Anda di halaman 1dari 58

MAKALAH HEMATOLOGI II

MEKANISME TERJADINYA LEUKIMIA AML DAN CML

Disusun oleh Kelompok 13:


1. Dinda Kartika Putri
2. Febri Alif Septyan
3. Katherina Agnesia Andhara P
4. Nadia Putri Haifa
5. Wahyu Julianingsih
6. Yuliah Putri
7. Zahratul Hamra Sa'idah

Dosen Pengampu: Hanny Siti N, S.ST, M.Biomed

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN BANTEN


JURUSAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayatnya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Mekanisme Terjadinya
Leukimia ALL Dan CLL untuk memenuhi tugas mata kuliah Hematologi II di
Kampus Poltekkes Kemenkes Banten.
Dengan segala rendah hati kami menyadari bahwa tugas ini jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, dengan lapang hati kami akan menerima saran dan
nasehat maupun kritikan yang membangun.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua khusus nya
teman-teman Poltekkes Kemenkes Banten. Semoga Allah SWT memberikan
balasan dan pemahan kepada kami serta balasan segala kebaikan yang telah di
berikan oleh semua pihak dalam menyelesaikan makalah ini.

Tangerang, 8 Maret 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata pengantar ........................................................................................... i


Daftar isi ...................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1


A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 2
C. Tujuan ............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................. 3


A. Definisi Leukimia............................................................................ 3
B. Penyebab Leukimia ......................................................................... 4
C. Jenis Leukimia ................................................................................ 5
D. Leukemia AML dan CML ............................................................... 6
E. Gambaran Sel Pada Kondisi Leukimia Di SADT ............................. 27

BAB III PENUTUP ..................................................................................... 29


A. Kesimpulan ..................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 30

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Leukemia merupakan keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang,
ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi penambahan sel-
sel abnormal dalam darah tepi. Berdasarkan National Academy of Sciences,
terdapat lebih dari 100.000 bayi di seluruh dunia yang lahir dengan keadaan dan
kondisi yang berat dari Leukemia (Cooley’s Anemia Foundation, 2006).
Leukimia sendiri dapat terjadi secara akut ataupun kronik yang bergantung
pada cepatnya penyakit muncul dan berkembang. Sel-sel darah sendiri yang
menjadi komponen dari darah diprodukdi pada sumsum tulang dan berasal dari
stem cell. Stem cell ini yang akan berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel-sel
darah ini terdiri atas 2 jenis yaitu limfoid dan mieloid. Stem cell tipe limfoid
nantinya akan berkembang menjadi sel-T, sel-B, sel NK (Natural Killer).
Sedangkan stem cell mieloid akan berdiferensiasi menjadi sel darah merah, sel
darah putih (neutrofil, eosinofil, basofil, dan monosit) dan platelet.
Leukemia adalah kanker yang merusak darah dan sumsum tulang di mana sel-
sel darah dibuat. Leukemia terbagi menjadi empat jenis yaitu Acute Myeloid
Leukemia (AML), Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL), Chronic Myeloid
Leukemia (CML), dan Chronic Lymphocytic Leukemia (CLL). CLL dan AML
umumnya terjadi pada orang dewasa dan ALL umumnya terjadi pada anak-anak.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Leukimia?
2. Apakah penyebab Leukimia?
3. Apa saja jenis Leukimia?
4. Bagaimana gambaran sel pada kondisi Leukimia di SADT?

C. Tujuan
1. Agar mengetahui apakah yang dimaksud dengan Leukimia
2. Agar mengetahui apakah penyebab Leukimia
3. Agar mengetahui Apa saja jenis Leukimia
4. Agar mengetahui bagaimana gambaran sel pada kondisi Leukimia di SADT

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI LEUKIMIA
Leukemia atau kanker darah adalah sekelompok penyakit neoplastik yang
beragam, ditandai oleh perbanyakan secara tak normal atau transformasimaligna
dari sel-sel pembentuk darah di sumsum tulang dan jaringan limfoid. Sel-sel
normal di dalam sumsum tulang digantikan oleh sel tak normal atau abnormal. Sel
abnormal ini keluar dari sumsum dan dapat ditemukan didalam darah perifer atau
darah tepi. Sel leukemia mempengaruhi hematopoiesis atau proses pembentukan
sel darah normal dan imunitas tubuh penderita.
Kata leukemia berarti darah putih, karena pada penderita ditemukan banyak
sel darah putih sebelum diberi terapi. Sel darah putih yang tampak banyak
merupakan sel yang muda, misalnya promielosit. Jumlah yang semakin meninggi
ini dapat mengganggu fungsi normal dari sel lainnya.
Leukemia (kanker darah) adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel
darah putih yang diproduksi oleh sumsum tulang (bone marrow). Sumsum tulang
atau bone marrow ini dalam tubuh manusia memproduksi tiga type sel darah
diantaranya sel darah putih (berfungsi sebagai daya tahantubuh melawan infeksi),
sel darah merah (berfungsi membawa oxygen kedalam tubuh) dan platelet (bagian
kecil sel darah yang membantu proses pembekuan darah).
Pada kasus Leukemia (kanker darah), sel darah putih tidak merespon kepada
tanda/signal yang diberikan. Akhirnya produksi yang berlebihan tidak terkontrol
(abnormal) akan keluar dari sumsum tulang dan dapat ditemukan di dalam darah
perifer atau darah tepi. Jumlah sel darah putih yang abnormal ini bila berlebihan
dapat mengganggu fungsi normal sel lainnya, seseorang dengan kondisi seperti ini
(Leukemia) akan menunjukkan beberapa gejala seperti; mudah terkena penyakit
infeksi, anemia dan perdarahan.

3
B. PENYEBAB LEUKIMIA
Penyebab leukemia masih belum bisa dipahami dengan baik. Leukemia diduga
dipicu oleh satu sel yang tidak normal pada sumsum tulang, di mana gen penting
yang mengendalikan bagaimana sel harus berkembang biak, bertumbuh, dan mati
telah berubah. Namun, penyebab mengapa sel tersebut menjadi tidak normal
belum bisa diketahui secara pasti.
Faktor-faktor risiko berikut bisa meningkatkan risiko terkena penyakit
leukemia :
1. Radiasi
Paparan radiasi yang berlebihan dapat meningkatkan frekuensi LMA,
beberapa laporan yang mendukung :
a. Para pegawai radiologi lebih sering menderita leukemia.
b. Penderita dengan radioterapi lebih sering menderita leukemia.
c. Leukemia ditemukan pada korban hidup kejadian bom atom Hiroshima
dan Nagasaki, Jepang.
2. Bahan Kimia
Paparan terhadap bahan kimia beracun (misalnya benzena dan pemakaian
obat anti kanker, meningkatkan resiko terjadinya leukemia).
3. Virus
Virus dapat menyebabkan leukemia seperti retrovirus, virus leukemia
feline, HTLV-1 pada dewasa. Virus HTLV-I (human T-cell lymphotropic
virus type I), yang menyerupai virus penyebab AIDS, diduga merupakan
penyebab jenis leukemia yang jarang terjadi pada manusia, yaitu leukemia
sel-T dewasa.
4. Kelainan Genetik
Orang yang memiliki kelainan genetik tertentu (misalnya sindroma Down
dan sindroma Fanconi), juga lebih peka terhadap leukemia.

4
C. JENIS LEUKIMIA
Leukemia dibagi menjadi beberapa jenis, diantaranya yaitu :
1. Leukimia Akut
a. Leukimia Mielostik Akut (LMA) / Acute Myeloid Leukimia (AML)
LMA disebut juga leukimia mielogenus akut atau leukemia Granulositik
akut (LGA) yang di karakteristikkan oleh produksi berlebihan dari
mieloblast. Pada LMA, Mielosit (yang dalam keadaan normal berkembang
menjadi granulosit) berubah menjadi ganas dan dengan segera akan
menggantikan sel-sel normal di sumsum tulang.
LMA sering terjadi pada semua usia, tetapi jarang terjadi pada anak-anak.
Mieloblast menginfiltrasi sumsum tulang dan ditemukan dalam darah. Hal
ini dapat mengakibatkan terjadinya anemia, perdarahan, dan infeksi, tetapi
jarang disertai keterlibatan organ lain.
b. Leukemia Limfositik Akut (LLA) / Acute Lymphositic Leukemia (ALL)
LLA sering menyerang pada masa anak – anak dengan presentase 75% -
80%. LLA menginfiltrasi sumsum tulang oleh sel limfoblastik yang
menyebabkan anemia, memar (trombositopeni), dan infeksi (neutropenia).
Limfoblas biasanya di temukan dalam darah tepi dan selalu ada di sumsum
tulang, hal ini mengakibatkan terjadinya limfadenopati, splenomegali, dan
hepatomegali, tetapi 70% anak dengan leukemia limfatik akut kini bisa
disembuhkan.
2. Leukimia Kronis
Leukemia kronis merupakan kanker yang berkembang dengan lambat dan
membutuhkan periode waktu yang lebih lama. Sebagian besar pasien tidak
merasakan atau hanya mengalami gejala kesehatan ringan hingga penyakit ini
berkembang ke stadium lebih lanjut atau saat jumlah sel darah putih sudah
sangat tinggi.
a. Leukemia Limfositik Kronis (LLK)
LLK terjadi pada manula dengan limfadenopati generalisata dan
peningkatan jumlah leukosit disertai limfositosis, perjalanan penyakit
biasanya jinak dan indikasi pengobatan adalah hanya jika timbul gejala.

