Anda di halaman 1dari 9

TUGAS LAPORAN PRATIKUM PARASIT

BLOK XI

KELOMPOK 1

Dosen Pembimbing : dr. Ahmad Ghiffari, M. Kes.


Indri Ramayanti, S.Si., M.Sc

Anggota :
1. Permata Puspasyari 702017010
2. Muhammad Ismailsyah 702019004
3. Fadhil Muhammad Alhimni 702019016
4. Lutfiah Hafidzhah 702019019
5. Mutiara Aswalita Wijaya 702019021
6. Arini Alfa Hidayah 702019038
7. Muhammad Fuad Arifin F. 702019046
8. Rizqi Athalia 702019072
9. Elsya Hafidza 702019081
10. Fathira Asyarifa Jabar 702019091
11. Novi Widiastuti 702019105

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2021
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim…
Assalamu’alaikum wr.wb.
Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena atas ridho,rahmat, dan
karunia-Nya lah kami dapat membuat Laporan Pratikum Parasit, shalawat serta salam
tak lupa kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Tak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada dr. Ahmad Ghiffari, M. Kes.
karena atas bimbingan Beliau Alhamdulillah akhirnya kami dapat membuat laporan ini
dengan baik dan benar. Dan kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada
seluruh pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan laporan ini karena atas
kerja sama yang terjalin dengan baik inilah kami dapat menyelesaikan laporan ini.
Laporan ini kami buat dengan tujuan agar setiap orang yang melihat dan
membacanya dapat mengerti akan maksud dan tujuan dari laporan yang di buat ini.
Akhir kata kami berharap laporan yang telah kami buat ini dapat berguna
nantinya bagi setiap orang yang membacanya, Aamiin Ya Rabbal’alamiin.
Wassalamu’alaikum wr.wb.

