Anda di halaman 1dari 20

HEMATOLOGI III

MAKALAH
LEUKIMIA MIELOSTIK KRONIK (LMK)

Disusun oleh :
Sandra Rinjani M ( 411117096 )
Reza Ahmad Fauzi ( 411117098 )
Divia Syavila ( 411117112 )
Rani Nurobiah ( 411117116 )
Fatimah Aulia N ( 411117118 )

PROGRAM STUDI DIII ANALIS KESEHATAN


STIKES JENDERAL ACHMAD YANI CIMAHI
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala


karunianya-Nya sehingga makalah ini berhasil diselesaikan tepat waktu
yang telah di tentukan, Judul dalam makalah kali ini adalah “LEUKIMIA
MIELOSTIK KRONIK (LMK) “. Makalah kali ini diajukan sebagai salah
satu syarat dalam mata kuliah untuk menyelesaikan salah satu tugas.

Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka


menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai makalah ini.
Kamii juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam tugas ini terdapat
kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu kami
harapkan adanya kritik dan saran demi perbaikan dimasa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang
membangun.

Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada rekan – rekan


yang telah membantu terselesainya makalah ini. Terutama kepada Dosen
kami Dr Arina Novilla,S.Pd,M.Si yang telah membimbing kami dalam
menyelesaikan makalah ini. Semoga laporan ini dapat berguna bagi
siapapun yang membacanya.

Cimahi, 13 April 2019

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang ................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................... 2

C. Tujuan .............................................................................................. 2

D. Manfaat ............................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi ............................................................................................. 4

B. Etiologi ............................................................................................. 4

C. Patofisiologi ...................................................................................... 7

D. Klasifikasi ......................................................................................... 8

E. Manifestasi Klinis ............................................................................. 9

F. Pemeriksaan .................................................................................. 10

G. Diagnosis Banding ......................................................................... 11

H. Penatalaksanaan ........................................................................... 12

I. Prognosis ....................................................................................... 14

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................... 15

B. Saran ............................................................................................. 15

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Di era globalisasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan


teknologi yang semakin pesat, banyak hal-hal baru bermunculan; baik itu
dari segi fashion, food, maupun disease. Seiring dengan kian majunya
peradaban zaman, kita menjumpai berbagai penyakit baru yang pada
jaman purbakala dahulu tidak ada atau mungkin ada tapi belum
ditemukan dan di identifikasi.
Selama 20 tahu terakhir, telah terjadi beerapa peningkatan kejadian
anak yang di diagnosa dengan segala bentuk kanker. Hal ini dapat dilihat
dari data bahwa 11,5 kasus per 100.000 anak di tahun 1975 meningkat
menjadi 14,8 per 100.000 anak di tahun 2004. Data World Health
Organization (WHO) tahun 2009 menyebutkan bahwa secara global,
angka kejadian kanker pada anak usia dibawah 15 tahun mencapai
160.000 kasus baru per tahun. Sedangkan angka kematian mencapai
90.000 per tahun. Data National Cancer Institute (2009), menyebutkan
bahwa sekitar 10400 anak usia kurang dari 15 tahun didiagnosa kanker
dan 1.545 anak meninggal di USA pada tahun 2007, sehingga kanker
merupakan penyebab utama kematian pada anak di Amerika.
Penelitian yang dilakukan oleh Yaris dan Mandiacloqlu (2004)
didapatkan bahwa lebih dari 85% kasus kanker anak terjadi di negara
berkembang, termasuk Indonesia dan diperkirakan dalam dekade
mendatang jumlahnya akan meningkat menjadi 90%. Adanya
peningkatan jumlah penderita kanker dipengaruhi oleh adanya faktor
utama berupa : faktor lingkungan, gaya hidup, kebiasaan diet dan kondisi
kebersihan diri (hygiene). Hanya 20% dari mereka yang tinggal di negara
maju mendapatkan pengobatan memadai. Data Yayasan Onkologi Anak

