Anda di halaman 1dari 440

1

ISBN : 978-602-8674-41-6
Tahun
2011
Terbit :
Prof.dr.Soedarto,
Penulis :
DTM&H.,Ph.D.,Sp.Park

Penerbit : Sagung Seto

Bab 1
PENDAHULUAN

Parasit adalah organisme yang termasuk dalam kerajaan binatang (animal kingdom)
yang untuk dapat mempertahankan hidupnya membutuhkan makhluk hidup lain sebagai
sumber sumber kehidupannya termasuk sebagai sumber makanannya. Oleh karena itu
parasit sangat merugikan hidup dan bahkan dapat membunuh inang (hospes) tempatnya
menumpang hidup.
Parasitologi kedokteran adalah ilmu kedokteran yang mempelajari tentang parasit
yang hidup pada atau di dalam tubuh manusia atau hewan, baik yang hidup untuk
sementara waktu maupun yang hidup parasitik sepanjang umurnya di dalam tubuh atau
pada permukaan tubuh inang tempatnya mencari makan untuk mempertahankan
hidupnya.

Simbiosis. Di alam, selalu terjadi simbiosis, yaitu hubungan timbal balik antara dua
organisme atau makhluk hidup. Simbiosis dapat berlangsung untuk sementara waktu,
namun juga dapat berlangsung terus-menerus atau permanen. Pada simbiosis mutualisme
dua organisme mendapatkan keuntungan dari simbiosis tersebut sedangkan pada
2

simbiosis komensalisme salah satu organisme mendapatkan keuntungan dari hubungan


tersebut sedangkan organisme lainnya tidak mendapatkan keuntungan ataupun kerugian.

Parasitisme. Parasitisme adalah hubungan timbal balik yang bersifat sementara atau
permanen antara dua organisme hidup di mana salah satu organisme (disebut parasit)
tergantung sepenuh hidupnya pada organisme lainnya (disebut inang atau hospes).
Berdasar pada tempatnya hidup, parasit dapat digolongkan menjadi ektoparasit
(ectoparasite) jika hidup di permukaan tubuh hospes (menimbulkan infestasi) dan yang
hidup di dalam tubuh hospes (menyebabkan infeksi) disebut endoparasit (endoparasite).
Sesuai dengan cara hidupnya dikenal parasit fakultatif jika parasit selain hidup
parasitik pada tubuh hospes, mampu hidup bebas di luar tubuh hospes, dan disebut
parasit obligat jika parasit ini harus selalu hidup parasitik pada hospes karena selama
hidupnya sangat tergantung pada makanan yang didapatnya dari hospes. Parasit yang
hidup parasitik pada hospes yang sebenarnya bukan hospes alaminya, disebut parasit
insidental.
Berdasar waktunya dikenal parasit temporer jika organisme ini hanya hidup
parasitik pada tubuh hospes pada waktu ia membutuhkan makanan, dan hidup bebas
(free-living) di luar tubuh hospes jika sedang tidak membutuhkan makanan dari hospes.
Pada parasit permanen, seluruh masa hidup parasit berada di dalam tubuh hospes yang
menyediakan makanan selama hidupnya. Di luar tubuh hospes parasit akan mati.
Berdasar sifat hidupnya, parasit disebut patogenik jika parasit yang hidup pada
tubuh hospes menimbulkan kerusakan pada organ atau jaringan tubuh hospes baik secara
mekanis, traumatik, maupun karena racun atau toksin yang dihasilkannya. Pseudoparasit
adalah benda asing yang pada pemeriksaan bentuknya mirip seperti parasit, sedangkan
parasit koprosoik atau spurious parasite adalah spesies asing yang berada di dalam usus
hospes lalu melewati saluran pencernaan tanpa menimbulkan gejala infeksi pada hospes.p

Sebaran geografis parasit. Keberadaan dan penyebaran suatu parasit di suatu daerah
tergantung pada berbagai hal, yaitu adanya hospes yang peka, dan terdapatnya kondisi
lingkungan yang sesuai bagi kehidupan parasit. Parasit yang memiliki daur hidup yang
sederhana, penyebarannya akan lebih luas dibanding parasit yang daurnya sangat
3

kompleks, misalnya memerlukan hospes perantara. Faktor sosial ekonomi hospes,


terutama manusia, sangat memengaruhi penyebaran parasit. Daerah pertanian,
peternakan, kebiasaan menggunakan tinja untuk pupuk, kebersihan lingkungan, higiene
perorangan yang buruk, dan kemiskinan merupakan faktor-faktor yang meningkatkan
penyebaran penyakit parasit. Migrasi penduduk dari satu daerah ke daerah lain, agama
dan kepercayaan tertentu, juga mempengaruhi penyebaran penyakit parasit.
Daerah-daerah tropis yang basah dan temperaturnya optimal bagi kehidupan
parasit merupakan tempat ideal bagi kehidupan parasit baik yang hidup pada manusia
maupun yang hidup di dalam tubuh hewan. Daerah subtropis yang pendek musim
panasnya, dan tempat-tempat yang beriklim sangat dingin, serta daerah-daerah yang
beriklim sangat panas menghambat perkembangan, kehidupan dan penyebaran parasit.
Banyak penyakit parasit manusia dan hewan dijumpai di Indonesia, karena
lingkungan hidup di kawasan ini memungkinkan parasit dapat hidup dan berkembang
biak dengan sempurna. Penelitian-penelitian epidemio-parasitologis yang banyak
dilakukan menunjukkan bahwa dalam waktu limapuluh tahun, frekuensi penyakit-
penyakit parasit penduduk Indonesia tidak banyak mengalami penurunan yang berarti.
Survai Kesehatan Rumah Tangga tahun 1986 menunjukkan bahwa penyakit infeksi dan
parasit merupakan penyebab kematian paling utama di Indonesia. Prevalensi infeksi
cacing usus di Indonesia berkisar antara 2,2% sampai 96,3% menunjukkan perbedaan
yang bermakna antara satu daerah dengan daerah lainnya di Indonesia yang luas
wilayahnya dan berbeda sifat geografisnya serta berbeda sifat sosio ekonomi dan kultural
penduduknya. Penelitian-penelitian di Indonesia menunjukkan penyakit-penyakit parasit
yang terkait erat hubungannya dengan lingkungan hidup, masih menunjukkan frekuensi
yang sangat tinggi di berbagai daerah. Salah satu di antaranya adalah penyakit-penyakit
cacing yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminths) seperti askariasis,
trichuriasis dan infeksi cacing tambang. Penelitian-penelitian di Indonesia, misalnya
dengan melakukan pemeriksaan tinja pada penduduk, baik di daerah pedesaan maupun di
daerah perkotaan, baik di Pulau Jawa maupun di luar Jawa menunjukkan angka-angka
yang tidak banyak berubah. Penelitian di Jakarta pada anak sekolah SD menunjukkan
bahwa frekwensi penyakit cacing sekitar 49,5% sedangkan penelitian di pada anak
sekolah SD di Kabupaten Bengkayang, Sulawesi, menunjukkan angka prevalensi cacing
4

usus sekitar 52,0%. Kurangnya sarana air bersih, sempitnya lahan tempat tinggal
keluarga, kebiasaan makan dengan tangan yang tidak dicuci lebih dahulu, pemakaian
ulang daun-daun dan pembungkus makanan yang sudah dibuang ke tempat sampah,
sayur-sayuran yang dimakan mentah, penggunaan air sungai untuk berbagai kebutuhan
hidup (mandi, mencuci bahan makanan, mencuci pakaian, berkumur, gosok gigi, dan juga
digunakan sebagai kakus), dan penggunaan tinja untuk pupuk sayuran, meningkatkan
penyebaran penyakit parasit terutama penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah.
Selain faktor-faktor tersebut di atas, faktor pekerjaan juga sangat memengaruhi
frekuensi penyakit parasitik. Pekerja-pekerja perkebunan yang sarana kakusnya tidak
memadai jumlahnya, pekerja-pekerja bidang pengairan dan irigasi, pekerja tambang dan
kehutanan, petani dan peternak termasuk dalam kelompok yang mempunyai risiko tinggi
terinfeksi penyakit parasit.
Parasit-parasit lain yang memerlukan penanganan yang berwawasan jangka
panjang adalah Filaria, yaitu cacing-cacing penyebab penyakit kaki gajah. Menurut
laporan pada tahun 2000, terdapat 231 kabupaten di 26 propinsi di Indonesia merupakan
daerah endemis filariasis.Di Indonesia terdapat 3 jenis cacing filaria yaitu Wuchereria
bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Ketiga parasit cacing ini dapat menimbulkan
kelainan-kelainan limfatik dengan manifestasi akhir berupa elefantiasis yang tidak dapat
diobati atau direhabilitasi dengan baik. Vektor penular parasit ini adalah berbagai jenis
nyamuk yang mempunyai kebiasaan hidup yang berbeda-beda dengan jenis sarang yang
tidak sama. Ada yang memerlukan air jernih untuk tempat berkembang biaknya, ada yang
membutuhkan air payau, air rawa-rawa, sarang yang terlindung dari sinar matahari atau
sebaliknya ada yang justru membutuhkan kehangatan sinar matahari.
Selain filariasis dan soil transmitted helminths, parasit yang daur hidupnya sangat
terkait dengan lingkungan hidup adalah cacing pita babi (Taenia solium) dan cacing pita
sapi (Taenia saginata). Beberapa daerah di luar Jawa merupakan fokus-fokus endemis
schistosomiasis, suatu penyakit cacing darah yang dapat menimbulkan manifestasi klinis
yang berat yang dapat menimbulkan kematian penderita. Di Indonesia, penyebab
schistosomiasis adalah cacing daun yang hidup di dalam pembuluh darah manusia yaitu
Schistosoma japonicum. Cacing ini merupakan parasit zoonotik yang dapat ditularkan
5

dari hewan ke manusia dan sebaliknya, memerlukan air tawar sebagai tempat
perkembangan stadium infektifnya.
Banyak penyakit protozoa juga endemis di Indonesia. Protozoa usus yang sering
dilaporkan ditemukan pada penelitian-penelitian di Indonesia adalah Entamoeba
histolytica, Giardia lamblia dan Balantidium coli sedangkan protozoa darah yang
menjadi masalah kesehatan di Indonesia adalah malaria . Pada tahun 2008 sebanyak lebih
dari 1,6 juta kasus malaria dilaporkan di Indonesia, terutama dari Papua, Maluku, Nusa
Tenggara dan Sumatera Utara.
Penyakit protozoa yang harus diperhatikan karena dapat menimbulkan masalah
kesehatan adalah toksoplasmosis yang dapat menimbulkan abortus pada janin dan
kecacatan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu hamil yang menderita toksoplasmosis.

Daur hidup parasit. Parasit beradaptasi terhadap lingkungan hidupnya termasuk di


dalam tubuh hospes tempatnya hidup, menyebabkan terjadinya perbedaan daur hidup
pada berbagai jenis parasit.
Hospes definitif (definitive host) atau final host adalah hospes yang menjadi
tempat hidup parasit dewasa atau parasit matang seksual (sexually mature). Manusia
dapat bertindak sebagai satu-satunya hospes definitif, sehingga merupakan satu-satunya
sumber penularan penyakit parasit, atau merupakan salah satu hospes definitive selain
hewan lain yang juga bertindak sebagai hospes definitif, atau hanya menjadi hospes
insidental dari parasit yang secara alami hidup pada hewan. Hewan yang dapat bertindak
sebagai hospes definitif bagi parasit yang hidup pada manusia disebut hospes cadangan
(reservoir host ).
Untuk melengkapi daur hidupnya, kadang-kadang parasit membutuhkan hewan
lain yang bertindak selaku hospes perantara (intermediate host) tempat berkembangnya
stadium muda parasit, misalnya bentuk larvanya. Beberapa jenis cacing trematoda dan
cestoda membutuhkan dua hospes perantara, yaitu hospes perantara primer dan sekunder.
Sebaliknya manusia dapat bertindak selaku hospes perantara bagi parasit yang hospes
definitifnya adalah hewan. Akibat yang ditimbulkan oleh larva cacing pita babi misalnya,
dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang membahayakan jiwa manusia penderita.
6

Penularan penyakit parasitik. Penularan penyakit parasitik dipengaruhi tiga faktor,


yaitu adanya sumber infeksi, cara penularan parasit, dan adanya hospes yang peka atau
sensitif. Kombinasi faktor-faktor tersebut menentukan tingginya penyebaran dan
prevalensi parasit di suatu daerah pada tempat dan waktu tertentu. Selain itu adaptasi
alami parasit terhadap manusia selaku hospes, kebiasaan hidup dan hubungan dalam
populasi manusia serta tingginya daya tahan tubuh individu manusia, mempengaruhi
cepatnya kejadian penularan penyakit parasitik.
Umumnya penyakit parasit akan berkembang menjadi penyakit yang menahun
atau kronis yang dapat menunjukkan gejala atau keluhan yang ringan. Karena itu
penderita yang masih terinfeksi parasit tertentu dapat tidak menunjukkan gejala atau
keluhan ( disebut carrier), sehingga merupakan sumber penularan potensial penyakit
parasitik bagi orang lain yang sehat. Carrier terjadi karena antara hospes dan parasit
terdapat keseimbangan dalam kehidupan masing-masing.
Penyebaran parasit dari satu individu penderita ke individu yang peka dapat
terjadi secara kontak langsung (direct contact) atau melalui penularan tidak langsung.
Pada penularan tidak langsung, untuk dapat menginfeksi hospes yang peka parasit harus
melewati beberapa stadium perkembangan dalam bentuk stadium free-living atau harus
hidup di dalam tubuh hospes perantara lebih dahulu - sebelum menjadi stadium parasit
yang infektif. Penularan stadium infektif dapat terjadi secara kontak langsung atau tidak
langsung, bersama makanan, minuman, tanah, hewan vertebrata dan vector serangga,
atau dari ibu ke bayi melalui plasenta pada waktu proses persalinan.
Sebagai sumber infeksi pada penularan penyakit parasitik, manusia dapat berlaku
sebagai satu-satunya hospes, sebagai hospes utama selain hewan lainnya, atau hanya
menjadi hospes insidental, karena beberapa hewan bertindak sebagai hospes utama.

Infeksi dan infestasi. Perjalanan penyakit parasit dibedakan antara infeksi (infection)
yaitu invasi yang disebabkan oleh endoparasit dan infestasi (infestation) yang disebabkan
oleh ektoparasit atau external parasitism, misalnya yang ditimbulkan oleh artropoda atau
parasit-parasit yang berasal dari tanah atau tanaman. Gejala klinis infeksi parasit
dipengaruhi oleh berbagai hal, yaitu jumlah parasit yang masuk ke dalam tubuh,
perubahan-perugahan patologis yang timbul, kerusakan mekanis dan akibat iritasi parasit,
7

toksin yang dihasilkan parasit dan organ dan jaringan yang mengalami gangguan. Jika
terjadi keseimbangan antara parasit dengan hospes, maka hospes yang menjadi pembawa
(carrier) ini tidak menunjukkan gejala klinis yang nyata.
Daya tahan tubuh atau imunitas hospes dapat berupa imunitas alami sesuai dengan
spesiesnya, ras, atau imunitas individual terhadap parasit pada umumnya atau spesies
parasit tertentu. Imunitas dapat bersifat mutlak (absolut) namun lebih sering bersifat tidak
mutlak (parsial). Sebagai contoh imunitas terkait dengan ras, orang berkulit hitam (negro)
lebih kebal atau resisten terhadap infeksi cacing tambang dan malaria vivax dibanding
orang kulit putih.
Kelompok umur anak-anak dan orang berusia lanjut merupakan kelompok yang
paling sering menderita infeksi parasit. Infeksi pertama dapat terjadi pada usia yang
sangat muda, misalnya askariasis misalnya pernah dilaporkan terjadi pada bayi berusia 4
bulan sedangkan pada trichuriasis umur termuda adalah 5 bulan. Pada cacing tambang
dapat terjadi pada usia 6 bulan dan hal ini dapat terjadi bila anak diletakkan begitu saja di
tanah tanpa alas, sehingga larva infektif cacing tambang dapat menginfeksi melalui
kulitnya.

Diagnosis penyakit parasitik. Perjalanan klinik penyakit parasit seringkali bersifat


umum karena gejala dan keluhan yang ditimbulkannya mirip satu dengan lainnya,
sehingga hanya dengan gejala klinis saja sukar dijadikan pegangan menentukan jenis
parasit yang menjadi penyebab penyakit parasitik. Sebagai contoh, berbagai infeksi
cacing usus menunjukkan gejala-gejala yang tidak jelas dan tidak khas sehingga sulit
dikenali. Dalam hal ini diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk menetapkan
diagnosis pasti jenis parasit penyebab infeksi parasitik tersebut.
Akibat penyakit parasit umumnya bersifat menahun dan jarang menimbulkan
kematian yang mendadak, sehingga sering tidak diperhatikan dan diabaikan akibatnya.
Anemia dan kekurangan gizi merupakan akibat yang paling sering dialami oleh penduduk
terutama di daerah yang sudah rawan gizi sebelumnya, sehingga menimbulkan
manifestasi malnutrition dalam berbagai tingkatan dari yang ringan hingga yang berat.
Keadaan ini akan menjadi lebih berat lagi oleh karena banyak penyakit parasit juga dapat
menimbulkan diare. Infeksi oleh cacing tambang yang berat dapat menimbulkan
8

menurunnya kondisi kesehatan orang dewasa dan anak remaja, sehingga produktivitas
kerjanya juga menurun. Perempuan yang sedang hamil akan mengalami berbagai
gangguan pada proses kehamilan dan persalinannya, misalnya terjadinya abortus yang
berulang, keracunan kehamilan dan kematian janin sebelum cukup umur kandungannya.
Selain itu dapat terjadi kelahiran bayi-bayi prematur dengan berat badan di bawah
ukuran normal. Anak-anak dapat mengalami gangguan perkembangan baik fisik maupun
mentalnya.

Pengobatan penyakit parasitik. Penanganan penyakit parasitik harus dilakukan dengan


baik melalui tindakan yang tepat dengan memberikan obat-obatan anti parasit yang
sesuai dengan penyebabnya, tindakan operatif jika diperlukan, dan pemberian suplemen
nutrisi yang cukup untuk meningkatkan daya tahan tubuh penderita. Mengingat bahwa
obat anti parasitik dapat menimbulkan efek samping bagi penderita, maka dosis yang
diberikan haruslah tepat sehingga tidak menimbulkan efek samping terhadap kesehatan
tubuh penderita, namun memberikan efek lethal terhadap parasit penyebab penyakit.

Mencegah penularan penyakit parasitik. Pencegahan penularan penyakit parasit pada


umumnya dilakukan dengan cara memutuskan rantai daur hidup parasit, yaitu dengan
jalan mengobati penderita karena merupakan sumber infeksi, melakukan penyuluhan
kesehatan untuk mencegah penyebaran penyakit dan menghindari kontak dengan parasit.
Selain itu kebersihan lingkungan hidup dan lingkungan kerja harus selalu dijaga dengan
mengadakan sistem pembuangan limbah yang baik. Rantai daur hidup parasit dapat
diputuskan dengan mengawasi hospes cadangan (reservoir host ) dan memberantas
vektor penular parasit. Daya tahan tubuh harus selalu ditingkatkan dan selalu menjaga
higiene perorangan.
Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura dapat ditularkan melalui makanan
atau minuman yang tercemar oleh telur infektif cacing yang terdapat di tanah yang
tercemar tinja penderita. Penularan penyakit cacing tambang terjadi karena larva cacing
tambang yang infektif menginfeksi kulit manusia yang mengalami kontak dengan tanah
yang tercemar dengan tinja penderita yang terinfeksi infeksi cacing tambang.
9

Tanah akan tercemar dengan tinja penderita bila penderita buang air besar di tanah
dan tidak di kakus yang memenuhi persyaratan yang benar. Karena itu pengadaan kakus
yang baik harus dilakukan untuk memberantas penyebaran penyakit cacing usus.
Tindakan pencegahan penularan penyakit parasit pada umumnya dilakukan
melalui beberapa cara secara bersama-sama agar usaha tersebut tercapai dengan
memuaskan baik untuk pencegahan dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
Upaya pencegahan penyebaran penyakit parasitik juga harus dilakukan dengan
memperhatikan pelaksanaannya agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap
lingkungan hidup maupun kesehatan anggota masyarakat lainnya.
Penyebaran penyakit HIV/AIDS telah menimbulkan masalah sangat besar bagi
dunia kesehatan dan kedokteran di seluruh dunia. Mikroorganisme termasuk parasit yang
pada mulanya tidak menimbulkan gangguan kesehatan atau menimbulkan masalah
kesehatan yang ringan dapat berkembang menjadi penyebab kematian yang utama bagi
banyak pengidap HIV/AIDS. Salah satu contoh adalah Cryptosporidium dan
Pneumocystis carinii yang sebelumnya belum pernah menjadi masalah kesehatan,
dilaporkan menyebar menjadi penyakit epidemi yang mematikan di berbagai negara.

Protozoa, Cacing dan Artropoda. Pada garis besarnya parasit pada manusia dan hewan
dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan besar, yaitu protozoa, cacing dan artropoda
(serangga).

Protozoa
Protozoa adalah parasit yang tubuhnya terdiri atas satu sel yang sudah memiliki
fungsi lengkap makhluk hidup, yaitu mempunyai alat reproduksi, alat pencernaan
makanan, system pernapasan, organ ekskresi dan organ untuk hidup lainnya.
Berdasar tingkat pergerakannya protozoa dikelompokkan menjadi:
1. Rhizopoda, yang bergerak menggunakan kaki semu atau psedopodi ( misalnya
Entamoeba histolytica);
2. Mastigophora, yang bergerak dengan flagel ( misalnya Giardia lamblia);
3. Ciliata, bergerak menggunakan cilia ( misalnya Balantidium coli);
4. Sporozoa, yang tidak mempunyai alat gerak ( misalnya Plasmodium vivax).
10

Cacing
Cacing mempunyai tubuh yang simetrik bilateral dan tersusun dari banyak sel
(multiseluler). Parasit Cacing yang penting bagi manusia terdiri dari dua golongan besar
yaitu filum Platyhelminthes dan filum Nemathelminthes. Platyhelminthes terdiri dari 2
kelas yang penting, yaitu kelas Cestoidea ( atau Cestoda) dan kelas Trematoda, sedang
kelas Nematoda merupakan kelas yang penting dalam filum Nemathelminthes.
Platyhelminthes mempunyai bentuk tubuh yang pipih seperti daun (Trematoda)
atau berbentuk pita dengan banyak segmen (Cestoda). Sedangkan filum
Nemathelminthes mempunyai bentuk tubuh yang silindris memanjang, tidak terbagi
dalam segmen-segmen.
Cestoda termasuk cacing hermafrodit, maka alat kelamin jantan maupun betina
terdapat bersama-sama dalam tubuh seekor cacing dewasa. Setiap segmen tubuh cacing
memiliki alat reproduksi yang sempurna. Trematoda umumnya juga bersifat hermafrodit
(biseksual), kecuali Schistosoma, yang terpisah atas jantan dan betina (uniseksual).
Nematoda mempunyai sistem reproduksi uniseksual (diecious). Cacing nematoda ada
yang vivipaar (melahirkan larva) ada yang ovipar (bertelur) atau ovovivipaar (larva
keluar dari telur segera sesudah berada di luar tubuh induknya).
Daur hidup Trematoda selalu membutuhkan 2 hospes, yaitu hospes definitif
(manusia atau mamalia), dan hospes perantara yang dapat berupa moluska (siput), ikan,
ketam, atau tumbuhan. Infeksi cacing Trematoda dapat terjadi dengan masuknya stadium
infektif yang dapat berupa metaserkaria (infeksi per oral) atau larva serkaria ( menembus
kulit).
Pada daur hidup nematoda yang parasitik untuk manusia, manusia merupakan
hospes definitif utama. Pada umumnya tidak dibutuhkan hospes perantara untuk
melengkapi daur hidupnya, kecuali pada daur hidup cacing filaria dan Dracunculus
medinensis. Infeksi nematoda pada manusia dapat melalui beberapa stadium infektif,
yaitu menelan telur infektif (telah berisi embrio cacing) atau menelan larva infektif yang
terdapat di dalam badan atau daging hospes, melalui kulit yang ditembus oleh larva
filariform, atau melalui gigitan serangga yang memasukkan stadium infektif cacing
11

(misalnya filariasis). Selain itu penularan dapat terjadi secara inhalasi, dengan masuknya
stadium infektif melalui udara (misalnya cacing Enterobius vermicularis).

Artropoda
Entomologi Kedokteran mempelajari serangga atau artropoda yang berperan
dalam mempengaruhi kesehatan manusia atau hewan. Dalam hal ini artropoda dapat
bertindak sebagai penular penyakit atau secara langsung dapat menimbulkan penyakit.
Sebagai penular berbagai macam penyakit artropoda dapat menularkan berbagai macam
mikroorganisme penyebab penyakit yaitu protozoa, cacing, bakteri, virus, rickettsia,
maupun jamur.
Artropoda sendiri dapat menyebabkan penyakit atau gangguan kesehatan manusia
atau hewan, yaitu menimbulkan Entomofobi (rasa takut yang berlebihan terhadap
serangga), Annoyance (gangguan hidup sehari-hari), Blood loss (kehilangan darah),
Trauma (kerusakan indera mata,telinga), Intoksikasi (menimbulkan keracunan oleh toksin
yang dihasilkannya), Dermatosis (kerusakan kulit, misalnya pada penyakit skabies),
Alergi (misalnya asma bronkiale dan sesak napas karena menghirup debu yang
mengandung tungau debu rumah) dan Myiasis (miasis), infestasi lava lalat pada jaringan
atau organ yang terjadi pada orang atau hewan yang masih hidup.
12

Bab 2

PROTOZOA

Filum Protozoa mempunyai tubuh yang hanya terdiri dari satu sel namun sudah memiliki
fungsi lengkap makhluk hidup. Protozoa mempunyai alat reproduksi, alat pencernaan
makanan, sistem pernapasan, organ ekskresi dan organ-organ untuk keperluan hidup
lainnya.

Struktur sel protozoa. Sel protozoa mempunyai struktur yang terdiri dari sitoplasma dan
inti. Struktur sitoplasma terdiri dari ektoplasma yang terdapat di bagian luar dan
endoplasma yang merupakan bagian dalam sitoplasma. Ektoplasma merupakan jaringan
hialin yang berfungsi untuk mempertahankan diri (protektif), sebagai organ untuk
bergerak (lokomotif) dan sebagai organ yang berfungsi untuk mengenal lingkungannya
(sensoris). Alat gerak protozoa yang berasal dari ektoplasma dapat berbentuk sebagai
flagel, silia atau pseudopodi. Sisa-sisa metabolisme dibuang melalui vakuol kontraktil
yang terbentuk dari bagian ektoplasma. Organ pencernaan makanan misalnya mulut,
sitostom dan sitofaring juga terbentuk dari stuktur ektoplasma. Demikian juga halnya
dinding pembungkus parasit (kista) yang berfungsi untuk melindungi diri berasal dari
ektoplasma.
13

Bagian dalam sitoplasma yaitu endoplasma yang bersifat granuler merupakan


bagian sitoplasma yang mempunyai peran sebagai sistem pencernaan makanan dan
fungsi nutritif lainnya. Selain itu endoplasma berperan sebagai sistem reproduksi sel. Di
dalam endoplasma terdapat inti protozoa yang merupakan struktur yang sangat penting
untuk mengatur fungsi hidup parasit dan reproduksi sel. Terdapat beberapa struktur inti
yaitu selaput inti (nuclear membrane), butir kromatin (chromatin granule), serabut linin,
dan kariosom atau plastin. Umumnya protozoa hanya mempunyai satu inti. Ciliata yang
mempunyai dua buah inti, yaitu mikronukleus yang berukuran kecil dan makronukleus
yang berukuran besar. Kinetoplas merupakan inti pelengkap yang ada pada beberapa jenis
protozoa dan terdapat dalam bentuk blefaroplas atau benda parabasal.
Daur hidup protozoa umumnya mempunyai dua bentuk atau stadium, yaitu
stadium trofozoit yang merupakan bentuk aktif dan stadium kista yang merupakan bentuk
pasif. Bentuk kista protozoa adalah bentuk parasit yang terbungkus di dalam dinding
tebal sehingga parasit tidak aktif bergerak, tidak dapat tumbuh atau berkembang dan tidak
dapat memperbanyak diri. Protozoa dalam bentuk kista yang berdinding tebal
menyebabkan parasit mampu bertahan terhadap pengaruh lingkungan hidupnya, misalnya
terhadap suhu yang tinggi, kekeringan dan kelembaban yang tinggi. Selain itu parasit
juga tahan terhadap pengaruh bahan-bahan kimia, misalnya desinfektans dan lain
sebagainya. Dengan demikian meskipun kista adalah bentuk pasif, tetapi kista adalah
stadium infektif protozoa yang dapat ditularkan dari satu penderita ke individu lainnya.
Dalam melengkapi daur hidupnya protozoa ada yang membutuhkan tuan rumah
perantara (intermediate host) ada yang tidak membutuhkannya. Reproduksi protozoa
dapat berlangsung secara aseksual yang kemudian diikuti oleh reproduksi tahap seksual..
Umumnya reproduksi seksual terjadi pada hospes yang berbeda dengan hospes tempat
berlangsungnya reproduksi aseksual.
Kelas-kelas protozoa yang umumnya tidak membutuhkan hospes perantara untuk
melengkapi daur hidupnya misalnya adalah Rhizopoda, Flagellata, dan Ciliata, kecuali
Trypanosom dan Leishmania serta Plasmodium yang memerlukan hospes perantara
untuk melengkapi daur hidupnya.
Proses reproduksi protozoa dapat dilakukan dengan cara seksual atau aseksual
(membelah diri). Reproduksi aseksual pada protozoa dapat terjadi dengan cara membelah
14

diri secara sederhana (simple binary fission), yaitu dimulai dengan menggandakan semua
struktur organ-organnya. Reproduksi aseksual juga dapat berlangsung secara multiple
fission (schizogony), dimana dari satu individu protozoa akan terbentuk lebih dari dua
individu baru, misalnya yang terjadi pada reproduksi Plasmodium.
Bentuk reproduksi seksual protozoa dapat terjadi dengan memperbanyak diri
secara konjugasi atau secara syngami. Reproduksi konjugasi terjadi jika dua individu
protozoa mula-mula menyatukan diri untuk sementara agar terjadi pertukaran material
inti masing-masing protozoa, kemudian diikuti pemisahan diri lagi dalam bentuk
individu yang lebih muda. Reproduksi secara syngami adalah reproduksi dimana dua sel
gamet yang berbeda jenis kelaminnya menyatukan diri secara tetap, kemudian diikuti fusi
material inti masing-masing. Dari fusi dua sel gamet yang berbeda jenis kelaminnya akan
terbentuk zigot.

Pengelompokan protozoa. Protozoa dapat dikelompokkan berdasar atas perbedaan alat


geraknya menjadi Rhizopoda, Mastigophora, Ciliata dan Sporozoa. Rhizopoda adalah
protozoa yang bergerak dengan pseudopodi, Mastigophora bergerak menggunakan
flagel, sedangkan Ciliata aktif bergerak dengan menggunakan cilia. Sporozoa adalah
kelompok protozoa yang tidak mempunyai alat gerak.
Klasifikasi sistemik protozoa digambarkan pada bagan berikut ini, sesuai dengan
filum, subfilum, kelas, ordo dan beberapa genus yang penting dalam bidang kesehatan
manusia maupun veteriner (Chatterjee, 1969).
15

Gambar 1. Klasifikasi sistemik Protozoa

Protozoa ada yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia (patogen ) dan ada
kelompok non patogen yang tidak menimbulkan penyakit pada manusia.

Tabel 1 . Pengelompokan protozoa dan contoh spesies yang patogen untuk manusia

Kelas Protozoa Spesies Tempat hidup Gejala klinis

RHIZOPODA Entamoeba histolytica Usus besar Disenteri, hepatitis,


abses hati

MASTIGOPHORA Giardia lamblia Usus halus Diare


Trichomonas vaginalis Vagina Vaginitis

Trypanosoma cruzi Jantung,saraf Chagasdisease


T.gambiense Darah, saraf pusat, Penyakit tidur
kelenjar limfe.

T.rhodesiense Darah, kelenjar limfe Penyakit tidur

Leishmania donovani SRE(Sistem Kalaazar, dermal


16

retikuloendotel) leishmanoid

L. tropica Kulit Oriental sore


L.braziliensis Oro-nasal Espundia

SPOROZOA Plasmodium vivax Eritrosit Malaria tertiana


P.falciparum Eritrosit Malaria tertiana
P.malariae Eritrosit Malaria kuartana
P.ovale Eritrosit Malaria ovale
Isospora hominis Usus Diare
Eimeria gubleri Hati Koksidiosis hati
Toxoplasma gondii SRE Toksoplasmosis
Sarcocystis lindemanni Otot Tidak jelas
Pnemocystis carinii Paru Pneumonia

CILIATA Balantidium coli Usus besar Disenteri

RHIZOPODA

Kelas Rhizopoda adalah golongan protozoa yang pergerakannya menggunakan kaki semu
(pseudopodi) sebagai alat gerak. Spesies-spesies anggota kelas Rhizopoda yang penting
(baik yang patogen maupun yang tidak patogen) adalah Entamoeba histolytica,
Entamoeba coli, Entamoeba gingivalis, Endolimax nana, Iodamoeba butschlii dan
spesies Dientamoeba fragilis.
Untuk membedakan genus-genus dari ordo Amoebida struktur inti masing-masing
genus harus diperhatikan. Genus Entamoeba mempunyai selaput inti yang dibatasi butir
kromatin, sedangkan anak inti atau kariosom yang padat terletak di tengah atau di tepi
inti. Endolimax mempunyai kariosom yang bentuknya tidak teratur dan terletak di tepi
inti. Iodamoeba memiliki kariosom yang khas bentuknya dan besar ukurannya, dikelilingi
oleh butiran-butiran bulat. Genus Dientamoeba memiliki dua inti dengan kariosom yang
terdiri dari enam butir kromatin.
17

Gambar 2. Morfologi inti ordo Amoebida.

Entamoeba histolytica

Entamoeba histolytica adalah penyebab penyakit amubiasis pada manusia yang dapat
menyerang usus (intestinal amoebiasis) dan organ-organ selain usus (extra-intestinal
amoebiasis).

Sebaran geografis. Amubiasis banyak dilaporkan dari berbagai daerah di seluruh dunia,
terutama daerah tropis dan subtropis yang lingkungan kebersihannya buruk. Penyakit ini
endemis di Indonesia, baik di luar Jawa maupun di pulau Jawa terutama di daerah
pedesaan (rural).. Di Kalimantan Selatan 12% dari tinja yang diperiksa menunjukkan
adanya Entamoeba histolytica sedangkan di Medan 6,25% dari penderita diare adalah
disenteri amubawi. Di daerah Kepulauan Seribu, Jakarta, 5% dari tinja anak sekolah dasar
yang diperiksa menunjukkan adanya protozoa usus ini.
18

Tempat hidup. Stadium trofozoit Entamoeba histolytica ditemukan hidup di dalam


jaringan mukosa dan submukosa usus besar penderita, sedangkan bentuk kista parasit ini
hanya ditemukan di dalam lumen usus.
Entamoeba histolytica termasuk golongan parasit zoonosis karena selain
menyerang manusia parasit ini juga dapat menimbulkan penyakit pada kera dan primata
lainnya. Beberapa jenis hewan lain yang juga dapat bertindak sebagai hospes definitif,
jadi bertindak sebagai reservoir host, adalah kucing, anjing, tikus, hamster dan marmot
(guinea pig). Entamoeba histolytica penyebab amubiasis usus dalam keadaan tertentu
dapat menyebar ke organ-organ lainnya (ekstraintestinal), misalnya ke hati.

Anatomi dan morfologi. Protozoa usus ini termasuk kelas Rhizopoda yang bergerak
menggunakan pseudopodi atau kaki semu. Terdapat tiga bentuk Entamoeba histolytica,
yaitu bentuk trofozoit , bentuk kista dan bentuk prakista.
Bentuk trofozoit adalah bentuk parasit yang aktif bergerak, dapat tumbuh dan
berkembang biak, aktif mencari makanan, dan bersifat invasif karena mampu memasuki
organ dan jaringan tubuh lainnya. Entamoeba histolytica selalu bergerak menggunakan
pseudopodi, sehingga pada waktu hidup bentuk trofozoit selalu berubah-ubah. Bentuk
trofozoit Entamoeba histolytica mempunyai ukuran sekitar 18 mikron sampai 40 mikron.
Sitoplasma trofozoit terdiri dari ektoplasma yang jernih, sedangkan endoplasmanya
berbutir-butir (granuler). Sel darah merah, sel leukosit dan sisa-sisa jaringan sering
ditemukan berada di dalam endoplasma. Trofozoit mempunyai inti yang berbentuk bulat,
berukuran antara 4 - 6 mikron. Pemeriksaan mikroskopis pada sediaan tinja segar tanpa
warna sukar menemukan inti parasit. Entamoeba histolytica mempunyai kariosom yang
tampak seperti titik kecil yang terletak sentral dan dikelilingi daerah terang (halo) yang
jelas. Inti parasit ini mempunyai selaput tipis yang dibatasi oleh butir-butir kromatin
yang halus dan rata.
Kista berbentuk bulat, mempunyai dinding dari hialin, dan tidak aktif bergerak.
Berdasar ukurannya terdapat dua jenis kista amuba, yaitu kista minutaform yang kecil
ukurannya (antara 6-9 mikron), dan kista magnaform yang berukuran lebih besar (antara
10-15 mikron). Jika kista amuba berukuran kurang dari 10 mikron ditemukan di dalam
tinja, kemungkinan kista amuba tersebut adalah Entamoeba hartmani yang tidak patogen
19

bagi manusia. Di dalam sitoplasma kista pada stadium awal terdapat 1-4 badan kromatoid
(chromatoid body). Juga terdapat masa glikogen yang pada pewarnaan dengan iodin akan
berwarna coklat tua. Jika kista sudah matang akan ditemukan 4 buah inti (quadrinucleate
cyst) namun tidak dijumpai badan kromatoid maupun masa glikogen.
Prakista merupakan bentuk peralihan antara stadium kista dan stadium trofozoit.
Bentuk stadium prakista agak lonjong atau bulat, berukuran antara 10-20 mikron, dan
mempunyai pseudopodi yang tumpul. Di dalam endoplasma prakista tidak ditemukan
eritrosit maupun sisa-sisa makanan, sedangkan inti dan struktur inti prakista sesuai
dengan inti dan struktur inti trofozoit.
Pada pemeriksaan di bawah mikroskop menggunakan garam faali untuk
pengencer tinja, Entamoeba histolytica masih dalam keadaan hidup. Tampak trofozoit
bergerak aktif dengan gerakan-gerakan pseudopodi yang cepat. Inti parasit sukar dilihat,
tetapi di dalam sitoplasma tampak eritrosit yang berwarna hijau kekuningan. Kista
terlihat bulat dengan dinding yang tipis dan halus, sedangkan badan kromatoid yang
berbentuk batang mudah dikenal. Di dalam sitoplasma masa glikogen sukar dilihat.
Pada pewarnaan tinja menggunakan lugol parasit tampak berwarna kuning
sampai coklat muda. Inti terlihat dengan jelas dengan kariosom terletak di tengah-tengah
inti. Sitoplasma Entamoeba histolytica tampak halus dengan badan kromatoid yang tidak
berwarna dan masa glikogen yang berwarna coklat tua. Dengan pewarnaan iron-
hematoxylin, inti parasit dan badan kromatoid tampak berwarna hitam, dengan
sitoplasma yang berwarna kebiru-biruan atau kelabu, sedangkan masa glikogen tidak
berwarna.
20

Gambar 3. Entamoeba histolytica (a) trofozoit (b) kista


(Sumber: CDC. http://www.dpd.CDC,USA.gov )

Daur hidup. Di dalam tubuh manusia yang merupakan hospes definitif utamanya, daur
hidup parasit ini dapat terjadi dengan lengkap. Bentuk infektif yang dapat ditularkan
adalah bentuk kista berinti empat yang tahan terhadap asam lambung. Infeksi terjadi
secara per oral, dengan masuknya kista infektif bersama makanan atau minuman yang
tercemar tinja penderita atau tinja karier amubiasis.
Oleh pengaruh enzim tripsin yang ada di dalam usus dinding kista akan pecah.
Proses ekskistasi terjadi di dalam sekum atau ileum bagian bawah. Mula-mula dari satu
kista akan terbentuk satu amuba berinti empat (tetranucleate amoeba), lalu tumbuh
menjadi delapan amubula (amoebulae atau metacystic trophozoite). Bentuk amubula
akan menuju ke jaringan submukosa usus besar, kemudian akan tumbuh dan berkembang
menjadi trofozoit. Jika terjadi toleransi oleh hospes, sebagian trofozoit masuk ke dalam
lumen usus, berubah menjadi prakista, lalu menjadi kista. Pada carrie amoebiasis, bentuk
trofozoit, prakista maupun kista, dapat dijumpai dalam waktu yang bersamaan.
21

Gambar 4. Infeksi amubiasis

Proses reproduksi. Proses reproduksi Entamoeba histolytica berlangsung melalui tiga


tahap yaitu ekskistasi, enkistasi dan multiplikasi. Pada proses ekskistasi terjadi
transformasi dari bentuk kista ke bentuk trofozoit yang dimulai pada saat kista berada di
dalam usus. Pada proses ekskistasi, satu kista infektif yang berinti empat tumbuh menjadi
8 amubula, lalu berkembang menjadi 8 trofozoit.
Proses enkistasi yang berlangsung beberapa jam terjadi di dalam lumen usus.
Pada proses ini bentuk trofozoit berubah menjadi bentuk kista. Pada proses multiplikasi
yang hanya terjadi pada bentuk trofozoit, reproduksi terjadi dengan cara belah diri
sederhana (simple binary fission). Inti sel mula-mula membelah diri, diikuti pembelahan
diri struktur sitoplasma lainnya.

Penularan. Infeksi terjadi dengan masuknya kista infektif melalui mulut, bersama
makanan atau minuman tercemar tinja penderita atau karier amubiasis. Di laboratorium
penularan dapat terjadi karena tertelan kista infektif amuba yang berasal dari hewan coba
primata. Serangga misalnya lalat dan lipas (famili Blattidae) yang membawa tinja
penderita atau karier yang mengandung kista infektif amuba juga dapat mencemari
makanan atau minuman.
22

Berdasar pada asal penderitanya, karier amubiasis dapat dibedakan menjadi


contact carrier dan convalescent carrier. Pada contact carrier penderita berasal dari orang
yang sebelumnya tidak pernah menderita amubiasis, sedangkan convalescent carrier
adalah karier yang terjadi sesudah seseorang menderita amubiasis.

Amubiasis
Pada manusia amubiasis disebabkan oleh Entamoeba histolytica yang dapat menyerang
usus (intestinal amoebiasis) maupun organ-organ di luar usus (extra-intestinal
amoebiasis) misalnya hati, paru, otak dan kulit.

Perubahan patologi amubiasis. Amubiasis pada manusia dapat dibedakan atas


amubiasis primer yang terjadi pada usus dan amubiasis sekunder yang terjadi pada organ
di luar usus (extra-intestinal atau metastatic amoebiasis). Jaringan usus yang terserang
amubiasis terutama adalah usus besar yaitu jaringan sekum dan daerah rektosigmoid.
Dari usus trofozoit Entamoeba histolytica dapat mengadakan migrasi ke organ-organ lain
terutama ke jaringan hati, paru dan otak.
Beratnya kerusakan organ-organ penderita akibat Entamoeba histolytica
dipengaruhi oleh tingginya daya tahan tubuh penderita, keadaan usus penderita dan
virulensi strain Entamoeba histolytica penyebab amubiasis.

Amubiasis usus. Bakteri pendamping (associate bacteria) yang terdapat di dalam usus
penderita bisa menyebabkan terbentuknya lingkungan hidup yang dapat merangsang
meningkatnya sifat invasif amuba. Jika terjadi amubiasis usus akut, di sepanjang usus
besar atau di daerah ileosekal dan rektosigmoid dapat terjadi pembentukan ulkus-ulkus.
Ulkus bervariasi ukurannya, dari sebesar ujung jarum sampai lebih dari 3 cm. bentuk
Ulkus umumnya mempunyai bentuk bulat atau lonjong dengan tepi ulkus yang tidak
teratur bentuknya dan curam (undermined) dindingnya. Jika dilakukan pemotongan
melintang, ulkus menunjukkan gambaran seperti botol (flask-shaped ulcer). Ulkus berisi
cairan berasal dari bahan nekrotik yang berwarna kekuningan atau kehitaman.
Masa inkubasi amubiasis yang berlangsung antara 4-5 hari diikuti gejala klinis
berupa diare atau bila sudah kronik dapat terjadi sembelit. Gejala klinis penderita
23

amubiasis usus yang akut (disenteri amoeba) berupa gejala-gejala disenteri yang disertai
nyeri perut hebat sebelum buang air besar (tenesmus). Penderita buang air dengan
frekwensi defikasi sekitar 6-8 kali sehari. Tinja penderita berbau asam yang menyengat,
disertai dengan darah atau lendir yang tercampur bersama tinja. Konsistensi tinja dapat
berbentuk cair (diareic), setengah cair (semidiareic), atau berbentuk padat (formed).
Penderita amubiasis usus kronis selain mengalami pembentukan ulkus-ulkus di
usus juga ditemukan proses regenerasi jaringan. Karena itu ulkus yang terjadi hanya
terbatas pada mukosa usus, tidak mencapai jaringan otot di bawahnya. Akibat terjadi
pembentukan jaringan parut, usus penderita menipis dindingnya. Pelekatan-pelekatan
usus dengan jaringan visera di sekitarnya dapat terjadi yang menyebabkan dinding usus
menebal yang mudah diraba dari luar dan lumen usus menjadi sempit. Akibat terjadinya
reaksi granulomatosis pada amubiasis usus kronis dapat menyebabkan pembentukan
amuboma (amoebic granuloma) yang bentuknya mirip tumor usus.