5
b. Leukemia Mielositik Kronis (LMK) / Chronic Myeloid Leukimia (CML)
LMK sering juga disebut leukemia granulositik kronik (LGK), LMK
merupakan kanker sumsum tulang yang berkembang secara perlahan, yang
disebabkan oleh kelainan kromosom karakteristik pada sel induk sumsum
tulang dan sel leukemia. Dalam sel ini, bagian dari kromosom 9 bertukar
tempat dengan bagian dari kromosom 22.
Kromosom yang tidak normal ini disebut sebagai kromosom
Philadelphia dan juga merupakan ciri khas dari CML. Kromosom ini
memberi sinyal kepada sumsum tulang untuk memproduksi banyak sel
darah putih. Gambaran menonjol adalah :
1) Adanya kromosom Philadelphia pada sel-sel darah. Ini adalah
kromosom abnormal yang ditemukan pada sel-sel sumsum tulang.
2) Krisis blast fase yang dikarakteristikkan oleh poroliferasi tiba-tiba dari
jumlah besar mieloblast.

D. LEUKIMIA AML DAN CML


1. Leukimia Mielostik Akut (LMA) / Acute Myeloid Leukimia (AML)
 Definisi Acute Myeloid Leukemia (AML)
Leukemia myeloid akut atau Acute Myeloid Leukemia (AML) sering
juga dikenal dengan istilah Acute Myelogenous Leukemia atau Acute
Granulocytic Leukemia merupakan penyakit keganasan yang ditandai
dengan diferensiasi dan proliferasi abnormal sel induk hematopoetik yang
bersifat sistemik dan secara malignan melakukan transformasi sehingga
menyebabkan penekanan dan penggantian komponen sumsum tulang
belakang yang normal. Pada kebanyakan kasus AML, tubuh memproduksi
terlalu banyak sel darah putih yang disebut myeloblas yang masih bersifat
imatur. Sel-sel darah yang imatur ini tidak sebaik sel darah putih yang telah
matur dalam melawan adanya infeksi. Pada AML, mielosit (yang dalam
keadaan normal berkembang menjadi granulosit) berubah menjadi ganas dan
dengan segera akan menggantikan sel-sel normal di sumsum tulang.

6
 Epidemiologi
Kejadian AML berbeda dari satu Negara dengan Negara lainnya, hal ini
berkaitan denga ncara diagnosis dan pelaporannya. AML mengenai semua
kelompok usia, tetapi kejadiannya meningkat dengan bertambahnya usia. Di
AS, diperkirakan ada sekitar 19.950 kasus baru AML dan sekitar 10.430
kematian karena AML pada tahun 2016, sebagian besar pada dewasa. Di
Australia setiap tahunnya terdapat kurang lebih 3.200 orang dewasa dan 250
anak-anak yang didiagnosis dengan leukimia. Dari total tersebut 900 orang
dewasa diantaranya dan 50 anak terdiagnosis dengan AML. Jumlah insiden
terjadinya AML meningkat terutama pada orang-orang yang berusia 60
tahun.
Data di Indonesia sangat terbatas, pernah dilaporkan insidens AML di
Jogjakarta adalah 8 per satu juta populasi. Penyakit ini meningkat progresif
sesuai usia, puncaknya pada usia ≥ 65 tahun. Usia rata-rata pasien saat
didiagnosis AML sekitar 67 tahun. AML sedikit lebih sering dijumpai pada
pria. AML yang lebih banyak terjadi pada orang dewasa. Namun AML juga
merupakan jenis leukimia yang sering ditemukan pada anak-anak. Risiko
terjadinya. AML meningkat 10 kali lipat dari usia 30-34 tahun sampai
dengan usia 65-69 tahun. Pada otrang yang berusia leih dari 70 tahun
insidennya jarang meningkat.
 Etiologi
Penyebab leukemia masih belum diketahui secara pasti hingga kini.
Menurut hasil penelitian, orang dengan faktor risiko tertentu lebih
meningkatkan risiko timbulnya penyakit leukemia mulai dari host, agent dan
lingkungan.
 Host
 Umur, jenis kelamin, ras
Insiden leukemia secara keseluruhan bervariasi menurut umur. LMA
terdapat pada umur 15-39 tahun. Insiden leukemia lebih tinggi pada
pria dibandingkan pada wanita. Tingkat insiden yang lebih tinggi
terlihat di antara Kaukasia (kulit putih) dibandingkan dengan

7
kelompok kulit hitam.10 Leukemia menyumbang sekitar 2% dari
semua jenis kanker. Orang dewasa 10 kali kemungkinan terserang
leukemia daripada anak-anak.
 Faktor Genetik
Insiden leukemia pada anak-anak penderita sindrom down adalah 20
kali lebih banyak daripada normal. Kelainan pada kromosom 21 dapat
menyebabkan leukemia akut. Insiden leukemia akut juga meningkat
pada penderita dengan kelainan congenital. Pada sebagian penderita
dengan leukemia, insiden leukemia meningkat dalam keluarga.
Kemungkinan untuk mendapat leukemia pada saudara kandung
penderita naik 2-4 kali.
 Agent
 Virus
Pada manusia, terdapat bukti kuat bahwa virus merupakan etiologi
terjadinya leukemia. HTLV (virus leukemia T manusia) dan retrovirus
jenis cRNA, telah ditunjukkan oleh mikroskop elektron dan kultur
pada sel pasien dengan jenis khusus leukemia/limfoma sel T.
 Sinar Radioaktif
Sinar radioaktif merupakan faktor eksternal yang paling jelas dapat
menyebabkan leukemia. Angka kejadian LMA jelas sekali meningkat
setelah sinar radioaktif digunakan.
 Zat Kimia
Zat-zat kimia (misal benzene, arsen, pestisida, kloramfenikol,
fenilbutazon) diduga dapat meningkatkan risiko terkena leukemia.
Benzena telah lama dikenal sebagai karsinogen sifat karsinogeniknya
menyebabkan leukemia, benzena diketahui merupakan zat
leukomogenik untuk LMA. Paparan benzena kadar tinggi dapat
menyebabkan aplasia sumsum tulang, kerusakan kromosom dan
leukemia.

8
 Merokok
Merokok merupakan salah satu faktor risiko untuk berkembangnya
leukemia. Rokok mengandung leukemogen yang potensial untuk
menderita leukemia terutama LMA.
 Lingkungan (pekerjaan)
Banyak penelitian menyatakan adanya hubungan antara pajanan
pekerjaan yaitu petani dan peternak terhadap kejadian leukemia.

 Patofisiologi
AML merupakan penyakit dengan transformasi maligna dan perluasan
klon-klon sel-sel hematopoetik yang terhambat pada tingkat diferensiasi dan
tidak bisa berkembang menjadi bentuk yang lebih matang. Sel darah berasal
dari sel induk hematopoesis pluripoten yang kemudian berdiferensiasi
menjadi induk limfoid dan induk mieloid (non limfoid) multipoten. Sel
induk limfoid akan membentuk sel T dan sel B, sel induk mieloid akan
berdiferensiasi menjadi sel eritrosit, granulosit-monosit dan megakariosit.
Pada setiap stadium diferensiasi dapat terjadi perubahan menjadi suatu klon
leukemik yang belum diketahui penyebabnya. Bila hal ini terjadi maturasi
dapat terganggu, sehingga jumlah sel muda akan meningkat dan menekan
pembentukan sel darah normal dalam sumsum tulang. Sel leukemik tersebut
dapat masuk kedalam sirkulasi darah yang kemudian menginfiltrasi organ
tubuh sehingga menyebabkan gangguan metabolisme sel dan fungsi organ.
AML merupakan neoplasma uniklonal yang menyerang rangkaian
mieloid dan berasal dari transformasi sel progenitor hematopoetik. Sifat
alami neoplastik sel yang mengalami transformasi yang sebenarnya telah
digambarkan melalui studi molekular tetapi defek kritis bersifat intrinsik dan
dapat diturunkan melalui progeni sel. Defek kualitatif dan kuantitatif pada
semua garis sel mieloid, yang berproliferasi pada gaya tak terkontrol dan
menggantikan sel normal.