1
2

Indonesia menunjukkan 2-3% dari jumlah kasus kanker di Indonesia


terjadi pada anak-anak, yakni sekitar 150 dari 1.0000.000 anak. Oleh
karena itu, diperkirakan setiap tahunnya ada 4.100 kasus baru kanker
pada anak di Indonesia (Umiati, 2010)
Berbagai macam jenis penyakit kanker diantaranya adalah kanker
darah (leukemia), kanker otak, kanker payudara, kanker paru-paru,
kanker hati dsb.
Leukemia adalah gangguan maligna darah dan sumsum tulang yang
menyebabkan akumulasi sel darah putih imatur yang mengalami disfungsi
di dalam sumsum tulang, darah perifer dan jaringan tubuh. (Nettina.2001)
Dengan berbagai kasus diatas, maka disusunlah makalah singkat
tentang penyakit leukemia myelostik kronik ini; antara lain untuk
menganalisis penyebab dari leukemia myelostik kronik sendiri dan
mengetahui bagaimana dampaknya terhadap kestabilan tubuh.
Selain hal tersebut diatas, penyusunan makalah ini juga ditujukan
untuk menginformasikan kepada mahasiswa analis kesehatan STIKES
JENDERAL ACHMAD YANI CIMAHI khususnya dan masyarakat
umumnya mengenai penyebab dan gejala dari leukemia myelostik kronik.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah leukemia myelostik kronik?
2. Apa penyebab leukemia myelostik kronik?
3. Apa saja gejala dari penderita leukemia myelostik kronik?
4. Bagian tubuh apakah yang mengalami gangguan apabila seseorang
menderita Leukemia Myelostik Kronik?

C. Tujuan
1. Mengetahui secara umum tentang leukemia myelostik kronik
2. Mengetahui penyebab dari timbulnya penyakit leukemia myelostik
kronik
3. Mengetahui gejala-gejala leukemia myelostik kronik
4. Mengetahui bagian tubuh yang mengalami gangguan pada penderita
Leukemia Myelostik Kronik.
3

D. Manfaat

1. Mahasiswa dapat mengetahui segala hal tentang Leukimia Mielositik


Kronik.
2. Mahasiswa dapat menyebarkan pengetahuan tentang penyakit
Leukimia Mielositik Kronik.
3. Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana mengidentifikasi penyakit
Leukimia Mielositik Kronik.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Leukemia adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan
diferensiasi dan proliferasi sel induk hematopoietik yang mengalami
transformasi dan ganas, menyebabkan supresi dan penggantian elemen
sumsum normal. Leukemia dibagi menjadi 2 tipe umum: leukemia
limfositik dan leukemia mieloid (Guyton and Hall, 2007).
Leukemia mieloid kronik (LMK) atau chronic myeloid leukemia
(CML) merupakan leukemia kronik, dengan gejala yang timbul perlahan-
lahan dan sel leukemianya berasal dari transformasi sel induk mieloid.
CML termasuk kelainan klonal (clonal disorder) dari sel induk pluripoten
dan tergolong sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif. Nama lain
untuk leukemia myeloid kronik, yaitu chronic myelogenous leukemia dan
chronic myelocytic leukemia. (I Made, 2006).
Atul & Victor (2005) menambahkan bahwa CML yang merupakan
gangguan mieloproliferatif klonal ini ditandai dengan peningkatan neutrofil
dan prekusornya pada darah perifer dengan peningkatan selularitas
sumsum tulang akibat kelebihan prekusor granulosit.

B. Etiologi
Etiologi CML masih belum diketahui. Menurut Jorge et al., (2010)
Beberapa asosiasi menghubungkannya dengan faktor genetik dan faktor
lingkungan, tetapi di kebanyakan kasus, tidak ada faktor yang dapat di
identifikasikan.
Agung (2010) mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang
menyebabkan CML, yaitu faktor instrinsik (host) dan faktor ekstrinsik
(lingkungan).

