Anda di halaman 1dari 30

ILMU KESEHATAN ANAK

PENYAKIT LEUKIMIA DAN HEMOFILIA PADA


ANAK DAN BALITA

Dosen Pengampu: Siti Chunaeni, S.Kep.Ns,S.Tr.Keb,M.Kes

DISUSUN OLEH
KELOMPOK XI

1 MARIA ERSYN NUWA NIM:P1337424518087


2 MARIA MAGDALENA APRIANI NIM: P1337424518088
3 MAYA WULANDARI P. GUNARTO NIM: P1337424518089
4 MEISYA ALFIA ROSADA NIM: P1337424518090

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN MAGELANG


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SEMARANG
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga penyusunan makalah berjudul
“Penyakit Leukemia dan Haemofilia Pada Anak dan Balita” ini dapat diselesaikan.
Makalah ini disusun agar pembaca mendapat wawasan serta pengetahuan mengenai
Penyaki Leukimia dan Haemofilia, Penyebab dan tatalaksana. Selain itu makalah ini
dapat membantu mendeteksi secara dini jenis keganasan penyakit Leukemia dan
Haemofilia pada anak.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, penyusun meminta kritik dan saran yang membangun. Semoga Makalah berjudul
“Penyakit Leukemia dan Haemofilia Pada Anak dan Balita” ini dapat berguna dan
menambah cakrawala pengetahuan bagi pembaca.

Semarang

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii


DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Tujuan .................................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN TEORI
I. Leukimia… .......................................................................................... 3
A. Defenisi Leukimia ........................................................................... 3
B. Klasifikasi leukemia. ....................................................................... 3
C. Etiologi… ........................................................................................ 4
D. Epidemiologi. .................................................................................. 6
E. Patofisiologi..................................................................................... 6
F. Manisfestasi klinik .......................................................................... 7
G. Pemeriksaan Penunjang ................................................................... 7
H. Penatalaksanaan ............................................................................... 8
II. Hemofili ............................................................................................... 11
A. Pengertian ......................................................................................... 11
B. Fisiologi Pembekuan Darah .............................................................. 11
C. Klasifikasi ......................................................................................... 12
D. Manisfestasi klinis ........................................................................... 13
E. Faktor Presdiposisi ............................................................................ 16
F. Therapi .............................................................................................. 17
G. Komplikasi ........................................................................................ 22
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 24
B. Saran .................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 25
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Leukemia atau kanker darah adalah salah satu penyakit keganasan
yang sangat ditakuti oleh masyarakat dewasa ini. Menurut World Health
Organization (WHO) jumlah penderita kanker di dunia setiap tahunnya
bertambah sekitar 7 juta orang, dan dua pertiga diantaranya berada di negara-
negara yang sedang berkembang, jika tidak dikendalikan diperkirakan 26 juta
akan menderita kanker dan 17 juta akan meninggal karena kanker pada tahun
2030 (UICC, 2009).
Leukemia merupakan jenis kanker yang paling banyak dijumpai pada
anak. Secara umum, leukemia dibagi atas akut dan kronis. Leukemia akut
dibagi lagi atas limfoblastik dan myeloblastik ( Edi setiawan Tuhuteru, 2011)
Epidemiologi, kejadian leukemia sebesar 3040% dari seluruh
keganasan pada anak. Puncak kejadian terjadi pada usia 2-5 tahun dan angka
kejadian anak di bawah usia 15 tahun rata-rata 4-4,5/100.000 per tahun.1,2
Di RS Kanker ”Dharmais” (RSKD), setiap tahun rata-rata ditemukan 10
kasus baru leukemia akut pada anak dan selalu menduduki urutan pertama
dari 10 jenis kanker terbanyak pada anak. Sementara itu, sejak 2006-2010,
angka kematian leukemia pada fase pengobatan apapun di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan RSKD sebesar 20-30%.3,4 Leukemia
limfoblastik akut sebenarnya merupakan jenis kanker yang potensial untuk
disembuhkan dengan cara kemoterapi.
Selain Leukimia, ada juga penyakit Hemofilia yang menjadi salah
satu penyebab angka kematian balita di Indonesia. Hemofilia itu sendiri
adalah kelompok kelainan pembekuan darah dengan karakteristik sexlinked
resesif dan autosomal resesif (Jurnal Biomedik (JBM) Volume 5 Nomor 2:
Rehabilitasi Medik pada Hemofilia, 2013; hl. 71).
Hemophilia memiliki kejadian sekitar 1:5000 anak laki-laki, dimana
85% dari jumlah tersebut mengalami defisiensi faktor VIII dan 10-15%
lainnya mengalami defisiensi faktor IX. Hemophilia dapat menyerang semua
etnik
B. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian Penyakit Leukimia dan Hemofilia
2. Mengetahui Etiologi dari Penyakit Leukimia dan Hemofilia
3. Mengetahui Patofisiologi Penyakit Leukimia dan Hemofilia
4. Mengetahui penatalaksanaan Penyakit Leukimia dan Hemofilia
5. Mengetahui Pemeriksaan Penunjang Penyakit Leukimia dan
Hemofilia
BAB II
TINJAUAN TEORI

I. LEUKIMIA
A. Definisi Leukemia
Dalam tubuh terdapat jenis sel darah yang beredar di dalam darah,
yaitu sel darah merah, trombosit, dan sel darah putih. Ketiganya diproduksi
oleh sel induk di sumsum tulang. Sel induk sumsum tulang akan berkembang
dan tumbuh menjadi sel darah dewasa. Sel darah yang sudah dewasa akan
meninggalkan sumsum tulang dan beredar di dalam darah perifer. Dengan
leukemia, ada pertumbuhan yang tidak normal atau akumulasi sel darah putih
di sumsum tulang dan darah perifer, yang berakibat pada meningkatnya
jumlah sel darah putih (Hospital Authority, 2018)
Leukemia adalah kanker dari sel-sel pembentuk darah, sebagian besar
merupakan kanker dari leukosit, tetapi dapat juga dapat berawal dari sel
darah jenis lain. Leukemia dimulai di sumsum tulang yang merupakan tempat
pembentukan sel-sel darah. Sel-sel darah dengan cepat dilepaskan ke dalam
darah, kemudian dapat ke kelenjar getah bening, limpa, hati, sistem saraf
pusat, dan organ lainnya (American Cancer Society, 2010).
B. Klasifikasi Leukemia

Ada berbagai jenis leukemia dan pengobatan yang dilakukan berbeda-


beda tergantung pada jenis leukemia yang dihadapi. Menurut presentasi
klinis, leukemia bisa diklasifikasikan secara luas menjadi leukemia akut dan
kronis. Keduanya bisa diklasifikasikan lagi menurut jenis sel yang
terpengaruh:

1. Leukemia myeloid akut (AML): kanker sel darah myeloid yang belum
dewasa. Merupakan jenis leukemia yang paling umum terjadi pada orang
dewasa. Tingkat pertumbuhan sel kanker ini biasanya cepat dan
memengaruhi produksi sel darah normal pada awalnya. Pasien biasanya akan
mengalami gejala rendahnya jumlah sel darah (misalnya anemia, infeksi
karena jumlah sel darah putih yang rendah, pendarahan abnormal karena
jumlah trombosit yang rendah).
2. Leukemia Limfoblastik Akut (ALL): kanker sel limfoid yang belum dewasa.
Lebih sering terjadi pada anak-anak dan merupakan leukemia yang paling
umum diderita oleh anak-anak. Presentasinya mirip dengan AML.
Salah satu jenis leukemia yang sering terjadi pada anak-anak dan remaja
yaitu leukemia limfoblastik akut (LLA) (Lanzkowsky P, 2011).

