Anda di halaman 1dari 8

J. Kesehat. Masy. Indones.

10(2): 2015 ISSN 1693-3443

KEBERADAAN TELUR CACING USUS PADA KUKU DAN


TINJA SISWA SEKOLAH ALAM DAN NON ALAM

Divin Rowardho1, Sayono1, Toto S. Ismail1


1 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Semarang

ABSTRAK
Latar Belakang : Prevalensi kecacingan di Indonesia termasuk masih tinggi terutama cacing
perut yang ditularkan melalui tanah (Soil Transmitted Helminths). Sekolah alam menjadikan
alam terbuka sebagai kelas dan laboratorium dan metode outbond sebagai media pembentuk
karakter. Berbeda dengan sekolah non alam menghabiskan 60% waktunya untuk belajar di
dalam kelas. Tujuan : Mengetahui risiko pajanan telur cacing usus pada kuku dan tinja siswa
sekolah dasar alam dan non alam. Metode : Jenis penelitian Explanatory Research
menggunakan rancangan Cross Sectional, dengan metode survey . Data diperoleh melalui
wawancara dan pemeriksaan telur cacing pada kotoran kuku dan tinja. Sampel penelitian
diambil dari dua sekolah secara jenuh sejumlah 47 sampel. Variabel bebas aktifitas, keadaan
kuku, kebiasaan minum obat cacing, variable terikat keberadaan telur cacing usus. Analisis
data menggunakan uji Chi-Square. Hasil : 29,8% dari total 47 sampel ditemukan telur cacing
usus pada tinja. Pemeriksaan kuku ditemukan 12,8% yang terdapat telur cacing usus. Ada
hubungan keadaan kuku dengan keberadaan telur cacing usus di kuku(p=0,006 OR:17,778)
dan di tinja (p=0,000 OR:18,125), kebiasaan minum obat cacing dengan keberadaan telur
cacing (p=0,043 OR: 1,560), sedang jenis kelamin tidak berhubungan dengan keberadaan telur
cacing dikuku (P=0,0221 OR:0,232) dan di tinja (P=0,347 OR:0,425). Kesimpulan :
Keberadaan telur cacing di kuku dan tinja lebih ditentukan oleh keadaan kuku terutama yang
tidak bersih. Kata Kunci : Keberadaan telur cacing usus di kuku dan di tinja

EXICTENCE OF THE INTESTINAL HELMINTH EGGS IN


NAILS AND FECES OF NATURAL AND NON-NATURAL
SCHOOL STUDENTS

ABSTRACT
Background: In Indonesia, helminthiasis prevalens especially of soil transmitted helminths
(STH) is still high. Natural based school takes natural environment as classroom dan
laboratory, and uses outbond as character building method. In contrast to non-natural school,
that spends 60% of their learning time in classroom. Objective: This research determines any
risks of the intestinal helminth eggs exposure in nails and feces of natural and non-natural of
elementary school students. Method: This research is explanatory research with Cross
Sectional design and survey method. Data obtained by interview and intestinal helminth eggs
check in nails and feces. Samples were taken from two schools is as many as 47 student.
Independent variables are activity, condition of nails, and habits of helmintic medicine. Then,
dependent variable is existence of the intestinal helminth eggs. This research used Chi-Square
in data analysis. Results: As many as 29,8% of total samples were found the intestinal helminth
eggs in feces. Whereas in nail check, was found the intestinal helminth eggs as many as 12,8%.
There were correlation between the nails condition and the intestinal helminth eggs in nails (p
= 0,006 OR: 17,778) and (p = 0,000 OR: 18,125) in feces and helminitic medicine and the
intestinal helminth eggs (p = 0,043 OR: 1,560), while sex is not associated with the intestinal
helminth eggs in nails (p = 0,221 OR: 0,232) and in feces (p = 0,347 OR: 0,425). Conclusion:
Existence of the intestinal helminth eggs in nails and feces is more determined by nail
conditions that are not particularly clean. Keywords: wormy, nail conditions, fece.

