Anda di halaman 1dari 15

KEPERAWATAN KOMUNITAS

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS KECACINGAN

KELOMPOK 1B

1. HABIBATUL M 30901800073
2. HAZNA IZDIAR A. 30901800075
3. HENDRY SETIAWAN 30901800076
4. HENITA F 30901800077
5. HERA MULYANI 30901800078
6. HESTI ROSITA 30901800079
7. IDA ROKHAYATI 30901800080
8. IKA FEBRIANA 30901800081
9. IKA SAFITRI N. M 30901800082
10. IKHDA TSANI N 30901800083
11. IMRUCHA SILVIA O. 30901800084
12. INAYATUL ULYA 30901800085

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penyakit kecacingan masih sering dijumpai di seluruh wilayah Indonesia Penyakit
yang disebabkan oleh infeksi cacing ini tergolong penyakit yang kurang mendapat perhatian,
sebab masih sering dianggap sebagai penyakit yang tidak menimbulkan wabah maupun
kematian. Walaupun demikian penyakit kecacingan sebenarnya cukup membuat penderitanya
mengalam kerugian, sebab secara perlahan adanya infestasi cacing di dalam tubu penderita
akan menyebabkan gangguan pada kesehatan mulai yang ringan sedang sampai berat yang
ditunjukkan sebagai manifestasi klinis diantaranya berkurangnya nafsu makan, rasa tidak
enak di perut, gatal-gatal, alergi, anemia, kekurangan gizi, pneumonitis dan lain-lain.
(Palgunadi, 2010)
Penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah atau Soil transmitted helminth
(STH) yang sering dijumpai pada anak usia sekolah dasar yaitu dari jenis Ascaris
lumbricoides (cacing gelang), Trichuris trichiura (cacing cambuk) dan Hookworm
(Ancylostoma duodenale dan Necator americanus). (Rahmayanti, dkk. 2014)
Berdasarkan data yang dilaporkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun
2013, terdapat 6 wilayah endemik di dunia yang menjadi prioritas untuk pengobatan infeksi
cacing pada anak. Asia Tenggara menempati prioritas pertama dengan persentase 42%, Afrika
menempati prioritas kedua dengan persentase 32%, Wilayah Pasific Barat menempati
prioritas ke tiga dengan persentase 11%, wilayah Mediterania Timur menempati prioritas ke
empat dengan persentase 9%, Amerika menempati proritas ke lima dengan persentase 5%,
dan Eropa menempati prioritas ke enam dengan persentase 1%. Asia Tenggara merupakan
wilayah dengan persentase tertinggi di dunia akan kebutuhan pengobatan infeksi cacingan
pada anak. Di Indonesia sendiri prevalensi kecacingan di beberapa kabupaten dan kota pada
tahun 2012 menunjukkan angka diatas 20% dengan prevalensi tertinggi di salah satu
kabupaten mencapai 76,67% (Direktorat Jenderal PP&PL Kemenkes RI, 2013).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Kendari jumlah penderita penyakit
kecacingan tahun 2015 berjumlah 291 orang dan pada tahun 2018 data mengenai pemberian
obat cacing khususnya di Abeli sebanyak 3571 orang. (Dinas Kesehatan Kota Kendari, 2019).
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rahmayanti, dkk. (2014) Hubungan
Pengetahuan, Sikap Dan Tindakan Dengan Infeksi Soil transmitted helminth (STH) Pada
Murid Kelas 1,2 dan 3 SDN Pertiwi Lamgarot Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar,
hasil penelitian menunjukkan bahwa 32 responden positif terinfeksi Soil transmitted helminth
(STH) dengan tingkat prevalensi 33,68%. Berdasarkan observasi yang telah dilakukan di
SDN 5 Kendari yang murid kelas 3 berjumlah 17 orang, kelas 4 berjumlah 14 orang dan kelas
5 berjumlah 20 orang merupakan sekolah dasar yang berada di jalan Poros Moramo
Kelurahan Sambuli, yang sebelumnya tidak pernah dilakukan penelitian mengenai infeksi
Soil transmitted helminth (STH) pada murid SDN 5 Kendari. Selain itu, masih ditemukan
kebiasaan yang memprihatinkan seperti bermain ditanah, sebagian siswa tidak menggunakan
alas kaki serta kuku-kuku yang tidak dipotong dan kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum
makan dan sesudah bermain ditanah serta lingkungan sekolah yang tampak kurang bersih.
Sehingga dengan kondisi tersebut dapat menjadi factor penyebab resiko terjadinya kecacingan
pada anak dimungkinkan dapat terjadi. Dari uraian latar belakang diatas penulis tertarik untuk
melakukan penelitian “Hubungan Kebiasaan Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) dengan
Infeksi Soil transmitted helminth (STH) Pada Murid SDN 5 Kendari?”

B. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah yaitu apakah ada hubungan antara kebiasaan perilaku hidup
bersih sehat (kebiasaan mencuci tangan, kebersihan kuku, penggunaan alas kaki,) dengan
infeksi Soil transmitted helminth (STH) pada murid SDN 5 Kendari?”

C. Tujuan Penelitian
1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan kebiasaan perilaku hidup bersih sehat (PHBS)
dengan infeksi Soil transmitted helminth (STH) pada murid SDN 5 Kendari.
2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan mencuci tangan yang benar dengan
kejadian kecacingan.
b. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan menjaga kebersihan kuku dengan
kejadian kecacingan.
c. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan menggunakan alas kaki dengan
kejadian kecacingan.
D. Manfaat Penelitian
1 Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan
merupakan bahan informasi yang dapat digunakan dalam penelitian
selanjutnya.
b. Merupakan pengalaman berharga dan tambahan wawasan bagi peneliti
dalam membuat penelitian ilmiah dimana peneliti dapat menerapkan dan
memanfaatkan ilmu yang didapat selama pendidikan, serta menambah
pengetahuan peneliti tentang Hubungan Kebiasaan Perilaku Hidup Bersih
Sehat (PHBS) dengan Infeksi Soil transmitted helminth (STH) Pada Murid
Sekolah Dasar (SD).
2 Manfaat Praktis
a. Tempat Penelitian
Sebagai bahan masukan bagi pihak sekolah (Kepala Sekolah dan Staf
pengajar) agar bekerja sama dalam memperhatikan kebersihan lingkungan
serta memberikan informasi bagi para siswa tentang Hubungan Kebiasaan
Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) dengan Infeksi Soil transmitted
helminth (STH) Pada Murid Sekolah Dasar (SD).
b. Bagi Institusi
Sebagai masukan bagi institusi sebagai pengembangan ilmu pengetahuan
dan dapat digunakan sebagai bahan pustaka dan perbandingan untuk
melakukan penelitian selanjutnya.
c. Bagi Peneliti Lain
Sebagai referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Penyakit Cacingan


Penyakit cacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing
yang hidup sebagai parasit didalam tubuh manusia. Seseorang dapat terinfeksi
penyakit kecacingan ketika telur, atau larva masuk ke dalam tubuh, menjadi
cacing dewasa dan bertelur didalam tubuh. Seseorang dapat dengan mudah
terinfeksi oleh cacing ketika hidup dalam lingkungan yang tidak bersih, memiliki
sanitasi yang buruk, dan kebiasaan yang tidak higienis. Definisi infeksi
kecacingan menurut WHO (2011) adalah sebagai infestasi satu atau lebih cacing
parasit usus yang terdiri dari golongan nematoda usus9.
Penyakit cacingan merupakan salah satu masalah terbesar yang berdampak
pada jutaan anak sekolah dasar. Cacing parasit tersebut mengonsumsi nutrisi anak
yang di inanginya, yang bisa menyebabkan malnutrisi atau keterlambatan dalam
tumbuh dan berkembang10. Cacing parasit juga dapat merusak jaringan organ
tubuh ditempat yang ditinggali, yang mana dapat menyebabkan sakit perut, diare,
obstruksi usus, anemia, ulcer, dan masalah kesehatan lainnya 11. Masalah tersebut
bisa berdampak pada pembelajaran anak dan memperlambat perkembangan
kognitifnya, yang berujung memiliki performa yang buruk dalam penerimaan
pelajaran di sekolah. Tidak jarang juga jika infeksi menahun dan berat dapat
berakibat kematian, jika penanganan tidak dilakukan dengan cepat. Sangat
perlu diperhatikan bahwa stunting pada anak yang diakibatkan oleh penyakit
cacingan tidak dapat dideteksi dengan mudah karena gejala memburuk berangsur
pada waktu yang semakin lama dan sering diremehkan oleh masyarakat. Penyakit
cacingan dapat merusak kenyamanan dan potensi belajar dari jutaan anak di
berbagai negara berkembang12.
Penyakit cacingan dapat dibedakan dari penyebab infeksi lainnya seperti
bakteri dan virus. Mengetahui perbedaan ciri-ciri gejala tersebut dapat
memudahkan dan membuat tenaga kesehatan dapat mengobati secara efektif13.
Diantaranya, yaitu:
 Cacing usus dewasa tidak dapat menginfeksi manusia secara langsung,
melainkan telur atau larva yang masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau
masuk melewati mulut, tergantung dari spesies13.
 Cacing usus berangsur-angsur bertambah banyak di dalam tubuh inangnya
seiring bertambahnya waktu. Jadi onset dari penyakit ini berjalan pelan dan
sering tidak terdeteksi. Ketika seseorang yang terinfeksi cacing mencapai
tingkatan sedang ke berat, gejala dari penyakit kronik akan muncul13.
 Keparahan dari penyakit yang disebabkan oleh cacing usus tergantung dari
jumlah cacing didalam tubuh, dan umur seseorang yang terinfeksi13.
 Ada beberapat obat yang dapat membunuh beberapa spesies dari cacing
usus dengan menggunakan single dose. Terinfeksi ulang juga sering terjadi.
Karena hanya dengan perawatan obat tanpa memperbaiki sanitasi dan
kebersihan lingkungan pasien tidak akan memutus penyebaran penyakit
cacingan13.
 Penyakit cacingan tidak tersebar dengan rata di dalam suatu komunitas.
Sebagai contoh, dari semua kecacingan yang berjumlah 70 persen, mungkin
hanya terdeteksi 30 persen dari suatu komunitas13.

