bln Juni 2016
Pelaksanaan Penelitian Bln September 2016- Bln Januari 2017
Pengolahan data Bln Februari 2017 – Bln Maret 2017
Penulisan Penelitian Bln April 2017 – Bln Mei 2017
Laporan Bln Juni 2017
c. Populasi Dan Sampel
i. Populasi Target
Populasi target dari penelitian ini adalah semua anak usia Sekolah Dasar di SDN
Tanjung Duren Utara 06 Pagi Kec Grogol Jakarta Barat.
ii. Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau dari penelitian ini adalah siswa kelas 1 sampai kelas 6 Sekolah
Dasar Negeri Tanjung Duren Utara 06 Pagi Kec Grogol Jakarta Barat

20
iii. Sampel
Sampel dari penelitian ini adalah Populasi Terjangkau yang tersaring dari kriteria
inklusi dan eksklusi.
d. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
i. Kriteria Inkulsi
Seluruh Siswa-Siswi SDN 06 Pagi Tanjung Duren Utara Kecamatan Grogol Jakarta
Barat baik yang masuk pagi maupun yang siang
ii. Kriteria Esklusi
1. Tidak Bersedia mengumpulkan sampel tinja
2. Tidak bersedia mengisi Kuesioner
e. Besar Sampel
Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian tersebut termasuk ke dalam penelitian
deskriptif (prevalensi) dengan variabel keluaran berupa variabel kategorik. Dengan
demikian, rumus besar sampel yang digunakan adalah rumus besar sampel untuk
penelitian deskriptif kategorik.31

Rumusnya adalah :

N= Zα2 x P x Q

d2

N = Jumlah sampel minimum

Zα = Nilai Z pada tabel sesuai nilai α

d = Presisi (tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki)

P = Proporsi penyakit/masalah yang diteliti

Q=1–P

Oleh karena belum ada penelitian sebelumnya, maka peneliti menetapkan nilai P
sebesar 50%.

Nilai 50% dipilih karena perkalian P x Q akan maksimal jika nilai P = 50%.

21
Untuk nilai yang ditetapkan peneliti, peneliti menetapkan alfa sebesar 5% sehingga
Zα = 1,96, dengan nilai presisi (d) 10%. Dengan demikian besar sampel yang
diperlukan adalah :

N= Zα2 x P x Q

d2

= (1,96)2 x 0,05 x 0,95

0,102

= 96,04 (dibulatkan menjadi 97)

Jadi, sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah 97 Sampel.31

f. Teknik Pengambilan Sampel


Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik random sampling atau
metode probabilitas.Saya mengambil metode ini karna sesuai dengan desain penelitian
pada penelitian ini.31

g. Cara Kerja Penelitian


Data yang digunakan adalah data primer yang di dapat langsung dari kuesioner dan
pemeriksaan tinja.

i. Kuesioner
Pengambilan Data Kuesioner dilakukan melalui perjanjian terlebih dahulu dengan
Kepala Sekolah dan Guru SDN Tanjung Duren Utara 06 pagi Kecamatan Grogol
Jakarta Barat. Pelaksanaan hanya dilakukan dalam satu hari, dimana 1 hari sebelum
nya peneliti telah memiliki daftar nama anak dari kelas 1 sampai kelas 5 yang telah
menjadi responden peneliti dengan memberikan sampel fesesnya untuk diperiksa.
Kuesioner yang ditujukan kepada anak Sekolah Dasar mencakup identitas diri
anak dan pertanyaan variabel yang di teliti. Kuesioner dilakukan dengan wawancara
langsung kepada responden.

22
ii. Observasi
Observasi dilakukan dengan mengamti secara umum kebiasaan/perilaku sehari-
hari responden serta mengukur dilakukan untuk meliputi kebersihan lingkungan dan
kemungkinan lain yang menyebabkan anak terinfeksi cacing.
iii. Pemeriksaan Tinja
Alat dan Bahan yang Perlu di persiapkan dalam metode Sediaan Hapus Basah Tinja “
Bahan :
1. Sample tinja
2. larutan Lugol’s Iodin (1% solution)
3. .Formalin (Formaldehyde) 10%

Alat :

1. Sarung tangan
2. Objek gelas dan kaca penutup
3. Tusuk Gigi
4. Masker
5. Selotip
6. Mikroskop
7. Pot tinja + label
8. Spidol

3.6.2 Pengambilan Sampel


Pemeriksaan infeksi cacing usus dilakukan dengan identifikasi telur cacing di
Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana. Dan
tinja harus tiba di lab pemeriksaan dalam waktu 1- 2 jam saat di keluarkan.
A. Persiapan dan Cara Mengambil Sampel
1. Menjelaskan tujuan pemeriksaan, meminta persetujuan dan hak untuk menolak
serta menjamin kerahasiaan data siswa.
2. Memperlihatkan sikap empati dan profesionalisme pada anak.
3. Meminta contoh tinja dari anak dengan memberikan pot tinja yang sudah dilabel
dengan identitas siswa disertai dengan sendoknya.