3. Leukemia myeloid kronis (CML): kanker sel myeloid dewasa yang terkait
dengan kehadiran kromosom Philadelphia. Jenis leukemia ini kebanyakan
terdeteksi pada orang dewasa. Sel kanker berkembang pada tingkatan yang
relatif lambat, penyakit di stadium awal mungkin tidak menunjukkan gejala
apa pun. Pada stadium selanjutnya, pembesaran limpa bisa menyebabkan
sakit perut. Produksi sel darah normal juga bisa terpengaruh, dan
memunculkan gejala-gejala yang tercantum di atas.

4. Leukemia Limfositik Kronis (CLL): kanker sel limfoid dewasa. Sebagian


besar diderita oleh individu yang berusia lanjut (>60 tahun). Jenis ini jarang
terjadi pada anak-anak. Sel kanker ini juga ditandai dengan laju pertumbuhan
yang lambat. Penyakit di stadium awal biasanya bersifat asimtomatik.
C. ETIOLOGI
Menurut hasil penelitian, orang dengan faktor risiko tertentu lebih
meningkatkan risiko timbulnya penyakit leukemia.
1. Host
a. Umur, jenis kelamin, ras
Insiden leukemia secara keseluruhan bervariasi menurut umur. LLA
merupakan leukemia paling sering ditemukan pada anak-anak, dengan
puncak insiden antara usia 2-4 tahun.
Penelitian Lee at all (2009) dengan desain kohort di The Los Angeles
County-University of Southern California (LAC+USC) Medical Centre
melaporkan bahwa penderita leukemia menurut etnis terbanyak yaitu
hispanik (60,9%) yang mencerminkan keseluruhan populasi yang dilayani
oleh LCA + USA Medical Center. Dari pasien non-hispanik yang umum
berikutnya yaitu Asia (23,0%), Amerika Afrika (11,5%), dan Kaukasia
(4,6%).
b. Faktor Genetik
Insiden leukemia pada anak-anak penderita sindrom down adalah 20
kali lebih banyak daripada normal. Kelainan pada kromosom 21 dapat
menyebabkan leukemia akut. Insiden leukemia akut juga meningkat pada
penderita dengan kelainan kongenital misalnya agranulositosis kongenital,
sindrom Ellis Van Creveld, penyakit seliak, sindrom Bloom, anemia Fanconi,
sindrom Wiskott Aldrich, sindrom Kleinefelter dan sindrom trisomi D.
Pada sebagian penderita dengan leukemia, insiden leukemia
meningkat dalam keluarga. Kemungkinan untuk mendapat leukemia pada
saudara kandung penderita naik 2-4 kali. Selain itu, leukemia juga dapat
terjadi pada kembar identik. Berdasarkan penelitian Hadi, et al (2008) di Iran
dengan desain case control menunjukkan bahwa orang yang memiliki riwayat
keluarga positif leukemia berisiko untuk menderita LLA (OR=3,75; CI=1,32-
10,99) artinya orang yang menderita leukemia kemungkinan 3,75 kali
memiliki riwayat keluarga positif leukemia dibandingkan dengan orang yang
tidak menderita leukemia.
2. Agent
Etiologi spesifik LLA belum diketahui, tetapi terdapat hubungan
dengan proses multifaktorial yang berkaitan dengan genetik, imunologi,
lingkungan, bahan toksik, dan paparan virus. Faktor lingkungan meliputi
antara lain paparan ionizing radiation, bahan toksik kimia, herbisida dan
pestisida. Pemakaian obat-obatan seperti kontrasepsi, diethylstilbestrol, dan
amfetamin, rokok, konsumsi alkohol, kontaminasi zat kimia sebelum atau
selama kehamilan mempunyai hubungan tidak konsisten dengan LLA
(Lanzkowsky P, 2011), Ionizing radiation dan paparan benzene merupakan
faktor risiko yang berhubungan erat baik dengan LLA maupun leukemia
mieloid akut. Beberapa penelitian melaporkan adanya kemungkinan
hubungan antara medan elektromagnetik dari daya voltase tinggi dan
perkembangan leukemia, tetapi penelitian yang lebih besar tidak
mengonfirmasi hubungan tersebut. Sampai saat ini, penyebab leukemia
umumnya tidak dapat diidentifikasi (Leather HL, Poon BB, 2008).
D. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian LLA ialah 3-4 kasus per 100.000 anak. Setiap tahun,
di Amerika Serikat sekitar 2.500-3.000 anak, dan di Eropa sekitar 5000 anak
menderita LLA (American Cancer Society, 2010). Insiden tertinggi terjadi
pada usia 2-5 tahun. LLA merupakan keganasan yang tersering ditemukan
pada usia <15 tahun, dan sekitar 25-30% dari seluruh penyakit keganasan
pada anak. Anak laki-laki mempunyai risiko leukemia yang lebih tinggi
daripada anak perempuan, tetapi diagnosis leukemia pada tahun pertama
kehidupan lebih sering pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. Di
negara-negara maju, insiden LLA pada anak 2-4 kali lipat dibandingkan rata-
rata insiden di negara-negara sedang berkembang. Hal ini bisa diakibatkan
oleh perbedaan faktor lingkungan, genetik, dan akurasi diagnostik (Harila M,
2011).
E. PATOFISIOLOGI
LLA dicirikan oleh proliferasi limfoblas imatur. Pada tipe leukemia
akut, kerusakan mungkin pada tingkat sel punca limfopoietik atau prekursor
limfoid yang lebih muda. Sel leukemia berkembang lebih cepat daripada sel
normal, sehingga menjadi crowding out phenomenon di sumsum tulang.
Perkembangan yang cepat ini bukan disebabkan oleh proliferasi yang lebih
cepat daripada sel normal, tetapi sel-sel leukemia menghasilkan faktor-faktor
yang selain menghambat proliferasi dan diferensiasi sel darah normal, juga
mengurangi apoptosis dibandingkan sel darah normal (Leather HL, Poon BB,
2008).
Perubahan genetik yang mengarah ke leukemia dapat mencakup:
1. Aktivasi gen yang ditekan (protogen) untuk membuat onkogen yang
menghasilkan suatu produk protein yang mengisyaratkan peningkatan
proliferasi
2. Hilangnya sinyal bagi sel darah untuk berdiferensiasi
3. Hilangnya gen penekan tumor yang mengontrol proliferasi normal
4. Hilangnya sinyal apoptosis (Leather HL, Poon BB, 2008).
F. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis umumnya berupa rasa tidak sehat, demam, pucat, kurang
nafsu makan, berat badan menurun, malaise, kelelahan, nyeri tulang dan
sendi, epistaksis dan cenderung terjadi perdarahan, rentan terhadap infeksi,
serta sakit kepala. Tanda klinis yang ditemukan ialah kenaikan suhu tubuh,
ekimosis atau petekie, splenomegali, hepatomegali, limfadenopati, dan
anemia, dan letargi (Leather HL, Poon BB, 2008).
Gejala leukemia pada anak yang harus diperhatikan orang tua:
1. Terlihat pucat atau mengalami anemia
2. Demam tinggi atau menggigil
3. Kelemahan dan kelelahan kronis
4. Kekurangan selera makan
5. Mudah mengalami pendarahan atau memar
6. Terjadinya penurunan berat badan secara drastis
7. Pembengkakan pada kelenjar getah bening
8. Pembesaran pada limpa atau hati (pembengkakan pada perut)
9. Bintik merah kecil di kulit
10. Sesak napas
11. Keringat berlebihan (terutama di malam hari)
12. Nyeri tulang
13. Infeksi yang terus-menerus
14. Sakit kepala
15. Batuk/sakit tenggorokan
16. Kejang (Article of the Asian Parent Singapura).
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah
tepi dan pemeriksaan sumsum tulang
1. Pemeriksaan Darah Tepi
Pada penderita leukemia jenis LLA ditemukan leukositosis (60%) dan
kadang-kadang leukopenia (25%). Pada penderita LMA ditemukan
penurunan eritrosit dan trombosit. Pada penderita LLK ditemukan
limfositosis lebih dari 50.000/mm3, sedangkan pada penderita LGK/LMK
ditemukan leukositosis lebih dari 50.000/mm3.
2. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Hasil pemeriksaan sumsum tulang pada penderita leukemia akut
ditemukan keadaan hiperselular. Hampir semua sel sumsum tulang diganti