2.2 Epidemiologi
Iklim merupakan faktor utama penyebaran infeksi STH. Maka dari itu STH
merupakan salah satu penyakit endemik. Iklim meliputi kelembaban udara,
temperatur, cahaya, angin, debu, dan juga kelembaban tanah yang bergantung
pada curah hujan merupakan faktor yang mempengaruhi berlangsungnya
penyebaran penyakit cacingan14.
Indonesia sebagai negara berkembang, dan merupakan daerah iklim tropik
merupakan tempat ideal bagi perkembangan telur cacing. Hasil survei pada anak
sekolah tahun 2013 menyatakan prevalensi kecacingan di Indonesia menurun dan
telah mencapai angka prevalensi sebesar 28,12 persen. Di wilayah-wilayah
tertentu yang sanitasinya buruk prevalensinya bisa mencapai 80 persen15.
Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan di daerah Bali selama
kurun waktu 2003-2007 tergolong tinggi yaitu berkisar antara 40,94 persen
sampai 92,4 persen pada anak sekolah dasar. Prevalensi penyakit cacingan di Bali
lebih banyak terjadi di dataran tinggi dengan kondisi wilayah yang basah dimana
ditemukan A.lumbricoide 87.6 persen, T.trichiura 82.4 persen, Necator
americanus dan Ancylostoma duodenale 44.5 persen, S.stercoralis 3.3 persen16. Di
Kabupaten Bima tahun 2006 ditemukan Ascaris lumbricoides 39 persen,
Trichuris trichiura 24 persen, dan Hookworm 5 persen pada anak sekolah dasar17.
Di Kabupaten Bengkulu tahun 2010 didapatkan prevalensi A.lumbricoides 9,4
persen, Necator americanus dan Ancylostoma duodenale 5 persen dan T.trichiura
2,2 persen pada anak sekolah dasar. Di kota Palu tahun 2011 didapatkan sebesar
31,6 persen pada anak sekolah dasar18.

2.3 Soil Transmitted Helminths (STH)


Diantara nematoda usus ada sejumlah spesies yang penularannya melalui
tanah yaitu disebut dengan penyakit cacingan jenis STH diantaranya yang sering
ditemukan di masyarakat adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing
cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang (Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale). Angka infeksi penyakit cacingan jenis STH terdapat
pada anak yang berusia 5 sampai 15 tahun. Diperkirakan sekitar 400 juta anak
sekolah dasar terinfeksi cacingan jenis STH19.

2.4 Morfologi dan Daur Hidup

2.4.1 Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)


Penularan cacing gelang melalui telur cacing yang terdapat pada feses,
kemudian menempel pada suatu objek yang pada akhirnya disentuh oleh
manusia, lalu tangan manusia yang tidak higienis memasukkan makanan
beserta dengan telur cacing yang menempel pada tangan manusia ke dalam
mulut, menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus
menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung,
kemudian mengikuti aliran darah ke paru-paru. Larva di paru-paru menembus
dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus,
kemudian naik ke trakhea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakhea larva
ini menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Di usus
halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang sampai
cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih dua bulan19.