4
5

 Faktor Instrinsik
1) Keturunan dan Kelainan Kromosom
Leukemia tidak diwariskan, tetapi sejumlah individu memiliki faktor
predisposisi untuk mendapatkannya. Risiko terjadinya leukemia
meningkat pada saudara kembar identik penderita leukemia akut,
demikian pula pada suadara lainnya, walaupun jarang. Pendapat ini
oleh Price atau Wilson (1982) yang menyatakan jarang ditemukan
leukemia Familial, tetapi insidensi leukemia terjadi lebih tinggi pada
saudara kandung anak-anak yang terserang dengan insiden yang
meningkat sampai 30 % pada kembar identik (monozigot), (Agung
,2010).
Kejadian leukemia meningkat pada penderita dengan kelainan
fragilitas kromosom (anemia fancori) atau pada penderita dengan
jumlah kromosom yang abnormal seperti pada sindrom Duwa, sindrom
klinefelter dan sindrom turner.
2) Defisiensi Imun dan Defisiensi Sumsum Tulang
Sistem imunitas tubuh kita memiliki kemampuan untuk
mengidentifikasi sel yang berubah menjadi sel ganas. Gangguan pada
sistem tersebut dapat menyebabkan beberapa sel ganas lolos dan
selanjutnya berproliferasi hingga menimbulkan penyakit. Hipoplasia
dari sumsum tulang mungkin sebagai penyebab leukemia (Agung
,2010).
 Faktor Ekstrinsik
1) Faktor Radiasi
Adanya efek leukemogenik dan ionisasi radiasi, dibuktikan
dengan tingginya insidensi leukemia pada ahli radiologi (sebelum
ditemukan alat pelindung), penderita dengan pembesaran kelenjar
tymus, Ankylosing spondilitis dan penyakit Hodgkin yang mendapat
terapi radiasi. Diperkirakan 10 % penderita leukemia memiliki latar
belakang radiasi Sebelum proteksi terhadap sinar rutin dilakukan, ahli
radiologi mempunyai risiko menderita leukemia 10 kali lebih besar.
Penduduk Hiroshima dan Nagasaki yang hidup sesudah ledakan bom
atom tahun 1945 mempunyai insidensi LMA dan LMK sampai 20 kali
lebih banyak. Demikian pula pada penderita ankylosing spondilitis
6

yang diobati dengan sinar radioaktif lebih dari 2000 rads mempunyai
insidensi LMA 14 kali lebih banyak (Agung ,2010).
2) Bahan Kimia dan Obat-obatan
Bahan-bahan kimia terutama Hydrokarbon sangat berhubungan
dengan leukemia akut pada binatang dan manusia. Remapasan
Benzen dalam jumlah besar dan berlangsung lama dapat
menimbulkan leukemia. Penelitian Akroy et al (1976) telah
membuktikan bahwa pekerja pabrik sepatu di Turki yang kontak lama
dengan benzen dosis tinggi banyak yang menderita LMA .
Kloramfenikol dan fenilbutazon diketahui menyebabkan anemia
aplastik berat, tidak jarang diketahui dikahiri dengan leukemia,
demikian juga dengan Arsen dan obat-obat imunosupresif (Agung
,2010).
3) Infeksi Virus
Virus menyebabkan leukemia pada beberapa dirating percobaan
di laboratorium. Peranan virus dalam timbulnya leukemia pada
manusia masih dipertanyakan. Diduga yang ada hubungannya
dengan leukemia adalah Human T-cell leukemia virus (HTLV-1), yaitu
suatu virus RNA yang mempunyai enzim RNA transkriptase yang
bersifat karsinogenik (Agung ,2010).
Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan leukemia
pada binatang. Timbulnya leukemia dipengaruhi antara lain oleh
umur, jenis kelamin, strain virus, faktor imunologik serta ada tidaknya
zat kimia dan sinar radioaktif. Sampai sekarang tidak atau belum
dapat dibuktikan bahwa penyebab leukemia pada manusia adalah
virus. Walaupun demikian ada beberapa hasil penelitian yang
menyokong teori virus sebagai penyebab leukemia, antara lain
enzyme reverse transcriptase ditemukan dalam darah penderita
leukemia. Seperti diketahui enzim ini ditemukan di dalan virus
onkogenik seperti retrovirus tipe-C, yaitu jenis virus RNA yang
menyebabkan leukemia pada binatang (Agung ,2010).
7