Amubiasis hati. Penyebaran ekstra intestinal Entamoeba histolytica yang berasal dari
amubiasis usus terjadi melalui aliran darah atau akibat terjadinya abses usus yang pecah.
Terjadinya kontak bahan infektif dengan jaringan hati menyebabkan terjadinya amubiasis
hati. Pada penderita amubiasis hati abses hati sering dijumpai di bagian posterosuperior
lobus kanan hati. Pada umumnya pada jaringan hati hanya terbentuk satu abses yang
besar ukurannya. Abses yang masih kecil ukurannya bentuknya bulat atau lonjong , berisi
cairan abses yang berwarna abu-abu kecoklatan. Pada abses yang besar ukurannya
dinding abses tebal dan berisi cairan abses yang berwarna kuning atau kemerahan.
Pemeriksaan mikroskopis atas irisan abses hati, menunjukkan adanya bahan
granuler di bagian sentral. Di bagian sentral ini tidak ditemukan parasit amuba. Irisan
jaringan hati di bagian tengah (intermediate) menunjukkan adanya sel-sel hati yang
mengalami degenerasi, leukosit, sel-sel jaringan ikat dan eritrosit. Di daerah tengah irisan
jaringan hati ini kadang-kadang ditemukan trofozoit amuba. Pada bagian tepi abses hati
dapat dijumpai sel-sel hati yang mengalami nekrosis dan tampak adanya bendungan
kapiler-kapiler. Pada sel-sel hati yang masih sehat dapat ditemukan trofozoit amuba.
24

Penderita amubiasis hati menunjukkan gejala klinis berupa nyeri daerah


hipokondrium kanan, demam, ikterus dan hepatomegali. Selain itu penderita cepat
menjadi kurus, namun umumnya tidak mengalami disenteri atau gangguan pencernaan.

Komplikasi abses hati. Jika penderita tidak diobati dengan baik, komplikasi dapat terjadi
berupa berlanjutnya proses lisis jaringan hati sehingga menyebabkan abses pecah dan
menyebar ke organ-organ di sekitar hati.
Abses hati di bagian kanan yang pecah akan menimbulkan kerusakan pada
jaringan paru, rongga pleura kanan, diafragma dan rongga peritoneum serta kerusakan
jaringan kulit (granuloma kutis). Sedangkan abses hati yang pecah ke daerah paru
menyebabkan dahak berwarna coklat merah tua yang mengandung trofozoit. Pecahnya
abses ke dalam rongga pleura dapat menimbulkan empiema toraks, sedangkan abses
yang pecah ke daerah diafragma menimbulkan abses subfrenik. Abses yang pecah ke
daerah peritoneum menimbulkan peritonitis umum.
Pecahnya abses di daerah hati sebelah kiri menyebabkan terjadinya kelainan di
daerah lambung yang menyebabkan terjadinya hematemesis. Selain itu terjadi kerusakan
jaringan kulit, rongga pleura kiri dan perikardium. Jika terjadi perikarditis purulenta hal
ini dapat menyebabkan kematian penderita. Pecahnya abses hati ke arah bawah (inferior)
akan menyebabkan terjadinya kelainan di jaringan usus atau di rongga peritoneum yang
dapat menimbulkan peritonitis.

Amubiasis organ lain. Organ-organ lain yang dapat terserang amubiasis adalah jaringan
paru, otak, kulit dan limpa.
Pada amubiasis paru (pulmonary amoebiasis) infeksi dapat terjadi secara primer
atau sekunder. Infeksi primer terjadi akibat trofozoit amuba mencapai paru melalui
sirkulasi darah portal sehingga mencapai kapiler-kapiler paru, sedangkan pada amubiasis
paru sekunder trofozoit berasal dari abses hati bagian kanan yang pecah.
Abses pada amubiasis otak (cerebral amoebiasis) umumnya merupakan abses
tunggal yang berukuran kecil, yang terjadi akibat komplikasi abses hati atau abses paru.
Pada amubiasis kulit, umumnya yang terserang adalah kulit di dekat tempat
keluarnya cairan abses hati, abses apendiks atau pada waktu dilakukan operasi usus. Kulit
25

yang terserang mengalami nekrosis yang disebabkan oleh trofozoit yang terdapat di
daerah tersebut.
Terjadinya amubiasis limpa terutama akibat komplikasi amubiasis hati, atau
secara langsung disebabkan oleh penyebaran trofozoit Entamoeba histolytica dari daerah
kolon.

Diagnosis amubiasis. Untuk menegakkan diagnosis pasti amubiasis harus dapat


ditemukan trofozoit atau kista Entamoeba histolytica dan didapatkan kristal Charcot-
Leyden yang spesifik.
Pemeriksaan tinja secara makroskopis pada amubiasis usus akut, menunjukkan tinja yang
berwarna merah tua berbau menyengat karena bersifat asam. Pada pemeriksaan
mikroskopis dapat ditemukan trofozoit amuba dan kristal Charcot-Leyden. Pada
pemeriksaan darah gambaran darah menunjukkan adanya leukositosis, sedangkan uji
serologis menunjukkan hasil yang negatif. Penderita dengan amubiasis usus kronis
umumnya tidak menunjukkan gejala atau keluhan (asimtomatis) sedangkan pada karier
amubiasis, bentuk makroskopis tinja adalah normal. Pada pemeriksaan mikroskopis atas
tinja ditemukan kista amuba, sedangkan pemeriksaan darah tidak menunjukkan kelainan.
Pada pemeriksaan serologi karier amubiasis yang asimtomatis hasilnya negatif,
sedangkan uji serologi pada karier konvalesen menunjukkan hasil yang positif.
Diagnosis pasti amubiasis hati dapat ditetapkan jika dapat ditemukan parasit
amuba (trofozoit) pada jaringan hasil biopsi atau cairan abses. Selain itu pada
pemeriksaan tinja ditemukan kista amuba yang menentukan adanya sumber infeksi kronis
di usus.
Pada pemeriksaan darah terdapat gambaran leukositosis dan granulosit neutrofil
sebesar 70-75%. Berbagai pemeriksaan serologi dapat membantu menegakkan diagnosis
amubiasis hati, misalnya melalui uji fiksasi komplemen, uji imunohemaglutinasi dan tes
presipitin.
Untuk menetapkan diagnosis pasti amubiasis paru harus ditemukan trofozoit
Entamoeba histolytica pada dahak penderita. Uji intradermal, pemeriksaan serologi dan
pemeriksaan radiologi dapat membantu menegakkan diagnosis amubiasis paru dan
amubiasis ekstraintestinal lainnya.
26

Pengobatan amubiasis. Obat-obat amubisida yang dapat digunakan secara per oral baik
untuk mengobati amubiasis usus maupun amubiasis ekstraintestinal antara lain adalah
metronidazole (merupakan obat pilihan), nimorazole, ornidazole, tinidazole, seknidazole
dan clefamid. Emetin yang hanya dapat diberikan melalui suntikan tidak dianjurkan
untuk mengobati amubiasis.
Apabila penderita amubiasis juga mengalami infeksi sekunder, maka antibiotika
dapat diberikan. Pada penderita dengan abses amubiasis hati, aspirasi abses dapat
dilakukan jika lokasi abses berada di dekat permukaan tubuh (kulit).

Dosis dan pemberian amubisida. Amubisida yang dapat digunakan umtuk mengobati
amubiasis antara lain adalah Metronidazol, Tinidazol, Nimorazol, Ornidazol Seknidazol
dan Clefamid.
Metronidazol. Amubisida ini merupakan obat pilihan untuk mengobati amubiasis
usus maupun amubiasis hati. Untuk amubiasis usus ringan atau sedang dosis
dewasa yang diberikan adalah 3x 500-750 mg per hari selama 7-10 hari,
sedangkan penderita anak diberikan metronidazol dengan dosis 35-50 mg per
kilogram berat badan per hari terbagi dalam 3 dosis, yang diberikan selama 7-10
hari.
Untuk mengobati amubiasis hati dan amubiasis usus berat, selain dengan dosis di
atas metronidazol diberikan dengan dosis dewasa 3x750 mg/hari diberikan
selama 7-10 hari., sedang pada anak diberikan metronidazol dengan dosis 35-50
mg per kilogram berat badan per hari terbagi dalam 3 dosis, yang diberikan
selama 7-10 hari.
Tinidazol (Fasigyn). Tinidazol diberikan sebagai dosis tunggal 2 gram per hari
selama 3 hari untuk mengobati amubiasis usus, dan diberikan 5 hari untuk
mengobati amubiasis hati maupun amubiasis ekstraintestinal lainnya. Untuk orang
dewasa diberikan dengan dosis 2 gram per hari, sedangkan dosis untuk anak
adalah 50-60mg per kilogram berat badan (maksimum 2 gram) per hari., selama 3
hari.
27

Nimorazol (Naxogin). Untuk mengobati amubiasis usus nimorazol diberikan


selama 5 hari. Dosis untuk orang dewasa adalah 2 gram per hari, sedangkan dosis
untuk anak adalah 30-40 mg per kilogram berat badan per hari. Untuk mengobati
amubiasis hati, nimorazol diberikan dengan dosis yang sama untuk amubiasis
usus yang diberikan selama 10 hari.
Ornidazol (Tiberal). Ornidazol dapat digunakan untuk mengobati amubiasis usus
maupun amubiasis hati. Untuk orang dewasa obat ini diberikan dengan dosis 2x1
gram per hari, diberikan selama 3 hari. Sedangkan dosis untuk anak adalah 50 mg
per kilogram berat badan per hari yang diberikan selama 3 hari.
Seknidazol (Flagentyl). Obat ini ditujukan untuk mengobati amubiasis usus
maupun amubiasis hati. Untuk mengobati amubiasis usus obat diberikan dengan
dosis untuk orang dewasa 3x500 mg selama 3 hari, sedangkan dosis anak adalah
25 mg per kilogram berat badan per hari yang diberikan selama 3 hari. Untuk
mengobati amubiasis hati, dosis yang sama diberikan selama 5 sampai 10 hari.
Clefamid (Mebinol). Clefamid hanya digunakan untuk mengobati amubiasis
usus, dengan dosis untuk orang dewasa 3x500 mg selama 10 sampai 20 hari
pengobatan.

Pencegahan amubiasis. Penularan amubiasis umumnya terjadi per oral. Karena itu
upaya pencegahan amubiasis ditujukan dengan cara memasak makanan dan minuman
dengan baik. Selain itu kebersihan lingkungan harus dijaga agar terbebas dari lalat dan
lipas serta tikus, dan diupayakan agar sistem pembuangan tinja dan limbah rumah tidak
mencemari sumber air minum atau sumur. Pada waktu bekerja menangani hewan coba
(terutama primata) di laboratorium hendaknya selalu berhati-hati agar tidak tertular bahan
infektif yang berasal dari hewan coba.
Karier amubiasis harus dapat ditemukan agar dapat sumber penularan ini dapat diobati
sampai sembuh, sehingga tidak menjadi sumber infeksi amubiasis bagi masyarakat di
sekitarnya.

Entamoeba coli
28

Amuba yang bentuknya mirip Entamoeba histolytica ini tidak patogen bagi manusia.
Karena sering dijumpai di dalam usus manusia, parasit ini harus dibedakan Morfologinya
dari E.histolytica yang patogen.

Anatomi dan morfologi parasit. Bentuk trofozoit Entamoeba coli berukuran 20-40
mikron (lebih besar dari E.histolytica), mempunyai sitoplasma kasar dengan endoplasma
yang tidak mengandung eritrosit. Pemeriksaan mikroskopis atas tinja menunjukkan
bentuk inti yang memiliki kariosom yang besar, terletak di pinggir sel, dan dikelilingi
halo yang lebar. Kromatin yang terdapat di sekitar selaput inti tampak kasar. Trofozoit
E.coli bergerak lambat dengan tonjolan pseudopodi yang tidak seaktif gerakan
pseudopodi E.histolytica.
Kista E.coli berukuran garis tengah antara 15 dan 20 mikron dengan kista matang yang
mempunyai delapan inti. Masa glikogen maupun badan kromatoid tidak terdapat pada
kista parasit ini.

Gambar 5. Entamoeba coli


Kista (kiri) dan trofozoit (kanan)
(Sumber: Oregon State Public Health Laboratory;
Kansas State University)

Amuba meningoensefalitis
29

Radang selaput otak (meningoensefalitis) oleh amuba banyak dilaporkan dari berbagai
tempat di seluruh dunia. Penderita mengalami infeksi sesudah berenang di kolam renang
yang ada di rumah, atau berenang di air tawar yang panas airnya. Amuba yang menjadi
penyebab utamanya adalah Naegleria fowleri, sedangkan amuba lainnya adalah
Acanthamoeba dan Entamoeba histolytica. Meningoensefalitis amubawi ini pada
umumnya berjalan kronis sehingga sukar didiagnosis secara dini.

Naegleria fowleri merupakan organisme termofilik golongan ameboflagelata yang hidup


bebas di air tawar yang panas, sedangkan Acanthamoeba hidup bebas di tanah dan air
tawar atau air payau yang hangat. Parasit ini mempunyai trofozoit berukuran antara 15-
40 sedangkan kistanya mempunyai ukuran garis tengah antara 10-25.

Gambar 6. (a) Acanthamoeba (b) Naegleria fowleri


.(Sumber: Alex Alkim, The biology Departmen Davidson College)
http://www.le.ac.uk/ii/staff/sk46/simonacan3.jpg
http://www.CDC,USA.gov/DPDx/Images

Cara infeksi.. Meningoensefalitis diduga dapat terjadi melalui berbagai jalan masuk
karena amuba yang menjadi penyebabnya adalah parasit yang dapat hidup bebas di alam.
Kemungkinan besar infeksi terjadi karena amuba dapat masuk tubuh melalui saluran
pernapasan pada waktu penderita berenang di air yang bertemperatur hangat.
30

Gejala klinis dan diagnosis. Umumnya keluhan awal yang disampaikan oleh penderita
adalah gejala-gejala yang terkait dengan radang hidung dan sakit tenggorokan, yang
kemudian diikuti oleh demam dan sakit kepala. Gejala meningitis tampak secara klinis
berupa muntah, kaku kuduk dan gangguan kesadaran yang kemudian dapat diikuti oleh
kematian penderita dalam waktu satu minggu sesudah timbulnya gejala meningitis.
Cairan serebrospinal yang diperiksa secara mikroskopik mungkin menunjukkan
adanya trofozoit amuba. Dengan melakukan biakan cairan serebrospinal atau inokulasi
pada hewan dapat ditingkatkan kemungkinan ditemukannya parasit ini.

Pengobatan dan pencegahan. Untuk mengobati meningoensefalitis yang disebabkan


oleh amuba dapat diberikan amfoterisin B secara intravena, intrateka atau intraventrikula.
Obat ini dapat menurunkan angka kematian akibat infeksi Naegleria fowleri, tetapi tidak
berhasil mengobati meningoensefalitis yang disebabkan oleh amoeba lainnya.
Dosis Amfoterisin B untuk Naegleria adalah 1.5 mg/kg berat badan per hari selama 3 hari
lalu dilanjutkan dengan dosis 1 mg/kg berat badan per hari selama 6 hari. Untuk anak,
obat diberikan terbagi dalam 2 dosis.
Pada meningitis acanthamoeba pengobatan kombinasi trimetoprim/ sulfametoksazol,
rifampin dan ketokonazol memberikan hasil memuaskan. .
Karena amuba penyebab meningoensefalitis hidup di dalam air maka untuk
mencegah infeksinya, parasit dalam air kolam renang dapat dimusnahkan dengan
memberikan kaporit secara teratur. Dengan menghindari berenang pada kolam air tawar
atau perairan yang mempunyai temperatur di atas 250 Celsius dapat dicegah terjadinya
kontak dengan spesies amuba penyebab penyakit ini.
31

Rhizopoda yang tidak patogen

Beberapa spesies amuba tidak patogen yang morfologinya harus dibedakan dari
Entamoeba histolytica adalah Entamoeba gingivalis, Endolimax nana, Iodamoeba
butschlii dan Dientamoeba fragilis.

Entamoeba gingivalis hidup di dalam rongga mulut di sekitar gigi. Parasit ini
hanya mempunyai stadium trofozoit yang aktif bergerak dan berukuran 10-20 mikron.
Inti parasit ini mirip inti E.histolytica, sedangkan sitoplasmanya tidak mengandung
eritrosit.
Endolimax nana hidup di dalam usus besar. Parasit yang mempunyai bentuk
trofozoit maupun bentuk kista ini sering dijumpai di dalam tinja yang diareik atau di
dalam tinja penderita disenteri. Trofozoit Endolimax nana yang berukuran sekitar 8
mikron ini lambat pergerakannya. Didalam sitoplasma parasit tidak terdapat eritrosit.
Parasit mempunyai mempunyai kariosom yang besar yang tidak teratur bentuknya, dan
terletak di bagian tepi inti yang menempel pada selaput inti. Kista berbentuk lonjong,
berukuran sekitar 8 mikron, mempunyai 1-4 inti, dan tidak mengandung glikogen
maupun badan kromatoid.
Iodamoeba butschlii hidup di dalam usus di daerah kolon dalam bentuk trofozoit
dan kista, namun jarang ditemukan dalam tinja. Bentuk trofozoit yang lambat
pergerakannya mempunyai ukuran antara 8 sampai 12 mikron. Bentuk kista parasit yang
berukuran 8 sampai 12 mikron ini tidak mengandung badan kromatoid. Kista khas
bentuknya karena mempunyai masa glikogen (iodophylic body) yang besar, yang tampak
jelas pada pewarnaan dengan lugol.
32

Gambar 7. (a) Entamoeba gingivalis dan (b) Endolimax nana.


(URL: http://www.dpd.CDC,USA.gov/dpdx/images/morphology)

Dientamoeba fragilis hanya mempunyai bentuk trofozoit dengan dua inti,


berukuran antara 5 sampai 8 mikron sehingga merupakan amuba usus yang terkecil.
Sitoplasmanya tidak mengandung eritrosit, tetapi mempunyai enam butir kromatin
berukuran besar yang tersusun mirip bintang.

Gambar 8. (a) Iodamoeba butchlii dan (b) Dientamoeba fragilis


( URL: http://www.cmpt.ca/images/-)
33

Diferensiasi protozoa usus. Karena di dalam usus orang normal juga sering dijumpai
protozoa usus yang tidak patogen, maka Morfologi protozoa-protozoa usus ini harus
dibedakan dari protozoa yang patogen agar tidak terjadi salah diagnosis dan pengobatan
dapat dilakukan dengan tepat. Perbedaan bentuk morfologi protozoa usus, baik yang
terdapat dalam bentuk stadium kista maupun stadium trofozoit dapat dijabarkan pada
gambar di bawah ini.

Gambar 9. Diferensiasi bentuk trofozoit dan kista amuba


(Sumber : Brook and Melvin,1964
34

CILIATA

Balantidium coli

Balantidium coli adalah parasit zoonosis yang menyebabkan balantidiosis atau ciliate
dysenteri yang menyebabkan infeksi usus dan disenteri pada manusia. Parasit ini hidup
di dalam usus manusia, babi, anjing dan primata. Infeksi ciliata ini dilaporkan dari
berbagai negara, terutama yang penduduknya banyak memelihara babi.

Morfologi parasit. Balantidium coli mempunyai 2 bentuk stadium, yaitu stadium


trofozoit dan stadium kista. Stadium trofozoitnya berukuran panjang 60-70 mikron dan
lebar 40-50 mikron, mempunyai cekungan di bagian anterior tubuhnya yang disebut
peristom di mana terdapat mulut (sitostom). Ciliata ini tidak mempunyai usus, tetapi
mempunyai anus (cytopyge) yang terdapat di bagian posterior tubuh.

Gambar 10 Balantidium coli . A. bentuk kista , B. trofozoit Makronukleus mirip


ginjal dan cilia tampak di permukaan trofozoit.
(Sumber: CDC,USA Oregon Public Health Laboratory)
35

Balantidium coli mempunyai 2 buah inti, yaitu makronukleus yang berukuran besar dan
berbentuk ginjal dan mikronukleus yang berbentuk seperti bintik kecil yang terdapat di
bagian cekungan dari makronukleus. Trofozoit mempunyai dua buah vakuol kontraktil
dan beberapa buah vakuol makanan yang berisi sisa-sia makanan, leukosit dan eritrosit.

Bentuk kista parasit yang bulat, berukuran garis tengah antara 50 sampai 60 mikron,
mempunyai dua lapis dinding kista. Kista mempunyai sitoplasma yang berbentuk
granuler, mengandung makronukleus, mikronukleus dan sebuah badan retraktil. Vakuol
kontraktil kadang-kadang masih dapat ditemukan.

Daur hidup. Pada daur hidup Balantidium coli stadium kista maupun stadium trofozoit
dapat berlangsung pada satu jenis hospes. Sebagai sumber utama penularan balantidiosis
bagi manusia adalah babi karena hewan ini merupakan hospes definitif alami dan juga
bertindak selaku hospes reservoir bagi manusia yang sebenarnya hanyalah hospes
insidental bagi parasit ini.
Manusia terinfeksi Balantidium coli akibat tertelan air atau makanan mentah yang
tercemar tinja babi yang mengandung kista infektif parasit ini. Di dalam usus besar kista
berubah menjadi bentuk trofozoit yang kemudian akan tumbuh dan berkembang
memperbanyak diri dengan cara pembelahan sel (binary transverse fission) atau secara
konjugasi di dalam lumen usus atau di dalam submukosa usus.
Reproduksi konjugasi terjadi dengan cara dua trofozoit membentuk kista bersama, lalu
bertukar material inti, akhirnya berpisah kembali menjadi dua trofozoit baru. Jika
lingkungan di dalam usus kurang sesuai bagi hidup parasit, maka trofozoit akan berubah
menjadi bentuk kista.

Perubahan patologi. Parasit dapat menyebabkan terjadinya ulserasi pada usus besar,
yang menimbulkan perdarahan dan pembentukan lendir. Tinja penderita akan berdarah
dan berlendir.
36

Gambar 11. Infeksi Balantidium coli

Gejala klinis dan diagnosis balantidiosis. Penderita yang menderita mengalami infeksi
akut akan menunjukkan gejala klinis dan keluhan berupa disenteri berat yang berdarah
dan berlendir disertai nyeri perut dan kolik yang intermiten. Penderita balantidiosis tidak
mengalami demam. Balantidiosis kronis umumnya bersifat asimtomatis, meskipun
kadang-kadang dijumpai diare berulang yang diselingi terjadinya konstipasi .
Untuk menegakkan diagnosis pasti balantidiosis harus dilakukan pemeriksaan
parasitologis atas tinja untuk menemukan kista dan atau trofozoit Balantidium coli.

Pengobatan dan pencegahan. Obat anti parasit pilihan yang dapat diberikan untuk
mengobati balantidiosis adalah Oksietrasiklin dengan dosis dewasa 4x 500 mg per hari
(dosis anak 40 mg/kg berat badan, maksimum 2 gram) per hari selama 10 hari .
Metronidazol dapat diberikan dengan dosis 3x750 mg per hari (dosis anak 35-50 mg/kg
berat badan/hari terbagi dalam 3 dosis) selama 5 hari atau iodoquinol yang diberikan
dengan dosis 3x650 mg / hari (dosis anak 40 mg/kg/hari terbagi dalam 3 dosis) selama 20
hari.
Balantidiosis coli dapat dicegah penularannya dengan selalu menjaga higiene
perorangan dan kebersihan lingkungan agar tidak tercemar dengan tinja babi. Memasak
makanan dan minuman akan mencegah penularan parasit ini pada manusia. Selain itu
peternakan babi harus ditempatkan jauh dari pemukiman penduduk dan tidak mencemari
saluran air yang digunakan untuk mememenuhi kebutuhan penduduk..
37

MASTIGOPORA
(Flagellata)

Protozoa yang termasuk dalam kelas Mastigophora mempunyai flagel sebagai alat untuk
bergeraknya. Berdasar atas tempat hidupnya, terdapat dua kelompok flagellata yaitu
hemoflagellata yang hidup di dalam sistem peredaran darah dan jaringan, dan kelompok
flagellata usus, flagellata mulut dan flagellata genital. Anggota golongan hemoflagellata
adalah Typanosoma dan Leishmania, dan yang termasuk golongan flagellata usus adalah
Chilomastix mesnili, Trichomonas hominis, Enteromonas hominis, Embadomonas
intestinalis dan Giardia lamblia. Trichomonas vaginalis termasuk flagellata genital
sedangkan Trichomonas tenax termasuk flagellata yang hidup mulut.

Flagellata Usus, Mulut dan Genital

Flagellata pada umumnya mempunyai dua bentuk, yaitu bentuk trofozoit dan bentuk
kista, kecuali Trichomonas yang hanya mempunyai bentuk trofozoit. Dari blefaroplas
pada trofozoit keluar lebih dari satu flagel dan tidak semua flagellata mempunyai
undulating membrane. Setiap spesies flagellata mempunyai inti yang khas bentuknya.
Proses reproduksi flagellata berlangsung dengan cara membelah diri (binary
fission). Stadium infektif flagellata yang dapat ditularkan adalah bentuk kista. Daur
hidup lengkap flagellata hanya membutuhkan satu jenis tuan rumah (single host). Pada
kelompok flagellata usus dan genital hanya Giardia lamblia dan Trichomonas vaginalis
yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia.

Trichomonas

Terdapat tiga spesies Trichomonas yang hidup pada manusia, yaitu Trichomonas
vaginalis yang hidup di saluran urogenital, Trichomonas hominis yang hidup di usus, dan
38

Trichomonas tenax yang hidup di dalam rongga mulut. Trichomonas vaginalis dapat
menyebabkan trikomoniasis pada manusia.

Trichomonas hanya mempunyai satu stadium yaitu bentuk trofozoit, sedangkan bentuk
kista tidak pernah dijumpai. Trichomonas mempunyai bentuk seperti buah pir, dengan
panjang badan antara 10 sampai 12 mikron. Hanya terdapat satu inti yang bentuknya
lonjong. Inti ini terletak di bagian tubuh anterior yang membulat, berada di dekat mulut
parasit Terdapat 3 sampai 5 flagel bebas di daerah anterior tubuh. Satu flagel yang paling
tebal berjalan ke arah belakang sepanjang tepi tubuh, membentuk undulating membrane,
lalu ke luar dengan bebas di bagian posterior tubuh parasit. Aksostil berjalan dari tengah
tubuh parasit dan berakhir di ujung tubuh bagian posterior sehingga berbentuk seperti
ekor.
Dengan pemeriksaan mikroskopis spesies-spesies Trichomonas sulit dibedakan
satu dengan lainnya. Untuk menetapkan spesies masing-masing parasit, tempat hidup
parasit dapat digunakan sebagai patokan.

Gambar 12. Bagan flagel Trichomonas


(A). Trichomonas vaginalis (B). T.tenax (C) T.hominis
39

Trichomonas vaginalis

Penyebaran infeksi Trichomonas vaginalis (disebut trikomoniasis vaginalis) bersifat


kosmopolit, terutama banyak diderita oleh wanita. Pada penderita trikomoniasis
vaginalis, parasit ini dapat ditemukan pada alat kelamin maupun saluran kencing baik
wanita maupun laki-laki.

Morfologi parasit. Trichomonas vaginalis berbentuk piriform, tidak berwarna dan hanya
mempunyai satu inti lonjong yang mempunyai butiran-butiran halus. Parasit mempunyai
empat flagella yang berukuran sama panjang (sekitar 13-18 mikron) yang keluar dari
badan bagian anterior, dan satu flagel yang ukurannya lebih pendek dari ukuran panjang
parasit, berjalan di sepanjang tepi undulating membrane menuju ke arah belakang badan.

Gambar 13. Trichomonas vaginalis (a) T.hominis (b)


(Sumber: CDC,USA/ Tulane University)

Penularan trikomoniasis. Trichomonas vaginalis ditularkan melalui kontak langsung,


misalnya melalui persetubuhan, atau malalui kontak tidak langsung misalnya karena
menggunakan bersama handuk, alat-alat toilet atau barang pribadi lainnya. Bayi dapat
tertulari parasit ini dari ibu melalui jalan lahir pada waktu berlangsung proses persalinan.
40

Gejala klinis. Trikomoniasis vaginalis pada penderita perempuan dapat berupa vaginitis,
uretritis, vulvitis, dan servisitis. Gejala klinis yang khas pada penderita perempuan berupa
terbentuknya cairan vagina (fluor albus), rasa gatal dan panas di dalam vagina dan di
daerah sekitarnya. Kelainan patologi trikomoniasis pada perempuan umumnya berderajat
ringan, berupa pelunakan, keradangan dan erosi permukaan selaput lendir yang tertutup
cairan berwarna kuning dan berbuih.
Penderita laki-laki dapat mengalami infeksi pada prostat (prostatitis), vesikel
seminal dan uretra (uretritis). Gangguan klinis yang diderita penderita pria umumnya
sangat ringan, berupa keluarnya cairan putih dari uretra yang hanya dikeluhkan oleh
kurang dari 10 persen penderita laki-laki.

Diagnosis. Trikomoniasis menunjukkan gejala klinis yang khas yaitu terjadinya fluor
albus disertai rasa gatal dan panas di dalam vagina dan di daerah sekitar vagina. Untuk
menentukan diagnosis pasti trikomoniasis vaginalis, dilakukan pemeriksaan mikroskopis
untuk menemukan parasit yang aktif bergerak pada sekret vagina.
Apabila pada pemeriksaan mikroskopis langsung atas sekret vagina tidak
ditemukan parasit, biakan parasit dapat dilakukan atas sekret vagina, cairan uretra, cairan
prostat atau air mani untuk menemukan Trichomonas vaginalis.

Pengobatan trikomoniasis. Berbagai obat dapat digunakan untuk membasmi


Trichomonas vaginalis, yaitu Metronidazol, tinidazol, seknidazol, nimorazol dan
ornidazol dengan hasil yang memuaskan.
Metronidazol adalah obat pilihan yang dapat diberikan dengan dosis yang berbeda untuk
perempuan dan laki-laki. Pada penderita perempuan obat diberikan 2x500 mg per hari
selama 7 hari atau 2 gram dosis tunggal yang diberikan pada malam hari. Dosis anak
adalah 15 mg/kg berat badan per hari terbagi dalam 3 dosis minum. Untuk pengobatan
lokal metronidazol dapat diberikan dalam bentuk tablet vaginal dengan dosis 500 mg per
hari selama 10 hari. Untuk penderita laki-laki, obat diberikan 2x250 mg per hari selama
10 hari atau 2 gram dalam bentuk dosis tunggal yang diberikan malam hari.
Obat-obat lainnya yaitu Tinidazol diberikan per oral dengan dosis dewasa 2 gram
dosis tunggal, sedang dosis tunggal anak 50 mg/kg berat badan, maksimum 2 gram.
41

Seknidazol diberikan per oral dengan dosis 2 gram sebagai dosis tunggal; Nimorazol
dberikan dengan dosis 2x250 mg selama 6 hari atau diberikan 2 gram dalam bentuk dosis
tunggal; dan Ornidazol (Tiberal) diberikan dengan dosis 2x750 mg atau dosis tunggal
1500 mg.

Pencegahan trikomoniasis. Untuk mencegah penularan trikomoniasis, penderita harus


diobati dengan baik. Selain itu kebersihan pribadi harus selalu dijaga dan tidak memakai
bersama alat-alat toilet yang dapat menjadi perantara terjadinya penularan Trichomonas
vaginalis.

Giardia lamblia

Parasit ini disebut juga sebagai Lamblia intestinalis atau Giardia intestinalis, dan
penyakit yang ditimbulkannya disebut giardiasis.

Tempat hidup. Giardia intestinalis hidup di dalam duodenum dan jejunum bagian atas,
dengan cara melekatkan diri pada bagian usus tersebut. Parasit ini kadang-kadang
dijumpai di dalam saluran empedu dan kandung empedu.

Sebaran geografis. Giardia lamblia tersebar kosmopolit di daerah tropis dan subtropis.
Epidemi giardiasis pada waktu ini menjadi masalah kesehatan di Amerika dan negara-
negara maju lainnya karena merupakan New Emerging Disease. Tingginya penderita
AIDS/HIV di negara-negara menyebabkan jumlah penderita giardiasis secara klinis
sangat meningkat karena rendahnya imunitas penderita. Penelitian Simadibrata pada
tahun 2004 menunjukkan prevalensi Giardia lamblia di Indonesia sebesar 3,62%,
sedangkan dari anak-anak yang menderita diare di Malang, 1,2% diantaranya disebabkan
oleh protozoa ini.

Morfologi. Terdapat dua bentuk Giardia lamblia, yaitu bentuk trofozoit dan bentuk kista.
Bentuk trofozoit yang mirip buah pir dengan tubuh yang bilateral simetris. Panjang
trofozoit sekitar 14 mikron dengan lebar sekitar 7 mikron mempunyai ujung anterior yang
42

melebar dan membulat, sedangkan bagian posterior meruncing. Permukaan bagian


dorsal cembung sedangkan bagian ventral cekung.
Trofozoit mempunyai 4 pasang flagel yang panjangnya antara 12-15 mikron,
dua aksostil dan dua inti. Kista Giardia lamblia yang bentuknya lonjong mempunyai 2- 4
buah inti.

Gambar 14. Giardia lamblia (A) kista (B) trofozoit


(Sumber: J.Bartges, University of Tennessee/ CDC,USA)

Cara infeksi. Giardia lamblia ditularkan melalui makanan atau minuman yang tercemar
tinja yang mengandung kista infektif parasit yang dibawa oleh lalat atau lipas. Tigapuluh
menit sesudah tertelan bentuk kista akan berubah menjadi bentuk trofozoit yang akan
memperbanyak diri sesudah parasit mencapai duodenum.
Jika lingkungan duodenum tidak sesuai lagi untuk kehidupannya, trofozoit akan
meninggalkan duodenum, masuk ke dalam saluran empedu atau kandung empedu dan
kemudian berubah bentuk menjadi bentuk kista.
43

Gambar 15. Bagan infeksi Giardia lamblia

Patogenesis giardiasis. Akibat trofozoit Giardia lamblia melekatkan diri di usus


menggunakan batil isap (sucking disc), hal ini menimbulkan gangguan penyerapan lemak
sehingga terjadi berak lemak (steatore).
Selain itu Giardia lamblia juga menghasilkan toksin yang bersama-sama dengan
iritasi serta kerusakan jaringan usus menyebabkan terjadinya radang kataral.

Gejala klinis dan diagnosis giardiasis. Infeksi ringan umumnya jarang menimbulkan
gejala klinis. Akibat pengaruh toksin, iritasi usus dan kerusakan jaringan usus terjadi
radang kataral yang menyebabkan terjadinya gejala klinis dan keluhan berupa demam,
nyeri perut, gangguan perut di daerah epigastrium, mual, muntah dan kembung. Penderita
juga mengalami diare, sindrom malabsorpsi vitamin A dan lemak serta anemia. Akibat
infeksi Giardia lamblia penderita juga menunjukkan gejala alergi terhadap parasit ini.
Pada umumnya anak-anak yang menderita giardiasis menunjukkan keluhan dan
gejala klinis yang lebih berat dari pada giardiasis pada orang dewasa. Dengan melakukan
pemeriksaan mikroskopik atas cairan duodenum dan tinja penderita dapat ditemukan
kista atau trofozoit Giardia lamblia untuk menetapkan diagnosis pasti giardiasis.
Pemeriksaan atas cairan duodenum lebih baik hasilnya daripada pemeriksaan atas tinja
penderita karena trofozoit lebih mudah ditemukan. Pada penderita giardiasis yang
44

mengalami diare banyak ditemukan trofozoit, sedangkan penderita giardiasis tanpa


gejala atau karier giardiasis lebih sering ditemukan bentuk kista parasit.

Pengobatan giardiasis.. Obat pilihan untuk giardiasis adalah Metronidazol,


Nitazoxanide dan Tinidazol.
Metronidazole dengan dosis dewasa 3 x 250 mg sehari diberikan selama 5 hari atau 2
gram sehari selama 3 hari. Dosis untuk anak adalah 3x5 mg/kg berat badan yang
diberikan selama 5 hari.
Nitazoxanide diberikan pada orang dewasa dengan dosis 2x500 mg selama 3 hari,
Dosis anak : umur 1-3 tahun 2x100 mg selama 3 hari, umur 4-11 tahun: 2x200 mg selama
3 hari. Tinidazole diberikan pada orang dewasa sebagai dosis tunggal 2 gram, sedangkan
dosis tunggal untuk anak adalah 25-50 mg/kg berat badan (maksimum 2 gram)badan.
Obat anti giardiasis lainnya yang dapat diberikan adalah Paromomycin, Furazolidone dan
Quinacrine.
Paramomycin diberikan dengan dosis dewasa maupun anak untuk sebesar 25-35
mg/kg/hari terbagi dalam 3 takaran yang diberikan selama 7 hari. Furazolidone dosis
dewasa adalah 4x100 mg yang diberikan selama 7-10 hari, dan dosis anak 6 mg/kg/hari
terbagi dalam 4 takaran yang diberikan selama 7-10 hari. Quinacrine dosis dewasa
3x100 mg diberikan selama 5 hari, dan dosis anak 3x2mg/kg ( maksimum 300 mg/hari)
diberikan selama 5 hari.

Pencegahan giardiasis. Karena manusia merupakan sumber infeksi utama giardiasis,


maka mengobati penderita dan karier giardiasis dengan baik juga merupakan salah satu
cara mencegah penularan penyakit ini.
Memasak makanan dan minuman dengan baik serta menjaga kebersihan makanan
dan minuman serta mencegah tercemar oleh tinja yang dibawa oleh lalat, lipas dan tikus.
Membuat kakus yang higienis, serta melarang pemakaian tinja segar untuk memupuk
tanaman dapat mencegah penyebaran giardiasis pada masyarakat.
45

Flagellata yang tidak patogen

Di dalam usus manusia terdapat beberapa spesies flagelata tidak patogen yang harus
dapat dibedakan Morfologinya dari flagellata patogen. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi
salah menetapkan diagnosis sehingga pengobatan dan pencegahan flagelata patogen dapat
dilaksanakan dengan tepat. Flagellata yang tidak patogen tersebut adalah Enteromonas
hominis, Embadomonas intestinalis dan Chilomastix mesnili yang hidup di dalam usus
manusia.

Enteromonas hominis

Flagellata ini mempunyai dua bentuk atau stadium parasit, yaitu bentuk trofozoit dan
bentuk kista. Stadium trofozoit mempunyai bentuk seperti buah pir yang berukuran 4x 8
mikron. Trofozot mempunyai satu inti yang terletak di bagian anterior tubuh parasit.
Parasit ini mempunyai 4 flagel : tiga flagel keluar dari bagian anterior, sedangkan dari
bagian posterior hanya terdapat satu flagel. Stadium kista parasit berbentuk lonjong
berukuran 4x8 mikron dan mempunyai 1-4 buah inti.

Gambar 16. Enteromonas hominis, kista


( URL: http://www.btinternet.com/-ukneqas/parasitologyscheme )
46

Chilomastix mesnili

Trofozoit parasit ini berbentuk buah pir dengan ukuran sekitar 5x15 mikron, sedangkan
inti parasit berbentuk bulat, terletak di bagian anterior di dekat sitostom yang berukuran
besar. Stadium trofozoit mempunyai tiga flagel bebas yang terletak di bagian anterior dan
satu flagel yang terdapat di dalam sitostom. Parasit ini tidak mempunyai undulating
membrane maupun aksostil.
Stadium kista parasit yang berukuran 7 -10 mikron berbentuk seperti buah lemon
dengan bagian anterior kista lebih langsing dibandingkan dengan bagian posterior. Kista
Chilomastix mesnili hanya mempunyai satu inti yang terletak di bagian tengah kista.

Gambar 17 . Chilomastix mesnili, trofozoit


( URL: http://www.med-chem.com/Para/pom)

Embadomonas intestinalis

Trofozoit parasit ini mempunyai bentuk yang lonjong, dengan ukuran 3x5 mikron. Di
bagian anterior berdekatan dengan sitostom terletak inti. Dari bagian anterior tubuh
47

trofozoit juga keluar dua flagel. Bentuk kista seperti buah pir berukuran 4 - 5 mikron
dan hanya mempunyai satu inti.
Perbedaan morfologi flagellata
Terdapat 5 spesies flagellata yang penting, baik yang patogen maupun yang tidak
patogen. Spesies-spesies ini harus dibedakan Morfologinya dengan memperhatikan
bentuk trofozoit, ukurannya dan jumlah serta lokasi tempat keluarnya flagel.

Tabel 2. Perbedaan morfologi trofozoit flagellata


Spesies Bentuk Ukuran Flagel

Trichomonas vaginalis Piriform 13- 18 mikron 4 anterior, 1posterior


Giardia lamblia Raket 7 x 14 mikron 4 pasang flagel
Enteromonas hominis Buah pir 4 x 8 mikron 3 anterior, 1posterior
Embadomonas intestinalis Lonjong 3 x 5 mikron 2 anterior
Chilomastix mesnili Buah pir 5 x 6 mikron 3 anterior, 1 di dalam
sitostom

Diferensiasi morfologi Flagellata Usus baik stadium kista maupun stadium trofozoit
dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 18 . Diferensiasi Morfologi Flagellata usus .


48

Flagellata darah dan jaringan

Flagellata yang hidup di dalam darah (Haemoflagellata) atau jaringan tubuh manusia atau
hewan banyak yang sebagian besar masa hidupnya berada di dalam tubuh vertebrata, dan
sebagian lainnya berada di dalam tubuh serangga yang bertindak sebagai hospes
perantara. Banyak spesies flagellata yang sebagian besar tidak patogen dapat ditemukan
di dalam darah dan jaringan hewan mamalia, burung, ikan, reptil, amfibi dan ikan.
Trypanosomidae adalah keluarga flagellata yang beberapa spesies diantaranya
penting dalam bidang kesehatan, antara lain Trypanosoma gambiense dan T.rhodesiense
di Afrika, dan T.cruzi di Amerika, Leishmania donovani yang dapat ditemukan di semua
benua kecuali Australia, Leishmania tropica yang endemis di Asia Barat dan Afrika
Utara, Eropa Selatan, Amerika Tengah dan Amerika Selatan, dan Leishmania braziliensis
yang banyak dilaporkan dari Meksiko dan Amerika Selatan. Famili Trypanosomidae
mempunyai sifat polimorfik ( terdapat dalam berbagai bentuk parasit yang Morfologinya
berbeda-beda) dengan struktur umum tubuh sebagai berikut:
Bentuk tahapan daur hidup. Trypanosomidae mempunyai dua bentuk umum atau
stadium yaitu stadium flagellata yang langsing, memanjang dan sering melengkung
dan stadium non flagellata yang berbentuk bulat atau lonjong. Pada permukaan tubuh
parasit ini terdapat lapisan yang lentur (pelikel).
Bentuk inti. Inti bentuknya bulat atau lonjong dan terletak di tengah tubuh parasit.
Fungsi inti adalah menyediakan makanan bagi parasit, karena itu inti disebut juga
sebagai trofonukleus (trophonucleus).
Kinetoplas. Struktur yang bentuknya bulat atau berbentuk batang yang ukurannya
lebih kecil daripada inti ini terletak di depan atau di belakang inti. Terdapat dua dua
komponen kinetoplas, yaitu benda parabasal (parabasal body) dan blefaroplas
(blepharoplast).
Flagel. Organ untuk bergerak Flagellata ini berbentuk seperti cambuk halus yang
keluar dari blefaroplas. Flagel tidak selalu terdapat pada semua stadium Flagellata.
49

Undulating membrane. Karena flagel melingkari badan parasit, maka terbentuk


kurva-kurva selaput yang jumlahnya tergantung pada panjang badan sitoplasma.

Gambar 19. Bagan morfologi Trypanosomidae


(Sumber: http://www/fao.org/docrep/006)

Bentuk-bentuk stadium Trypanosomidae. Famili Trypanosomidae mempunyai


stadium-stadium yang berbeda beda bentuknya, yaitu bentuk leismania, bentuk kritidia,
bentuk tripanosoma dan bentuk tripanosoma metasiklik.

