Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Anak sekolah merupakan sasaran strategi dalam perbaikan gizi
masyarakat. Perihal ini menjadi penting karena pertama, anak sekolah
merupakan generasi penerus tumpuan bangsa sehingga perlu dipersiapkan
dengan baik kualitasnya. Kedua, anak sekolah sedang mengalami
pertumbuhan secara fisik dan mental yang sangat diperlukan guna menunjang
kehidupannya di masa datang. Ketiga, guna mendukung keadaan tersebut
diatas, anak sekolah memerlukan kodisi tubuh yang optimal dan bugar,
sehingga memerlukan status gizi yang lebih baik. Keempat, anak sekolah
dapat dijadikan perantara dalam peyuluhan gizi pada keluarga dan masyarakat
sekitarnya.
Infeksi cacing merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama
dan menyebabkan kurang gizi dan gangguan kognitif, dengan anak-anak
sekolah biasanya mengalami beban penyakit terberat. Untuk setiap spesies
cacing yang tingkat morbiditas terkait berkaitan dengan intensitas Infeksi,
sedangkan tingkat morbiditas mungkin juga terkait dengan jumlah infeksi
spesies yang berbeda.
Menurut WHO Infeksi cacing soil transmitted adalah salah satu infeksi
yang paling umum di seluruh dunia dan mempengaruhi masyarakat termiskin
dan paling kekurangan. Mereka ditularkan oleh telur hadir dalam kotoran
manusia yang pada gilirannya mencemari tanah di daerah di mana sanitasi
buruk. Spesies utama yang menginfeksi orang adalah cacing gelang (Ascaris
lumbricoides), cacing cambuk yang (Trichuris trichiura) dan cacing tambang
(Necator americanus dan Ancylostoma duodenale).(9)
Cacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif),
penyerapan (absorpsi), dan metabolisme makanan. Secara kumulatif infeksi
cacinganan dapat menimbulkan kurangan gizi berupa kalori dan protein, serta
kehilangan darah yang berakibat menurunnya daya tahan tubuh dan
menimbulkan gangguan tumbuh kembang anak. Khusus anak usia sekolah,

1
keadaan ini akan berakibat buruk pada kemampuannya dalam mengikuti
pelajaran di sekolah. Sehubungan dengan tingginya angka prevalensi infeksi
cacingan, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi, yaitu pada daerah
iklim tropik, yang merupakan tempat ideal bagi perkembangan telur cacing,
perilaku yang kurang sehat seperti buang air besar di sembarang tempat,
bermain tanpa menggunakan alas kaki, sosial ekonomi, umur, jenis kelamin,
mencuci tangan, kebersihan kuku, pendidikan dan perilaku individu, sanitasi
makanan dan sanitasi sumber air. Infeksi cacing soil transmitted disebabkan
oleh spesies yang berbeda dari cacing parasit. Mereka ditularkan oleh telur
hadir dalam kotoran manusia, yang mencemari tanah di daerah di mana
sanitasi buruk. Lebih dari 1,5 miliar orang, atau 24% dari populasi dunia,
terinfeksi infeksi cacing soil transmitted seluruh dunia. Infeksi tersebar luas di
daerah tropis dan subtropis, dengan angka terbesar terjadi di sub-Sahara
Afrika, Amerika, Cina dan Asia Timur.(9)
Lebih dari 270 juta anak usia prasekolah dan lebih dari 600 juta anak
usia sekolah tinggal di daerah dimana parasit ini secara intensif
ditransmisikan, dan membutuhkan pengobatan dan intervensi pencegahan
Anak yang terinfeksi secara fisik, gizi dan gangguan kognitif. Kontrol
didasarkan pada cacingan berkala untuk menghilangkan menginfeksi cacing,
pendidikan kesehatan untuk mencegah infeksi ulang sanitasi ditingkatkan
untuk mengurangi kontaminasi tanah dengan telur infektif. obat yang aman
dan efektif yang tersedia untuk mengendalikan infeksi.(9)
Kecacingan termasuk dalam 11 dari 20 jenis Neglected Tropical Disease
(NDT) penyakit tropis yang terabaikan yang terdapat di Indonesia. Angka
kecacingan di Indonesia tahun 2012 adalah 22,6%.(10) Menurut data Dinas
Kesehatan Provinsi Papua tahun 2011 jumlah kasus kecacingan sebanyak
528,8 per 1.000 penduduk sedangkan di Dinas Kesehatan Kota Jayapura
jumlah kasus kecacingan pada tahun 2011 sebanyak 2,48 per 1.000 penduduk.
Menurut data Puskesmas Abe Pantai prevalensi kecacingan pada tahun 2012
sebesar 3,21 per 1.000 penduduk. Puskesmas Kotaraja pada tahun 2012
berturut-turut sebesar 1,94 per 1.000 penduduk, 1,25 per 1.000 penduduk 0,94

