TUNGAU
Disusun oleh:
Amila Thursina Hilyah
Bima Putra Utama
Dinda Aulia Hakim
Faninda Ardhita Fatmalasari
Khansa Yumna Ridhotillah
Nelly Supriana Simamora
Sri Shinta Utami
Sola Gracia Roseline H
Kelompok 10
TLM 2B
2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
dengan judul “Tungau” ini. Adapun makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Parasitologi II Program Studi Teknologi Laboratorium Medis
Poltekkes Kemenkes Banten.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah dari awal sampai akhir. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................
1.1 Latar Belakang.........................................................................................
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................
1.3 Tujuan.......................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................
2.1 Pengertian Tungau....................................................................................
2.2 Distribusi Tungau.....................................................................................
2.3 Taksonomi Tungau...................................................................................
2.4 Morfologi Tungau....................................................................................
2.5 Siklus Hidup Tungau................................................................................
2.6 Patogenesis Tungau..................................................................................
2.7 Diagnosa Tungau......................................................................................
BAB III PENUTUP..................................................................................................
3.1 Kesimpulan...............................................................................................
3.2 Saran.........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
iii
BAB I
PENDAHULUAN
4
1.3 Tujuan
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tungau
Tungau adalah sekelompok hewan kecil bertungkai delapan yang, bersama-sama
dengan caplak, menjadi anggota superordo Acarina. Tungau bukanlah kutu dalam
pengertian ilmu hewan walaupun sama-sama berukuran kecil (sehingga beberapa orang
menganggap keduanya sama). Apabila kutu sejati merupakan anggota Insecta (serangga),
tungau lebih berdekatan dengan laba-laba dilihat dari kekerabatannya. Hewan ini
merupakan salah satu avertebrata yang paling beraneka ragam dan
sukses beradaptasi dengan berbagai keadaan lingkungan. Ukurannya kebanyakan sangat
kecil sehingga kurang menarik perhatian hewan pemangsa besar dan mengakibatkan ia
mudah menyebar.
Tungau juga merupakan salah satu parasit yang berpotensi menginfeksi di setiap
stadium nyamuk Aedes sp (Sukamto, 2007). Sebagian besar tungau dewasa hidup bebas,
namun sebagian larva tungau hidup parasit pada arthropoda, termasuk nyamuk (Mullen &
Gary, 1975). Menurut Williams & Proctor (2002), tungau parasit yang memparasiti
nyamuk termasuk dalam familia Hydryphantidae, Arrenuridae dan Erythraeidae. Tungau
pararasit ini dapat menembus exoskeleton inang dan memakan hemolymph dan jaringan
disekitarnya (Smith & Mciver, 1983). Kemampuan menginfeksi tungau parasit terhadap
inangnya dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti temperatur, ketinggian tempat, pH
air, curah hujan, variasi musim dan ketersediaan tempat perindukan nyamuk (Arrimoro,
2010).
6
Banyak di antara anggotanya yang hidup bebas di air atau daratan, tetapi ada
anggotanya yang menjadi parasit pada hewan lain (mamalia maupun serangga)
atau tumbuhan, bahkan ada yang memakan kapang. Beberapa tungau diketahui menjadi
penyebar penyakit (vektor) dan pemicu alergi. Walaupun demikian, ada pula tungau yang
hidup menumpang pada hewan lain namun saling menguntungkan. Di bidang pertanian,
tungau menimbulkan banyak kerusakan pada kualitas buah jeruk (umpamanya tungau
karat buah Phyllocoptura oleivera Ashmed dan tungau merah Panonychus
citri McGregor), merusak daun ketela pohon dan juga daun beberapa
tumbuhan Solanaceae (cabai dan tomat). Tungau juga menyebabkan penyakit skabies,
penyakit pada kulit yang mudah menular. Ada lebih dari 45 ribu jenis tungau yang telah
dipertelakan. Para ilmuwan berpendapat, itu baru sekitar 5% dari kenyataan total jenis
yang ada. Hewan ini dipercaya telah ada sejak sekitar 400 juta tahun. Ilmu yang
mempelajari perikehidupan tungau dan caplak dikenal sebagai akarologi.
7
lembab. Meskipun tungau ini tidak menggigit dan tidak menularkan suatu penyakit,
namun tungau ini menghasilkan material atau bahan yang bersifat alergen. Material
tersebut berukuran sangat kecil dan ringan sehingga mudah terbang dan bersatu dengan
debu di udara. Bila terhisap dapat menimbulkan reaksi alergi pada orang yang sensitif,
sehingga menimbulkan pembengkakan pada saluran pernafasan yang akan memicu
munculnya serangan asma, terutama bagi individu yang sensitif.