1. Bentuk leismania atau leishmanial form. Bentuk stadium Trypanosomidae ini


bulat atau lonjong, mempunyai satu inti dan satu kinetoplas. Stadium ini tidak
mempunyai flagel.

2. Bentuk leptomonad atau leptomonad form. Bentuk stadium ini memanjang,


mempunyai satu inti sentral, satu flagel panjang yang keluar dari bagian anterior
tubuh di tempat kinetoplas berada. Pada bentuk leptomonad belum tampak adanya
undulating membrane.

3. Bentuk kritidia atau crithidial form mempunyai bentuk yang memanjang, dengan
kinetoplas terdapat di depan inti yang letaknya sentral. Pada stadium ini sudah
50

tampak undulating membrane pendek yang menghubungkan flagel dengan tubuh


parasit.
4. Bentuk tripanosoma atau trypanosomal form mempunyai bentuk badan yang
langsing memanjang dan melengkung, dengan inti terletak sentral dan kinetoplas
berada di dekat ujung posterior. Flagel stadium ini membentuk dua sampai empat
kurva undulating membrane.

Gambar 20. Bentuk-bentuk Trypanosomidae

5. Bentuk tripanosoma metasiklik atau metacyclic trypanosomal form adalah bentuk


seperti trypanosomal form, tetapi berukuran lebih kecil. Metacyclic trypanosomal
form terdapat di dalam tubuh serangga yang menjadi hospes perantara dan juga
menjadi vektor penular tempat terbentuknya stadium infektif parasit.
51

Gambar 21. Diagram lokasi Kinetoplas


(Sumber: FAO Org)
52

Trypanosoma

Daur hidup Trypanosoma memerlukan dua jenis tuan rumah (hospes atau host), yaitu
vertebrata dan artropoda. Di dalam tubuh serangga terdapat stadium-stadium leishmania,
leptomonad, kritidia dan tripanosoma metasiklik, yang masing-masing stadium tersebut
dapat memperbanyak diri. Proses terbentuknya stadium tripanosoma metasiklik
menentukan kemampuan serangga dalam menularkan parasit.
Dalam proses pembentukan tripanosoma metasiklik terdapat dua tipe mekanisme, yaitu
anterior station dan posterior station:

1. Mekanisme anterior station. Pada mekanusme ini perkembangan Trypanosoma


dimulai di mid-gut, kemudian berkembang di daerah proventrikulus dan akhirnya
mencapai kelenjar ludah (salivary glands). Penularan parasit ke hospes vertebrata
terjadi melalui gigitan serangga (misalnya pada Trypanosoma rhodesiense,
T.brucei dan T.gambiense).

2. Mekanisme posterior station. Perkembangan parasit dimulai di usus, dan berakhir


di hind-gut yang berada di bagian posterior. Pada mekanisme posterior station
penularan terjadi secara per oral melalui mulut karena tertelan tinja serangga yang
infektif (misalnya pada Trypanosoma lewisi), atau melalui luka gigitan serangga
yang tercemar tinja serangga yang infektif ( misalnya pada Trypanosoma cruzi).

Trypanosoma penyebab penyakit. Trypanosoma ada yang dapat menyebabkan penyakit


pada manusia, ada yang menjadi penyakit pada hewan. Trypanosoma yang menginfeksi
manusia adalah Trypanosoma gambiense yang menyebabkan penyakit tidur (gambian
trypanosomiasis), Trypanosoma rhodesiense, penyebab penyakit tidur Afrika Timur
(rhodesian trypanosomiasis), dan Trypanosoma cruzi penyebab Chagas disease di
Amerika Selatan.
Trypanosoma yang menyebabkan penyakit pada hewan adalah Trypanosoma brucei
penyebab Nagana disease yang ditularkan oleh lalat tsetse (Glossina), Trypanosoma
53

evansi penyebab penyakit surra yang ditularkan oleh Tabanus, dan Trypanosoma
equiperdum penyebab Stallions disease yang ditularkan melalui hubungan kelamin.

Proses reproduksi. Proses reproduksi Trypanosoma terjadi dengan cara memperbanyak


diri secara binary longitudinal fission. Proses membelah diri dimulai dari kinetoplas lalu
diikuti oleh pembelahan diri inti. Bagian tubuh yang pada waktu membelah diri tidak
mendapatkan flagel dan undulating membrane asal, akan membentuk flagel dan
undulating membrane yang baru. Sesudah itu sitoplasma membagi diri secara
longitudinal yang dimulai dari ujung anterior.

Trypanosoma gambiense

Trypanosoma gambiense hidup parasitik di dalam plasma darah, kelenjar getah bening
dan otak penderita. Parasit ini juga didapatkan dalam bentuk bebas di dalam rongga
interseluler. Daerah-daerah sepanjang tepi sungai-sungai yang mengalir di Afrika Barat
dan Afrika Tengah sepanjang garis katulistiwa merupakan daerah endemis Trypanosoma
gambiense .

Anatomi dan morfologi. Trypanosoma gambiense berbentuk mirip bulan sabit


melengkung, dengan panjang antara 15-35 mikron, dan lebar antara 1,5 - 3,5 mikron.
Parasit ini mempunyai inti yang berukuran besar, berbentuk lonjong dan terletak di
tengah tubuh parasit (sentral), sedangkan kinetoplasnya yang berukuran kecil terletak di
ujung posterior. Butiran-butiran volutin terdapat di dalam sitoplasma. Dari ujung
posterior keluar flagel yang kemudian melingkari tubuh parasit dan membentuk tiga atau
empat undulating membrane.

Polimorfisme. Trypanosoma gambiense termasuk parasit yang polimorfik artinya setiap


stadium parasit mempunyai bentuk maupun ukuran yang berbeda. Paasit ini mempunyai
54

bentuk kritidia dan bentuk tripanosoma, tetapi tidak mempunyai bentuk leismania
maupun bentuk leptomonas. Trypanosoma rhodesiense juga hanya mempunyai bentuk
kritidia dan bentuk tripanosoma, sedangkan Trypanosoma cruzi mempunyai bentuk
leismania, bentuk leptomonas, bentuk kritidia dan bentuk tripanosoma.

Gambar 22. Trypanosoma gambiense


(Sumber: Stanford University)

Bentuk-bentuk parasit pada berbagai spesies Trypanosoma yang patogen bagi manusia
dapat ditemukan pada berbagai tempat hidup sesuai dengan tempat perkembangannya.
55

Tabel 3. Perkembangan bentuk Trypanosoma yang patogen pada manusia

Spesies Bentuk Bentuk Bentuk Bentuk


leismania leptomonas kritidia tripanosoma

Trypaosoma Tidak ada Tidak ada 1.kelenjar ludah 1.darah, kel.limfe,


gambiense insekta cairan spinal
2. kultur mamalia
2. usus dan kel.
ludah insekta
Trypanosoma Tidak ada Tidak ada 1.kelenjar ludah 1.darah, kel.limfe,
rhodesiense insekta cairan spinal
2. kultur mamalia
2.usus dan kel.
ludah insekta
Trypanosoma 1.intraseluler di Intraseluler 1. Intraseluler di 1.darah&jaringan
cruzi dalam visera di mamalia mamalia mamalia
mamalia (transisional) (transisional) 2.usus dan rektum
terutama di insekta
2.usus insekta
miokard dan 3.kultur
otak. 3. kultur
2. kultur
jaringan

(Sumber: Brown, H.W.:Basic Clinical Parasitology, 3rd Edition)

Daur hidup. Sebagai hospes definitif Trypaosoma gambiense adalah manusia sedangkan
yang bertindak sebagai hospes perantara adalah lalat tsetse (Glossina palpalis dan
Glossina tachinoides).
Melalui gigitan Glossina stadium tripanosoma metasiklik masuk ke dalam tubuh
manusia dan tumbuh menjadi bentuk tripanosoma. Bentuk ini lalu memperbanyak diri di
jaringan yang terletak di daerah sekitar tempat gigitan. Sesudah itu Trypaosoma
gambiense memasuki aliran darah tepi dan secara binary longitudinal fission
memperbanyak diri. Melalui gigitan bentuk tripanosoma memasuki tubuh lalat tsetse.
Di dalam tubuh lalat tsetse bentuk tripanosoma akan berubah bentuk menjadi
bentuk kritidia dan akhirnya menjadi bentuk tripanosoma metasiklik yang infektif.
Diperlukan waktu sekitar 20 hari lamanya untuk menjadi terjadinya bentuk infektif.
56

Sebagai vektor penular, lalat tsetse yang infektif akan tetap infektif untuk seumur
hidupnya. Pada daur hidup Trypaosoma gambiense berbagai jenis hewan misalnya sapi,
babi, kambing dan domba dapat bertindak sebagai reservoir host,

Gambar 23. Daur hidup Trypanosoma gambiense

bentuk
tripanosoma

Gambar 24. Glossina (lalat tsetse)


(Sumber: John R.Meyer, NC State University)
57

Gejala klinis dan diagnosis. Infeksi T.gambiense menyebabkan terjadinya perubahan


patologis pada susunan saraf pusat dan kelenjar getah bening. Masa inkubasi yang
berlangsung 6-14 hari diikuti gejala klinis berupa demam yang tidak teratur selama
beberapa bulan. Penderita lalu mengalami eritema yang kemudian disertai gambaran
limfadenitis umum. Tahapan ini merupakan stadium hematolimfatik. Stadium penyakit
tidur akibat terjadinya meningoensefalitis merupakan stadium terminal tripanosomiasis
gambiense.

Diagnosis pasti tripanosomiasis gambiense dapat ditetapkan jika dapat ditemukan parasit
penyebabnya dengan melakukan pemeriksaan darah tepi, sumsum tulang sternum, cairan
kelenjar limfe atau cairan otak (liquor cerebrospinalis) penderita. Selain diperiksa secara
mikroskopis bahan-bahan tersebut dapat dibiakkan, atau diinokulasi pada hewan coba
untuk mendapatkan T.gambiense lebih banyak sehingga lebih mudah diperiksa secara
mikroskopis.

Pengobatan. Tripanosomiasis gambiense harus diobati secepat mungkin. Obat tripanosid


yang digunakan sebagai obat yang dianjurkan oleh FDA adalah suramin (suatu urea
substitution compound), dan pentamidine isethionate.
Pemberian Suramin dimulai dengan uji dosis 100-200 mg per intravenus. Kemudian
Suramin diberikan intravenus dengan dosis 5 mg/kg berat badan pada hari-1 diikuti 10
mg/kg berat badan pada hari ke-2 dan 20 mg/kg berat badan pada hari ke-5, 11, 17, 23
dan 30. Sedangkan dosis dewasa dan anak untuk Pentamidine isethionate yang diberikan
intramuskuler adalah 4 mg/kg/hari selama 10 hari.
Jika terjadi gangguan saraf pusat, dapat digunakan melarsoprol dengan dosis 2.2
mg/kg/hari selama 10 hari, yang bisa dikombinasi dengan suramin dengan dosis
tertentu. Eflornithine 4x100 mg/kg/hari dapat juga diberikan sebagai pengganti
melarsoptol. Selain itu nifurtimox dapat digunakan dengan dosis 8-10 mg/kg berat
badan/hari selama 90 hari. Untuk anak diberikan dosis sebesar 15-20 mg/kg berat
badan/hari selama 90 hari..
Anemia, malnutrisi dan infeksi sekunder yang diderita oleh penderita harus juga diatasi.
58

Pencegahan. Untuk mencegah penyebaran tripanosomiasis gambiens dapat dilakukan


pengobatan pencegahan (chemoprophylaxis) dengan menggunakan obat tripanosid dan
memberantas lalat tsetse yang menjadi vektor penularnya.

Trypanosoma rhodesiense

Trypanosoma rhodesiense adalah penyebab penyakit tidur yang banyak diderita oleh
penduduk di daerah Afrika Timur. Melalui pemeriksaan mikroskopis Morfologi bentuk-
bentuk parasit ini sukar dibedakan dari Trypanosoma gambiense. Bertindak sebagai
vektor penular T.rhodesiense adalah lalat pengisap darah Glossina morsitans dan
Glossina palpalis sedangkan hewan yang dapat bertindak sebagai hospes reservoir adalah
antelope.
Dibanding dengan Trypanosoma gambiense parasit ini lebih patogen bagi manusia
dan mamalia. Untuk mengobati infeksi Trypanosoma rhodesiense dapat digunakan
Suramin dan jika terjadi gangguan Sistem Saraf Pusat diberikan Melarsoprol. Dosis
dewasa Suramin : 100-200 mg I.V. untuk uji dosis, diikuti pemberian 1 gram IV pada hari
ke-1,3,7,14 dan 21. dengan aturan pemberian seperti yang dilakukan untuk Dosis anak
Suramin : 20 mg/kg pada hari-1,3,7,14 dan 21.
Untuk Melarsoprol dosis dewasa maupun anak: 2-3.6 mg/kg/hari selama 3 hari, 7 hari
kemudian penderita diberi 3.6 mg/kg/hari selama 3 hari, ulangi lagi sesudah hari ke-7.

Trypanosoma cruzi

Trypanosoma cruzi adalah penyebab penyakit South American trypanosomiasis atau


yang lebih dikenal sebagai Chagas disease yang banyak tersebar di daerah .Amerika
Selatan.
59

Tempat hidup. Trypanosoma cruzi dalam bentuk stadium leishmania ditemukan hidup di
dalam otot, jaringan saraf dan sistem retikulo endotelial sedangkan di dalam darah tepi
parasit ini ditemukan dalam bentuk stadium tripanosoma.

Anatomi dan morfologi. Trypanosoma cruzi di dalam tubuh manusia terdapat dalam dua
bentuk stadium yaitu bentuk tripanosoma dan bentuk leismania. Yang mampu
memperbanyak diri di dalam jaringan tubuh manusia hanyalah bentuk leismania.
Ciri morfologi bentuk tripanosoma parasit ini adalah panjang badan sekitar 20
mikron dengan bentuk seperti huruf C atau U. Di tengah-tengah badan parasit terletak
inti parasit yang besar ukurannya, dengan kinetoplas berbentuk lonjong yang terletak di
bagian posterior badan parasit.
Stadium leismania bentuknya bulat atau lonjong dan berukuran garis tengah 2-4
mikron. Bentuk leismania yang mempunyai satu inti dan satu kinetoplas ini terdapat di
dalam sel otot bergaris misalnya otot jantung dan otot rangka, di dalam sel neuroglia
jaringan saraf dan di dalam sel retikuloendotel.

Gambar 25. Bentuk stadium Trypanosoma cruzi


(a).bentuk tripanosoma (b) bentuk leismania
(Sumber: Smittsky, CDC,USA/DPDx)

Daur hidup. Hospes definitif Trypanosoma cruzi adalah manusia dan beberapa jenis
hewan, misalnya armadilo, opossum, anjing, tikus, dan kucing. Sedangkan serangga
famili Reduviidae, yaitu Triatoma, Panstrongylus dan Rhodnius bertindak sebagai vektor
penularnya.
60

Gambar 26. Reduviidae,vektor penular tripanosomiasis cruzi.


(Sumber: http://www. www.stylepinner.com)

Manusia terinfeksi Trypanosoma cruzi dengan masuknya stadium infektif, yaitu bentuk
tripanosoma metasiklik melalui luka gigitan vektor yang tercemar dengan tinja vektor.
Bentuk infektif juga dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui konjungtiva atau
selaput mukosa.
Bentuk tripanosoma metasiklik di dalam sel jaringan berubah bentuk menjadi
bentuk leismania yang mampu berkembang biak. Bentuk leismania kemudian berubah
bentuk menjadi bentuk leptomonad, yang kemudian berubah menjadi bentuk kritidial ,
akhirnya menjadi bentuk tripanosoma yang kemudian masuk ke dalam darah.
Melalui gigitan vektor yang mengisap darah penderita, bentuk tripanosoma akan
berubah menjadi bentuk leismania. Bentuk leismania di dalam mid-gut vektor
memperbanyak diri, lalu berubah menjadi bentuk kritidia yang segera migrasi ke hind-
gut. Dengan cara longitudinal fission bentuk kritidia memperbanyak diri di dalam hind-
gut. Dari bentuk kritidia dalam waktu 8 sampai 10 hari akan terbentuk tripanosoma
metasiklik yang infektif, yang dapat ditemukan di dalam tinja vektor.
61

Gambar 27. Daur hidup Trypanosoma cruzi.

Perubahan patologi dan gejala klinis. Melalui luka di kulit atau melalui konjungtiva
yang tercemar tinja vektor stadium infektif parasit yaitu bentuk tripanosoma metasiklik
dapat menginfeksi penderita. Jika stadium infektif masuk melalui luka kulit, di tempat
luka akan terjadi pembengkakan kulit (chagoma), dan jika stadium infektif masuk
melalui konjungtiva, maka akan terjadi pembengkakan kelopak mata (Romanas sign).
Akibat penyebaran parasit ke organ-organ menimbulkan kerusakan sistem
retikuloendotel dan kelainan-kelainan pada jantung, otot rangka, sistem saraf dan
kelenjar tiroid. Masa inkubasi antara 7-14 hari akan diikuti gejala-gejala klinis yang akut
atau gejala-gejala kronis.

Pada bayi dan anak kecil umumnya terjadi gejala klinis akut yaitu demam,
konjungtivitis, pembesaran kelenjar limfe dan pembesaran limpa, udem unilateral pada
wajah, anemia dan limfositosis. Meningoensefalitis atau gagal miokardial merupakan
penyebab kematian penderita sesudah gejala klinis akut berlangsung selama 20-30 hari.
62

Pada orang dewasa atau remaja yang sering terjadi adalah gejala klinis bentuk kronis.
Gejala klinis yang terjadi antara lain adalah gangguan ritme jantung berupa hambatan
jantung (heart block), Adam-Stokes syndrome, gejala neurologis misalnya paralisis
spesifik, dan kelainan psikis. Komplikasi yang sering terjadi di daerah endemis adalah
kardiomiopati, megakolon dan megaesofagus.

Diagnosis. Untuk menetapkan diagnosis pasti penyakit Chagas pemeriksaan


laboratorium harus dilakukan untuk menemukan parasitnya. Jika dengan pemeriksaan
darah tepi sulit ditemukan parasit ini, dapat dilakukan inokulasi hewan coba (tikus,
anjing, atau kucing) yang diinfeksi dengan darah penderita.
Xenodiagnosis juga dapat dilakukan dengan cara menggigitkan vektor
(Reduviidae) pada penderita yang diduga menderita penyakit Chagas. Sesudah itu isi
usus vektor diperiksa di bawah mikroskop untuk menemukan parasit penyebabnya.
Dengan menggunakan medium NNN atau medium lainnya biakan parasit pada dapat juga
dilakukan untuk menemukan Trypanosoma cruzi..
Tes intradermal, uji fiksasi komplemen (tes Machado), dan tes Sabin-Feldman
(Methylen blue dye test ) dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis.

Pengobatan penyakit chagas. Obat pilihan adalah Benznidazole dengan dosis 5-7
mg/kg/hari terbagi dalam 2 pemberian, diberikan selama 30-90 hari. Dosis anak: umur
sampai dengan 12 tahun diberikan 2x5 mg/kg/hari selama 30-90 hari.
Selain itu bisa diberikan Nifurtimox: 8-10 mg/kg/hari terbagi dalam 3-4 kali
pemberian selama 90-120 hari. Pada anak, Nifurtimox diberikan: umur 1-10 tahun: 15-20
mg/kg/hari terbagi dalam 4 pemberian selama 90 hari; anak umur 11-16 tahun: 12.5-15
mg/kg/hari terbagi 4 kali pemberian, selama 90 hari

Pencegahan. Untuk mencegah penularan penyakit chagas, memberantas vektor


merupakan tindakan pencegahan yang terbaik hasilnya. Gigitan vektor harus dicegah
dengan menggunakan repellent dan penderita harus tetap diobati untuk mencegah
penyebaran penyakit.
63

Tabel 4. Epidemiologi tripanosomiasis

T.gambiense T.rhodesiense T.cruzi


Tempat hidup Plasma, otak, Plasma, otak, Darah tepi, otot, saraf, RES
lymphnode Limphnode

Distribusi Afrika Afrika Amerika Latin

Penyakit Penyakit tidur Penyakit tidur Chagasdisease

Morfologi Polimorfik Polimorfik Bentuk leismania dan


tripanosoma

Vektor Glossina palpalis G.morsitans Reduviidae


G.tachinoides G.palpalis
Reservoir host Sapi,babi,kambing, Antelope Armadilo, opossum, anjing,
domba kucing, tikus

Diagnosis 1.Mikroskopisdarah, 1 sd 3 sama dengan 1.Mikroskopis


limfe, cerebrospinal T.gambiense 2.Inokulasi hewan
fluid ,sumsumtulang 3.Xenodiagnosis
2.Biakan parasit 4.Machado test
3.Inokulasi hewan 5.Sabin-Feldman
6. Intradermal test

Cara infeksi Gigitan vektor Gigitan vektor Kontaminasi tinja vektor


pada kulit atau konjungtiva

Gejala klinis Penyakit tidur Penyakit tidur Chagoma, Romana sign

Pengobatan 1.Pentamidin 1.Suramin 1.Benznidazol


isethionate
2.Melarsoprol 2.Nifurtimox,
2. Suramin
3.Melarsoprol

Leishmania
64

Flagellata yang tersebar luas di alam ini, mempunyai anggota sejumlah besar spesies
yang morfologinya mirip satu dengan lainnya sehingga sulit dibedakan. Diferensiasi
Leishmania dapat dilakukan melalui perbedaan sifat kimiawi, pemeriksaan serologi,
pertumbuhan dalam tubuh vektor, jenis vektor, jenis reservoir host, faktor epidemiologi
dan gejala klinis yang ditimbulkan masing-masing spesies. Pada manusia yang dapat
menyebabkan penyakit adalah Leishmania donovani, Leishmania tropica dan Leishmania
braziliense.
Beberapa jenis mamalia misalnya anjing, rodensia liar dan karnivora lainnya
dapat bertindak sebagai hospes reservoir parasit ini, sedangkan Phlebotomus merupakan
vektor penular leishmaniasis ini.

Gambar 28 . Phlebotomus, vektor penular leishmaniasis.


(Sumber: Searo, WHO, http://searo.who.int/image/oth)

Leishmania donovani
65

Infeksi parasit ini menyebabkan leismaniasis viseral (visceral leishmaniasis) atau


penyakit Kala-azar, atau Black fever (demam hitam), karena kulit penderita berwarna
hitam akibat terjadinya hiperpigmentasi. Leismaniasis viseral disebut juga sebagai
Tropical splenomegaly.

Tempat hidup. Leishmania donovani hidup intraseluler di dalam sel-sel retikuloendotil


hati, limpa dan sumsum tulang penderita.

Sebaran geografis. Leismaniasis viseral atau penyakit kala-azar banyak dilaporkan dari
India, Cina dan Mancuria, Afrika Utara, Afrika Barat, Afrika Timur, Eropa Selatan, Rusia
dan Amerika Selatan yang beriklim panas dan lembab. Penyakit ini terutama banyak
diderita penduduk yang bermukim di sepanjang sungai besar yang menjadi tempat
berkembang biak (breeding place) lalat pasir (sandflies, Phlebotomus) yang menjadi
vektornya.

Morfologi Leishmania donovani. Parasit terdapat dalam dua bentuk, yaitu bentuk
leismania (stadium aflagella atau amastigot) dan bentuk leptomonad (stadium flagella
atau promastigot). Di dalam tubuh manusia atau hospes reservoir parasit Leishmania
hanya terdapat sebagai bentuk leishmania, sedangkan didalam tubuh vektornya parasit
terdapat dalam bentuk leptomonad yang berada di dalam usus vektor. Bentuk leptomonad
juga dapat dihasilkan jika parasit ini dibiakkan pada medium buatan.
66

Gambar 29. Leishmania donovani (a) amastigot (b) promastigot


(URL: http://www.icp.ucl.ac.be/-oopard/parasites)

Tabel 5. Perkembangan bentuk Leishmania pada manusia

Spesies Bentuk Bentuk Bentuk Bentuk


Leishmania leismania leptomonas kritidia tripanosoma

L. donovani 1.Intraseluler di 1. Midgut dan Tidak ada Tidak ada


sistem retikulo- faring
endotil,kel.limfe, insekta
limpa,hati, 2. Kultur
Sumsum tulang,
fagosit
2.Kultur jaringan

L. tropica dan 1.Intraseluler dan 1. Midgut dan Tidak ada Tidak ada
ekstraseluler di faring
L. brazililensis
kulit dan mem- insekta
brana mukosa 2. Kultur
mamalia
2. Kultur jaringan

(Sumber: Brown,H.W.: Basic Clinical Parasitology, 3rd Edition)

Bentuk leismania. Stadium ini tak mempunyai flagela. Bentuknya lonjong atau bulat
dengan ukuran antara 2-4 mikron, berbentuk bulat atau lonjong dengan inti yang terletak
sentral. Bentuk leismania mempunyai kinetoplas yang tampak sebagai bintik yang
67

terletak di samping inti. Kinetoplas terdiri dari benda parabasal yang berbentuk batang
dan blefaroplas yang berbentuk titik kecil. Dari kinetoplas keluar benang halus (filamen)
yang disebut aksonema atau rhisoplas yang terdiri dari akar dan flagel. Sepanjang
perjalanan aksonema yang menuju ke tepi badan parasit terdapat rongga-rongga jernih
tidak berwarna yang disebut vakuol.

Bentuk leptomonad. Terdapat bentuk berbeda antara bentuk leptomonad muda dengan
leptomonad yang sudah matang. Bentuk leptomonad muda lonjong pendek, dengan
panjang antara 5-10 mikron dan lebar antara 2-3 mikron, sedangkan bentuk leptomonad
matang berukuran lebih panjang dan langsing, dengan panjang 15-20 mikron dan lebar 1-
2 mikron. Bentuk leptomonad mempunyai inti yang terletak sentral, dengan kinetoplas
terletak di ujung anterior tubuh parasit.. Flagel yang keluar dari bagian depan tubuh
berukuran sama panjang atau lebih panjang daripada ukuran panjang parasit. Flagel tidak
membentuk undulating membrane. Pada akar flagel yang terletak di depan kinetoplas
terdapat rongga berwarna yang disebut vakuol eosinofilik

Daur hidup. Leishmania mempunyai dua jenis tuan rumah (hospes), yaitu hospes
definitif (manusia dan anjing) dan hospes perantara (Phlebotomus). Parasit yang terdapat
di dalam tubuh manusia adalah bentuk leismania yang berada di dalam sel-sel
retikuloendotel yang dapat membelah diri sehingga sel hospes (host-cell) membesar dan
pecah. Leishmania yang keluar kemudian mencari sel retikuloendotel baru, atau
memasuki aliran darah. Vektor yang menggigit penderita akan mengisap darah yang
mengandung parasit dalam bentuk leismania.
Sesudah terhisap ke dalam tubuh vektor, bentuk leismania berubah menjadi
bentuk leptomonad lalu mengadakan multiplikasi di dalam midgut vektor. Parasit akan
mengadakan migrasi ke bagian anterior alat pencernaan, mencapai faring dan rongga
mulut. Enam sampai 9 hari sesudah mengisap darah penderita, vektor menjadi sangat
infektif. Proses perkembangan menjadi bentuk infektif parasit ini disebut sebagai
anterior station development. Dalam hal ini parasit tidak menginfeksi kelenjar ludah
sehingga kelenjar ini tidak berperan dalam penularan leismaniasis.
68

Gambar 30. Daur hidup Leishmania.

Gejala klinis dan diagnosis. Masa inkubasi yang berlangsung 3-6 bulan diikuti
timbulnya kelainan kulit yang bersifat primer, berupa nodul yang disebut leishmanioma.
Kemudian penderita mengalami demam yang pada awalnya terus menerus, lalu berubah
menjadi demam remiten. Sesudah itu kulit penderita menjadi kering, kasar dan
mengsalami hiperpigmentasi, sedangkan rambut penderita menjadi rapuh dan mudah
rontok.
Gejala klinis utama pada penyakit Kala-azar adalah demam, pembesaran kelenjar
limfe yang menyeluruh (limfadenopati) dan hepatosplenomegali yang tidak disertai
jaundis dan tanda-tanda adanya toksik miokardium. Pada penyakit Kala-azar juga dapat
terjadi perdarahan hidung dan gingiva, muntah, diare dan udem pada wajah penderita.
Jika penyakit Kala-azar tidak diobati, dalam waktu 2 tahun 75-95% penderita
akan meninggal dunia akibat terjadinya komplikasi berupa infeksi sekunder misalnya
amubiasis, tuberkulosis atau penyakit-penyakit infeksi lainnya.
Diagnosis pasti penyakit Kala-azar dapat ditentukan jika ditemukan Leishmania
donovani sesudah dilakukan pemeriksaan mikroskopis atas darah dengan melalui
69

pemeriksaan tetes tebal atau hapusan darah, atau ditemukan parasit pada pemeriksaan
atas hasil biopsi organ limpa, hati, dan sumsum tulang. Hasil biopsi juga dapat dibiakkan
pada medium NNN dan kultur pada hewan coba dapat untuk mendapatkan Leishmania.
Untuk membantu menegakkan diagnosis Kala-azar dapat dilakukan pemeriksaan
serologi, antara lain Uji Imunologi spesifik, Uji Fiksasi Komplemen, dan Uji
Hemaglutinasi tidak langsung. Pada pemeriksaan darah, gambaran darah menunjukkan
adanya anemia dengan kadar hemoglobin yang rendah, terdapat leukopeni dan
trombositopeni, sedangkan jumlah monosit meningkat lebih dari 7%. Gamma globulin
serum meningkat di atas 16.0 g/L , sedangkan IgG meningkat sangat tinggi (jauh di atas
16.0 g/L).

Pengobatan Kala-azar. Untuk mengobati penyakit Kala-azar, sebagai obat pilihan dapat
digunakan Sodium stibogluconate 20 mgSb/kg/hari IV atau IM selama 28 hari. Antimon
pentavalen (Pentostam, Solustibosan). Obat ini diberikan intravenus dengan dosis inisial
pada orang dewasa sebesar 0.05 gm, diikuti oleh 15 suntikan berturut-turut pada hari
berikutnya dengan dosis meningkat dari 0.1 gm sampai 0.2 gm setiap kali pemberian.
Selain itu dapat diberikan Pentamidin isetionat(Lomodin) secara intramuskuler,atau
intravenus dengan dosis 2-4 mg/kg berat badan/hari yang diberikan selama 15-30 hari.
Obat lain yaitu Amfoterisin-B hanya diberikan pada infeksi yang lanjut, karena obat ini
toksik bagi penderita. Amfoterisin-B dosis dewasa dan anak diberikan 0.5-1 mg/kg
dengan cara infus intravenus perlahan-lahan dan diberikan selama 8 minggu.
Pada penderita yang mengalami anemia sangat berat, dapat dilakukan tranfusi darah
disertai pemberian diet dengan kalori tinggi.

Pencegahan Kala-azar
Karena penderita adalah sumber infeksi bagi manusia lainnya, maka mengobati
penderita merupakan salah satu tindakan pencegahan terjadinya penularan penyakit ini.
Pencegahan juga dilakukan dengan memberantas vektor penularnya menggunakan
insektisida atau mencegah gigitan vektor, misalnya tidur memakai kelambu atau
menggunakan repellen.
70

Leishmania tropica

Leishmania tropica yang hidup intraseluler di dalam sel-sel retikuloendotil dan kulit ini
menyebabkan leismaniasis kulit (cutaneous leishmaniasis) atau penyakit Oriental sore.
Penyakit ini banyak dilaporkan dari negara-negara Timur Tengah ( Siria, Arab, Iran),
India dan Afrika Tengah.

Anatomi dan morfologi. Leishmania tropica terdapat dalam dua bentuk, yaitu bentuk
leismania dan bentuk leptomonad. Di dalam tubuh manusia atau hospes reservoir parasit
ini hanya terdapat sebagai bentuk leishmania, sedangkan bentuk leptomonad terdapat
didalam tubuh vektor. Bentuk leptomonad juga dapat diperoleh jika parasit dibiakkan
pada medium buatan. Dengan pemeriksaan mikroskopis bentuk Morfologi Leishmania
tropica tidak dapat dibedakan dari bentuk Leishmania donovani.

Daur hidup. Daur hidup Leishmania tropica pada prinsipnya mirip dengan daur hidup
Leishmania donovani, kecuali bahwa bentuk leismania dari Leishmania tropica hidup di
dalam sel mononuklir besar dari kulit dan tidak terdapat di dalam visera. Baik bentuk
leismania yang terdapat di dalam tubuh manusia maupun bentuk leptomonad yang
terdapat dalam tubuh vektor mampu memperbanyak diri secara binary fission.

Epidemiologi. Leismaniasis kulit atau Oriental sore termasuk penyakit zoonosis karena
adanya binatang sebagai hospes reservoir. Anjing merupakan reservoir host utama di
daerah endemis, sedangkan di daerah padang pasir Asia Tengah, rodensia (gerbil)
merupakan sumber infeksi penyakit ini.
Manusia mengalami infeksi penyakit ini dengan cara inokulasi langsung parasit
melalui gigitan vektor atau akibat terjadi pencemaran luka gigitan vektor dengan remahan
tubuh vektor yang infektif. Dalam waktu tiga minggu sesudah vektor mengisap darah
penderita yang mengandung bentuk leismania, bentuk leptomonad sudah dapat dijumpai
di dalam rongga mulut vektor. Seorang penderita oriental sore yang sembuh dari
penyakitnya akan kebal untuk seumur hidupnya terhadap infeksi ulang penyakit ini.
71

Gejala klinis dan diagnosis. Masa inkubasi infeksi parasit ini berlangsung antara
beberapa minggu sampai 6 bulan, bahkan kadang-kadang sampai 2 tahun. Gejala klinis
akan timbul berupa nodul kulit yang sering mengalami ulserasi, yang kemudian sembuh
dengan sendirinya dalam waktu sekitar 6 bulan. Kelainan kulit ini disebut Oriental sore
atau Delhi sore yang biasanya berupa dua atau tiga nodul yang terdapat di daerah wajah,
di tangan atau di kaki penderita.
Diagnosis pasti leismaniasis kulit dapat ditetapkan sesudah dilakukan
pemeriksaan mikroskopis atas hasil biopsi nodul kulit yang diberi pewarnaan dengan
metoda Leishman. Selain itu dapat dilakukan biakan parasit hasil biopsi pada medium
NNN.
Untuk membantu menegakkan diagnosis penyakit Oriental sore dapat dilakukan
tes kulit intrakutan dengan menggunakan vaksin Leishmania.

Pengobatan dan pencegahan. Oriental sore dapat diobati dengan Antimon pentavalen
atau antimony trivalent. Obat pilihan adalah Sodium stibogluconate dengan dosis 20 mg
Sb/kg/hari IV atau IM selama 20 hari (dewasa/anak). Selain itu penderita dapat diberi
Meglumine antimonite dengan dosis 20 mgSb/kg/hari selama 20 hari (dewasa/anak).

Sebagai obat pengganti dapat diberikan Pentamidine: 2-3 mg/kg/hari IV atau IM x 4-7
kali pemberian (dewasa/anak) atau Paromomycin topikal 2 kali sehari selama 10-20 hari.
Emetin HCl 2%-5% atau atabrin 3%-5% dapat juga diberikan obat topikal. Vaksin dapat
juga digunakan untuk pengobatan lokal penyakit ini.

Untuk mencegah penularan penyakit ini, penderita harus diobati dengan baik karena
penderita merupakan sumber penularan bagi orang lain. Jika mungkin reservoir host yang
menjadi sumber infeksi harus juga diberantas atau diobati.Vektor penular penyakit yaitu
Phlebotomus harus diberantas menggunakan insektisida atau mencegah gigitan vektor
pada manusia, misalnya tidur memakai kelambu atau menggunakan repellen.

Vaksinasi menggunakan parasit hidup dapat memberikan kekebalan tetap.


72

Leishmania braziliensis

Leishmania braziliensis menimbulkan leismaniasis mukokutan (mucocutaneous


leishmaniasis) atau leismaniasis nasofaring. Leismaniasis yang juga dikenal sebagai
penyakit Espundia ini banyak dilaporkan dari negara-negara Amerika Tengah dan
Amerika Selatan.

Anatomi dan morfologi. Leishmania braziliensis hidup intraseluler di dalam sel


makrofag dari kulit dan selaput lendir hidung serta rongga mulut. Parasit ini terdapat
dalam dua bentuk, yaitu bentuk leismania yang terdapat pada manusia dan hospes
reservoir, dan bentuk leptomonad yang terdapat didalam tubuh vektor (Phlebotomus
intermedius). Bentuk leptomonad juga diperoleh jika parasit dibiakkan pada medium
buatan. Bentuk Morfologi Leishmania braziliensis tidak dapat dibedakan dari Morfologi
Leishmania tropica maupun Leishmania donovani.

Daur hidup. Untuk melengkapi daur hidupnya, Leishmania braziliensis membutuhkan


Phlebotomus intermedius sebagai vektornya, sedangkan anjing merupakan hospes
reservoir parasit ini.
Manusia terinfeksi parasit ini dengan cara langsung melalui gigitan vektor atau
melalui kontak langsung penderita dengan orang lain. Selain itu autoinfeksi dapat juga
terjadi pada seorang penderita.

Perubahan patologi dan gejala klinis. Masa inkubasi penyakit espundia berlangsung
beberapa hari sampai beberapa minggu. Gejala klinis mula-mula terjadi adalah timbulnya
nodul kulit yang mirip dengan nodul kulit pada infeksi Leishmania tropica. Bentuk ulkus
pada espundia cenderung melebar secara melingkar mempunyai tepi ulkus yang tajam
dengan permukaan ulkus yang basah. Pada pemeriksaan histologis pada ulkus dapat
ditunjukkan adanya parasit dalam bentuk leismania di dalam monosit dan di dalam sel-sel
sistem retikulo endotel yang berada di daerah tepi ulkus.
73

Penyakit espundia menunjukkan gejala klinis yang dibagi menjadi dua fase, yaitu fase
primer dan fase sekunder. Pada fase primer gejala klinis berupa kelainan kulit, sedangkan
gejala klinis fase sekunder adalah fase terjadinya infeksi pada selaput lendir mulut dan
saluran pernapasan bagian atas.

Diagnosis espundia. Untuk menetapkan diagnosis pasti espundia harus dilakukan


pemeriksaan mikroskopik atas bahan-bahan infektif. Dengan melakukan pewarnaan
dengan metoda Leishman dapat ditemukan bentuk leismania parasit, dan jika dilakukan
biakan pada medium NNN yang didapatkan adalah parasit bentuk leptomonad.
Untuk membantu menetapkan diagnosis dapat dilakukan uji fiksasi komplemen,
dan tes intradermal (tes Montenegro). Hasil tes Montenegro dinyatakan positif jika terjadi
pembentukan eritem dan papul dalam waktu 48 jam sesudah dilakukan tes intradermal
tersebut.

Pengobatan dan pencegahan. Leismaniasid yang dapat digunakan adalah potassium


antimony tartrat, sodium antimony gluconate, pentamidin atau amfoterisin B .

Obat pilihan untuk espundia adalah Sodium stibogluconate. Dosis untuk dewasa dan ank
adalah 20 mg Sb/kg/hari diberikan IV atau IM selama 28 hari.
Obat pilihan lainnya adalah Meglumine antimonite. Dosis dewasa dan anak adalah 20 mg
Sb/kg/hari diberikan IV atau IM selama 28 hari.
Amphotericin B dapat juga merupakan obat pilihan dengan dosis dewasa dan anak
sebesar 0.5-1 mg/kg diberikan IV yang diberikan setiap hari atau dua hari sekali sampai
selama 8 minggu.
Untuk kelainan lokal dapat dilakukan suntikan lokal dengan atabrin.

Untuk mencegah penularan espundia harus dilakukan pemberantasan vektor penularnya


menggunakan insektisida atau mencegah gigitan vektor menggunakan repellen. Dengan
menggunakan parasit hidup sebagai vaksin pada penduduk, maka akan didapatkan
kekebalan yang tetap.
74

Epidemiologi leishmaniasis. Epidemiologi leishmaniasis yang disebabkan oleh


L.donovani, L.tropica dan L.braziliensis dapat dijabarkan dalam tabel di bawah ini:

Tabel 6. Epidemiologi leishmaniasis

L. donovani L.tropica L.braziliensis


Penyakit Kala-azar Oriental sore Espundia
Distribusi India,Cina,Afrika,Eropa, Timur Tengah, Afrika AmerikaTengah
Amerika Selatan, Rusia Tengah Amerika Selatan
Hospes Manusia dan anjing Manusia, anjing, gerbil Manusia,anjing
definitif
Hospes Phlebotomus Phlebotomus Phlebotomus
perantara
1.Gigitan vektor 1.Gigitan vektor
2.Kontaminasi luka 2.Autoinfection
Penularan Gigitan vektor
dengan jaringan 3.Kontak
tubuh vektor. langsung
Inkubasi 3-6 bulan 2 minggu- 6 bulan Beberapa hari-
beberapa minggu
Gejala Leismanioma Delhi boil Kulit dan mukosa
klinis
Diagnosis 1. Mikroskopis darah, 1.Mikroskopis nodul 1.Mikroskopis
sumsum tulang, kulit bahan infektif
biopsi limpa 2. Kultur 2.Kultur
2. Kultur 3. Uji kulit 3.Uji serologi
3. Uji serologi 4.Tes Montenegro
Pengobatan 1. Antimon pentavalen 1.Antimon pentavalen 1.Potassium
2. Pentamidin isetionat 2.Antimony trivalent antimony tartrat
3. Amfoterisin-B 2.Lokal:emetin,atabrin, 2.Sodium anti-
(infeksi lanjut) vaksin mony gluconate
3.Pentamidin
4.Amfoterisin B
5.Lokal:Atabrin

SPOROZOA
75

Sporozoa tidak mempunyai flagel atau silia, sehingga pergerakannya dilakukan secara
amoeboid. Proses reproduksi Sporozoa terjadi melalui dua cara, yaitu reproduksi aseksual
(schizogony) dan reproduksi seksual (syngamy).
Beberapa genus Sporozoa yang merupakan penyebab penyakit pada manusia,
misalnya Coccidia (sporozoa usus), Plasmodium (sporozoa darah), dan ordo
Toxoplasmida (Toxoplasma, Sarcocystis , Pneumocystis)..

Gambar 31. Klasifikasi Sporozoa (Faust and Russel,1964)

Coccidia
76

Coccidia hidup intraseluler di dalam sel-sel epitel mukosa usus di daerah ileum bagian
bawah. Protozoa ini jarang menimbulkan penyakit pada manusia dan yang parasitik
pada manusia adalah famili Eimeriidae yaitu genus Isospora dan Eimeria. Isospora
menyebabkan penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya (self limiting disease),
sedangkan Eimeria merupakan spurious parasite pada manusia.
Stadium ookista Isospora yang terdapat di luar tubuh manusia mempunyai dua sporokista
dengan masing-masing sporokista mengandung empat sporozoit.
Sedangkan ookista Eimeria mempunyai empat sporokista yang masing-masing
sporokista mengandung dua sporozoit.

Gambar 32. Oookista Eimeria


(URL:http://de.academic.ru/pictures/dewiki)

Daur hidup Coccidia


Daur hidup lengkap Coccidia berlangsung di dalam maupun di luar tubuh hospes
(manusia). Proses reproduksi Coccidia yang berlangsung melalui dua cara yaitu secara
aseksual maupun secara seksual terjadi di dalam satu macam hospes.
Bentuk trofozoit yang terjadi di dalam sel epitel usus manusia mula-mula berubah
menjadi bentuk skison (schizont), yang kemudian berkembang menjadi bentuk merozoit.
77

Bentuk merozoit ini sebagian akan masuk ke dalam lumen usus melanjutkan siklus
aseksual, sedangkan sebagian yang lain akan melanjutkan siklus hidup seksual. Setiap
merozoit yang masuk ke dalam lumen usus akan memasuki satu sel epitel usus dan
melanjutkan siklus aseksual (schizogony). Siklus seksual terjadi pada merozoit lainnya
yang mengadakan diferensiasi menjadi gamet jantan (mikrogametosit) dan gamet betina
(makrogametosit). Melalui proses fertilisasi mikrogametosit dan makrogametosit akan
menghasilkan zigot yang kemudian keluar dari tubuh manusia bersama tinja.
Pada tinja yang terdapat di luar tubuh manusia zigot berubah bentuk menjadi
ookista yang berukuran sekitar 16x32 mikron. Ookista kemudian berkembang menjadi
sporoblas yang lalu berubah menjadi sporokista yang berisi sporozoit. Jika manusia
tertelan sporokista infektif yang terdapat dalam makanan yang tercemar tinja, maka
dapat terjadi koksidiosis .

Gambar 33. Bagan Daur hidup Coccidia

Isospora
78

Isospora belli atau Cystoisospora belli tersebar luas di seluruh dunia terutama di
Indonesia, Filipina, Jepang, Cina, India, Amerika Selatan dan Afrika Selatan yang
merupakan daerah-daerah endemis.