9
Sel-sel leukemik tertimbun di dalam sumsum tulang, menghancurkan dan
menggantikan sel-sel yang menghasilkan sel darah yang normal. Sel kanker
ini kemudian dilepaskan ke dalam aliran darah dan berpindah ke organ
lainnya, dimana mereka melanjutkan pertumbuhannya dan membelah diri.
Mereka bisa membentuk tumor kecil (kloroma) di dalam atau tepat dibawah
kulit dan bisa menyebabkan meningitis, anemia, gagal hati, gagal ginjal dan
kerusakan organ lainnya.
Kematian pada penderita leukemia akut pada umumnya diakibatkan
penekanan sumsum tulang yang cepat dan hebat, akan tetapi dapat pula
disebabkan oleh infiltrasi sel leukemik tersebut ke organ tubuh penderita.

 Gejala Klinis
Gejala pertama biasanya terjadi karena kegagalan bone marrow
menghasilkan sel darah yang normal dalam jumlah yang memadai dan atau
akibat infiltrasi sel-sel leukemik pada berbagai organ, Gejala pasien
leukemia bevariasi tergantung dari jumlah sel abnormal dan tempat
berkumpulnya sel abnormal tersebut. Infeksi sering terjadi, anemia dan
trombositopenia sering berat. Durasi perjalanan penyakit bervariasi.
Beberapa pasien, khususnya anak-anak mengalami gejala akut selama
beberapa hari hingga 1-2 minggu. Pasien lain mengalami durasi penyakit
yang lebih panjang hingga berbulan-bulan.Adapun gejala-gejala umum yang
dapat ditemukan pada pasien AML antara lain:
 Kelemahan Badan dan Malaise
Merupakan keluhan yang sangat sering diketemukan oleh pasien, rata-rata
mengeluhkan keadaan ini sudah berlangsung dalam beberapa bulan. Rata-
rata didapati keluhan ini timbul beberapa bulan sebelum simptom lain
atau diagnosis AML dapat ditegakkan. Gejala ini disebabkan anemia,
sehingga beratnya gejala kelemahan badan ini sebanding dengan anemia.
 Febris
Febris merupakan keluhan pertama bagi 15-20 % penderita. Seterusnya
febris juga didapatkan pada 75 % penderita yang pasti mengidap AML.

10
Umumnya demam ini timbul karena infeksi bakteri akibat
granulositopenia atau netropenia. Pada waktu febris juga didapatkan
gejala keringat malam, pusing, mual dan tanda-tanda infeksi lain.
 Perdarahan
Perdarahan berupa petechiae, purpura, lebam yang sering terjadi pada
ekstremitas bawah, dan penderita mengeluh sering mudah gusi berdarah,
epitaksis, dan lain-lain. Beratnya keluhan perdarahan berhubungan erat
dengan beratnya trombositopenia.Pendarahan yang berat lebih jarang
terjadi kecuai dengan kelainan DIC.
 Penurunan Berat Badan
Penurunan berat badan ini tidak begitu hebat dan jarang merupakan
keluhan utama. Penurunan berat badan juga sering bersama-sama gejala
anoreksia akibat malaise atau kelemahan badan.
 Nyeri Tulang
Nyeri tulang dan sendi didapatkan pada 20 % penderita AML. Rasa nyeri
ini disebabkan oleh infiltrasi sel-sel leukemik dalam jaringan tulang atau
sendi yang mengakibatkan terjadi infark tulang.
Sedangkan tanda-tanda yang didapatkan pada pemeriksaan fisik pasien AML:
 Kepucatan, takikardi, murmur
Pada pemeriksaan fisik, simptom yang jelas dilihat pada penderita adalah
pucat karena adanya anemia. Pada keadaan anemia yang berat, bisa
didapatkan simptom kaardiorespirasi seperti sesak nafas, takikardia,
palpitasi, murmur, sinkope dan angina.
 Pembesaran organ-organ
Walaupun jarang didapatkan dibandingkan ALL, pembesaran massa
abnomen atau limfonodi bisa terjadi akibat infiltrasi sel-sel leukemik pada
penderita AML. Splenomegali lebih sering didapatkan daripada
hepatomegali. Hepatomegali jarang memberikan gejala begitu juga
splenomegali kecuali jika terjadi infark.

11
 Kelainan kulit dan hipertrofi gusi
Deposit sel leukemik pada kulit sering terjadi pada subtipe AML.
Kelainan kulit yang didapatkan berbentuk lesi kulit, warna ros atau
populer ungu, multiple dan general, dan biasanya dalam jumlah sedikit.
Hipertrofi gusi akibat infiltrasi sel-sel leukemia

 Pemeriksaan Penunjang
- Morfologi
Aspirasi sumsum tulang merupakan bagian dari pemeriksaan rutin untuk
diagnosis AML. Pulasan darah dan sumsum tulang diperiksa dengan
pengecatan May-Grunwald-Giemsa atau Wright-Giemsa. Untuk hasil yang
akurat, diperlukan setidaknya 500 sel Nucleated dari sumsum tulang dan
200 sel darah putih dari perifer. Hitung blast sumsum tulang atau darah ≥
20% diperlukan untuk diagnosis AML, kecuali AML dengan t(15;17),
t(8;21), inv(16), atau t(16;16) yang didiagnosis terlepas dari persentase
blast.
- Immunophenotyping
Pemeriksaan ini menggunakan flow cytometry,sering untuk menentukan
tipe sel leukemia berdasarkan antigen permukaan. Kriteria yang digunakan
adalah ≥ 20% sel leukemik mengekpresikan penanda (untuk sebagian
besar penanda).
- Sitogenetika
Abnormalitas kromosom terdeteksi pada sekitar 55% pasien AML dewasa.
Pemeriksaan sitogenetika menggambarkan abnormalitas kromosom seperti
translokasi, inversi, delesi, adisi.
- Sitogenetika molekuler
Pemeriksaan ini menggunakan FISH (fluorescent in situ hybridization)
yang juga merupakan pilihan jika pemeriksaan sitogenetika gagal.
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi abnormalitas gen atau bagian dari
kromosom seperti RUNX1-RUNX1T1, CBFB-MYH11, fusi gen MLL dan
EV11, hilangnya kromosom 5q dan 7q.

12
- Pemeriksaan imaging
Pemeriksaan dilakukan untuk membantu menentukan perluasan penyakit
jika diperkirakan telah menyebar ke organ lain. Contoh pemeriksaannya
antara lain X-ray dada, CT scan, MRI.
 Klasifikasi Acute Myeloid Leukemia (AML)
AML terbagi atas berbagai macam subtipe. Hal ini berdasarkan
morfologi, diferensiasi dan maturasi sel leukemia yang dominan dalam
sumsum tulang, serta penelitian sitokimia. Mengetahui subtipe AML sangat
penting, karena dapat membantu dalam memberikan terapi yang terbaik.
Klasifikasi AML yang sering digunakan adalah klasifikasi yang dibuat
oleh French American British (FAB) yang mengklasifikasikan leukemia
mieloid akut menjadi 8 subtipe yaitu sebagai berikut :

Subtipe Menurut FAB Nama Lazim


(French American ( % Kasus)
British)
MO Leukimia Mieloblastik Akut dengan diferensiasi
Minimal (3%).
M1 Leukimia Mieloblastik Akut tanpa maturasi (15-
20%). Akut Mieloblastik Leukemia tanpa
diferensiasi terdiri atas promieblas tak bergranula,
kadang ada granula azurolitik, Auer Rod sangat
jarang ada nukleoli jelas 1-2
M2 Leukimia Mieloblastik Akut dengan maturasi
granulositik (25-30%). Akut Mieloblastik
Leukemia dengan diferensiasi awal terdiri atas
promielosit (sel-sel dengan sedikit granula inti
masih bulat atau sedikit melekuk, plasma biru) dan
mioblas, Auer rod sering ada.
M3 Leukimia Promielositik Akut (5-10%).

13
Promyelocytic Leukemia sel dengan granula lebih
kasar dan lebih banyak, inti seperti ginjal, Auer
rod mudah ditemukan.
M4 Leukimia Mielomonositik Akut (20%). Akut
Mieloblastik Leukemia terdiri atas sel muda
myeloid yang telah bergranula dan monosit
(jumlah mieloblast, promielosit, mielosit dan seri
granulosit lain > 20% tetapi kurang dari 80% dari
sel berinti non eritroid).
M4Eo Leukimia Mielomonositik Akut dengan eosinofil
abnormal (5-10%).
M5 Leukimia Monositik Akut (2-9%)
M6 Eritroleukimia (3-5%). Erythroleukimia > 30%
adalah leukositas dan 50% adalah 1 induk eritroid
megaloblastik.
M7 Leukimia Megakariositik Akut (3-12%).
Megakaryocitik leukemia, jarang sekali
merupakan bentuk fulminan, pasien sering
menunjukkan pansitopenia, sumsum tulang sering
dry tetap pada biopsi terdapat peningkatan retikuli
dengan kelompokan megakorlosit atipik dan atau
blast.