Palembang, 11 April 2021

Penulis
EPIDEMIOLOGI KECACINGAN DI DUNIA, INDONESIA DAN
SUMATERA SELATAN

Penyakit kecacingan adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing
yang masuk dan berkembang biak di dalam tubuh manusia. Infeksi cacing tersebut
melalui fekal oral, dapat masuk melalui tinja yang mengandung telur cacing, makanan
dan minuman yang terkontaminasi, tangan yang kotor dan saat makan tidak mencuci
tangan terlebih dahulu. Seseorang dapat dikatakan menderita kecacingan jika telah
teridentifikasi minimal satu jenis telur cacing yang terdapat pada feses yang diperiksa.
Kecacingan ini umumnya diderita oleh anak usia prasekolah dan masa sekolah karena di
usia tersebut anak-anak banyak melakukan aktivitas diluar rumah. Personal hygiene dan
sanitasi serta kebiasaan yang buruk seperti tidak memakai alas kaki sehingga kontak
langsung dengan tanah dan jarang mencuci tangan merupakan faktor penyebab
terjadinya infeksi kecacingan pada anak (Ramayanti, 2019).
Kecacingan adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit cacing.
Penyakit ini banyak terjadi di dunia, termasuk di Indonesia. Sampai saat ini penyakit
kecacingan masih tetap merupakan suatu masalah karena kondisi sosial dan ekonomi
dibeberapa bagian dunia. Pada umumnya, cacing jarang menimbulkan penyakit serius
tetapi dapat menyebabkan gangguan kesehatan kronis (Mascarini- Serra, 2011;
Hadidjaja, 2011).
Penyebab penyakit kecacingan termasuk golongan cacing yang ditularkan
melalui tanah atau disebut juga Soil Transmitted Helminths. STH menginfeksi manusia
dalam bentuk infektif yang ditemukan dan berkembang di tanah. Pencemaran tanah
merupakan penyebab terjadinya transmisi telur cacing dari tanah kepada manusia
melalui tangan atau kuku yang mengandung telur cacing, lalu masuk ke mulut bersama
makanan. Tinggi rendahnya frekuensi tingkat kecacingan berhubungan dengan
kebersihan diri dan sanitasi lingkungan yang menjadi sumber infeksi. Faktor penunjang
keberadaan cacing antara lain keadaan alam serta iklim, pendidikan, kepadatan
penduduk serta masih berkembangnya kebiasaan yang kurang baik (Zulkoni, 2010).
Secara global, 1,7 miliar orang terinfeksi satu atau lebih Soil-transmitted
helminths (STH). Menurut survei tahun 2003, prevalensi global A. lumbricoides lebih
dari 1,2 miliar, di mana > 50% kasus terlihat di Cina. Prevalensi T. trichiura adalah 795
juta, sedangkan prevalensi cacing tambang diperkirakan 740 juta. Afrika Sub-Sahara
dan Cina menyumbang hampir 50% dari prevalensi cacing tambang. Survei 2010 oleh
Pullan et al. menunjukkan tingkat prevalensi A. lumbricoides adalah 819 juta dan T.
trichiura adalah 464 juta dan cacing tambang adalah 439 juta di mana > 50% kasus
terlihat di Asia Selatan dan Afrika Sub-Sahara. Perbedaan tingkat prevalensi dapat
disebabkan oleh berbagai alasan seperti tinjauan tahun 2010 hanya menggunakan atlas
global data infeksi cacing dan menilai hanya populasi yang berisiko tertular infeksi dan
bukan seluruh populasi umum. Berdasarkan survei Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia (2015), prevalensi cacingan pada semua umur penduduk Indonesia berkisar
antara 40-60%. Mayoritas cacingan pada anak di seluruh Indonesia berada pada tingkat
yang sangat tinggi yaitu 30-90% (Depkes, 2015). Sebanyak 109 kejadian infeksi STH
ditemukan di Kabupaten Jember pada tahun 2016 (Dinkes Jember, 2016).
Prevalensi STH lebih banyak terjadi di perdesaan jika dibandingkan dengan
perkotaan. Sebuah studi berbasis komunitas dari Lucknow, India, menunjukkan bahwa
tingkat infeksi adalah 20% di daerah pedesaan dibandingkan dengan 5% di daerah
perkotaan, di mana A. lumbricoides menyumbang 11,4% dan cacing tambang
menyumbang 2,4%. Sebuah studi terbaru yang dilakukan di Vellore menunjukkan
prevalensi STH 9% dan 4,8% di daerah pedesaan dan perkotaan. Namun, tingkat
prevalensi T. trichiura (2,2%) dan A. lumbricoides (3,3%) lebih tinggi di perkotaan dan
prevalensi cacing tambang lebih banyak di daerah pedesaan (8,4%), dan mungkin
karena status sosial ekonomi, sanitasi tindakan, dan pasokan air yang tidak tepat. Meta-
analisis yang dilakukan di India juga menunjukkan bahwa prevalensi STH lebih tinggi
di daerah pedesaan dibandingkan dengan daerah perkotaan karena tindakan sanitasi
yang buruk, pasokan air yang tidak memadai, dan kepadatan penduduk yang berlebihan.
Asia menyumbang 67% dari prevalensi global STH dan di Asia; prevalensi
tertinggi terlihat di India (21%) diikuti oleh China (18%). Secara keseluruhan,
prevalensi STH menurun menjadi 30% pada tahun 2010 dari 38,6% pada tahun 1990.
Indonesia merupakan Negara dengan iklim tropis yang sebagian besar
penduduknya bermata pencaharian di sector pertanian dan perkebunan. Wilayah yang
memiliki banyak perkebunan dan lahan pertanian merupakan tempat yang sangat cocok
untuk berkembangnya Soil Transmitted Helminths (STH) sehingga memungkinkan
terjadinya infeksi cacing jika tidak di barengi dengan personal hygiene yang baik.
Prevalensi kecacingan di Indonesia sendiri masih sangat tinggi, setidaknya 60% anak-
anak tercatat menderita kecacingan. Selain personal hygiene dan sanitasi yang buruk,
tingkat pengetahuan dan pendidikan, social dan ekonomi juga mempengaruhi angka
kejadian kecacingan (Limbanadi, 2013).
Angka kejadian kecacingan di Indonesia yang masih terbilang tinggi ini
menunjukan hasil yang bervasiasi di setiap daerah. Pemeriksaan tinja yang dilakukan
Sub Dit Diare menyatakan jumlah kecacingan dan infeksi saluran pencernaan pada
tahun 2002-2009 yang dilakukan pada 398 SD/MI di 33 provinsi di Indonesia,
menunjukan hasil rata-rata prevalensi kecacingan sebesar 31,8%. Data survei
kecacingan menurut Yayasan Kusuma Buana (YKB) menunjukan prevalensi kecacingan
di Jakarta Timur adalah 2,5%, sedangkan di Jakarta Utara sebesar 7,8%. Prevalensi
kecacingan di Jawa Timur pada tahun 2008-2010 adalah 7,95% dan di Kabupaten
Sleman dan DIY prevalensinya cukup tinggi yaitu 21,78%, serta di Kabupaten Karang
Asem sebanyak 51,27%. Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Kesehatan
Republik Indonesia tahun 2009 mengenai rata-rata prevalensi infeksi Soil Transmitted
Helminths (STH) pada tahun 2006 yang tersebar di 27 provinsi adalah 42,8% dengan
infeksi terbanyak disebabkan oleh Trichuris trichiura (24,2%), Ascaris lumbricoides
(17,6%), dan cacing tambang (1%). (Halleyantoro, 2019).
Infeksi cacing tambang dan cacing cambuk juga menyebabkan pasien menjadi
anemia, mempengaruhi status gizi pasien. Anemia ini bisa memperburuk gejala anemia
sebelumnya karena efek samping obat anti tuberkulosis. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa penderita TB dengan anemia meningkatkan risiko kegagalan
pengobatan, kekambuhan TB, dan kematian. Beberapa kasus juga menunjukkan bahwa
anemia berhubungan erat dengan peningkatan mortalitas pasien TB (Isanaka et al.,
2012). Infeksi cacing ini juga dapat menurunkan kondisi penderitanya, kesehatan, gizi,
kecerdasan, dan produktivitas yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas penyakit
sumber daya manusia dan menimbulkan banyak kerugian (Sumanto, 2010).
Prevalensi kejadian kecacingan di Sumatera Selatan sendiri memiliki beberapa
hasil yang bervariasi sesuai dengan daerah yang di teliti. Penelitian yang dilakukan pada
siswa sekolah dasar di Desa Sukarami Kecamatan Pemulutan Kabupaten Ogan Ilir
ditemukan sebanyak 10% siswa yang terinfeksi cacing, dengan 7% pada anak laki-laki
dan 3% pada anak perempuan. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan penelitian
yang dilakukan oleh Nadya (2016) di SDN 129 Kecamatan Sematang Borang Kota
Palembang, yaitu sebesar 25,5% yang terinfeksi cacing dengan perbandingan 15,5%
pada anak laki-laki dan 10% pada anak perempuan. Penelitian lain yang dilakukan
tentang infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) pada siswa SDN 200 Kelurahan
Kemasrindo Kecamatan Kertapati Kota Palembang sebesar 27,1% dengan 29 subjek
memiliki rincian 6 subjek terinfeksi Ascaris lumbricoides (20,7%) dan 23 subjek
terinfeksi Trichuris trichiura (79,3%) dalam hal ini subjek paling banyak berjenis
kelamin laki-laki (Annisa, 2018).
Penelitian lainnya yang dilakukan pada tahun 2019 lalu di Kecamatan Gandus,
Kota Palembang dengan 89 sampel menunjukan hasil bahwa prevalensi kecacingan
pada murid SDN 149 Kecamatan Gandus Kota Palembang adalah 29,2%. Dari 26
sampel positif, maka ditemukan 21 sampel (80,8%) mengandung cacing Ascaris
lumbricoides, 1 sampel (3,8%) mengandung cacing Trichuris trichiura, dan 4 sampel
(15,4%) mengandung cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus) (Ramayanti, 2019).
Meskipun prevalensinya tinggi, STH dianggap sebagai penyakit tropis
terabaikan karena tiga ciri utama, yakni :
1. Lebih lazim di negara-negara terbelakang
2. Penyakit kronis bukanlah penyakit akut
3. Pengaruh infeksi ini terhadap beban ekonomi dan pendidikan tidak dihitung.
DAFTAR PUSTAKA