2.4.2 Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)


Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur
tersebut menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang
sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan tempat yang teduh. Telur matang
ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif. Cara infeksi
langsung bila secara kebetulan hospes menelan telur matang. Larva keluar
melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah menjadi
dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon,
terutama sekum. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai
cacing dewasa betina meletakkan telur kira-kira 30-90 hari19.

2.4.3 Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)


Telur bersama dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari
keluarlah larva rabditiform di tanah. Dalam waktu kira-kira 3 hari larva
rabditiform tumbuh menjadi larva filariform, yang dapat menembus kulit dan
dapat hidup selama 7-8 minggu di tanah19.

2.5 Patofisiologi

2.5.1 Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)


Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-
kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu
makan berkurang, diare atau konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada
anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi.
Efek yang serius terjadi bila cacing-cacing ini menggumpal dalam usus
sehingga terjadi obstruksi usus (ileus)20
.
2.5.2 Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)
Cacing dewasa lebih banyak ditemukan di sekum tetapi dapat juga
berkoloni di dalam usus besar. Cacing ini dapat menyebabkan inflamasi,
infiltrasi dan kehilangan darah (anemia). Pada infeksi yang parah dapat
menyebabkan prolaps rektum dan defisiensi nutrisi20.

2.5.3 Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)


Larva cacing menembus kulit akan menyebabkan reaksi eritematosa.
Larva di paru-paru akan menyebabkan pendarahan, eosinofilia, dan
pneumonia. Kehilangan banyak darah dapat menyebabkan anemia20.

2.6 Gejala Klinis

2.6.1 Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)


Gejala cacingan sering disamarkan oleh penyakit lain. Anak yang
menderita cacingan biasanya lesu, tidak bergairah dan kurang konsentrasi
belajar. Pada anak-anak yang menderita Ascaris lumbricoides perutnya
tampak buncit, perut sering sakit, diare, dan nafsu makan berkurang.
Biasanya anak masih dapat beraktivitas walau sudah mengalami penurunan
kemampuan belajar dan produktivitas. Pemeriksaan tinja sangat diperlukan
untuk ketepatan diagnosis yaitu dengan menemukan telur-telur cacing di
dalam tinja tersebut. Jumlah telur juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk
menentukan beratnya infeksi21.

2.6.2 Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)


Infeksi Trichuris trichiura yang ringan biasanya tidak memberikan
gejala klinis yang jelas atau bahkan tidak tampak sama sekali pada
penderita.Akan tetapi pada penderita terutama anak dengan infeksi trichuris
trichiura yang berat dan menahun menunjukkan gejala-gejala yang jelas
seperti diare yang sering diselingi dengan sindrom disentri, anemia, berat
badan turun, dan kadang disertai prolapsus rektum21.

2.6.3 Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)


Gabaran klinis walaupun tidak khas, tidak cukup mendukung untuk
memastikan untuk dapat membedakan dengan anemia karena defisiensi
makanan atau karena infeksi cacing lainnya. Secara praktis telur cacing
Ancylostoma duodenale tidak dapat dibedakan dengan telur Necator
americanus21. Untuk membedakan kedua spesies ini biasanya dilakukan
teknik pembiakan larva. Larva cacing tambang kemudian bermigrasi ke
bagian kerongkongan dan kemudian tertelan. Larva kemudianMenuju usus
halus dan menjadi dewasa dengan menghisap darah pendeita. Cacing
tambang bertelurdi usus halus yang kemudian dikeluarkan bersama dengan
feses21.

2.7 Faktor Risiko Penyakit Cacingan Jenis STH

a) Iklim
Infeksi cacing dengan keadaan iklim tropis dan subtropis sangat sesuai
untuk perkembangan telur cacing. Suhu optimal untuk telur Ascaris
lumbricoides berkisar 25-30oC22.

b) Jenis Tanah
Infeksi cacinga yang ditularkan oleh tanah sebenarnya memiliki
karakteristik yang ampir sama. Kondisi tanah yang lembap memungkinkan
telur Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura berkembang biak dengan
cepat. Tanah berpasir yang gembur di daerah pedesaan dan pertambangan
sangat sesuai untuk pertumbuhan larva Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale. Kondisi tanah yang kering dan berdebu juga bisa menyebabkan
telur terbawa angin sehingga penularan kecacingan lebih mudah terjadi antara
orang yang satu dengan yang lainnya22.