14
Klasifikasi tersebut kemudian digantikan dengan klasifikasi menurut
World Health Organization (WHO) dengan kriteria abnormalitas genetika atau
genetika molekuler

 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien AML adalah berupa terapi suportif, simtomatis,
dan kausatif. Tujuan dari terapi AML adalah untuk menghancurkan sel-sel
leukimia dan membirakan sumsum tulang untuk berfungsi secara normal
lagi. Terapi suportif dilakukan untuk menjaga balance cairan melalui infus
dan menaikkan kadar Hb pasien melalu tranfusi. Pada AML, terapi suportif
tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Sedangkan terapi simptomatis

15
diberikan untuk meringankan gejala klnis yang muncul seperti pemberian
penurun panas. Yang paling penting adalah terapi kausatif, dimana
tujuannya adalah menghancurkan sel-sel leukemik dalam tubuh pasien
AML. Terapi kausatif yang dilakukan yaitu kemoterapi.
- Terapi Induksi
Terapi induksi bertujuan untuk mencapai remisi komplit yang
didefinisikan sebagai blast dalam sumsum tulang 1.000/μL, dan trombosit
≥ 100.000/μL. Terapi induksi biasanya menggunakan kombinasi 2 jenis
obat kemoterapi (cystosine arabinoside atau cytarabine dan anthracycline
antibiotic). Untuk pasien usia 18-60 tahun terapi yang diberikan adalah:
Tiga hari anthracycline (daunorubicin 60 mg/m2 , idarubicin 10-12 mg/
m2 , atau anthracenedione mitoxantrone 10-12 mg/m2 ), dan 7 hari
cytarabine (100-200 mg/ m2 infus kontinu) atau dikenal dengan “3 + 7”
merupakan standar terapi induksi. Respons komplit tercapai pada 60-80%
pasien dewasa yang lebih muda. Untuk pasien usia 60-74 tahun terapi
yang diberikan serupa dengan pasien yang lebih muda, terapi induksi
terdiri dari 3 hari anthracycline (daunorubicin 45-60 mg/m2 atau
alternatifnya dengan dosis ekuivalen) dan 7 hari cytarabine 100-200
mg/m2 infus kontinu). Penurunan dosis dapat dipertimbangkan secara
individual. Pada pasien dengan status performa kurang dari 2 serta tanpa
komorbiditas, respons komplit tercapai pada sekitar 50% pasien.
Kedua jenis obat ini dimasukkan melalui CVC (Central venous catheter)
atau central line. Selama dilakukan terapi induksi, pasien juga diberikan
allopurinol. Allopurinol bukan obat kemoterapi. Obat ini diberikan untuk
membantu mencegah pembentukan kembali produk-produk sel leukimia
yang sudah hancur dan membantu ginjal untuk mengekskresikannya.
- Terapi Konsolidasi
Terapi konsolidasi atau pasca-induksi diberikan untuk mencegah
kekambuhan dan eradikasi minimal residual leukemia dalam sumsum
tulang.Biasanya untuk mencegah kekambuhan, digunakan regimen yang
sama dan dosis kemoterapi yang sama atau lebih tinggi seperti yang

16
digunakan pada terapi induksi. Pada beberapa kasus dimana risiko
kekambuhannya tinggi, kemoterapi yang intensif perlu untuk dilakukan
berbarengan dengan transplantasi sel induk
- Transplantasi Sel Induk
Untuk sebagian orang, dosis kemoterapi yang sangat tinggi atau
radioterapi dibutuhkan untuk menyembuhan dan efektif untuk
menyembuhkan AML. Efek sampingnya adalah kerusakan dari sumsum
tulang dan sel induk darah rusak dan perlu digantikan setelahnya. Pada
kasus ini perlu dilakukan transplantasi sumsum tulang dan sel induk darah
perifer.
2. Leukimia Mielostik Chronic (LMC / Chronic Myeloid Leukimia (CML)
 Definisi CML
Penyakit ini ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan
diferensiasi,sehingga pada apusan darah tepi kita dapat dengan mudah
melihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit (bahkan
mieloblas), metamielosit, mielositsampai granulosit
 Epidemiologi
Kejadian leukemia mielositik kronis mencapai 20% dari semua leukemia
pada dewasa, kedua terbanyak setelah leukemia limfositik kronik. Umumnya
menyerang usia 40-50 tahun, walaupun dapat ditemukan pada usia muda dan
biasanya lebih progresif.2,1 Pada anak-anak dapat di jumpai dengan bentuk
juvenile CML. Angka kejadian pada pria : wanita adalah 3 : 2, secara umum
didapatkan 1 - 1,5/100.000 penduduk diseluruh negara. 4 CML merupakan
bentuk leukemia kronik yang paling sering dijumpai di Indonesia sedangkan
di negara Barat yang lebih sering ditemukan dalam bentuk CLL.
 Etiologi
Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya CML
(Bintoro, 2015).
 Jenis kelamin.
Laki-laki memiliki risiko CML yang sedikit lebih tinggi daripada
wanita. Namun penjelasannya masih belum diketahui. Usia tua. Risiko

17
terjadinya CML meningkat seiring dengan usia. Usia ratarata
terdiagnosis CML pada usia sekitar 64 tahun. CML jarang terjadi pada
anak-anak dan remaja.
 Paparan radiasi.
Paparan radiasi tinggi setelah ledakan bom atom di Hiroshima atau
setelah kecelakaan reaktor nuklir di Chernobyl telah dikaitkan secara
langsung dengan peningkatan insiden CML di antara korban yang
selamat. Seseorang yang terpapar radioterapi pada terapi kanker atau
petugas yang terkena radiasi mungkin berisiko terkena CML. Imunitas
rendah. Pasien HIV/AIDS yang memiliki imunitas yang rendah
mempunyai risiko 3 kali lebih besar terjadi leukemia dari pada orang
sehat. Demikian juga pasien yang mendapatkan obat-obatan
imunosupresan setelah transplantasi organ memiliki risiko dua kali
lebih tinggi terjadi CML dibandingkan orang normal. Kolitis ulseratif
atau penyakit Crohn. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa
inflamasi radang usus, seperti kolitis ulseratif atau penyakit Crohn,
memiliki risiko lebih tinggi menderita CML.
 Penggunaan pestisida.
Petani atau pekerja pertanian yang terpapar pestisida memiliki 40%
peningkatan risiko CML dibandingkan dengan populasi umum.
 Benzena.
Kontak dengan bahan kimia (benzena) selama beberapa tahun dapat
meningkatkan risiko CML. Benzena adalah salah satu bahan kimia
dalam bahan bakar minyak dan juga pelarut yang digunakan dalam
industri karet.
 Obesitas.
Penelitian di Kanada melaporkan adanya kenaikan dua kali lipat risiko
terjadinya CML berkaitan dengan obesitas. Kelebihan berat
badan/obesitas menyumbang 28,5% dari keseluruhan risiko terjadinya
CML (35,6% laki-laki dan 23,0% perempuan).