18
ISSN 1693-3443 J. Kesehat. Masy. Indones. 10(2): 2015

PENDAHULUAN tambang masih merupakan masalah


kesehatan di Indonesia, karena
Penyakit infeksi masih banyak menyebabkan anemia defisiensi besi
terjadi pada negara berkembang. Salah dan hipoproteinemia. Spesies cacing
satunya adalah infeksi yang tambang yang banyak ditemukan di
disebabkan oleh parasit berupa cacing. Indonesia ialah N. Americanus.4
Kecacingan merupakan salah satu Prevalensi terjadinya
penyakit yang masih banyak terjadi di kecacingan pada manusia di dunia
masyarakat namun kurang adalah Ascaris lumbricoides mengenai
mendapatkan perhatian (neglected 1300 orang, ancylostoma duodenal
diseases). Penyakit yang termasuk dan necator americanus mengenai
dalam kelompok neglected diseases 400–800 juta orang, Trichuris
memang tidak menyebabkan wabah trichiura mengenai 500 juta orang dan
yang muncul dengan tiba-tiba ataupun Strongyloides stercoralis mengenai 80
menyebabkan banyak korban, tetapi juta orang5. Infeksi Ascaris di dunia
merupakan penyakit yang secara telah menyebabkan sekitar 60.000
perlahan menggerogoti kesehatan kematian per tahun, terutama pada
manusia, menyebabkan kecacatan anak-anak. Untuk negara berkembang
tetap, penurunan intelegensia anak dan sebesar 10% dari penduduknya
pada akhirnya dapat pula terinfeksi cacingan, yang sebagian
menyebabkan kematian.1 besar disebabkan oleh Ascaris.3
Infeksi cacing pencernaan Menurut hasil survei kecacingan
khususnya golongan nematoda dan nasional 2009 oleh Ditjen P2PL
cestoda merupakan masalah kesehatan menyebutkan 31,8 % siswa SD
yang memerlukan penanganan serius, menderita kecacingan. Berdasarkan
terutama di daerah tropis karena surve Departemen Kesehatan Republik
prevalensi yang cukup tinggi.1 Indonesia tahun 2006 prevalensi
Berdasarkan media penularannya kecacingan pada anak sekolah dasar di
cacing pencernaan terbagi 2 golongan, Indonesia antara 60-90%, diantara
yaitu cacing Soil Transmitted Helminth keempat macam cacing, ascariasis
(STH) yang media penularannya lumbricoides adalah yang tertinggi
melalui tanah dan non STH yang prevalensinya.6
media penularannya tidak melalui Beberapa penelitian di SD 119
tanah.2 Soil Transmitted Helminthes Manado menunjukkan kejadian infeksi
adalah cacing golongan nematoda cacing cacing usus sebesar 7,8%
yang memerlukan tanah untuk (Ascaris lumbricoides 5,2% dan
perkembangan bentuk infektifnya. Trichuris trichiura 2,6%).7
Angka prevalensi dan intensitas infeksi Berdasarkan hasil penelitian Nur
biasanya paling tinggi pada anak syamsiah di SDN Trimulyo 01
antara usia 3 dan 8 tahun.3 Genuksari Semarang tahun 2013
Menurut Departemen menunjukkan dari 39 siswa SDN
Kesehatan Republik Indonesia, Trimulyo 01 terdapat 79,5% siswa
prevalensi kecacingan di Indonesia terdapat telur cacing ascaris dan
termasuk masih tinggi terutama 25,7% terdapat telur Trichuris.8
kecacingan yang disebabkan oleh Infeksi cacing pada anak yang tidak
sejumlah cacing perut yang ditularkan segera mendapat penanganan akan
melalui tanah atau yang disebut Soil menyebabkan gangguan kesehatan
Transmitted Helminths. Infeksi cacing serius seperti anemia. Prevalensi
19
J. Kesehat. Masy. Indones. 10(2): 2015 ISSN 1693-3443