C. Patofisiologi
Pada orang normal, tubuh mempunyai tiga jenis sel darah yang
matur:
1. Sel darah merah, yang berfunsi untuk mengangkut O2 masuk ke
dalam tubuh dan mengeluarkan CO2 dari dalam tubuh keluar lewat
paru
2. Sel darah putih, yang berfungsi untuk melawan infeksi dan sebagai
pertahanan tubuh
3. Trombosit, yang befungsi untuk mengontrol faktor pembekuan di
dalam darah
Sel-sel darah yang belum menjadi matur (matang) disebut sel-sel
induk (stem cells) dan blasts. Kebanyakan sel-sel darah menjadi dewasa
didalam sumsum tulang dan kemudian bergerak kedalam pembuluh-
pembuluh darah. Darah yang mengalir melalui pembuluh-pembuluh darah
dan jantung disebut peripheral blood (Sherwood,2001). Tetapi pada orang
dengan Chronic Myelogenous Leukemia(CML), proses terbentuknya sel
darah terutama sel darah putih di sumsum tulang mengalami kelainan
atau mutasi. Hal ini disebabkan karena kromosom 9 dan kromosom 22
(Hoffbrand, 2005).
Diagnosis CML dapat ditegakkan dengan adanya kromosom
Philadelphia (Ph) yang khas, terdapat pada kromosom 22 yang abnormal.
Terjadinya translokasi t(9;22)(q34;q11) antara kromosom 9 dan 22. Hal ini
diakibatkan dari proses protoonkogen Abelson (ABL) di kromosom 9
dipindahkan pada gen Break Cluster Region (BCR) di kromosom 22 dan
sebaliknya, bagian kromosom 22 pindah ke kromosom 9 (Hoffbrand,
2005).
Gen BCR-ABL pada kromosom Ph menyebabkan proliferasi yang
berlebihan sel induk pluripoten pada system hematopoiesis. Pada klon ini
selain proliferasiny ayang berlebihan, juga dapat bertahan hidup lebih
lama dibandingkan sel nirmal, karena gen BCR-ABL juga bersifat anti-
apoptosis. Dampak kedua mekanisme ini adalah terbentuknya klon-klon
abnormal yang akhirnya mendesak system hematopoiesis yang lainnya
(Fadjari, 2006).
8

Protein yang normal mempunyai aktivitas tirosin kinase 145 kD


(Hoffbrand,2005). Akan tetapi pada CML akan terjadi perubahan struktur,
sehingga akan mengakibatkan perubahan. Terdapat 3 tipe perubahan
pada gen BCR-ABL(Fadjari, 2006):
1. Perubanan terjadi pada gen BCR di daerah e13-e14 pada ekson 2
yang dikenal sebagai major break cluster region (M-bcr). Gen BCR-
ABL akan mensintesis protein dengan berat molekul 210 kD,
selanjutnya ditulis dengan p 210BCR-ABL. Pada pasien terdapat
trombositopenia
2. Perubahan terjadi pada gen BCR di daerah 54,4-kb atau el yang
dikenal dengan minor break cluster region (m-bcr) dan mensintesa p
190, yang dapat mengakibatkan monositosis yang prominen pada
pasien
3. Perubahan terjadi pada gen BCR di daerah e19-e20, dikenal sebagai
micro break cluster region (μ-bcr), yang selanjutnya akan terbentuk
p230 yang dapat mengakibatkan netrofilia dan/atau trombositosis.
Mekanisme terbentuk dan waktu yang dibutuhkan untuk
membentuk Ph menjadi CML dengan gejala klinis yang jelas masih belum
diketahui secara pasti. Beberapa ahli berpendapat akibat pengaruh
radiasi, sedangkan yang lain berpendapat karena pengaruh mutasi
spontan (Fadjari, 2006).