18
 Patofisiologi
CML termasuk keganasan myeloproliferatif, dimana ditemukan adanya
kromosom Ph pada sel punca pluripoten 95% pasien (Bakta, 2006).
Kromosom Ph disebabkan oleh translokasi resiprok antara kromosom 9 dan
22 dimana onkogen ABL1 kromosom 9 berpindah ke gen BCR kromosom
22. Kromosom abnormal 22 inilah yang disebut kromosom Ph. Fusi gen
BCR-ABL ini selanjutnya mengkode protein baru yaitu 190, 210, atau
230kDa tergantung dari penghentian kode gen BCR-ABL. Protein baru ini
memiliki aktivitas tyrosine kinase yang berlebihan dibandingkan produk
normal 145kDa ABL1, menyebabkan proliferasi sel yang berlebihan pada
sel-sel myeloid dan menurunnya apoptosis (Hoffbrand dan Moss, 2011).
Meskipun kromosom Ph terlihat dengan pemeriksaan kariotip sel tumor,
tetapi pada sebagian kecil abnormalitas Ph tidak tampak dengan mikroskop,
namun dengan pemeriksaan molecular kromosom ini dapat tampak dengan
teknik yang lebih sensitive yaitu fluorescent in situ hybridization (FISH)
atau polymerase chain reaction (PCR).
 Gejala Klinis
Sekitar 50% pasien yang terdiagnosis CML di Amerika Serikat
menunjukkan gejala klinik, dan sering diketahui pada waktu pemeriksaan
fisik dan darah secara rutin. Manifestasi klinis CML bersifat insidious,
selalu berubah sesuai dengan fase penyakit, yaitu fase kronik (CP), fase
akselerasi (AP), dan krisis blastik (BP). Sebagian besar (90%-95%) pasien
CML berada dalam fase kronik (CP-CML) (Hocchauss et al., 2017).
 FASE KRONIK
Fase kronik ini didapatkan pada sebagian besar pasien (90%-95%).
Tanda dan gejala umum dari CP-CML akibat dari anemia dan
splenomegali berupa kelelahan, penurunan berat badan, rasa tidak enak,
rasa kenyang, dan terasa penuh di kuadran kiri atas (Bintoro, 2015).
Manifestasi yang jarang adalah perdarahan terkait dengan jumlah
trombosit yang rendah dan/atau disfungsi trombosit, trombosis, terkait
dengan trombositosis dan/atau leukositosis, artritis gout (dari kadar asam

19
yang meningkat), perdarahan retina, dan ulserasi gastrointestinal bagian
atas dan pendarahan. Penulis, pada tahun 2016 mendapatkan data rerata
lekosit sekitar 158.000 dari pasien di RSUD Dr. Soetomo (Bintoro,
2016).
Gejala leukostatis akibat lekositosis yang umumnya lekosit
>25.000/mm3 pada sebagian besar pasien (30%-50%) berupa dispnea,
mengantuk, kehilangan koordinasi, dan kebingungan karena sludge sel-
sel leukemia pada pembuluh darah paru atau otak. Beberapa pasien
(<<5%) mengalami gejala klinik akibat lekostasis, yaitu priapismus
(Allué López et al., 2004) yang pada umumnya sering apabila lekosit
melebihi 250 000/µL. Splenomegali atau hepatomegali didapatkan pada
46%-76% kasus. Splenomegali bervariasi mulai dari ringan sampai berat
yang lebih dari 10 cm di bawah tepi bawah tulang iga. Ukuran limpa ini
nampaknya berkorelasi dengan jumlah lekosit dalam darah. Pada fase
kronik ini sumsum tulang mengandung sel muda (blast) kurang dari 5%.
Fase ini sering berlangsung selama beberapa tahun (Jabour & Kantarjian,
2018).
 FASE AKSELERASI
Pada fase ini penyakit makin progresif yang ditandai dengan leukosit
makin meningkat, limpa makin membesar. Berdasarkan kriteria dari M.D
Anderson Centre, fase akselerasi bila: blast di perifer ≥ 15%, dan
promielosit di perifer ≥ 30%, basofil di perifer ≥ 20%, trombositopenia
((<10 x 10/L bukan akibat dari efek samping dengan terapi). Fase ini
secara klinis menunjukkan respons hematologi atau respons molekuler
makin menurun dan cenderung ke arah krisis blastik (Baccarani et al,
2013).

20
 FASE KRISIS BLASTIK
Pada fase ini sel-sel CML mulai berperilaku seperti leukemia akut.
Pasien sering demam, malaise (merasa tidak sehat), pembesaran limpa,
penurunan berat badan, dan gejala lain yang menyerupai leukemia akut. Fase
ini menurut ELN ditandai dengan didapatkan sel muda ≥ 30% baik pada
darah perifer atau sumsum tulang, sedangkan menurut kriteria WHO baik
pada darah perifer atau sumsum tulang sel muda ≥ 30%.

 Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya splenomegali (pada 95%
pasien), hepatomegali, sternal tenderness, purpura, dan mungkin perdarahan
retina. Kelainan laboratorium pada pasien CML dapat berupa (Bakta, 2006;
Hoffbrand dan Moss, 2011)
 Leukositosis biasanya lebih dari 50.000/mm3 , dapat lebih dari
500.000/mm3 . Terlihat gambaran lengkap dari sel-sel myeloid pada
darah perifer. Jumlah neutrofil dan mielosit melebihi sel blast dan
promielosit. Sel blast kurang dari 5%.
 Peningkatan basofil yang bersikulasi.
 Anemia sering ditemui tipe normokromik normositik yang bersifat ringan
pada awal dan dapat menjadi progresif pada fase lanjut.
 Trombosit paling sering meningkat terutama pada fase awal namun dapat
normal atau menurun.
 Pada apusan sumsum tulang ditemukan keadaan hiperseluler dengan
dominasi sistem granulosit, menunjukkan spectrum lengkap seri myeloid

21
dengan komponen paling banyak neutrofil dan mielosit. Sel blast kurang
dari 30%.
 Ditemukan kromosom Ph positif pada 98% kasus dengan pemeriksaan
sitogenetik, terdapat gen gabungan BCR-ABL1 pada pemeriksaan PCR
pada 99% kasus
 Penatalaksanaan
 TERAPI CML ERA PRE IMATINIB
Pengobatan CML sebelum era Inhibtor Tyrosine Kinase adalah
menggunakan obat sitostatika. Kemoterapi pada CML menggunakan obat
untuk menghancurkan sel kanker. Regimen kemoterapi, atau jadwal,
biasanya terdiri dari beberapa siklus tertentu yang diberikan selama
jangka waktu tertentu. Kemoterapi pada CML bukan bertujuan sebagai
terapi kuratif, tetapi hanya sebagai terapi paliatif dan untuk mencapai sel
tumor menjadi regresi. Kemoterapi ini masih diindikasikan pada CML
BCR-ABL negatif atau CML dengan lekositosis yang bertujuan untuk
lekoreduksi. Kemoterapi sitostatika juga digunakan untuk pasien CML
yang mengalami transformasi ke arah leukemia akut, jenis limfoid
ataupun myeloid.
Beberapa obat yang bisa dipakai untuk CML fase kronik adalah
Busulfan dan Hydroxyurea. Sedangkan, jenis kemoterapi untuk CML
krisis blastik sesuai dengan jenis transformasi, umumnya adalah
kombinasi vincristin-prednison, atau 6-thioguanine, 6-mercaptopurine,
cytosine arabinoside, dan methotrexate, daunorubicin untuk jenis limfoid.
Sedangkan bila transformasi ke arah myeloid dapat diberi kombinasi
antraciclin, cytosine arabinoside, 5-azacytidine, etoposide, carboplatin,
fludarabine, dan decitabine (Hehlmann, 2012; Simonsson, 2001).
 BUSULFAN
Busulfan adalah antineoplastik non-spesifik alkylating agent yang
diperkenalkan pertama kali pada tahun 1953 dan merupakan obat pertama
yang efektif pada pasien CML. Pada tahun 1999, Busulfan telah disetujui
oleh Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat untuk

22
pengobatan CML. Rumus kimia dari busulfan adalah 1,4-butanadiol
dimethanesulfonate.
Busulfan adalah andalan dari kemoterapi untuk CML sampai akhirnya
digantikan oleh standar emas baru, imatinib. Busulfan ini masih
digunakan karena biaya relatif murah. Busulfan juga masih menjadi terapi
lini kedua setelah pasien resisten atau intoleran terhadap hidroksiurea.
Dosis: Busulfan diberikan dengan dosis awal 0,1 mg/kgBB/hari
maksimal 4 mg dosis tunggal sampai jumlah leukosit turun 50%, dan
selanjutnya dosis dikurangi menjadi 0,05 mg/kgBB. Siklus pemberian
diulangi dengan dosis 2-8 mg/hari selama 5-10 hari. Busulfan dihentikan
bila jumlah lekosit turun mencapai 20–25×109/L karena lekosit akan
menurun terus sampai 2-4 minggu kemudian.
Efek samping: Busulfan memberikan toksisitas interstitial fibrosis paru
(Busulfan Lung), hiperpigmentasi, kejang, Venouse Occlusive Dissease
(VOD), emesis, dan sindrom wasting. Selain itu Busulfan juga
menimbulkan trombositopenia, menurunkan jumlah platelet. Pada dosis
rendah, depresi selektif terlihat granulopoiesis dan trombopoiesis. Pada
dosis yang lebih tinggi terlihat depresi eritropoiesis. Busulfan sering
menyebabkan mielosupresi yang berat dan lama, sehingga pemeriksaan
darah harus sering dilakukan.
Sedangkan efek samping yang jarang adalah severe idiosyncratic
pulmonary reaction, fibrosis interstitial. Gonadal failure (umumnya
ireversibel), aspermia pada laki-laki dan menopause setelah 3-6 bulan
terapi.
 HIDROKSIUREA
Hidroksiurea atau Hydroxycarbamide adalah suatu ribonucleotida
reductase inhibitor. Hidroksiurea pertama kali disintesis pada tahun 1869,
yang digunakan dalam penyakit mieloproliferatif, khususnya polisitemia
vera dan thrombocythemia. Hidroksiurea diperkenalkan sebagai terapi
CML pada tahun 1966 dan karena tingkat toksisitasnya lebih rendah dari