2
per 1.000 penduduk.10 Penyakit cacingan dapat menyerang semua golongan
umur dan jenis kelamin. Infeksi kecacingan yang disebabkan oleh STH terjadi
pada semua golongan umur berkisar 40% - 60%, sedangkan pada usia Sekolah
Dasar (7 -15) tahun sebesar 60% - 80%. ini menunjukkan distribusi infeksi
cacingan terbanyak pada kelompok umur 9-10 tahun. Pada usia ini frekuensi
bermain anak-anak cukup tinggi, sering bermain tanpa menggunakan alas
kaki, bermain di tanah, dan juga hygiene perorangan yang kurang.(1)
Penelitian yang dilakukan Martila di sekolah SD Negeri Abe Pantai
Jayapura yang berjumlah 384 orang dan diambil sampel sebanyak 70
responden didapatkan secara acak bahwa responden yang memiliki hygiene
perorangan yang kurang lebih banyak positif kecacingan 58,3% dibandingkan
dengan murid yang memiliki hygiene perorangan yang baik tetapi negative
kecacingan sebanyak 41,2%.(1)
1.2.Tujuan
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini adalah
1. Untuk mengetahui faktor faktor yang menyebabkan terjadinya
kecacingan
2. Untuk mengetahui epidemiologi dari kecacingan
3. Untuk mengetahui dampak buruk dari kecacingan
1.3.Manfaat
Adapun manfaat dari dibuatnya makalah ini adalah
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui faktor faktor yang menyebabkan
terjadinya kecacingan
2. Agar mahasiswa dapat memahami epidemiologi dari kecacingan
3. Agar mahasiswa dapat mengerti dampak buruk dari kecacingan

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Infeksi cacing soil transmitted adalah salah satu infeksi yang paling
umum di seluruh dunia dan mempengaruhi masyarakat termiskin dan paling
kekurangan yang ditularkan melalui telur yang hadir dalam kotoran manusia
yang pada gilirannya mencemari tanah di daerah di mana sanitasi buruk.
Spesies utama yang menginfeksi orang adalah cacing gelang (Ascaris
lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang
(Necator americanus dan Ancylostoma duodenale).(9)
Kebersihan diri yang buruk merupakan cerminan dari kondisi
lingkungan dan perilaku individu yang tidak sehat. Pengetahuan penduduk
yang masih rendah dan kebersihan yang kurang baik mempunyai
kemungkinan lebih besar terkena infeksi cacing. Usaha kesehatan pribadi
(higiene perorangan) adalah daya upaya dari seseorang untuk memelihara dan
mempertinggi derajat kesehatannya sendiri.
Menurut World Health Organization (WHO) diantara cacing usus
yang menjadi masalah kesehatan adalah kelompok STH atau cacing yang
ditularkan melalui tanah seperti cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing
tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) dan cacing
cambuk (Trichuris trichiura). Ascaris lumbricoides menginfeksi lebih dari 1
miliar orang, Trichuris trichiura menginfeksi 795 juta orang, dan
Ancylostoma duodenale dan Necator americanus menginfeksi 740 juta orang
di dunia. Jumlah kasus infeksi kecacingan terbanyak dilaporkan di kawasan
Afrika, Amerika Latin, Cina, dan Asia Timur.(1)
Penyakit cacingan yang ditularkan melalui tanah sering dijumpai pada
anak usia sekolah dasar karena anak usia sekolah dasar masih bermain
dengan tanah. Pencemaran tanah merupakan penyebab terjadinya transmisi
telur cacing dari tanah lalu masuk ke mulut bersama makanan. Cacing usus
merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di
Indonesia, salah satunya cacing perut yang ditularkan melalui tanah.Cacingan

4
ini dapat mengakibatkan menurunnya gizi, kecerdasan dan produktivitas
penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian karena
menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah.
2.2. Jenis jenis cacing soil transmitted helmints.(5)
1. Cacing gelang ( Ascaris lumbricoides)
Cacing gelang ini termasuk dalam kelas Nematoda usus yang banyak
diperoleh didaerah daerah tropis sub tropis yang keadaan daerahnya
menunjukan kebersihan dan lingkungan yang kurang baik.
Harold W. Brown (1979) menyatakan bahwa hamper 900 juta
manusia dimuka bumi ini terserang Ascaris dan frekuensi dibanyak Negara
mencapai 80 %. Demikian juga Noble (1961) menyatakan bahwa bila
seseorang dinyatakan berpenyakit cacingan, maka biasanya orang tersebut
dihinggapi cacing Ascaris. Di beberapa tempat didunia ini peristiwanya
dapat mencapai 100%.
a. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Sub-kelas : Phasmida
Ordo : Rhabdidata
Sub Ordo : Ascaridata
Familia : Ascarididae
Genus : Ascaris
Spesies : Ascaris lumbricoides
b. Morfologi
Cacing dewasa berwarna agak kemerahan atau putih kekuningan,
bentuknya silindris memanjang, ujung anterior tumpul memipih dan
ujung posteriornya agak meruncing. Bagian kepala dilengkapi dengan
tiga buah bibir yaitu satu di bagian mediodorsal dan dua lagi
berpasangan di bagian latero ventral. Cacing dewasa jantan berukuran
panjang 15 cm 31 cm dengan diameter 2 mm 4 mm. adapun cacing