Anatomi dan morfologi. Isospora belli dan Isospora hominis adalah dua spesies yang
dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia. Ukuran masing-masing spesies
adalah 12-16 mikron x 25-33 mikron (Isospora belli) dan Isospora hominis berukuran 10
x 16 mikron.
Isospora belli mempunyai tiga jenis ookista, yaitu ookista yang uniseluler,
ookista yang mengandung dua sporoblas dan ookista yang mengandung dua spora yang
masing-masing mengandung empat sporozoit.

Gambar 34. Isospora belli


(URL: http://www.cmpt.ca)

Gejala klinis dan diagnosis. Parasit ini tidak banyak menimbulkan kerusakan jaringan
Masa inkubasi yang lamanya sekitar satu minggu akan diikuti gejala klinis berupa
demam, malaise, diare dan sakit perut. Perjalanan penyakit umumnya tidak diikuti oleh
komplikasi dan penyakit akan sembuh dengan sendirinya (self limiting disease).
Untuk menentukan diagnosis pasti dilakukan pemeriksaan tinja untuk menemukan
ookista di dalam tinja penderita.
79

Pengobatan dan pencegahan. Pada umumnya gejala klinis dan keluhan penderita
terinfeksi Isospora belli sifatnya ringan, sehingga tidak diperlukan pengobatan terhadap
parasitnya. Pada infeksi kronis atau terjadi keluhan agak berat, penderita dapat diobati
dengan preparat sulfa, misalnya trimetoprim-sulfametoksazol (TMP-SMX) sebagai obat
pilihan. Dosis dewasa yang diberikan adalah: TMP 160 mg/SMX 800 mg diberikan 2 kali
sehari selama 10 hari. Dosis anak adalah TMP 5 mg/kg-SMX 25 mg/kg diberikan 2 kali
sehari selama 10 hari. Penderita yang alergi terhadap sulfa dapat diobati dengan
pirimetamin.
Untuk mencegah penularan penyakit, harus dilakukan dengan menjaga
kebersihan makanan dan memasak makanan dengan baik. Penderita yang merupakan
sumber infeksi harus diobati dengan baik, pencemaran tinja terhadap lingkungan harus
dicegah dan tinja manusia tidak boleh digunakan sebagai pupuk tanaman.

Cyclospora

Cyclospora tersebar luas di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis. Spesies
parasit yang infektif untuk manusia adalah cayetanensis.

Anatomi dan morfologi. Cyclospora mempunyai ookista yang berbentuk sferis, di


dalamnya terdapat struktur seperti morula yang mengandung sejumlah benda inklusi.
Bentuk ookista berspora (sporulated oocyst) mengandung dua sporokista yang bentuknya
lonjong. Setiap sporokista mengandung dua sporozoit yang berukuran sekitar 1.2 x 9
mikron.
80

Gambar 35. Cyclospora


(URL: http://www.CDC,USA.gov.ncidod.eid)

Daur hidup dan cara infeksi. Cyclospora mempunyai daur hidup yang berlangsung
hanya pada satu hospes. Terdapat dua stadium parasit, yaitu stadium endogen yang hidup
di dalam vakuol sitoplasma, dan stadium infektif yaitu ookista yang dikeluarkan bersama
tinja penderita. Ookista yang jatuh ke tanah akan mengalami proses sporulasi sehingga
terbentuk sporulated oocyst yang infektif. Pada suhu antara 220 C- 320 C proses sporulasi
berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu lamanya.
Manusia terinfeksi parasit ini per oral dengan masuknya sporulated oocyst yang
infektif melalui makanan atau minuman tercemar. Proses ekskistasi kemudian terjadi di
usus, dengan lepasnya sporozoit yang menginvasi sel epitel usus halus. Multiplikasi
aseksual dan perkembangan seksual menjadi ookista terjadi di dalam epitel usus. Ookista
ini kemudian dapat ditemukan di dalam tinja penderita.

ookista
berspora
tertelan
81

Gambar 36. Daur hidup Cyclospora


(Sumber: CDC,USA )

Perubahan patologi dan gejala klinis. Cyclospora yang menginfeksi usus halus dapat
menyebabkan terjadinya eritema duodenum bagian distal, atrofi vili usus dan hiperplasi
kripta usus. Masa inkubasi yang berlangsung sekitar satu minggu akan diikuti terjadinya
gejala klinis dan keluhan penderita berupa diare cair yang kadang-kadang diselingi
konstipasi, mual, muntah dan kejang perut. Penderita juga merasa lelah, mengalami
mialgia, anoreksia dan penurunan berat badan. Demam ringan yang berlangsung selama
10-12 minggu, dapat kambuh berulang-ulang.
Infeksi Cyclospora pada umumnya akan sembuh dengan sendirinya tanpa
pengobatan (self-limiting disease), tetapi penderita yang mengalami penurunan imunitas
(imunocompromised) akan mengalami diare dalam waktu yang lama.

Diagnosis. Untuk menetapkan diagnosa pasti infeksi Cyclospora harus ditemukan ookista
parasit pada tinja melalui pemeriksaan mikroskopis biasa atau menggunakan mikroskop
Ookistafluoresen. Untuk meningkatkan hasil pemeriksaan sebaiknya dilakukan konsentrasi tinja
Tak berspora
diikuti pewarnaan safranin atau tahan asam yang dimodifikasi untuk lebih memudahkan
pemeriksaan mikroskopis.
82

Pengobatan dan pencegahan. Obat yang dianjurkan untuk mengobati parasit ini adalah
trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX). Dosis dewasa: TMP 160 mg-SMX 800 mg
diberikan dua kali sehari selama 7-10 hari. Dosis anak: TMP 5 mg/kg-SMX 25 mg/kg
diberikan dua kali sehari selama 7-10 hari. Penderita juga diberikan terapi suportif dan
mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit serta istirahat yang cukup.
Sebelum makan atau sesudah buang air besar tangan harus dicuci bersih dengan
sabun, serta selalu memasak air sebelum diminum merupakan cara mudah mencegah
penyebaran parasit ini.

Cryptosporidium

Pada manusia kriptosporidiosis dapat disebabkan oleh Cryptosporidium parvum dan C.


hominis. Parasit yang termasuk protozoa zoonosis dari filum Apicomplexa golongan
koksidia.

Sebaran geografis. Kriptosporidiosis banyak dilaporkan dari seluruh dunia akibat


penggunaan air minum yang tidak bersih dan lingkungan hidup dan kebiasaan hidup yang
buruk pada populasi penduduk yang padat. Parasit ini menyerang semua golongan usia
dari bayi sampai usia lanjut.

Anatomi dan morfologi. Cryptosporidium mempunyai ookista yang berbentuk sferis,


dengan diameter sekitar 4-6 mikron. Terdapat dua jenis ookista, yaitu ookista yang
berdinding tebal atau ookista yang berdinding tipis. Di dalam tubuh hospes ookista
berdinding tipis mengadakan ekskistasi (autoinfection) dan mengadakan daur hidup baru,
sedangkan ookista berdinding tebal diekskresi melalui tinja penderita.
83

ba
Gambar 37. Cryptosporidium parvum (a) Ookista (b) Sporozoit
(Sumber: Brown University, http://biology.kenyon.edu/slonc)

Daur hidup. Kriptosporidiosis terjadi dengan masuknya ookista parasit melalui mulut
atau melalui pernapasan (inhalasi). Proses ekskistasi terjadi dengan lepasnya sporozoit
yang kemudian masuk ke dalam sel-sel epitel usus, lalu berkembang secara aseksual dan
kemudian diikuti oleh reproduksi secara seksual yang membentuk mikrogamet dan
makrogamet. Fertilisasi mikrogamet dan makrogamet akan diikuti pembentukan ookista
berdinding tebal yang mampu mengadakan sporulasi di dalam tubuh hospes. Sesudah itu
ookista yang berdinding tebal ini dikeluarkan bersama tinja penderita, atau dapat juga
menimbulkan autoinfeksi karena berlangsung di dalam tubuh host.

Gambar 38. Daur hidup Cryptosporidium parvum


Perubahan patologi dan gejala klinis. Sporozoit yang masuk ke dalam sel epitel usus
akan menimbulkan kerusakan atau kematian sel-sel epitel usus. Akibat terjadinya proses
keradangan pada usus menimbulkan atrofi villi usus dan terjadi hiperplasi kripta.
84

Diare cair yang terjadi lebih dari 20 liter per hari (cholera-like diarrhea) merupakan
gejala utama kriptosporidiosis. Penderita juga mengalami gejala dan keluhan lain,
misalnya nyeri perut, mual, demam ringan, dehidrasi dan berat badan yang menurun.
Penderita yang mempunyai daya tahan baik umumnya tidak menunujukkan gejala klinis
maupun keluhan yang nyata, tetapi penderita dengan kekebalan yang rendah atau
terganggu sistem imunnya, misalnya penderita HIV/ AIDS akan mengalami gejala klinis
yang berat.

Diagnosis. Diagnosis pasti kriptosporidiosis ditentukan berdasar adanya gejala klinis dan
keluhan penderita yang dibantu pemeriksaan mikroskopis, pemeriksaan imunologis dan
pemeriksaan biologi molekuler.
Pada pewarnaan tahan asam yang dimodifikasi atas tinja penderita dapat
menunjukkan adanya ookista kriptosporidial parasit ini. Pemeriksaan imunologi atas
anti- IgM, IgG dan IgA kriptosporidium dengan ELISA atau IFA (immunofluorescence
antibody assay) dapat membantu secara tidak langsung dalam menegakkan diagnosis
kriptosporidiosis.
Untuk memperkuat diagnosis kriptosporidiosis dapat juga dilakukan pemeriksaan
biologi molekuler PCR ( Polymerase Chain Reaction) dan metoda deteksi DNA .

Pengobatan dan pencegahan. FDA menganjurkan penggunaan Nitazoxanide untuk


mengobati diare kriptosporidiosis pada penderita dengan sistem imun yang normal. Obat
ini diberikan per oral pada orang dewasa dengan dosis 2x500 mg selama 3 hari.
Sedangkan anak berumur 1-11 tahun dapat diberi dengan dosis 2x 100-200mg selama 3
hari. Karena infeksi pada orang normal pada umumnya akan sembuh dengan sendirinya,
jika Nitazoxanide tidak tersedia penderita hanya diberikan terapi suportif disertai
penatalaksanaan cairan dan elektrolit jika terjadi diare yang berat.
Antibiotika misalnya spiramisin dan paromomisin dapat diberikan pada
immunocompromised patients, meskipun sering terjadi kekambuhan.
Sering mencuci tangan sebelum makan dan sesudah merawat penderita diare (manusia
maupun hewan) sangat dianjurkan. Selain itu menjaga kebersihan makanan dan minuman
serta memasaknya sebelum dikonsumsi merupakan pencegahan yang dianjurkan.
85

Toxoplasma gondii

Protozoa yang hidup di darah dan jaringan ini dapat menyebabkan penyakit
toksoplasmosis pada manusia dan hewan. Toxoplasma gondii hidup intraseluler di dalam
sel-sel sistem retikulo-endotel dan sel parenkim manusia maupun hewan mamalia
terutama kucing dan unggas. Parasit ini dapat menimbulkan radang dan kerusakan pada
kulit, kelenjar getah bening, jantung, paru, mata, otak dan selaput otak.

Sebaran geografis. Toxoplasma gondii tersebar luas di seluruh dunia. Data prevalensi
serologi menunjukkan bahwa 30 sampai 40% penduduk dunia terinfeksi Toxoplasma
gondii, sehingga toksoplasmosis merupakan penyakit infeksi yang paling banyak diderita
penduduk bumi. Infeksi banyak terjadi di daerah dataran rendah beriklim panas
dibandingkan dengan daerah dingin yang terletak didataran tinggi. Perancis dan negara-
negara yang penduduknya mempunyai kebiasaan makan daging mentah atau yang
dimasak kurang matang, menunjukkan angka prevalensi toksoplasmosis yang tinggi.
Penelitian di USA pada tahun 1994 menunjukkan angka prevalensi serologi
toxoplasmosis sebesar 22,5% dan pada perempuan berusia subur (child bearing age)
prevalensi menunjukkan angka sebesar 15%.

Anatomi dan morfologi . Berdasar tempat hidupnya Toxoplasma gondii mempunyai dua
bentuk, yaitu bentuk intraseluler dan bentuk ekstraseluler.
Intraseluler, parasit ini mempunyai bentuk yang bulat atau lonjong sehingga sulit
dibedakan Morfologinya dari Morfologi Leishmania. Ekstraseluler, parasit ini
mempunyai bentuk seperti bulan sabit yang langsing dengan salah ujungnya runcing
sedangkan ujung lainnya tumpul. Toxoplasma gondii ekstraseluler yang berukuran sekitar
2x 5 mikron, mempunyai sebuah inti parasit yang terletak di bagian ujung yang tumpul
dari parasit.
86

Gambar 39.Toxoplasma gondii. (a) ookista (b) sporokista (c) takizoit


(Sumber: CDC/DPDx; http://research.vet.upenn.edu/)

Daur hidup. Keluarga kucing (Felidae) merupakan hospes definitif yang membawa
stadium seksual Toxoplasma gondii, sehingga hewan ini merupakan sumber utama infeksi
parasit ini bagi manusia. Di dalam tubuh hewan yang menjadi hospes perantara,
Toxoplasma terdapat dalam bentuk aseksual. Penularan dari satu hewan penderita ke
hewan lainnya terjadi sesudah makan daging yang mengandung parasit stadium infektif.
Di dalam usus kucing yang terinfeksi Toxoplasma, parasit akan berkembang baik
dalam bentuk siklus seksual maupun siklus aseksual sehingga akan terbentuk stadium
ookista (oocyst) yang kemudian akan keluar bersama tinja kucing. Dalam waktu 1 sampai
5 hari ookista akan berkembang menjadi infektif yang dapat menular ke manusia atau
hewan lainnya. Di lingkungan luar rumah, misalnya di dalam air atau tanah basah ookista
dapat bertahan hidup lebih dari satu tahun lamanya. Stadium ookista tahan terhadap
pengaruh disinfektan, pembekuan, kekeringan, akan tetapi akan terbunuh jika dipanaskan
pada suhu 700 Celcius selama 10 menit.
87

Gambar 40. Infeksi Toxoplasma gondii pada manusia.

Penularan toksoplasmosis. Pada manusia penularan toksoplasmosis dapat terjadi


melalui cara dapatan (acquired) pada anak maupun orang dewasa. dan secara kongenital
penularan dari ibu ke bayi yang dikandungnya.
Penularan secara dapatan terjadi secara oral melalui makanan, melalui udara dan
melalui kulit. Penularan per oral terjadi melalui makanan mentah dalam bentuk daging,
susu sapi atau telur unggas yang tercemar psedokista parasit, penularan melalui udara
atau droplet infection dengan bahan infektif berasal dari penderita pneumonitis
toksoplasmosis dan penularan melalui kulit terjadi akibat sentuhan atau kontak dengan
jaringan misalnya daging yang infektif atau ekskreta hewan yang sakit misalnya kucing,
anjing, babi atau rodensia. Selain itu toksoplasmosis dapat ditularkan melalui
transplantasi organ, transfusi darah atau masuknya takizoit ke dalam tubuh melalui lecet
atau luka pada kulit.
Pada toksoplasmosis kongenital penularan pada janin terjadi melalui plasenta dari
ibu hamil yang menderita toksoplasmosis. Penularan yang terjadi di awal kehamilan,
88

akan menyebabkan terjadinya abortus pada janin, atau anak lahir dalam keadaan
meninggal. Pada infeksi toksoplasmosis yang terjadi pada trimester akhir kehamilan,
janin yang berada dalam kandungan tidak menunjukkan kelainan. Gejala-gejala klinis
toksoplasmosis pada bayi baru terlihat dua tiga bulan pasca kelahiran,. Selain melalui
plasenta, Toxoplasma gondii dapat ditularkan dari ibu ke anak melalui air susu ibu, jika
ibu tertular parasit ini pada masa nifas (puerperium).

Perubahan patologi dan gejala klinis. Tergantung pada stadium infektif yang memasuki
tubuh penderita, masa inkubasi toksoplasmosis berlangsung antara 5-23 hari. Melalui
aliran darah parasit akan menyebar ke berbagai organ, misalnya ke otak, sumsum tulang
belakang, sumsum tulang, kelenjar limfe, mata, paru, limpa, hati dan otot jantung.
Pada orang dewasa yang sehat dan tidak sedang hamil, karena sistem imun
tubuhnya mampu melawan infeksi parasit, gejala klinis toksoplasmosis umumnya tidak
jelas dan tidak ada keluhan penderita. Gejala klinis yang ringan mirip gejala flu, antara
lain berupa pembengkakan ringan kelenjar limfe dan nyeri otot yang hanya berlangsung
selama beberapa minggu. Meskipun demikian parasit masih berada dalam bentuk tidak
aktif di dalam jaringan dan organ tubuh penderita yang akan berubah kembali menjadi
bentuk aktif jika daya tahan tubuh penderita menurun.
Gejala toksoplasmosis tampak jelas pada ibu hamil yang menderita
toksoplasmosis karena dapat mengalami abortus, janin lahir mati atau bayi yang
dilahirkan menunjukkan tanda-tanda toksoplasmosis. Hal ini disebabkan karena parasit
menyebabkan kerusakan organ dan sistem saraf penderita bayi dan anak. Ibu hamil yang
terinfeksi Toxoplasma gondii pada trimester pertama kehamilan umumnya akan
mengalami abortus atau janin lahir mati. Infeksi toksoplasmosis yang terjadi pada
trimester terakhir kehamilan akan menyebabkan bayi yang dilahirkan menunjukkan
gejala toksoplasmosis antara lain berupa ensefalomielitis, kalsifikasi serebral,
korioretinitis, hidrosefalus atau mikrosefalus. Kelainan pada sistem limfatik yang terjadi
pada anak dengan toksoplasmosis kongenital yang berusia 5 sampai 15 tahun, akan
menyebabkan terjadinya demam disertai limfadenitis.
Penyakit mata toksoplasmosis dapat terjadi akibat infeksi kongenital atau infeksi
yang terjadi sesudah anak dilahirkan. Kelainan mata akibat infeksi kongenital
89

toksoplasmosis biasanya tidak terlihat pada waktu anak dilahirkan, melainkan baru
tampak pada waktu usia dewasa. Kelainan toksoplasmosis mata dapat berupa
retinochoroiditis dengan gejala dan keluhan antara lain nyeri mata, fotofobi, penglihatan
kabur dan keluar air mata yang terus menerus. Penderita juga dapat mengalami kebutaan.
Toksoplasmosis kulit dapat menimbulkan ruam makulopapuler yang mirip ruam
demam tifus, sedangkan toksoplasmosis paru dapat menyebabkan pneumonia interstitial.
Infeksi Toxoplasma pada jantung dapat menyebabkan miokarditis, sedangkan infeksi pada
hati serta limpa dapat menyebabkan terjadinya pembesaran organ-organ tersebut.
Penderita yang sedang mengalami gangguan sistem imun misalnya menderita
AIDS/HIV akan menunjukkan gejala-gejala klinis toksoplasmosis yang berat berupa
demam, sakit kepala, gangguan kesadaran dan gangguan koordinasi. Penderita akan
sering mengalami kekambuhan dan re-infeksi yang berulang-ulang.

Diagnosis toksoplasmosis. Gejala-gejala klinis dan keluhan yang dialami penderita dapat
juga ditimbulkan oleh berbagai macam penyakit lain. Diagnosis banding toksoplasmosis
yang harus diperhatikan adalah mononukleosis infeksiosa, tuberkulosis, kriptokokosis,
tularemia, bruselosis, listeriosis, penyakit virus, sifilis, sistiserkosis dan hidatidosis.
Pada pemeriksaan serologi titer imunoglobulin G (IgG) yang tinggi menunjukkan
bahwa seseorang telah pernah terinfeksi dengan parasit ini, sedangkan titer IgM yang
tinggi menunjukkan bahwa seseorang sedang terinfeksi Toxoplasma gondii. Untuk
menunjang diagnosis toksoplasmosis pemeriksaan serologi yang sering dilakukan adalah
uji serologi dengan Sabin-Feldman Dye test, Uji Fiksasi Komplemen, Tes Hemaglutinasi
tak langsung (IHA), Tes toksoplasmin, Uji netralisasi antibodi dan uji ELISA.
Diagnosis pasti. Untuk menetapkan diagnosis pasti toksoplasmosis harus dilakukan
pemeriksan mikroskopik histologis secara langsung atas hasil biopsi atau pungsi atau
otopsi atas jaringan organ penderita, atau pemeriksan atas jaringan berasal dari hewan
coba yang dinokulasi dengan bahan infektif. Parasit juga mungkin ditemukan pada
pemeriksaan langsung atas darah penderita, sputum, tinja, cairan serebrospinal, dan
cairan amnion.
Pada pemeriksaan darah tepi terdapat gambaran limfositosis (lebih dari 33% ),
monositosis ( lebih dari7%) dan ditemukan sel mononuklir yang atipik. Pemeriksaan
90

cairan serebrospinal menunjukkan adanya xantokromia, protein yang meningkat dan


jumlah sel juga meningkat.
Untuk menentukan adanya penularan toksoplasmosis dari ibu ke anak ( penularan
kongenital) dapat dilakukan pemeriksaan biomolekuler terhadap DNA parasit yang ada di
dalam cairan amnion.

Pengobatan toksoplasmosis. Banyak penderita yang terinfeksi Toxoplasma gondii dapat


sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan. Pengobatan terutama diberikan pada ibu
hamil yang terinfeksi di awal kehamilan, jika terjadi chorioretinitis aktif, miokarditis,
atau jika terjadi gangguan pada organ-organ.
Penderita yang sedang menderita toksoplasmosis diobati dengan terapi antiparasit
yang diberikan dalam bentuk kombinasi Pirimetamin dengan Sulfadiasin, sebaiknya
disertai pemberian asam folat untuk mencegah terjadinya depresi sumsum tulang. Pada
infeksi yang berat pengobatan diberikan selama 2 sampai 4 minggu.
Cara pemberian kombinasi obat adalah sebagai berkut: hari pertama Pirimetamin
diberikan 50 mg per oral diikuti 6 jam kemudian, 25 mg ditambah Sulfadiasin 2 gram.
Pada hari ke-2 sampai dengan hari ke-14: Pirimetamin 25 mg /hari ditambah sulfadiasin
4x 1 gram/hari.
Toksoplasmosis dapat diobati dengan Spiramisin sebagai obat tunggal dengan dosis 2-4
gram per hari selama 3 sampai 4 minggu.

Toksoplasmosis mata. Penderita toksoplasmosis mata sebaiknya diberi tambahan obat


klindamisin dan prednisolon untuk mencegah kerusakan saraf mata dan gangguan pada
makula. Selain itu vitamin B kompleks dan asam folat diberikan sebagai obat penunjang.
Penderita dengan gangguan sistem imun, misalnya AIDS memerlukan pengobatan yang
terus menerus selama masih mengalami gangguan sistem imun.

Toksoplasmosis pada perempuan hamil. Spiramisin diberikan untuk mencegah


terjadinya infeksi melalui plasenta. Jika pada pemeriksaan USG (ultrasonography)
terdapat dugaan telah terjadi infeksi pada bayi maka diberikan pirimetamin dan
91

sulfadiazin. Pirimetamin tidak boleh diberikan pada 16 minggu pertama kehamilan


karena bersifat teratogenik, sehingga hanya diberikan sulfadiazin sebagai obat tunggal.
Bayi yang dilahirkan oleh ibu penderita toksoplasmosis primer atau ibu yang menderita
HIV positif, diberi pengobatan pirimetamin-sulfadiazin-asam folat selama tahun pertama
sampai terbukti bayi tidak menderita toksoplasmosis kongenital.

Prognosis. Toksoplasmosis yang terjadi pada anak atau orang dewasa, prognosis
penyakitnya tergantung pada jenis dan beratnya kerusakan organ yang terserang. Pada
orang dewasa toksoplasmosis umumnya tidak menunjukkan gejala (asimtomatik). pada
Bayi yang menderita toksoplasmosis akut umumnya fatal akibatnya, meskipun ibu tidak
menunjukkan gejala. Anak yang menderita infeksi toksoplasmosis prenatal, meskipun
jarang menimbulkan kematian akan mengalami cacat yang permanen sifatnya.

Pencegahan. Untuk mencegah penularan toksoplasmosis makanan dan minuman harus


dimasak dengan baik. Selain itu harus dicegah terjadinya kontak langsung dengan daging
atau jaringan organ hewan yang sedang diproses, misalnya di tempat pemotongan hewan
(abbatoir) dan di tempat penjualan daging. Selain mengobati penderita (baik manusia
naupun hewan) dengan baik, lingkungan hidup harus dijaga kebersihannya, terutama
harus bebas dari tinja kucing atau tinja hewan lainnya.
Toksoplasmosis kongenital dapat dicegah dengan melakukan pemeriksaan pada
ibu hamil. Jika ibu haml belum diketahui apakah ia mempunyai antibodi terhadap
Toxoplasma gondii dianjurkan untuk tidak mengadakan kontak dengan kucing, tidak
membersihkan tempat sampah, selalu menggunakan sarung tangan jika berkebun, dan
selalu mencuci tangan sesudah berkebun, sesudah mencuci daging mentah dan sebelum
makan.
92

Peumocystis carinii

Peumocystis carinii yang tersebar luas di seluruh dunia (kosmopolit) ini menyebabkan
infeksi yang disebut pneumonia atipik, Pneumocystic carinii pneumonia (PCP) atau
interstitial plasmacellulair pneumonia. PCP secara sporadis ditemukan pada penderita
dengan imunodefisiensi primer atau penderita yang sedang mendapatkan kemoterapi dan
transplantasi atau penderita AIDS (immunocompromised patients).

Anatomi dan morfologi. Parasit ini mempunyai bentuk yang bulat atau lonjong mirip
kista, berukuran 1-2 mikron, mempunyai 8 badan yang berinti satu (uninucleated bodies).

Gambar 41. Pneumocystis carinii pewarnaan GMS


(Sumber: Anna Serano, Utah University;
http://library.med.utah.edu/WebPath/COW)

Daur hidup. Bertindak sebagai hospes Pneumocystis carinii adalah manusia dan
berbagai macam hewan, misalnya anjing dan binatang mengerat (rodensia). Parasit
ditemukan di dalam alveoli dalam bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit yang matang
akan menjadi sporokista dengan 8 intracystic bodies dan berubah menjadi trofozoit jika
kista pecah. Infeksi terjadi jika sporokista tertelan oleh hospes bersama makanan atau
minuman, di dalam usus sporokista akan pecah. Sporozoit yang keluar kemudian akan
menembus dinding usus, lalu masuk ke dalam sel-sel endotel.

Perubahan patologi dan gejala klinis. Pneumocystis carinii dapat menimbulkan


kelainan paru yang menyebabkan organ ini menjadi kenyal, dan udara menghilang dari
93

jaringan paru. Warna paru berubah mejadi kelabu dan terjadi penebalan septum alveolar
disertai infiltrasi sel-sel leukosit, histiosit dan sel plasma. Gambaran ini merupakan ciri
khas gambaran interstitial plasma cellulai pneumonia. Jaringan paru juga menunjukkan
gambaran seperti pecahan kaca (gound glass) yang merupakan eksudat alveolar yang
membentuk jaringan ikat. Masa inkubasi Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) yang
lamanya 20-30 hari diikuti oleh keluhan penderita berupa hilangnya nafsu makan dan
penurunan berat badan, kelemahan badan, batuk kering, sesak napas berat dan sianosis.
Penderita dapat meninggal akibat sumbatan eksudat pada alveoli dan bronkioli.

Diagnosis. Gejala klinis PCP adalah dema, sesak napas dan batuk. Diagnoss pasti infeksi
Pneumocystis carinii dapat ditegakkan jika parasit penyebabnya dapat ditemukan di
dalam dahak penderita melalui pewarnaan GMS (Gomori methenamine silver stain) atau
pewarnaan Giemsa. Parasit dapat juga ditemukan melalui otopsi jaringan paru pada
penderita yang meninggal dunia. Pemeriksaan Direct fluorescent antibody (DFA) dan
imunohistokimia dapat digunakan untuk menemukan parasit didalam jaringan atau
sediaan sitologi. Pemeriksaan radiologi menunjukkan gambaran ground glass yang khas.

Pengobatan dan pencegahan. Obat pilihan PCP adalah TMP-SMX ( Trimethoprim-


sulfamethoxazole) dengan dosis dewasa/anak: TMP 15 mg/kg/hari-SMX 75 mg/kg/hari
per oral atau IV terbagi dalam 3 atau 4 takaran yang diberikan selama 14-21 hari.
Sebagai obat pengganti dapat diberikan Primakuin dengan dosis 30 mg(base)/hari per
oral plus clindamycin 600 mg intravenous atau 300-450 mg per oral diberikan tiap 6 jam
selama 21 hari, Untuk mengobati pneumonia atipik dapat diberikan pentamidin
intramuskuler, dengan dosis 4 mg per kilogram berat badan selama 14 hari pengobatan.
Selain itu kombinasi Trimethoprim-dapsone dengan dosis TMP 3x 5 mg/kg/hari dan
dapsone 100 mg/hari diberikan bersama dalam waktu 21 hari. Sesuai dengan gejala
klinis dan keluhan yang terjadi dan untuk menunjang pengobatan dapat diberikan
antibiotika, oksigen, dan perbaikan gizi penderita.
Kortikosteroid merupakan kontraindikasi.
94

Untuk mencegah penyebaran parasit ini dianjurkan untuk selalu memasak semua
makanan dan minuman serta memperbaiki lingkungan hidup dan selalu menjaga higiene
perorangan dan keluarga..

Sarcocystis

Sarcocystis pada adalah parasit zoonosis yang pada manusia tidak banyak menimbulkan
keluhan, tetapi sering kali menimbulkan kematian pada kelinci. Parasit ini dilaporkan
dari berbagai tempat, misalnya Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan, Asia
Tenggara dan Eropa.

Anatomi dan morfologi. Sarcocystis ditemukan di dalam otot bergaris dalam bentuk
kelompok spora berinti satu yang memanjang seperti pipa, disebut Miescher tube yang
ukurannya sangat bervariasi antara ukuran mikroskopik sampai 5 cm panjangnya.
Masing-masing spora berukuran sekitar 1-2 mikron kali 10 mikron

Gambar 42. Sarcocystis hominis dalam miokard


(URL: http://www.boyd.latimer)
95

Daur hidup. Hospes alami Sarcocystis adalah berbagai hewan ternak, misalnya sapi,
kuda, domba, babi, kelinci dan bebek, sedangkan manusia merupakan hospes insidental.
Pada manusia infeksi diduga terjadi secara per oral, melalui makanan atau minuman
tercemar ekskreta hewan penderita, terutama sapi dan babi.

Gejala klinis dan diagnosis. Sarcocystis menghasilkan toksin yang disebut sarcocystin
yang dapat menyebabkan kematian pada kelinci, tetapi tidak menyebabkan keluhan atau
gejala klinis pada manusia. Infeksi intestinal pada manusia melalui makanan dapat
menimbulkan nyeri perut, diare, demam, takikardi dan meningkatnya frekwensi
pernapasan penderita.
Parasit dapat ditemukan di dalam tinja yang diperiksa secara konsentrasi, atau
ditemukan pada otot jantung, otot lengan dan otot laring melalui biopsi pada penderita
atau otopsi pada jenasah. Untuk membantu menegakkan diagnosis sarkosistosis dapat
dilakukan pemeriksaan serologi dengan antigen homolog.

Pengobatan dan pencegahan. Belum ada obat yang spesifk dan efektif untuk
sarkosistosis. Penularan penyakit dapat dicegah dengan selalu memasak daging dengan
sempurna sebelum dimakan.
Daging yang akan dijual harus diperiksa secara mikroskopis dan sebaiknya disimpan
dalam keadaan beku.

Kebersihan perorangan, lingkungan dan kebersihan makanan harus selalu dijaga.


96

Plasmodium

Penyakit malaria sudah dilaporkan sejak tahun 1753 sedangkan Plasmodium penyebab
malaria ditemukan oleh Laveran pada tahun 1880. Morfologi Plasmodium mulai
dipelajari sejak Marchiafava pada tahun 1883 sesudah berhasil menggunakan metilen
biru untuk mewarnai parasit ini. pada tahun 1885. Golgi menjelaskan daur hidup
Plasmodium, yaitu siklus skizogoni eritrositik yang disebut sebagai siklus Golgi. Siklus
parasit ini di dalam tubuh nyamuk dipelajari oleh Ross dan Bignami pada tahun 1989 dan
pada tahun 1900 Patrick Manson membuktikan bahwa nyamuk adalah vektor penular
penyakit malaria. Antara tahun 1948 sampai tahun 1954, siklus skizogoni preeritrositik
parasit Plasmodium dipelajari dengan lebih mendalam.
Malaria pada manusia disebabkan oleh empat spesies, yaitu Plasmodium
falciparum, Pl. vivax, Pl. malariae dan Pl. ovale.

Sebaran geografis. Penyakit malaria dilaporkan secara luas dari seluruh dunia, terutama
di daerah yang terletak antara 40o Lintang Selatan dan 60o Lintang Utara, terutama dari
negara-negara tropis yang merupakan daerah endemis malaria. Daerah sebaran
Plasmodium ovale terbatas di Afrika Timur, Afrika Barat, Filipina dan Irian Jaya.

Daur hidup. Di dalam tubuh manusia dan nyamuk Anopheles berlangsung daur hidup
Plasmodium. Manusia merupakan hospes perantara tempat berlangsungnya daur hidup
aseksual sedangkan di dalam tubuh nyamuk berlangsung daur hidup seksual.
Daur hidup aseksual terdiri dari empat tahapan, yaitu tahap skizogon
preeritrositik, tahap skizogoni eksoeritrositik, tahap skizogoni eritrositik dan tahap
gametogoni. Di dalam sel-sel hati berlangsung tahap skizogoni preeritrositik dan
skizogoni eksoeritrositik berlangsung di dalam sel-sel hati, sedangkan di dalam sel-sel
eritrosit berlangsung tahap skizogoni eritrositik dan tahap gametogoni.

Skizogoni preeritrositik. Sporozoit plasmodium yang masuk bersama gigitan nyamuk


Anopheles mula-mula akan memasuki jaringan sel-sel parenkim hati dan berkembang
97

biak di sana. Pada Plasmodium vivax tahap skizogoni preeritrositik berlangsung selama 8
hari, pada Pl. falciparum berlangsung selama 6 hari, dan pada Pl. Ovale tahap ini
berlangsung selama 9 hari. Lamanya tahap Skizogoni preeritrositik pada Pl. malariae
sukar ditentukan.
Di dalam jaringan hati, siklus preeritrositik pada Plasmodium falciparum hanya
berlangsung satu kali, sedangkan pada spesies lainnya siklus ini dapat berlangsung
berulang kali (local liver cycle).

Skizogoni eksoeritrositik. Local liver cycle disebut skizogoni eksoeritrositik yang


merupakan sumber pembentukan stadium aseksual parasit yang menjadi penyebab
terjadinya kekambuhan (relaps) pada malaria vivax, malaria ovale dan malaria malariae.

Gambar 43. Bagan tahapan siklus Plasmodium vivax, Pl.malariae


dan Pl.ovale

Skizogoni eritrositik. Siklus ini terjadi di dalam sel darah merah (eritrosit) ini
berlangsung selama 48 jam pada Plasmodium vivax, Pl. falciparum, dan Pl. ovale,
sedangkan pada Pl. malariae berlangsung setiap 72 jam. Pada tahap skizogoni eritrositik
ini akan terjadi bentuk-bentuk trofozoit, skizon dan merozoit yang mulai dijumpai 12 hari
sesudah terinfeksi Plasmodium vivax, dan 9 hari sesudah terinfeksi Pl. falciparum.
Meningkatnya jumlah parasit malaria karena multiplikasi pada tahap skizogoni eritrositik
mengakibatkan pecahnya sel eritrosit yang menyebabkan terjadinya demam yang khas
pada gejala klinis malaria (overt malaria).
98

Gambar 44. Bagan tahapan siklus Plasmodium falciparum

Tahap gametogoni. Sebagian dari merozoit yang terbentuk sesudah tahap skizogoni
eritrositik berlangsung beberapa kali, akan berkembang menjadi bentuk gametosit.
Pembentukan gametosit terjadi di dalam eritrosit yang terdapat di dalam kapiler-kapiler
limpa dan sumsum tulang. Tahap gametogoni ini berlangsung selama 96 jam dan hanya
gametosit yang sudah matang dapat ditemukan di dalam darah tepi. Gametosit tidak
menyebabkan gangguan klinik pada penderita malaria, sehingga penderita dapat
bertindak sebagai karier malaria.
Nyamuk Anopheles adalah hospes definitif plasmodium karena di dalam badan
nyamuk berlangsung daur hidup seksual atau siklus sporogoni. Gametosit, baik
mikrogametosit maupun makrogametosit yang terhisap bersama darah manusia di dalam
badan nyamuk akan berkembang menjadi bentuk gamet dan akhirnya menjadi bentuk
sporozoit yang infektif bagi manusia.
Untuk dapat menginfeksi seekor nyamuk Anopheles sedikitnya dibutuhkan 12 parasit
gametosit Plasmodium per mililiter darah. Proses awal pematangan parasit terjadi di
dalam lambung (midgut) nyamuk dengan terbentuknya 4 sampai 8 mikrogamet dari satu
mikrogametosit, perkembangan dari satu makrogametosit menjadi satu makrogamet.
Sesudah terjadi fusi antara mikrogamet dengan makrogamet menjadi zigot, dalam waktu
24 jam zigot akan berkembang menjadi ookinet.
Sesudah menembus dinding lambung nyamuk ookinet akan memasuki jaringan
yang terdapat di antara lapisan epitel dan membran basal dinding lambung, lalu berubah
99

bentuk menjadi ookista. Di dalam ookista yang bulat bentuknya akan terbentuk ribuan
sporozoit. Ookista yang telah matang akan pecah dindingnya dan sporozoit akan ke luar
meninggalkan ookista yang pecah lalu memasuki hemokel tubuh nyamuk. Sporozoit
kemudian menyebar ke berbagai organ nyamuk. Sebagian besar sporozoit memasuki
kelenjar ludah nyamuk (salivary glands) sehingga nyamuk menjadi vektor yang infektif
dalam penularan malaria.
Di dalam tubuh seekor nyamuk Anopheles betina, dapat hidup lebih dari satu
spesies Plasmodium secara bersama sehingga dapat menyebabkan terjadinya infeksi
campuran (mixed infection).

Morfologi Plasmodium. Pada waktu berada di dalam sel-sel parenkim hati, plasmodium
didapatkan dalam bentuk skizon preeritrositik yang berbeda ukuran dan jumlah merozoit
yang ada di dalamnya. Skizon preeritrositik pada Plasmodium vivax berisi 12.000
merozoit yang berukuran sekitar 42 mikron, sedangkan pada Pl. falciparum skizon
preeritrositik berisi 40.000 merozoit yang berukuran 60 mikron kali 30 mikron dan pada
Pl. ovale skizon preeritrositik berisi 15.000 merozoit yang berukuran 75 x 45 mikron.
Pasmodium malariae tidak mempunyai bentuk skizon preeritrositik.
Spesies-spesies Plasmodium yang terdapat di dalam sel darah merah dapat
dibedakan Morfologi bentuk-bentuk stadiumnya yang khas bentuknya, yaitu bentuk
trofozoit, skizon (schizont) dan bentuk gametosit.

Trofozoit. Plasmodium mempunyai trofozoit yang berbeda bentuknya antara stadium


yang masih baru terbentuk ( trofozoit muda, early trophozoite) dan trofozoit pada stadium
yang lanjut ( trofozoit lanjut, late trophozoite).
Trofozoit muda pada Plasmodium vivax mula-mula berbentuk cincin yang mengandung
bintik-bintik basofil, kemudian berkembang menjadi trofozoit yang berbentuk amuboid
yang mengandung bintik-bintik Schuffner (Schuffner dots). Pada infeksi dengan Pl.vivax
eritrosit yang terinfeksi tampak membesar ukurannya. Pada trofozoit lanjut, selain tampak
adanya pigmen parasit sering ditemukan lebih dari satu parasit (double infection) di
dalam satu sel eritrosit.
100

Plasmodium falciparum mempunyai trofozoit muda yang berbentuk cincin yang


mempunyai inti dan tampak sebagian dari sitoplasma parasit berada di bagian tepi dari
eritrosit (bentuk ini disebut sebagai accole atau form applique). Pada infeksi dengan
Plasmodium falciparum sering dijumpai satu sel eritrosit diinfeksi oleh lebih dari satu
parasit yang mempunyai bintik kromatin ganda. Trofozoit lanjut pada spesies ini
mengandung bintik-bintik Maurer (Maurer dots).

Pada Plasmodium malariae trofozoit muda berbentuk cincin dan eritrosit yang terinfeksi
parasit ini tidak membesar ukurannya. Pl.malariae mempunyai trofozoit lanjut yang khas
bentuknya seperti pita (band-form). Tidak dijumpai bintik Schuffner pada parasit ini .

Trofozoit Plasmodium ovale mirip bentuknya dengan trofozoit Pl. vivax, yaitu adanya
bintik Schuffner dan pigmen. Bentuk khas terdapat pada eritrosit yang terinfeksi parasit
ini yaitu selain agak membesar ukurannya juga eritrosit mempunyai bentuk yang tidak
teratur dan bergerigi..

Skizon. Bentuk skizon setiap spesies Plasmodium mempunyai berbeda ukuran dan
jumlahnya maupun susunan merozoitnya.

Plasmodium vivax mempunyai skizon berukuran antara 9-10 mikron yang mengisi penuh
eritrosit yang tampak membesar ukurannya, dengan susunan merozoit yang tampak tidak
teratur.

Skizon Pl. falciparum berukuran sekitar 5 mikron mengandung merozoit yang tidak
teratur susunannya dengan eritrosit yang terinfeksi plasmodium ini tidak membesar
ukurannya.

Pada Pl. malariae skizon berukuran sekitar 7 mikron, bentuknya teratur dan mengisi
penuh eritrosit yang terinfeksi. Skizon mempunyai merozoit berjumlah 8 buah yang
tersusun seperti bunga mawar (bentuk roset).Skizon Pl. ovale mempunyai berukuran 6
101

mikron, mengisi tigaperempat bagian dari eritrosit yang terinfeksi yang agak membesar
ukurannya. Terdapat 8 buah merozoit yang susunannya tidak teratur.

Gametosit. Plasmodium vivax mempunyai bentuk gametosit yang lonjong atau bulat,
dengan eritrosit yang membesar ukurannya dan mengandung bintik-bintik Schuffner.

Gametosit Pl. falciparum mempunyai bentuk khas seperti pisang, dengan ukuran panjang
gametosit lebih besar dari ukuran diameter eritrosit.

Pl. malariae mempunyai gametosit yang berbentuk bulat atau lonjong dengan eritrosit
yang tidak membesar.

Gametosit Pl. ovale lonjong bentuknya. Eritrosit yang terinfeksi parasit ini berukuran
normal, agak membesar, atau sama besar dengan ukuran gametosit. Terdapat bintik
Schuffner pada eritrosit yang terinfeksi.

Gambaran mikroskopis khas Plasmodium. Morfologi masing-masing Plasmodium


yang terdapat di dalam darah yang diperiksa melalui hapusan darah menunjukkan
gambaran khas masing-masing Plasmodum sebagai berikut:

Plasmodium falciparum : Gametosit berbentuk seperti pisang

Gambar 45. Gametosit Plasmodium falciparum


(Sumber CDC,USA)
102

Plasmodium vivax: Trofozoit lanjut berbentuk amuboid dan sel darah merah yang
terinfeksi parasit ini tampak membesar ukurannya.

Gambar 46. Plasmodium vivax , trofozoit muda


(Sumber: CDC,USA)

Plasmodium ovale: Sel darah merah yang terinfeksi bentuknya tak teratur dan bergerigi.

Gambar 47. Plasmodium ovale


(Sumber : CDC,USA URL: http://www.CDC,USA.gov)
103

Plasmodium malariae: Trofozoit dewasa berbentuk pita (band-form).

Gambar 48 . Trofozoit Plasmodium malariae, berbentuk pita.


(Sumber: CDC,USA)

Gambar 49. Morfologi khas spesies Plasmodium


1. Trofozoit Plasmodium vivax (bentuk amuboid) 2. Trofozoit Pl.
Malaria (bentuk pita) 3. dan 4. Trofozoit Pl.falciparum ( bentuk
cincin dua inti dan infeksi ganda) 5. Schizont Pl.vivax (eritrosit
membesar) 6. Schizont Pl.malariae (bentuk roset) 7. Gametosit
Pl.falciparum (bentuk pisang) 8. Pl.ovale (bentuk eritrosit tak
beraturan).
104

MALARIA

Pada manusia malaria dapat disebabkan oleh empat spesies Plasmodium, yaitu
Plasmodium vivax, Pl. falciparum, Pl. malariae dan Pl. ovale. Malaria yang ditimbulkan
oleh empat jenis plasmodium tersebut menimbulkan malaria vivax disebut juga malaria
tertiana benigna (jinak),, malaria falsiparum atau malaria tertiana maligna (ganas).,
malaria malariae dan malaria ovale yang berbeda pola demam maupun gejala-gejala
klinis yang ditimbulkannya. Selain itu Pl. falciparum juga menimbulkan malaria
pernisiosa dan Blackwater Fever.
Bentuk sporozoit malaria ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina,
yang berbeda spesiesnya sesuai dengan daerah geografisnya. Bentuk aseksual (trofozoit)
malaria yang menimbulkan trophozoite-induced malaria dapat ditularkan melalui tranfusi
darah (transfusion malaria), melalui jarum suntik atau menular melalui plasenta dari ibu
ke bayi yang dikandungnya (congenital malaria).

