Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Infeksi kecacingan yang ditularkan melalui tanah (Soil Transmitted

Helminths/STH) merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi

problema kesehatan masyarakat di dunia. Penyakit ini tergolong kelompok neglected

disease yaitu jenis infeksi yang kurang mendapat perhatian karena bersifat kronis

tanpa menimbulkan gejala klinis yang jelas serta dampak yang ditimbulkan dalam

jangka waktu panjang.

Spesies utama cacing yang ditularkan melalui tanah yang biasa menginfeksi

manusia adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris

trichiura), dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale).

Ketiga spesies ini dapat mengakibatkan terjadinya anemia, gangguan penyerapan gizi,

penurunan tingkat intelegensia, dan gangguan tumbuh kembang anak. Apabila terjadi

infeksi secara terus menerus dalam jangka waktu yang panjang akan dapat

menimbulkan penurunan kualitas sumber daya manusia.

World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 1,5 milyar atau

24% penduduk didunia terinfeksi STH. Infeksi tersebut tersebar luas di daerah tropis

dan subtropis. Angka infeksinya tinggi, tetapi intensitas infeksinya (jumlah cacing

dalam perut) berbeda. Diperkirakan lebih dari 270 juta anak usia prasekolah dan lebih

dari 600 juta anak usia sekolah terinfeksi cacing usus STH, dimana 300 juta

diantaranya menderita infeksi berat dengan angka kematian mencapai 150 ribu setiap

tahunnya (WHO : Soil Transmitted Helmints Infection, 2015). Sedangkan menurut

data yang dilaporkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2012, terdapat

1
2

6 wilayah endemik di dunia yang menjadi prioritas untuk pengobatan infeksi cacing

pada anak. Asia Tenggara menempati prioritas pertama dengan persentase 40%. Di

Asia Tenggara, infeksi cacing STH mencapai 500 juta orang dan 8 negara

dikategorikan sebagai endemis termasuk di Indonesia (WHO, 2012).

Iklim Indonesia yang tropik dan posisi geografis dengan temperatur dan

kelembaban udara yang tinggi menjadikan lingkungan Indonesia sebagai lingkungan

yang sesuai untuk tempat hidup cacing. Selian itu didukung oleh faktor lain seperti

rendahnya pendidikan, kurangnya kesadaran terhadap kesehatan pribadi (personal

higiene) dan lingkungan serta keadaan sosial ekonomi yang masih rendah,

menyebabkan penyakit cacing usus dengan penularan melalui tanah di Indonesia

masih sangat tinggi yaitu pada 2002 sebesar 33,3%, pada tahun 2003 sebesar 33,0%,

tahun 2004 sebesar 46,8%, dan pada tahun 2006 sebesar 32,6%. Bahkan di wilayah-

wilayah tertentu dengan sanitasi yang buruk prevalensi kecacingan bisa mencapai 80%

dengan prevalensi tertinggi pada anak usia sekolah yaitu mencapai 60%-80% (Surat

Keputusan Mentri Kesehatan No.424/MENKES/VI, 2006).

Secara kumulatif, infeksi STH dapat menimbulkan kerugian bagi Negara.

Kerugian ini dapat diukur dari kehilangan zat gizi seperti kalori dan protein pada

infeksi cacing gelang, serta kerugian akibat kehilangan darah untuk infeksi cacing

cambuk dan cacing tambang. Kerugian zat gizi dan darah tersebut apabila dihitung

dengan jumlah penduduk 220 juta dengan perkiraan jumlah anak usia sekolah tingkat

dasar sebesar 21% dapat diperkirakan kerugian akibat infeksi cacing gelang pada anak

usia sekolah yaitu mencapai 32 miliar akibat kehilangan karbohidrat dan 335 miliar

akibat kehilangan protein. Sedangkan kerugian akibat jenis cacing cambuk mencapai

3 juta liter darah per tahunnya dan kerugian akibat jenis cacing tambang mencapai 16
3

juta liter darah per tahunnya (Surat Keputusan Mentri Kesehatan

No.424/MENKES/VI, 2006).

Tingginya angka kejadian kecacingan pada anak Sekolah Dasar berdasarkan

penelitian Samosir et al, (2015) diindikasi karena anak usia sekolah (5-14 tahun)

merupakan kelompok umur yang paling rentan terinfeksi penyakit berbasis lingkungan

seperti kecacingan. Selain itu anak Sekolah Dasar juga merupakan kelompok yang

paling sering kontak dengan tanah sebagai sumber infeksi cacing.

Di lain pihak, sumber daya manusia merupakan kekuatan utama pembangunan

Indonesia sebagai negara berkembang, oleh sebab itu diperlukan sumber daya manusia

yang sehat fisik, mental dan sosial. Tersedianya sumber daya manusia yang sehat dan

produktif sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia pada usia muda,

khususnya pada usia sekolah dasar.