D. Klasifikasi
Menurut Victor et al., (2005) leukemia myeloid kronik (CML) dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Leukemia myeloid kronik, Ph positif (CML, Ph+) (leukemia granulositik
kronik, CGL).
2) Leukemia mieloid kronik, Ph negative (CML, Ph-)
3) Leukemia myeloid kronik juvenilis
4) Leukemia netrofilik kronik
5) Leukemia eosinofilik
6) Leukemia mielomonositik kronik (CMML) Tetapi, sebagian besar
(>95%) CML tergolong sebagai CML, Ph+ (I Made, 2006).
9

Perjalanan penyakit CML, menurut I Made (2006); Agung (2010)


dibagi menjadi beberapa fase, yaitu:
1) Fase Kronik : pada fase ini pasien mempunyai jumlah sel blast dan
sel premielosit kurang dari 5% di dalam darah dan sumsum
tulang. Fase ini ditandai dengan over produksi granulosit yang
didominasi oleh netrofil segmen. Pasien mengalami gejala ringan dan
mempunyai respon baik terhadap terapi konvensional.
2) Fase Akselerasi atau transformasi akut : fase ini sangat progresif,
mempunyai lebih dari 5% sel blast namun kurang dari 30%. Pada
fase ini leukosit bisa mencapai 300.000/mmk dengan didominasi oleh
eosinofil dan basofil. Sel yang leukemik mempunyai kelainan
kromosom lebih dari satu (selain Philadelphia kromosom).
3) Fase Blast (Krisis Blast) : pada fase ini pasien mempunyai lebih dari
30% sel blast pada darah serta sumsum tulangnya. Sel blast telah
menyebar ke jaringan lain dan organ diluar sumsum tulang. Pada fase
ini penyakit ini berubah menjadi Leukemia Myeloblastik Akut atau
Leukemia Lympositik Akut. Kematian mencapai 20%.

E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis CML, menurut I Made (2006) dan Victor et al.,
(2005) tergantung pada fase yang kita jumpai pada penyakit tersebut,
yaitu :
1) Fase kronik terdiri atas :
a. Gejala hiperkatabolik : berat badan menurun, lemah, anoreksia,
berkeringat pada malam hari.
b. Splenomegali hampir selalu ada, sering massif.
c. Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan.
d. Gejala gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh
hiperurikemia akibat pemecahan purin yang berlebihan dapat
menimbulkan masalah.
e. Gangguan penglihatan dan priapismus.
f. Anemia pada fase awal sering tetapi hanya ringan dengan
gambaran pucat, dispneu dan takikardi.
10

g. Kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan pada


saat check up atau pemeriksaan untuk penyakit lain.
2) Fase transformasi akut terdiri atas :
Perubahan terjadi perlahan-lahan dengan prodormal selama 6
bulan, di sebut sebagai fase akselerasi. Timbul keluhan baru, antara
lain : demam, lelah, nyeri tulang (sternum) yang semakin progresif.
Respons terhadap kemoterapi menurun, lekositosis meningkat dan
trombosit menurun (trombosit menjadi abnormal sehingga timbul
perdarahan di berbagai tempat, antara lain epistaksis, menorhagia).
3) Fase Blast (Krisis Blast) :
Pada sekitar 1/3 penderita, perubahan terjadi secara mendadak,
tanpa didahului masa prodormal keadaan ini disebut krisis blastik (blast
crisis). Tanpa pengobatan adekuat penderita sering meninggal dalam
1-2 bulan.