Epidemiologi malaria. Berbagai faktor berpengaruh pada epidemiologi malaria, yaitu


adanya sumber infeksi, baik berupa penderita maupun karier gametosit, adanya vektor
penular yaitu nyamuk Anopheles, dan terdapatnya manusia yang peka. Di daerah
endemis, penderita terutama anak-anak merupakan sumber infeksi yang paling utama.
Sebaran malaria sangat luas di seluruh dunia (kosmopolit), baik di daerah tropis,
subtropis maupun daerah beriklim dingin. Lebih dari 3,2 miliar penderita malaria telah
dilaporkan pada tahun 2005 meliputi 107 negara-negara yang merupakan daerah endemis
malaria yang mengakibatkan 1 juta orang meninggal termasuk korban anak-anak.
Malaria di Indonesia dilaporkan endemis maupun sporadis di Jawa-Bali maupun di pulau-
pulau lainnya. Beberapa daerah endemis tinggi malaria di Indonesia adalah Propinsi
Maluku dan Maluku Utara, Papua dan Papua Barat, Propinsi Sumatera Utara (di
Kabupaten Nias dan Nias Utara) serta Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 2008
sebanyak 1,62 juta kasus malaria klinis telah dilaporkan.
Tingkat endemisitas malaria di suatu daerah dapat ditentukan melalui
pemeriksaan indeks limpa (spleen index, SI), dan indeks parasit (parasite index, PI ).
105

Penelitian atas nyamuk Anopheles yang menjadi vektor penularnya juga harus dilakukan
untuk menentukan angka infeksi (infection rate) dan kepadatan nyamuk (mosquito
density). Faktor manusia lainnya adalah tingginya angka kematian akibat malaria, angka
kesembuhan sesudah menderita malaria dan status kekebalan populasi terhadap penyakit
malaria. Lingkungan hidup daerah endemis yang berpengaruh pada kehidupan nyamuk
yang menjadi vektor penular malaria maupun yang terkait dengan kehidupan sosial
ekonomi dan budaya penduduk harus dipelajari dengan seksama.
Faktor parasit yang penting adalah virulensi Plasmodium, dan kemampuan untuk
kambuh (relaps), dan tetap berada di dalam tubuh hospes. Pl. falciparum merupakan
parasit malaria yang paling virulen, sedangkan Pl. malariae menyebabkan malaria yang
paling ringan.
Faktor-faktor nyamuk Anopheles yang harus diperhatikan adalah adanya tempat
berkembang biak nyamuk (breeding places), panjangnya umur nyamuk, dan efektifitas
Anopheles dalam bertindak selaku vektor penular, serta dosis sporozoit yang diinokulasi
setiap kali mengisap darah penderita donor maupun resipien.

Indeks limpa. Untuk menentukan indeks limpa pada penduduk, dilakukan pengukuran
besarnya limpa pada anak berumur antara 2 sampai dengan 9 tahun, pada saat penyakit
malaria berada di puncak serangan dan limpa berada pada ukuran maksimum.
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan metoda Schuffner atau disesuaikan dengan
ukuran lebar jari di bawah iga kiri.

Gambar 50. Pengukuran pembesaran limpa (metoda Schuffner)


106

Pada waktu mengukur besarnya limpa, dinding perut ditekan hati-hati (karena limpa
mudah pecah) dengan posisi penderita dalam keadaan tidur atau berdiri. Lihat gambar.

Derajat endemisitas malaria. Berdasar indeks limpa, endemisitas daerah malaria


diklasifikasi oleh World Health Organization (WHO) menjadi empat tingkatan, yaitu
Hipoendemis jika indeks limpa antara 0 sampai 10 persen, Mesoendemis jika indeks
limpa antara 11 sampai 50 persen, Hiperendemis jika indeks limpa selalu di atas 75
persen disertai tingginya indeks limpa pada orang dewasa dan Holoendemis jika indeks
limpa selalu di atas 75 persen tetapi dengan indeks limpa pada orang dewasa yang
rendah. Holoendemisitas menunjukkan bahwa telah terjadi toleransi yang kuat pada orang
dewasa terhadap malaria.

Indeks parasit (IP). Arti dari indeks parasit adalah jumlah persentase anak berumur
antara 2 dan 9 tahun yang pada pemeriksaan tetes tebal darah tepi menunjukkan adanya
Plasmodium. Di daerah endemis, indeks parasit pada anak selalu lebih tinggi dari pada
indeks parasit pada orang dewasa.

Angka infeksi nyamuk. Untuk menentukan angka Infection rate (IR), dilakukan
pembedahan lambung nyamuk Anopheles untuk menemukan ookista dan memeriksa
kelenjar ludah nyamuk untuk menunjukkan adanya sporozoit.

Parasite rate. Parasite-rate adalah persentase orang yang darahnya mengandung parasit
malaria dibanding populasi seluruh penduduk.

Gejala klinis malaria. Sebelum menunjukkan gejala klinis malaria yang khas, setiap
jenis malaria mempunyai masa inkubasi yang berbeda-beda. Masa inkubasi pada malaria
falciparum berlangsung antara 8 sampai 12 hari dan pada malaria malariae antara 21 dan
40 hari. Inkubasi malaria vivax dan malaria ovale berlangsung antara 10 sampai 17 hari.
Malaria menunjukkan gejala-gejala klinis yang khas yaitu demam berulang,
splenomegali dan anemia. Demam pada malaria terdiri dari tiga stadium yaitu stadium
rigor (kedinginan ) yang berlangsung antara 20 menit sampai 1 jam, stadium panas badan
107

antara 1-4 jam dan stadium berkeringat banyak yang berlangsung antara 2-3 jam.
Anemia yang terjadi pada malaria umumya disertai dengan keluhan malaise penderita.

Demam malaria. Terjadinya demam yang berulang pada setiap jenis malaria sesuai
dengan saat terjadinya skizogeni eritrositik pada masing-masing spesies Plasmodium.
o
C
40

39

38

37

36

o
40
C 12 24 36 Gambar
48 51. Pola demam 72 malaria tertiana, malaria kuartana dan
malaria tertiana maligna
39 (URL: http://www.parasitology.com.cn/UploadFile/2009-/)

38

37

36
108

Siklus demam pada malaria tertiana berlangsung setiap hari ke-3 (siklus 48 jam)
sedangkan pada malaria kuartana demam terjadi setiap hari ke-4 (siklus 72 jam).
Jika berlangsung siklus demam 24 jam hal dapat terjadi jika terdapat pematangan
2 generasi Pl. vivax dalam waktu 2 hari (disebut tertiana dupleks), atau pematangan 3
generasi Pl. malariae dalam waktu 3 hari ( disebut kuartana tripleks).
Stadium demam malaria biasanya diikuti oleh berbagai gejala dan keluhan
penderita, misalnya pada stadium rigor, penderita menggigil meskipun suhu badan
penderita di atas normal. Stadium panas malaria sering kali diikuti oleh menjadi
keringnya kulit penderita, muka penderita menjadi merah dan denyut nadi meningkat.
Selain itu penderita juga mengeluh pusing, mual, dan kadang-kadang muntah. Akibat
demam yang tinggi anak dapat mengalami kejang-kejang (febril convulsion). Akibat
keluarnya cairan yang berlebihan pada stadium berkeringat, penderita merasa sangat
lelah dan badan menjadi lemah.

Anemia malaria. Pecahnya eritrosit yang berulang kali selama terjadinya proses
segmentasi parasit di dalam eritrosit menyebabkan jumlah darah menurun. Penderita
mengalami anemia hipokromik mikrositik atau anemia hipokromik normositik.

Pembesaran limpa. Splenomegali yang terjadi sesudah penderita mengalami beberapa


kali serangan demam merupakan salah satu gejala penting malaria. Biasanya limpa mulai
teraba pada minggu kedua sejak terjadinya demam pertama. Penderita dengan malaria
primer sukar ditentukan pembesaran limpanya karena limpa hanya sedikit membesar.
Dengan mengukur pembesaran limpa dapat ditentukan derajat endemisitas malaria di
suatu daerah.

Diagnosis pasti malaria. Untuk menetapkan diagnosis pasti malaria harus ditemukan
Plasmodium di dalam darah penderita. Pada pemeriksaan darah tepi kadang-kadang
parasit malaria sukar ditemukan karena penderita telah atau sedang mendapatkan
pengobatan antimalaria. Parasit juga sukar ditemukan jika darah tepi diambil pada waktu
penderita tidak demam (masa apireksia) atau diambil pada hari ke-2 atau ke-3 sesudah
infeksi primer terjadi.
109

Darah tepi diperiksa secara mikroskopis dengan tetes tebal (thick-smear) atau dengan
hapusan darah (thin-smear). Dengan pemeriksaan tetes tebal dapat ditentukan diagnosis
malaria secara cepat, tetapi spesies parasit Plasmodium belum dapat ditentukan. Dengan
hapusan darah (thin-smear) spesies parasit penyebab malaria dapat ditentukan.
Jika konsentrasi Plasmodium di dalam darah sangat rendah, maka untuk
membantu menegakkan diagnosis malaria dilakukan pemeriksaan serologi atas darah
tepi, misalnya tes prisipitin dan uji fiksasi komplemen yang menggunakan Plasmodium
knowlesi sebagai antigennya.
Pada pemeriksaan darah gambaran darah menunjukkan kadar hemoglobin yang
menurun, bilirubin yang meningkat. jumlah leukosit yang normal atau menurun, jumlah
trombosit menurun, aspartat amino transferase meningkat, dan alanin amino transferase
meningkat.

Obat-obat antimalaria. Obat anti malaria dapat dikelompokkan menjadi dua golongan,
yaitu alkaloid alami, misalnya kina dan antimalaria sintetik.
Obat-obat antimalaria sintetik yang sering digunakan adalah 9-aminoakridin
(mepakrin) misalnya atabrin, kuinakrin, 4-aminokuinolin (klorokuin, amodiakuin), 8-
aminokuinolin (pamakuin, primakuin), biguanid (proguanil, klorproguanil) dan pirimidin
(pirimetamin). Obat antimalaria lainnya adalah mefloquine, halofantrin dan qinghaosu.
Obat antimalaria yang dapat diberikan dalam bentuk kombinasi adalah pirimetamin dan
sulfadoksin yang dipasarkan sebagai fansidar.

Klorokuin (chloroquine). Indikasi pemberian klorokuin adalah untuk mengobati malaria


akut, malaria pada anak, malaria dengan koma atau muntah dan untuk pencegahan
malaria. Untuk mengobati malaria falsiparum dan malaria malariae yang masih sensitif
dapat diobati dengan klorokuin saja, sedangkan untuk mengobati malaria vivax dan
malaria ovale pemberian klorokuin sebaiknya diikuti pemberian primakuin.
Klorokuin per oral diberikan pada orang dewasa dengan dosis total 1500 mg
(base) dalam waktu 3 hari, sedangkan untuk anak diberikan dosis total 25 mg (base)/kg
berat badan dalam waktu 3 hari.
110

Klorokuin intravena hanya diberikan pada malaria berat atau penderita yang tidak dapat
menelan obat. Obat diberikan dengan dosis10 mg(base)/kg berat badan selama 8 jam
infus, diikuti 15 mg(base)/kg berat badan selama 24 jam.
Klorokuin intramuskuler atau subkutan diberikan dosis 2,5 mg(base)/kg berat badan
setiap 4 jam, sampai tercapai dosis total 25 mg/kg berat badan.

Amodiakuin. Obat ini bekerja terhadap bentuk skizon semua spesies Plasmodium,
dengan dosis 600 mg yang diberikan dalam bentuk dosis tunggal. Untuk terapi
pencegahan amodiakuin diberikan 400 mg satu kali per minggu.

Pirimetamin. Obat ini hanya diberikan sebagai terapi pencegahan, dengan dosis 25 mg
per oral satu kali per minggu. Tidak dianjurkan untuk terapi radikal, karena lambat
bekerja sehingga ditakutkan terjadinya resistensi terhadap obat ini.

Pirimetamin-sulfadoksin (Fansidar). Kombinasi 500 mg sulfadoksin dan 25 mg


pirimetamin (1 tablet Fansidar) digunakan mengobati malaria falsiparum akut tanpa
komplikasi. Penderita dewasa diberi 3 tablet Fansidar dosis tunggal, sedangkan dosis
anak antara 0.5 tablet sampai 2 tablet sesuai dengan berat badan anak.
Kombinasi obat ini tidak dianjurkan untuk pencegahan malaria karena adanya
risiko alergi berat pada kulit dan juga tidak boleh diberikan pada perempuan hamil dan
ibu yang menyusui anak. Hati-hati penggunaan obat ini pada penderita dengan gangguan
berat pada fungsi hati dan ginjal.

Biguanid (proguanil). Proguanil hidroklorida digunakan untuk mencegah malaria


falciparum dengan dosis 100 mg per hari selama 5 hari atau 300 mg sebagai dosis tunggal
diikuti dengan dosis supresif 100 mg-300 mg per minggu. Dosis anak antara 50 mg/hari
(umur di bawah 1 tahun) sampai 200 mg/hari (umur 9-12 tahun). Proguanil dapat
digunakan untuk mencegah malaria pada perempuan hamil. Efek samping yang dapat
terjadi adalah rasa lemah, muntah, diare, nyeri punggung dan urtikaria.
Proguanil tidak dapat digunakan untuk mencegah kekambuhan pada malaria vivax.
111

Primakuin. Obat ini bekerja terhadap bentuk seksual dan bentuk eksoeritrositik sekunder
Plasmodium. Obat ini satu-satunya obat antimalaria yang efektif terhadap bentuk
hipnozoit Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale dan diberikan pada malaria vivax dan
malaria ovale dengan dosis 2x7,5 mg(base) per hari selama 14 hari sesudah mendapatkan
pengobatan radikal dengan klorokuin. Dosis anak: 0,25 mg(base)/kg berat badan /hari
selama 14 hari. Primakuin juga ditujukan untuk memberantas gametosit Plasmodium
falciparum dengan dosis 45 mg (base) dosis tunggal, dan dosis anak 0,5-0,75 mg
(base)/kg berat badan dosis tunggal. Primakuin merupakan 8-aminokuinolin yang paling
efektif dan rendah efek sampingnya, berupa sakit perut atau anemia ringan. Pada
penderita dengan defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G-6-PD), dapat
menimbulkan anemia hemolitik akut. Penderita penyakit ginjal atau penyakit hemolitik
merupakan kontraindikasi pemberian primakuin.

Kuinin (quinine). Kina adalah alkaloid alami yang bersifat skisontosid terhadap semua
spesies Plasmodium termasuk Plasmodium falciparum yang resisten terhadap klorokuin
dan obat lainnya. Kuinin juga efektif mengobati gametosit Plasmodium vivax, malariae
dan ovale tetapi tidak aktif terhadap Pl.falciparum. kuinin parenteral merupakan obat
pilihan untuk mengobati malaria falsiparum yang berat.
Di daerah malaria peka kuinin, kuinin sulfat diberikan pada orang dewasa dan
perempuan hamil dengan dosis 600 mg 3 kali sehari selama 7 hari. Dosis anak adalah 10
mg (base)/kg berat badan 3 kali sehari selama 7 hari. Di daerah malaria resisten terhadap
banyak obat kuinin sulfat sebaiknya dikombinasi dengan tetrasiklin.
Efek samping kina disebut cinchonisme dengan gejala dan keluhan berupa tuli ringan,
tinnitus, pusing dan sakit kepala, gangguan penglihatan, denyut jantung tak teratur dan
gangguan lambung.
Kontraindikasi bagi pemberian kina adalah penderita hipersensitif terhadap
kuinin, penyakit ginjal, malaria berat pada perempuan hamil dan anak, penderita neuritis
optika dan penderita dengan hemoglobulinuri.

Mefloquine (meflokuin). Obat ini bekerja terhadap bentuk aseksual plasmodium,


termasuk Plasmodium falciparum dan juga efektif terhadap gametosit Plasmodium vivax,
112

Pl.malariae dan Pl. ovale. Untuk pengobatan malaria, meflokuin ditujukan untuk
mengatasi serangan akut malaria falsiparum yang sudah resisten terhadap banyak obat
dengan dosis untuk orang dewasa dan perempuan hamil trimester -2 dan 3 serta anak
sebesar 15 mg (base)/kg berat badan sebagai dosis tunggal. Karena hanya dapat diberikan
per oral, obat ini tidak dianjurkan diberikan pada malaria berat.

Meflokuin dapat diberikan untuk terapi pencegahan bagi orang non-imun yang
berkunjung ke daerah endemis malaria falsiparum yang sudah resisten terhadap banyak
obat dengan dosis 250 mg per minggu, yang diberikan 1 minggu sebelum terpapar sampai
3-4 minggu sesudah meninggalkan daerah endemis malaria.

Meflokuin tidak boleh diberikan pada perempuan hamil trimester-1 dan penderita yang
sedang mendapatkan pengobatan dengan obat kardioaktif (beta-blocker maupun calcium-
channel blocking agents).

Halofantrin (halofantrine). Obat yang bersifat skisontisid ini digunakan untuk


mengobati malaria falsiparum tanpa komplikasi yang resisten terhadap banyak obat,
dengan dosis orang dewasa per oral 4x 500 mg sebanyak tiga dosis.

Qinghaosu (artemisinin). Obat ini dan derivatnya yaitu artemeter (artemether) dan
artesunat (artesunate) efektif terhadap bentuk aseksual Plasmodium vivax dan
Pl.falciparum. Artemeter intramuskuler dan artesunat intravenus digunakan untuk
mengobati malaria falsiparum yang berat dan malaria serebral, sedangkan malaria
falsiparum yang telah resisten pada banyak obat diobati dengan artesunat per oral.

Dosis artesunat per oral adalah 200 mg pada hari pertama, diikuti 100 mg/hari selama 4
hari berikutnya. Pengobatan parenteral artemeter diberikan intramuskuler sebesar 160 mg
diikuti 80 mg/hari selama 4 hari atau artesunat intravenus 120 mg. Dilanjutkan 60
mg/hari selama 4 hari.

Qinghaosu tidak boleh diberikan pada perempuan hamil.


113

Pengobatan terhadap spesies Plasmodium


Pengobatan terhadap spesies-spesies plasmodium dapat dilakukan terhadap malaria akut
(terapi radikal) atau terapi pencegahan. Pengobatan malaria yang pada orang dewasa
yang waktu ini banyak dilakukan adalah sebagai berikut:

Terapi radikal (akut):

1. Malaria falciparum :
a. Klorokuin: 1x 600 mg selama 2 hari. Pada hari ke-3 diberikan 1x 300 mg.
b. Primakuin : dosis tunggal 15 mg sehari , diberikan selama 3 hari .
2. Malaria lainnya:
a. Klorokuin: hari ke-1 dan 2 diberikan 600 mg dosis tunggal. Hari ke 3
diberikan 300 mg
b. Primakuin: dosis 15 mg sehari diberikan selama 5 hari.
3. Malaria falciparum resisten klorokuin:
a. Fansidar ( sulfadoksin + pirimetamin ): dosis tunggal 3 tablet , ditambah
Primakuin dosis tunggal 45 mg pada hari ke-1.
b. Kina 3x 400 mg sehari selama 7 hari , ditambah Primakuin dosis tunggal
45 mg pada hari ke-1.
c. Amodiaquin : pada hari ke-1 diberikan 600 mg , diikuti 400 mg 6 jam
kemudian. Hari ke-2 dan 3 diberikan 400 mg, ditambah Eritromisin 3x
500 mg/hari selama 5 hari.
d. Kina diberikan 3x400 mg selama 7 hari , ditambah Tetrasiklin 3x500 mg
selama 5 hari.
Untuk malaria falsiparum yang sudah resisten terhadap berbagai jenis obat
dapat diberikan artesunate 200 mg diikuti dosis 100 mg/hari selama 4 hari.

4. Malaria pernisiosa ( cerebral malaria ):


a. Infus kina dihidroklorid, 600 mg dalam 500 ml garam faali diberikan
selama 4 jam , yang dapat diulang setiap 8 jam.
114

b. Klorokuin sulfat , 300 mg dalam 200 ml garam faali, diberikan per infus
selama 30 menit, dapat diulang setiap 8 jam. Bila penderita sadar, obat-obat
diberikan per oral sesuai dengan terapi radikal.
c. Artemeter dan artesunate yang merupakan turunan qinghaosu, diberikan
dengan dosis 160 mg artemeter intramuskuler diikuti 80 mg per hari selama 4
hari atau 120 mg artesunat infus intravenus diikuti 60 mg per hari selama 4
hari.

Kekebalan (resistensi) terhadap obat anti malaria. Malaria sulit diberantas karena
telah terjadi kekebalan parasit malaria di daerah endemis terhadap obat-obat anti malaria
yang digunakan.

Parasit dinyatakan telah kebal (resisten) terhadap obat, jika parasit mampu tetap hidup
dan berkembang biak meskipun telah diobati dengan dosis yang dianjurkan atau dengan
dosis yang lebih tinggi yang masih dapat ditoleransi oleh penderita. Spesies Plasmodium
yang paling sering dilaporkan telah resisten terhadap obat anti malaria adalah
Plasmodium falciparum yang telah kebal terhadap proguanil dan sikloguanil pamoat di
berbagai daerah di Asia dan Afrika, dan terhadap pirimetamin di Asia, Pasifik, Afrika dan
Amerika Selatan.
Plasmodium falciparum juga dilaporkan telah resisten terhadap klorokuin yang banyak
digunakan untuk mengendalikan malaria di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dan di
Amerika Selatan.

Tingkat Kekebalan. Plasmodium dinyatakan sensitif terhadap obat anti malaria tertentu,
jika dalam waktu 7 hari pengobatan, parasitemi bentuk aseksual telah menghilang tanpa
diikuti kekambuhan (rekrudesensi). Plasmodium yang masih sensitif ini dinyatakan
Sensitif (S).

Tingkat kekebalan parasit malaria terhadap obat anti malaria dapat digolongkan atas
derajat kekebalan R-I dan R-II. Pada kekebalan derajat R-I parasitemi bentuk aseksual
menghilang dalam waktu 7 hari pengobatan, tetapi kemudian diikuti kekambuhan,
115

sedangkan pada kekebalan derajat II, sesudah pengobatan 7 hari parasitemi bentuk
aseksual menurun tetapi tidak menghilang seluruhnya. Untuk memberantas malaria jika
telah terjadi resistensi parasit terhadap obat anti malaria, maka obat malaria harus segera
diganti dengan obat anti malaria lainnya. Pengendalian malaria juga dilakukan dengan
meningkatkan pemberantasan nyamuk Anopheles yang menjadi vektor penularnya.

Menurut Drugs for Parasitic Infections, The Medical Letter, Vol.46 (Issue 1189), obat
oral pilihan (drug of choice) untuk malaria adalah sebagai berikut: .

(a). Malaria falciparum di daerah resisten klorokuin


Obat pilihan : Atovaquone/proguanil : dosis dewasa 4 tablet dewasa/hari selama 3 hari.
Dosis anak berdasar berat badan, diberikan sebagai dosis tunggal selama 3 hari:
5 kg-10 kg: 2-3 tablet anak/hari
11-20 kg : 1 tablet dewasa/hari
21-30 kg : 2 tablet dewasa/hari
31-40 kg : 3 tablet dewasa/hari
Lebih dari 40 kg: 4 tablet dewasa/hari.
atau
Quinine sulfate. Dosis dewasa 3x650 mg/hari selama 3-7 hari
Dosis anak: 30 mg/kg/hari terbagi 3 dosis, selama 3-7 hari.
plus
Doxycycline. Dosis dewasa 2x100 mg selama 7 hari;dosis anak 4 mg/kg/hari
selama 7 hari
atau plus
Tetrasiklin. Dosis dewasa 4x250 mg selama 7 hari; anak: 4x6.26 mg/kg/hari
diberikan selama 7 hari.
atau plus
Pyrimetamin-sulfadoxine diberikan pada hari terakhir pemberian quinine.
Dewasa : 3 tablet.
Anak: berdasar berat, diberikan sebagai dosis tunggal pada hari terakhir
pemberian quinine.
< 5 kg : tablet
5-10 kg: tablet
11-20 kg: 1 tablet
21-30 kg: 1 tablet
31-40 kg: 2 tablet
>40 kg: 3 tablet
116

atau plus Clindamycin. Dosis dewasa/anak: 20 mg/kg/hari terbagi 3 dosis ,


selama 7 hari.

Obat pengganti untuk obat pilihan adalah:


Mefloquine:
Dewasa: 750 mg diikuti 12 jam kemudian dengan 500 mg
Anak: 15 mg/kg diikuti 12 jam kemudian dengan 10 mg/kg berat badan.

Artesunate plus Mefloquine:


Artesunate. Dewasa/anak: 4 mg/kg/hari selama 3 hari.
Mefloquine: Dewasa: 750 mg diikuti 12 jam kemudian dengan 500 mg
Anak: 15 mg/kg diikuti 12 jam kemudian dengan 10 mg/kg

(b). Malaria vivax di daerah resisten klorokuin (oral)


Obat pilihan: Quinine sulfate plus Doxycycline atau Mefloquine .
Dosis: Quinine sulfate: Dewasa: 3x 65 mg selama 3-7 hari.
Anak: 30 mg/kg/hari terbagi 3 dosis, selama 3-7 hari.
Doxycycline. Dewasa: 2x 100 mg (anak: 2x 4 mg/kg/hari ) selama 7 hari.
Mefloquine: Dewasa: 750 mg diikuti 12 jam kemudian 500 mg.
Anak: 15 mg/kg diikuti 12 jam kemudian 10 mg/kg.

Obat pengganti: Klorokuin Plus Primakuin


Dosis klorokuin: 25 mg (base)/kg terbagi dalam 3 dosis selama 48 jam.
Dosis primakuin: 30 mg (base)/hari (dewasa); 0.6 mg/kg/hari (anak)
selama 14 hari.

(c). Pengobatan oral Plasmodium lainnya, kecuali P.falciparum yang resisten


klorokuin dan P.vivax yang resisten klorokuin
Obat pilihan: Klorokuin fosfat
Dosis dewasa: 1 gram (600 mg base), lalu 500 mg 6 jam kemudian, lalu 500 mg
pada 24 jam dan 48 jam kemudian.
Dosis anak 10 mg base/kg maksimum 600 mg base, lalu 5 mg base/kg 6 jam
kemudian, lalu pada 24 jam dan 48 jam.
(d). Pengobatan parenteral pada semua jenis Plasmodium
Obat pilihan: Quinidine gluconate atau Quninine dihydrochloride.
Obat pengganti: Arthemeter
117

(e). Mencegah kekambuhan P.vivax dan P.ovale : Primakuin fosfat


Dosis dewasa: 30 mg base/hari selama 14 hari;
Dosis anak: 0.6 mg base/kg/hari selama 14 hari.

(f). Pencegahan malaria di daerah sensitif-klorokuin


Obat pilihan: Klorokuin fosfat atau Atovakuon/ Proguanil
Dosis Klorokuin fosfat: Dewasa, 500 mg (300 mg base), satu kali per minggu.
Anak: 5 mg/kg base, satu kali per minggu (maks. 300 mg base)
Dosis Atovakuon/Proguanil: Dewasa: 1 tablet dewasa/hari
Anak: 11-40 kg: 1-3 tablet anak/hari;
> 40 kg: 1 tablet dewasa/hari

(g). Pencegahan malaria di daerah resisten-klorokuin


Obat pilihan: Meflokuin atau Doksisiklin
Dosis Meflokuin : Dewasa 250 mg satu kali per minggu
Anak: 6 kg-20 kg: tablet ; 21 kg-45 kg: - tablet;
> 45 kg: 1 tablet, diberikan satu kali per minggu.
Dosis Doksisiklin: Dosis dewasa: 100 mg per hari:
Dosis anak: 2 mg/kg/hari maksimum 100 mg/hari
Obat Pengganti: Primakuin ; atau klorokuin fosfat plus proguanil
Dosis Primakuin: Dosis dewasa: 30 mg base/hari; anak: 0.6 mg/kg base/hari
Klorokuin fosfat: Dosis dewasa: 300 mg base diberikan satu kali per minggu
Dosis anak: 5 mg/kg base (maks.300 mg) satu kali per minggu
Proguanil: Dosis dewasa: 200 mg satu kali per hari
Dosis anak: umur < 2tahun: 50 mg; umur 2-6 tahun:100 mg;
Umur 7-10 tahun:150 mg;
Umur >10 tahun: 200 mg diberikan satu kali per hari.
(h). Terapi presumtif sendiri (Self-presumptive treatment)
Obat pilihan: Atovaquone/proguanil: dosis dewasa: 4 tablet dewasa/hari selama 3 hari
Dosis anak: 5-10 kg: 2-3 tablet anak: 11-30 kg: 1-2 tablet dewasa;
118

31-40 kg: 2-3 tablet dewasa; > 40 kg: 4 tablet dewasa, satu kali per hari
diberikan selama 3 hari.
atau Pyrimrthamine-sulfadoxine: dosis dewasa: 3 tablet satu kali;
Dosis anak: <5kg: tablet; 6-20 kg: -1 tablet; 2-40 kg: 1 - 2 tablet;
>40 kg: 3 tablet diberikan satu kali.

Mencegah penularan malaria. Untuk mengatasi penularan malaria, pencegahan malaria


harus dilakukan baik secara perorangan maupun terhadap masyarakat. Penderita dan
penduduk yang peka yang berdiam di daerah endemis harus diobati dengan baik. Selain
itu karier malaria diobati dengan primakuin, karena obat ini mampu memberantas bentuk
gametosit. Obat ini tidak boleh digunakan secara masal karena mempunyai efek samping.
Selain itu harus dilakukan pengobatan pencegahan pada orang-orang yang akan
memasuki daerah endemis malaria terutama yang tidak memiliki imunitas terhadap
parasit malaria.
Pemberantasan nyamuk Anopheles yang menjadi vektor penularnya di daerah
endemis harus dilakukan dengan baik dengan menggunakan insektisida yang sesuai serta
dilakukan pemusnahan sarang-sarang nyamuk Anopheles secara teratur.
Gigitan nyamuk harus dicegah dengan menggunakan kelambu pada waktu tidur, atau
menggunakan repellen yang diusapkan malam hari pada kulit badan jika berada di luar
rumah pada malam hari.

Malaria pernisiosa

Yang dimaksud malaria pernisiosa (pernicious malaria) adalah sekumpulan gejala-gejala


yang terjadi akibat pengobatan malaria falciparum yang tidak sempurna, yang dapat
menimbulkan kematian penderita dalam waktu satu sampai tiga hari sesudah pengobatan.

Perubahan patologis. Akibat terjadinya proses skizogoni eritrositik Plasmodium


falciparum terjadi di dalam pembuluh darah kapiler organ yang dapat menimbulkan
aglutinasi eritrosit yang terinfeksi sehingga menyebabkan pembuluh darah kapiler
119

berbagai organ terbendung. Akibatnya terjadi emboli parasit yang tidak mampu melewati
pembuluh kapiler. Pada Plasmodium falciparum bentuk trofozoit dan bentuk seksual
parasit saling melekat dan juga mudah melekat pada dinding kapiler.
Karena itu malaria pernisiosa terjadi pada parasitemi plasmodium yang berat, baik
plasmodium bentuk cincin maupun bentuk skizon.

Gambaran klinis malaria pernisiosa. Malaria pernisiosa mempunyai tiga gambaran


klinis yaitu malaria serebral, malaria algid dan malaria septikemik.
1. Malaria serebral terjadi akibat adanya kelainan otak yang menyebabkan terjadinya
gejala-gejala hiperpireksia, paralisis dan koma.
2. Malaria algid mempunyai tiga tipe yaitu tipe gastrik, tipe koleraik dan tipe
disenterik. Malaria algid terjadi akibat kegagalan sirkulasi perifer sehingga
penderita mengalami kolaps dengan gejala kulit lembab dan dingin. Malaria algid
tipe gastrik kolaps disertai muntah, terjadi diare pada tipe koleraik, dan penderita
malaria algid tipe disenteri mengalami berak darah.
3. Pada malaria septikemik penderita mengalami panas badan yang selalu tinggi,
disertai gejala pneumonia dan sinkop kardiak.

Blackwater Fever

Penyakit ini merupakan bentuk malaria falciparum yang disertai hemolisis intravaskuler,
demam dan hemoglobinuria yang sering terjadi pada penderita malaria falciparum yang
tidak memiliki kekebalan terhadap malaria (non imun) mendapatkan terapi kina dengan
dosis rendah. Selain itu penderita malaria falsiparum yang mengalami defisiensi glukosa-
6-fosfat dehidrogenase (G-6-PD) mudah mengalami hemolisis eritrosit.
Berbagai faktor antara lain suhu rendah, lelah, trauma, ibu hamil, saat melahirkan dan
radiasi terhadap limpa mungkin juga berpengaruh pada timbulnya Blackwater Fever.

Perubahan patologi. Hemolisis intravaskuler yang terjadi pada Blackwater Fever


menyebabkan timbulnya gejala-gejala methemalbuminemia, hiperbilirubinemia dan
120

hemoglobinuria. Selain itu berbagai organ antara lain ginjal, hati, kandung empedu dan
limpa mengalami perubahan patologi. Ginjal penderita membesar dan berwarna gelap
karena terjadinya pembendungan dan pigmentasi. Hati membesar ukurannya, melunak
dan berwarna kuning karena adanya timbunan hemosiderin. Kandung empedu penderita
terisi cairan empedu yang pekat dan berwarna hijau gelap. Limpa yang membesar,
berwarna hitam karena adanya pigmen hemozoin. Di dalam organ-organ hati, limpa dan
ginjal. banyak tertimbun hemosiderin. Pada waktu terjadi krisis hemolitik, parasit tidak
dapat ditemukan di dalam darah karena turut dihancurkan oleh proses hemolisis. Satu
minggu sesudah krisis hemolisis berakhir, parasit dapat ditemukan kembali di dalam
darah penderita.

Pemeriksaan darah. Pada pemeriksaan darah penderita Blackwater Fever tampak


gambaran adanya anemia normositik dengan jumlah sel darah merah kurang dari 2 juta
per mililiter, dan kadar hemoglobin yang rendah. Selama masa penyembuhan, tampak
adanya retikulositosis dan leukositosis netrofilik. Pemeriksaan biokimia darah
menunjukkan meningkatnya urea darah, sedangkan kolesterol menurun dan haptoglobin
sangat menurun.

Komplikasi.. Komplikasi utama pada Blackwater Fever adalah terjadinya kegagalan faal
ginjal (uremia), kegagalan faal hati dan kolaps sirkulasi. Sebagian besar dari angka
kematian Blackwater Fever yang tingginya antara 20-25 persen, terutama disebabkan
oleh terjadinya kegagalan ginjal (uremia).

Penanganan dan pengobatan. Penderita Blackwater Fever harus banyak beristirahat dan
selalu dijaga keseimbangan cairan tubuhnya agar tidak terjadi alkalosis dan udem.
Sesuai keadaan penderita, pemberian air garam dan plasma parenteral atau transfusi darah
dapat diberikan. Apabila terjadi gagal ginjal mendadak, dialisis peritoneal dapat diberikan
dan jika terjadi krisis hemolitik kortikosteroid dapat diberikan.
Obat antimalaria yang boleh diberikan adalah klorokuin, pirimetamin atau
proguanil, sedangkan primakuin, kuinakrin dan kina tidak boleh diberikan karena sering
memicu terjadinya Blackwater fever.
121

Blastocystis

Taksonomi Blastocystis masih belum jelas apakah organisme ini termasuk ke dalam
kelompok sporozoa ataukah golongan jamur. Blastocystis tersebar luas di seluruh dunia
(kosmopolit) namun hanya Blastocystis hominis yang dapat menimbulkan gangguan
kesehatan yang ringan pada manusia.
Organisme ini berbentuk kista bulat yang berdinding tebal, dengan ukuran antara
6-40 mikron. Blastocystis mempunyai dua bentuk yaitu bentuk multi vakuoler dan
bentuk amuboid yang akan berkembang menjadi bentuk prakista berdinding tipis yang
dapat menyebabkan autoinfeksi.

Gambar 52. Blastocystis hominis


(URL: http://www.dpd.CDC,USA.gov/DPDx/images)

Gambar 53. Bentuk-bentuk Blastocystis hominis


122

Daur hidup Blastocystis hominis. Manusia terinfeksi organisme ini karena tertelan kista
berdinding tebal yang berasal dari tinja penderita. Kemudian kista menginfeksi sel epitel
usus lalu memperbanyak diri secara aseksual dan tumbuh menjadi bentuk vakuolar.
Sebagian dari bentuk vakuolar akan berkembang menjadi bentuk multi vakuolar yang
kemudian akan berkembang menjadi bentuk kista yang berdinding tipis yang berperan
dalam siklus autoinfeksi di dalam tubuh hospes.
Bentuk vakuolar lainnya akan memperbanyak diri menjadi bentuk amuboid. yang
akan berkembang menjadi bentuk prakista yang kemudian dengan proses skizogoni akan
tumbuh menjadi bentuk kista berdinding tebal yang keluar bersama tinja dan merupakan
stadium infektif pada penularan selanjutnya.

Gambar 54. Daur hidup Blastocystis hominis

Gejala klinis dan diagnosis. Infeksi Blastocystis hominis pada manusia hanya
menimbulkan gejala klinis ringan yang tidak khas berupa diare cair, nyeri perut, pruritus
perianal, dan flatulens yang berulang. Kadang-kadang penderita yang terinfeksi parasit
ini tidak menunjukkan gejala atau keluhan yang jelas.
Untuk menentukan diagnosis pasti terjadinya infeksi parasit ini harus ditemukan
kista parasit di dalam tinja penderita melalui metoda konsentrasi. Pada pemeriksaan tinja,
123

tinja tidak boleh dicampur dengan air karena akan mengakibatkan terjadinya lisis
organisme sehingga memberikan hasil pemeriksaan negatif semu.

Pengobatan dan pencegahan. Infeksi Blastocystis dapat diobati dengan metronidazol


dengan dosis 3X750 mg per hari selama 10 hari, iodokuinolin dengan dosis 3x650mg per
hari selama 20 hari atau trimethoprim-sulfamethoxazole dengan dosis 2x 1 tablet per hari
selama 7 hari. Untuk mencegah terjadinya penularan secara fekal-oral, maka makanan
atau minuman yang akan dikonsumsi harus dimasak dengan baik. Selain itu pencemaran
sumber air oleh tinja harus dicegah dan menjaga kebersihan perorangan maupun
lingkungan harus selalu dijaga.
124

Bab 3

CACING

Cacing (Helminths) adalah golongan hewan yang mempunyai banyak sel (multiseluler)
dan dengan tubuh yang bentuknya simetris bilateral. Filum cacing yang penting bagi
kesehatan manusia adalah filum Platyhelminthes dan filum Nemathelminthes. Terdapat 2
kelas yang penting dalam filum Platyhelminthes, yaitu kelas Cestoda dan kelas
Trematoda, sedangkan di kelas Nematoda yang ada di dalam filum Nemathelminthes
banyak spesies cacing yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia maupun hewan.

Morfologi dan anatomi cacing. Platyhelminthes mempunyai ciri umum yang khas yaitu
bentuk tubuh yang pipih seperti pita atau seperti daun. Sistem reproduksi Platyhelminthes
bersifat hermafrodit dimana organ kelamin jantan dan organ kelamin betina terdapat pada
satu tubuh cacing. Sistem pencernaan makanan filum ini masih belum sempurna karena
belum mempunyai usus atau ususnya tidak tumbuh sempurna. Platyhelminthes juga tidak
mempunyai rongga tubuh (body cavity).
Tubuh Nemathelminthes berbentuk silindris memanjang dan tidak mempunyai
segmen. Alat reproduksi cacing ini telah terpisah, mudah dibedakan cacing jantan dari
cacing betina. Sistem pencernaannya berupa usus yang telah sempurna, mempunyai
mulut untuk memasukkan makanan dan anus untuk mengeluarkan sisa-sisa hasil
pencernaan. Nematoda juga telah mempunyai rongga tubuh.
125

Tabel 7. Morfologi Platyhelminthes dan Nemathelminthes

Morfologi Platyhelminthes Nemathelminthes

Bentuk tubuh Berbentuk pita atau daun Berbentuk silindris

Alat reproduksi Hermafrodit (monoecious) Diecious (organ jantan


kecuali Schistosoma dan betina terpisah)

Alat pencernaan Tidak sempurna atau tidak ada Sempurna

Rongga tubuh Tidak ada Ada

Cestoda mempunyai bentuk tubuh yang pipih seperti pita yang tersusun dari banyak
segmen. Berdasar pada alat reproduksinya, Cestoda termasuk golongan cacing yang
hermafrodit (monoecious). Kepala cacing ini mempunyai alat isap (sucker) untuk
memasukkan makanan atau untuk melekatkan diri pada dinding organ misalnya usus
hospes. Seringkali cacing Cestoda juga dilengkapi dengan kait-kait (hooks) untuk
memperkuat perlekatan cacing pada organ tubuh hospes.. Cestoda tidak mempunyai
sistem pencernaan berupa usus dan tubuhnya juga tidak mempunyai rongga tubuh.

Tubuh cacing Trematoda berbentuk seperti daun, yang tidak tersusun atas segmen-
segmen. Sistem reproduksi cacing Trematoda umumnya bersifat hermafrodit
(monoecious) kecuali Schistosoma yang bersifat diecious. Cacing Trematoda juga
mempunyai alat isap (sucker), tetapi tidak mempunyai kait. Alat pencernaan makanan
sudah ada, namun ususnya tumbuh tidak sempurna dan tidak mempunyai lubang anus
untuk mengeluarkan sisa-sisa pencernaan makanan . Rongga tubuh tidak dimiliki oleh
golongan cacing ini.
126

Tabel 8. Diferensiasi morfologi Cestoda dan Trematoda

Morfologi Cestoda Trematoda

Bentuk tubuh Tubuh berbentuk pita Tubuh berbentuk seperti daun,


yang bersegmen-segmen tidak bersegmen

Alat reproduksi Hermafrodit Hermafrodit, kecuali


(monoecious) Schistosoma(diecious)

Kepala Mempunyai alat isap, Mempunyai alat isap,


seringkali berkait tidak berkait

Usus Tidak mempunyai usus Mempunyai usus yang tak


sempurna, tidak beranus

Rongga tubuh Tidak mempunyai Tidak mempunyai


rongga tubuh rongga tubuh

Tempat hidup cacing. Trematoda dewasa sebagian besar hidup di dalam usus atau
jaringan paru hospes, dan beberapa spesies lainnya hidup di dalam pembuluh darah.
Untuk melengkapi siklus hidunya trematoda selalu memerlukan siput selaku hospes
perantara (intermediate host) yang menjadi tempat perkembang biakan (multiplikasi)
stadium aseksual. Pada beberapa spesies trematoda kadang-kadang diperlukan hospes
perantara kedua tempat terbentuknya stadium infektif yang dapat menginfeksi manusia.
Cacing Cestoda dewasa hidup di dalam usus penderita, sedangkan bentuk
larvanya dapat hidup di dalam berbagai jenis organ dan jaringan hewan vertebrata yang
menjadi hospes perantara cacing tersebut.
Cacing Nematoda yang menginfeksi manusia, tergantung pada spesiesnya, ada
yang hidup di dalam usus, di dalam darah, di dalam saluran limfe atau di dalam jaringan
subkutan. Beberapa jenis nematoda yang hidup di dalam darah atau saluran limfe atau di
dalam jaringan subkutan, mempunyai bentuk larva yang harus hidup dan brkembang di
dalam tubuh nyamuk atau invertebrata lainnya sebelum dapat menginfeksi manusia.
127

CESTODA

Cacing Cestoda pada umumnya mempunyai bentuk seperti pita, pipih ke arah
dorsoventral, yang tersusun atas banyak ruas (segmen). Cestoda mempunyai ukuran
panjang yang sangat besar variasinya, antara beberapa milimeter sampai beberapa meter.

Cestoda dewasa mempunyai tubuh yang terdiri dari kepala atau skoleks (scolex), leher,
dan badan (strobila) yang tersusun dari banyak segmen yang disebut proglotid. Skoleks
cacing Cestoda mempunyai alat isap untuk menempel yang seringkali dilengkapi dengan
kait-kait yang berfungsi untuk melekatkan diri pada organ tubuh manusia atau hewan
yang menjadi hospes (host) tempatnya hidup. Segmen cacing Cestoda masing-masing
mempunyai alat reproduksi yang sudah sempurna. Setiap ekor cacing mempunyai tiga
jenis segmen, yaitu segmen imatur, segmen matur dan segmen gravid. Cacing Cestoda
telah memiliki sistem saraf dan sistem pembuangan sisa-sisa metabolisme (excretory
system).