23
busulfan, hidroksiurea lebih menjadi pilihan untuk pengobatan CML saat
itu.
Hidroksiurea (Hydrea) ini dapat ditoleransi dengan baik dan efektif
untuk menekan lekositosis pada kebanyakan pasien CML sampai
diagnosis CML dapat ditegakkan. Hidroksiurea diberikan dalam bentuk
kapsul, dan dapat menurunkan sel darah putih menjadi normal dalam
beberapa hari atau minggu dan mengurangi ukuran limpa, tetapi tidak
mengurangi persentase sel dengan kromosom Philadelphia dan tidak
mencegah terjadinya krisis blastik. Hidroksiurea memiliki aktivitas
antitumor pada hewan dan manusia. Ini menimbulkan supresi sumsum
tulang dan megaloblastosis yang reversibel setelah menghentikan
pengobatan. Pengukuran sintesis asam nukleat pada tikus menunjukkan
hambatan sintesis asam deoksiribonukleat (DNA). Hampir 90% terjadi
hambatan sintesis DNA pada konsentrasi hidroksiurea yang tinggi
(Kennedy, 1969).
Dosis: Hidroksiurea diberikan dengan dosis 40 mg/kgBB perhari. Efek
Samping: Hidroksiurea mempunyai efek samping yang ringan, semuanya
reversible bila pengobatan dihentikan. Meliputi mual muntah dan diare,
anorexia, menggigil, nyeri tubuh, gejala flu, luka di mulut dan
tenggorokan, halusinasi, kejang, gatal, mengantuk, sembelit, mukositis,
anoreksia, stomatitis, toksisitas sumsum tulang (toksisitas yang terbatas
dosis: 7-21 hari pulih setelah obat telah dihentikan), alopecia (rambut
rontok), perubahan kulit, enzim hati yang abnormal, kreatinin dan
nitrogen urea darah (Hehlmann, 1993).
 INTERFERON
Interferon (IFN) adalah suatu glikoprotein yang merespons bila ada
kuman patogen seperti virus, bakteri, parasit atau sel tumor. IFN memiliki
aktivitas biologis termasuk Induksi sel T sitotoksik yang dianggap
sebagai salah satu mekanisme antitumor. IFN-α secara langsung
menghambat proliferasi dengan menekan produksi sitokin stimulasi
hematopoietik, seperti GMCSF dan interleukin-1β. IFN-α juga

24
meningkatkan antagonis reseptor interleukin-1 dan mengubah faktor
pertumbuhan-β. Selain itu, IFN-α dapat menghambat proliferasi
progenitor CML dengan memulihkan mekanisme hematopoietik yang
normal (Peschel et al., 1996; Merlin et al., 1985).
Berbeda dengan kemoterapi sitoreduktif konvensional, IFN-α bisa
menginduksi CCyR hingga 26% pada pasien CP-CML dan
memperpanjang survival. IFN efektif terhadap CML, hairy cell leukemia
(HCL), multiple myeloma, dan limfoma maligna. IFN memberikan
respons hematologi pada 80-90% pasien CML. IFN memberikan respons
sitogenetik mayor (MCR) pada 30-50% pasien CML fase kronik
(Masuda, 2004).
Pasien CML dengan faktor risiko rendah (Skor Euro) menunjukkan 5-
year survival sebesar 76%, sedangkan dengan risiko intermediate/sedang
5-year survival sebesar 55%, dan yang memiliki risiko tinggi memberikan
5-year survival sebesar 25%. IFN-α digunakan dalam pengobatan CML
sejak tahun 1981. Yang selanjutnya INF-α dibuat dalam bentuk
rekombinan, IFNα-2α (Pfeffer et al., 1998).
Dosis optimal IFN-α untuk CML tidak diketahui. Analisis retrospektif
menunjukkan bahwa dosis rendah sama efektifnya dengan dosis tinggi.
The Dutch Hemato-Oncology Association (HOVON) dan British Medical
Research Council (MRC) melakukan uji coba secara acak pada pasien
CML baru yang membandingkan IFN dosis tinggi (5 MIU/m2 setiap hari)
dengan IFN dosis rendah (3 MIU, 5 kali seminggu). Kedua kelompok
mendapatkan terapi tambahan hydroxyurea untuk mempertahankan
jumlah lekosit <5×10°/L. Pada pengamatan 53 bulan, tidak ada perbedaan
yang signifikan dalam hal overall survival (OR = 1,09; CI 95%) (Kluin-
Nelemans et al, 2004).
Efek samping IFN-aumumnya anoreksia, demam, menggigil, mialgia,
dan sakit kepala, Biasanya sembuh dalam beberapa hari. Efek samping
kronik termasuk kelelahan, sakit kepala, mual, muntah, gangguan dalam
berpikir dan berkonsentrasi, penurunan berat badan, arthralgia, depresi,

25
dan komplikasi yang diperantarai mekanisme imun, seperti anemia
hemolitik autoimun/trombositopenia, gangguan kolagen vaskular,
penurunan berat badan, neurotoksisitas, dan insomnia hipotiroidisme serta
sindrom nefritik. Kasus-kasus aritmia dan gagal jantung kongestif jarang
terjadi, tetapi IFNa harus segera dihentikan begitu timbul gejala tersebut.
Penggunaan interferon memang dibatasi karena adanya efek samping.
Selain itu, interferon juga bersifat toksik terhadap hati, ginjal, sumsum
tulang, dan jantung. Efek samping terus berlanjut selama obat digunakan.
Oleh karena itu terapi IFN-α harus dihentikan jika tidak ada respons
hematologi lengkap dalam 6-2 bulan setelah pemberian IFN-α. Sebelum
pemberian Interferon, langkah pertama dalam terapi CML adalah dengan
pemberian Hidroksiurea untuk mengurangi beban tumor (tumor load) di
bawah 20 x 109/L. Dosis IFN-α yang lebih rendah dari 3 MU/m2 lima
kali seminggu menunjukkan efektivitas yang sama dengan dosis standar 5
MU/m2 setiap hari.
Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efektivitas
IFN-α, yaitu mengoptimalkan dosis (Kluin-Nelemans et al., 2004),
menggunakan pegylated Interferon-α (Michallet et al., 2004), dan
kombinasi IFN-α dengan Cytarabine dosis rendah Ara C (10 mg/m2 hari
pertama sampai dengan hari ke-10) atau hydroxyurea (25 mg/kg tiap
hari). Bila IFN-α dikombinasikan dengan Ara-C akan meningkatkan
respons sitogenetik dan memperpanjang harapan hidup. Ara-C lebih
selektif menekan pertumbuhan sel-sel CML daripada sel-sel
hematopoietik normal secara in vitro. IFN-α diberikan setiap hari dan
Ara-C dosis rendah 10-20 mg/hari selama 10 hari tiap bulan. Hitung
leukosit sebaiknya dipertahankan antara 3–5x109/L. Dosis tersebut
sebaiknya diturunkan hanya bila hitung WBC <2x10Latau hitung platelet
<50x10/L atau adanya toksisitas derajat 2-4 (Guilhot et al, 1997;
Kantarjian et al, 1999; Silver et al., 2003; Kuhr et al., 2003).

26
E. GAMBARAN SEL PADA KONDISI LEUKIMIA DI SADT
1. Hapusan Darah pada Leukimia Mieloid Kronis (CML)
a. Dari hapusan darah di bawah, sekilas sudah bisa kita lihat tedapat
peningkatan jumlah leukosit yang signifikan. Peningkatan ini pun
disertai gambaran leukosit yang berbagai macam bentuknya seperti
pasar malam, apa saja ada.

b. Di atas dapat kita lihat adanya basofil dan berbagai seri mieloid
seperti netrofil segmen, netrofil stab, mielosit, metamielosit, dan
promielosit.

c. Peningkatan jumlah eosinofil (sitoplasma berwarna merah) juga


dapat ditemukan pada hapusan darah tepi pasien CML.

27
d. Sedangkan hapusan darah seperti di bawah dapat kita temukan pada
pasien CML yang telah mengalami kriss blast. Dapat kita lihat
adanya sel muda dari seri mieloid yang berada pada darah tepi, juga
disertai adanya seri mieloid yang lain seperti eosinofil, neutrofil,
dan metamielosit.