sel leukemia (blast), terdapat perubahan tiba-tiba dari sel muda (blast) ke sel
yang matang tanpa sel antara (leukemic gap). Jumlah blast minimal 30% dari
sel berinti dalam sumsum tulang.
Pada penderita LLK ditemukan adanya infiltrasi merata oleh limfosit
kecil yaitu lebih dari 40% dari total sel yang berinti. Kurang lebih 95%
pasien LLK disebabkan oleh peningkatan limfosit B. Sedangkan pada
penderita LGK/LMK ditemukan keadaan hiperselular dengan peningkatan
jumlah megakariosit dan aktivitas granulopoeisis. Jumlah granulosit lebih
dari 30.000/mm3, hitung darah lengkap : menunjukkan normositik, anemia
normositik, Hemoglobulin : dapat kurang dari 10 gr/100ml, Trombosit :
sangat rendah (< 50000/mm), SDP : mungkin lebih dari 50000/cm dengan
peningkatan SDP immatur, Foto dada dilakukan untuk skrining massa
mediastinal (umumnya pada LLA sel T) (Leather HL, Poon BB, 2008).
H. PENATALAKSANAAN
1. Kemoterapi
Kemoterapi pada penderita LLA
a. Tahap 1 (terapi induksi)
Tujuan dari tahap pertama pengobatan adalah untuk membunuh
sebagian besar sel-sel leukemia di dalam darah dan sumsum tulang. Terapi
induksi kemoterapi biasanya memerlukan perawatan di rumah sakit yang
panjang karena obat menghancurkan banyak sel darah normal dalam proses
membunuh sel leukemia.
Pada tahap ini dengan memberikan kemoterapi kombinasi yaitu
daunorubisin, vincristin, prednison dan asparaginase.
b. Tahap 2 (terapi konsolidasi/ intensifikasi)
Setelah mencapai remisi komplit, segera dilakukan terapi intensifikasi
yang bertujuan untuk mengeliminasi sel leukemia residual untuk
mencegah relaps dan juga timbulnya sel yang resisten terhadap obat.
Terapi ini dilakukan setelah 6 bulan kemudian.
c. Tahap 3 ( profilaksis SSP)
Profilaksis SSP diberikan untuk mencegah kekambuhan pada SSP.
Perawatan yang digunakan dalam tahap ini sering diberikan pada dosis yang
lebih rendah. Pada tahap ini menggunakan obat kemoterapi yang berbeda,
kadang-kadang dikombinasikan dengan terapi radiasi, untuk mencegah
leukemia memasuki otak dan sistem saraf pusat.
d. Tahap 4 (pemeliharaan jangka panjang)
Pada tahap ini dimaksudkan untuk mempertahankan masa remisi.
Tahap ini biasanya memerlukan waktu 2-3 tahun. Angka harapan hidup yang
membaik dengan pengobatan sangat dramatis. Tidak hanya 95% anak dapat
mencapai remisi penuh, tetapi 60% menjadi sembuh. Sekitar 80% orang
dewasa mencapai remisi lengkap dan sepertiganya mengalami harapan hidup
jangka panjang, yang dicapai dengan kemoterapi agresif yang diarahkan pada
sumsum tulang dan SSP.
2. Radioterapi
Radioterapi menggunakan sinar berenergi tinggi untuk membunuh
sel-sel leukemia. Sinar berenergi tinggi ini ditujukan terhadap limpa atau
bagian lain dalam tubuh tempat menumpuknya sel leukemia. Energi ini bisa
menjadi gelombang atau partikel seperti proton, elektron, x-ray dan sinar
gamma. Pengobatan dengan cara ini dapat diberikan jika terdapat keluhan
pendesakan karena pembengkakan kelenjar getah bening setempat.
3. Transplantasi Sumsum Tulang
Transplantasi sumsum tulang dilakukan untuk mengganti sumsum
tulang yang rusak dengan sumsum tulang yang sehat. Sumsum tulang yang
rusak dapat disebabkan oleh dosis tinggi kemoterapi atau terapi radiasi.
Selain itu, transplantasi sumsum tulang juga berguna untuk mengganti sel-sel
darah yang rusak karena kanker. Pada penderita LMK, hasil terbaik (70-80%
angka keberhasilan) dicapai jika menjalani transplantasi dalam waktu 1 tahun
setelah terdiagnosis dengan donor Human Lymphocytic Antigen (HLA) yang
sesuai. Pada penderita LMA transplantasi bisa dilakukan pada penderita yang
tidak memberikan respon terhadap pengobatan dan pada penderita usia muda
yang pada awalnya memberikan respon terhadap pengobatan.
Tujuan penanganan LLA ialah mencapai remisi hematologik dan
klinis lengkap (complete remission, CR) yang ditentukan dengan hilangnya
semua tanda fisik dan kelainan sumsum tulang, restorasi hematopoiesis
normal (netrofil 1500 sel/mm3 dan trombosit >100.000 sel/mm3). Setelah
CR dicapai, pasien dipertahankan dalam CR kontinu. Secara umum, pasien
anak dianggap sembuh setelah CR kontinu dicapai selama 5-10 tahun
(Leather HL, Poon BB, 2008).
4. Terapi fisik
Tujuan terapi fisik pada pasien keganasan anak ialah: preventif, untuk
mencegah terjadinya gejala sisa yang menyebabkan disabilitas; restorasi,
untuk memaksimalkan pulihnya sistem motorik pada pasien dengan defisit;
suportif, untuk mendorong tingkat fungsional kemandirian tertinggi yang
mungkin dicapai saat masih terdapat gejala sisa dan progresivitas disabilitas
dapat diantisipasi; dan paliatif, untuk meningkatkan atau memelihara
kenyamanan dan kemandirian pasien dengan terminal disease. Intervensi
rehabilitasi membuat pasien dapat meme-lihara independensi dan mencegah
komplikasi akibat tirah baring (imobilitas) karena waktu penanganan medis
maupun perawatan yang lama.
5. Terapi okupasi
Pasien LLA membutuhkan terapi okupasi karena adanya komplikasi
atau penyakit sekunder.20 Pemberian terapi okupasi ialah memaksimalkan
kemampuan anak dalam aktivitas sehari-hari, peningkatan perkembangan
ketrampilan, dan mengurangi dampak komplikasi penyakit. Kelemahan otot
dan atrofi sering terjadi pada pasien anak-anak dengan keganasan; sering
disertai penurunan ketahanan kardiovaskuler akibat inaktivitas atau tirah
baring yang terlalu lama. Latihan kardiovaskuler yang dapat diberikan bagi
anak-anak ialah bermain bola, bersepeda ergometri, ambulasi progresif, atau
aktivitas motorik seperti meloncat, melompat, skipping, dan berlari.
Adanya disabilitas dapat memengaruhi kemampuan anak untuk
bermain, mengurangi keceriaan, juga memengaruhi perasaan, kehilangan
control, dan ketidakmampuan belajar. Dampaknya membuat anak kurang
berminat untuk bermain, gangguan tingkah laku, serta gangguan kognitif,
komunikasi, dan motorik. Terapis harus dapat memberikan tantangan sosial,
kognitif, dan motorik, dengan memakai aktivitas permainan yang
meningkatkan kemampuan pasien dan mencapai tujuan terapi. Sebagai
contoh ialah recreational therapy; anak menunjuk-kan kemampuan motorik,
ketangkasan, dan kekuatan otot yang meningkat (O’Brien JC, 2006).
6. Terapi Suportif
Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yag
ditimbulkan penyakit leukemia dan mengatasi efek samping obat. Misalnya
transfusi darah untuk penderita leukemia dengan keluhan anemia, transfusi
trombosit untuk mengatasi perdarahan dan antibiotik untuk mengatasi
infeksi.
Perkembangan emosional dan kepribadian seorang anak muncul
antara usia 2-6 tahun. Secara umum, orang tua yang mempunyai anak dengan
disabilitas fisik cenderung melindungi anaknya dan tidak mendorong
anaknya menjadi mandiri. Dukungan psikologi keluarga serta status
emosional pasien dan keluarga harus diperhatikan karena berhubungan
dengan stres berat yang akan muncul karena kematian anak akibat
kanker.Faktor psikologi menjadi penting dan menentukan keberhasilan dalam
hidup dibandingkan keparahan disabilitas yang diperoleh pasien. Dokter
rehabilitasi medik perlu memasukkan kemampuan sosial dalam penilaian dari
fungsi pasien dan rencana perbaikan tindakan yang diper-lukan, seperti juga
peresepan assistive devices atau latihan untuk mobilitas.