Annisa, S., Dalilah, D., & Anwar, C. 2018. Hubungan Infeksi Cacing Soil Transmitted
Helminths (STH) dengan Status Gizi pada Siswa Sekolah Dasar Negeri 200
Kelurahan Kemasrindo Kecamatan Kertapati Kota Palembang. Majalah
Kedokteran Sriwijaya, 50(2), 92–104.

Dejon-Agobé, J. C., Honkpehedji, Y. J., Zinsou, J. F., Edoa, J. R., Adégbitè, B. R.,
Mangaboula, A., Agnandji, S. T., Mombo-Ngoma, G., Ramharter, M., Kremsner,
P. G., Lell, B., Grobusch, M. P., & Adegnika, A. A. 2020. Epidemiology of
schistosomiasis and soil-transmitted helminth coinfections among schoolchildren
living in Lambaréné, Gabon. American Journal of Tropical Medicine and
Hygiene, 103(1), 325–333. https://doi.org/10.4269/ajtmh.19-0835

Dewi N, L. D. (2017). Hubungan perilaku higienitas diri dan sanitasi sekolah dengan
infeksi Soil-transmitted helminths pada siswa kelas III-VI Sekolah Dasar Negeri
No. 5 Delod Peken Tabanan Tahun 2014. E-Jurnal Medika, 6(5), 1–4.