c) Kondisi Sanitasi Lingkungan


Pembuangan tinja yang tidak layak akan mengakibatkan pencemaran
lingkungan. Kontaminasi ini terjadi pada air, tanah sehingga dapat menjadi
sumber infeksi dan akan mendatangkan bahaya bagi kesehatan. Berbagai
macam kuman penyakit yang penularannya berasal dari tinja dan air seni
manusia melaluai tanah seperti bakteri, virus, dan cacing parasit23.

d) Pengetahuan
Siswa yang memiliki pengetahuan baik dapat menerapkan perilaku
hidup bersih dan sehat dengan benar. Anak sekolah dengan pengetahuan yang
kurang baik memiliki risiko terinfeksi kecacingan lebih besar daripada anak
sekolah dengan pengetahuan yang baik. Disamping itu, pengetahuan yang baik
pada ibu juga berpengaruh terhadap kondisi lingkungan rumah sehingga
terjaga kebersihan lingkungan dan kesehatan keluarganya. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang menyebutkan risiko kecacingan akan lebih rendah jika
ibu memiliki tingkat pengetahuan yang baik23.

e) Kebiasaan Mencuci Tangan


Cuci tangan menggunakan sabun dengan benar merupakan salah satu
indikator perilaku hidup bersih dan sehat. Perilaku hidup bersih dan sehat ini
perlu diperhatikan karena aktivitas anak sekolah dasar yang lebih banyak
bermain di luar akan berisiko lebih tinggi untuk terkena kecacingan24.

f) Kebersihan Memotong Kuku


Kebersihan perorangan sangat penting untuk pencegahan dari berbagai
macam penyakit. Memotong kuku merupakan kegiatan dalam upaya untuk
pencegahan masuknya penularan cacing dari tangan ke mulut. Kuku
sebaiknya dipotong pendek bersih karena kondisi kuku tidak pendek bersih
memiliki risiko lebih besar untuk terinfeksi kecacingan. Hal ini disebabkan
karena jari tangan yang kotor akan membawa telur cacing masuk ke mulut
melalui makanan24.

g) Ketersediaan Jamban Beserta Kebersihannya


Penggunaan jamban keluarga merupakan salah satu dari
penanggulangan penyebaran kecacingan. Terjadinya infeksi baru dan infeksi
berulang banyak disebabkan oleh tercemarnya tanah oleh tinja penderita.
Anak dengan kebiasaan defekasi di kebun atau halaman berisiko 2,9 kali
lebih besar dibanding anak dengan kebiasaan defekasi di WC/jamban25.

h) Ketersediaan Air Bersih


Air bersih merupakan kebutuhan utama manusia untuk mencuci
pakaian dan untuk konsumsi air minum. Air yang kotor dapat mengandung
banyak parasit salah satunya adalah telur maupun larva cacing25.

i) Penggunaan Alas Kaki


Penggunaan alas kaki tidak hanya sekedar melindungi kaki dari bahaya
benda tajam akan tetapi juga untuk mencegah masuknya telur maupun larva
cacing ke dalam tubuh manusia25.

2.8 Diagnosis Penyakit Cacingan Jenis STH

Pada kasus infeksi cacing ringan, tanpa gejala atau kadang tidak
menimbulkan gejala yang mencolok. Gejala yang dapat dikenali adalah lesu, tak
bergairah, suka mengantuk dan badan kurus meski porsi makan melimpah26.
Untuk memberi diagnosis pasti pada pasien, dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan feses (tinja). Pemeriksaan feses adalah salah satu
pemeriksaan laboratorium yang telah lama dikenal untuk membantu klinisi
menegakkan diagnosis suatu penyakit. Meskipun saat ini telah berkembang
berbagai pemeriksaan laboratorium yang modern, dalam beberapa kasus
pemeriksaan feses masih diperlukan dan tidak dapat digantikan oleh pemeriksaan
lain. Pengetahuan mengenai berbagai macam penyakit yang memerlukan
pemeriksaan feses, cara pengumpulan sampel yang benar serta pemeriksan dan
interpretasi yang benar akan menentukan ketepatan diagnosis yang dilakukan oleh
klinisi26.
Pemeriksaan feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur
cacing ataupun larva infektif. Pemeriksaan ini juga dimaksudkan untuk
mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang di periksa
fesesnya. Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan metode kualitatif dan
kuantitatif. Secara kualitatif dilakukan dengan metode natif, metode apung,
metode Harada Mori, dan Metode Kato. Metode ini digunakan untuk mengetahui
jenis parasit usus, sedangkan secara kuantitatif dilakukan dengan metode kato
untuk menentukan jumlah cacing yang ada di dalam usus. Prinsip dasar untuk
diagnosis infeksi parasit adalah riwayat yang cermat dari pasien. Teknik
diagnostik merupakan salah satu aspek yang penting untuk mengetahui adanya
infeksi penyakit cacing, yang dapat ditegakkan dengan cara melacak dan
mengenal stadium parasit yang ditemukan27.