F. Pemeriksaan
I Made (2006) memaparkan beberapa pemeriksaan penunjang
untuk CML, yaitu :
1. Darah rutin :
a. Anemia mula-mula ringan menjadi progresif pada fase lanjut (fase
transformasi akut), bersifat normokromik normositer.
b. Hemoglobin : dapat kurang dari 10 g/100 m.
2. Gambaran darah tepi :
a. Leukositosis berat 20.000-50.000/mm3 pada permulaan kemudian
biasanya lebih dari 100.000/mm3.
b. Menunjukkan spectrum lengkap seri granulosit mulai dari
mieloblast sampai netrofil, komponen paling menonjol adalah
segmen netrofil (hipersegmen) dan mielosit. Metamielosit,
promielosit, dan mieloblast juga dijumpai. Sel blast < 5%. Sel
darah merah bernukleus.
c. Jumlah basofil dalam darah meningkat.
d. Trombosit bisa meningkat, normal atau menurun. Pada fase awal
lebih sering meningkat.
11

e. Fosfatase alkali netrofil (neutrophil alkaline phosphatase) selalu


rendah.
3. Gambaran sumsum tulang
a. Hiperseluler dengan system granulosit dominan. Gambarannya
mirip dengan apusan darah tepi. Menunjukkan spektrum lengkap
seri myeloid, dengan komponen paling banyak ialah netrofil dan
mielosit. Sel blast kurang dari 30 %. Megakariosit pada fase kronik
normal atau meningkat.
b. Sitogenik : di jumpai adanya Philadelphia (Ph1) kromosom pada
95 % kasus.
c. Vitamin B12 serum dan B12 binding capacity meningkat.
d. Kadar asam urat serum meningkat.
e. Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dapat mendeteksi
adanya chimeric protein bcr-abl pada 99% kasus (I Made, 2006).
4. Pemeriksaan Penunjang Lain
Menurut Agung (2010), ada beberapa pemeriksaan penunjang lain
untuk penyakit CML, antara lain:
a. Biopsi sumsum tulang : SDM abnormal biasanya lebih dari 50 %
atau lebih dari SDP pada sumsum tulang. Sering 60% - 90% dari
blast, dengan prekusor eritroid, sel matur, dan megakariositis
menurun.
b. Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat
keterlibatan.
c. David et al., (2009) menambahkan pemeriksaan lain, yaitu tes
untuk mendeteksi adanya kromosom Philadelphia.

G. Diagnosis Banding
Pemeriksaan darah tepi dan sumsung tulang merupakan situasi klinis
yang dapat menegakkan diagnosis adanya CML, pada beberapa pasien
CML kadang tidak ditemukan kromosom Ph. Sehingga di butuhkan suatu
standar untuk menegakkan suatu diagnosis.
 Diagnosis CML dalam fase akselerasi menurut WHO :
1) Blast 10-19% dari WBC pada darah tepi dan atau dari sel sumsum
tulang berinti.
12

2) Basofil darah tepi >20%.


3) Thrombositopenia persisten (<100x109/L) yang tidak dihubungkan
dengan terapi, atau thrombositosis (>1000x109/L) yang tidak
responsif terhadap terapi.
4) Peningkatan ukuran lien atau WBC yang tidak responsif pada
terapi.
5) Bukti sitogenik evolusi klonal (I Made, 2006).
 Diagnosis CML pada fase krisis blastik menurut WHO :
1) Blast >20% dari darah putih pada darah perifer atau sel sumsum
tulang berinti.
2) Proliferasi blast ekstrameduler.
3) Fokus besar atau cluster sel blast dalam biopsi sumsum tulang (I
Made,2006).
Diagnosis banding pada fase kronis adalah trombositosis esensial,
pada trombositosis ditemukan adanya fosfatase normal atau meningkat
sedangkan CML selalu rendah dan tidak ditemukannya Ph kromosom
seperti halnya yang selalu ditemukan Ph kromosom pada penderita CML.
Untuk fase krisis blast yaitu leukemia mieloid akut dan sindrom
mielodislasia (Victor et al., 2006).
Tidak ditemukannya Ph kromosom pada penderita CML yaitu pada
kasus penderita yang menderita CML tipe juvenillis yang sering dijumpai
pada pasien berumur kurang dari 4 tahun. Cirinya tidak adanya Ph
kromosom, peningkatan Hb janin, trombositopenia, monositosis yang
menonjol, dan CML juvenillis jarang mengalami transformasi blastik dan
meninggal akibat infeksi atau kegagalan organ akibat sebukan monosit
dan makrofag (Victor et al., 2006).