II. HEMOFILI
A. Pengertian
Hemofilia adalah kelompok kelainan pembekuan darah dengan
karakteristik sexlinked resesif dan autosomal resesif (Jurnal Biomedik (JBM)
Volume 5 Nomor 2: Rehabilitasi Medik pada Hemofilia, 2013; hl. 71).
B. Fisiologi Pembekuan Darah
Hemostasis adalah pemberhentian dari pendarahan yang disebabkan
oleh pembuluh darah yang cedera. Tubuh dapat melakukan hemostasis dan
menghentikan perdarahan sehari-hari serta juga yang lebih parah lainnya
dengan tiga cara langkah utama yaitu (1) spasme pembulu darah, (2)
pembentukan platelet plug, dan (3) koagulasi darah.2 Koagulasi darah adalah
transformasi darah dari cairan menjadi suatu gel yang solid. Proses koagulasi
ini dapat terjadi melalui jalur ekstrinsik dan intrinsik. Faktor XII, XI, IX, dan
VIII adalah murni dari bagian dari jalur instrinsik sedangkan faktor III dan
VII adalah bagian dari ekstrinsik. Jalur ekstrinsik dan ekstrinsik kemudian
bertemu pada faktor 10 dan kemudian lanjut berjalan sehingga fibrinogen
dapat menjadi fibrin (MEDICINUS Vol. 6 No. 1: Hemofilia,Oktober 2016 –
Januari 2017)
C. Klasifikasi
Hemophilia memiliki kejadian sekitar 1:5000 anak laki-laki, dimana
85% dari jumlah tersebut mengalami defisiensi faktor VIII dan 10-15%
lainnya mengalami defisiensi faktor IX. Hemophilia dapat menyerang semua
etnik.
Hemophilia klasik yang diakibatkan karena adanya mutasi pada gen
faktor VIII atau faktor IX, diklasifikasikan sebagai hemophilia A dan
hemophilia B. Kedua gen tersebut terletak pada kromosom X. Oleh karena
itu, hemophilia adalah kelainan yang X-linked inheritance.
Beratnya penyakit hemophilia dapat diklasifikasikan berdasarkan
level dari faktor VIII dan IX karena level dari faktor-faktor tersebut sangat
berkaitan dengan beratnya gejala perdarahan yang ditimbulkan.
Beratnya perdarahan akibat hemophilia A dapat diprediksi secara
akurat dengan mengukur aktivitas dari residu faktor VIII atau faktor IX di
plasma. Berikut ini adalah interpretasi hasil bila dilakukan pengukuran level
faktor pembekuan darah terhadap nilai normal:
<1% : gejala perdarahan berat (hemophilia berat)
1-5% : hemophilia tingkat sedang (moderate)
5-25% : hemophilia ringan
Sekitar 70% dari semua kasus hemophilia dikategorikan dalam
hemophilia berat. Namun, angka ini mungkin tidak mencerminkan keadaan
sebenarnya karena rata-rata pasien yang datang ke dokter adalah pasien yang
sudah terkena hemophilia berat. Pada tahun 1990, rata-rata umur harapan
hidup seseorang dengan hemophilia adalah 11,3 tahun (Hemostasis And
Thrombosis: Congenital Hemorrhagic Disorders: New Insights into the
Pathophysiology and Treatment of Hemophilia. High Hematology, Jan 2000;
2000: 241).
Hemophilia A merupakan suatu penyakit yang berhubungan dengan
kelainan pada kromosom X yang diturunkan secara resesif dan biasanya
sering terjadi pada anak laki-laki. Sekitar 30% dari semua jumlah pasien
hemophilia mengalami mutasi secara de novo. Semua anak laki-laki dari
seorang ayah yang menderita hemophilia akan normal, sedangkan anak
perempuannya pasti merupakan carrier yang membawa defek pada faktor
VIII. Lalu, anak laki-laki dari seorang carrier akan memiliki kemungkinan
50% menderita hemophilia dan anak perempuannya akan memiliki
kemungkinan 50% menjadi carrier (Williams Hematology. 7th ed, 2006;
115).
Pada beberapa anak perempuan carrier hemophilia A atau B akan
mengalami penurunan level faktor VIII atau IX karena adanya ionisasi pada
kromosom X sehingga menimbulkan gejala perdarahan ringan pada carrier.
Penentuan kadar faktor VIII dan IX pada seorang carrier sangat penting
untuk dilakukan karena hasil dari pengukuran kedua faktor tersebut dapat
digunakan untuk melakukan terapi pada saat seorang carrier akan dilakukan
tindakan bedah atau terdapat gejala perdarahan (Nelson Textbook of
Pediatrics, 2004; hl. 1657-1660)
Hemophilia A pada anak perempuan sangat jarang terjadi, walaupun
pernah dilaporkan adanya kasus hemophilia yang terjadi pada anak
perempuan yang merupakan keturunan dari ayah hemophilia dan ibu carrier.
Hemophilia A mungkin saja terjadi pada anak perempuan yang memiliki
abnormalitas pada kromosom X, misalnya pada syndrome Turner, X
chromosome mosaicism, dan kelainan kromosom X lainnya.
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari hemophilia A memiliki kemiripan dengan
manifestasi klinis yang ditimbulkan oleh hemophilia B. Hemophilia berat
biasanya tampak pada bayi laki-laki atau pada awal masa anak-anak yang
ditandai dengan adanya perdarahan spontan pada persendian, jaringan lunak,
atau di bagian tubuh lainnya. Pasien dengan hemophilia ringan jarang
menunjukkan gejala perdarahan spontan, tetapi perdarahan mungkin mudah
terjadi pada keadaan yang membutuhkan proses hemostatik (misalnya,
tindakan bedah atau trauma). Seorang anak perempuan yang terdiagnosa
sebagai carrier hemophilia biasanya asymptomatic.
Jumlah arthropathy akibat hemophilia dapat dihindari pada pasien
yang telah lama menerima pengobatan profilaksis yaitu dengan
menggunakan terapi konsentrat selama masa anak-anak, mengingat bahwa
arthritis berat dan keterbatasan gerak pada sendi yang diserang tersebut
umumnya terjadi pada usia dewasa yang menerima terapi secara episodik
atau terapi minimal pada saat masih anak-anak dan bila pasien sering
mengalami hemarthrosis yang berulang. Tidak sempurnanya pembentukan
faktor VIII atau faktor IX ditandai dengan adanya perdarahan yang tidak
memberikan hasil (resisten) bila diberikan terapi serta adanya perdarahan
yang baru dan tidak seperti biasanya (CURRENT Medical Diagnosis &
Treatment, 2008).
Baik faktor VIII maupun faktor IX tidak melewati atau menembus
plasenta. Oleh karena itu, gejala yang berupa perdarahan dapat muncul
karena proses persalinan atau pun dapat terjadi pada fetus. Dan biasanya bayi
(neonatus) akan mengalami perdarahan intracranial. Informasi dari keluarga
mengenai adanya riwayat hemophilia dalam keluarga sangat membantu
dokter mendiagnosa lebih awal ada atau tidaknya hemophilia pada bayi.
Kecurigaan adanya hemophilia pada seorang anak yang terlambat didiagnosa
hemophilia saat baru lahir adalah munculnya perdarahan intramuscular,
hemarthroses, dan mudahnya timbul memar saat anak mulai belajar untuk
merangkak atau berjalan. Selain itu, perdarahan akibat luka pada mulut bayi
atau anak hemophilia dapat terjadi selama beberapa jam atau hari dan
biasanya menyebabkan orang tua membawa anaknya tersebut ke dokter
(Nelson Textbook of Pediatrics. 17th, 2004; hl. 1657-1660.
Sekitar 90% anak dengan hemophilia berat akan menunjukkan gejala
perdarahan yang signifikan sampai dengan umur 1 tahun. Perdarahan yang
terjadi akibat adanya hemophilia dapat terjadi di bagian tubuh mana pun,