2.9 Pathway Dan Masalah Keperawatan


Dasar data pengkajian menurut Doenges (1999) adalah :
1. Aktifitas dan Istirahat
Gejala: Kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah, insomnia, tidak
tidur semalam karena diare, merasa gelisah dan ansietas.
2. Sirkulasi
Tanda : Tachicardia (respon terhadap demam, dehidrasi, proses
inflamasi dan nyeri.)
3. Nutrisi / Cairan
Gejala: Mual, muntah, anoreksia.
Tanda : Hipoglikemia, perut buncit (Pot Belly), dehidrasi, berat badan
turun.
4. Eliminasi
Tanda : diare, penurunan haluaran urine.
5. Nyeri
Gejala : Nyeri epigastrik, nyeri daerah pusat, colik.
6. Integritas Ego
Gejala : Ansietas.
Tanda : Gelisah, ketakutan.
7. Keamanan
Tanda : Kulit kemerahan, kering, panas, suhu meningkat.

3.0 Fokus Intervensi


1. Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan sekunder terhadap
diare. (Carpenito, 2000: 104)
Tujuan : Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit dengan
kriteria tidak ditemukannya tanda-tanda dehidrasi dan klien mampu
memperlihatkan tanda-tanda rehidrasi dan pemeliharaan hidrasi yang
adekuat.
Intervensi :
a. Monitor intake dan out put cairan.
b. Observasi tanda-tanda dehidrasi (hipertermi, turgor kulit turun,
membran mukosa kering).
c. Berikan oral rehidrasi solution sedikit demi sedikit membantu hidrasi
yang adekuat.
d. Observsasi tanda-tanda dehidrasi.
e. Observasi pemberian cairan intra vena.

2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan spasme otot polos


sekunder akibat migrasi parasit di lambung.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri akan hilang atau
berkurang dengan kriteria klien tidak menunjukkan kesakitan.
Intervensi :
a. Kaji tingkat dan karakteristik nyeri.
b. Beri kompres hangat di perut.
c. Ajarkan metoda distraksi selama nyeri akut.
d. Atur posisi yang nyaman yang dapat mengurangi nyeri.
e. Kolaburasi untuk pemberian analgesik.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia dan muntah (Carpenito, 2000: 260).
Tujuan : Nutrisi terpenuhi dengan kriteria klien menunjukkan nafsu makan
meningkat, berat badan sesuai usia.
Intervensi:
a. Beri diit makanan yang adekuat, nutrisi yang bergizi
b. Timbang BB setiap hari.
c. Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat.
d. Pertahankan kebersihan mulut yang baik.
4. Hipertermi berhubungan dengan penurunan sirkulasi sekunderterhadap
dehidrasi (Carpenito, 2000 ; 21)
Tujuan : Mempertahankan normotermi yang ditunjukkan dengan tidak
terdapatnya tanda-tanda dan gejala hipertermia, seperti tachicardia, kulit
kemerahan, suhu dan tekanan darah normal.
Intervensi :
a. Ajarkan klien dan keluarga pentingnya masukan adekuat.
b. Monitor intake dan output cairan
c. Monitor suhu dan tanda vital
d. Lakukan kompres.

5. Perubahan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi antara dermal –


epidermal sekunder akibat cacing gelang (Carpenito, 2000 ; 300)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan gangguan integritas kulit
teratasi dengan kriteria tidak terjadi lecet dan kemerahan.
Intervensi :
a. Beri bedak antiseptik.
b. Anjurkan untuk menjaga kebersihan diri / personal hygiene.
c. Anjurkan untuk tidak menggaruk .
d. Anjurkan untuk menggunakan pakaian yang meresap keringat

Anda mungkin juga menyukai