Halleyantoro, R., Riansari, A., & Dewi, D. P. 2019. Insidensi Dan Analisis Faktor
Risiko Infeksi Cacing Tambang Pada Siswa Sekolah Dasar Di Grobogan, Jawa
Tengah. Jurnal Kedokteran RAFLESIA, 5(1), 18–27.
https://doi.org/10.33369/juke.v5i1.8927

Id, S. S. R. A., Puthupalayam, S., Id, K., Id, E. H., Palanisamy, G., Farzana, J., Manuel,
M., Abraham, D., Laxmanan, S., Aruldas, K., Id, A. R., Id, D. S. K., Id, E. O.,
Pullan, R. L., Galagan, S. R., & Kristjana, A. (2021). Epidemiology of soil
transmitted helminths and risk analysis of hookworm infections in the community :
Results from the DeWorm3 Trial in southern India. 1–24.
https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0009338

Limbanadi, E. M., Rattu, J. A. M., & Pitoi, M. 2013. Hubungan Antara Status Ekonomi,
Tingkat Pendidikan Dan Pengetahuan Ibu Tentang Penyakit Kecacingan Dengan
Infestasi Cacing Pada Siswa Kelas Iv, V Dan Vi Di Sd Negeri 47 Kota Manado.
Universitas Sam Ratulangi, 1–6.
Miller, L. A., Colby, K., Manning, S. E., Hoenig, D., McEvoy, E., Montgomery, S.,
Mathison, B., De Almeida, M., Bishop, H., Dasilva, A., & Sears, S. (2015).
Ascariasis in humans and pigs on small-scale Farms, Maine, USA, 2010–2013.
Emerging Infectious Diseases, 21(2), 332–334.
https://doi.org/10.3201/eid2102.140048

Prasetyo, H. N., & Prasetyo, H. (2018). Prevalence of Intestinal Helminthiasis in


Children At North Keputran Surabaya At 2017. Journal Of Vocational Health
Studies, 1(3), 117. https://doi.org/10.20473/jvhs.v1.i3.2018.117-120

Puteri P, P., Nuryanto, N., & Candra, A. (2019). Hubungan Kejadian Kecacingan
Terhadap Anemia Dan Kemampuan Kognitif Pada Anak Sekolah Dasar Di
Kelurahan Bandarharjo, Semarang. Journal of Nutrition College, 8(2), 101.
https://doi.org/10.14710/jnc.v8i2.23821

Ramayanti, I., Ghufron, J. Z., & Lindri, S. Y. 2021. Prevalensi Soil Transmitted
Helmints (Sth) Pada Murid Sd Negeri 149 Di Kecamatan Gandus Kota
Palembang. Syifa’ MEDIKA: Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan, 11(2)

Samuel, F., Demsew, A., Alem, Y., & Hailesilassie, Y. 2017. Soil transmitted
Helminthiasis and associated risk factors among elementary school children in
ambo town, western Ethiopia. BMC Public Health, 17(1), 1–7.
https://doi.org/10.1186/s12889-017-4809-3

Sari, M. P., Nathasaria, T., Majawati, E. S., & Pangaribuan, H. U. 2020. Soil-
Transmitted Helminth Infections, Anemia, and Undernutrition Among School-
Children in An Elementary School in North Jakarta, Indonesia. Majalah
Kedokteran Bandung, 52(4). https://doi.org/10.15395/mkb.v52n4.2137

Sigalingging, G., Selli Dosriani Sitopu, & Dita Wiranti Daeli. (2019). Pengetahuan
Tentang Cacingan Dan Upaya Pencegahan Kecacinga. Jurnal Darma Agung
Husada, 6(2), 96–104.
Weldesenbet, H., Worku, A., & Shumbej, T. 2019. Prevalence, infection intensity and
associated factors of soil transmitted helminths among primary school children in
Gurage zone, South Central Ethiopia: A cross-sectional study design. BMC
Research Notes, 12(1), 10–15. https://doi.org/10.1186/s13104-019-4254-8

Anda mungkin juga menyukai