tetapi gejala yang paling khas untuk hemophilia adalah adanya hemarthrosis.
Perdarahan pada persendian umumnya diakibatkan karena adanya trauma
minor pada daerah sendi tersebut. Namun, meskipun demikian, hemarthroses
dapat juga terjadi secara spontan. Perdarahan di sendi paling sering terjadi
pada daerah pergelangan kaki. Karena sendi pada pergelangan kaki seorang
anak (toddler) masih belum terlalu stabil untuk digunakan pada posisi tegak.
Untuk anak yang sudah besar dan orang dewasa, hemarthrosis sering terjadi
pada sendi di daerah siku dan lutut. Pengenalan adanya perdarahan di sendi
pada seorang anak biasanya setelah timbul bengkak yang hebat dan adanya
akumulasi cairan pada ruang sendi. Ciri khas yang lain dari perdarahan sendi
akibat hemophilia adalah adanya satu sendi yang paling sering mengalami
perdarahan berulang. Perdarahan berulang tersebut, pada akhirnya, akan
terjadi secara spontan akibat adanya perubahan patologis pada sendi tersebut.
Perdarahan intramuscular akibat hemophilia sering terjadi pada otot
iliopsoas.
Perdarahan intramuscular biasanya memiliki gejala sakit dan
pembengkakan yang terlokalisir. Gejala awal adanya perdarahan pada otot
iliopsoas adalah adanya sakit yang tidak terlalu hebat di daerah selangkangan
paha. Pasien akan kehilangan banyak volume darah pada otot iliopsoas dan
akibatnya bisa sampai terjadi shock hypovolemic. Untuk menegakkan
diagnosa adanya perdarahan pada otot iliopsoas adalah ketidakmampuan
anak tersebut untuk melakukan ekstensi pinggul, serta dilengkapi dengan
pemeriksaan ultrasonography atau CT scan.
Yang menjadikan hemophilia sebagai penyakit yang berbahaya
adalah perdarahan yang terjadi pada organ tubuh yang vital atau karena
hilangnya darah dalam jumlah besar (misalnya perdarahan pada otot
iliopsoas, gastrointestinal, atau perdarahan external). Terapi secepatnya
dengan menggunakan konsentrat faktor pembekuan darah menjadi sangat
penting dalam upaya untuk menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh
penyakit hemophilia. Terapi konsentrat ini bertujuan untuk menaikkan kadar
atau level dari faktor pembekuan sampai pada jumlah yang normal (100 U/dL
atau 100%). Bila seorang anak dengan hemophilia mengalami perdarahan
intracranial, maka terapi konsentrat dapat diberikan setelah anak tersebut
selesai dilakukan pemeriksaan radiologi. Anak dengan hemophilia ringan,
yang memiliki kadar atau level dari faktor VIII atau IX lebih besar dari 5
U/dL, akan jarang dijumpai perdarahan spontan. Namun, akan mengalami
perdarahan yang sukar hilang, misalnya setelah mengalami ekstraksi gigi,
tindakan operasi, dan jejas akibat trauma yang cukup berat.
Anak dengan hemophilia ringan, yang memiliki kadar atau level dari
faktor VIII atau IX lebih besar dari 5 U/dL, akan jarang dijumpai perdarahan
spontan. Namun, akan mengalami perdarahan yang sukar hilang, misalnya
setelah mengalami ekstraksi gigi, tindakan operasi, dan jejas akibat trauma
yang cukup berat.
E. Faktor Predisposisi
Menurut Jurnal Biomedik (JBM) Volume 5 Nomor 2: Rehabilitasi Medik
pada Hemofilia (2013) faktor predisposisi hemofilia yaitu:
1. Periode neonatal
Periode neonatal ialah rentang waktu sejak kelahiran sampai 28 hari
post natal. Perdarahan intrakranial (intracranial hemorrhage, ICH)
biasanya merupakan tanda pertama yang dapat ditemukan pada
periode ini. Riwayat hemofilia dalam keluarga merupakan hal penting
dalam menentukan teknik persalinan untuk mengurangi risiko trauma
persalinan.
2. Periode infant, toddler dan child
Periode infant dimulai setelah neonatal sampai usia 1 tahun,
kemudian beralih ke periode toddler sampai usia 2 tahun, selanjutnya
periode child sampai usia 10 tahun. Pada periode infant dan toddler,
risiko terjadinya perdarahan menjadi lebih tinggi seiring dengan
perkembangan dan pertumbuhan bayi yaitu mulai belajar untuk
duduk, merangkak, berdiri, berjalan, dan berlari. Hematom dan
hemartrosis mulai ditemukan pada periode ini. Selain itu, pemberian
imunisasi juga memerlukan perhatian khusus karena imunisasi
biasanya diberikan secara intramuskular.
3. Periode adolescent dan adult
Periode adolescent ialah rentang waktu usia 10-19 tahun, dan
selanjutnya adult sampai usia 64 tahun. Pada periode adolescent,
amigdala yang bertanggung jawab terhadap perilaku instingtual
berkembang pesat sedangkan lobus frontal yang berfungsi dalam
reasoning, yaitu perilaku untuk berpikir dahulu sebelum bertindak
belum berkembang sempurna. Olah raga dan permainan yang
memacu adrenalin biasanya menjadi bagian dari kehidupan anak yang
dapat meningkatkan risiko terjadinya perdarahan baik internal
maupun eksternal. Pada periode adult, fungsi lobus frontalis dalam
hal reasoning sudah berkembang baik. Pasien hemofilia sudah cukup
dewasa untuk menyesuaikan diri sehingga umumnya risiko terjadinya
perdarahan atau komplikasi lainnya dapat dihindari.
F. Terapi
Terapi terbaik apabila seorang anak telah didiagnosa mengidap
penyakit hemophilia adalah dengan melakukan pencegahan terjadinya suatu
trauma pada anak tersebut, tetapi gejala perdarahan mungkin saja dapat
terjadi tanpa di dahului dengan adanya trauma. Pencegahan dini juga dapat
dilakukan dari bidang psikososial, khususnya bagi orang tua dan keluarga
pasien. Aspirin dan berbagai obat NSAID yang dapat mempengaruhi kerja
trombosit sebaiknya dihindari oleh pasien hemophilia. Walaupun terapi
dengan menggunakan produk rekombinan dapat menghindari pasien dari
penyakit-penyakit yang dapat timbul akibat transfusi, sang anak yang
mengidap hemophilia tetap harus diberikan vaksinasi terhadap hepatitis B.
Vaksinasi ini dilakukan pada masa neonatus. Pasien sebaiknya melakukan tes
screening secara periodik terhadap hepatitis dan kelainan-kelainan fungsi
hati.
1. Terapi Pengganti (Replacement Therapy)
Saat perdarahan terjadi, hal pertama yang harus dipikirkan
adalah menaikkan level dari faktor VIII atau faktor IX sehingga
mencapai keadaan hemostatik (35-40 U/dL). Dalam kasus yang
mengancam jiwa pasien atau terjadi perdarahan hebat, maka faktor
VIII atau IX dapat dinaikkan sampai 100 U/dL (100%).
Dengan tersedianya produk rekombinan sebagai terapi
pengganti, maka pengobatan profilaksis direkomendasikan untuk
sebagian besar anak-anak yang menderita hemophilia berat untuk
menghindari terjadinya perdarahan spontan dan kelainan sendi.
Penggunaan profilaksis menunjukkan hasil yang mengagumkan
dalam mencegah terjadinya penyakit sendi yang kronis. Apabila
pasien tersebut sudah memiliki „sendi target‟ (target joint), maka
profilaksis lini kedua dapat digunakan. Berikut ini adalah kalkulasi
atau penghitungan dosis rekombinan faktor VIII atau rekombinan
faktor IX:

Untuk hemophilia A ringan, dengan administrasi desmopresin


asetat, pasien secara endogen dapat menghasilkan faktor VIII. Pasien
dengan defisiensi faktor VIII yang moderat dan berat memiliki
persediaan faktor VIII di dalam tubuhnya yang tidak adekuat,
sehingga pengobatan dengan menggunakan desmopresin asetat
menjadi tidak efektifkarena defisiensi faktor IX.. Stimate merupakan
bentuk intranasal dari konsentrat desmopresin asetat dan dapat
digunakan pada pasien dengan hemophilia A. Dosis untuk
menggunakan Stimate sebagai terapi adalah 150μg untuk anak yang
berat badannya kurang dari 50 kg dan 300μg untuk anak dengan berat
badan yang lebih dari 50 kg.

Terapi Hemofilia
Tipe Perdarahan Hemofilia A Hemofilia B
Hemarthrosis konsentrat faktor VIII konsentrat faktor VIII
20- 40 U/kg; 15 U/kg 20- 40 U/kg; 15 U/kg
jika sudah pernah jika sudah pernah
dirawat. Ulangi dosis dirawat. Ulangi dosis
tersebut setiap hari tersebut setiap hari
sampai fungsi sendi sampai fungsi sendi
kembali ke normal. kembali ke normal.
Pertimbangkan untuk Pertimbangkan untuk
menggunakan terapi menggunakan terapi
tambahan pada hari tambahan pada hari
ke 7- 10. ke 7- 10.
Pertimbangkan Pertimbangkan
penggunaan penggunaan
profilaksis. profilaksis.
Hematoma pada 20 U/kg konsentrat 40 U/kg konsentrat
otot faktor VIII; teruskan faktor IX; terapi
dan jaringan terapi setiap hari dilakukan selama 2-3
subkutan sampai perdarahan hari sampai sembuh
hilang
Mulut, gigi desidua, 20 U/kg konsentrat 40 U/kg konsentrat
atau ekstraksi gigi faktor VIII; terapi faktor IX; terapi
antifibrinolitik; buang antifibrinolitik; buang
gigi desidua yang gigi desidua yang
longgar longgar