23
4. Menerangkan kepada siswa atau orang tua bahwa tinja yang diambil :
5. Harus dalam keadaan segar
6. Tidak terkontaminasi oleh air kencing atau bahan lain.32

B. Pengawetan Spesimen Tinja

Setelah Selesai melakukan pengawetan di lab pemeriksaan jangan lupa untuk cuci tangan
denga sabun.

1. Pasang sarung tangan


2. Label kedua pot dengan identitas pasien.
3. Isi pot dengan formalin 10% sampai pertengahan pot.
4. Dengan tusuk gigi ambil tinja kira-kira sebanyak 1 sendok teh, masukkan ke
dalam pot. Aduk sehingga tinja dan pengawetnya tercampur dengan baik.
5. Tutup pot dengan rapat, gunakan selotip untuk mencegah kebocoran pada mulut
pot.
6. Tuliskan pengantar dari spesimen ini meliputi:
7. Nama, umur, dan jenis kelamin siswa
8. Tanggal pengiriman
9. Lepaskan handscoon dan buang ke tempat sampah biologis.32
D.Identifikasi Parasit dengan Mikroskop

Metode Pemeriksaan Sediaan Hapus Basah Tinja, dimana pada metode ini
kita tidak bisa menghitung jumlah telur tapi hanya mengidentifikasi apakah ada
telur atau tidak. Setelah mikroskop telah diatur sesuai dengan kebutuhan maka
langkah selanjutnya kita identifikasi telur cacing ascaris lumbricoides dalam
stadium dibuah, tidak dibuahi maupun dalam stadium decorticated

1. Objek gelas di pasang pada meja objektif di bawah mikroskop.


2. Turunkan kondensor dan aturlah cahaya melalui diafragma.
3. Lihatlah objek dengan menggunakan lensa objektif 10 kali, putarlah makrometer
sampai objek terlihat.

24
4. Tajamkan fokus dengan memutar mikrometer perlahan-lahan.
5. Tingkatkan pembesaran sampai 45 kali jika dibutuhkan.
Setelah mikroskop telah diatur sesuai dengan kebutuhan maka langkah
selanjutnya kita identifikasi telur cacing ascaris lumbricoides.32

3.7 Parameter yang diperiksa


1. Ditemukan adanya telur ascaris lumbricoides dalam stadium dibuahi, tidak dibuahi,
dan decorticated pada pemeriksaan sediaan hapus basah tinja.
2. Pengumpulan Data melalui pertanyaan yang tercantum dalam kuesioner

25
BAB 4
Hasil Penelitian

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kelurahan Tanjung Duren Utara terletak di Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta


Barat. Kelurahan ini memiliki luas 1,11 km2 dan di huni oleh 5.115 kepala keluarga. Kelurahan
ini berbatasan dengan kelurahan jelambar di sebelah utara, kelurahan kebun jeruk di sebelah
barat, kelurahan grogol di sebelah timur, dan kelurahan tanjung duren selatan di sebelah selatan

SD Negeri Tanjung Duren Utara 06 pagi adalah sekolah yang berada di kelurahan
Tanjung Duren Utara, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat. Jumlah Siswa di sekolah
ini berjumlah 502 siswa, terdiri dari siswa laki-laki sebanyak 258 siswa dan siswa permpuan
sebanyak 251 siswa. Dan jumlah kelas yang berada di sekolah ini ada 21 kelas dari kelas 1
sampai kelas 6

4.2 Data Khusus

Penelitian ini dilakukan pada siswa -siswa SD Negeri Tanjung Duren Utara 06 Pagi dari
kelas 1 sampai dengan kelas 5 dengan sampel yang harus terkumpul sebanyak 97. Dimana
sampel sebanyak itu di dapatkan dari rumus yang telah dihitung. Sampel yang dibutuhkan
termasuk masih sedikit dari jumlah total populasi yang berada di sekolah ini yaitu sebanyak 502
siswa. Berikut ini adalah tabel distribusi frekuensi siswa SDN Tanjung Duren Utara 06 pagi
berdasarkan jenis kelamini.