5
betina panjangnya berukuran 20 35 cm kadang kadang sampai 49 cm
dengan diameter 3 mm 6 mm. untuk membedakan cacing jantan
dengan cacing betina dapat dilihat dari ujung ekornya dimana cacing
jantan ujung ekornya melengkung kearah ventral. Seekor cacing
Ascaris betina setiap harinya dapat menghasilkan 200.000 telur.
c. Daur Hidup
Cacing Ascaris dewasa hidup didalam usus kecil, cacing tersebut
hidup dari makanan yang telah dicernakan oleh tubuh tuan rumah.
Telur telur Ascaris keluar bersama sama kotoran tuan rumahnya.
Telur ini masih bersegmen dan tidak menular. Dialam telur berada
ditempat tempat lembab, temperature yang cocok dan cukup sirkulasi
udara. Telur tumbuh dengan baik sampai menjadi infektif setelah kira
kira 20 24 hari. Telur Ascaris tidak akan tumbuh dalam keadaan
kering, karena dinding telur harus dalam keadaan lembab untuk
memungkinkan pertukaran gas. Pertumbuhan telur Ascaris dapat
terjadi pada suhu 8 370C.
Jika telur yang sudah infektif tertelan, maka 4- 8 jam kemudian
didalam saluran pencernaan menetas menjadi larva. Larva larva ini
aktif menembus dinding usus halus, sekum, kolon atau rectum. Dengan
melalui pembuluh pembuluh vena sampai kehati kemudian ke paru
paru selanjutnya larva sampai ke trakea, laring, faring, kemudian
tertelan masuk ke dalam saluran pencernaan melalui esophagus sampai
lah kedalam usus tempat mereka menetap menjadi dewasa dan
mengadakan kopulasi.

6
Gambar cacing dewasa dan siklus hidup Ascaris Lumbrocoides

Gambar telur cacing Ascaris lumbricoides

7
2. Cacing cambuk (Trichuris trichiura)
Trichuris trichiura termasuk Nematoda usus yang biasanya
dinamakan cacing cemeti atau cambuk karena tubuhnya menyerupai
cemeti dengan bagian kepala tipis dan bagian belakangnya jauh lebih
tebal. Cacing ini pada umunya hidup disekum manusia, sebagai penyebab
Trichuriasis dan tersebar secara cosmopolitan.
Trichuris trichiura adalah cacing yang relative sering ditemukan pada
manusia, tapi umumnya tidak begitu berbahaya. Trichuris yang berarti
ekor benang, pada mulanya salah pengertian. Sebetulnya nama yang benar
ialah Tricho-cephalus (kepala benang) yang diberikan karena berbentuk
benang itu adalah bagian kepalanya. Penyakitnya disebut trichuriasis atau
infeksi cacing cambuk.
a. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Sub kelas : Aphasmida
Ordo : Enoplida
Super family : Trichuroidea
Famili : Trichuridae
Genus : Trichuris
Spesies : Trichuris trichiura
b. Morfologi dan Siklus Hidup
Cacing ini mudah dikenal dengan bentuknya yang spesifik seperti
cambuk. Dibagian depan halus seperti benang sepanjang 3/5 dari
seluruh dibagian ini terdapat esophagus yang sempit. Dibagian
belakang tebal berbentuk seperti gagang cambuk sekitar 2/5 panjang
badan, tapi batas kedua bagian ini tidak jelas. Yang jantan berukuran
30 45 mm dan betina 35 50 mm.
Ujung ekor yang betina bulat dan jantan mempunyai posterior
yang melengkung dan spikula tunggal. Setiap hari dapat dihasilkan

8
telur sekitar 3000 10000. Telur berbentuk guci atau sitrun dengan
mempunyai kutub. Kulit luar berwarna kekuning kuningan dan kulit
dalam transparan. Telur telur yang telah dibuahi tidak bersegmen
waktu dikeluarkan.
Pertumbuhan embrio terjadi di alam bebas. Setelah 2 4 minggu
telur ini telah mengandung larva yang sudah dapat menginfeksi
manusia. Pertumbuhan telur ini berlangsung baik didaerah panas,
dengan kelembapan tinggi terutama ditempat yang terlindung.
Telur telur ini tidak terlalu resisten terhadap panas dan dingin.
Infeksinya berlangsung tanpa memerlukan hospes perantara. Bila telur
yang mengandung embrio tertelan oleh manusia, maka dinding telur
pecah dan keluarlah larva yang aktif menembus vili usus, berdiam
disana 3 10 hari. Setelah dewasa mereka turun ke sekum. Bagian
depan yang kecil menembus kedalam mukosa usus dan mengambil
makanan disana. Kesanggupan hidup dapat bertahun tahun.

Gambar cacing dewasa Trichuris trichiura

9
Gambar Telur Cacing Trichuris trichiura

Gambar siklus hidup Trichuris trichiura

3. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus


Cacing ini telah dikenal sejak zaman Mesir kuno dan mengenai
penyakitnya telah di tulis di Italia, Arab, dan Brazilia jauh sebelum cacing
tambang. Ancylostoma duodenale ditemukan oleh Dubini pada tahun
1838. Pada tahun 1877 terjadi epidemic didaerah terowongan Swiss.
Budak belian dari afrika barat membawa penyakit ini ke Amerika Serikat.
Penyakit penyakit yang ditimbulkan dinamakan ankilostomiasis,
penyakit ini merupakan penyakit cacing yang lama.
Cacing tambang pada manusia dikenal 2 jenis yakni sebagai berikut
a. Ancylostoma duodenale yang disebut jenis dunia lama

10
b. Necator americanus yang dikenal sebagai jenis dunia baru. Jenis
penyakit yang kedua inilah yang dibawa dari Afrika.
1) Morfologi
Cacing dewasa berukuran kecil, silindris, berbentuk gelendong
dn berwarna putih kelabu. Bila sudah menghisap darah, cacing segar
berwarna kemerahan. Cacing betina berukuran (9-13) x (0,35 60)
mm, lebih besar dari yang jantan yang berukuran (5-110) x (0,3 0,45)
mm. Necator americanus lebih kecil dari ancylostoma duodenale.
Cacing ini relative mempunyai kutikula yang tebal.
Bagian ujung belakang jantan mempunyai bursa kopulatrix
seperti jari yang berguna sebagai alat pemegang pada waktu kopulasi.
Badan cacing betina diakhiri dengan ujung yang runcing.
Telur mempunyai selapis kulit hialin yang tipis transparan. Telur
segar yang baru keluar mengandung 2 8 sel. Bentuk telur
Ancylostoma duodenale dan Necator americanus sama, hanya berbeda
dalam ukuran telur.
Seekor betina Ancylostoma duodenale maksimum dapat bertelur
20.000 butir sedangkan Necator americanus 10.000 telur.