H. Penatalaksanaan
 Medikamentosa
Penatalaksanaan CML tergantung pada fase penyakit, yaitu :
1. Fase Kronik
a. Busulphan (Myleran), dosis : 0,1-0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit
diperiksa tiap minggu. Dosis diturunkan setengahnya jika leukosit
turun setengahnya. Obat di hentikan jika leukosit 20.000/mm3.
13

b. Terapi dimulai jika leukosit naik menjadi 50.000/mm3. Efek


samping dapat berupa aplasia sumsum tulang berkepanjangan,
fibrosis paru, bahaya timbulnya leukemia akut (I Made, 2006).
c. Hydroxiurea, bersifat efektif dalam mengendalikan penyakit dna
mempertahankan hitung leukosit yang normal pada fase kronik,
tetapi biasanya perlu diberikan seumur hidup (Victor et al., 2005).
Dosis mulai dititrasi dari 500 mg sampai 2000 mg. Kemudian
diberikan dosis pemeliharaan untuk mencapai leukosit 10.000-
15.000/mm3. Efek samping lebih sedikit (I Made, 2006).
d. Interferon α juga dapat mengontrol jumlah sel darah putih dan
dapat menunda onset transformasi akut, memperpanjang harapan
hidup menjadi 1-2 tahun (Atul & Victor, 2005). IFN-α biasanya
digunakan bila jumlah leukosit telah terkendali oleh hidroksiurea.
IFN-α merupakan terapi pilihan bagi kebanyakan penderita
leukemia Mielositik (CML) yang terlalu tua untuk transplantasi
sumsum tulang (BMT) atau yang tidak memiliki sumsum tulang
donor yang cocok. Interferon alfa diberikan pada rata-rata 3-5 juta
IU / d subkutan (Emmanuel, 2010). Tujuannya adalah untuk
mempertahankan jumlah leukosit tetap rendah (sekitar 4x109/l).
Hampir semua pasien menderita gejala penyakit ”mirip flu” pada
beberapa hari pertama pengobatan. Komplikasi yang lebih serius
berupa anoreksia, depresi, dan sitopenia. Sebagian kecil pasien
(sekitar 15%) mungkin mencapai remisi jangka panjang dengan
hilangnya kromosom Ph pada analisis sitogenik walaupun gen fusi
BCR-ABL masih dapat dideteksi melalui PCR. (Victor et al., 2005).
e. STI571, atau mesylate imatinib (Gleevec), merupakan obat yang
sedang diteliti dalam percobaan klinis dan tampaknya memberikan
hasil yang menjanjikan. Zat STI 57I adalah suatu inhibitor spesifik
terhadap protein ABL yaitu tiroksin kinase sehingga dapat
menekan proliferasi seri myeloid. Gleevec mengontrol jumlah
darah dan menyebabkan sumsum tulang menjadi Ph negative
pada sebagian besar kasus. Obat ini mungkin menjadi lini pertama
pada CML, baik digunakan sendiri atau bersama dengan interferon
14