anemia pada populasi paling sering based learning atau proses


terjadi dan diukur dengan melalui pembelajaran dengan green philosophy
konsentrasi Haemoglobin (Hb) dalam seperti green school enviroment
darah. Secara umum faktor yang (konservasi alam) misalnya hutan
paling berpengaruh terhadap anemia mini, konservasi air, bank sampah,
adalah kekurangan zat besi. Penyebab kebun sayuran, pembibitan tanaman
anemia di negara maju adalah ketidak keras, kantin sehat, green building
cukupan asupan besi yang diperoleh (hemat energi, dibangun dengan asas
dari makanan. Di negara berkembang land conservation), green media
asupan makanan yang tidak adekuat, (organic, reduce, reuse). Dengan
tingginya bahan makanan penghambat adanya kegiatan di alam maka akan
penyerapan besi dan infeksi parasit ada risiko penyebaran agen penyakit
juga merupakan penyebab anemia.9 infeksi pada tanah (soil transmited
Anak-anak masih butuh banyak helmith).
bimbingan untuk menghadapi penyakit Hasil observasi di SD Alam
infeksi yang mengancam. Anak Ar-ridho, siswa melakukan kegiatan di
sekolah punya potensi yang cukup dalam hanya sebesar 40% dari
besar untuk terkena infeksi bila dilihat kegiatan belajar, selebihnya mereka
dari bagaimana dan dengan siapa berada di luar ruangan kelas. Sesuai
mereka bermain diluar rumah. Adanya konsep sekolah alam maka kegiatan
kemajuan teknologi menjadikan anak siswa Ar-Ridho melakukan kegiatan
kurang memahami bagaimana bergaul yang banyak dilakukan di alam, muali
dengan alam. Alasan-alasan itulah dari out bond sampai mempuat pupuk
yang mendasari para orang tua mulai dan bercocok tanam. Kegiatan
untuk menyekolahkan anak mereka dilakukan tanpa menggunakan alat
pada sekolah alam. Suasana alam akan perlindungan diri karena diharapkan
meningkatkan dan memicu daya pikir siswa benar-benar berbaur dengan
untuk memahami semua perubahan alam. Namun demikian sekolah tidak
dengan cepat dan tidak terbatas.10 mencanangkan program pemberian
Sekolah alam Indonesia obat cacing setiap 6 bulan seklai dan
merupakan sebuah sekolah yang pemotongan kuku. Kegiatan siswa
menjadikan alam terbuka sebagai kelas setiap pagi dan setiap hari dituntut
dan laboratorium, menjadikan metode untuk melakukan kegiatan di luar
outbond sebagai media pembentuk rungan/kelas, siswa melakukan
karakter kepemimpinan disamping kegiatan belajar di alam (out bond,
kurikulum akhlak dan logika berpikir. berkebun, sawah ). Mereka melakukan
Metode outbond diplih karena dirasa pembelajaran tersebut tanpa memakai
cocok dengan karakteristik proses pelindung tangan dan juga tidak
belajar mengajar yang lebih banyak memakai alas kaki karena konsep
dilakukan diluar ruangan serta terdapat belajar anak-anak yang harus dapat
banyak pembelajaran pada tiap berbaur dengan alam.
permainan yang dilakukan untuk dapat Keadaan siswa SD Ar-ridho
menumbuhkan karakter jika dilihat lebih seksama banyak dari
kepemimmpinan (leadreship) pada mereka mempunyai perilaku yang
setiap siswanya. kurang sehat diantaranya mempunyai
Salah satu aktifitas sehari-hari siswa kuku yang kotor dan panjang. Perilaku
sekolah alam adalah dengan ini akibat dari tidak diberlakukanya
mengunakan konsep pendidikan Green pemotongan kuku dan melakukan cuci
20
ISSN 1693-3443 J. Kesehat. Masy. Indones. 10(2): 2015