Tabel. 4.1. Distribusi Frekuensi Siswa SDN Tanjung Duren Utara 06 Pagi

Variabel Kategori n(jumlah) Persentase

Laki-laki 54 56%

Jenis Kelamin Perempuan 43 44%

Total 97 100%

Berdasarkan tabel 4.1. jumlah seluruh siswa yang terkumpul sebanyak 97 siswa dengan terdiri
dari jumlah siswa laki-laki sebanyak 54 siswa (56%) dan jumlah siswa perempuan sebanyak 43
siswa (44%)

26
Sampel tinja yang sudah terkumpul langsung di bawa ke laboratorium parasitologi
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana untuk di beri formalin setelah itu di
diperiksa untuk di identifikasi apakah terdapat telur cacing ascaris lumbricoides dalam stadium
dibuahi, tidak dibuahi maupun decorticated.

Tabel 4.2 Distribusi kejadian Infeksi Ascaris lumbricoides Siswa SDN Tanjung Duren 06 Pagi.

Variabel Kategori n(jumlah) Persentase

Positif 0 0%
Infeksi
Askariasis Negatif 97 100%

Total 97 100%

Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa hasil pemeriksaan feses pada siswa siswi di
Sekolah Dasar Negeri Tanjung Duren Utara 06 Pagi menunjukan anak yang positif terinfeksi
cacing ascaris lumbricoides hasil nya adalah 0% dan anak yang negative terinfeksi cacing ascaris
lumbricoides hasilnya adalah 100%.

4.3 Distribusi Frekuensi Indikator Kebersihan Pribadi

Setelah melakukan pemeriksaan feses pada sampel tinja yang telah terkumpul dari siswa
siswi SDN Tanjung Duren Utara 06 Pagi, selanjutnya di lakukan pemberian data kuesioner
kepada siswa-siswa yang sudah ikut berpartisipasi dimana kuesioner berisi beberapa variabel
pertanyaan yang di dapatkan secara langsung dengan teknik wawancara.

Tabel.4.3 Distribusi Frekuensi kebiasaan buang air besar pada siswa-siswa SDN Tanjung Duren
Utara 06 Pagi.

No Indikator n(Jumlah) Persentase

Tempat Buang Air Besar

1 Jamban Sendiri 89 siswa 92%

2 Jamban Umum 8 siswa 8%

97 siswa 100%

27
Berdasarkan tabel 4.3 dapat diketahui bahwa dari seluruh sampel 97 orang siswa-siswi,
didapatkan sebanyak 89 siswa ( 92%) mempunyai kebiasaan tempat buang air besar di jamban
sendiri dan terdapat 8 siswa (8%) masih mempunyai kebiasaan tempat bab di jamban umum.

Tabel.4.4 Distribusi Frekuensi Kebiasaan cuci tangan setelah buang air besar pada siswa SDN
Tanjung Duren Utara 06 Pagi.

No Indikator N(jumlah) Persentase

  Cuci Tangan    

1 Ya 93 siswa 96%

2 Tidak 4 siswa 4%

    97 siswa 100%

Berdasarkan tabel 4.4 dapat diketahui bahwa dari seluruh sampel 97 orang siswa siswi,
didapatkan sebanyak 93 siswa (96%) mempunyai kebiasaan cuci tangan setelah buang air besar
dan terdapat 4 siswa (8%) masih mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan setelah buang air
besar.

Tabel.4.5 Distribusi Frekuensi Kebiasaan Kontak dengan Tanah pada siswa SDN Tanjung Duren
Utara 06 Pagi.

No Indikator N(jumlah) Persentase

  Kontak dengan Tanah    

1 Ya 17 siswa 18%

2 Tidak 80 siswa 82%

    97 siswa 100%

Berdasarkan tabel 4.5 dapat diketahui bahwa dari seluruh sampel 97 orang siswa siswa,
didapatkan sebanyak 17 siswa (18%) masih mempunyai kebiasaan yang kontak dengan tanah
dan terdapat 80 siswa (82%) sudah tidak mempunyai kebiasaan kontak dengan tanah.

