KELOMPOK 1B
1. HABIBATUL M 30901800073
2. HAZNA IZDIAR A. 30901800075
3. HENDRY SETIAWAN 30901800076
4. HENITA F 30901800077
5. HERA MULYANI 30901800078
6. HESTI ROSITA 30901800079
7. IDA ROKHAYATI 30901800080
8. IKA FEBRIANA 30901800081
9. IKA SAFITRI N. M 30901800082
10. IKHDA TSANI N 30901800083
11. IMRUCHA SILVIA O. 30901800084
12. INAYATUL ULYA 30901800085
A. LATAR BELAKANG
Penyakit kecacingan masih sering dijumpai di seluruh wilayah Indonesia Penyakit
yang disebabkan oleh infeksi cacing ini tergolong penyakit yang kurang mendapat perhatian,
sebab masih sering dianggap sebagai penyakit yang tidak menimbulkan wabah maupun
kematian. Walaupun demikian penyakit kecacingan sebenarnya cukup membuat penderitanya
mengalam kerugian, sebab secara perlahan adanya infestasi cacing di dalam tubu penderita
akan menyebabkan gangguan pada kesehatan mulai yang ringan sedang sampai berat yang
ditunjukkan sebagai manifestasi klinis diantaranya berkurangnya nafsu makan, rasa tidak
enak di perut, gatal-gatal, alergi, anemia, kekurangan gizi, pneumonitis dan lain-lain.
(Palgunadi, 2010)
Penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah atau Soil transmitted helminth
(STH) yang sering dijumpai pada anak usia sekolah dasar yaitu dari jenis Ascaris
lumbricoides (cacing gelang), Trichuris trichiura (cacing cambuk) dan Hookworm
(Ancylostoma duodenale dan Necator americanus). (Rahmayanti, dkk. 2014)
Berdasarkan data yang dilaporkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun
2013, terdapat 6 wilayah endemik di dunia yang menjadi prioritas untuk pengobatan infeksi
cacing pada anak. Asia Tenggara menempati prioritas pertama dengan persentase 42%, Afrika
menempati prioritas kedua dengan persentase 32%, Wilayah Pasific Barat menempati
prioritas ke tiga dengan persentase 11%, wilayah Mediterania Timur menempati prioritas ke
empat dengan persentase 9%, Amerika menempati proritas ke lima dengan persentase 5%,
dan Eropa menempati prioritas ke enam dengan persentase 1%. Asia Tenggara merupakan
wilayah dengan persentase tertinggi di dunia akan kebutuhan pengobatan infeksi cacingan
pada anak. Di Indonesia sendiri prevalensi kecacingan di beberapa kabupaten dan kota pada
tahun 2012 menunjukkan angka diatas 20% dengan prevalensi tertinggi di salah satu
kabupaten mencapai 76,67% (Direktorat Jenderal PP&PL Kemenkes RI, 2013).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Kendari jumlah penderita penyakit
kecacingan tahun 2015 berjumlah 291 orang dan pada tahun 2018 data mengenai pemberian
obat cacing khususnya di Abeli sebanyak 3571 orang. (Dinas Kesehatan Kota Kendari, 2019).
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rahmayanti, dkk. (2014) Hubungan
Pengetahuan, Sikap Dan Tindakan Dengan Infeksi Soil transmitted helminth (STH) Pada
Murid Kelas 1,2 dan 3 SDN Pertiwi Lamgarot Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar,
hasil penelitian menunjukkan bahwa 32 responden positif terinfeksi Soil transmitted helminth
(STH) dengan tingkat prevalensi 33,68%. Berdasarkan observasi yang telah dilakukan di
SDN 5 Kendari yang murid kelas 3 berjumlah 17 orang, kelas 4 berjumlah 14 orang dan kelas
5 berjumlah 20 orang merupakan sekolah dasar yang berada di jalan Poros Moramo
Kelurahan Sambuli, yang sebelumnya tidak pernah dilakukan penelitian mengenai infeksi
Soil transmitted helminth (STH) pada murid SDN 5 Kendari. Selain itu, masih ditemukan
kebiasaan yang memprihatinkan seperti bermain ditanah, sebagian siswa tidak menggunakan
alas kaki serta kuku-kuku yang tidak dipotong dan kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum
makan dan sesudah bermain ditanah serta lingkungan sekolah yang tampak kurang bersih.