Struktur dan bagian tubuh Cestoda:


Scolex (skoleks): kepala cacing Cestoda yang mempunyai alat isap (sucker).
Leher : bagian tubuh cacing yang terdapat di belakang kepala
Strobila: batang tubuh Cestoda yang tersusun dari banyak segmen.
Proglottid: satuan dari segmen atau ruas tubuh yang lengkap dari Cestoda.
Segmen: satu unit batang tubuh yang lengkap dari Cestoda.
Segmen imatur: segmen yang mengandung alat reproduksi jantan yang belum bisa
dibedakan dari organ betina.
Segmen matur: segmen yang mengandung alat reproduksi yang sudah dapat
dibedakan jantan betinanya.
Segmen gravid: segmen yang mengandung uterus penuh berisi telur cacing,
sedang alat reproduksi lainnya mengalami atrofi.
128

Rostellum: bagian kepala cacing Cestoda yang menonjol dan mempunyai dua
deret kait (hooklets). Jika rostellum mengalami invaginasi, maka letaknya
tersembunyi di antara alat isap.
Oncosphere (onkosfer): embrio cacing yang memiliki enam buah kait, yang
terdapat di dalam telur.
Embryophore (embriofor): selubung tipis yang membungkus onkosfer.
Cysticercus (sistiserkus): larva Cestoda yang terdapat di dalam tubuh hospes
perantara (intermediate host) terdiri dari kantung yang dindingnya mengandung
skoleks dan rongga berisi sedikit cairan yang terdapat di bagian tengah.
Cysticercoid (sistiserkoid): larva Cestoda berbentuk kantung kecil berisi skoleks
yang mengalami invaginasi di bagian proksimal, sedangkan di daerah kaudal
terdapat bagian padat yang memanjang.
Hydatid cyst (kista hidatid): bentuk kista dari larva Echinococcus.
Coracidium (korasidium): onkosfer telur Diphyllobothrium yang mempunyai silia
untuk bergerak.
Procercoid (proserkoid): stadium pertama larva Diphyllobothrium yang terdapat
di dalam tubuh siklops.
Plerocercoid (pleroserkoid ): stadium kedua larva Diphyllobothrium.
Sparganum: pleroserkoid Diphyllobothrium yang menginfeksi manusia dan
menimbulkan sparganosis.
129

Gambar 55. Bentuk-bentuk skoleks Cestoda.

a. Taenia saginat
b. Taenia solium
c.Echinococcus granulosus
d.Hymenolepis nana
e. Hymenolepis diminuta
f. Diphyllobothriumlatum

1. Alat isap (sucker) 2. Kait (hooks) 3. Celah isap


130

Gambar 56 . Segmen matang (mature segment) Cestoda


1. Uterus 2. Lubang genital 3. Testis 4. Vitelaria 5. Ovarium

(A). Hymenolepis nana. Uterus berbentuk kantung, lubang genital di


bagian lateral pada sisi yang sama pada semua segmen. Terdapat 3
buah testis, yang kedua dan ketiga terletak berdekatan.
(B). Hymenolepis diminuta. Uterus dan lubang genital seperti pada
H.nana. Mempunyai 3 testis, yang kedua dan ketiga terletak
berjauhan.
(C). Diphyllobothrium latum. Uterus melingkar berbentuk roset.
Lubang genital di permukasn ventral pertengahan segmen. Testis
berbentuk folikel-folikel kecil, terletak lateral di bagian dorsal
tubuh.
131

Gambar 57. Segmen gravid Cestoda.

(a). Diphyllobothrium latum : uterus melingkar, lubang tabung uterus


terbuka di permukaan.
(b). Hymenolepis diminuta: uterus berlobus dengan kantung-kantung telur.
(c). Hymenolepis nana: uterus berlobus dengan kantung telur melintang.
(d). Taenia solium: uterus dengan dengan cabang-cabang lateral
(e). Dipylidium caninum: uterus mirip jala (retikuler) dengan telur berada
di dalam kantung
132

Gambar 58. Kista-kista Cestoda

(a) Kista hidatid Echinococcus granulosus


(b) Cysticercoid, Hymenolepis nana
(c) Cysticercus, Taenia solium
(d) Coenurus, Multiceps

URL: http://www.umanitoba.ca/sciences/zoology/faculty
http://www.gate.net/mcorriss
http://cal.vet.upenn.edu/projects/parasit06
133

Diphyllobothrium latum

Cacing pita ikan ( fish tapeworm) yang hidup di dalam usus halus (ileum) manusia,
anjing, kucing, serigala dan hewan pemakan ikan ini menimbulkan difilobotriasis pada
manusia dan hewan-hewan pemakan ikan. Infeksi pada manusia disebut difilobotriasis
yang banyak dilaporkan dari berbagai daerah di dunia, antara lain dari Eropa Tengah,
Amerika, Jepang dan Afrika Tengah. Cacing dewasa

Anatomi dan morfologi. Diphyllobothrium latum dewasa memiliki panjang badan yang
dapat mencapai 10 meter. Segmen tubuhnya berwarna kelabu kekuningan, dengan bagian
tengah tubuhnya berwarna gelap karena adanya uterus yang penuh berisi telur.

Gambar 59. Diphyllobothrium latum


(a) kepala (b) segmen
(URL: http://workforce.cap.edu)
134

Gambar 60. Bagan Morfologi Diphyllobothrium latum


A. Skoleks B. Segmen matur
1. Uterus 2. Testis 3. Ovarium

Skoleks (scolex). Skoleks cacing ini berbentuk mirip sendok, dengan panjang antara 2-3
mm dan lebar 1 mm. Di bagian kepala terdapat dua lekukan yang berbentuk celah
(bothria), yang pertama terletak di permukaan bagian dorsal dan celah yang lain terletak
di permukaan tubuh sebelah ventral. Skoleks tidak mempunyai rostelum maupun kait.

Leher. Cacing mempunyai leher yang kecil yang jauh lebih panjang dari ukuran panjang
skoleks dan tidak bersegmen.

Proglotid (proglottids). Diphyllobothrium latum mempunyai 3000 sampai 4000 buah


segmen yang bentuknya melebar.

Segmen matur (mature segments). Segmen yang penuh berisi alat reproduksi jantan dan
betina ini ukuran panjangnya antara 2-4 mm dengan lebar segmen antara 10-20 mm.

Terminal segment. Segmen yang terletak paling ujung yang mengerut karena kosong,
sudah tidak lagi berisi telur yang secara terus menerus dikeluarkan oleh induk cacing
melalui uterine pore. Terminal segment akan terlepas secara berantai dan keluar bersama
tinja penderita.
135

Ovarium. Ovarium tampak melingkar di bagian tengah segmen, berbentuk roset dan
mempunyai dua lobus yang berukuran besar.

Telur. Telur yang berukuran sekitar 70x 45 mikron ini berbentuk lonjong, berwarna
coklat, mempunyai operkulum pada salah satu ujungnya dan terdapat tonjolan kecil
(knob) di ujung lainnya.

Larva. Sesudah telur menetas di air terbentuk tiga stadium larva yaitu korasidium
(coracidium) yang merupakan larva stadium pertama, yang kedua adalah larva proserkoid
(procercoid) dan pleroserkoid (plerocercoid) sebagai stadium yang ketiga.

Gambar 61. Diphyllobothrium latum


(a). telur (b). Korasidium (c). Proserkoid (d). Pleroserkoid

Daur hidup. Dalam daur hidupnya Diphyllobothrium latum melibatkan satu hospes
definitif dan dua hospes perantara. Manusia, anjing atau kucing adalah hospes definitif
cacing ini. Cacing dewasa dapat hidup sampai 13 tahun lamanya di dalam usus halus
manusia. Hospes perantara pertama dalam daur hidup cacing ini adalah siklops (cyclops,
diaptomus) yang termasuk golongan crustacea, sedangkan ikan bertindak sebagai hospes
perantara yang kedua.
136

Bersama tinja penderita telur cacing yang berada di dalam usus akan dikeluarkan dari
tubuh hospes . Telur yang masuk ke dalam air akan menetas menjadi larva korasidium
(coracidium), yang kemudian akan berenang bebas di dalam air. Korasidium yang
dimakan oleh siklops, dalam waktu 3 minggu di dalam tubuh siklops korasidium berubah
menjadi larva proserkoid (procercoid). Di dalam tubuh ikan (hospes perantara kedua)
yang memakan siklops dalam waktu 3 minggu larva proserkoid akan berubah menjadi
larva pleroserkoid (plerocercoid) yang infektif untuk hospes definitif (manusia, anjing
atau kucing). Pleroserkoid akan berkembang menjadi cacing dewasa di dalam usus
hospes definitif.

Gambar 62. Daur hidup Diphyllobothrium latum

Diagnosis dan gejala klinis. Di dalam usus manusia Diphyllobothrium latum dapat
menimbulkan gangguan gastrointestinal yang menyebabkan terjadinya defisiensi vitamin
B12 sehingga penderita mengalami anemia pernisiosa.
Untuk menegakkan diagnosis pasti, dilakukan pemeriksaan tinja penderita untuk
menemukan telur cacing dan segmen cacing yang khas bentuknya. Bentuk uterus pada
segmen cacing yang khas memudahkan diagnosis infeksi cacing ini.
137

Pengobatan dan pencegahan. Prazikuantel, Niklosamid dan Atabrin dapat digunakan


untuk memberantas cacingnya, sedangkan anemia pernisiosa diobati dengan memberikan
vitamin B12 dan asam folat. Prazikuantel yang merupakan obat pilihan diberikan dalam
bentuk dosis tunggal sebesar 600 mg (atau 5-10 mg/kg) untuk orang dewasa. Dosis
tunggal anak adalah 5-10 mg per kg berat badan. Dosis niklosamid untuk orang dewasa
adalah sebesar 2 gram dosis tunggal, sedang dosis anak adalah sebesar 50 mg/kg dosis
tunggal atau 0,5 gram untuk berat badan kurang dari 10 kg dan 1 gram untuk anak dengan
berat badan di bawah 35 kg.
Infeksi Diphyllobothrium latum dapat dicegah penyebarannya dengan menjaga
agar lingkungan perairan tidak tercemar oleh tinja manusia, misalnya dengan membuat
kakus yang tidak berhubungan langsung dengan sungai atau saluran irigasi. Ikan yang
akan dimakan harus dimasak dengan baik sebelum dimakan. Anjing dan kucing yang
berada di daerah endemis penyakit ini jangan diberi makan ikan mentah.

Sparganosis

Yang dimaksud dengan sparganosis adalah infeksi pada manusia yang disebabkan oleh
larva pleroserkoid (sparganum) Diphyllobothrium mansoni dan cacing difilobotrium
hewan lainnya.

Gambar 63. Sparganum, larva pleroserkoid Diphyllobothrium.


( URL: http://www.stanford.edu/group/parasiies )
138

Cara penularan. Sparganum dapat menginfeksi manusia melalui tiga jalan, yaitu minum
air mentah yang mengandung siklops yang infektif, makan hewan misalnya katak, tikus
atau ular yang masih mengandung pleroserkoid hidup, atau menggunakan cacahan daging
binatang misalnya katak yang infektif untuk mengobati luka terbuka.

Gambar 64. Cara infeksi Sparganum

Di berbagai jaringan tubuh manusia penderita sparganosis sparganum dapat ditemukan,


terutama di daerah mata. Jika larva mati dan rusak berada di jaringan organ, karena
merupakan benda asing bagi penderita, akan menimbulkan reaksi lokal maupun gejala
sistemik misalnya nyeri otot, konjungtivitis, pembengkakan mata, lakrimasi, ptosis,
urtikaria, demam dan edema. Gambaran darah tepi menunjukkan adanya hipereosinofilia.

Diagnosis sparganosis. Karena gejala klinis tidak khas, diagnosis pasti sparganosis
hanya dapat ditegakkan jika ditemukan larva cacing di dalam jaringan yang terinfeksi.
Pada inokulasi hewan coba menggunakan larva cacing yang ditemukan di dalam jaringan
penderita sparganosis, akan berkembang menjadi cacing dewasa yang dapat ditentukan
spesiesnya.

Pengobatan. Sparganosis hanya dapat diobati dengan mengeluarkan larva cacing dari
dalam jaringan yang sakit melalui tindakan pembedahan.
139

Taenia solium

Cacing yang dikenal sebagai cacing pita babi ini tersebar luas di seluruh dunia
(kosmopolit). Di Indonesia, infeksi cacing ini endemis di beberapa daerah di Irian Jaya,
Bali, dan Sumatera Utara. Taenia solium dewasa hidup di dalam usus halus (jejunum
bagian atas) manusia yang menjadi hospes definitifnya, sedangkan larvanya ditemukan di
dalam jaringan organ tubuh babi yang bertindak sebagai hospes perantara cacng ini.

Anatomi dan morfologi. Taenia solium dewasa mempunyai ukuran panjang badan
antara 2 sampai 3 meter. Di dalam usus manusia cacing ini dapat hidup sampai 25 tahun
lamanya. Tubuh cacing pita babi tersusun dari kepala, leher dan proglotid yang
mempunyai ciri-ciri anatomi dan Morfologi yang khas.

Skoleks (scolex). Kepala cacing khas bentuknya, berbentuk bulat, dengan garis tengah 1
mm dan mempunyai mempunyai alat isap. Kepala juga memiliki rostelum (rostellum)
yang dilengkapi oleh 3 deret kait yang tersusun melingkar.

Gambar 65. Taenia solium ( skoleks dan cacing dewasa)


(URL: http://www.puristat.com/images/parasites)
140

Leher. Cacing ini mempunyai leher di belakang kepala yang pendek ukurannya, dengan
panjang antara 5 mm sampai 10 mm.
Proglotid (proglottid). Jumlah segmen Tenia solium pada umumnya kurang dari 1000
buah. Segmen matur yang berukuran sekitar 12 mm x 6 mm, mempunyai lubang genital
yang terletak di dekat pertengahan segmen. Berbeda dari Taenia saginata yang
mempunya lebih dari 10 cabang lateral, cacing pita babi mempunyai uterus gravid yang
hanya memiliki 5-10 cabang lateral di tiap sisi segmen. Taenia solium melepaskan
segmen gravid dalam bentuk rantai yang terdiri dari 5-6 segmen setiap kali dilepaskan.

Telur. Bentuk telur Taenia solium berbentuk bulat dengan kulit telur yang tebal dan
mempunyai garis-garis radialyang tidak dapat dibedakan dari bentuk telur Taenia
saginata.

Gambar 66. Cacing Taenia solium


(URL : http://classes.midlandstech.com/carterp/courses)
141

Daur hidup. Taenia solium termasuk parasit zoonosis, yang dapat ditularkan dari babi ke
manusia dan sebaliknya Manusia bertindak selaku hospes definitif yang menjadi tempat
hidup cacing dewasa, sedangkan larva cacing ( cysticercus cellulosae) terdapat dalam
bentuk kista di dalam jaringan dan organ babi yang bertindak sebagai hospes perantara.
Cacing dewasa melepaskan segmen-segmen gravid yang paling ujung dalam
bentuk rantai, yang pecah di dalam usus sehingga telur cacing dapat dijumpai pada tinja
penderita. Telur cacing yang ke luar tubuh manusia bersama tinja jika dimakan babi, di
dalam usus babi dinding telur akan pecah, dan onkosfer akan terlepas. Karena
mempunyai kait, onkosfer dapat menembus dinding usus lalu masuk ke dalam aliran
darah. Onkosfer akan menyebar ke jaringan dan organ-organ tubuh babi, terutama otot
lidah, leher, otot jantung, dan otot gerak. Dalam waktu 60-70 hari pasca infeksi, onkosfer
akan berubah menjadi larva sistiserkus (cysticercus cellulosae).

Gambar 67. Daur hidup Taenia solium


142

Infeksi pada manusia terjadi karena makan daging babi mentah atau kurang masak, yang
mengandung larva sistiserkus. Di dalam usus manusia, skoleks akan mengadakan
eksvaginasi dan melekatkan diri dengan alat isapnya pada dinding usus. Skoleks lalu
tumbuh menjadi cacing dewasa dan kemudian membentuk strobila. Dalam waktu 2-3
bulan cacing telah tumbuh menjadi cacing dewasa yang telah mampu memproduksi telur
untuk meneruskan daur hidupnya.

Gejala klinis. Meskipun skoleks cacing mempunyai kait, kait-kait pada skoleks cacing
tidak banyak menyebabkan kerusakan pada dinding usus tempatnya melekat. Keluhan
penderita umumnya ringan, berupa rasa tidak enak di perut, gangguan pencernaan, diare,
konstipasi, sakit kepala dan anemia. Komplikasi berupa peritonitis akibat kait yang
menembus dinding usus sangat jarang terjadi. Pada pemeriksaan darah tepi penderita
terdapat gambaran darah yang menunjukkan adanya eosinofili.

Prognosis. Pada taeniasis solium, infeksi oleh cacing dewasa, prognosis umumnya baik.
Prognosis akan buruk, jika terjadi sistiserkosis akibat infeksi larva cacing ini.

Diagnosis taeniasis solium. Adanya telur cacing Taenia yang ditemukan pada waktu
pemeriksaan tinja penderita tidak dapat menentukan spesies cacing karena telur Taenia
solium sama bentuknya dengan telur Taenia saginata. Diagnosis pasti taeniasis solium
ditegakkan jika ditemukan cacing dewasa (segmen atau skoleks Taenia solium yang khas
bentuknya) pada tinja penderita atau pada waktu dilakukan pemeriksaan daerah perianal.

Pengobatan. Pengobatan taeniasis dinyatakan berhasil jika ditemukan skoleks cacing.


Obat cacing (anthelminthic) yang bisa digunakan untuk mengobati taeniasis solium
antara lain adalah:
1. Prazikuantel yang merupakan obat pilihan untuk mengobati taeniasis diberikan
dengan dosis 5-10 mg/kg berat badan, yang diberikan dalam bentuk dosis tunggal.
2. Niclosamide merupakan pengganti obat pilihan yang diberikan sebagai dosis tunggal
sebesar 2 gram untuk orang dewasa dan 50 mg/kg berat badan untuk anak.
143

3. Mebendazol. Diberikan per oral dengan dosis 2x200 mg/hari selama 4 hari berturut-
turut.
4. Albendazol. Obat ini diberikan pada orang dewasa dengan takaran 400 mg satu kali
per hari, selama 3 hari berturut-turut. Untuk anak berumur 1 sampai 2 tahun,
diberikan dosis 200 mg, sebagai dosis tunggal. Albendazol tidak boleh diberikan pada
wanita hamil, karena itu jika diberikan pada wanita usia 15-40 tahun, sebaiknya
diberikan pada masa 7 hari sesudah awal menstruasi.
5. Atabrin. Obat ini diberikan melalui mulut ( per oral) atau secara transduodenal.
Pengobatan per oral. Sebaiknya hanya diberikan pada orang dewasa dengan cara
pemberian sebagai berikut: 0.2 gram atabrin diberikan setiap 10 menit bersama
sedikit air, sampai jumlah seluruhnya 1 gram. Bersama atabrin diberikan juga natrium
bikarbonat dengan takaran yang sama. Dua jam kemudian dilakukan purgasi dengan
larutan garam faali.
Transduodenal. Sesudah diberi penenang, pipa Ryle dimasukkan hingga mencapai
duodenum. Sebanyak 1 gram atabrin yang dilarutkan dengan 100 ml air, dimasukkan
ke dalam pipa duodenum dengan bantuan alat suntik. Purgasi dilakukan 30 menit
sesudah pemberian obat.

Pencegahan taeniasis solium. Untuk mencegah terjadinya penularan taeniasis solium,


harus dilakukan tindakan-tindakan sebagai berikut :
1. Pengobatan penderita untuk menghilangkan sumber infeksi dan mencegah
terjadinya autoinfeksi dengan larva cacing.
2. Dilakukan pengawasan pada daging babi yang dijual, agar daging babi yang
dijual tidak mengandung larva cacing (sistiserkus).
3. Memasak daging babi sampai di atas 500 Celcius selama 30 menit, untuk
membunuh kista larva cacing yang terdapat di dalam daging.
4. Menjaga kebersihan lingkungan dan tidak menggunakan tinja manusia
sebagai makanan babi.
144

Sistiserkosis

Sistiserkosis adalah infeksi larva Taenia solium pada manusia (larva Taenia solium
disebut cysticercus cellulosae).

Cara infeksi. Jika manusia tertelan telur Taenia solium, misalnya bersama makanan yang
tercemar tinja penderita taeniasis solium atau melalui tangan penderita yang tercemar
tinja cacing. Selain itu, infeksi dapat terjadi akibat tertelan muntahan berasal dari
lambung yang mengandung telur cacing akibat terjadinya gerak peristaltik balik usus.

Kelainan organ dan jaringan. Pada semua jaringan dan organ tubuh dapat terjadi
sistiserkosis. Jumlah larva sistiserkus umumnya cukup banyak, bahkan dapat mencapai
beberapa ratus larva sistiserkus pada satu orang penderita. Di dalam jaringan otak dan
otot bergaris larva sistiserkus paling sering dijumpai. Larva sistiserkus akan
menyebabkan timbulnya reaksi pembentukan jaringan ikat untuk membungkus larva,
yang kemudian diikuti dengan pembentukan cairan kista. Larva di dalam kista dapat
bertahan hidup sampai 5 tahun lamanya. Jika larva cacing mati, kista kemudian akan
mengalami pengapuran (kalsifikasi).
Di dalam otak dan mata larva sistiserkus dapat menimbulkan kerusakan yang
dapat membahayakan jiwa penderita, sedangkan larva yang terdapat di otot dan jaringan
subkutan tidak banyak menimbulkan keluhan penderita. Sistiserkosis otak (cerebral
cysticercosis) dapat menimbulkan gangguan gerakan motorik, kelainan saraf sensorik
maupun gangguan mental penderita, tergantung tempat terjadinya kerusakan jaringan di
otak penderita. Manifestasi klinis yang terjadi dapat menyerupai gejala-gejala tumor otak,
meningitis, ensefalitis, maupun gangguan saraf pusat lainnya.
Sistiserkosis yang terjadi di dalam organ mata dapat menimbulkan nyeri bola
mata, gangguan penglihatan, dan bahkan kebutaan, sedangkan sistiserkosis yang terjadi
pada otot jantung dapat menimbulkan takikardi, sesak napas, sinkop dan gangguan irama
jantung.
145

Diagnosis sistiserkosis. Jika seorang penderita yang bertempat tinggal di daerah endemis
taeniasis solium mengalami epilepsi atau gejala neurologik yang disertai riwayat adanya
nodul subkutan, besar kemungkinan penderita mengalami sistiserkosis serebral.
Diagnosis sistiserkosis jaringan dapat ditentukan melalui biopsi nodul jaringan,
sedangkan pemeriksaan radiologi hanya dapat dilakukan jika telah terjadi kalsifikasi
kista. Sistiserkosis mata penderita dapat diperiksa dengan oftalmoskop, sedangkan
pemeriksaan serologi (fiksasi-komplemen, hemaglutinasi, dan tes intrakutan) dapat
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis sistiserkosis.

Gambar 68. Sistiserkosis di otak


(Sumber: http://www.medicine.mcgill)

Pengobatan sistiserkosis. Albendazole sebagai obat pilihan pengganti dengan dosis


dewasa 2x400 mg diberikan selama 8-30 hari, yang bisa diulang. Penderita anak diobati
dengan dosis 15 mg/kg berat badan/hari (maksimum 800 mg) terbagi dalam 2 dosis per
oral diberikan selama 8-30 hari.

Prazikuantel dapat juga digunakan dengan dosis dewasa atau anak sebesar 50-100 mg/kg
berat badan/hari terbagi dalam 3 dosis per oral diberikan selama 30 hari untuk mengobati
sistiserkosis selulosae.. Pada penderita sistiserkosis otak (neurocysticercosis) yang diobati
dengan prazikuantel dosis tersebut di atas harus diberikan selama 15 hari, sedangkan
albendazole dapat diberikan selama 30 hari.
Reaksi alergi yang timbul akibat penggunaan prazikuantel atau albendazole, dapat
diobati dengan memberkan kortikosteroid (Petunjuk Pemberantasan Taeniasis/
Sistiserkosis di Indonesia). Pengobatan taeniasis menggunakan prazikuantel atau
146

albendazole harus dilakukan dibawah pengawasan petugas kesehatan atau dilakukan di


rumah sakit.
Sistiserkosis mata harus diatasi dengan pembedahan, sedangkan sistiserkosis yang
terdapat di dalam jaringan otak dapat ditangani dengan pembedahan jika hanya terdapat
satu kista saja di dalam otak yang lokasinya memungkinkan untuk dilakukan
pembedahan.

Sistiserkosis jaringan subkutan atau otot mempunyai prognosis baik, sedangkan


sistiserkosis jantung, otak, mata atau organ penting lainnya prognosisnya buruk.

Pencegahan sistiserkosis. Untuk mencegah terjadinya sistiserkosis selulosae, semua


penderita taeniasis solium harus diobati dengan baik. Kebersihan perorangan maupun
kebersihan lingkungan harus selalu dijaga agar tak tercemar dengan tinja manusia yang
mengandung telur Taenia solium.

Taenia saginata

Cacing yang dikenal sebagai cacing pita sapi ini cacing dewasanya menyebabkan infeksi
pada manusia yang disebut taeniasis saginata. Penyebarannya bersifat kosmopolit dan
dilaporkan secara luas di seluruh dunia. Larva cacing (cysticercus bovis) umumnya tidak
menyebabkan sistiserkosis bovis pada manusia.
Di dalam tubuh manusia cacing dewasa hidup di dalam usus halus bagian atas dan
dapat bertahan hidup sampai 10 tahun lamanya.

Anatomi dan morfologi. Taenia saginata dewasa mempunyai tubuh yang berwarna
putih, tembus sinar. Panjang badannya dapat mencapai 24 meter dengan segmen yang
dapat mencapai 2000 buah.
147

Gambar 69. Taenia saginata


(a). proglotid (b). skoleks (c). segmen matur
(URL: http://www.medicine.mcgill.ca/tropmed)

Kepala (scolex). Kepala cacing berbentuk segiempat dengan ukuran garis tengah antara 1
sampai 2 milimeter. Terdapat 4 alat isap (sucker) di kepala tetapi tidak mempunyai
rostelum maupun kait.
Leher. Leher berbentuk sempit memanjang dengan lebar sekitar 0.5 milimeter.
Segmen. Seekor cacing dewasa mempunyai sejumlah besar segmen yang yang dapat
mencapai 2000 buah. Segmen matur mempunyai berbentuk segi empat panjang dengan
ukuran panjang yang 3-4 kali ukuran lebarnya. Segmen gravid yang terletak paling ujung
berukuran sekitar 0.5 cm x 2 cm, mempunyai lubang genital yang terletak di dekat ujung
posterior segmen.
Uterus. Uterus yang terdapat pada segmen gravid berbentuk batang memanjang, terletak
di pertengahan segmen, mempunyai 15-30 cabang di setiap sisi segmen. Berbeda dari
Taenia solium, segmen gravid pada Taenia saginata dilepaskan satu demi satu, dan tiap
segmen gravid dapat bergerak sendiri di luar anus.
Telur. Mirip dengan telur Taenia solium, dan hanya infektif untuk sapi.

Daur hidup. Manusia merupakan hospes definitif Taenia saginata sedangkan yang
bertindak selaku hospes perantara adalah sapi atau kerbau. Infeksi pada manusia terjadi
jika makan daging sapi atau daging kerbau yang masih mentah atau kurang matang
memasaknya sehingga cysticercus bovis yang terdapat di dalam daging masih infektif.
148

Gambar 70. Daur hidup Taenia saginata

Kelainan jaringan. Kerusakan jaringan usus oleh sistiserkus bovis pada taeniasis
saginata pada umumnya sangat ringan, namun penderita dapat menunjukkan keluhan
berupa rasa tidak enak pada perut, mual, muntah dan diare. Jika jumlah cacing dewasa
yang terdapat di dalam saluran usus sangat banyak, kadang-kadang terjadi pembuntuan
atau obstruksi usus yang dapat menimbulkan gejala-gejala klinis ileus. Pada pemeriksaan
darah tepi terdapat gambaran adanya eosinofilia yang ringan.
Diagnosis pasti taeniasis saginata hanya dapat ditetapkan jika ditemukan cacing dewasa,
potongan segmen cacing, atau kepala (skoleks) cacing. Ditemukannya telur cacing
Taenia pada tinja belum dapat memastikan diagnosis spesies taeniasis.

Pengobatan dan pencegahan. Obat-obatan untuk taeniasis solium dapat digunakan


untuk mengobati taeniasis saginata.
Tindakan pencegahan taeniasis saginata pada prinsipnya sesuai dengan upaya pencegahan
terhadap taeniasis solium, yaitu dengan jalan mengobati penderita, mengawasi daging
sapi yang dikonsumsi atau daging kerbau yang dijual, memasak daging sapi dan daging
kerbau sampai matang, serta menjaga kebersihan makanan yang diberikan pada sapi dan
kerbau agar tidak tercemar tinja manusia.
149

Echinococcus granulosus dan hidatidosis

Cacing yang dikenal sebagai cacing pita anjing ini adalah cacing zoonosis yang banyak
dilaporkan dari seluruh dunia, terutama di daerah peternakan sapi dan domba.
Echinococcus granulosus lebih banyak dijumpai di daerah subtropis dibanding daerah
tropis. Dalam daur hidup cacing ini terdapat hubungan yang erat antara manusia dengan
herbivora dan anjing agar daur hidup cacing menjadi lengkap. Sebagai hospes definitif
cacing ini adalah anjing dan sejenisnya. Cacing dewasa hidup di dalam usus halus hospes
definitif tersebut. Karena manusia merupakan hospes perantara, di dalam tubuh manusia
hanya dijumpai larva cacing yang terdapat dalam bentuk kista (hydatid cyst).

Anatomi dan morfologi. Echinococcus granulosus termasuk cacing pita yang berukuran
kecil. Cacing dewasa panjang tubuhnya antara 3-6 mm, terdiri dari skoleks, leher dan
strobila yang terdiri dari 3 buah segmen. Segmen pertama adalah segmen imatur, yang
kedua segmen matur dan segmen ketiga adalah segmen gravid. Segmen gravid
merupakan segmen yang terletak paling ujung dan merupakan segmen yang terpanjang
dan terbesar ukurannya, dengan panjang antara 2-3 mm dan lebar sekitar 0,6 mm.

Gambar 71. Echinococcus granulosus dewasa


(URL: http://www.emporia.edu/bioscience)
150

Skoleks (scolex). Kepala cacing ini memiliki 4 alat isap (sucker) dengan rostelum yang
mempunyai 2 deret kait yang tersusun melingkar.
Leher. Bagian leher berukuran pendek dan bentuknya melebar.
Telur. Echinococcus granulosus mempunyai telur yang mirip dengan telur Taenia
lainnya, berbentuk ovoid dengan ukuran panjang 32-36 mikron dan lebar 25-32 mikron.
Di dalam telur terdapat embrio yang mempunyai 3 pasang kait (hexacanth embryo).
Telur ini hanya infektif untuk herbivora (misalnya domba, kambing, sapi dan kuda) dan
manusia yang bertindak sebagai hospes perantara.
Larva. Di dalam tubuh hospes perantara telur cacing yang termakan akan tumbuh
menjadi larva hidatid (hydatid larva) tetapi tidak dapat berkembang menjadi cacing
dewasa.

Gambar 72. Diagram Kista hidatid Echinococcus granulosus


(Sumber : http://ca.vet.upenn.edu)

Daur hidup. Daur hidup Echinococcus granulosus berlangsung pada dua macam hospes.
Sebagai hospes definitif tempat hidup cacing dewasa adalah golongan anjing misalnya
serigala, sedangkan yang bertindak sebagai hospes perantara adalah herbivora, terutama
domba. Manusia dapat bertindak sebagai hospes perantara pada daur hidup cacing ini.
Dari usus anjing yang terinfeksi Echinococcus granulosus telur-telur cacing ke
luar bersama tinja Herbivora atau manusia yang tertelan telur infektif bersama
makanannya misalnya rumput yang dimakan herbivora. Infeksi pada manusia juga terjadi
151

karena telur cacing tertelan, misalnya pada anak yang mengisap jarinya yang tercemar
tinja anjing yang sakit, atau karena adanya kontak erat manusia dengan anjing
peliharaannya. Di dalam duodenum embrio heksakan menetas, lalu menembus dinding
usus dan bersama aliran darah akan terbawa masuk ke organ hati, paru-paru, dan organ
tubuh lainnya. Paru-paru dan organ hati merupakan organ-organ yang paling sering dapat
ditemukan embrio cacing ini. Embrio kemudian akan tumbuh menjadi larva di dalam
jaringan organ tubuh hospes perantara, dan lalu berkembang dengan membentuk kista
hidatid. Dari bagian dalam kista hidatid akan terbentuk brood capsule disertai
pembentukan sejumlah besar skoleks. Dari satu kista hidatid yang berasal dari satu
embrio dapat terbentuk ribuan skoleks baru.

Gambar 73. Daur hidup Echinococcus granulosus.

1. Cacing dewasa di usus anjing 2. Telur cacing di dalam tinja anjing


3.Telur cacing tertelan domba, berkembang menjadi kista hidatid. Kista
hidatid di dalam daging domba termakan anjing, daur hidup selanjutnya
berlangsung. 4. Jika manusia tertelan telur cacing, kista hidatid terjadi pada
manusia (hidatidosis).

Jika kista hidatid yang matang (terdapat di dalam jaringan organ hospes perantara)
termakan anjing, maka dalam waktu 6 minggu di dalam usus anjing larva akan tumbuh
dan berkembang menjadi cacing dewasa.
152

Cacing dewasa Echinococcus granulosus di dalam tubuh anjing hanya dapat hidup
selama 6 bulan, sedangkan dalam bentuk kista di dalam tubuh hospes perantara, larva
parasit ini dapat bertahan hidup selama beberapa tahun.

Cara infeksi pada manusia. Infeksi hidatidosis pada manusia terjadi jika telur cacing
infektif yang terdapat di dalam tinja anjing tertelan dengan berbagai cara, yaitu melalui
makanan yang tercemar tinja anjing, melalui piring makan yang juga digunakan untuk
anjing, atau akibat kontak erat dengan anjing penderita ekinokokosis.
Adanya larva cacing ini di dalam organ tubuh manusia akan menimbulkan
unilocular hydatid disease yang dapat menimbulkan gangguan pada organ tersebut.
Gejala klinis yang terjadi akibat kista hidatid tergantung pada tempat terdapatnya kista di
dalam organ. Kista yang terdapat di permukaan organ mungkin dapat dilihat atau
dirasakan adanya benjolan. Kista di dalam organ umumnya bisa tidak menimbulkan
gangguan atau keluhan selama bertahun-tahun. Tekanan kista terhadap jaringan organ dan
jaringan di sekitarnya juga tergantung pada lokasi kista.
Kista hidatid yang pecah menyebabkan cairan kista yang berasal dari sel-sel
hewan mengadakan kontak dengan jaringan dan sel penderita yang dapat menimbulkan
reaksi anafilaktik. Selain itu, dapat terjadi pembentukan kista sekunder di tempat lain
baik yang menimbulkan akibat yang bersifat sistemik atau yang hanya menimbulkan
gangguan setempat.

Diagnosis hidatidosis. Untuk membantu menegakkan diagnosis hidatidosis akibat


adanya kista hidatid, berbagai pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan.
1. Tes alergi Casoni. Uji imunologis yang spesifik ini mudah dikerjakan. Sebanyak
0,2 ml cairan berasal darii kista hidatid yang sudah disterilkan disuntikkan
intradermal pada orang yang diduga menderita hidatidosis. Jika reaksi positif,
maka 30 menit sesudah suntikan akan terjadi benjolan sebesar 5 cm yang
menunjukkan adanya pseudopodi (kaki semu), yang 1 jam kemudian akan
menghilang.
153

2. Uji serologi. Berbagai pemeriksaan serologi dapat digunakan, antara lain adalah :
Indirect Hemagglutination (IHA), Bentonite Flocculation Test (BFT) dan
Complement Fixation Test (CFT).

3. Pemeriksaan darah tepi. Pada hitung jenis sel-sel darah akan dijumpai
eosinofilia yang tinggi sampai sebesar 20%-25%.

4. Pemeriksaan Sinar-X. Pemeriksaan radiologis dikerjakan untuk menentukan


secara dini adanya kista hidatid yang berada di dalam organ-organ misalnya di
dalam paru-paru atau hati, sebelum penderita menunjukkan gejala klinis atau
keluhan.

Tindakan dan pengobatan. Obat yang secara khusus dapat digunakan untuk mengobati
hidatidosis yang telah terjadi pada manusia belum ditemukan. Beberapa tindakan yang
dapat dilakukan adalah operasi, terapi biologis , pemberian anti alergi dan obat cacing.
Operasi. Tindakan pembedahan hanya dapat dilakukan terhadap kista tunggal
yang terdapat di permukaan organ. Cairan kista diambil, lalu diganti dengan
larutan formalin 10% sehingga konsentrasi akhir larutan kista menjadi 2%, yang
cukup untuk membunuh protoskoleks dan membran germinativum. Kista primer
di otak sebaiknya diatasi dengan pembedahan, namun sebaliknya kista sekunder
di organ otak tidak boleh dibedah.

Terapi biologis. Pada penderita yang mempunyai kista hidatid yang tidak boleh
dibedah, atau terdapat kista sekunder atau kista multipel, maka kepada penderita
dapat diberikan suntikan dengan cairan hidatid sebagai antigen.
Anti alergi. Bila terjadi anafilaktik atau gejala alergi lainnya, dapat diberikan
epinefrin atau antihistamin.

Obat cacing. Penderita hidatidosis diobati dengan albendazol sebagai obat


pilihan dengan dosis 10 mg/kilogram berat badan/hari selama beberapa hari dan
atau Mebendazol dengan dosis 40 mg/kilogram berat badan/hari selama 1-6 bulan,
154

baik secara sendiri-sendiri maupun dalam bentuk kombinasi. Jika terjadi


penekanan kista terhadap organ vital, pengobatan obat cacing dapat dikombinasi
dengan pembedahan.

Prognosis. Perjalanan klinis hidatidosis ditentukan oleh sifat kista dan lokasi kista di
dalam jaringan dan organ. Kista primer yang masih dapat dioperasi, prognosisnya
umumnya baik. Namun jika terjadi infeksi sekunder, prognosis menjadi kurang baik.
Prognosis hidatidosis menjadi buruk pada kista sekunder, kista terdapat di dalam
tulang, atau kista yang terdapat di jaringan otak atau organ penting lainnya yang tidak
memungkinkan dilakukannya pembedahan.

Pencegahan. Untuk mencegah hidatidosis pada manusia maka semua anjing


penderita ekinokokosis yang menjadi sumber penularan harus diobati dengan baik.
Anjing yang dipelihara harus juga dicegah agar tidak tertular pearasit ini.
Kebersihan lingkungan dan kebersihan badan anjing harus selalu dijaga.
Mencegah terjadinya kontak manusia dengan tinja anjing, baik yang dipelihara di
rumah maupun yang digunakan sebagai hewan coba di laboratorium harus dilakukan
dengan sebaik-baiknya..

Multiceps multiceps
Cestoda zoonosis yang larvanya dapat menimbulkan infeksi berat pada manusia ini,
banyak dilaporkan dari negara-negara yang mempunyai peternakan domba yang besar.
Cacing dewasa hidup di dalam usus karnivora misalnya anjing, sedangkan larvan cacing
(coenurus) hidup di dalam jaringan atau organ tubuh herbivora misalnya kambing dan
domba yang merupakan hospes perantara pada daur hidup Multiceps.

Morfologi. Multiceps dewasa mempunyai ukuran panjang badan antara 40 cm dan 60


cm. Kepala (skoleks) berbentuk piriform, mempunyai rostelum yang dilengkapi dengan
22-32 kait yang tersusun dalam dua lingkaran.
155

Gambar 74. Kepala Multiceps. Rostelum dengan dua lingkaran kait.


(URL: http://www.stanford.edu)

Gambar 75. Diagram kepala dan segmen Multiceps multiceps


a. Skoleks b. Segmen matur c. Segmen gravid
1. kait 2. alat isap. 3.testis 4. ovarium 5. vitelaria 6. uterus
7. vagina

Coenurosis. Larva Multiceps multiceps atau coemurus dapat menginfeksi manusia yang
dapat menimbulkan penyakit yang berat dengan prognosis yang buruk. Larva cacing
156

dapat menginfeksi pendereita karena tertelan telur cacing yang berasal dari tinja anjing
penderita infeksi Multiceps.
Di dalam usus embrio akan menetas, memasuki jaringan tubuh dan dapat
mencapai jaringan otak, sumsum tulang belakang dan susunan saraf pusat. Larva cacing
kemudian akan berkembang menjadi coenurus yang merupakan kista dengan banyak
skoleks.

Gambar 76. Larva Multiceps (coenurus)


(URL: http://www.cal.vet.upenn.edu)

Timbulnya gejala klinis coenurosis terjadi akibat meningkatnya tekanan


intrakranium, yang menyebabkan hilangnya kesadaran penderita, kejang-kejang, paresis,
gangguan penglihatan, kelumpuhan anggota gerak, gangguan pembicaraan (afasi) dan
muntah-muntah. Reaksi Romberg positif dan penderita berjalan terhuyung-huyung.
Pemeriksaan laboratorium atas cairan otak menunjukkan terjadinya kenaikan kadar
protein dan jumlah sel.
Untuk menetapkan diagnosis pasti coenurosis harus dilakukan biopsi jaringan
yang kemudian diperiksa di bawah mikroskop untuk menemukan larva cacing Multiceps.

Pengobatan dan pencegahan. Mengobati coenurosis sulit dilakukan. Karena itu


mencegah terjadinya coeurosis harus dilakukan dengan cara memperbaiki sanitasi
lingkungan dan menjaga kebersihan perorangan. Makanan atau minuman harus dijaga
agar tidak tercemar dengan tinja anjing yang terinfeksi Multiceps..
157

Hymenolepis nana

Cacing pita yang sering disebut sebagai cacing kerdil (dwarf tapeworm) ini tersebar luas
di seluruh dunia, terutama di daerah yang beriklim panas. Cacing dewasa hidup di dalam
usus bagian distal ileum manusia dan berbagai jenis binatang pengerat (rodensiasia)
seperti tikus dan mencit yang bertindak sebagai hospes reservoir.

Anatomi dan morfologi. Sesuai dengan namanya, Hymenolepis nana merupakan cacing
pita manusia yang terkecil ukurannya. Ukuran panjang tubuhnya antara 2 dan 4
sentimeter, dengan lebar badan antara 0,7 dan 1 milimeter.

Gambar 77 . Cacing Hymenolepis nana (a) dewasa (b) telur


(URL: http://www.carlodenegri.found )

Skoleks. Cacing kerdil mempunyai kepala berbentuk bulat, berukuran kecil, mempunyai
rostelum yang pendek dan dilengkapi dengan satu baris kait. Pada kepala juga terdapat
empat buah alat isap yang berbentuk seperti mangkuk.

Leher. Leher cacing yang panjang ukurannya mempunyai permukaan yang halus.
158

Gambar 78. Diagram cacing Hymenolepis nana.


a. Skoleks b. Telur cacing c. Segmen matur d. Segmen gravid

1. kait 2. alat isap 3. uterus 4. testis 5.vitelaria 6. telur

Proglotid. Cacing ini memiliki segmen matur yang berbentuk trapezium, mempunyai 3
buah testis dan ovarium yang memiliki 2 lobus. Terdapat sebuah lubang kelamin (genital
pore) yang terletak di bagian sisi kiri dari segmen. Segmen gravid cacing berisi 80-180
butir telur yang berada di dalam kantung telur.
Telur. Telur cacing berbentuk lonjong atau bulat dengan ukuran sekitar 30x45 mikron.
Telur ini mempunyai dua lapis selaput tipis (membran) jernih yang membungkus embrio
yang mempunyai 6 kait (hexacanth embryo). Di daerah kutub telur terdapat penebalan
membran yang merupakan tempat keluarnya 4-8 helai filamen yang merupakan ciri khas
telur Hymenolepis nana.
Daur hidup. Hospes definitif alami cacing ini adalah manusia, tikus dan mencit. Untuk
melengkapi daur hidupnya tidak diperlukan hospes perantara. Telur cacing infektif yang
tertelan akan menetas di dalam usus halus, kemudian larva akan menembus dinding vilus
usus. Dalam waktu 4 hari larva akan berkembang menjadi sistiserkoid. Sistiserkoid akan
159

menembus ke luar vilus usus, masuk ke dalam lumen usus lalu melekatkan diri pada
mukosa usus dan tumbuh berkembang menjadi cacing dewasa dalam waktu 10 sampai 12
hari.
Telur cacing sudah dapat ditemukan di dalam tinja penderita dalam waktu 30 hari
sejak terjadinya infeksi. Di dalam usus penderita telur yang berada pada tinja dapat
menetas sehingga akan menimbulkan perulangan siklus. Keadaan ini disebut sebagai
autoinfeksi interna.