28
Tabel.4.6 Distribusi Frekuensi kebiasaan penggunaan alas kaki pada siswa SDN Tanjung Duren
Utara 06 Pagi.

No Indikator N(jumlah) Persentase

  Penggunaan alas kaki    

1 Menggunakan alas kaki 95 98%

2 Tidak menggunakan alas kaki 2 2%

    97 100%

Berdasarkan tabel 4.6 dapat bahwa dari seluruh sampel 97 orang siswa-siswa didapatkan
sebanyak 95 siswa (2%) mempunyai kebiasaan alas kaki saat keluar rumah dan terdapat 2 siswa
(2%) yang masih mempunyai kebiasaan tidak menggunakan alas kaki saat keluar rumah.

Tabel.4.7 Distribusi Frekuensi kebersihan kuku pada siswa SDN Tanjung Duren Utara 06 Pagi.

No Indikator N(jumlah) Persentase

  Kebersihan Kuku    

1 bersih 81 84%

2 kotor 16 16%

    97 100%

Berdasarkan tabel 4.7 dapat diektahu bahwa dari seluruh 97 orang siswa-siwi didapatkan
sebanyak 81 orang (84&) dengan kebersihan kuku yang bersih dan terdapat 16 siswa (16%) yang
masih memiliki kebersihan kuku yang kotor.

29
BAB 5
Pembahasan
5.1 Diskusi Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di SDN Tanjung Duren Utara 06 pagi
Kecamatan Grogol Petamburan dari tabel 4.1 Distribusi Frekuensi berdasarkan karakteristik
jenis kelamin yang terbanyak berpartisipasi dalam mengikuti penelitian yaitu yang berjenis
kelamin laki-laki sebanyak 54 murid (56%) dan sisanya berjenis kelamin perempuan dengan
44 murid (44%).

Dari hasil pemeriksaan sampel tinja yang telah terkumpul sebanyak 97 sampel,
berdasarkan tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Kejadian Infeksi cacing Ascaris lumbricoides
didapatkan hasil negative sebanyak 97 siswa (100%) dan hasil positif yaitu 0 (0%). Dari hasil
ini dapat diketahui bahwa tidak ada siswa yang terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides karena
dari pemeriksaan tinja tidak satu pun sampel tinja ditemukan telur Ascaris lumbricoides
dalam bentuk dibuahi maupun bentuk yang lain.

Angka kejadian infeksi Ascaris lumbricoides berbeda dengan suatu hasil penelitian yang
pernah dillakukan oleh Mardiana dan Djarismawati pada tahun 2008. Dengan judul
penelitian Prevalensi Cacing Usus pada murid sekolah dasar Wajin Belajar Pelayanan
Gerakan Terpadu Pengetasan Kemiskinan Daerah Kumuh, di Wilayah DKI Jakarta. Dari
empat wilayah Di DKI Jakarta, sampel paling banyak Jakarta Barat dengan sampel sebanyak
250 sampel, dan yang positif sebanyak 83 sampel. Sebanyak 62 sampel (74,70%) positif
terkena Ascaris.lumbricoides dan 21 sampel (25,30%) positif terkena T.trichiura. Dari
penelitian Mardian dan Djarismawati, kebanyakan murid-murid SD WGT Taskin adalah
adalah anak-anak yang pemulung yang tinggal di daerah pemukiman padat penduduk dan
kumuh sehingga seringnya kontak dengan tanah yang tercemar telur cacing.

Tingginya angka kejadian Askariasis ini terutama disebabkan oleh karena banyaknya
jumlah telur pada keadaan tanah kondusif. Parasit ini lebih banyak ditemukan pada tanah
dengan kelembaban tinggi dan suhu 25°- 30°C sehingga sangat baik untuk menunjang
perkembangan telur cacing Ascaris.lumbricoides tersebut.2 Hal ini mungkin menjadi
perbedaan dengan hasil penelitian kepada murid-murid SDN Tanjung Duren Utara 06 Pagi

30
Kecamatan Grogol Petamburan Jakarta Barat, yang tidak didapatkan adanya infeksi Ascaris
lumbricoides.pada pemeriksaan tinja.2

Sebagai negara yang beriklim tropis dengan tanah yang lembab dan terlidung dari sinar
matahari, Indonesia merupakan tempat yang baik untuk perkembangan biakan cacing yang
siklus hidupnya di tanha. Prevalensi kecacingan di Indonesia masih relatif tinggi yang pada
tahun 2006, yaitu sebesar 32,6% dan pada tahun 2007 mencapai 65%. 4 Berdasarkan survey
yang dilakukan dibeberapa tempat di Indonesia, prevalensi cacing Ascaris lumbricoides ini
mencapai sekitar 60-90% dan merupakan prevalensi terbesar dibandingkan infeksi cacing
lainnya.5