Namun pada dekade terakhir terjadi kecenderungan peningkatan prevalensi

kecacingan pada anak usia sekolah. Hal ini dibuktikan dari beberapa penelitian yang

dilakukan seperti pada laporan Lab Parasitologi Unud tahun 2000, menyatakan bahwa

prevalensi kecacingan penduduk pedesaan di Bali masih relatif tinggi. Dengan

perincian 35% penduduk positif hork worm, 63% Trichuris dan Ascaris mencapai

74%. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Kapti pada anak SD di daerah Bali

selama kurun waktu 2003-2007, prevalensi kecacingan berkisar antara 40,94%-92,4%.

Berdasarkan karakteristik sosial budaya yang ada, penelitian itu juga memperkirakan

bahwa persentase cacingan antara daerah pedesaan dan perkotaan di Bali tidak jauh

mengalami perbedaan, seperti di Desa Blahkiuh sebesar 94%, kemudian mulai

mendekati kota sebesar 84% kasus, dan di Panjer mencapai 15% (Balipost, 2003).

Selanjutnya pada tahun 2004 dilakukan penelitian di 13 SD di Badung, Denpasar dan


4

Gianyar menunjukkan prevalensi infeksi STH berkisar 58,3 - 96,8 persen (Balipost,

2004).

Secara Epidemiologi, faktor yang mempengaruhi infeksi kecacingan adalah

lingkungan dan perilaku personal higiene seseorang seperti kebiasaan tidak mencuci

tangan sebelum makan dan setelah dari toilet, kebiasaan bermain ditanah, kebiasaan

pemakian alas kaki, kepemilikan jamban, kebiasaan BABS, kuku tangan yang panjang

dan kurang bersih dan ketersediaan air bersih.

STH mempunyai bentuk infektif yang sesuai dengan tanah. Pada penduduk yang

bertempat tinggal di dataran tinggi tingkat infeksi STH lebih sering ditemukan,

terutama pada daerah pedesaan (Sutanto et al, 2008). Berdasarkan penelitian Sinarya

(2011), ditemukan bahwa ketinggian daerah dapat mempengaruhi infeksi kecacingan.

Namun hasilnya bertentangan dengan teori yaitu prevalensi infeksi STH lebih banyak

ditemukan pada siswa SD di dataran rendah. Dimana prevalensi infeksi cacing gelang

(Ascaris lumbricoides) sebesar 4,00% pada siswa SD di dataran rendah sedangkan

pada siswa SD di dataran tinggi hanya sebesar 1, 49%. Begitupula dengan prevalensi

infeksi cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator Americanus) lebih

banyak ditemukan pada siswa di dataran rendah yaitu sebesar 2,00%. Sedangkan

prevalensi infeksi cacing cambuk (Trichuris trichiura) hanya di temukan pada siswa

SD di dataran tinggi yaitu sebesar 1,49% (Sinarya, 2011).

Gianyar merupakan salah satu Kabupaten/Kota di Provinsi Bali yang memiliki

kondisi topografi yang terbagi menjadi dua wilayah dengan karakteristik yang

berbeda. Bagian utara merupakan wilayah dataran tinggi yang lembab dan dingin,

sedangkan pada bagian selatan merupakan dataran rendah dan daerah pantai.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Gianyar, Gianyar terletak pada

ketinggian 250-950 meter dari permukaan laut. dengan curah hujan berkisar 1.900 mm.
5

Kecamatan Tegalalang merupakan daerah dataran tertinggi di Kabupaten Gianyar

dengan ketinggian antara 225-975 m diatas permukaan air laut. Sedangkan Kecamatan

Sukawati merupakan daerah dataran terendah dengan ketinggian yaitu 0-125 m diatas

permukaan air laut.

Desa Ketewel merupakan desa di Kecamatan Sukawati yang memiliki

ketinggian 0-100 m diatas permukaan air laut. Desa ini termasuk daerah dataran yang

terletak paling selatan berbatasan langsung dengan Selat Badung (Profil Desa Ketewel

tahun 2015). Berdasarkan pengamatan peneliti secara langsung, masyarakat di Desa

ini masih banyak yang melakukan BABS dan mandi di sungai. Selain itu sumber air

minum dari masyarakat juga masih banyak bersumber dari mata air yang diyakini

layak konsumsi tanpa adanya proses pemasakan. Pada tahun 2004 salah satu SD di

desa ini juga telah dilakukan pemeriksaan kecacingan dan ditemukan ada anak yang

positif cacingan. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi di Desa Taro

Kecamatan Tegalalang. Desa ini termasuk daerah dataran tinggi dengan ketinggian

500-1000 m diatas permukaan air laut, beriklim sejuk dengan suhu rata-rata harian

22°C, serta kelembaban berkisar 80% (Info publik Nusantara, 2014). Angka BABS

pada desa ini cukup tinggi mencapai angka 80% yaitu pada masyarakat di Banjar

Tebuana. Masyarakat di Banjar Tebuana hanya 21 KK dari 99 KK (21,21%) yang

memiliki jamban, dan hanya 8 jamban dari 21 (38%) yang layak disebut sebagai

jamban sehat. Sedangkan untuk praktek cuci tangan pakai sabun di keluarga hanya 55

KK dari 99 KK (55,55%) yang memiliki sarana cuci tangan, dan hanya 33 KK dari 55

KK (60%) yang memiliki sarana cuci tangan yang memang benar-benar

mempraktekkan cuci tangan pakai sabun secara rutin (Dwipayanti et al, 2013).