Sehingga dengan kondisi tersebut dapat menjadi factor penyebab resiko terjadinya kecacingan
pada anak dimungkinkan dapat terjadi. Dari uraian latar belakang diatas penulis tertarik untuk
melakukan penelitian “Hubungan Kebiasaan Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) dengan
Infeksi Soil transmitted helminth (STH) Pada Murid SDN 5 Kendari?”
B. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah yaitu apakah ada hubungan antara kebiasaan perilaku hidup
bersih sehat (kebiasaan mencuci tangan, kebersihan kuku, penggunaan alas kaki,) dengan
infeksi Soil transmitted helminth (STH) pada murid SDN 5 Kendari?”
C. Tujuan Penelitian
1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan kebiasaan perilaku hidup bersih sehat (PHBS)
dengan infeksi Soil transmitted helminth (STH) pada murid SDN 5 Kendari.
2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan mencuci tangan yang benar dengan
kejadian kecacingan.
b. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan menjaga kebersihan kuku dengan
kejadian kecacingan.
c. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan menggunakan alas kaki dengan
kejadian kecacingan.
D. Manfaat Penelitian
1 Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan
merupakan bahan informasi yang dapat digunakan dalam penelitian
selanjutnya.
b. Merupakan pengalaman berharga dan tambahan wawasan bagi peneliti
dalam membuat penelitian ilmiah dimana peneliti dapat menerapkan dan
memanfaatkan ilmu yang didapat selama pendidikan, serta menambah
pengetahuan peneliti tentang Hubungan Kebiasaan Perilaku Hidup Bersih
Sehat (PHBS) dengan Infeksi Soil transmitted helminth (STH) Pada Murid
Sekolah Dasar (SD).
2 Manfaat Praktis
a. Tempat Penelitian
Sebagai bahan masukan bagi pihak sekolah (Kepala Sekolah dan Staf
pengajar) agar bekerja sama dalam memperhatikan kebersihan lingkungan
serta memberikan informasi bagi para siswa tentang Hubungan Kebiasaan
Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) dengan Infeksi Soil transmitted
helminth (STH) Pada Murid Sekolah Dasar (SD).
b. Bagi Institusi
Sebagai masukan bagi institusi sebagai pengembangan ilmu pengetahuan
dan dapat digunakan sebagai bahan pustaka dan perbandingan untuk
melakukan penelitian selanjutnya.
c. Bagi Peneliti Lain
Sebagai referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi
Iklim merupakan faktor utama penyebaran infeksi STH. Maka dari itu STH
merupakan salah satu penyakit endemik. Iklim meliputi kelembaban udara,
temperatur, cahaya, angin, debu, dan juga kelembaban tanah yang bergantung
pada curah hujan merupakan faktor yang mempengaruhi berlangsungnya
penyebaran penyakit cacingan14.
Indonesia sebagai negara berkembang, dan merupakan daerah iklim tropik
merupakan tempat ideal bagi perkembangan telur cacing. Hasil survei pada anak
sekolah tahun 2013 menyatakan prevalensi kecacingan di Indonesia menurun dan
telah mencapai angka prevalensi sebesar 28,12 persen. Di wilayah-wilayah
tertentu yang sanitasinya buruk prevalensinya bisa mencapai 80 persen15.
Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan di daerah Bali selama
kurun waktu 2003-2007 tergolong tinggi yaitu berkisar antara 40,94 persen
sampai 92,4 persen pada anak sekolah dasar. Prevalensi penyakit cacingan di Bali
lebih banyak terjadi di dataran tinggi dengan kondisi wilayah yang basah dimana
ditemukan A.lumbricoide 87.6 persen, T.trichiura 82.4 persen, Necator
americanus dan Ancylostoma duodenale 44.5 persen, S.stercoralis 3.3 persen16. Di
Kabupaten Bima tahun 2006 ditemukan Ascaris lumbricoides 39 persen,
Trichuris trichiura 24 persen, dan Hookworm 5 persen pada anak sekolah dasar17.