Gambar 79. Daur hidup Hymenolepis nana


Gejala klinis dan diagnosis. Pada infeksi yang ringan dengan cacing ini umumnya tidak
banyak menimbulkan keluhan maupun gejala klinis pada penderita berupa gangguan
perut yang tidak jelas. Akibat autoinfeksi interna, penderita dapat mengalami infeksi berat
himenolepiasis dengan jumlah cacing di dalam usus yang bisa mencapai 2000 ekor.
Infeksi berat cacing ini pada anak dapat menimbulkan asthenia, penurunan berat badan,
hilangnya nafsu makan, sukar tidur, nyeri perut, muntah-muntah, pusing dan keluhan
neurologik Selain itu dapat terjadi reaksi alergi pada anak-anak yang sensitif. Anak
penderita himenolepiasis nana dapat mengalami anemi sekunder dengan eosinofili antara
4 sampai 16 persen. Diare berdarah dan gejala sistemik berat lainnya dapat juga terjadi.
160

Diagnosis pasti infeksi dengan cacing kerdil dapat ditegakkan dengan mengadakan
pemeriksaan tinja untuk menemukan telur cacing yang khas bentuknya.
Niklosamid dan kuinakrin (atabrin) dapat digunakan untuk mengobati infeksi cacing ini.
Untuk orang dewasa niklosamid diberikan sebanyak 1 gram dosis tunggal, sedangkan
untuk anak 0,5 gram.

Pencegahan. Karena penularan dapat terjadi secara langsung, pencegahan sulit


dilakukan.meningkatkan kebersihan lingkungan dan higiene pribadi terutama pada anak,
dan mengobati penderita, serta membasmi tikus dan hewan mengerat lainnya dapat
mencegah penularan parasit ini.

Hymenolepis diminuta

Infeksi dengan cacing ini dilaporkan dari berbagai daerah di seluruh dunia (kosmopolit).
Cacing dewasa hidup di dalam usus halus tikus dan mencit. Manusia, terutama anak-anak
berumur di bawah tiga tahun, dapat dijumpai terinfeksi cacing ini.

Anatomi dan morfologi. Hymenolepis diminuta dewasa mempunyai ukuran panjang


badan antara 10-60 cm dengan lebar badan antara 3-5 mm. Cacing ini mempunyai jumlah
segmen tubuh yang berkisar antara 800 dan 1000 buah.

Skoleks. Kepala cacing berbentuk gada, dengan rostelum yang telah mengalami
kemunduran dan tidak mempunyai kait. Kepala mempunyai 4 alat isap yang berukuran
kecil.
Proglotid. Cacing ini mempunyai segmen matur yang panjangnya sekitar 2,5 mm, yang
bentuknya mirip segmen matur Hymenolepis nana, sedangkan segmen gravid berisi
uterus berbentuk kantung yang penuh berisi telur.
Telur. Telur cacing bulat bentuknya mirip dengan bentuk telur H.nana. Telur mempunyai
ukuran sekitar 58 x 86 mikron, tidak mempunyai filamen.
161

Gambar 80. Cacing H. diminuta.


(a) skoleks dan proglotid bagian anterior.(b) sistiserkoid
(Sumber: http://workforce.cup.edu)

Gambar 81. Diagram struktur cacing Hymenolepis diminuta


(a). skoleks (b). segmen matang (c). segmen gravid (d). telur
1. rostelum 2.batil isap 3.ovarium 4.testis 5.vitelaria 6.telur 7.kutub telur

Daur hidup. Tikus, mencit, dan kadang-kadang manusia merupakan hospes definitif
cacing ini, sedangkan yang menjadi hospes perantara adalah pinjal tikus, pinjal mencit,
dan kumbang tepung dewasa. Berbagai serangga lainnya, misalnya pinjal hewan lain,
lipas (famili Blattidae), miriapoda dan berbagai jenis lepidoptera, dapat bertindak sebagai
hospes perantara.
162

Embrio cacing menetas di dalam tubuh serangga menjadi larva sistiserkoid yang infektif.
Sistiserkoid yang tertelan oleh hospes definitif dalam waktu 20 hari berkembang menjadi
cacing dewasa. Infeksi cacing pada manusia terjadi karena makan makanan atau
minuman yang tercemar serangga yang mengandung sistiserkoid infektif.

Gambar 82. Daur hidup Hymenolepis diminuta

Gejala klinis dan diagnosis. Penderita yang terinfeksi cacing ini umumnya hanya
mengalami gangguan kesehatan yang ringan dan pendek waktunya karena cacing ini
hanya hidup antara lima sampai tujuh minggu di dalam usus penderita.
Untuk menetapkan diagnosis himenolepiasis diminuta dilakukan pemeriksaan
tinja untuk menemukan telur cacing ini,

Pengobatan dan pencegahan. Infeksi cacing dapat diobati dengan kuinakrin


(atabrin).Pencegahan dilakukan dengan menjaga kebersihan makanan dan minuman serta
memasaknya dengan baik. Pemberantasan tikus di lingkungan hunian harus dilakukan.
163

Dipylidium caninum

Dipylidium caninum dilaporkan dari berbagai tempat di di seluruh dunia, karena luasnya
sebaran anjing. Di dalam usus halus anjing, kucing dan karnivora lainnya cacing dewasa
hidup parasitik. Kadang-kadang manusia terinfeksi cacing ini, terutama anak-anak
berumur di bawah umur 8 tahun karena sering mengalami kontak erat dengan anjing
peliharaan yang ada di rumah.

Anatomi dan morfologi. Panjang cacing dewasa dapat mencapai 70 cm dengan strobila
yang terdiri dari 60- 175 proglotid.
Skoleks. Kepala cacing berbentuk belah ketupat (rhomboidal scolex), mempunyai 4 alat
isap yang lonjong dan menonjol. Terdapat rostelum yang bersifat retraktil, mempunyai
bentuk seperti kerucut yang dilengkapi dengan 30-150 kait yang berbentuk duri mawar
yang tersusun melengkung transversal.
Proglotid matur. Segmen ini berbentuk tempayan atau vas bunga, yang masing-masing
segmen mempunyai dua perangkat organ reproduksi dan satu lubang kelamin yang
terletak di tengah-tengah segmen.

Gambar 83. Cacing Dipylidium caninum.


Skoleks dan segmen cacing dewasa (kiri).Telur (egg balls), kanan
( URL: http://instruction.cvhs.okstate.edu)

Proglotid gravid. Segmen gravid yang terletak di bagian ujung penuh berisi telur yang
tersimpan di dalam kantung telur (egg ball) yang masing-masing kantung berisi 15-25
164

butir telur. Seperti halnya Taenia, segmen gravid dapat bergerak aktif dan terlepas satu
demi satu atau dalam bentuk rangkaian segmen.
Telur. Telur cacing bulat bentuknya dengan garis tengah sekitar 35-60 mikron
mengandung onkosfer yang mempunyai 6 buah kait. Telur cacing terbungkus dalam
kantung yang masing-masing kantung berisi 15-25 butir telur.

Daur hidup. Hospes definitif alami cacing ini adalah anjing, kucing dan karnivora
lainnya. Kadang-kadang manusia dapat bertindak sebagai hospes definitif. Sebagai
hospes perantara dalam daur hidup Dipylidium caninum adalah pinjal (flea) anjing, pinjal
kucing dan tuma anjing (Trichodectes canis).

Sesudah telur cacing termakan oleh larva pinjal atau hospes perantara lainnya, onkosfer
akan ke luar dari bungkusnya, menembus dinding usus dan tumbuh menjadi larva
sistiserkoid yang infektif. Kalau pinjal dewasa yang berasal dari larva pinjal yang
mengandung larva sistiserkoid termakan oleh hospes definitif, dalam waktu sekitar 20
hari sistiserkoid akan tumbuh dan berkembang menjadi cacing dewasa.

Gambar 84. Daur hidup Dipylidium caninum


165

Penularan penyakit. Dipilidiasis caninum banyak dilaporkan menginfeksi anak berumur


di bawah 8 tahun, terutama anak-anak yang berumur di bawah 6 bulan. Cara infeksi
adalah secara per oral, yaitu tertelan pinjal atau tuma anjing dan kucing yang infektif
bersama makanan dan minuman atau terinfeksi secara langsung dari tangan yang
tercemar tinja anjing dan kucing yang sakit.

Gejala klinis dan diagnosis. Hewan yang terinfeksi cacing ini tampak gelisah dan
lemah karena mengalami gangguan pencernaan. Manusia yang menderita dipilidiasis
menunjukkan keluhan maupun gejala yang umumnya sangat ringan. Anak-anak yang
menderita infeksi ringan kadang-kadang menunjukkan gejala klinis ringan berupa
gangguan perut, nyeri daerah epigastrium, diare atau terjadi reaksi alergi. Penderita juga
mengalami penurunan berat badan. Untuk menegakkan diagnosis pasti, diperlukan
pemeriksaan tinja untuk menemukan segmen cacing yang khas bentuknya. Kadang-
kadang di daerah perianal atau pada tinja penderita ditemukan kelompok-kelompok telur
cacing ini ( egg ball).

Pengobatan dan pencegahan. Untuk mengobati infeksi cacing ini digunakan niklosamid
per oral dengan dosis tunggal 2 gram untuk orang dewasa dan 0,5-1.0 mg untuk anak.
Selain itu dapat digunakan kuinakrin (atabrin). Upaya untuk mencegah penularan dan
infeksi cacing ini dapat dilakukan dengan menghindari kontak langsung dengan anjing.
Manusia dan binatang yang terinfeksi cacing ini harus diobati dengan baik, sedangkan
pinjal dan tuma anjing dapat diberantas menggunakan insektisida yang sesuai.
166

TREMATODA

Bentuk tubuh cacing Trematoda pipih mirip daun yang tidak bersegmen,. Ukuran panjang
tubuh cacing berkisar antara 1 mm dan beberapa sentimeter. Trematoda dewasa
mempunyai alat isap mulut (oral sucker) yang terdapat di bagian kepala, sedangkan di
daerah perut terdapat alat isap ventral ( ventral sucker atau acetabulum).
Alat reproduksi Trematoda pada umumnya bersifat hermafrodit (berkelamin
ganda), kecuali Schistosoma yang bersifat uniseksual (unisexual) yaitu memiliki alat
kelamin yang terpisah atas jantan dan betina Cacing-cacing Trematoda tidak memiliki
rongga tubuh (body cavity) sedangkan alat pencernaan yang sudah dimiliki oleh
Trematoda masih belum sempurna karena tidak mempunyai anus.
Ciri khas lain dari cacing Trematoda adalah adanya sistem ekskresi (flame cell),
yang untuk tiap-tiap spesies khas bentuknya. Sistem reproduksi pada Trematoda telah
sempurna pertumbuhannya. Semua cacing Trematoda bertelur (oviparus) dengan telur
yang umumnya mempunyai operkulum (penutup) kecuali telur Schistosoma. Telur cacing
hanya dapat berkembang menjadi larva jika berada di dalam air.

Daur hidup. Berbagai jenis mamalia termasuk manusia dapat bertindak sebagai hospes
definitif cacing Trematoda. Daur hidup cacing Trematoda memerlukan hospes perantara
yaitu moluska yang hidup di air tawar misalnya siput dan keong. Beberapa spesies cacing
Trematoda membutuhkan hospes perantara yang kedua misalnya ikan, ketam, tumbuhan
air atau semut.
Di dalam tubuh hospes definitif hidup cacing dewasa yang melaksanakan proses
reproduksi. Cacing betina menghasilkan telur yang akan dikeluarkan bersama tinja atau
air seni penderita. Jika telur masuk ke dalam air, telur akan menetas menjadi larva
mirasidium (miracidium). Untuk dapat melanjutkan daur hidupnya, larva mirasidium
harus dapat memasuki tubuh siput, yang selanjutnya akan berkembang menjadi
sporokista (sporocyst) yang kemudian akan tumbuh menjadi redia, lalu menjadi larva
serkaria (cercaria). Serkaria meninggalkan tubuh siput dan berenang bebas di dalam air
167

atau tumbuh lebih dahulu menjadi metaserkaria (metacercaria) sebelum memasuki tubuh
manusia atau hospes definitif lainnya dan berkembang menjadi cacing dewasa.

Gambar 85. Siput-siput yang menjadi hospes perantara Trematoda


a. Pirenella b. Segmentina c. Semisulcospira
(URL: http://www.conchology.be/images/label)

Infeksi parasit. Pada manusia infeksi Trematoda dapat terjadi melalui berbagai macam
jalan. Pada Schistosoma, stadium infektif cacing ini adalah serkaria yang memasuki
tubuh hospes definitif secara aktif dengan menembus kulit yang tak terlindung pada
waktu berada di dalam air.
Cara infeksi pada Trematoda lainnya terjadi melalui masuknya metaserkaria ke
dalam mulut bersama makanan dalam bentuk tanaman air baik batang, daun ataupun
buahnya (misalnya pada infeksi Fasciola hepatica dan Fasciolopsis buski), ikan air tawar
( pada Clonorchis sinensis, Heterophyes heterophyes, dan Metagonimus yokogawai) atau
bersama-sama udang atau ketam air tawar, misalnya pada infeksi Paragonimus
westermani.
Tempat hidup cacing. Di dalam tubuh manusia cacing dewasa Trematoda hidup di
dalam berbagai organ dan jaringan. Karena itu Trematoda dikelompokkan menjadi
trematoda usus (intestinal trematodes), trematoda hati (liver flukes atau hepatic
trematodes), trematoda paru (lung flukes) dan trematoda darah (blood trematodes atau
blood flukes).
Trematoda Usus. Trematoda yang hidup di dalam usus manusia atau hoses definitif
lainnya adalah Fasciolopsis buski, Heterophyes heterophyes dan Metagonimus
yokogawai.
168

Trematoda hati. Termasuk trematoda hati adalah: Fasciola hepatica, Clonorchis


sinensis, Opistorchis viverrini, Opistorchis felineus.
Trematoda paru. Cacing daun yang dapat menjadi parasit pada manusia adalah
Paragonimus westermani.
Trematoda darah. Cacing Schistosoma japonicum, Schistosoma hematobium dan
Schistosoma mansoni adalah kelompok trematoda darah yang merupakan penyebab
penyakit-penyakit yang menjadi masalah kesehatan di berbagai negara.

Definisi dan istilah umum Trematoda

Digenetik: terdapat 2 generasi pada setiap daur hidup lengkap cacing, yaitu
generasi seksual dan generasi aseksual.
Monogenetik: terdapat hanya satu generasi cacing pada setiap daur hidup yang
lengkap.
Distomata: Trematoda yang mempunyai 2 alat isap mulut (sucker).
Asetabulum: alat isap yang terdapat di bagian ventral tubuh Trematoda yang
berfungsi untuk menempel; sering disebut sebagai ventral sucker.
Gynaecophoric canal: bentuk lekukan atau saluran yang terdapat pada badan
cacing jantan Schistosoma yang menjadi tempat cacing betina berada pada saat
terjadi kopulasi.
Mirasidium: larva Trematoda stadium pertama yang menetas dari telur trematoda
pada waktu masuk ke dalam air.
Sporokista: larva Trematoda stadium kedua yang terbentuk di dalam tubuh
moluska. Di dalam tubuh moluska terjadi multiplikasi aseksual stadium ini yang
hanya terjadi pada Schistosoma.
Redia: larva Trematoda stadium ketiga yang terjadi dalam tubuh moluska.
Multiplikasi aseksual redia terjadi pada semua trematoda, kecuali Schistosoma.
Serkaria: merupakan stadium terakhir trematoda yang terbentuk di dalam tubuh
moluska. Larva berekor ini akan meninggalkan tubuh moluska, hidup bebas di
dalam air atau kemudian membentuk kista pada tumbuhan atau hewan lainnya.
169

Furcocercus cercaria: serkaria yang mempunyai ekor bercabang (pada


Schistosoma).
Lophocercus cercaria: serkaria berekor besar (Metagonimus, Clonorchis,
Heterophyes).
Microcercus cercaria: serkaria berekor kecil (pada Paragonimus).
Pleurolophocercus: serkaria berekor panjang (pada Opistorchis).
Metaserkaria atau adolescaria: stadium infektif Trematoda yang terbentuk dari
serkaria yang membentuk kista dan kehilangan ekornya.
Schistosomulum: bentuk muda (imatur) cacing Schistosoma terbentuk di dalam
tubuh hospes definitif.
Vitellarium: kelenjar pada Trematoda (kelenjar vitelin) yang menghasilkan bahan
untuk mematangkan telur.

Tabel 9. Tempat hidup, stadium infektif dan hospes perantara kedua Trematoda

Habitat Nama Spesies Stadium Hospes peran-


(tempat hidup) Trematoda infektif tara kedua
Usus halus Fasciolopsis buski Metaserkaria Tanaman
Heterophyes heterophyes Metaserkaria Ikan
Metagonimus yokogawai Metaserkaria Ikan
Echinostoma Metaserkaria Siput
Hati Clonorchis sinensis Metaserkaria Ikan
Opistorchis felineus Metaserkaria Ikan
Opistorchis viverrini Metaserkaria Ikan
Fasciola hepatica Metaserkaria Tanaman
Dicrocoelium dendriticum Metaserkaria Semut
Paru Paragonimus westermani Metaserkaria Udang, ketam
Vena vesikalis Schistosoma Serkaria Tidak ada
haematobium
Vena porta atau Schistosoma mansoni Serkaria Tidak ada
vena rektalis
Schistosoma japonicum Serkaria Tidak ada

TREMATODA USUS
170

Fasciolopsis buski

Trematoda ini merupakan cacing trematoda yang terbesar ukurannya yang menginfeksi
manusia sehingga sering disebut sebagai cacing trematoda usus raksasa (giant intestinal
fluke). Cacing dewasa hidup di dalam usus halus, yaitu di duodenum dan jejunum
manusia dan babi. Fasciolopsis buski endemis di Cina, juga banyak dilaporkan dari
Taiwan, Vietnam, Kamboja, Laos, Thailand dan Indonesia.

Anatomi dan morfologi


Cacing dewasa. Fasciolopsis buski dewasa mempunyai bentuk seperti daun, dengan
ukuran panjang badan antara 20 dan 70 mm dan lebar badan antara 8 dan 20 mm.
Ciri-ciri anatomi dan morfologi cacing ini adalah sebagai berikut:

Gambar 86. Cacing Fasciolopsis buski


(a) Cacing dewasa (b) telur cacing
( Sumber: CDC : http://instruction.cvhs.okstate.edu)

Asetabulum: ukuran organ ini lebih besar daripada ukuran oral sucker.
Kepala: bagian kepala tidak mempunyai kerucut kepala (cephalic cone).
171

Usus dan alat pencernaan : terdapat prefaring pendek, faring yang berbentuk bola dan
usofagus yang pendek, diikuti oleh sepasang sekum yang tidak bercabang.
Alat reproduksi: terdapat dua buah testis yang bercabang dan tersusun di separuh badan
bagian posterior.
Ovarium: ovarium tidak bercabang, terletak di pertengahan tubuh.
Vitelaria: organ ini terletak di sebelah lateral sekum, tersebar mulai dari ujung anterior
setinggi ventral sucker sampai ke ujung posterior tubuh cacing.
Uterus: bentuk uterus yang melingkar menuju ke arah batas anterior ventral sucker, dan
berakhir pada atrium genital.

Telur: Telur mempunyai ukuran panjang 130-140 mikron dan lebar 80-95 mikron,
berdinding tipis tembus sinar, dan mempunyai operkulum kecil pada salah satu ujungnya.
Telur berbentuk lonjong berwarna kekuningan. Seekor cacing betina dapat memproduksi
sekitar 28.000 butir telur setiap harinya.

Gambar 87 . Diagram cacing Fasciolopsis buski.


(a) cacing dewasa (b) serkaria (c) telur
1.oral sucker 2. sekum 3. vitellari 4.ventral sucker
5.uterus . 6.ovarium 7. testis 8. ekor
172

Daur hidup. Bertindak sebagai hospes definitif cacing ini adalah manusia dan babi. Siput
air tawar genus Segmentina, Hippeutis, atau Gyraulus merupakan hospes perantara dalam
daur hidup cacing ini. Trematoda dalam daur hidupnya memerlukan hospes perantara
yang kedua, yaitu tanaman air yang menjadi tempat berkembangnya larva infektif
(metacercaria).
Infeksi pada manusia terjadi jika manusia termakan larva yang infektif
(metacercaria) yang terdapat pada tumbuhan air. Di dalam duodenum larva akan lepas
dari jaringan tanaman, melekatkan diri pada mukosa usus halus lalu berkembang menjadi
cacing dewasa. Dalam waktu 25 sampai 30 hari, cacing dewasa sudah mampu
menghasilkan telur cacing. Cacing dewasa pada umumnya hidup di dalam usus manusia
dalam waktu kurang dari 6 bulan.
Jika telur cacing yang ke luar bersama tinja penderita masuk ke dalam air, maka
dalam waktu 3 sampai 7 minggu pada suhu air sekitar 30 0 Celcius, telur akan menetas
menjadi larva mirasidium yang dapat berenang di dalam air. Dalam waktu 2 jam
mirasidium harus sudah dapat memasuki tubuh siput yang menjadi hospes perantara
pertama. Larva akan mati jika dalam waktu 5 jam sesudah ke luar dari tubuh penderita
tidak dapat memasuki badan siput.

Gambar 88. Daur hidup cacing Fasciolopsis buski


173

Sesudah memasuki tubuh siput air tawar mirasidium akan tumbuh menjadi sporokista.
Dari sporokista matang, maka akan terbentuk redia induk yang lalu memproduksi redia
anak yang selanjutnya berkembang menjadi serkaria (cercaria). Sesudah itu serkaria akan
keluar dari tubuh siput dan berenang untuk mencari tumbuhan air yang sesuai, yang akan
bertindak sebagai hospes perantara yang kedua. Dalam waktu 1 sampai 3 jam sesudah
mendapatkan tanaman air yang sesuai, serkaria akan berkembang menjadi larva
metaserkaria yang infektif

Infeksi dan gejala klinis. Fasciolopsis buski dapat menginfeksi manusia karena makan
tumbuhan air mentah dalam keadaan segar yang mengandung metaserkaria yang infektif.
Tumbuhan air yang sudah kering tidak berbahaya, karena metaserkaria tidak tahan
kekeringan.
Gejala klinis fasiolopsiasis buski terjadi karena cacing yang melekatkan diri pada
mukosa usus halus dapat menimbulkan keradangan, ulserasi dan abses, sehingga
menimbulkan keluhan nyeri epigastrium, mual, dan diare. Keluhan-keluhan ini umumnya
dirasakan oleh penderita pada pagi hari. Jika terjadi infeksi yang berat oleh parasit ini
penderita akan mengalami anemia, edema, asites dan anasarka. Kadang-kadang dapat
terjadi obstruksi usus. Pemeriksaan darah tep menunjukkan gambaran eosinofili sampai
35 persen.

Diagnosis. Penduduk yang tinggal di daerah endemis Fasciolopsis buski jika


menunjukkan gejala klinis berupa mual, diare, nyeri epigastrium, anemia berat, edema
atau asites, patut dicurigai telah terinfeksi parasit ini. Untuk menegakkan diagnosis pasti
harus dilakukan pemeriksaan tinja untuk menemukan telur cacing. Selain itu mungkin
dapat dijumpai cacing dewasa pada muntahan atau di dalam tinja penderita.

Pengobatan. Obat-obatan baru yang efektif untuk mengobati infeksi Fasciolopsis buski
adalah prazikuantel (obat pilihan) dan niklosamid yang diberikan per oral dengan takaran
sebagai berikut:
Prazikuantel. Obat diberikan dengan dosis 3x25 mg/kg berat badan per hari, diberikan
selama 1 hari (untuk orang dewasa dan anak berumur lebih dari 4 tahun).
174

Niklosamid. Dosis untuk orang dewasa, 2 gram sebagai dosis tunggal, sedangkan dosis
anak dengan berat badan 10-35 kg adalah 1 gram dan untuk anak dengan berat badan
kurang dari 10 kg diberikan 0,5 gram obat cacing.
Tetrakloetilen dan heksilresorkinol atau stilbazium iodide adalah obat-obatan lama yang
digunakan untuk mengobati cacing ini.

Pencegahan. Untuk mencegah penyebaran penyakit, setiap penderita harus diobati


dengan baik. Untuk memutuskan rantai daur hidup cacing harus dilakukan
pemberantasan siput yang menjadi hospes perantara pertamanya. Untuk memberantas
siput digunakan larutan sulfat tembaga dengan konsentrasi 1: 50.000. Selain itu, sayuran
atau tanaman air yang akan dimakan sebaiknya dimasak dengan baik, sehingga larva
infektif yaitu metaserkaria dapat dibasmi. Untuk membunuh telur, mirasidium dan
serkaria yang terdapat di dalam air, dapat diberikan larutan kapur sebanyak 100 ppm (part
per million) atau larutan sulfat tembaga dengan konsentrasi 20 ppm.
Dalam daur hidup Fasciolopsis buski babi dapat menjadi sumber penularan,
karena hewan ini dapat bertindak selaku hospes cadangan (reservoir host). Karena itu
hewan ini harus dijauhkan dari tempat yang banyak ditumbuhi tanaman air. Penggunaan
tinja manusia maupun tinja babi sebagai pupuk harus dilarang.

Heterophyes heterophyes

Cacing ini hidup di dalam lumen usus atau djumpai melekat pada mukosa usus di antara
vilus-vilus usus manusia dan hewan pemakan ikan yang menjadi hospes definitifnya..
Infeksi cacing ini (heterofiasis) banyak dilaporkan dari Asia Timur (Cina dan Asia
Tenggara) dan Mesir, yang merupakan daerah endemis cacing ini.
175

Anatomi dan morfologi. Heterophyes dewasa berukuran sangat kecil dengan panjang
badan sekitar 1,3 mm dan lebar badan sekitar 0,5 mm. Cacing berbentuk piriform,
berwarna agak kelabu. Cacing dewasa mempunyai kutikulum berduri halus seperti sisik .
Ventral sucker. Alat isap ini terletak di daerah sepertiga tengah bagian anterior tubuh.
Genital sucker. Alat isap genital yang dapat digerakkan ke luar masuk ini, terdapat di
bagian posterior dari alat isap ventral.
Alat reproduksi. Ovarium berbentuk bulat, terletak di bagian anterior testis.

Telur. Telur cacing mempunyai penutup (operculum). Telur berdinding tebal dengan
ukuran panjang telur sekitar 29 mikron dan lebar sekitar 16 mikron. Pada waktu
dikeluarkan oleh induk cacing, telur telah mengandung mirasidium yang hidup.

Gambar 89. Heterophyes heterophyes


A. Cacing dewasa B. Telur C. Siput Pirenella
(Sumber: http://www.medicine.cmu.ac.th/dept/parasite/trematodes
http://www/conchology.be/images/label )
176

Gambar 90. Diagram cacing Heterophyes heterophyes


a. Cacing dewasa b. Telur c. Serkaria.
1. alat isap mulut 2. sisik anterior 3. sekum 4. alat isap ventral
5. alat isap genital 6. uterus 7. ovarium 8. vitelaria 9. testis

Daur hidup. Hospes definitif cacing ini adalah manusia dan hewan pemakan ikan,
sedangkan siput air tawar, misalnya Pirenella dan Cerithidea merupakan hospes
perantara pertama. Selaku hospes perantara kedua adalah beberapa jenis ikan, misalnya
Mugil, Tilapia dan Acanthogobius.
Telur cacing yang masuk ke dalam air jika dimakan siput, di dalam tubuh siput
A
telur menetas dan larva mirasidium akan tumbuh menjadi sporokista, lalu redia dan
kemudian berkembang menjadi serkaria. Serkaria kemudian akan ke luar dari tubuh siput.
dan mencari ikan yang bertindak selaku hospes perantara yang kedua. Di bawah sisik
ikan atau di dalam daging ikan serkaria akan tumbuh menjadi kista metaserkaria yang
infektif bagi hospes definitif. Infeksi pada manusia terjadi karena makan ikan mentah
yang mengandung stadium infektif cacing ini (metacercaria) atau makan ikan yang
infektif yang dimasak kurang matang. Dalam waktu 2 minggu sesudah infeksi, larva telah
berkembang menjadi cacing dewasa yang sudah mampu bertelur.
177

Gambar 91. Daur hidup Heterophyes heterophyes

Penularan parasit. Heterophyes merupakan parasit pada manusia dan berbagai macam
hewan seperti kucing, anjing dan mamalia atau burung pemakan ikan. Nelayan yang
menderita heterofiasis merupakan sumber penularan bagi penduduk lainnya, karena
umumnya mereka buang air besar di daerah perairan tempat mereka mencari nafkah.

Gejala klinis dan diagnosis. Gejala klinis dan keluhan penderita umumnya baru terjadi
pada infeksi berat. Hal ini disebabkan oleh terjadinya iritasi cacing pada mukosa usus
yang dapat menimbulkan diare berlendir yang menahun, disertai kolik dan nyeri perut.
Cacing dewasa yang menembus vili usus menyebabkan telur cacing akan menyebar
melalui aliran darah dan limfe, sehingga dapat menimbulkan granuloma di dalam otak
dan jantung.
Diagnosis pasti infeksi Heterophyes dapat ditetapkan dengan melakukan
pemeriksaan tinja penderita untuk menemukan telur cacing yang spesifik bentuknya.
178

Pengobatan dan pencegahan. Sebagai obat pilihan untuk memberantas Heterophyes


maupun cacing famili Heterophyiidae lainnya adalah Prazikuantel. Obat ini diberikan
dengan takaran 3x 25 mg/kg berat badan per hari (dosis dewasa dan dosis anak) .
Obat-obat lain yang bisa digunakan adalah tetrakloretilen, befenium hidroksinaftoat dan
heksilresorkinol.
Untuk mencegah penularan parasit ini ikan yang dimakan harus dimasak dengan
sempurna dan tidak makan ikan mentah.

Metagonimus yokogawai

Infeksi dengan cacing ini (metagonimiasis) dilaporkan dari Asia Timur, Asia Tenggara,
Siberia dan Balkan. Cacing dewasa hidup di bagian atas dan tengah jejunum hospes
definitif, yaitu anjing, kucing, babi, burung pelikan, dan manusia.

Anatomi dan morfologi


Cacing dewasa. Metagonimus dewasa mempunyai ukuran panjang sekitar 2 mm dan
lebar badan 0,5 mm. Bagian anterior ujung badan mempunyai kutikulum yang bersisik.
Acetabulum (asetabulum). Organ yang juga disebut ventral sucker ini terletak di bagian
kanan dari garis tengah tubuh.
Genital pore. Lubang genital ini terletak di tepi tubuh bagian anterior, berdekatan dengan
asetabulum.

Gambar 92. Cacing dewasa Metagonimus yokogawai


(URL: http://www.medicine.cmu.ac.th/dept/parasite/trematodes/M-yogo)
179

Telur. Bentuk telur cacing ini mirip telur Heterophyes, baik bentuk maupun ukurannya,
sehingga sulit dibedakan.

Daur hidup
Hospes perantara pertama daur hidup cacing ini adalah siput air tawar
Semisulcospira libertina, sedangkan hospes perantara yang kedua adalah ikan air tawar
yang sering dimakan manusia, yaitu Plectoglossus dan Salmoperryi.

Gambar 93. Daur hidup Metagonimus yokogawai

Penularan cacing. Infeksi Metagonimus yokogawai pada manusia terjadi karena makan
ikan mentah yang mengandung stadium infektif cacing ini. Sumber infeksi (hospes
reservoir) adalah hewan mamalia pemakan ikan dan burung pelikan.

Gejala klinis dan diagnosis. Metagonimus yang melekat pada permukaan usus
menimbulkan iritasi sehingga menyebabkan terjadinya keradangan dan erosi sel. Selain
itu pembentukan jaringan granuloma dapat terjadi di jantung, otak dan organ lainnya.
Diagnosis pasti metagonimiasis ditetapkan jika ditemukan telur cacing pada pemeriksaan
tinja. Pasca pengobatan akan ditemukan cacing dewasa di dalam tinja.
180

Pengobatan dan pencegahan. Untuk mengobati metagonimiasis dapat digunakan


Prazikuantel sebagai obat pilihan dengan takaran 3x25 mg/kg berat badan per hari
(dosis dewasa maupun dosis anak) yang diberikan dalam waktu 1 hari.
Penularan metagonimiasis dapat dicegah dengan selalu memasak dengan baik ikan yang
akan dimakan.

Echinostoma

Infeksi Echinostoma (ekinostomiasis) dilaporkan dari beberapa daerah di Asia, antara lain
dari Cina, Asia Tenggara dan India. Parasit dewasa hidup di dalam usus halus manusia
dan beberapa jenis hewan.

Anatomi dan morfologi. Echinostoma dewasa berukuran 15x 3,5 mm dengan kutikulum
yang mempunyai sisik-sisik halus. Di sekitar oral sucker terdapat banyak duri, yang
merupakan ciri khas anatomi cacing ini.
Beberapa ciri khas lain dari cacing ini adalah:
Testis. Bentuk testis yang terdapat di bagian posterior tubuh cacing bentuknya
bulat atau mempunyai lobus-lobus yang tersusun satu di belakang lainnya.
Ovarium. Organ reproduksi ini berbentuk bulat, terletak di sebelah anterior dari
testis.

Telur. Telur yang berbentuk lonjong ini berukuran 82 x 116 mikron, mempunyai
operkulum. Waktu telur dikeluarkan oleh induknya, mirasidium yang terdapat di dalam
telur belum infektif.
181

Gambar 94. Cacing Echinostoma


Cacing dewasa dan bagian anterior cacing .
(Sumber: Stanford University)

Daur hidup. Telur cacing yang jatuh ke dalam air dalam waktu beberapa minggu akan
menetas. Larva mirasidium akan ke luar, masuk ke dalam air lalu berenang mencari siput
kecil yang menjadi hospes perantara pertamanya, misalnya Gyraulus dan Anisus. Di
dalam tubuh siput, mirasidium akan segera berkembang menjadi redia induk, redia dan
kemudian serkaria. Larva serkaria segera meninggalkan tubuh siput yang menjadi hospes
perantara pertama, lalu masuk ke dalam air mencari hospes perantara yang kedua, yaitu
siput berukuran besar, yaitu Pila dan Corbicula.
`Di dalam tubuh hospes perantara yang kedua, serkaria akan berkembang menjadi
metaserkaria yang merupakan stadium yang infektif bagi hospes definitif. Ikan air tawar
dan tumbuhan air mungkin juga dapat bertindak sebagai hospes perantara kedua.
182

Gambar 95. Daur hidup cacing Echinostoma.

Gejala klinis dan diagnosis. Infeksi Echinostoma menimbulkan kerusakan ringan pada
mukosa usus, disertai dengan terjadinya iritasi jaringan dinding usus. Pada infeksi yang
berat dapat terjadi pembentukan ulkus yang menyebabkan penderita mengalami diare,
nyeri perut, anemia, dan atau edema.
Diagnosis ekinostomiasis ditentukan dengan melakukan pemeriksaan tinja untuk
menemukan telur cacing yang khas bentuknya.

Pengobatan dan pencegahan. Prazikuantel dapat diberikan untuk mengobati


ekinostomiasis dengan dosis 25 mg/kg berat badan dalam bentuk dosis tunggal. Selain itu
infeksi cacing ini dapat diobati dengan tetrakloretilen .
Untuk mencegah infeksi parasit ini siput sawah ukuran besar (Pila, Corbicula),
ikan atau tumbuhan air yang hendak dimakan harus dimasak dengan baik.
183

TREMATODA HATI

Infeksi Trematoda hati terutama disebabkan oleh Clonorchis sinensis, Opistorchis


felineus, Opistorchis viverrini, Fasciola hepatica dan Dicrocoelium dendriticum. Cacing-
cacing ini hidup di dalam jaringan hati, saluran empedu, kandung empedu, atau di dalam
ductus pancreaticus.
Manusia, mamalia dan unggas dapat bertindak sebagai hospes definitif Trematoda
hati. Diperlukan dua jenis hospes perantara, yaitu siput sebagai hospes perantara pertama,
dan ikan, siput atau semut sebagai hospes perantara yang kedua.

Clonorchis sinensis

Infeksi cacing yang disebut juga sebagai Chinese liver fluke atau Oriental liver fluke ini
dilaporkan penderitanya dari Jepang, Korea, Cina, Taiwan dan Vietnam. Clonorchis
sinensis dewasa hidup di dalam cabang distal saluran empedu manusia, anjing, kucing,
babi , dan kadang-kadang juga angsa.

Gambar 96. Cacing Clonorchis sinensis


184

(URL: http://www.atlas.or.kr)
Anatomi dan morfologi
Cacing dewasa. Clonorchis sinensis dewasa berbentuk ppih seperti daun, mempunyai
ukuran panjang sekitar 12- 20 mm, dan lebar badan sekitar 3-5 mm.
Sucker. Ukuran ventral sucker cacing ini yang lebih kecil dari pada oral sucker.
Caecum. Cacing ini mempunyai usus yang panjang sehingga mencapai bagian posterior
badan cacing.
Testis. Clonorchis sinensis mempunyai dua buah testis yang memiliki lobus yang dalam
dan tersusun satu di belakang lainnya (tandem). Testis terletak di bagian posterior tubuh
cacing.
Ovarium. Ovarium yang berukuran kecil ini terletak di garis tengah tubuh, di bagian
anterior dari testis..

Telur. Bentuk telur yang khas berwarna kekuningan, berukuran sekitar 29x16 mikron,
mempunyai operkulum di salah satu ujungnya. Di ujung telur yang menebal, terdapat
tonjolan kecil. Pada waktu keluar dari tubuh induknya telur Clonorchis telah mengandung
larva mirasidium.

Gambar 97. Diagram Clonorchis sinensis


(a) Cacing dewasa (b). Telur (c). Serkaria
1. oral sucker 2. sekum 3. ventral sucker 4. uterus 5.vitellaria 6. ovarium
185

7-8. testis 9. kantong ekskresi10.bintik mata , 11. sirip ekor


Daur hidup. Jika telur yang keluar bersama tinja penderita masuk ke dalam air, di dalam
air telur akan menetas menjadi larva mirasidium. Di dalam tubuh siput air (Bulinus,
Semisulcospira, atau Hua) yang memakannya larva mirasidium lalu berkembang menjadi
sporokista, yang kemudian berkembang menjadi redia dan akhirnya terbentuk serkaria.
Sesudah itu serkaria meninggalkan tubuh siput yang menjadi hospes perantara pertama,
kemudian mencari hospes perantara kedua, yaitu ikan air tawar (Cyprinidae). Serkaria
menembus bagian bawah sisik ikan dan tumbuh menjadi metaserkaria, lalu berkembang
menjadi kista metaserkaria yang infektif bagi hospes definitif.

Gambar 98. Daur hidup Clonorchis sinensis.

Gejala klinis. Di dalam saluran empedu cacing menimbulkan iritasi mekanis. Selain itu
cacing ini juga menghasilkan toksin. Pada infeksi yang ringan cacing tidak menimbulkan
keluhan dan gejala pada penderita. Infeksi berat Clonorchis sinensis dapat menimbulkan
kelemahan badan, penurunan berat badan, anemia, edema, asites, hepatomegali dan diare.
186

Diagnosis. Jika di daerah endemis klonorkiasis yang penduduknya mempunyai kebiasaan


makan ikan mentah ditemukan hepatomegali pada seorang penduduk, terjadinya infeksi
dengan parasit ini harus dipertimbangkan.
Untuk menetapkan diagnosis pasti klonorkiasis sinensis harus dilakukan pemeriksaan
tinja atau cairan duodenum penderita untuk menemukan telur cacing yang khas
bentuknya.

Pengobatan. Obat pilihan untuk mengobati penderita klonorkiasis adalah Prazikuantel.


Dengan takaran 25 mg/kg berat badan 3 kali sehari selama 1-2 hari atau 40 mg/kg berat
badan obat ini diberikan dalam bentuk dosis tunggal. Selain itu dapat diberikan
Albendazol dengan dosis 10 mg/kg berat badan, diberikan selama 7 hari.

Pencegahan. Untuk mencegah terjadinya infeksi dengan Clonorchis sinensis ikan yang
akan dimakan harus dimasak dengan baik. Pencemaran perairan dengan tinja penderita
harus dicegah dengan cara membuat WC yang memenuhi prinsip kesehatan lingkungan.

Opistorchis

Opistorkiasis (infeksi yang disebabkan oleh cacing Opistorchis) menimbulkan penyakit


yang gejala dan keluhannya mirip klonorkiasis. Opistorchis viverrini endemis di
Thailand, Kamboja dan Laos, sedangkan Opistorchis felineus tersebar di Rusia, Eropa
Timur dan Asia (Vietnam dan India).
Opistorchis dewasa hidup di dalam saluran empedu hospes definitif, yaitu
manusia dan mamalia pemakan ikan .

Anatomi dan morfologi


Cacing dewasa. Opistorchis dewasa berbentuk seperti pisau bedah (lanset), dengan
panjang badan antara 7-12 mm, dan lebar badan antara 2-3 mm.
187

Sucker. Cacing ini mempunyai dua jenis alat isap, yaitu alat isap mulut (oral
sucker) dan alat isap ventral (ventral sucker) yang sama besar ukurannya.
Alat reproduksi. Opistorchis mempunyai uterus yang berlobus dan berbentuk
melingkar terletak di pertengahan tubuh. Cacing ini juga mempunyai dua buah
testis yang juga berlobus.
Vitellaria. Kelenjar vitellin ini terletak di sepertiga tubuh bagian tengah.

Telur. Telur Opistorchis bentuknya mirip telur Clonorchis sinensis, berukuran sekitar 30
mikron x 12-16 mikron (O.felineus) dan 26x13 mikron (O.viverrini). Telur ini telah
mengandung embrio di dalamnya.

Gambar 99. Opistorchis dan Clonorchis sinensis.


A. Opistorchis viverrini B. O. felineus C. Clonorchis sinensis
(Sumber: http://www.impe-qn.org.vn/upload)

Daur hidup. Selain manusia, anjing, kucing dan mamalia pemakan ikan lainnya
merupakan hospes definitif cacing ini. Sebagai hospes perantara pertama dalam daur
hidup Opistorchis adalah siput (Bulimus). Di dalam tubuh siput, telur yang tertelan akan
188

menetas menjadi larva mirasidium, yang kemudian berkembang menjadi larva serkaria.
Larva ini kemudian meninggalkan tubuh siput, mencari hospes perantara yang kedua,
yaitu ikan dari keluarga Cyprinidae. Di dalam tubuh ikan serkaria akan berkembang
menjadi metaserkaria yang infektif. Infeksi cacing terjadi karena makan ikan mentah
yang mengandung larva metaserkaria.

Gambar 100. Daur hidup Opistorchis viverrini

Gejala klinis dan diagnosis. Opistorchis menyebabkan terjadinya kerusakan hati dan
pembesaran hati (hepatomegali), diikuti dengan terjadinya perubahan sifat jaringan
menjadi adenoma dan karsinoma papiler. Gejala klinis yang dialami penderita berupa
hilangnya nafsu makan, dispepsi, kembung, nyeri epigastrium, demam, hepatomegali,
ikterus, diare dan anemia. Jika terjadi urtikaria, gambaran darah tepi akan menunjukkan
gambaran leukositosis yang tidak disertai eosinofilia. Diagnosis pasti opistorkiasis
ditetapkan jika pada pemeriksaan tinja atau cairan duodenum penderita dapat ditemukan
telur cacing yang spesifik bentuknya.

Pengobatan dan pencegahan. Untuk mengobati infeksi cacing ini digunakan


Prazikuantel sebagai obat pilihan dengan dosis tunggal 40 mg/kg berat badan atau
diberikan 3x 25 mg/kg berat badan per hari diberikan selama 1 hari.
Gentian violet dapat juga digunakan untuk mengobati opistorkiasis.
189

Untuk mencegah infeksi opistorkiasis, dianjurkan untuk selalu memasak ikan


dengan baik serta menjaga kebersihan lingkungan dan mengobati penderita.

Fasciola hepatica

Fasciola hepatica merupakan trematoda hati yang sering menginfeksi domba, karena itu
cacing ini disebut sebagai sheep liver fluke. Cacing dewasa hidup di dalam saluran
empedu bagian proksimal dan di dalam kantung empedu hospes definitif (manusia,
herbivora). Infeksi dengan Fasciola hepatica disebut fasioliasis yang tersebar luas di
berbagai daerah di seluruh dunia.