Gambar cacing dewasa cacing tambang

11
Gambar telur cacing tambang

2) Daur hidup
Telur keluar bersama tinja. Dialam luar telur ini cepat matang
dan menghasilkan larva rhabditiform, selama 1 2 hari dibawah
kondisi yang mengizinkan dengan suhu optimal 23 330C. larva yang
baru menetas aktif memakan sisa sisa pembusukan organic dan cepat
bertambah besar dalam 5 hari. Kemudian ia berganti kulit untuk kedua
kalinya dan berbentuk langsing menjadi larva filariform yang
infeksius.
Larva filariform aktif menembus kulit luar tuan rumah melalui
folikel folikel rambut, pori pori atau kulit yang rusak. Umumnya
daerah infeksi ialah pada dorsum kaki atau disela sela jari kaki.
Larva masuk mengembara ke saluran vena menuju ke jantung
kanan, dari sana masuk ke saluran paru paru menuju jaringan paru
paru sampai ke alveoli. Dari situ mereka naik ke bronchi dan trakea,
tertelan masuk ke usus. Peredaran larva dalam sirkulasi darah dan
migrasi paru paru berlangsung selama satu minggu. Selama periode
ini mereka bertukar kulit untuk ketiga kalinya.
Setelah berganti kulit empat kali dalam jangka waktu 13 hari,
mereka menjadi dewasa. Yang betina bertelur 5 6 minggu setelah
infeksi. Infeksi per oral jarang terjadi tapi larva dapat masuk kedalam
badan melalui air minum atau makanan yang terkontaminasi.

12
Siklus Hidup Cacing tambang

2.3. Epidemiologi infeksi kecacingan


Lebih dari 1,5 miliar orang, atau 24% dari populasi dunia, terinfeksi
infeksi cacing soil transmitted seluruh dunia. Infeksi tersebar luas di daerah
tropis dan subtropis, dengan angka terbesar terjadi di sub-Sahara Afrika,
Amerika, Cina dan Asia Timur. Dan lebih dari 270 juta anak usia prasekolah
dan lebih dari 600 juta anak usia sekolah tinggal di daerah dimana parasit ini
secara intensif ditransmisikan, dan membutuhkan pengobatan dan intervensi
pencegahan. (7)
Penyakit cacingan masih banyak menyerang masyarakat Indonesia,
terutama anak-anak. Hasil survei cacingan di Sekolah Dasar di Indonesia
tahun 2011 menunjukkan angka prevalensi kecacingan sebanyak 28,12%.
Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Papua tahun 2011 jumlah kasus
kecacingan sebanyak 528,8 per 1.000 penduduk sedangkan di Dinas
Kesehatan Kota Jayapura jumlah kasus kecacingan pada tahun 2011
sebanyak 2,48 per 1.000 penduduk. Menurut data Puskesmas Abe Pantai
prevalensi kecacingan pada tahun 2012 sebesar 3,21 per 1.000 penduduk.
Puskesmas Kotaraja pada tahun 2012 berturut-turut sebesar 1,94 per 1.000

13
penduduk, 1,25 per 1.000 penduduk 0,94 per 1.000 penduduk.10 Penyakit
cacingan dapat menyerang semua golongan umur dan jenis kelamin. Infeksi
kecacingan yang disebabkan oleh STH terjadi pada semua golongan umur
berkisar 40% - 60%, sedangkan pada usia Sekolah Dasar (7 -15) tahun
sebesar 60% - 80%. ini menunjukkan distribusi infeksi cacingan terbanyak
pada kelompok umur 9 -10 tahun. Pada usia ini frekuensi bermain anak-anak
cukup tinggi, sering bermain tanpa menggunakan alas kaki, bermain di tanah,
dan juga hygiene perorangan yang kurang.(1)
Di Indonesia, penyakit kecacingan masih merupakan masalah yang besar
untuk kasus anemia defisiensi besi karena diperkirakan cacing menghisap
darah 2-100 cc setiap harinya. Menurut penelitian siswa dengan jenis kelamin
laki-laki dan kelompok usia 10 - 11 tahun yang mengalami kejadian anemia
lebih banyak ditemukan pada siswa yang mengalami kecacingan (51,6%)
dibandingkan yang tidak mengalami kecacingan (27,6%). Hal ini
menunjukkan bahwa siswa yang positif kecacingan memiliki risiko 3,64 kali
untuk anemia dibandingkan siswa yang tidak cacingan. Hal ini dapat
dipahami karena cacing yang masuk ke dalam mukosa usus dapat
menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat
perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Perdarahan inilah yang menyebabkan
anemia. Infeksi rendah biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas.
Penelitian lain juga menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara
berat ringannya infeksi ascariasis dengan kadar Hb. Semakin banyak telur
cacing ascariasis (cacing gelang) dalam tubuh penderita, semakin rendah
kadar Hb yang dihasilkan. Dengan kata lain beratnya infeksi ascariasis akan
menjadi salah satu penentu kejadian anemia pada penderita.(4)
Di Indonesia prevalensi Askaris tinggi, terutama terjadi pada anak
anak. Frekuensinya antara 60% 90%. Penyebaran geografis Trichuris
trichiura sama dengan A. lumbricoides sehingga sering kali kedua cacing ini
ditemukan bersama sama dalam satu hospes. Frekuensinya di Indonesia
tinggi terutama didaerah pedesaan, frekuensinya antara 30% - 90%. Untuk
nekatoriasis dan ankilotomiasis, kasusnya banyak ditemukan didaerah