tangan yang kebersihan tidak diawasi Bila dilihat dari dua sisi sekolah
dengan guru. Sehingga kebersihan tesebut tampak perbedaan antara
anak-anak kurang terawasi. Siswa SD kegiatan sekolah yang siswa lakukan.
Ar-ridho untuk makanan diwajibkan Sekolah alam punya kecenderungan
untuk berbekal dari rumah, namun saat berbaur dengan alam lebih banyak
waktu makan bebrapa dari mereka dibanding sekolah negri. Berdasarkan
tidak memakai alat makan. tetapi pada latar belakang di atas, maka perlu
waktu akan memakan bekal sebagian dilakukan penelitian tentang
dari mereka ada yang memakai sendok keberadaan telur cacing pada anak
dan juga langsung makan dengan sekolah dasar (alam dan non alam),
tanpa sendok. Pada SD Alam Ar-ridho untuk deteksi dini mencegah terjadinya
pemeriksaan kuku dan juga program penyakit infeksi.
pengobatan kecacingan selama 6 bulan
tidak menjadi program SD tersebut,
sehingga sangat berisiko terkena
kecacingan. METODE
Hasil observasi terhadap SDN
Meteseh, SD tersebut konsep Jenis penelitian ini adalah
pembelajaranya lebih banyak explanatory research atau penelitian
dilakukan di dalam kelas, sedangkan yang menjelaskan ada tidaknya
untuk diluar kelas hanya pada saat hubungan antara variabel bebas
istirahat maupun pada saat jam dengan variabel terikat melalui
pembelajaran olah raga. Keadaan pengujian hipotesis. Metoda yang
siswa SDN Meteseh mereka juga digunakan adalah survei dengan
mempunyai perilaku yang tidak sehat kuesioner dan observasi, yang
diantaranya mempunyai kuku yang dilengkapi dengan uji laboratorium.
kotor dan panjang, jarang melakukan Penelitian ini menggunakan
cuci tangan sebelum makan dan pendekatan Cross Sectional4. Populasi
menyukai jajanan dipinggir jalan yang digunakan pada penelitian ini
sedangkan SDN Meteseh berada adalah seluruh siswa kelas 3 yang
dipinggir jalan dengan kondisi jalan bersekolah di SD alam Ar Ridho
berdebu, jika ada kendaraan yang sebanyak 63 siswa dan SDN Meteseh
lewat maka debu akan terbang sebanyak 77 siswa di Semarang.
kemakanan di penjual pinggir jalan. Jumlah seluruh siswa kelas 3 dari dua
Anak-anak menyukai jajan SD sebanyak 140. Pengambilan
sembarangan dipenjual pinggir jalan. sampel dilakukan dengan teknik
Di penjual pinggir jalan dijual sampling jenuh. Artinya seluruh
berbagai jajanan anak basah maupun populasi yang diteliti. Metode dalam
jajanan kering seperti bakso dan mie penelitian adalah observasi,
goreng, makanan tersebut sudah wawancara dan pengambilan kuku dan
disajikan digelas minuman dengan tinja. Sumber data diperoleh dari data
keadaan terbuka tanpa ditutup, dan primer (wawancara dengan responden,
dikerumunin lalat dan terkena debu pengambilan kuku dan tinja) dan data
yang berterbangan. Kebiasaan anak- sekunder (data dari instansi terkait)
anak ini bisa memicu munculnya
kecacingan. HASIL DAN PEMBAHASAN

21
J. Kesehat. Masy. Indones. 10(2): 2015 ISSN 1693-3443

Tabel 1. Hubungan jenis kelamin dengan keberadaan telur cacing usus di kuku

Kebradaan telur cacing


variabel di kuku Total
p OR
Tidak Ya
Jenis klamin n % n % n %
Laki-laki 22 81,5 5 18,5 27 100,0
0,23
perempuan 19 95 1 5 20 100,0 0,221
2
Total 41 87,2 6 12,8 47 100,0

Berdasarkan tabel 1. diketahui dengan jenis kelamin ini di tunjukan


bahwa Hasil analisis uji statistic dengan data bahwa hanya kurang dari
menunjukkan nilai p=0,221 > 0,05 20% siswa laki-laki yang terdapat telur
sehingga kesimpulanya tidak ada cacing di kukuknya, sedang pada siswa
hubungan jenis kelamin dengan telur perempuan hanya 5% saja yang
cacing dikuku. Tidak adanya terdapat telur cacing di kukunya dari
hubungan keberadaan telur cacing jumlah keseluruhan sampel 47 siswa.

Tabel 2. Hubungan keadaan kuku dengan keberadaan telur cacing usus di kuku

Kebradaan telur cacing


variabel di kuku Total
p OR
Tidak Ya
Keadaan kuku n % n % n %
Pendek Bersih 32 97 1 3 33 100,0
Tindak pendek- 0.00
9 64,3 5 35,7 14 100,0 17,778
bersih 6
Total 41 87,2 6 12,8 47 100,0

Berdasarkan tabel 2 diketahui Adanya hubungan antara keadaan


bahwa Hasil analisis uji statistik kuku dengan keberadaan telur cacing
menunjukkan nilai p=0,006 < 0,05 dikuku dapat dilihat dengan data yang
sehingga kesimpulanya adalah ada menunjukan bahwa 13% kondisi kuku
hubungan keadaan kuku dengan siswa dari 47 sampel ditemukan telur
keberadaan telur cacing dikuku. cacing pada kukunya.