Prevalensi cacingan berdasarkan data dari Departmen FK UI mulai 2002 hingga 2009
angkanya berbeda beda di setiap daerah di Indonesia. Sumatera barat di posisi pertama
sementara Jakarta Utara tertinggi di propinsi DKI Jakarta. Angkanya mulai 1,1 hingga 85 dan
jenis cacing yang paling banyak ditemukan adalah cacing Ascaris lumbricoides. Berdaarkan
data angka kecacingan yang dimiliki dinas kesehatan DKI, Jakarta Utara menempati urutan
pertam sebesar 49%, Jakarta selatan 15,4%, Jakarta barat 33,20% dan Jakarta Timur 9,38%.
Sasongko dkk melakukan penelitian terhadapa anak sekolah dasar di Jakarta menyatakan
bahwa prevalensi askarisasi sebesar 62,2% dan trikuriasis 4e8,1%.

Faktor terjadi nya infeksi kecacingan salah satunya adalah faktor lingkungan. Para murid
murid SDN Tanjung Duren Utara banyak tinggal di daerah Kelurahan Tanjung Duren Utara
Kondisi umum lingkungan hidup yang berada di kelurahan tanjung duren utara terbilang
cukup baik karena ada nya program-program kebersihan dari dinas kesehatan, juga ditambah
dengan kegiatan-kegiatan kebersihan dari setiap wilayah RT dan RW di kelurahan ini.
Daerah ini juga bisa dikatakan jauh dari pemukiman yang padat penduduk dengan kondis
lingkungan yang kumuh. Sehingga untuk terinfeksi cacing ascaris lumbricoides sangat kecil

Selain Faktor lingkungan dari wilayah tempat tinggal, faktor lingkungan di wilayah
sekolah juga sangat berpengaruh. Dilihat dari kondisi lingkungan SDN Tanjung Duren Utara,
06 Pagi terlihat sangat baik, dari halaman sekolah yang sudah beralas semen dan terdapat nya
wastafel di depan ruangan kelas, juga ada nya tempat sampah yang di atur dengan baik.
Selain faktor lingkungan, pola kebiasaan juga akan beperngaruh terhadap adanya infeksi

31
cacing Ascaris lumbricodes. Ada beberapa variabel pertanyaan mengenai kebiasaan yang di
miliki oleh para murid.

Dari hasil Distribusi frekuensi indikator kebersihan pribadi berdasarkan tabel 4.3
mengenai kebiasaan tempat buang air besar pada murid SDN Tanjung Duren Utara 06 pagi
didapatkan bahwa sebanyak 89 siswa (92%) punya kebiasaan bab di jamban sendiri Dan
berdasarkan tabel 4.4 mengenai kebiasaan cuci tangan setelah bab di dapatkan bahwa
sebanyak 93 siswa (96%) sudah memilki kebiasaan cuci tangan setelah buang air besar. Dari
hasil data di atas ternyata anak-anak murid SDN Tanjung Duren Utara 06 Pagi sudah punya
kebiasaan yang baik dalam hal tempat buang air besar dan mencuci tangan. Tempat buang air
besar yang baik, adalah jamban sendiri yang berada di rumah, karena mengikuit kriteria
jamban yang sehat. Jamban umum yang digunakan belum memenuhi syarat jamban sehat,
sehingga memungkinkan penularan infeksi cacing. Perilaku anak buang air besar tidak
dijamban atau sembarang tempat menyebabkan pencemaran tanah dan lingkungan oleh tinja
yang berisi telur cacing sehingga dapat terjadi penyebaran infeksi cacing.Salah satu transmisi
atau penularan cacing adalah melalui tempat pembuangan fese manusi dalam hal ini jamban.
Kebiasaan defekasi anggota keluarga merupakan faktor risiko kejadian infeksi cacing Ascaris
lumbricoides. Selain itu faktor cuci tangan setelah buang air besar juga berpengaruh terhadap
penularan dan transmisi cacing. Mahfudin dkk(1994), pernah melakukan penelitian dengan
menggalakan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan, dan sesudah buang air besar,
ternyata dapat menurunkan infeksi cacing usus. Cara tersbut memang sesuai dengan salah
satu cara pencegahan infeksi cacing usus, yaitu pendidikan kebersihan dan kesehatan
perorangan yang sangat penting sebagai usaha memutuskan rantai penularan.