Jenis tungau debu yang banyak ditemukan di Indonesia adalah dua jenis yaitu
Dermatophagoides pteronyssinus dan Dermatophagoides farinae. Keduanya merupakan
tungau debu yang umum tersebar secara kosmopolit, di seluruh dunia. Selain itu,
mungkin banyak jenis lainnya namun belum diteliti lebih mendalam. Distribusi atau
sebaran spesies Dermatophagoides sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban,
sehingga keberadaannya berbeda-beda di setiap wilayah. Sebagai contoh,
Dermatophagoides pteronyssinus lebih banyak ditemukan di daerah yang memiliki
kelembaban yang tinggi seperti di negara-negara Eropa dan Inggris, sedangkan
Dermatophagoides farinae lebih banyak ditemukan di daerah yang memiliki cuaca kering
yang panjang seperti di benua Amerika. Dominasi habitat tungau di suatu tempat tersebut
menyebabkan orang awam menamakannya European house dust mite atau tungau debu
Eropa untuk Dermatophagoides pteronyssinus, dan American house dust mite atau
tungau debu Amerika untuk Dermatophagoides farinae. Meskipun demikian penamaan
ini sebenarnya kurang tepat mengingat kedua jenis tungau tersebut dapat ditemukan
dimana-mana di dunia ini.
a. Tungau debu
Secara ilmiah, taksonomi dan klasifikasi tungau debu adalah sebagai berikut:
Superkingdom : Eukaryota
Kingdom : Animalia
8
Subkingdom : Metazoa
Filum : Arthropoda
Subfilum : Chelicerata
Kelas : Arachnida
Ordo : Acariformes
Subordo : Astigmata
Famili : Pyroglyphidae
Genus : Dermatophagoides
Secara umum
9
meninggalkan folikel rambut dan perlahan-lahan berjalan-
jalan pada kulit, dengan kecepatan 8 16 mm per jam, terutama pada malam hari, ketika
mereka mencoba untuk menghindari cahaya.
a. Gnatosoma
Gnatosoma terletak di bagian anterior tubuh merupakan alat mulut yang terdiri
atas kelisera dan pedipalpi. Pada gnatosoma terdapat stigmata, peritrema dan alat
sensori. Stigmata dan peritrema berfungsi sebagai alat pernapasan. Kelisera berfungsi
sebagai alat untuk menusuk, menghisap dan mengunyah sedang pedipalpi berfungsi
sebagai alat bantu makan.
b. Kapitulum
Gnatosoma merupakan bagian dari kapitulum
c. Podosoma
Terdapat empat pasang tungkai yang terletak pada podosoma.
d. Opistosoma
Opistosoma merupakan bagian posterior dari tubuh tungau yang terdiri dari organ
sekresi dan organ genital.
e. Idiosoma
Idiosoma pada tungau adalah podosoma dan opistosoma yang menyatu.
a. Tungau scabies
Tungau berbentuk hampir bulat dengan 8 kaki pendek, pipih, berukuran 300-600
µ x 250-400 µ pada betina dan 200-240 µ x 150-200 µ pada jantan, biasanya hidup di
lapisan kulit epidermis. Sarcoptes merupakan tungau penggali superfisial dan bersifat
zoonosis. Scabies sering terjadi pada anjing dan ternak (sapi, kambing, domba, babi,
kuda, kelinci), spesies hewan lain seperti serigala, wombat, dan manusia. Penularan
10
Scabies pada kucing jarang terjadi karena lebih sering disebabkan oleh tungau Notoedres
cati.
Tungau debu berukuran sangat kecil, sehingga tidak dapat dideteksi dengan mata
telanjang. Tungau jantan panjangnya 370-430 mikron dan yang betina 300-350 mikron.
Larva tungau mempunyai tiga pasang kaki, sedangkan yang dewasa mempunyai empat
pasang, pasangan kaki pertama lebih tebal dari pasangan kaki yang lain, sehingga tampak
seperti kepiting. Kaki ketiga lebih panjang 1,5 kali panjang kaki keempat dan langsing
terkulai. Tubuhnya dilengkapi sepasang seta panjang di dorsal dan 2 pasang rambut
panjang di lateral (tidak berasal dari keping). Bagian ventralnya dilengkapi seminal
reseptakel yang meluas dan berbentuk seperti bunga daisy atau matahari dan ujung distal
(bursa kopulatriks) sedikit mengalami sklerotisasi.
11
Secara umum
Tungau betina secara aktif membuat liang di dalam kulit epidermis atau lapisan
tanduk, meletakkan 2-3 butir telur setiap hari. Telur menetas dalam 2-4 hari dan keluar
larva berkaki 6. Dalam waku 1-2 hari larva berubah menjadi nimfa stadium pertama dan
kedua yang berkaki 8, kemudian menjadi tungau betina muda yang siap kawin, dan
menjadi dewasa dalam 2-4 hari. Waktu yang diperlukan telur menjadi tungau lebih
kurang 17 hari. Tungau dan larva hidup dengan memakan reruntuhan jaringan.