atau obat lain (Atul & Victor, 2005; Emmanuel, 2010; Victor et al.,
2005; I Made, 2006)
f. Transplantasi sumsum tulang alogenik (stem cell transplantation,
SCT) sebelum usia 50 dari saudara kandung yang HLA-nya cocok
memungkinkan kesembuhan 70% pada fase kronik dan 30% atau
kurang pada fase akselerasi (Atul & Victor, 2005).
2. Fase Akselerasi dan Fase Blast
Terapi untuk fase akselerasi atau transformasi akut sama seperti
leukemia akut, AML atau ALL, dengan penambahan STI 57I
(Gleevec) dapat diberikan. Apabila sudah memasuki kedua fase ini,
sebagian besar pengobatan yang dilakukan tidak dapat
menyembuhkan hanya dapat memperlambat perkembangan penyakit.
(Atul & Victor, 2005; I Made, 2006).
 Non-Medikamentosa
Radiasi
Terapi radiasi dengan menggunakan X-Rays dosis tinggi sinar-
sinar tenaga tinggi secara external radiation therapy untuk
menghilangkan gejala-gejala atau sebagian dari terapi yang
diperlukan sebelum transplantasi sumsum tulang (Atul & Victor,
2005).
I. Prognosis
Sekitar 20-30% penderita meninggal dalam waktu 2 tahun setelah
penyakitnya terdiagnosis dan setelah itu sekitar 25% meninggal setiap
tahunnya. Banyak penderita yang bertahan hidup selama 4 tahun atau
lebih setelah penyakitnya terdiagnosis, tetapi pada akhirnya meninggal
pada fase akselerasi atau krisis blast. Angka harapan hidup rata-rata
setelah krisis blast hanya 2 bulan, tetapi kemoterapi kadang bisa
memperpanjang harapan hidup sampai 8-12 bulan (Agung, 2010).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Leukemia Myelostik Kronik/CML merupakan leukemia kronik dengan
gejala yang timbul perlahan – lahan dan sel leukemia berasal dari
transformasi sel induk myeloid. CML termasuk kelainan klonal (clonal
disorder) dari pluripotent stem cell dan tergolong sebagai salah satu
kelainan mieloproliferatif (myeloproliferative disorders).

Radiasi ion, virus dan bahan-bahan kimia merupakan faktor penyebab


patogenesis terjadinya leukemia Myelostik Kronik. Secara skematis
perubahan-perubahan yang terjadi mulai dari masa inisiasi preleukemia
dan akhirnya menjadi leukemia.

Dalam perkembangannya, Leukemia Myelostik Kronik bertahap dalam


3 fase, yaitu : Fase Kronik, Fase Akselerasi dan Fase Blass.

Penyakit ini disebabkan oleh adanya kelainan kromosom pada


sumsum tulang. Perubahan aktivitas tirosin kinase yang menyebabkan
terjadinya transformasi selular yang mendasari timbulnya Leukemia
Myelocid Kronik.

B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna,
kedepannya penulis akan lebih detail dalam menjelaskan tentang laporan
diatas dengan sumber sumber yang lebih banyak dan tentu dapat di
pertanggung jawabkan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Betz, CL & Sowden, LA. 2002.Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3. Jakarta
: EGC.
Brunner& Suddarth. 2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 2.
Jakarta : EGC.
ES Jaffe et al.2001.World Health Organization Classification of Tumours. Lyon
, ARC Press,
Fauci, Anthony S.; Kasper, Dennis L. ; Longo, Dan L.; Braunwald,
Eugene;Hauser, Stephen L.; Jameson, J. Larry; Loscalzo, Joseph;. 2008.
Harrison's Principles of Internal Medicine 17th edition. USA: McGraw-hill,
Guyton.1995. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi III. Jakarta :
EGC.
JM Bennett et al: Ann Intern Med 103:620, 1985.Joyce Engel. 1999. Pengkajian
Pediatrik. Edisi 2. Jakarta : EGC.
Kurnianda, Johan. 2007. Leukimia Mieloblastik Akut dalam buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan FK UI
Price, S A dan Wilson, L M. 2006.Patofisiologi , Konsep klinis proses-proses
penyakit . Jakarta : EGC, .
Whaley’s and Wong. 2001.Clinical Manual of Pediatric Nursing. Edisi 4. USA :
Mosby.

Anda mungkin juga menyukai