2. Hapusan Darah pada Leukimia Mielositik Akut (LMA)

28
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Leukemia atau kanker darah adalah sekelompok penyakit neoplastik yang
beragam, ditandai oleh perbanyakan secara tak normal atau transformasimaligna
dari sel-sel pembentuk darah di sumsum tulang dan jaringan limfoid.Sel-sel
normal di dalam sumsum tulang digantikan oleh sel tak normal atauabnormal.
Faktor-faktor risiko seperti Radiasi, Bahan Kimia,Virus dan Kelainan Genetik
bisa meningkatkan risiko terkena penyakit leukemia.
Leukemia dibagi menjadi beberapa jenis, yang pertama terdapat Leukimia Akut
yang dibagi menjadi dua yakni Leukimia Mielostik Akut (LMA) / Acute Myeloid
Leukimia (AML) dan Leukemia Limfositik Akut (LLA). Sedangkan jenis kedua
yakni Leukimia Kronis yang dibagi menjadi dua yakni Leukemia Limfositik
Kronis (LLK) dan Leukemia Mielositik Kronis (LMK) / Chronic Myeloid
Leukimia (CML)

29
DAFTAR PUSTAKA

 http://eprints.ums.ac.id/26048/2/BAB_1.pdf
 https://patologiklinik.com/2012/02/01/hapusan-darah-pada-leukemia-
mieloid-kronis-cml/
 http://digilib.unimus.ac.id/download.php?id=1404
 https://slideplayer.info/slide/13015183/

30
LEUKEMIA
AML (Acute Myeloid Leukemia)
CML (Chronic Myeloid Leukemia)

Kelompok 13

 Dinda Kartika Putri


 Febri Alif Septyan
 Katherina Agnesia Andhara P
 Nadia Putri Haifa
 Wahyu Julianingsih
 Yuliah Putri
 Zahratul Hamra Sa'idah
LEUKEMIA
Leukemia atau kanker darah adalah sekelompok penyakit
neoplastik yang beragam, ditandai oleh perbanyakan secara
tak normal atau transformasimaligna dari sel-sel pembentuk
darah di sumsum tulang dan jaringan limfoid. Sel-sel normal
di dalam sumsum tulang digantikan oleh sel tak normal atau
abnormal. Sel abnormal ini keluar dari sumsum dan dapat
ditemukan didalam darah perifer atau darah tepi. Sel
leukemia mempengaruhi hematopoiesis atau proses
pembentukan sel darah normal dan imunitas tubuh
penderita.
PENYEBAB LEUKEMIA

Penyebab leukemia masih belum bisa dipahami


dengan baik. Namun faktor-faktor risiko berikut bisa
meningkatkan risiko terkena penyakit leukemia:

1. Radiasi
2. Bahan Kimia
3. Virus
4. Kelainan Genetik
JENIS LEUKEMIA
01 02
Leukemia Akut Leukemia Kronik
a. Leukimia Mielostik Akut (LMA) / Acute a. Leukemia Limfositik Kronis (LLK)
Myeloid Leukimia (AML) LLK terjadi pada manula dengan
LMA disebut juga leukimia mielogenus limfadenopati generalisata dan peningkatan
akut atau leukemia Granulositik akut jumlah leukosit disertai limfositosis, perjalanan
(LGA) yang di karakteristikkan oleh penyakit biasanya jinak dan indikasi pengobatan
adalah hanya jika timbul gejala.
produksi berlebihan dari mieloblast.
b. Leukemia Mielositik Kronis (LMK) / Chronic
b. Leukemia Limfositik Akut (LLA) / Myeloid Leukimia (CML)
Acute Lymphositic Leukemia (ALL) LMK sering juga disebut leukemia granulositik
LLA sering menyerang pada masa kronik (LGK), LMK merupakan kanker sumsum
anak – anak dengan presentase 75% - tulang yang berkembang secara perlahan, yang
80%. LLA menginfiltrasi sumsum tulang disebabkan oleh kelainan kromosom karakteristik
oleh sel limfoblastik yang menyebabkan pada sel induk sumsum tulang dan sel leukemia
anemia, memar (trombositopeni), dan
infeksi (neutropenia).
Leukimia Mielostik Akut (LMA) / Acute Myeloid Leukimia
(AML)

Leukemia myeloid akut atau Acute Myeloid Leukemia


(AML) sering juga dikenal dengan istilah Acute Myelogenous
Leukemia atau Acute Granulocytic Leukemia merupakan
penyakit keganasan yang ditandai dengan diferensiasi dan
proliferasi abnormal sel induk hematopoetik yang bersifat
sistemik dan secara malignan melakukan transformasi
sehingga menyebabkan penekanan dan penggantian
komponen sumsum tulang belakang yang normal.
Epidemiologi
Kejadian AML berbeda dari satu Negara dengan Negara lainnya, hal
ini berkaitan denga ncara diagnosis dan pelaporannya. Data di Indonesia
sangat terbatas, pernah dilaporkan insidens AML di Jogjakarta adalah 8
per satu juta populasi. Penyakit ini meningkat progresif sesuai usia,
puncaknya pada usia ≥ 65 tahun. Usia rata-rata pasien saat didiagnosis
AML sekitar 67 tahun. AML sedikit lebih sering dijumpai pada pria. AML
yang lebih banyak terjadi pada orang dewasa. Namun AML juga
merupakan jenis leukimia yang sering ditemukan pada anak-anak. Risiko
terjadinya. AML meningkat 10 kali lipat dari usia 30-34 tahun sampai
dengan usia 65-69 tahun. Pada otrang yang berusia leih dari 70 tahun
insidennya jarang meningkat.
Etiologi
Penyebab leukemia masih belum diketahui secara pasti hingga kini.
Menurut hasil penelitian, orang dengan faktor risiko tertentu lebih
meningkatkan risiko timbulnya penyakit leukemia.

a. Host
- Umur, jenis kelamin, ras
- Faktor Genetik
b. Agent
- Virus
- Sinar radioaktif
- Zat Kimia
- Merokok
c. Lingkungan (Pekerjaan)
Patofisiologi
Sel darah berasal dari sel induk hematopoesis pluripoten yang kemudian
berdiferensiasi menjadi induk limfoid dan induk mieloid (non limfoid)
multipoten. Sel induk limfoid akan membentuk sel T dan sel B, sel induk
mieloid akan berdiferensiasi menjadi sel eritrosit, granulosit-monosit dan
megakariosit. Pada setiap stadium diferensiasi dapat terjadi perubahan
menjadi suatu klon leukemik yang belum diketahui penyebabnya. Bila hal ini
terjadi maturasi dapat terganggu, sehingga jumlah sel muda akan
meningkat dan menekan pembentukan sel darah normal dalam sumsum
tulang.
Kematian pada penderita leukemia akut pada umumnya diakibatkan
penekanan sumsum tulang yang cepat dan hebat, akan tetapi dapat pula
disebabkan oleh infiltrasi sel leukemik tersebut ke organ tubuh penderita.
Gejala Klinis
Gejala pertama biasanya terjadi karena kegagalan bone marrow
menghasilkan sel darah yang normal dalam jumlah yang memadai dan
atau akibat infiltrasi sel-sel leukemik pada berbagai organ. Beberapa
pasien, khususnya anak-anak mengalami gejala akut selama beberapa
hari hingga 1-2 minggu.
Adapun gejala-gejala umum yang dapat ditemukan pada pasien AML
antara lain:
- Kelemahan Badan dan Malaise
- Febris
- Perdarahan
- Penurunan Berat Badan
- Nyeri Tulang
Pemeriksaan Penunjang