Epistaxis Lakukan penekanan Lakukan penekanan


pada hidung selama pada hidung selama
15-20 menit; gunakan 15- 20 menit;
petrolatum gauze; gunakan petrolatum
terapi antifibrinolitik; gauze; terapi
20 U/kg konsentrat antifibrinolitik; 30
faktor VIII bila terapi U/kg konsentrat
yang lainnya gagal faktor IX bila terapi
yang lainnya gagal
Tindakan bedah 50-75 U/kg konsentrat 120 U/kg konsentrat
mayor, perdarahan faktor VIII, kemudian faktor IX, kemudian
yang mengancam lanjutkan dengan 50- 60 U/kg setiap 12-
jiwa menggunakan infus 2- 24 jam untuk menjaga
4 U/kg/jam untuk level faktor IX > 40
menjaga level faktor U/dL selama 5-7 hari,
VIII > 100 U/dL dan kemudian > 30
selama 24 jam, U/dL selama 5 hari
kemudian berikan 2-3
U/kg/jam selama 5-7
hari untuk
mempertahankan
level > 50 U/dL dan
tambahan 5-7 hari
pada level > 30 U/dL
Perdarahan 50 U/kg konsentrat 120 U/kg konsentrat
iliopsoas faktor VIII, kemudian faktor IX, kemudian
25 U/kg setiap 12 jam 50- 60 U/kg setiap 12-
sampai asimtomatik, 24 jam untuk
kemudian 20 U/kg mempertahankan
setiap harinya sampai level faktor IX > 40
total 10-14 hari U/dL samapai
asimtomatik,
kemudian 40-50 U
setiap harinya sampai
total 10-14 hari
Hematuria Bed rest; 1.5 x Bed rest; 1.5 x
maintenance fluid; maintenance fluid;
jika tidak terkontrol jika tidak terkontrol
dalam 1-2 hari, 20 dalam 1- 2 hari, 40
U/kg konsentrat faktor U/kg konsentrat
VIII; jika tidak faktor IX; jika tidak
terkontrol, berikan terkontrol, berikan
prednisone prednisone
Profilaksis 20 U/kg konsentrat 30 U/kg konsentrat
faktor VIII setiap faktor IX setiap 2-3
harinya hari
2. Pengobatan Profilaksis
Sekarang, banyak pasien yang diterapi dengan menggunakan
pengobatan profilaksis untuk jangka waktu yang lama untuk
mencegah terjadinya perdarahan sendi spontan. Biasanya pengobatan
profilaksis ini dimulai setelah pernah mengalami perdarahan pada
daerah sendi untuk pertama kalinya. Anak tersebut biasanya akan
dipasang central kateter untuk memastikan akses masuk ke pembuluh
vena. Terapi biasanya dilakukan setiap 2-3 hari untuk menjaga dan
mengecek level faktor pembekuan darah dalam plasma (1-2 U/dL)
yang dilakukan tepat sebelum melakukan infuse berikutnya. Jika
arthropathy moderat sudah terjadi, maka untuk mencegah terjadinya
perdarahan berikutnya digunakan plasma yang mengandung faktor
pembekuan darah yang lebih tinggi kadarnya. Selain itu, pasien
tersebut menjadi kurang dapat menerima efek apabila dilakukan
terapi gen. Bagi anak yang sudah cukup dewasa dan belum pernah
menerima pengobatan profilaksis, maka pengobatan profilaksis lini
kedua dapat digunakan apabila ‘sendi target’ sudah berkembang.
3. Self-Care Therapy
Sebagian besar atau hampir semua pasien hemophilia memerlukan
perawatan medis ketika gejala perdarahan atau trauma terjadi. Berikut
ini adalah beberapa tindakan yang dapat dilakukan orang tua ketika
seorang anak dengan hemophilia mengalami gejala perdarahan.
a. Hindari penggunaan obat golongan aspirin dan NSAID
(ibuprofen) karena penggunaan obat-obatan tersebut malah
akan mengganggu proses pembekuan darah sehingga
memperberat gejala.
b. Apabila ditemukan darah di dalam urin, maka pastikan anak
tersebut untuk minum lebih banyak sehingga hidrasi dapat
terjadi dengan baik.
c. Berikan tekanan secara mekanik pada bagian tubuh anak
tersebut yang mengalami perdarahan.
d. Gunakan es dan balut sendi yang mengalami perdarahan.
e. Apabila orang tua atau anak tersebut sudah mendapatkan
pelatihan mengenai penyakit, maka dapat dilakukan secara
swadaya pemberian terapi pengganti (replacement therapy)
G. Komplikasi
Komplikasi jangka panjang yang dapat disebabkan oleh hemophilia A
dan hemophilia B antara lain adalah kerusakan sendi kronik, penyakit infeksi
akibat penggunaan terapi transfusi, serta timbulnya inhibitor baik pada faktor
VIII atau faktor IX. Infeksi HIV, hepatitis B dan C merupakan beberapa
penyakit yang ditransmisikan melalui infus dan dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas pada pasien dewasa muda dan remaja dengan
hemophilia. Baik terapi rekombinan maupun produk plasma sebagai
pengganti faktor VIII memiliki insidens yang sama dalam menimbulkan
inhibitor. Faktor IX yang sudah dilakukan purifikasi atau rekombinan faktor
IX dapat menimbulkan reaksi anaphilaxis. Toleransi imun terhadap faktor IX
dapat mengakibatkan sindrom nefrotik pada beberapa pasien.
Secara umum, arthropathy kronik adalah gangguan utama yang
muncul karena hemophilia. Pada pasien hemophilia yang tidak menerima
perawatan, biasanya akan mengalami gejala perdarahan yang berulang pada
satu sendi (sendi target). Selain itu, zat besi dari darah juga akan dikeluarkan
dan menginduksi proliferasi makrofag. Semua hal tersebut akan
menimbulkan proses inflamasi di sinovium. Proses inflamasi tersebut akan
menimbulkan perubahan bentuk dan menebalnya sinovium sehingga sendi
menjadi rapuh dan dapat menginduksi perdarahan yang lebih berat lagi.
Permukaan kartilago akan mengalami erosi sehingga terjadi hubungan
langsung dengan tulang padat dan menimbulkan penyatuan (articular fusion).
Anak-anak, dengan sendi yang masih baik, memiliki sinovium yang masih
elastis dan mengakomodasi jumlah darah yang banyak.
Sehingga apabila anak tersebut baru pertama kali mengalami gejala
perdarahan karena hemophilia, maka akan timbul gejala pembengkakan yang
lebih hebat apabila dibandingkan dengan rasa nyeri yang timbul. Sebaliknya,
pada pasien yang lebih dewasa dengan arthropathy lanjut dan memiliki scar
pada salah satu sendinya, hanya mempunyai ruang sendi yang lebih sempit
untuk mengakomodasi darah. Pada pasien pasien-pasien yang lebih dewasa
tersebut akan memiliki derajat rasa nyeri yang lebih besar jika dibandingkan
dengan pembengkakan yang timbul pada sendi yang terserang. Pengobatan
profilaksis jangka pendek maupun jangka panjang harus diterapkan pada
pasien yang memiliki sendi target, sehingga dapat mencegah progresi
arthropathy dan mengurangi inflamasi.
Inhibitor adalah suatu antibody yang dihasilkan oleh tubuh pasien
hemophilia yang pernah diterapi dengan menggunakan faktor VIII atau faktor
IX. Antibody tersebut secara spesifik akan melawan atau menghambat
aktivitas pembekuan darah yang ditimbulkan oleh faktor VIII atau faktor
IX.4 Pada suatu penelitian13 , munculnya antibody terhadap faktor VIII atau
IX (inhibitor) dilaporkan mencapai 13% (52/420) pada pasien hemophilia
berat, 7% pada pasien hemophilia sedang, dan 5% pada pasien hemophilia
ringan. Timbulnya inhibitor biasanya diketahui pada saat gagalnya usaha
untuk mengatasi perdarahan dengan menggunakan terapi pengganti. Hanya
sedikit dari pasien yang membentuk inhibitor teridentifikasi pada saat
melakukan pemeriksaan rutin. Inhibitor dapat hilang pada beberapa pasien
yang terus melakukan infusi secara regular. Tetapi, pada sejumlah pasien
yang lainnya malah akan menghasilkan titer inhibitor yang lebih tinggi
dengan program infusi tersebut. Untuk pasien-pasien yang demikian harus
dilakukan program desensitisasi, dimana pasien akan diberikan infus faktor
VIII atau IX dosis tinggi dengan tujuan mensaturasi antibody dan tubuh dapat
mentoleransi faktor VIII atau IX tersebut (Nelson Textbook of Pediatrics,
2004;hl. 1657-1660).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Leukemia adalah kanker dari sel-sel pembentuk darah, sebagian besar
merupakan kanker dari leukosit, tetapi dapat juga dapat berawal dari
sel darah jenis lain. Leukemia dimulai di sumsum tulang yang
merupakan tempat pembentukan sel-sel darah, ada 2 factor penyebab
dari penyakit Leukimia yaitu Host dan Agent. Menurut presentasi
klinis, leukemia bisa diklasifikasikan secara luas menjadi leukemia
akut dan kronis. Therapy dari Leukimia antara lain Kemoterapi
Radioterapi, Transplantasi Sumsum Tulang, Terapi fisik,Terapi
okupasi
2. Hemofilia adalah kelompok kelainan pembekuan darah dengan
karakteristik sexlinked resesif dan autosomal resesif .Hemophilia
memiliki kejadian sekitar 1:5000 anak laki-laki, dimana 85% dari
jumlah tersebut mengalami defisiensi faktor VIII dan 10-15% lainnya
mengalami defisiensi faktor IX. Beratnya penyakit hemophilia dapat
diklasifikasikan berdasarkan level dari faktor VIII dan IX karena level
dari faktor-faktor tersebut sangat berkaitan dengan beratnya gejala
perdarahan yang ditimbulkan, Yang menjadikan hemophilia sebagai
penyakit yang berbahaya adalah perdarahan yang terjadi pada organ
tubuh yang vital atau karena hilangnya darah dalam jumlah besar
(misalnya perdarahan pada otot iliopsoas, gastrointestinal, atau
perdarahan external.Terapi terbaik apabila seorang anak telah
didiagnosa mengidap penyakit hemophilia adalah dengan melakukan
pencegahan terjadinya suatu trauma pada anak tersebut
B. Saran
1. Untuk menghindari leukimia harus melakukan deteksi dini dan ketika
sudah ada gejala-gejala segera periksakan ke dokter Cara mencegah
Penyakit Leukimia yaitu dengan mengonsumsi vitamin A dan C, buah
maupun sayuran yang kaya akan serat.''
2. Dengan riwayat keluarga ada yang menderita penyakit
hemophilia,probabilitas anak tersebut menderita hemophilia banding
anak tersebut normal adalah 50% : 50%. Disarankan bagi anak
tersebut terlebih dahulu menjalankan pemeriksaan kadar faktornya
untuk mengetahui jenis dan tingkat hemophilia.
DAFTAR PUSTAKA