Tungau debu
Secara umum semua spesies tungau debu memiliki daur hidup yang mirip dengan
tungau lainnya. Tungau debu bersifat ovipara. Siklus tungau debu dimulai dari telur,
larva, protonimfa, tritonimfa dan dewasa. Siklus hidup ini sangat dipengaruhi oleh suhu
dan kelembaban, dan suhu optimsl bsgi pertumbuhan tungau adalah 25 – 30 derajat
celcius pada kelembaban 70 – 80 persen. Waktu yang diperlukan perkembangan kedua
spesies dari periode telur hingga dewasa adalah rata-rata 35 hari, tetapi yang betina lebih
panjang yaitu sekitar 70 hari. Makin tinggi suhu periode siklus hidup akan semakin cepat,
sebaliknya makin rendah suhu peride siklus hidup makin lambat. Adapun periode bertelur
D. farinae berlangsung selama 30 hari, dan mampu memproduksi sekitar satu telur per
hari, sedangkan D. pteronyssinus mampu bertelur sekitar 80 -120 telur selama periode
45-hari.
12
skabies sendiri maupun produk yang dihasilkannya dapat menyebabkan reaksi alergi
yang bermanifestasi sebagai makula kemerahan atau papul eritem dan memberikan rasa
sangat gatal. Sensitivitas alergi terhadap tungau maupun produk tungau memiliki peranan
penting dalam menyebabkan pruritus dan menimbulkan lesi di bagian tubuh yang terkena
tungau. Lesi skabies ditandai dengan adanya terowongan, papul /nodul skabies pada kulit
penderitanya. Tungau skabies tidak menyebabkan infeksi, namun kebiasaan menggaruk
yang hebat karena rasa gatal yang ditimbulkan tungau skabies dapat berujung pada
infeksi sekunder.
Tungau menembus kulit, mengisap cairan limfe, dan memakan sel-sel epidermis.
Rasa gatal yang kuat dialami hewan dan bila digosok-gosokkan atau digaruk semakin
bertambah gatal dan sakit, akibatnya terjadi lecet-lecet serta kerontokan rambut. Lecet
menyebabkan keluarnya cairan serum (eksudat) yang menggumpal dan kering
membentuk sisik-sisik di permukaan kulit (keropeng). Selanjutnya terjadi keratinisasi dan
proliferasi jaringan ikat sehingga kulit menebal, berkerut dan tidak rata permukaannya.
Diagnosa
13
Terapi
1. Hewan yang terinfeksi termasuk yang kontak harus diobati
2. Terapi antiparasit seperti Selamectin, Moxidectin, Amitraz 5%, Asuntol,
Ivermectin, Milbemycin.
3. Obat yang bukan lisensi untuk Sarcoptes (termasuk obat ekstra label/herbal)
seperti 2-3% lime sulfur, belerang atau minyak pelumas bekas yang dioles juga
dapat digunakan (tungau mati karena kurang oksigen).
4. Manajemen lingkungan dengan mencegah kontak antara hewan sehat dengan
fomites yang terinfestasi tungau (misalnya, alas hewan, pakan dan wadah air,
kandang dan peralatan lainnya).
5. Terapi terhadap lingkungan seperti menyingkirkan/membersihkan alas (bedding),
spray/pembersihan dengan antiparasit terhadap lingkungan.
6. Isolasi hewan yang sakit selama 2 minggu sering direkomendasikan untuk
mencegah atau membatasi penyebaran tungau yang bersifat menular.
7. Lebih baik segera bawa hewan peliharaan ke dokter hewan terdekat. Dokter akan
memberikan beberapa alternatif pengobatan tergantung kondisi hewan serta
tingkat keparahan dengan obat-obatan seperti di atas.
14
basah atau vacuum cleaner. Hindari penggunaan kemoceng, karena ini membuat debu
bertebaran dan debu hanya berpindah tempat. Gantilah seprei, sarung bantal dan guling,
setidaknya sekali seminggu. cuci dengan air panas di atas agar tungau debu mati. Gorden
sebaiknya dicuci setiap 3 bulan sekali. servis AC setiap 6 bulan sekali untuk menghindari
bertumpuknya debu di filter. Selamat mencoba..
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
https://pertanian.pontianakkota.go.id/artikel/53-scabies.html
https://slideplayer.info/slide/12117522/
https://media.neliti.com/media/publications/169279-ID-distribusi-geografis-tungau-
parasit-nyam.pdf
http://upikke.staff.ipb.ac.id/files/2014/06/Tungau-debu-Dermatophagoides1.pdf
http://100makalah.blogspot.com/2016/06/makalah-parasitologi-tungau.html
http://andifahdinafitrianti.blogspot.com/2014/05/makalah-kesling-vektor-tungau-
mites.html
17