14
pedesaan, khususnya pada pekerja di daerah perkebunan yang kontak
langsung dengan tanah.(5)
2.4. Faktor penyebab infeksi kecacingan
(4)
Menurut WHO Cacing soil transmitted ditularkan oleh telur yang
lulus dalam kotoran orang yang terinfeksi. Cacing dewasa hidup di usus di
mana mereka menghasilkan ribuan telur setiap hari. Di daerah yang tidak
memiliki sanitasi yang memadai, telur ini mencemari tanah. Hal ini dapat
terjadi dalam beberapa cara
1. Telur yang melekat pada sayuran yang tertelan ketika sayuran tidak hati-
hati dimasak, dicuci atau dikupas
2. Telur yang tertelan dari sumber air yang terkontaminasi
3. Telur yang tertelan oleh anak-anak yang bermain di tanah yang
terkontaminasi dan kemudian meletakkan tangan mereka di mulut mereka
tanpa mencucinya.
4. larva yang jatuh tempo menjadi bentuk yang dapat aktif menembus kulit
karena berjalan tanpa alas kaki di tanah
Menurut penelitian yang dilakukan oleh A Andaruni(3), factor factor
yang menyebabkan terjadinya infeksi kecacingan adalah sebagai berikut
1. personal hygiene yang kurang baik meliputi
a. Tidak mencuci tangan dengan baik
b. Tidak menggunakan alas kaki pada saat berjalan di tanah
2. Sanitasi lingkungan yang buruk meliputi
a. Sanitasi makanan yang kurang baik
b. Sanitasi sumber air yang buruk
c. Buang air besar sembarangan
2.5. Riwayat Alamiah Penyakit
1. Tahap prepatogenesis(8)
a.Tahap primodial
pada tahap ini sesuai dengan tujuan Kementerian kesehatan yang
tertuang dalam rencana strategis dibuatlah suatu program pengendalian

15
cacingan agar dapat mengurangi jumlah anak yang terinfeksi kecacingan
di tahun tahun yang akan datang.
b. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yang dapat dilakukan dalam menghindari infeksi
kecacingan adalah dengan cara melakukan penyuluhan kepada anak
anak sekolah dan minum obat cacing minimal 6 bulan sekali.
2. Tahap inkubasi ( sub klinis)
Pada infeksi kecacingan tidak memiliki masa inkubasi karena begitu telur
atau larva masuk kedalam tubuh manusia maka pada saat itu juga langsung
terjadi gejala gejala penyakit meskipun gejala gejala tersebut masih
belum terlalu berarti.
3. Tahap Klinis dan tahap penyakit lanjut
a. Cacing gelang ( Ascaris lumbricoides)(5)
Pathogenesis infeksi Ascaris berhubungan erat dengan respons
umum hospes, efek migrasi larva, efek mekanik cacing dewasa dan
defisiensi gizi. Selama larva mengalami siklus dalam jumlah yang besar
dapat menimbulkan pneumonitis. Bila larva menembus jaringan dan
masuk kedalam alveoli maka dapat mengakibatkan kerusakan pada epitel
bronkus.
Apabila terjadi reinfeksi dan migrasi larva ulang maka jumlah larva
yang sedikit pun dapat menimbulkan reaksi jaringan yang hebat. Hal ini
terjadi didalam hati dan paru paru yang sering disebut dengan
Pneumonitis Ascaris. Selanjutnya disertai reaksi alergi yang terdiri dari
batuk kering dan demam (39,90 40,00C).
Cacing dewasa yang ditemukan dalam jumlah yang besar dapat
mengakibatkan kekurangan gizi. Kadang kadang cacing dewasa
bermigrasi dan menimbulkan kelainan yang serius seperti obstruksi usus
dan bahkan bias keluar melalui anus, mulut dan hidung.
b. Cacing cambuk (Trichuris trichiura)(6)
Pasien yang mendapat infeksi kronis Trichuris menunjukan tanda
tanda klinis seperti berikut

16
1) Anemia
2) Tinja yang bercampur butir butir darah
3) Sakit perut
4) Kekurangan berat badan
5) Prolaps rectal yang berisi cacing pada mukosa rectum
c. Cacing Tambang (Hookworm)(5)
Gejala klinik yang disebabkan oleh cacing tambang dewasa dapat
berupa
1) Nekrosis jaringan usus
Keadaan ini diakibatkan dinding jaringan usus yang terluka oleh
gigitan cacing dewasa
2) Gangguan gizi
Penderita banyak kehilangan karbohidrat, lemak dan terutama
protein bahkan banyak unsure besi yang hilang sehingga terjadi
malnutrisi.
3) Kehilangan darah
Darah yang hilang karena dihisap langsung oleh cacing dewasa.
Disamping itu bekas gigitan dapat menimbulkan pendarahan terus
menerus karena sekresi zat anti koagulan oleh cacing dewasa
tersebut.
Pada kasus infeksi akut yang disertai jumlah cacing yang banyak,
penderita mengalami lemah badan, nausea, sakit perut, lesu, pucat dan
kadang kadang disertai diare dengan tinja berwarna merah sampai
hitam.
4. Tahap terminal ( akhir penyakit)
Penderita penyakit infeksi kecacingan biasanya berakhir dengan kematian.
Akan tetapi ada juga penderita infeksi kecacingan dapat sembuh akan
tetapi ada terdapat kecacatan di dalam organ manusia tersebut seperti
mukosa usus yang mengalami luka pada saat cacaing ada didalam usus
yang tentunya bekas luka tersebut tidak akan hilang sempurna.