01
Morfologi
02
Immunophenotyping
Aspirasi sumsum tulang

03
Sitogenetika
04
Sitogenetika molekuler

05
Pemeriksaan imaging
Subtipe Menurut FAB Nama Lazim
(French American British) ( % Kasus)
MO Leukimia Mieloblastik Akut dengan diferensiasi Minimal (3%).
M1 Leukimia Mieloblastik Akut tanpa maturasi (15-20%). Akut Mieloblastik
Leukemia tanpa diferensiasi terdiri atas promieblas tak bergranula,
kadang ada granula azurolitik, Auer Rod sangat jarang ada nukleoli
jelas 1-2
M2 Leukimia Mieloblastik Akut dengan maturasi granulositik (25-30%).
Akut Mieloblastik Leukemia dengan diferensiasi awal terdiri atas
promielosit (sel-sel dengan sedikit granula inti masih bulat atau sedikit
melekuk, plasma biru) dan mioblas, Auer rod sering ada. Klasifikasi
M3 Leukimia Promielositik Akut (5-10%). Promyelocytic Leukemia sel
dengan granula lebih kasar dan lebih banyak, inti seperti ginjal, Auer
rod mudah ditemukan.
Acute Myeloid
M4 Leukimia Mielomonositik Akut (20%). Akut Mieloblastik Leukemia
terdiri atas sel muda myeloid yang telah bergranula dan monosit Leukemia (AML)
(jumlah mieloblast, promielosit, mielosit dan seri granulosit lain > 20%
tetapi kurang dari 80% dari sel berinti non eritroid).
M4Eo Leukimia Mielomonositik Akut dengan eosinofil abnormal (5-10%).
M5 Leukimia Monositik Akut (2-9%)
M6 Eritroleukimia (3-5%). Erythroleukimia > 30% adalah leukositas dan
50% adalah 1 induk eritroid megaloblastik.
M7 Leukimia Megakariositik Akut (3-12%). Megakaryocitik leukemia,
jarang sekali merupakan bentuk fulminan, pasien sering menunjukkan
pansitopenia, sumsum tulang sering dry tetap pada biopsi terdapat
peningkatan retikuli dengan kelompokan megakorlosit atipik dan atau
blast.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien AML adalah berupa terapi
suportif, simtomatis, dan kausatif. Tujuan dari terapi AML
adalah untuk menghancurkan sel-sel leukimia dan
membirakan sumsum tulang untuk berfungsi secara
normal lagi. Terapi suportif dilakukan untuk menjaga
balance cairan melalui infus dan menaikkan kadar Hb
pasien melalu tranfusi. Pada AML, terapi suportif tidak
menunjukkan hasil yang memuaskan. Sedangkan terapi
simptomatis diberikan untuk meringankan gejala klnis
yang muncul seperti pemberian penurun panas. Yang
paling penting adalah terapi kausatif, dimana tujuannya
adalah menghancurkan sel-sel leukemik dalam tubuh
pasien AML. Terapi kausatif yang dilakukan yaitu
kemoterapi.
Leukimia Mielostik Chronic (LMC / Chronic Myeloid
Leukimia (CML)

Penyakit ini ditandai oleh proliferasi dari seri


granulosit tanpa gangguan diferensiasi,sehingga pada
apusan darah tepi kita dapat dengan mudah melihat
tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari
promielosit (bahkan mieloblas), metamielosit,
mielositsampai granulosit
Epidemiologi
Kejadian leukemia mielositik kronis mencapai 20% dari
semua leukemia pada dewasa, kedua terbanyak setelah
leukemia limfositik kronik. Umumnya menyerang usia 40-50
tahun, walaupun dapat ditemukan pada usia muda dan biasanya
lebih progresif.2,1 Pada anak-anak dapat di jumpai dengan
bentuk juvenile CML. Angka kejadian pada pria : wanita adalah 3
: 2, secara umum didapatkan 1 - 1,5/100.000 penduduk diseluruh
negara. 4 CML merupakan bentuk leukemia kronik yang paling
sering dijumpai di Indonesia sedangkan di negara Barat yang
lebih sering ditemukan dalam bentuk CLL.
Etiologi

01 02 03
Jenis kelamin. Paparan radiasi. Penggunaan pestisida.

04 05
Benzena. Obesitas.
Patofisiologi
CML termasuk keganasan myeloproliferatif, dimana ditemukan
adanya kromosom Ph pada sel punca pluripoten 95% pasien
(Bakta, 2006). Kromosom Ph disebabkan oleh translokasi resiprok
antara kromosom 9 dan 22 dimana onkogen ABL1 kromosom 9
berpindah ke gen BCR kromosom 22. Kromosom abnormal 22
inilah yang disebut kromosom Ph. Fusi gen BCR-ABL ini
selanjutnya mengkode protein baru yaitu 190, 210, atau 230kDa
tergantung dari penghentian kode gen BCR-ABL. Protein baru ini
memiliki aktivitas tyrosine kinase yang berlebihan dibandingkan
produk normal 145kDa ABL1, menyebabkan proliferasi sel
yang berlebihan pada sel-sel myeloid dan menurunnya
apoptosis (Hoffbrand dan Moss, 2011).
Gejala Klinis
Sekitar 50% pasien yang terdiagnosis CML di Amerika Serikat menunjukkan
gejala klinik, dan sering diketahui pada waktu pemeriksaan fisik dan darah secara
rutin. Manifestasi klinis CML bersifat insidious, selalu berubah sesuai dengan fase
penyakit, yaitu fase kronik (CP), fase akselerasi (AP), dan krisis blastik (BP).
Sebagian besar (90%-95%) pasien CML berada dalam fase kronik (CP-CML)
(Hocchauss et al., 2017).

● FASE KRONIK
Fase kronik ini didapatkan pada sebagian besar pasien (90%-95%). Tanda dan
gejala umum dari CP-CML akibat dari anemia dan splenomegali berupa
kelelahan, penurunan berat badan, rasa tidak enak, rasa kenyang, dan terasa
penuh di kuadran kiri atas (Bintoro, 2015).
● FASE AKSELERASI
Pada fase ini penyakit makin progresif yang ditandai dengan leukosit makin
meningkat, limpa makin membesar. Fase ini secara klinis menunjukkan respons
hematologi atau respons molekuler makin menurun dan cenderung ke arah krisis
blastik (Baccarani et al, 2013).

● FASE KRISIS BLASTIK


Pada fase ini sel-sel CML mulai berperilaku seperti leukemia akut. Pasien sering
demam, malaise (merasa tidak sehat), pembesaran limpa, penurunan berat
badan, dan gejala lain yang menyerupai leukemia akut.
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya splenomegali (pada 95%
pasien), hepatomegali, sternal tenderness, purpura, dan mungkin perdarahan
retina. Kelainan laboratorium pada pasien CML dapat berupa (Bakta, 2006;
Hoffbrand dan Moss, 2011)
• Leukositosis biasanya lebih dari 50.000/mm3 , dapat lebih dari
500.000/mm3 .
• Peningkatan basofil yang bersikulasi.
• Anemia sering ditemui tipe normokromik normositik yang bersifat ringan
pada awal dan dapat menjadi progresif pada fase lanjut.
• Trombosit paling sering meningkat terutama pada fase awal namun dapat
normal atau menurun.
• Pada apusan sumsum tulang ditemukan keadaan hiperseluler dengan
dominasi sistem granulosit, menunjukkan spectrum lengkap seri myeloid
dengan komponen paling banyak neutrofil dan mielosit. Sel blast kurang
dari 30%.
• Ditemukan kromosom Ph positif pada 98% kasus dengan pemeriksaan
sitogenetik.
Penatalaksanaan
● TERAPI CML ERA PRE IMATINIB
Pengobatan CML sebelum era Inhibtor Tyrosine Kinase adalah menggunakan
obat sitostatika. Kemoterapi pada CML menggunakan obat untuk menghancurkan
sel kanker. Regimen kemoterapi, atau jadwal, biasanya terdiri dari beberapa
siklus tertentu yang diberikan selama jangka waktu tertentu.

● BUSULFAN
Busulfan adalah antineoplastik non-spesifik alkylating agent yang diperkenalkan
pertama kali pada tahun 1953 dan merupakan obat pertama yang efektif pada
pasien CML.
● HIDROKSIUREA
Hidroksiurea diperkenalkan sebagai terapi CML pada tahun 1966 dan karena
tingkat toksisitasnya lebih rendah dari busulfan, hidroksiurea lebih menjadi pilihan
untuk pengobatan CML saat itu.

● INTERFERON
Interferon (IFN) adalah suatu glikoprotein yang merespons bila ada kuman
patogen seperti virus, bakteri, parasit atau sel tumor. IFN memiliki aktivitas
biologis termasuk Induksi sel T sitotoksik yang dianggap sebagai salah satu
mekanisme antitumor.
GAMBARAN SEL PADA KONDISI LEUKIMIA
DI SADT
○ Hapusan Darah pada Leukimia Mieloid Kronis (CML)
• sekilas sudah bisa kita lihat tedapat peningkatan
jumlah leukosit yang signifikan. Peningkatan ini
pun disertai gambaran leukosit yang berbagai
macam bentuknya seperti pasar malam, apa saja
ada.

• dapat kita lihat adanya basofil dan berbagai seri


mieloid seperti netrofil segmen, netrofil stab,
mielosit, metamielosit, dan promielosit.
• Peningkatan jumlah eosinofil (sitoplasma
berwarna merah) juga dapat ditemukan
pada hapusan darah tepi pasien CML.

• Sedangkan hapusan darah seperti di samping


dapat kita temukan pada pasien CML yang
telah mengalami kriss blast. Dapat kita lihat
adanya sel muda dari seri mieloid yang berada
pada darah tepi, juga disertai adanya seri
mieloid yang lain seperti eosinofil, neutrofil,
dan metamielosit.
Hapusan Darah pada Leukimia Mielositik Akut
(LMA)
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai