Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PARASITOLOGI II

TUNGAU

Dosen Pengampu: drh. Aminah, M.Si

Disusun oleh:
Amila Thursina Hilyah
Bima Putra Utama
Dinda Aulia Hakim
Faninda Ardhita Fatmalasari
Khansa Yumna Ridhotillah
Nelly Supriana Simamora
Sri Shinta Utami
Sola Gracia Roseline H

Kelompok 10

TLM 2B

POLTEKKES KEMENKES BANTEN

JURUSAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
dengan judul “Tungau” ini. Adapun makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Parasitologi II Program Studi Teknologi Laboratorium Medis
Poltekkes Kemenkes Banten.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah dari awal sampai akhir. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Tangerang, 06 Maret 2021

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................
1.1 Latar Belakang.........................................................................................
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................
1.3 Tujuan.......................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................
2.1 Pengertian Tungau....................................................................................
2.2 Distribusi Tungau.....................................................................................
2.3 Taksonomi Tungau...................................................................................
2.4 Morfologi Tungau....................................................................................
2.5 Siklus Hidup Tungau................................................................................
2.6 Patogenesis Tungau..................................................................................
2.7 Diagnosa Tungau......................................................................................
BAB III PENUTUP..................................................................................................
3.1 Kesimpulan...............................................................................................
3.2 Saran.........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tungau bukanlah kutu dalam pengertian ilmu hewan walaupun sama-sama
berukuran kecil. Apabila kutu sejati merupakan anggota Insecta (serangga), tungau lebih
berdekatan dengan laba-laba dilihat dari kekerabatannya. Serangga dan tungau / akarina
kalau diperhatikan ternyata paling banyak berasosiasi dengan kehidupan manusia, dan
berbagai usaha telah dilakukan untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Hal ini
disebabkan oleh adanya keragaman genetik yang dimiliki oleh serangga dan tungau,
sehingga dapat beradaptasi pada berbagai habitat alamiah maupun habitat buatan yang
dikembangkan oleh manusia. Sejak jaman dahulu manusia telah bersaing dengan
Arthropoda dalam mendapatkan makanan, ternyata manusia tidak selalu menang.
Tungau yang dalam bahasa Inggris disebut mites atau ticks, merupakan salah satu
hama yang mempunyai arti ekonomi yang cukup penting. Tungau / akarina sangat
melimpah dan terjadi pada beberapa habitat yang dapat hidup pada berbagai jenis
tanaman, bahan yang disimpan, dalam tanah, bahkan pada tubuh manusia atau hewan. Di
berbagai belahan dunia, laporan kasus scabies yang disebabkan oleh serangga tungau ini
sering ditemukan pada keadaan lingkungan yang padat penduduk, status ekonomi yang
rendah, tingkat pendidikan yang rendah dan kualitas higienis pribadi yang kurang baik
atau cenderung jelek. Sehingga sangat berbahaya bagi kehidupan bermasyarakat.
Banyak di antara anggotanya yang hidup bebas di air atau daratan, namun ada
anggotanya yang menjadi parasit pada hewan lain (mamalia maupun serangga)
atau tumbuhan, bahkan ada yang memakan kapang. Beberapa tungau diketahui menjadi
penyebar penyakit (vektor) dan pemicu alergi. Walaupun demikian, ada pula tungau yang
hidup menumpang pada hewan lain namun saling menguntungkan. Demikianlah hal
tersebut menjadi latar belakang dibuatnya penulisan makalah ini untuk lebih mendalami
avertebrata khususnya serangga. Serangga dalam hal ini yaitu tungau (mites).

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1

4
1.3 Tujuan

5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tungau
Tungau adalah sekelompok hewan kecil bertungkai delapan yang, bersama-sama
dengan caplak, menjadi anggota superordo Acarina. Tungau bukanlah kutu dalam
pengertian ilmu hewan walaupun sama-sama berukuran kecil (sehingga beberapa orang
menganggap keduanya sama). Apabila kutu sejati merupakan anggota Insecta (serangga),
tungau lebih berdekatan dengan laba-laba dilihat dari kekerabatannya. Hewan ini
merupakan salah satu avertebrata yang paling beraneka ragam dan
sukses beradaptasi dengan berbagai keadaan lingkungan. Ukurannya kebanyakan sangat
kecil sehingga kurang menarik perhatian hewan pemangsa besar dan mengakibatkan ia
mudah menyebar.

Tungau juga merupakan salah satu parasit yang berpotensi menginfeksi di setiap
stadium nyamuk Aedes sp (Sukamto, 2007). Sebagian besar tungau dewasa hidup bebas,
namun sebagian larva tungau hidup parasit pada arthropoda, termasuk nyamuk (Mullen &
Gary, 1975). Menurut Williams & Proctor (2002), tungau parasit yang memparasiti
nyamuk termasuk dalam familia Hydryphantidae, Arrenuridae dan Erythraeidae. Tungau
pararasit ini dapat menembus exoskeleton inang dan memakan hemolymph dan jaringan
disekitarnya (Smith & Mciver, 1983). Kemampuan menginfeksi tungau parasit terhadap
inangnya dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti temperatur, ketinggian tempat, pH
air, curah hujan, variasi musim dan ketersediaan tempat perindukan nyamuk (Arrimoro,
2010).

2.2 Distribusi Tungau


Secara umum

6
Banyak di antara anggotanya yang hidup bebas di air atau daratan, tetapi ada
anggotanya yang menjadi parasit pada hewan lain (mamalia maupun serangga)
atau tumbuhan, bahkan ada yang memakan kapang. Beberapa tungau diketahui menjadi
penyebar penyakit (vektor) dan pemicu alergi. Walaupun demikian, ada pula tungau yang
hidup menumpang pada hewan lain namun saling menguntungkan. Di bidang pertanian,
tungau menimbulkan banyak kerusakan pada kualitas buah jeruk (umpamanya tungau
karat buah Phyllocoptura oleivera Ashmed dan tungau merah Panonychus
citri McGregor), merusak daun ketela pohon dan juga daun beberapa
tumbuhan Solanaceae (cabai dan tomat). Tungau juga menyebabkan penyakit skabies,
penyakit pada kulit yang mudah menular. Ada lebih dari 45 ribu jenis tungau yang telah
dipertelakan. Para ilmuwan berpendapat, itu baru sekitar 5% dari kenyataan total jenis
yang ada. Hewan ini dipercaya telah ada sejak sekitar 400 juta tahun. Ilmu yang
mempelajari perikehidupan tungau dan caplak dikenal sebagai akarologi.

a. Tungau penginfeksi Aedes sp


Beberapa tungau dikenal sebagai musuh alami Aedes sp. yang berpotensi
menginfeksi semua tahap kehidupan Aedes sp. Penyebaran Aedes sp. diperkirakan
mempengaruhi distribusi tungau parasit. Distribusi tungau dan spesies parasitik pada
umumnya tergantung pada umur spesies parasit tersebut, kemampuan suatu parasit untuk
berpisah dari inangnya dan daya tingkat keterikatan inang pada habitat tertentu (Elmer &
Noble, 1982). Distribusi tungau juga ditentukan oleh filogeni inangnya, kemampuan
pemilihan lokasi sebaik mungkin pada bagian dari tubuh inangnya sehingga dapat
memperoleh kebutuhan makanan dan bereproduksi maksimum dalam batas tertentu yang
ditentukan oleh metabolisme tungau parasit dan respon fisiologi inangnya (Elmer &
Noble, 1982).
b. Tungau Debu
Tungau ini banyak ditemukan pada debu yang terdapat pada berbagai peralatan
rumah tangga, khususnya perabotan yang terdapat di sekitar kamar tidur, seperti kasur,
seprei, selimut, wool dan peralatan lain. Mengapa banyak terdapat di sekitar kamar tidur.
Hal ini disebabkan oleh debu di sekitar kamar tidur biasanya banyak terdapat makanan
tungau tersebut, seperti skuama atau rentuhan sel-sel kulit manusia yang banyak
ditemukan di tempat tidur. Dermatophagoides menyukai tempat yang hangat, kering dan

7
lembab. Meskipun tungau ini tidak menggigit dan tidak menularkan suatu penyakit,
namun tungau ini menghasilkan material atau bahan yang bersifat alergen. Material
tersebut berukuran sangat kecil dan ringan sehingga mudah terbang dan bersatu dengan
debu di udara. Bila terhisap dapat menimbulkan reaksi alergi pada orang yang sensitif,
sehingga menimbulkan pembengkakan pada saluran pernafasan yang akan memicu
munculnya serangan asma, terutama bagi individu yang sensitif.
Jenis tungau debu yang banyak ditemukan di Indonesia adalah dua jenis yaitu
Dermatophagoides pteronyssinus dan Dermatophagoides farinae. Keduanya merupakan
tungau debu yang umum tersebar secara kosmopolit, di seluruh dunia. Selain itu,
mungkin banyak jenis lainnya namun belum diteliti lebih mendalam. Distribusi atau
sebaran spesies Dermatophagoides sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban,
sehingga keberadaannya berbeda-beda di setiap wilayah. Sebagai contoh,
Dermatophagoides pteronyssinus lebih banyak ditemukan di daerah yang memiliki
kelembaban yang tinggi seperti di negara-negara Eropa dan Inggris, sedangkan
Dermatophagoides farinae lebih banyak ditemukan di daerah yang memiliki cuaca kering
yang panjang seperti di benua Amerika. Dominasi habitat tungau di suatu tempat tersebut
menyebabkan orang awam menamakannya European house dust mite atau tungau debu
Eropa untuk Dermatophagoides pteronyssinus, dan American house dust mite atau
tungau debu Amerika untuk Dermatophagoides farinae. Meskipun demikian penamaan
ini sebenarnya kurang tepat mengingat kedua jenis tungau tersebut dapat ditemukan
dimana-mana di dunia ini.

2.3 Taksonomi Tungau


Taksonomi tungau masih belum stabil karena banyaknya perubahan. Namun
dapat dikatakan bahwa tungau mencakup semua anggota Acariformes,
semua Parasitiformes kecuali Ixodida (caplak), dan beberapa familia dan genera yang
belum pasti penempatannya.

a. Tungau debu

Secara ilmiah, taksonomi dan klasifikasi tungau debu adalah sebagai berikut:
Superkingdom : Eukaryota

Kingdom : Animalia

8
Subkingdom : Metazoa

Filum : Arthropoda

Subfilum : Chelicerata

Kelas : Arachnida

Ordo : Acariformes

Subordo : Astigmata

Famili : Pyroglyphidae

Genus : Dermatophagoides

Spesies : Dermatophagoides pteronyssinus, Dermatophagoides farinae

2.4 Morfologi Tungau

Secara umum

Tungau merupakanbinatangyang berukuransangatkecil, yakni 250-300mikron


berbentuk oval, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata.Tungaumemiliki ciri
umum memiliki tubuh tersegmentasi dengan segmen disusun dalamdua tagmata: sebuah
prosoma(cephalothorax) dan opisthosoma (perut). Namun, hanya jejak-jejak samar
segmentasi utama tetap di tungau, sedangkan  prosoma dan opisthosoma menyatu.
Tungau dewasa memiliki empat pasang kaki, seperti arachnida lain, tetapi beberapa
memiliki kaki lebih sedikit.Beberapa tungau parasit hanya memiliki satuatau tiga pasang
kaki dalam tahap dewasa. Tungau dewasa dengan hanya tiga pasang kaki dapat disebut
'larviform'.
Tungau bernapas melalui tracheae, stigmata (lubang kecil pada kulit), usus dan
kulit. Kebanyakan tungau tidak memiliki mata. Mata pusat arachnidaselalu hilang, atau
mereka menyatu menjadi satu mata.Panjang tungau dewasahanya 0,3-0,4 milimeter.
Tungau memiliki tubuh semitransparan memanjang yang terdiri dari dua
segmen menyatu. Tungau memiliki delapan kakipendek, kaki yangtersegmentasi melekat
pada segmen tubuh pertama. Tubuh ditutupi dengan sisikuntuk penahan dirinya dalam
folikel rambut, dan tungau memiliki pin (sepertimulut) yaitu bagian untuk makan sel-sel
kulit dan minyak (sebum) yang menumpuk di folikel rambut. Tungau dapat

9
meninggalkan folikel rambut dan perlahan-lahan berjalan-
jalan pada kulit, dengan kecepatan 8 16 mm per jam, terutama pada malam hari, ketika
mereka mencoba untuk menghindari cahaya.

a. Gnatosoma
Gnatosoma terletak di bagian anterior tubuh merupakan  alat mulut yang terdiri
atas kelisera dan pedipalpi. Pada gnatosoma terdapat stigmata, peritrema dan alat
sensori. Stigmata dan peritrema berfungsi sebagai alat pernapasan. Kelisera berfungsi
sebagai alat untuk menusuk, menghisap dan mengunyah sedang pedipalpi berfungsi
sebagai alat bantu makan.
b. Kapitulum
Gnatosoma merupakan bagian dari kapitulum
c. Podosoma
Terdapat  empat pasang tungkai yang terletak pada podosoma.
d. Opistosoma
Opistosoma merupakan bagian posterior dari tubuh tungau yang terdiri dari organ
sekresi dan organ genital.
e. Idiosoma
Idiosoma pada tungau adalah podosoma dan opistosoma yang menyatu.

a. Tungau scabies

Tungau berbentuk hampir bulat dengan 8 kaki pendek, pipih, berukuran 300-600
µ x 250-400 µ pada betina dan 200-240 µ x 150-200 µ pada jantan, biasanya hidup di
lapisan kulit epidermis. Sarcoptes merupakan tungau penggali superfisial dan bersifat
zoonosis. Scabies sering terjadi pada anjing dan ternak (sapi, kambing, domba, babi,
kuda, kelinci), spesies hewan lain seperti serigala, wombat, dan manusia. Penularan

10
Scabies pada kucing jarang terjadi karena lebih sering disebabkan oleh tungau Notoedres
cati.

b. Tungau penginfeksi Aedes sp

Berdasarkan suatu penelitian, tungau yang menginfeksi nyamuk Aedes sp


kebanyakan merupakan famili Histiostomatidae, yang mempunyai bentuk tubuh oval,
palpus pendek dan terdapat segment pada ujung palpus, mempunyai satu cakar (claw)
pada kaki depannya, pada bagian idiosomanya tidak tersklerotisasi secara jelas, genital
shieldnya berbentuk oval, pada sepasang kaki pertama terdapat dua pasang setae,
sedangkan pada sepasang kaki ke empatnya hanya terdapat sepasang setae.

Familia Histiostomatidae mempunyai ciri-ciri tubuh yang lunak terutama pada


bagian idiosomanya, mempunyai setae yang panjang pada bagian dorsalnya dengan
pedipalpus yang pendek, mempunyai 1 cakar pada tarsusnya (Harvey, 1998 dalam Snell
& Heath, 2010). Qin (1996), menyatakan bahwa tungau familia Histiostomatidae
mempunyai kisaran panjang tubuh antara 414–700 µm, genital shieldnya berbentuk oval
dan pada pseudoanalnya terdapat tiga pasang setae. Sepasang setae ditemukan pada kaki
ke empatnya. Setae renang pada kakinya digunakan untuk mencari mangsa. Selain untuk
mencari mangsa, pada sepasang kaki pertamanya juga termodifikasi untuk menancapkan
diri ke tubuh inang saat menghisap cairan dari inang ataupun pada saat istirahat.

c. Tungau debu Dermatophagoides.

Tungau debu berukuran sangat kecil, sehingga tidak dapat dideteksi dengan mata
telanjang. Tungau jantan panjangnya 370-430 mikron dan yang betina 300-350 mikron.
Larva tungau mempunyai tiga pasang kaki, sedangkan yang dewasa mempunyai empat
pasang, pasangan kaki pertama lebih tebal dari pasangan kaki yang lain, sehingga tampak
seperti kepiting. Kaki ketiga lebih panjang 1,5 kali panjang kaki keempat dan langsing
terkulai. Tubuhnya dilengkapi sepasang seta panjang di dorsal dan 2 pasang rambut
panjang di lateral (tidak berasal dari keping). Bagian ventralnya dilengkapi seminal
reseptakel yang meluas dan berbentuk seperti bunga daisy atau matahari dan ujung distal
(bursa kopulatriks) sedikit mengalami sklerotisasi.

2.5 Siklus Hidup Tungau

11
Secara umum
Tungau betina secara aktif membuat liang di dalam kulit epidermis atau lapisan
tanduk, meletakkan 2-3 butir telur setiap hari. Telur menetas dalam 2-4 hari dan keluar
larva berkaki 6. Dalam waku 1-2 hari larva berubah menjadi nimfa stadium pertama dan
kedua yang berkaki 8, kemudian menjadi tungau betina muda yang siap kawin, dan
menjadi dewasa dalam 2-4 hari. Waktu yang diperlukan telur menjadi tungau lebih
kurang 17 hari. Tungau dan larva hidup dengan memakan reruntuhan jaringan.

Tungau debu
Secara umum semua spesies tungau debu memiliki daur hidup yang mirip dengan
tungau lainnya. Tungau debu bersifat ovipara. Siklus tungau debu dimulai dari telur,
larva, protonimfa, tritonimfa dan dewasa. Siklus hidup ini sangat dipengaruhi oleh suhu
dan kelembaban, dan suhu optimsl bsgi pertumbuhan tungau adalah 25 – 30 derajat
celcius pada kelembaban 70 – 80 persen. Waktu yang diperlukan perkembangan kedua
spesies dari periode telur hingga dewasa adalah rata-rata 35 hari, tetapi yang betina lebih
panjang yaitu sekitar 70 hari. Makin tinggi suhu periode siklus hidup akan semakin cepat,
sebaliknya makin rendah suhu peride siklus hidup makin lambat. Adapun periode bertelur
D. farinae berlangsung selama 30 hari, dan mampu memproduksi sekitar satu telur per
hari, sedangkan D. pteronyssinus mampu bertelur sekitar 80 -120 telur selama periode
45-hari.

2.6 Patogenesis Tungau

Parasit Sarcoptes scabiei berukuran kecil dengan panjang sekitar 0,5 mm dan


sulit diidentifikasi tanpa penggunaan kaca pembesar. Skabies betina tinggal di
terowongan di bawah kulit, di mana mereka bertelur dan berkembang biak. Baik parasit

12
skabies sendiri maupun produk yang dihasilkannya dapat menyebabkan reaksi alergi
yang bermanifestasi sebagai makula kemerahan atau papul eritem dan memberikan rasa
sangat gatal. Sensitivitas alergi terhadap tungau maupun produk tungau memiliki peranan
penting dalam menyebabkan pruritus dan menimbulkan lesi di bagian tubuh yang terkena
tungau. Lesi skabies ditandai dengan adanya terowongan, papul /nodul skabies pada kulit
penderitanya. Tungau skabies tidak menyebabkan infeksi, namun kebiasaan menggaruk
yang hebat karena rasa gatal yang ditimbulkan tungau skabies dapat berujung pada
infeksi sekunder. 
Tungau menembus kulit, mengisap cairan limfe, dan memakan sel-sel epidermis.
Rasa gatal yang kuat dialami hewan dan bila digosok-gosokkan atau digaruk semakin
bertambah gatal dan sakit, akibatnya terjadi lecet-lecet serta kerontokan rambut. Lecet
menyebabkan keluarnya cairan serum (eksudat) yang menggumpal dan kering
membentuk sisik-sisik di permukaan kulit (keropeng). Selanjutnya terjadi keratinisasi dan
proliferasi jaringan ikat sehingga kulit menebal, berkerut dan tidak rata permukaannya.

Tungau Sarcoptes scabei Anjing scabies

2.7 Diagnosa Tungau

Diagnosa

1. Sejarah dan gejala klinis


2. Reflek pinnal-pedal (70-90%) yaitu gerakan reflek menggaruk dengan kaki
belakang apabila bagian telinga digosok/digaruk.
3. Perlu dibedakan dengan demodikosis yang disebabkan Demodex canis, eczema,
infeksi jamur, atau radang kulit (dermatitis) secara mikroskopis dengan ‘deep skin
scrapping’.  Scabies sering disalahartikan dengan jamur oleh pemilik hewan.

13
Terapi
1. Hewan yang terinfeksi termasuk yang kontak harus diobati
2. Terapi antiparasit seperti Selamectin, Moxidectin, Amitraz 5%, Asuntol,
Ivermectin, Milbemycin.
3. Obat yang bukan lisensi untuk Sarcoptes (termasuk obat ekstra label/herbal)
seperti 2-3% lime sulfur, belerang atau minyak pelumas bekas yang dioles juga
dapat digunakan (tungau mati karena kurang oksigen).
4. Manajemen lingkungan dengan mencegah kontak antara hewan sehat dengan
fomites yang terinfestasi tungau (misalnya, alas hewan, pakan dan wadah air,
kandang dan peralatan lainnya).
5. Terapi terhadap lingkungan seperti menyingkirkan/membersihkan alas (bedding),
spray/pembersihan dengan antiparasit terhadap lingkungan.
6. Isolasi hewan yang sakit selama 2 minggu sering direkomendasikan untuk
mencegah atau membatasi penyebaran tungau yang bersifat menular.
7. Lebih baik segera bawa hewan peliharaan ke dokter hewan terdekat. Dokter akan
memberikan beberapa alternatif pengobatan tergantung kondisi hewan serta
tingkat keparahan dengan obat-obatan seperti di atas.

Upaya untuk mencegah


Tungau debu dapat dimusnahkan dengan cara hidup bersih dan sehat. Lakukan
dengan secara teratur upaya membersihkan dan mencuci barang-barang yang terdapat di
dalam rumah, khususnya di ruang tidur dan ruang keluarga dan ruang lainnya. Demikian
pula di dalam lingkungan perkantoran. Tempat tidur setiap hari dibersihkan, kalau perlu
dijemur secara berkala dan teratur. Karpet adalah sumber tungau debu yang juga perlu
dibersihkan secara teratur. Upayakan kamar tidur dalam kondisi terang dan kering. Cara
termudah adalah dengan mengijinkan udara dan sinar matahari masuk lewat jendela atau
lubang ventilasi. Pertukaran udara dalam ruang mampu melenyapkan kelembaban,
sedangkan sinar matahari memang tidak disukai oleh tungau debu. Alat penyejuk ruangan
seperti AC juga dapat dimanfaatkan untuk mempertahankan kelembaban udara menjadi
rendah, yang membuat tungau tidak optimal berkembang. Bersihkan kamar tidur secara
teratur debu yang menjadi sarang tungau harus dibersihkan setiap hari. Gunakan lap

14
basah atau vacuum cleaner. Hindari penggunaan kemoceng, karena ini membuat debu
bertebaran dan debu hanya berpindah tempat. Gantilah seprei, sarung bantal dan guling,
setidaknya sekali seminggu. cuci dengan air panas di atas agar tungau debu mati. Gorden
sebaiknya dicuci setiap 3 bulan sekali. servis AC setiap 6 bulan sekali untuk menghindari
bertumpuknya debu di filter. Selamat mencoba..

15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

16
DAFTAR PUSTAKA

https://pertanian.pontianakkota.go.id/artikel/53-scabies.html

https://slideplayer.info/slide/12117522/

https://media.neliti.com/media/publications/169279-ID-distribusi-geografis-tungau-
parasit-nyam.pdf

http://upikke.staff.ipb.ac.id/files/2014/06/Tungau-debu-Dermatophagoides1.pdf

http://100makalah.blogspot.com/2016/06/makalah-parasitologi-tungau.html

http://andifahdinafitrianti.blogspot.com/2014/05/makalah-kesling-vektor-tungau-
mites.html

17

Anda mungkin juga menyukai