17
2.6. Surveilans Epidemiologi infeksi kecacingan
Pada tahun 2001, delegasi pada Majelis Kesehatan Dunia ( WHO )
suara bulat mengesahkan resolusi mendesak negara-negara endemik mulai
serius menangani worm, khususnya schistosomiasis dan cacing soil
transmitted. Strategi untuk pengendalian infeksi cacing soil transmitted
adalah untuk mengontrol morbiditas melalui pengobatan berkala orang
berisiko tinggal di daerah endemik. Orang yang berisiko adalah anak-anak
prasekolah, anak usia sekolah, wanita usia subur (termasuk wanita hamil
pada trimester kedua dan ketiga dan wanita menyusui), orang dewasa di
pekerjaan berisiko tinggi tertentu seperti pemetik teh atau penambang.(9)
WHO menganjurkan pengobatan obat periodik (cacingan) tanpa
diagnosis individu sebelumnya untuk semua orang berisiko tinggal di daerah
endemik. Pengobatan harus diberikan sekali setahun ketika prevalensi infeksi
cacing soil transmitted di masyarakat adalah lebih dari 20%, dan dua kali
setahun ketika prevalensi infeksi cacing soil transmitted di masyarakat adalah
lebih dari 50%. Intervensi ini mengurangi morbiditas dengan mengurangi
beban cacing.(9)
Sebuah langkah maju yang besar dalam koordinasi internasional dan
kohesi dicapai ketika kerangka kerja untuk Fokus Sumber Daya Kesehatan
Sekolah yang Efektif (FRESH) diluncurkan di Forum Dunia Pendidikan di
Dakar pada April 2000 (Bank Dunia, 2000). Di antara mitra awal dalam
upaya ini adalah UNESCO, UNICEF, Program Pangan Dunia (WFP), WHO,
dan Bank Dunia, dengan Pusat Pengembangan Pendidikan, Pendidikan
Internasional, dan Kemitraan untuk Pembangunan Anak. Kerangka FRESH
memberikan pendekatan konsensus praktik yang baik disepakati untuk
pelaksanaan yang efektif dari pelayanan kesehatan dan gizi dalam program
kesehatan sekolah. Kerangka kerja ini mengusulkan empat komponen inti
yang harus dipertimbangkan dalam merancang sebuah program kesehatan
dan gizi sekolah yang efektif dan menunjukkan bahwa program ini akan
paling adil dan hemat biaya jika semua komponen ini tersedia, bersama, di

18
semua sekolah. Empat komponen juga menyediakan campuran yang tepat
dari intervensi untuk menanggapi infeksi cacing secara global yaitu
1. Kebijakan: kebijakan sekolah kesehatan dan gizi terkait yang
mempromosikan gizi dan kesehatan staf dan anak-anak (dan
mempromosikan peran guru dalam memberikan obat cacing pengobatan)
2. Lingkungan Sekolah: akses ke air bersih dan penyediaan fasilitas sanitasi
yang efektif (yang membantu memutus siklus penularan cacing);
pendidikan berbasis keterampilan, termasuk keterampilan hidup yang
membahas isu-isu kesehatan dan kebersihan dan promosi perilaku positif
(termasuk mempromosikan mencuci tangan dan perilaku higienis lain
yang melindungi terhadap infeksi cacing)
3. Pendidikan dan
4. Layanan: kesehatan dan gizi sederhana, aman, dan akrab layanan yang
dapat disampaikan biaya-efektif di sekolah-sekolah (seperti cacingan).(2)
Kementrian kesehatan Republik Indonesia(8) membuat suatu program
pengendalian kecacingan secara bertahap sesuai dengan petunjuk WHO.
Maka dalam kebijakan tersebut perlu ditentukan target pencapaian akhir yaitu
1. Pada tahun 2014
a. Sebanyak 75% Provinsi telah melaksanakan Program Pengendalian
Kecacingan
b. Cakupan nasional mencapai minimal 50%
2. Pada tahhun 2016
a. Sebanyak 100% Provinsi dan 75% Kabupaten/Kota telah
melaksankan Program Pengendalian Kecacingan
b. Cakupan sasaran nasional mencapai minimal 75%
3. Pada tahun 2018
a. Sebanyak 100% Provinsi dan 100% Kabupaten/kota telah
menyelenggarakan Program Pengendalian Kecacingan
b. Cakupan sasaran di Kabupaten/Kota mencapai minimal 50%
4. Tahun 2020