Kondisi geografis yang lembab dan sanitasi lingkungan yang kurang memadai

mendukung terjadinya transmisi STH di kedua desa tersebut, serta belum adanya
6

penelitian yang melihat faktor risiko infeksi Soil Transmitted Helminths pada dataran

tinggi dan dataran rendah di Bali, maka peneliti tertarik untuk melaksanakan penelitian

di kedua desa tersebut untuk melihat faktor risiko terjadinya infeksi STH pada anak

SD di dataran tinggi dan rendah di Kabupaten Gianyar.

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang dapat diketahui bahwa prevalensi STH paling

banyak ditemukan pada anak usia sekolah (5-14 tahun) yang merupakan kelompok

yang paling sering kontak dengan tanah sebagai sumber infeksi STH. Ketinggian

daerah dapat mempengaruhi infeksi STH. Sehubungan dengan permasalah tersebut,

maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor risiko Soil Transmitted

Helminths pada anak SD di dataran tinggi dan rendah di Kabupaten Gianyar tahun

2016.

Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas, pertanyaan penelitian yang dapat dirumuskan

yaitu sebagai berikut :

Berdasarkan permasalahan diatas, pertanyaan penelitian yang dapat dirumuskan

yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana prevalensi infeksi STH pada anak SD di dataran tinggi maupun rendah

di Kabupaten Gianyar tahun 2016?

2. Apakah tidak memiliki jamban merupakan faktor risiko infeksi STH pada anak

SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016 ?

3. Apakah lantai rumah dari tanah merupakan faktor risiko infeksi STH pada anak

SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016 ?


7

4. Apakah tidak tersedianya air bersih merupakan faktor risiko infeksi STH pada

anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016

5. Apakah tingkat pendidikan orang tua yang rendah merupakan faktor risiko infeksi

STH pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar

tahun 2016 ?

6. Apakah pekerjaan orang tua yang kontak dengan tanah merupakan faktor risiko

infeksi STH pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten

Gianyar tahun 2016 ?

7. Apakah pendapatan orang tua yang rendah merupakan faktor risiko infeksi STH

pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar tahun

2016 ?

8. Apakah perilaku kebiasaan tidak mencuci tangan merupakan faktor risiko infeksi

STH pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar

tahun 2016 ?

9. Apakah perilaku kebiasaan bermain di tanah merupakan faktor risiko infeksi STH

pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar tahun

2016 ?

10. Apakah kuku tangan yang kotor merupakan faktor risiko infeksi STH pada anak

SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016 ?


8

Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor risiko infeksi

Soil Transmitted Helminths pada anak SD di dataran tinggi dan rendah di Kabupaten

Gianyar tahun 2016.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui prevalensi infeksi STH pada anak SD di dataran tinggi maupun

rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016.

2. Untuk mengetahui tidak memiliki jamban merupakan faktor risiko infeksi STH

pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar tahun

2016.

3. Untuk mengetahui lantai rumah dari tanah merupakan faktor risiko infeksi STH

pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar tahun

2016.

4. Untuk mengetahui tidak tersedianya air bersih merupakan faktor risiko infeksi

STH pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar

tahun 2016.

5. Untuk mengetahui tingkat pendidikan orang tua yang rendah merupakan faktor

risiko infeksi STH pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di

Kabupaten Gianyar tahun 2016.

6. Untuk mengetahui pekerjaan orang tua yang kontak dengan tanah merupakan

faktor risiko infeksi STH pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di

Kabupaten Gianyar tahun 2016.


9

7. Untuk mengetahui pendapatan orang tua yang rendah merupakan faktor risiko

infeksi STH pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten

Gianyar tahun 2016.

8. Untuk mengetahui perilaku kebiasaan tidak mencuci tangan merupakan faktor

risiko infeksi STH pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di

Kabupaten Gianyar tahun 2016.

9. Untuk mengetahui perilaku kebiasaan bermain di tanah merupakan faktor risiko

infeksi STH pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten

Gianyar tahun 2016.

10. Untuk mengetahui kuku tangan yang kotor merupakan faktor risiko infeksi STH

pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar tahun

2016.

Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi dan

pengembangan teori dibidang kesehatan mengenai faktor risiko infeksi Soil

Transmitted Helminths pada anak SD di dataran tinggi dan rendah di Kabupaten

Gianyar. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk

penelitian lebih lanjut.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan rujukan untuk

instansi kesehatan yang berwenang yaitu Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar

dalam upaya pengembangan program pencegahan dan penanggulangan

kecacingan di Kabupaten Gianyar.


10

2. Dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi masyarakat mengenai faktor

risiko infeksi Soil Transmitted Helminths pada anak SD di dataran tinggi dan

rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah di bidang Epidemiologi untuk mengetahui

faktor risiko infeksi Soil Transmitted Helminths pada anak SD di dataran tinggi dan

rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016.

Anda mungkin juga menyukai