Dari hasil Distribusi Frekuensi indikator kebersihan pribadi berdasarkan tabel 4.5
mengenai kebiasaan yang kontak dengan tanah pada murid SDN Tanjung Duren Utara 06
pagi didapatkan bahwa sebanyak 80 siswa (82%) sudah tidak kontak lagi dengan tanah atau
punya kebiasaan main di tanah. Lalu berdasarkan tabel 4.6 mengenai kebiasaan penggunaan
alas kaki didapatkan bahwa sebanyak 95 siswa (98%) memiliki kebiasaan untuk
menggunakan alas kaki. Dan berdasarkan tabel 4.7 mengenai kebersihan kuku di dapatkan
bahwa sebanyak 81 siswa (84%) mempunyai kondisi kebersihan kuku yang baik.

32
Kebiasaan kontak dengan tanah atau bermain dengan tanah, menjadi faktor penularan
telur cacing, tapi pada murid-murid SDN Tanjung Duren Utara 06 pagi kebiasaan seperti
sudah di hilangkan. Mungkin yang menjadi penyebab yaitu kondisi halaman sekolah yang
menjadi tempat bermain sudah beralaskan semen sehingga untuk kontak dengan tanah sangat
kecil kemungkinan nya.

Lalu di lihat dari penggunaan alas kaki, didapatkan bahwa hanya sebagian kecil yang
tidak menggunakan alas kaki jika keluar rumah, sebagian besar murid-murid SDN Tanjung
Duren Utara 06 Pagi menggunakan alas kaki saat keluar sehingga kemungkinan untuk
terinfeksi sangat kecil. Juga kondis dari social ekonomi yang tidak rendah mumungkinkan
murid-murid untuk menggunakan alasa kaki saat keluar rumah maupun ke sekolah.

Kebersihan seseorang juga sangat berpengaruh dilihat dari kebersihan kuku. Faktor yang
lain yaitu kuku yang tidak bersih memungkinan telur cacing berada dalam kuku. Di lihat dari
tabel 4.7 81 siswa (84%) memiliki kondisi kuku yang baik, hal in di dukung dengan adanya
pemeriksaan kuku oleh setiap wali-wali kelas di setiap minggunya. Sehinga kebersihan kuku
dari para muri boleh terjaga keberisihan nya.

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang benda, daya, keadaan makhluk hidup termasuk
kebiasaan perilaku didalamnya yang mempengaruhi kesejahteraan hidup dan perkembangan
dari suatu organimse hidup..Ada beberapa faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan
seseorang yaitu kebersihan pribadi, tingkat social dan ekonomi yang rendah dan kebiasaan
perilku. Membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat seperti menghindari kontak dengan
tanah kemungkinan terkontaminasi dengan fese manusia, menggunakan alas kaki dan
menjaga kebersihan kuk merupakan salaha satu pencegahan infeksi kecacingan terutama
pada siswa sekolah dasar.

33
BAB 6
Kesimpulan dan Saran

6.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian gambaran askariasis pada anak usia sekolah dasar di
sekolah dasar negeri tanjung duren utara 06 pagi kelurahan tanjung duren utara dapat
disimpulkan angka kejadian infeksi cacing Ascaris lumbricoides pada subyek penelitian
adalah 0%. Hal ini mungkin karena kebersihan pribadi dari murid-murid sekolah dasar sudah
sangat baik seperti tempat untuk buang air besar yang sudah di tempat nya, lalu kebiasaan
mencuci tangan yang rutin dilakukan, kontak atau bermain dengan tanah yang sudah jarang
dilakukan oleh anak-anak, kemudian penggunaan alas kaki saat keluar rumah, serta
kebersihan kuku yang dijaga.

6.2 Saran

1. Untuk pihak sekolah agara dapat meningkatkan lagi upaya-upaya kebersihan


pribadi pada anak anak di sekolah tanjung duren utara 06 pagi agar supaya tetap
terjaga kebersihan pribadi nya dalam mencegah terjadinya infeksi cacing.
2. Untuk peneliti selanjutnya untuk dapat menghindari dan mengantisipasi kesalahan
dan kekurangan yang ada dalam penelitian ini sehingga diharapkan mencapai
hasil yang leibh baik.

34

Anda mungkin juga menyukai