19
a. Sebanyak 100% Provinsi dan 100% Kabupaten/Kota telah mencapai
minimum 75% target sasaran anak sekolah dan prasekolah
b. Cakupan sasaran di Kabupaten/Kota mencapai minimal 75%
Adapun strategi dalam program pengendalian kecacingan ini adalah
1. Meningkatkan komitmen politik melalui penyusunan kebijakan nasional
dalam program pengendalian kecacingan di Indonesia termasuk
penyuluhan kesehatan dan peningkatan kualitas air dan sanitasi sebagai
factor penentu disamping intervensi pengobatan cacingan. Memastikan
program pengendalian kecacingan masuk dalam rencana perbaikan
kualitas air serta masuk dalam perencanaan disektor pendidikan.
2. Harmonisasi koordinasi lintas program, lintas sector dan peran serta
masyarakat dengan mendorong terjadinya kemitraan baik dengan
kelompok usaha maupun lembaga swadaya masyarakat antara lain
kegiatan program eliminasi filariasis, UKS melalui penjaringan anak
sekolah serta kegiatan pemberian vitamin A.
3. Membangun kapasitas teknis dan penyediaan petunjuk teknis
4. Meningkatkan kesinambungan serta fasilitasi tanggungjawab pemerintah
secara penuh
5. Meningkatkan kapasitas monitoring dan evaluasi
Dalam menerapkan strategi diatas, ada 3 hal yang harus dilakukan
yaitu
1. Promotif
Pendidikan kesehatan dapat diberikan melalui penyuluhan kepada anak
anak sekolah yaitu melalui program UKS, dan untuk masyarakat luas
dapat dilakukan melalui posyandu, media cetak maupun media elektronik
dan penyuluhan langsung. Sedangkan untuk anak pra sekolah dapat
dilakukan dengan memanfaatkan media promosi yang telah ada di
puskesma maupun posyandu.
2. Preventif
Tindakan preventif yaitu dengan melakukan pengendalian factor resiko
yang meliputi kebersihan lingkungan, kebersihan perorangan dengan

20
menrapkan perilaku hidup bersih dan sehat, penyediaan air bersih yang
cukup, semenisasi lantai rumah, pembuatan dan penggunaan jamban yang
memadai, menjaga kebersihan makanan, untuk anak sekolah dan
madrasah melalui pendidikan kesehatan disekolah, baik untuk guru
maupun murid.
3. Pengobatan
Pengobatan dilakukan dengan menggunakan obat yang aman dan
berspektrum luas, efektif, tersedia dan terjangkau harganya, serta dapat
membunuh cacing dewasa, larva dan telur. Pada awal pelaksanaan
kegiatan pengobatan sebaiknya didahului dengan penentuan prevalensi
untuk mendapatkan data dasar dan menentukan katagori pengobatan yang
diperlukan.
2.7. Kegiatan Program Pengendalian Kecacingan
1. Tahapan Kegiatan
a. Penentuan Prevalensi
penentuan prevalensi suatu daerah ditentukan dengan tingkat prevalensi
cacingan pada anak SD yang diukur dengan melakukan pemeriksaan
tinja yang diambil dari sampel yang dikumpulkan dengan menggunakan
dua cara yaitu
1) Berdasarkan atas survey kecacingan disuatu kabupatenn dengan
menggunakan metoda survey kluster dua tahap
2) Rekapitulasi data kecacingan yang diperoleh dari kegiatan
puskesmas melalui penjatingan kesehatan anak kelas sat SD di suatu
kabupaten dengan memeriksa sampel tinja anak kelas satu SD yang
terpilih.
b. Pengobatan
Jenis pengobatan penyakit cacingan ada dua macam yaitu
pengobatan missal dan pengobatan selektif berdasarkan pada tingkat
prevalensinya.
Pengobatan massal dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan tinja,
bila hasil pemeriksaan tinja menunjukan prevalensi 50% dilakukan

21
pemberian obat cacing pada seluruh anak sekolah SD di suatu
kabupaten/kota 2 kali setahun. Bila hasil pemeriksaan tinja menunjukan
prevalensi 20% - 50% dilakukan pemberian obat missal kepada
seluruh anak SD di suatu kabupaten/kota satu kali setahun.
Pengobatan selektif diberikan bila hasli pemeriksaan tinjanya
memperoleh angka prevalensi < 20%. Pengobatan diberikan terhadap
penduduk yang hasil pemeriksaan tinjanya posistif cacingan. Untuk
kasus dengan tinja positif usia < 2 tahun dan ibu hamil dapat diberikan
obat cacing dengan dosis yang disesuaikan dan sebaiknya diberikan
yang berupa sirup.
c. Pencegahan
1) Menjaga kebersihan perorangan
2) Menjaga kebersihan lingkungan
d. Pencatatan dan Pelaporan
1) Pencatatan dan pelaporan kegiatan penentuan prevalensi
a) Pengetahuan murid sekolah dasar tentang cacing (lampiran 3)
b) Rekapitulasi pengetahuan murid sekolah dasar tentang cacing
(lampiran 4)
c) Hasil pemeriksaan laboratorium (lampiran 5)
d) Rekapitulasi hasil survey pemeriksaan tinja (lampiran 6)
e) Formulir penjaringan kesehatan peserta didik (lampiran7)
sumber lampiran 1 petunjuk teknis penjaringan kesehatan anak
SD
f) Rekapitulasi hasil penjaringan kesehatan peserta didik
(lampiran8) sumber lampiran 4 petunjuk teknis penjaringan
kesehatan anak SD
2) Pencatatan dan pelaporan kegiatan hasil pengobatan
a) Pengobatan selektif
format pelaporan pengobatan selektif pada ibu hamil dengan
merujuk pada format pencatatan pelaporan ibu hamil
(lampiran 9)