Di Kabupaten Bengkulu tahun 2010 didapatkan prevalensi A.lumbricoides 9,4
persen, Necator americanus dan Ancylostoma duodenale 5 persen dan T.trichiura
2,2 persen pada anak sekolah dasar. Di kota Palu tahun 2011 didapatkan sebesar
31,6 persen pada anak sekolah dasar18.
2.5 Patofisiologi
a) Iklim
Infeksi cacing dengan keadaan iklim tropis dan subtropis sangat sesuai
untuk perkembangan telur cacing. Suhu optimal untuk telur Ascaris
lumbricoides berkisar 25-30oC22.
b) Jenis Tanah
Infeksi cacinga yang ditularkan oleh tanah sebenarnya memiliki
karakteristik yang ampir sama. Kondisi tanah yang lembap memungkinkan
telur Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura berkembang biak dengan
cepat. Tanah berpasir yang gembur di daerah pedesaan dan pertambangan
sangat sesuai untuk pertumbuhan larva Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale. Kondisi tanah yang kering dan berdebu juga bisa menyebabkan
telur terbawa angin sehingga penularan kecacingan lebih mudah terjadi antara
orang yang satu dengan yang lainnya22.
d) Pengetahuan
Siswa yang memiliki pengetahuan baik dapat menerapkan perilaku
hidup bersih dan sehat dengan benar. Anak sekolah dengan pengetahuan yang
kurang baik memiliki risiko terinfeksi kecacingan lebih besar daripada anak
sekolah dengan pengetahuan yang baik. Disamping itu, pengetahuan yang baik
pada ibu juga berpengaruh terhadap kondisi lingkungan rumah sehingga
terjaga kebersihan lingkungan dan kesehatan keluarganya. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang menyebutkan risiko kecacingan akan lebih rendah jika
ibu memiliki tingkat pengetahuan yang baik23.
Pada kasus infeksi cacing ringan, tanpa gejala atau kadang tidak
menimbulkan gejala yang mencolok. Gejala yang dapat dikenali adalah lesu, tak
bergairah, suka mengantuk dan badan kurus meski porsi makan melimpah26.
Untuk memberi diagnosis pasti pada pasien, dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan feses (tinja). Pemeriksaan feses adalah salah satu
pemeriksaan laboratorium yang telah lama dikenal untuk membantu klinisi
menegakkan diagnosis suatu penyakit. Meskipun saat ini telah berkembang
berbagai pemeriksaan laboratorium yang modern, dalam beberapa kasus
pemeriksaan feses masih diperlukan dan tidak dapat digantikan oleh pemeriksaan
lain. Pengetahuan mengenai berbagai macam penyakit yang memerlukan
pemeriksaan feses, cara pengumpulan sampel yang benar serta pemeriksan dan
interpretasi yang benar akan menentukan ketepatan diagnosis yang dilakukan oleh
klinisi26.
Pemeriksaan feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur
cacing ataupun larva infektif. Pemeriksaan ini juga dimaksudkan untuk
mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang di periksa
fesesnya. Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan metode kualitatif dan
kuantitatif. Secara kualitatif dilakukan dengan metode natif, metode apung,
metode Harada Mori, dan Metode Kato. Metode ini digunakan untuk mengetahui
jenis parasit usus, sedangkan secara kuantitatif dilakukan dengan metode kato
untuk menentukan jumlah cacing yang ada di dalam usus. Prinsip dasar untuk
diagnosis infeksi parasit adalah riwayat yang cermat dari pasien. Teknik
diagnostik merupakan salah satu aspek yang penting untuk mengetahui adanya
infeksi penyakit cacing, yang dapat ditegakkan dengan cara melacak dan
mengenal stadium parasit yang ditemukan27.