22
ISSN 1693-3443 J. Kesehat. Masy. Indones. 10(2): 2015

Tabel 3. Hubungan Jenis Kelamin Dengan Keberadaan Telur Cacing Usus Di Tinja

Kebradaan telur cacing


Variabel di kuku Total
Tidak Ya p OR
Jenis
n % n % n %
Kelamin
Laki-laki 17 63 10 37 27 100,0
0,34
Perempuan 16 80 4 20 20 100,0 0,425
7
Total 33 70,2 14 29,8 47 100,0

Tabel 4. Hubungan Keadaan Kuku Dengan Keberadaan Telur Cacing Usus Di Tinja

Kebradaan telur cacing


Variabel di kuku Total
p OR
Tidak Ya
Keadaan Kuku n % n % n %
Pendek bersih 29 87.9 4 12.1 33 100,0
Tidak Pendek 4 28.6 10 71.4 14 0,00
100,0 18,125
Bersih 0
Total 33 70,2 14 29,8 47 100,0

Berdasarkan tabel 3 diketahui Nilai OR: 18,125 artinya artinya siswa


bahwa Hasil analisis uji chi-square dengan kondisi kuku tidak pendek
menunjukkan nilai p=0,347 > 0,05 bersih berisiko 18,125 kali lebih besar
sehingga kesimpulanya tidak ada untuk terdapat telur cacing di tinja
hubungan jenis kelamin dengan daripada siswa dengan kondisi kuku
keberadaan telur cacing di tinja. Hal pendek bersih.
ini terlihat dengan terlihat data siswa Berdasarkan tabel 5. diketahui
yang terdapat cacing di tinja kurang bahwa hasil analisis uji chi-square
dari 30%. menunjukkan nilai p=0,043 < 0,05
Berdasarkan tabel 4. diketahui sehingga kesimpulanya ada hubungan
bahwa hasil analisis uji chi-square kebiasaan minum obat dengan
menunjukkan nilai p=0,000 < 0,05 keberadaan telur cacing di tinja. Nilai
sehingga kesimpulanya ada hubungan OR: 1,560 artinya siswa yang tidak
keadaan kuku dengan keberadaan telur minum obat cacing berisiko 1,560 kali
cacing di tinja. Hampir 30% siswa lebih besar untuk terdapat telur cacing
yang berkuku pendek maupun tidak di tinja daripada siswa yang minum
pendek ditemukan telur cacing di tinja. obat cacing.

23
J. Kesehat. Masy. Indones. 10(2): 2015 ISSN 1693-3443

Tabel 5. Hubungan Keberadaan Telur Cacing di Tinja dengan Kebiasaan Minum

Kebradaan telur cacing


Variabel di kuku Total
Tidak Ya p OR
Minum Obat
n % n % n %
Cacing
Ya 8 100 0 0 8 100,0
0
Tidak 25 64.1 14 35.9 39 100,0 1,560
,043
Total 33 70,2 14 29,8 47 100,0