Article of theAsian Parent Singapura. Available from: http://www.Penyakit-


leukemia-pada-anak-Jangan-abaikan-gejalanya.html diakses pada tanggal 16
Agustus 2018 pukul 15.00 WIB

Childhood leukemia overview – American Cancer Society. 2010 [cited 2013 Feb
20];p. 2-14. Available from:
http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003044-
pdfdiakses pada tanggal 16 Agustus 2018 pukul 15.10 WIB

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran & RSUP Dr. Hasan Sadikin.2014.


Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi 5. Bandung:
Departemen, SMF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran, RSUP Dr. Hasan Sadikin

Harila M. Health Related Quality of Life in Survivors of Childhood Acute


Lymphoblastic Leukaemia [Thesis]. Oulu: University of Oulu; 2011.

James, Joyce, Colin Baker & Helen Swain. 2008. Prinsip-prinsip Sains untuk
Keperawatan. Jakarta: Erlangga.

Lanzkowsky P. Leukemia. In: Lanzkowsky P, editor. Manual of Pediatric


Hematology and Oncology (Fifth edition). New York: Elsevier Inc., 2011; p. 518.

Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology.Edisi ke-5. London:


Elsevier; 2011.

Leather HL, Poon BB. Acute leukemias. In: Dipiro JT, editor. Pharmacotherapy A
Pathophysiologic Approach (Seventh Edition). New York: The McGraw-Hill
Companies Inc., 2008; p. 2260-5.

Leukaemia / Indonesian.2018 Hospital Authority. All rights reserved.

Nuriawati, Aisyah Putri. 2015. Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Leukemia.
Semarang: Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang.
O’Brien JC. Play and playfulness. In: Solomon JW, O’Brien JC, editors. Pediatric
Skills for Occupational Therapy Assistants. St. Louis: Mosby Elsevier, 2006;
p. 323-7.

Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Hal B. Jenson, editors. Nelson Textbook


of Pediatrics. 17th ed. USA: Elsevier; 2004. p. 1657-1660.
Susanto, Michael dan Andree Kurniawan. Oktober 2016 – Januari 2017 .
MEDICINUS Vol. 6 No. 1: Hemofilia. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Pelita Harapan.
WFH.2012.Guideline World Federation of Hemophilia. 2012. Canada: WFH.

Yenny. 2014. Rehabilitasi Medik Pada Anak Dengan Leukemia Limfoblastik


Akut.Manado: Universitas Sam Ratulangi Manado, Jurnal Biomedik (JBM),
Volume 6, Nomor 1, Maret 2014, hlm. 1-7

Yoshua, Vincentinus dan Engeline Angliadi. 2013. Jurnal Biomedik (JBM) Volume
5 Nomor 2: Rehabilitasi Medik pada Hemofilia. Manado: Universitas Sam
Ratulangi.

Anda mungkin juga menyukai