22
format pelaporan pengobatan selektif pada anak umur 1 4
tahun dengan merujuk pada pencatatan pelaporan balita di
posyandu (lampiran 10)
b) Pengobatan missal
format pelaporan pengobatan missal untuk SD
Format pelaporan pengobatan missal untuk anak balita ( 1
thn 4 thn)
2. Pemantauan dan Evaluasi
a. Pemantauan
1) Puskesmas
a) Memonitor pelaksanaan pengobatan missal dan kejadian
reaksi pengobatan
b) Menghitung persediaan, pemakaian dan sisa obat
2) Kabupaten/Kota
a) Memonitor hasil pengobatan missal berdasarkan laporan
puskesmas
b) Menghitung persediaan, pemakaian dan sisa obat
c) Menindaklanjuti rujukan puskesmas
3) Provinsi
a) Memonitor hasil pengobatan missal berdasarkan laporan
kabupaten/kota
b) Melaksanakan evaluasi kualitas pelaksanaan program
melalui survey cakupan pengobatan missal
c) Menindaklanjuti reaksi pengobatan
4) Pusat
a) Memonitor pelaksanaan kebijakan program pengendalian
kecacingan berdasarkan kesesuaian dengan SOP yang ada
di tingkat provinsi dan kabupaten/kota
b) Melaksanakan evaluasi kualitas pelaksanaan program
melalui survey cakupan pengobatan missal

23
c) Merekapitulasi laporan hasil pelaksanaan pengobatan
massal
b. Evaluasi
Evaluasi dilaksanakan setelah 5 tahun berturut turut
pemberian obat cacing. Survey evaluasi menggunakan
pengambilan sampel kluster dengan jumlah sampel minimal
210. Untuk tindak lanjut hasil survey evaluasi dibagi menjadi 5
kategori yaitu
Prevalensi Tindak lanjut
< 1% Tidak perlu pengobatan
1% - < 10% Pengobatan 1 kali setiap 2 tahun
10% - < 20% Pengobatan 1 kali setiap tahun
20% - < 50% Pengobatan 2 kali setiap tahun
50% Pengobatan 3 kali setiap tahun

24
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Infeksi cacing soil transmitted adalah salah satu infeksi yang paling
umum di seluruh dunia dan mempengaruhi masyarakat termiskin dan paling
kekurangan yang ditularkan melalui telur yang hadir dalam kotoran manusia
yang pada gilirannya mencemari tanah di daerah di mana sanitasi buruk.
Spesies utama yang menginfeksi orang adalah cacing gelang (Ascaris
lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang
(Necator americanus dan Ancylostoma duodenale).
Kebersihan diri yang buruk merupakan cerminan dari kondisi
lingkungan dan perilaku individu yang tidak sehat. Pengetahuan penduduk
yang masih rendah dan kebersihan yang kurang baik mempunyai
kemungkinan lebih besar terkena infeksi cacing. Usaha kesehatan pribadi
(higiene perorangan) adalah daya upaya dari seseorang untuk memelihara dan
mempertinggi derajat kesehatannya sendiri.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyelenggarakan
program pengendalian cacing yang dibuat sesuai dengan petunjuk WHO.
Program ini bertujuan agar dapat mengurangi jumlah kasus dari infeksi
kecacingan.oleh karena itu perlu adanya kerjasama dari mulai pedesaan
sampai ke pemerintahan pusat dalam menanggulangi infeksi kecacingan ini.

25
DAFTAR PUSTAKA
1. M, Martila.Hubungan HigienePerorangan dengan Kejadian Kecacingan pada
Murid SD dalam www.litbang.depkes.go.id/JURNAL yang diakses pada
tanggal 18 Mei 2016, pkl 11:00.

2. Brooker, SimonGlobal epidemiology, ecology and control of soil


transmitted helminth dalam www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/Internasional
Journal of Tropical Disease yang diakses pada tanggal 18 Mei 2016, pkl
10:30.
3. A.Andaruni. Gambaran factor factor penyebab infeksi cacingan
pada.penyakit infeksi dalam www.unpad.ac.id/ejournal/article/download
yang diakses pada tanggal 15 Mei 2016, pkl 12:30.
4. S. Sirajuddin. Kejadian Anemia pada Anak Sekolah Dasar dalam
www.kesmas.ui.ac.id/index.php/kesmas/article/jurnal yang diakses pada
tanggal 15 Mei 2016, pkl 13:00.
5. Irianto, Kus. 2009. Parasitologi Berbagai Penyakit yang Mempengaruhui
Kesehatan Manusia. Bandung: Yrama Widya.
6. Samidjo, Jangkung. 2002 Parasitologi MedikI Helmintologi. Jakarta:Buku
Kedokteran EGC.
7. S. Brooker.Soil Transmitted Helminths ; Prevalence, Perception and
Determinants. Dalam
www.sciencedomain.org/download/Internasionalejournal yang diakses pada
tanggal 18 Mei 2016,pkl 11:00.
8. Kemenkes RI Direktorat jendral PP dan PL.2012.Pedoman Penanggulangan
Kecacingan. Jakarta.
9. WHO. Soil-transmitted helminth infections dalam
www.who.int/mediacentre/factsheets yang diakses pada tanggal 18 Mei
2016, pkl 12:00.
10.Prastiono, Ari.Hubungan Kejadian Kecacingan dengan Prestasi Belajar
Siswa dalam www.slideshare.net/sapakademik/jurnal-ari-prastiono yang
diakses pada tanggal 18 Mei 2016, pkl 12:30.

26
27

Anda mungkin juga menyukai