KESIMPULAN yang tidak minum obat dan ditemukan


telur cacing di tinja sebanyak 35,9%
Setelah dilakukan penelitian dan yang minum obat sebanyak 0%.
terhadap 47 responden 18 dari sekolah Ada hubungan antara kebiasaaan
alam dan 29 dari sekolah non alam minum obat cacing dengan keberadaan
kemudian dilakukan pengolahan dan telur cacing ditinja (p= 0,043).
pemaparan hasil penelitian diperoleh Pihak sekolah perlu
bahwa pada jenis kelamin laki-laki mengadakan program pemantauan
yang ada keberadaan telur cacing kuku secara berkala setiap seminggu
dikuku sebanyak 18,5% dan pada sekali. Pihak sekolah perlu
berjenis kelamin perempuan hanya mengaktifkan kembali dokter kecil.
5%. Tidak ada hubungan antara jenis Pihak sekolah perlu mengadakan
kelamin dengan keberadaan telur program pemberian obat cacing (4-6
cacing dikuku (p = 0,221 dan OR : bulan sekali). Bagi pihak Dinas
0,232). Pada keadaan kuku yang tidak Kesehatan, sebagai bahan masukan
pendek bersih mencapai 64,3% dan dalam merencanakan program
yang kondisi kukunya pendek bersih kesehatan untuk Usaha Kesehatan
mencapai 97%. Ada hubungan antara Sekolah tentang kecacingan.
keadaan kuku dengan keberadaan telur Puskesmas perlu melakukan
cacing dikuku (p = 0,006 dan OR: pemantauan cacing secara berkala (4-6
17,778). Pada jenis kelamin laki-laki bulan sekali) dan dengan diikuti
yang ada keberadaan telur cacing pengobatan bagi penderita serta perlu
ditinja sebanyak 37% dan pada melakukan program pembelajaran
berjenis kelamin perempuan hanya tentang bahaya kecacingan
20%.. Tidak ada hubungan jenis
kelamin dengan keberadaan teluur
cacing ditinja (p= 0,347 OR:0,425). DAFTAR PUSTAKA
Pada keadaan kuku yang tidak
pendek bersih dan ditemukan telur 1. Sudomo, M, Penyakit Parasitik
cacing di tinja sebanyak 71,4% dan yang Kurang Diperhatikan di
yang kondisi kukunya pendek bersih Indonesia, Orasi Pengukuhan
sebanyak 12,1%. Ada hubungan antara Profesor Riset Bidang Entomologi
keadaan kuku dengan keberadaan telur dan Moluska, Jakarta, 2008
cacing ditinja (p = 0,000 OR : 18,125).
Pada kebiasaan minum obat, siswa
24
ISSN 1693-3443 J. Kesehat. Masy. Indones. 10(2): 2015

2. Gandahusada, S. Llahude HD, Infestasi Cacing Usus Pada Siswa


Pribadi W. Parasitologi kedokteran. Sekolah Dasar Negeri 119 Manado.
FK UI. 2000 Skripsi. FKM. Sam Ratu Langi
Manado. 2010
3. Hairani Budi, Annida. Insidensi
Parasit Pencernaan Pada Anak 7. Infeksi dan Pediatrik Tropis. Bagian
Sekolah Dasar di Perkotaan dan Ilmu Kesehatan Anak FK UI.
Pedesaan di Kabupaten Tanah Jakarta. 2001
Bumbu Kalimantan Selatan. Jurnal
Epidemiologi dan Penyakit 8. Ariska, Tri handayani, Nur
Bersumber Binatang Vol. 4, No. 2. Syamsiah. Faktor risiko kejadian
2012. Diunduh dari: Ascariasis dan Trichuriasis pada
ejournal.litbang.depkes.go.id anak sekolah SDN Trimulyo 01
tanggal 13 Mei 2013 kecamatan Genuk Semarang.
Skripsi. FKM Universitas
4. Sumanto, D. Faktor Risiko Infeksi Muhammadiyah Semarang. 2013
Cacing Tambang Pada Anak
Sekolah. Tesis. UNDIP. Semarang. 9. Purba, Agus kamal. Hubungan
2010. Diunduh dari: Status Kecacinagn Dengan Kadar
eprint.indip.ac.id/23985/1/didiksum Haemoglobin Pada Anak Sekolah
anto.pdf tanggal 13 Mei 2013 Dasar di Wilayah Kota Yogyakarta.
Tesis. FK. UGM Yogyakarta. 2011.
5. Depkes RI. Pedoman Pengendalian Diunduh dari: etd.ugm.ac.id tanggal
Cacingan. 2007 [cited 2013 18 14 Mei 2013
September. Available from:
http//www.hukor.depkes.go.id/up_p 10. Semut semut natural school.
rod_kemenkes. Diunduh dari: semut-
semut.seh.id/index.php?)view. pdf
6. Budi,T ratag. Hubungan Antara tanggal 14 Mei 2013.
Higient Perorangan Dengan

25

Anda mungkin juga menyukai