Anatomi dan morfologi


Cacing dewasa. Fasciola hepatica dewasa mempunyai ukuran panjang tubuh antara 20
dan 30 mm dan lebar badan antara 8 dan 13 mm. Bentuk cacing dewasa pipih seperti
daun yang mempunyai tonjolan khas di daerah anterior (cephalic cone), sehingga
memberi gambaran seperti bahu (shoulder).
Sucker. Terdapat dua jenis alat isap, yaitu oral sucker dan ventral sucker yang
sama ukuran besarnya.
Usus. Fasciola hepatica mempunyai usus yang mempunyai cabang-cabang
lateral yang mencapai ujung distal dari sekum.
190

Gambar 101 . Fasciola hepatica. (a) cacing dewasa (b) telur


(URL: http://instructions.okstate.edu)
Alat reproduksi. Ovarium dan testis cacing ini bercabang, sedangkan uterusnya
melingkar.
Vitellaria. Vitellaria cacing ini mempunyai percabangan yang intensif dan tersebar
luas ke seluruh jaringan parenkim cacing.

Telur. Bentuk telur cacing lonjong, mempunyai operkulum. Ukuran panjang telur antara
130-150 mikron dan lebar 63-90 mikron. Waktu telur keluar dari tubuh hospes definitif,
telur belum berembrio dan tidak infektif.
191

Gambar 102 . Struktur Fasciola hepatica


(a). cacing dewasa. 1. oral sucker 2. faring 3.cephalic cone 4. sekum
5. ventral sucker 6. uterus 7. ovarium 8. testis 9..vitellaria.10. ekor
(b). telur cacing (c). serkaria

Daur hidup. Hospes definitif cacing ini adalah manusia dan herbivora, sedangkan siput
air tawar Lymnea bertindak sebagai hospes perantara utama. Hospes perantara yang
kedua adalah tanaman air atau rumput, yang menjadi tempat berkembangnya kista
metaserkaria (metacercarial cyst) yang merupakan stadium infektif cacing ini. Jika telur
cacing yang ke luar bersama tinja penderita masuk ke dalam air, dalam waktu 9 sampai
15 hari di dalam telur akan terjadi pertumbuhan mirasidium. Setelah menetas mirasidium
akan berenang mencari siput yang menjadi hospes perantara pertama.
Di dalam tubuh siput mirasidium tumbuh menjadi sporokista, redia, dan
selanjutnya berkembang menjadi serkaria (cercaria). Serkaria akan keluar dari tubuh
siput dan berenang untuk mencari tumbuhan air atau rumput dan berubah menjadi kista
metaserkaria yang infektif.
192

Gambar 103. Daur hidup Fasciola hepatica

Jika manusia termakan stadium infektif (kista metaserkaria) yang terdapat pada tumbuhan
air, di dalam duodenum metaserkaria akan lepas dari jaringan tanaman air, melakukan
migrasi melalui dinding usus dan mencapai hati melalui aliran darah. Sebagian besar
metaserkaria akan mencapai saluran empedu dan kandung empedu, kemudian akan
berkembang menjadi cacing dewasa.

Gejala klinis. Fasciola hepatica dewasa dapat menyebabkan keradangan pada saluran
empedu, menimbulkan atrofi pada parenkim hati dan kemudian dapat terjadi sirosis
periportal. Dari usus cacing muda mengadakan migrasi ke hati yang dapat menimbulkan
lesi ektopik di dinding usus, jantung, bola mata, paru, dan jaringan di bawah kulit.
Terjadinya penyakit halzoun (laringofaringitis) pada penduduk Afrika Utara dan Timur
Tengah disebabkan adanya kebiasaan penduduk daerah tersebut makan organ hati dalam
keadaan mentah yang mengandung cacing Fasciola hepatica muda yang kemudian
melekat di mukosa faring.
193

Diagnosis. Pada penderita fasioliasis terjadi hepatomegali disertai sindrom demam


eosinofilik. Untuk menegakkan diagnosis pasti terjadinya infeksi dengan Fasciola
hepatica harus dilakukan pemeriksaan tinja dan empedu penderita untuk menemukan
telur cacing yang khas bentuknya
Pemeriksaan serologi misalnya uji fiksasi komplemen atau tes intradermal dapat
dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis fasioliasis hepatica.

Pengobatan. Sebagai obat pilihan terhadap fasioliasis hepatica adalah Triclabendazol


dengan dosis (dewasa dan anak) 10 mg/kg yang diberikan satu atau dua kali pemberian.
Obat pilihan pengganti yang bisa diberikan adalah Bithionol dengan dosis (dewasa dan
anak) 30-50 mg/kg dua hari sekali selama 10-15 dosis atau Nitazoxanide 2x500 mg
selama 3 hari untuk orang dewasa. Dosis anak Nitazoxanide: umur 1-3 tahun 2x100 mg
dan umur 4-.11 tahun 2x200 mg, yang diberikan selama 3 hari.
Prazikuantel juga bisa diberikan dengan dosis 25 mg/kg berat badan 3x sehari
atau diberikan sebagai dosis tunggal sebesar 40 g/kg berat badan selama satu atau dua
hari. Selain itu Emetinhidroklorida sebanyak 30 mg setiap hari selama 18 hari melalui
suntikan intramuskuler dapat digunakan untuk mengobati infeksi cacing ini.
Diklorofenol juga dapat digunakan untuk mengobati infeksi Fasciola hepatica.

Pencegahan. Penularan fasioliasis dapat dicegah dengan mengobati setiap penderita


dengan baik. Daur hidup parasit dapat diputuskan dengan memberantas siput yang
menjadi hospes perantara pertama. Larva infektif yaitu metaserkaria dapat dibasmi
dengan memasak dengan baik sayuran yang akan dimakan.
Penyakit halzoun dapat dicegah dengan tidak makan organ hati dalam keadaan
mentah, tetapi harus dimasak lebih dahulu.

Dicrocoelium dendriticum

Dicrocoelium dendriticum yang disebut juga sebagai lancet fluke dan tersebar di seluruh
dunia ini hidup di dalam saluran empedu dan jaringan hati hospes definitif, yaitu biri-biri
dan kadang-kadang manusia.
194

Anatomi dan morfologi


Cacing dewasa. Bentuk cacing dewasa seperti pisau bedah (lanset). Ukuran panjang
badan cacing sekitar 5 mm -15 mm, sedangkan lebar badan antara .1,5 mm - 2,5 mm.
Sucker. Cacing ini mempunyai oral sucker maupun ventral sucker yang sama
besar ukurannya.
Alat pencernaan. Usus cacing mempunyai sekum yang tidak bercabang.
Alat reproduksi. Cacing memiliki uterus yang bentuknya melingkar, yang
terdapat di bagian posterior tubuh cacing. Selain itu terdapat dua buah testis yang
besar ukurannya dengan lobus yang tidak nyata. Testis terletak di sebelah anterior
ovarium yang berukuran kecil dan bulat bentuknya.
Vitellaria. Kelenjar ini terletak di sepertiga tubuh bagian tengah.

Telur. Warna telur coklat tua, berdinding tebal dan mempunyai operkulum. Telur cacing
yang berukuran 38-45 mikron x 22-30 mikron mengandung mirasidium yang sempurna di
dalamnya.

Daur hidup. Sebagai hospes definitif utama Dicrocoelium dendriticum adalah domba,
sedangkan manusia jarang terinfeksi cacing ini. Hospes perantara pertama cacing ini
adalah siput darat misalnya Cochlicella dan Abida sedangkan yang bertindak sebagai
hospes perantara yang kedua adalah semut Formica fusca.
Jika telur yang keluar bersama tinja penderita dimakan siput darat, telur akan menetas
menjadi larva mirasidium di dalam tubuh siput. Larva mirasidium kemudian berubah
menjadi sporokista, lalu berkembang menjadi serkaria.
195

Gambar 104. Daur hidup Dicrocoelium dendriticum

Serkaria yang keluar dari tubuh siput jika dimakan semut akan tumbuh menjadi
metaserkaria yang infektif. Bila semut termakan hospes definitif, metaserkaria akan ke
luar dari kista, menembus dinding usus hospes definitif lalu menuju ke hati dan saluran
empedu melewati sistem portal.

Gejala klinis dan diagnosis. Karena kerusakan mekanis dan toksik yang terjadi pada
hospes sangat kecil, maka keluhan penderita dan gejala klinis sangat ringan, berupa
gangguan pencernaan, kembung, muntah, kolik empedu, diare atau konstipasi kronis.
Untuk menetapkan diagnosis, harus dilakukan pemeriksaan tinja untuk menemukan telur
cacing yang khas bentuknya.

Pengobatan dan pencegahan. Prazikuantel diberikan dengan dosis 25 mg/kg berat


badan yang diberikan tiga kali sehari selama dua hari, atau diberikan dalam bentuk dosis
tunggal sebesar 40 mg/kg berat badan. Klorokuin atau gentian violet dapat diberikan,
sesuai dengan beratnya infeksi.
Pencegahan sulit dilakukan karena hospes perantara sulit ditemukan.
196

TREMATODA PARU

Paragonimus westermani

Paragonimus westermani adalah parasit zoonosis yang dikenal sebagai cacing paru yang
menyebabkan penyakit paragonimiasis. Cacing dewasa hidup dalam bentuk kista di
jaringan paru hospes definitifnya, yaitu hewan pemakan ketam dan kadang-kadang
manusia.
Cacing ini tersebar di berbagai daerah di Asia, misalnya Cina, Taiwan, Korea,
Jepang, Filipina, Thailand, Vietnam, Malaysia, India, Afrika, Amerika Utara dan Amerika
Selatan.

Anatomi dan morfologi


Cacing dewasa. Paragonimus westermani dewasa berwarna coklat kemerahan, dengan
panjang badan sekitar 16 mm x 8 mm dan ketebalan 5 mm. Pada waktu hidup cacing paru
berbentuk seperti sendok, sedangkan jika telah mati bentuknya menjadi bulat lonjong
mirip biji kopi. Kutikula cacing ini memiliki kutikula berspina yang merupakan ciri khas
morfologinya.

Gambar 105. Paragonimus westermani. (a) cacing dewasa (b) telur


197

(URL: http://www.wadworth.org/parasitology)
Sucker. Cacing paru mempunyai dua jenis alat isap yaitu oral sucker dan ventral
sucker yang sama besar.
Alat reproduksi. Terdapat dua buah testis berlobus yang tidak teratur bentuknya,
yang terletak berdampingan pada sepertiga tubuh bagian posterior. Terletak di
bagian anterior dari testis dan berada di bagian posterior dari ventral sucker
terdapat ovarium yang juga mempunyai lobus-lobus.
Vitellaria. Kelenjar vitelin ini mempunyai banyak cabang, memenuhi seluruh
bagian tepi badan parasit.

Telur. Telur Paragonimus berwarna kuning kecoklatan, berbentuk lonjong dengan


ukuran sekitar 95x55 mikron. Telur cacing ini mempunyai operkulum yang menebal
tepinya. Ketika baru ke luar dari tubuh induknya, telur belum berisi mirasidium.

Gambar 106. Bagan struktur Paragonimus westermani


(a) dewasa (b) telur (c) serkaria.
1.alat isap mulut 2. spina 3. faring 4. sekum 5. vitelaria 6. ovarium
7. alat isap ventral 8. uterus 9. testis

Daur hidup. Bertindak sebagai hospes definitif Paragonimus adalah hewan pemakan
ketam dan manusia. Sebagai hospes perantara pertama dalam daur hidup cacing ini
adalah siput genus Hua, Semisulcospira dan Thiara, sedang ketam atau udang batu
merupakan hospes perantara yang kedua. Bersama dahak atau tinja penderita, telur
cacing keluar dari tubuh hospes definitif. Di dalam air telur akan berkembang dan
198

kemudian menetas menjadi larva mirasidium dalam waktu 3 minggu. Mirasidium


kemudian akan memasuki tubuh siput dan tumbuh menjadi sporokista, lalu menjadi redia
dan akhirnya berkembang menjadi serkaria. Larva serkaria kemudian meninggalkan
tubuh siput, memasuki badan ketam atau udang batu, dan berkembang menjadi
metaserkaria yang infektif.

Gambar 107. Daur hidup Paragonimus westermani

Cara infeksi. Paragonimiasis terjadi jika orang makan ketam atau udang mentah yang
mengandung metaserkaria yang merupakan stadium infektif. Metaserkaria kemudian
berkembang menjadi cacing muda di dalam duodenum, lalu menembus dinding usus dan
masuk ke dalam rongga perut. Kemudian cacing muda akan menembus diafragma,
memasuki rongga pleura dan akhirnya mencapai jaringan paru. Cacing muda tumbuh
menjadi cacing dewasa di dalam rongga kista yang terbentuk di dekat bronkus.

Gejala klinis. Akibat adanya cacing dewasa di dalam jaringan paru menimbulkan batuk
kering yang terjadi pagi hari yang kadang-kadang disertai dahak berdarah (hemoptisis).
199

Nyeri dada yang timbul disertai demam ringan menyulitkan membedakannya dari TBC
paru, pnemonia atau bronkiektasi. Cacing yang mengadakan migrasi pada organ-organ
menimbulkan reaksi berbeda, tergantung pada organ yang terserang. Infeksi ringan cacing
ini dapat menyembuh dengan sendirinya, sedangkan pada infeksi yang berat atau jika
parasit terdapat di otak akan menyebabkan buruknya prognosis..

Diagnosis. Penderita paragonimiasis menunjukkan gejala klinis yang sulit dibedakan dari
penyakit-penyakit paru lainnya. Pada pemeriksaan darah terdapat gambaran eosinofilia
sedangkan pada foto paru dapat ditunjukkan adanya kista cacing yang dapat membantu
menegakkan diagnosis paragonimiasis. Selain itu pemeriksaan imunologik misalnya uji
fiksasi komplemen atau tes intradermal dapat juga membantu menegakkan diagnosis.

Untuk menegakkan diagnosis pasti paragonimiasis harus ditemukan telur cacing dalam
dahak atau tinja penderita. Mungkin telur cacing juga dapat ditemukan pada hasil
aspirasi pleura.

Pengobatan dan pencegahan. Sebagai obat pilihan untuk mengobati paragonimiasis


adalah Prazikuantel dan sebagai obat pilihan pengganti dapat digunakan Bithionol.
Prazikuantel dengan dosis 25 mg/kg berat badan diberikan 3 kali sehari selama dua hari
atau 40 mg/kg berat badan sebagai dosis tunggal.
Bithionol diberikan dengan dosis 30-50 mg/kg dua hari sekali sebanyak 10-15 dosis.

Untuk mencegah penyebaran parasit ini, ketam dan udang yang dimakan harus dimasak
dengan baik.
200

TREMATODA DARAH

Schistosoma

Tiga spesies Schistosoma yang menimbulkan masalah kesehatan pada manusia adalah
Schistosoma japonicum, Schistosoma haematobium dan Schistosoma mansoni.
Schistosoma adalah trematoda yang sistem reproduksinya tidak hermafrodit.
Ukuran cacing jantannya lebih besar tetapi lebih pendek dari pada ukuran cacing betina.
Cacing jantan memiliki canalis gynaecophorus, saluran tempat cacing betina berada
selama cacing jantan dan betina mengadakan hubungan kelamin.

Gambar 108. Schistosoma jantan dan betina


( URL: http://vet.kku.ac.th)

Sebaran geografis. Daerah sebaran skistosomiasis sesuai dengan sebaran populasi siput
yang menjadi hospes perantara masing-masing spesies cacing. Schistosoma haematobium
dilaporkan dari Afrika dan negara-negara Timur Tengah, sedangkan Schistosoma
japonicum endemis di Asia Timur dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Schistosoma
mansoni banyak dijumpai di Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan.
201

Schistosomiasis japonicum di Indonesia dilaporkan endemis di Sulawesi Tengah dengan


prevalensi antara 12% sampai dengan 74%. Sesudah dilakukan pemberantasan sejak
tahun 1995 melalui pengobatan penderita dan pemberantasan siput penularnya, prevalensi
schistosomiasis menurun pada tahun 2004 menjadi kurang dari 1%.

Tempat hidup. Cacing Schistosoma mempunyai tempat hidup di dalam vena-vena yang
berbeda, sehingga dalam pemeriksaan parasitologis telur cacing dapat ditemukan di
dalam urine, atau pada tinja penderita.
Tempat hidup cacing Schistosoma japonicum adalah di dalam vena porta
intrahepatik, vena mesenterika ileosekal dan didalam pleksus vena hemoroidalis,
sehingga telurnya ditemukan di dalam tinja atau ditemukan dengan melakukan biopsi hati
dan biopsi rektum. Cacing Schistosoma haematobium hidup di dalam vena-vena panggul,
kandung kemih, prostat dan uterus sehingga telurnya dapat ditemukan di dalam urine
penderita atau dari bahan biopsi mukosa kandung kemih. Schistosoma mansoni telurnya
dapat ditemukan di dalam tinja penderita atau dari biopsi rektum karena cacing dewasa
hidup di dalam vena mesenterika rektosigmoid dan di cabang intrahepatik vena porta.

Anatomi dan morfologi


Cacing dewasa. Saluran pencernaan cacing ini mula-mula bercabang menjadi dua
sekum, kemudian di daerah posterior tubuh, kedua cabang sekum akan kembali menjadi
satu saluran buntu.
Sistem ekskresi. Cacing Schistosoma mempunyai sistem ekskresi berupa sel api
(flame cell) beserta dengan saluran-salurannya.
Sistem reproduksi. Cacing jantan mempunyai testis berjumlah antara 4 sampai 9
buah yang terletak di bagian dorsal di belakang ventral sucker. Cacing jantan
tidak memiliki alat kopulasi. Di dalam uterus cacing betina tampak berisi
beberapa buah telur yang mempunyai spina atau duri yang khas bentuknya.
202

Gambar 109. Morfologi Schistosoma


(a) jantan (b) betina
1. oral sucker 2. ventral sucker 3. genital pore 4. testis 5. uterus 6. tuberkel
7. gynaecophoric canal 8. shell glands 9. ovarium 10.vitelline duct 11. vitelaria

Telur. Schistosoma berbeda dengan cacing Trematoda lainnya, telurnya tidak mempunyai
operkulum, tetapi memiliki spina yang khas bentuknya untuk masing-masing spesies.
Telur cacing pada waktu dikeluarkan dari tubuh induknya sudah berisi embrio yang
sempurna berupa larva stadium pertama (mirasidium) yang berambut getar (cilia).
203

Gambar 110. Diferensiasi telur Schistosoma


1. S. haematobium (spina terminal) 2. S. mansoni (spina lateral)
3. S. japonicum (lateral knob )

Serkaria. Larva cacing Schistosoma mempunyai ekor yang bercabang dua, merupakan
stadium infektif yang mampu menembus kulit hospes definitif.
Spesies cacing Schistosoma dapat dibedakan morfologinya dengan memperhatikan
ukuran cacing, gambaran tuberkel kulit, letak serta jumlah testis dan ovarium, serta
bentuk dan lokasi spina telur cacing. Lihat tabel di bawah ini.

Tabel 10. Perbedaan anatomi dan morfologi cacing Schistosoma

Perbedaan S. haematobium S.japonicum S.mansoni

Ukuran cacing Jantan:10-15 mm Jantan: 12-20 mm Jantan: 6,4-12 mm


Betina: 20 mm Betina: 26 mm Betina: 7,2-17 mm

Tuberkel kulit Halus Halus Kasar

Testis 4-5 buah 6-8 buah 8-9 buah

Ovarium Di pertengahan tubuh Di pertengahan tubuh Di pertengahan tubuh


bagian posterior bagian anterior
Spina telur Terminal Berupa lateral knob Lateral
204

Gambar 111. Schistosoma hematobium


A.Cacing dewasa B. Mirasidium C. Serkaria

Gambar 112. Schistosoma japonicum


a. Cacing dewasa b. Mirasidium c. Serkaria
205

Gambar 113 . Schistosoma mansoni


a. cacing jantan b. cacing betina.
1. oral sucker 2. ventral sucker 3. genital pore 4. uterus 5. testis
6. shell glands 7. oviduct 8.tubercle 9.ovarium10. vitelline duct
11. gynaecophoric canal 12. vitelline glands

Daur hidup. Untuk dapat melanjutkan daur hidupnya telur Schistosoma yang keluar dari
tubuh hospes definitif bersama tinja atau urine harus masuk ke dalam air agar dapat
menetas menjadi larva mirasidium. Mirasidium lalu berenang mencari hospes perantara,
yaitu siput yang menjadi tempat mirasidium berkembang menjadi sporokista, dan
akhirnya tumbuh menjadi serkaria yang infektif.
Manusia terinfeksi cacing ini dengan masuknya serkaria secara aktif menembus
kulit yang tak terlindung. Dengan melalui aliran darah aferen, serkaria mencapai jantung
dan paru, lalu kembali ke jantung kiri, masuk ke sistem sirkulasi sistemik dan ke cabang-
206

cabang vena porta, akhirnya sampai di hati. Parasit tumbuh menjadi cacing dewasa di
dalam jaringan hati. Setelah cacing menjadi dewasa, cacing kembali ke vena porta, vena
usus, atau vena kandung kemih sesuai dengan tempat hidup masing-masing spesies
cacing.
Masa prepaten dalam pertumbuhan cacing Schistosoma berbeda waktunya.
Periode prepaten pada Schistosoma haematobium lamanya adalah 10-12 minggu,
Schistosoma mansoni 7-8 minggu, dan pada Schistosoma japonicum adalah 5-6 minggu.
Cacing Schistosoma yang hidup pada manusia dapat mencapai unur 30 tahun. Pada daur
hidup Schistosoma manusia adalah hospes definitif utama, sedangkan berbagai hewan
mamalia yang juga dapat bertindak sebagai hospes definitif merupakan reservoir host.

Gambar 114. Daur hidup Schistosoma

Hospes definitif. Schistosoma termasuk parasit zoonosis, karena selain manusia berbagai
jenis hewan juga dapat bertindak selaku hospes definitif. Primata, yaitu kera dan baboon
dapat menjadi hospes definitif Schistosoma haematobium, sedangkan kera, baboon,
opossum dan rodensia merupakan hospes definitif Schistosoma mansoni. Hewan-hewan
207

domestik lain banyak yang dapat bertindak selaku hospes definitif Schistosoma
japonicum , antara lain adalah anjing, kucing, sapi, kerbau, kuda, babi, rusa dan tikus.
Hospes perantara. Banyak genus siput yang dapat menjadi hospes perantara cacing
Schistosoma, yaitu Bulinus dan Physopsis (hospes perantara Schistosoma haematobium),
siput Oncomelania hupensis merupakan hospes perantara Schistosoma japonicum,
sedangkan siput Biomphalaria dan Australorbis merupakan hospes perantara
Schistosoma mansoni.

Gambar 115. Siput hospes perantara cacing Schistosoma.


(a). Biomphalaria (b). Oncomelania
(URL: http://www.ashbreure.nt/snailblog.png)

Gejala klinis dan diagnosis. Semua stadium cacing Schistosoma baik cacing dewasa,
serkaria maupun telur cacing dapat menyebabkan perubahan patologik pada jaringan
tubuh penderita.Terdapat tiga tahapan klinis pada skistosomiasis, yaitu masa inkubasi
biologis, tahap stadium akut, dan tahap stadiun kronis.
Masa inkubasi biologis. Waktu antara saat masuknya serkaria menembus kulit
sampai saat terjadinya cacing dewasa terjadi kelainan kulit dan gatal-gatal,
disertai keradangan akut pada hati.
Tahap stadium akut. Pada tahapan yang terjadi akibat terbentuknya telur cacing,
terjadi kerusakan jaringan dan perdarahan, pembentukan pseudoabses,
pseudotuberkel dan pembentukan jaringan ikat.
Tahap stadium kronik. Pada tahap stadium kronik terjadi proses-proses
penyembuhan jaringan dan pembentukan jaringan fibrosis disertai pengecilan hati
208

akibat telah terjadinya sirosis, terjadi pembesaran limpa, asites dan ikterus. Dapat
juga terjadi hipertensi portal.

Diagnosis pasti skistosomiasis ditentukan jika ditemukan telur Schistosoma yang spesifik
bentuknya bagi masing-masing spesies pada tinja atau urine penderita, pada hasil biopsi
kandung kemih atau biopsi rektum. Telur Schistosoma hematobium dapat ditemukan di
dalam urine penderita atau pasa hasil biopsi kandung kamih sedangkan telur Schistosoma
japonicum dan telur Schistosoma mansoni dapat ditemukan di dalam tinja atau pada hasil
biopsi rektum. Telur Schistosoma japonicum dapat juga ditemukan melalui biopsi
jaringan hati penderita.

Pengobatan dan pencegahan. Obat pilihan untuk mengobati skistosomiasis adalah


Prazikuantel. Pada pengobatan skistosomiasis mansoni dan haematobium, prazikuantel
diberikan dengan takaran 40 mg per kg berat badan dalam 2 kali pemberian selama 1
hari. Sebagai obat pengganti untuk S.mansoni dapat diberikan Oxamniquin dengan dosis
15 mg/kg dengan satu kali pemberian (dewasa), sedangkan pada anak diberikan dengan
dosis 20 mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis , selama 1 hari. Untuk mengobati
skistosomiasis japonicum Prazikuantel diberikan dengan takaran 60 mg per kg berat
badan dalam 3 kali pemberian selama 1 hari.

Pengobatan skistosomiasis dapat juga dilakukan dengan memberikan Niridazole. Obat-


obat lain, misalnya tartar emetik, antimon, dimerkaptosuksinat, ambilhar dan fuadin,
hasilnya tidak sebaik pengobatan menggunakan prazikuantel dan niridazole. .

Untuk mencegah terjadinya penyebaran skistosomiasis harus dilakukan pengobatan masal


pada seluruh penduduk daerah endemis. Selain itu harus dilakukan juga perbaikan
lingkungan hidup untuk mencegah pencemaran perairan oleh tinja, serta pemberantasan
siput yang menjadi hospes perantara cacing Schistosoma.
209

Dermatitis serkarial

Cercarial dermatitis (Dermatitis serkarial) adalah infeksi kulit yang disebabkan oleh
serkaria cacing Schistosoma yang secara alami hidup pada unggas atau mamalia. Sekresi
kimia yang dihasilkan oleh kulit manusia menarik perhatian serkaria Schistosoma untuk
menembus kulit manusia. Serkaria hewan dapat menimbulkan dermatitis yang berat pada
kulit penderita, tetapi tidak dapat berkembang menjadi cacing dewasa dalam tubuh
manusia serkaria. Serkaria hewan yang hidup di air tawar atau yang hidup di air payau
dapat menimbulkan dermatitis serkarial. Karena itu dermatitis serkarial harus dibedakan
dari erupsi kulit yang disebabkan oleh larva ubur-ubur (yelly fish).

Austrobilharzia variglandis yang hidup pada bebek (ducks) adalah salah satu schistosoma
penyebabnya. Pada daur hidup cacing ini siput Nassarius obsoletus yang hidup di pantai
laut daerah subtropis bertindak sebagai hospes perantara.

Daur hidup. Sesudah masuk ke dalam air, telur Schistosoma unggas air misalnya bebek
dan angsa akan menetas menjadi larva mirasidium. Larva mirasidium memasuki tubuh
siput tertentu yang bertindak sebagai hospes perantaranya, lalu berkembang menjadi
serkaria. Sesudah itu serkaria berenang bebas di air untuk mencari hospes definitif.
Hanya serkaria yang menginfeksi kulit unggas akan terus berkembang menjadi cacing
dewasa, sedangkan serkaria yang menembus kulit manusia tidak dapat berkembang lebih
lanjut menjadi Schistosoma dewasa.

Diagnosis. Dermatitis serkarial menimbulkan kelainan pada kulit berupa timbulnya


kemerahan kulit sesudah terjadinya kontak dengan air. Untuk membantu menegakkan
diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan serologi dan melakukan uji kulit.
210

serkaria
menembus
kulit manusia

serkaria Gambar 116. Infeksi dermatitis serkarial


menembus
kulit unggas,
siklus Pengobatan. Karena dermatitis serkarial termasuk penyakit alergi, maka gejala-gejala
berlanjut alergi yang dialami penderita dapat diobati dengan obat-obat antihistamin, dan jika terjadi
infeksi sekunder penderita dapat diberi obat-obat antibiotika yang sesuai.

Pencegahan. Untuk mencegah terjadinya dermatitis serkarial sebaiknya menghindari


mandi di air yang diketahui banyak siput dan unggas yang hidup di daerah perairan
tersebut. Kontak antara kulit dengan air yang diduga infektif tersebut harus selalu
dicegah terjadinya misalnya dengan memakai sepatu laras panjang pada waktu
memancing atau melakukan kegiatan pada proyek perairan, pertanian, tambak ikan dan
proyek irigasi lainnya.
211

NEMATODA

Bentuk tubuh cacing Nematoda adalah bulat panjang, silindris, filariform, tidak
bersegmen, dan bilateral simetris dengan ukuran panjang tubuh yang sangat bervariasi,
antara 2 mm sampai 1 meter. Nematoda yang tubuhnya tertutup oleh kutikulum ini sudah
memiliki rongga tubuh (body cavity).. Sistem pencernaannya telah lengkap, tetapi sistem
saraf dan organ ekskresinya belum sempurna.

Gambar 117. Diagram Nematoda


(Sumber. Nematode Control Guide)

Sistem reproduksi. Sistem reproduksi Nematoda sudah terpisah antara jenis kelamin
jantan dan betina sehingga cacing ini termasuk cacing yang diecious atau uniseksual.
Organ reproduksi jantan terdiri dari testis, vas deferens, vesikula seminalis, dan duktus
ejakulatorius sedang organ reproduksi betina terdiri dari ovarium, oviduk, seminal
reseptakel, uterus, vagina dan vulva.
Sifat reproduksi cacing betina dapat vivipar (melahirkan larva), ovipar (bertelur), atau
ovovivipar. Termasuk cacing yang vivipar antara lain adalah Dracunculus medinensis,
Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Trichinella spiralis. Telur Nematoda yang
ovipar ada yang dikeluarkan dalam bentuk belum bersegmen misalnya pada cacing
Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura, ada yang sudah bersegmen misalnya pada
cacing tambang atau telur sudah mengandung larva, misalnya pada cacing Enterobius
212

vermicularis. Pada reproduksi ovovivipar telur cacing telah berisi larva yang segera akan
menetas sesudah ke luar dari badan induknya. Contoh cacing ovovivipar adalah
Strongyloides stercoralis.

Daur hidup. Untuk semua jenis Nematoda yang parasitik pada manusia yang menjadi
hospes definitif utama adalah manusia. Untuk melengkapi daur hidupnya Nematoda pada
umumnya tidak merlukan hospes perantara pada kecuali pada daur hidup Filaroidea dan
Dracunculoidea. Jika cacing tidak memerlukan hospes perantara, telur cacing yang
keluar dari tubuh manusia harus berkembang lebih infektif lebih dahulu sebelum dapat
menginfeksi manusia atau hospes definitif lainnya. Cacing Trichinella spiralis yang
definitif utamanya secara alami adalah babi dan manusia merupakan hospes definitif
alternatif, baik cacing dewasa maupun larvanya hidup pada satu jenis hospes definitif
yang sama.

Cara infeksi. Stadium infektif Nematoda dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui
enam jalan, yaitu:
1. Telur infektif tertelan bersama makanan atau minuman yang tercemar misalnya
pada Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermicularis;
2. Stadium infektif cacing yang ada di dalam tubuh hospes perantara tertelan
bersama minuman, misalnya pada Dracunculus medinensis;
3. Kista embrio cacing yang terdapat dalam daging tertelan sebagai makanan,
misalnya pada Trichinella spiralis;
4. Larva infektif menembus kulit, misalnya pada infeksi cacing tambang dan
Strongyloides stercoralis;
5. Stadium infektif cacing masuk ke dalam tubuh bersama gigitan serangga yang
bertindak sebagai hospes perantara, misalnya pada infeksi Wuchereria bancrofti
dan Brugia malayi;
6. Stadium infektif cacing terhirup melalui udara (per inhalasi),misalnya pada
infeksi Enterobius vermicularis, dan kadang-kadang terjadi juga pada Ascaris
lumbricoides.
213

Pengelompokan Nematoda. Cacing Nematoda berdasar pada tempat hidup cacing


dewasanya di dalam tubuh manusia dikelompokkan menjadi :
1. Nematoda usus (Intestinal nematodes) yang hidup di dalam usus: yang hidup di
usus halus (small intestine) adalah Ascaris lumbricoides, Ancylostomum
duodenale, Necator americanus, Strongylus stercoralis, dan Trichinella spiralis
sedangkan yang hidup di dalam sekum dan apendiks misalnya adalah Enterobius
vermicularis dan Trichuris trichiura.

2. Nematoda somatik (Somatic Nematodes). Cacing ini hidup di dalam jaringan


atau di dalam organ tubuh:
di dalam sistem limfatik, misalnya Wuchereria bancrofti dan Brugia malayi;
di jaringan subkutan misalnya Loa loa, Onchocerca volvulus dan
Dracucnculus medinensis;
di dalam mesenterium misalnya Acanthocheilonema perstans dan Mansonella
ozzardi;
di konjungtiva mata, misalnya Loa loa;
di paru-paru misalnya Strongyloides stercoralis;
di jaringan/organ hati, misalnya Capillaria hepatica.

Nematoda zoonosis. Beberapa jenis cacing Nematoda hewan larvanya hidup di dalam
tubuh manusia dan dapat menimbulkan penyakit yang disebut larva migrans. Dikenal
dua jenis larva migrans, yaitu cutaneous larva migrans yang ditimbulkan oleh larva
Ancylostoma braziliensis, Ancylostoma caninum dan Gnathostoma spinigerum dan
visceral larva migrans yang disebabkan oleh larva Toxocara canis dan Toxocara cati.
Angiostrongylus cantonensis, cacing Nematoda yang hospes definitifnya adalah
tikus, larvanya dapat menimbulkan gangguan sistem saraf pusat manusia, misalnya
berupa meningitis atau ensefalitis.
Cacing Trichostrongylus yang hidup alami di dalam tubuh hewan herbivora dapat
ditemukan menginfeksi manusia dan menimbulkan gejala klinis berupa gangguan yang
ringan pada pencernaan atau tidak menimbulkan gejala atau keluhan (asimtomatis).
214

NEMATODA USUS

Ascaris lumbricoides

Ascaris lumbricoides yang secara umum dikenal sebagai cacing gelang ini tersebar luas
di seluruh dunia, terutama di daerah tropis dan subtropis yang kelembaban udaranya
tinggi. Di Indonesia infeksi cacing ini endemis di banyak daerah dengan jumlah
penderita lebih dari 60%. Tempat hidup cacing dewasa adalah di dalam usus halus
manusia, tetapi kadang-kadang cacing ini dijumpai mengembara di bagian usus lainnya.

Anatomi dan morfologi


Cacing dewasa. Cacing nematoda ini adalah cacing berukuran besar, berwarna putih
kecoklatan atau kuning pucat. Cacing jantan berukuran panjang antara 10-31cm,
sedangkan cacing betina panjang badannya antara 22-35 cm. Kutikula yang halus
bergaris-garis tipis menutupi seluruh permukaan badan cacing. . Ascaris lumbricoides
mempunyai mulut dengan tiga buah bibir, yang terletak sebuah di bagian dorsal dan dua
bibir lainnya terletak subventral.

Selain ukurannya lebih kecil daripada cacing betina, cacing jantan mempunyai ujung
posterior yang runcing, dengan ekor melengkung kearah ventral. Di bagian posterior ini
terdapat 2 buah spikulum yang ukuran panjangnya sekitar 2 mm, sedangkan di bagian
ujung posterior cacing terdapat juga banyak papil-papil yang berukuran kecil.
Bentuk tubuh cacing betina membulat (conical) dengan ukuran badan yang lebih besar
dan lebih panjang dari pada cacing jantan dan bagian ekor yang lurus, tidak melengkung.
215

Gambar 118. Ascaris lumbricoides. (a) cacing dewasa (b) telur cacing
(URL: http://missinglink.ucsf.edu)

Telur. Ascaris lumbricoides mempunyai dua jenis telur, yaitu telur yang sudah dibuahi
(fertilized eggs) dan telur yang belum dibuahi (unfertilized eggs). Fertilized eggs
berbentuk lonjong, berukuran 45-70 mikron x 35-50 mikron, mempunyai kulit telur yang
tak berwarna. Kulit telur bagian luar tertutup oleh lapisan albumin yang permukaannya
bergerigi (mamillation), dan berwarna coklat karena menyerap zat warna empedu.
Sedangkan di bagian dalam kulit telur terdapat selubung vitelin yang tipis, tetapi kuat
sehingga telur cacing Ascaris dapat bertahan sampai satu tahun di dalam tanah.

Fertilized eggs mengandung sel telur (ovum) yang tidak bersegmen, sedangkan di kedua
kutub telur terdapat rongga udara yang tampak sebagai daerah yang terang berbentuk
bulan sabit.
Unfertilized egg (telur yang tak dibuahi) dapat ditemukan jika di dalam usus penderita
hanya terdapat cacing betina saja. Telur yang tak dibuahi ini bentuknya lebih lonjong dan
lebih panjang dari ukuran fertilized eggs dengan ukuran sekitar 80x 55 mikron; telur ini
tidak mempunyai rongga udara di kedua kutubnya.

Dalam tinja penderita kadang-kadang di ditemukan telur Ascaris yang telah hilang
lapisan albuminnya, sehingga sulit dibedakan dari telur cacing lainnya. Terdapatnya telur
yang berukuran besar menunjukkan ciri khas telur cacing Ascaris.
216

Gambar 119. Bagan cacing Ascaris lumbricoides


1. bibir 2. usofagus 3. usus 4. uterus dan ovarium
5. anus 6. testis dan alat reproduksi jantan 7. spikulum

Gambar 120. Telur Ascaris lumbricoides.


1. Telur fertil (telah dibuahi) 2. Telur tidak fertil
3. Telur dengan kulit terkelupas
r.u : rongga udara

Daur hidup. Keluar bersama tinja penderita, telur cacing yang telah dibuahi jka jatuh
di tanah yang lembab dan suhu yang optimal telur akan berkembang menjadi telur
infektif, yang mengandung larva cacing.
217

Gambar 121. Daur hidup Ascaris lumbricoides

Pada manusia infeksi terjadi dengan masuknya telur cacing yang infektif bersama
makanan atau minuman yang tercemar tanah yang mengandung tinja penderita
ascariasis. Di dalam usus halus bagian atas dinding telur akan pecah kemudian larva
keluar, menembus dinding usus halus dan memasuki vena porta hati. Dengan aliran
darah vena, larva beredar menuju jantung, paru-paru, lalu menembus dinding kapiler
masuk ke dalam alveoli. Masa migrasi larva ini berlangsung sekitar 15 hari lamanya.
Sesudah itu larva cacing merambat ke bronki, trakea dan laring, untuk selanjutnya
masuk ke faring, usofagus, lalu turun ke lambung dan akhirnya sampai ke usus halus.
Selanjutnya larva berganti kulit dan tumbuh menjadi cacing dewasa. Migrasi larva
cacing dalam darah yang mencapai organ paru tersebut disebut lung migration. Dua
bulan sejak masuknya telur infektif melalui mulut, cacing betina mulai mampu bertelur.
Seekor cacing Ascaris lumbricoides dewasa mampu bertelur dengan jumlah produksi
telurnya dapat mencapai 200.000 butir per hari.

Penularan askariasis. Infeksi askariasis dapat terjadi melalui beberapa jalan, yaitu telur
infektif masuk mulut bersama makanan dan minuman yang tercemar, melalui tangan
yang kotor karena tercemar tanah yang mengandung telur infektif, atau telur infektif
terhirup melalui udara bersama debu. Jika telur infektif masuk melalui saluran
218

pernapasan, telur akan menetas di mukosa jalan napas bagian atas, larva langsung
menembus pembuluh darah dan beredar bersama aliran darah.

Perubahan patologi. Akibat beradanya cacing dewasa di dalam usus dan beredarnya
larva cacing di dalam darah, akan terjadi perubahan patologis pada jaringan dan organ
penderita. Larva cacing yang berada di paru-paru dapat menimbulkan pneumonia pada
penderita dengan gejala klinis berupa demam, batuk, sesak dan dahak yang berdarah.
Selain itu penderita juga mengalami urtikaria disertai terjadinya eosinofili sampai 20
persen pada gambaran darah tepi. Terdinya pneumonia yang disertai dengan gejala alergi
ini disebut sebagai Sindrom Loeffler atau Ascaris pneumonia.
Jika terjadi infeksi askariasis yang berat (hiperinfeksi), terutama pada anak-anak
dapat terjadi gangguan pencernaan dan penyerapan protein sehingga penderita akan
mengalami gangguan pertumbuhan dan anemia akibat kurang gizi. Cacing Ascaris juga
dapat mengeluarkan cairan toksik yang dapat menimbulkan gejala klinis mirip demam
tifoid disertai tanda-tanda alergi misalnya urtikaria, edema pada wajah, konjungtivitis dan
iritasi pernapasan bagian atas. Sejumlah besar cacing Ascaris dewasa yang terdapat di
dalam lumen usus juga dapat menimbulkan berbagai akibat mekanis, yaitu terjadinya
sumbatan atau obstruksi usus dan intususepsi. Cacing dewasa juga dapat menimbulkan
perforasi ulkus yang ada di usus.
Pada penderita yang mengalami demam tinggi, Ascaris lumbricoides dewasa
dapat melakukan migrasi ke organ-organ di luar usus (askariasis ektopik), misalnya ke
lambung, usofagus, mulut, hidung, rima glottis atau bronkus, sehingga menyumbat
pernapasan penderita. Selain itu dapat juga dapat terjadi sumbatan saluran empedu,
apendisitis, abses hati, dan pankreatitis akut.

Diagnosis askariasis. Untuk menetapkan diagnosis pasti askariasis harus dilakukan


pemeriksaan makroskopis terhadap tinja atau muntahan penderita untuk menemukan
cacing dewasa. Pada pemeriksaan mikroskopis atas tinja penderita dapat ditemukan
telur cacing yang khas bentuknya di dalam tinja atau cairan empedu penderita.
Adanya cacing Ascaris pada organ atau usus dapat dipastikan jika dilakukan pemeriksaan
radiografi dengan barium. Untuk membantu menegakkan diagnosis askariasis,
219

pemeriksaan darah tepi akan menunjukkan terjadinya eosinofilia pada awal infeksi,
sedangkan scratch test pada kulit akan menunjukkan hasil positif.

Pengobatan askariasis. Berbagai obat cacing efektif untuk mengobati askariasis dan
hanya menimbulkan sedikit efek samping, antara lain adalah Mebendazol,
Ivermectin, Nitazoxanide, Pirantel pamoat, Albendazol dan Levamisol. Obat-obat
cacing ini diberikan dengan takaran sebagai berikut:
Albendazol , 400 mg dosis tunggal (dosis dewasa dan anak);
Mebendazol, 500 mg dosis tunggal.atau 2x100 mg selama 3 hari (dewasa dan
anak);
Ivermectin: 150-200 mcg/kg dosis tunggal (dewasa dan anak);
Nitazoxanid: dosis dewasa 2x500 mg diberikan selama 3 hari;
Dosis anak: Umur 1-3 tahun: 2x100 mg diberikan selama 3 hari, umur 4-
11 tahun: 2x200 mg, diberikan selama 3 hari.
Pirantel pamoat: dosis tunggal 10 mg/kg berat badan (base) maksimum 1.0 g .
Levamisol: 120 mg dosis tunggal (dewasa), 2,5 mg/kg berat badan dosis (anak).
Selain itu piperasin masih dapat digunakan untuk mengobati penderita askariasis.

Pencegahan askariasis. Upaya pencegahan askariasis dapat dilakukan dengan


melaksanakan prinsip-prinsip kesehatan lingkungan yang baik. Membuat kakus untuk
menghindari pencemaran tanah dengan tinja penderita, mencegah telur cacing
mencemari makanan atau minuman, selalu memasak makanan dan minuman sebelum
dimakan atau diminum, serta menjaga kebersihan perorangan akan mencegah terjadinya
infeksi cacing Ascaris.
Dengan mengobati penderita melalui pengobatan masal pada penduduk
menggunakan obat cacing bersepektrum lebar di daerah endemis dapat memutuskan
rantai daur hidup cacing Ascaris dan nematoda usus lainnya. Pendidikan kesehatan pada
penduduk perlu dilakukan untuk menunjang upaya pemberantasan dan pencegahan
askariasis.
220

Enterobius vermicularis

Nama lain cacing ini adalah Oxyuris vermicularis, dan dikenal secara umum sebagai
cacing keremi, cacing jarum (pinworm), atau seatworm. Infeksi cacing ini (oksiuriasis
atau enterobiosis) tersebar luas di seluruh dunia, baik di daerah tropis maupun subtropis.
Infeksi Enterobius lebih banyak dijumpai di daerah beriklim dingin karena orang jarang
mandi dan tidak sering berganti pakaian dalam.
Oxyuris dewasa hidup di dalam sekum dan sekitar apendiks usus manusia, yang
merupakan satu-satunya hospes definitif cacing ini. Cacing betina akan mengadakan
migrasi ke daerah sekitar anus (perianal) untuk meletakkan telurnya di daerah tersebut.

Anatomi dan morfologi


Cacing dewasa. Enterobius vermicularis merupakan cacing Nematoda yang berukuran
kecil. Panjang badan cacing betina sekitar 13 mm, sedangkan cacing jantan hanya sekitar
5 mm Cacing dewasa berwarna putih, dengan bagian leher yang melebar seperti sayap
karena adanya pelebaran kutikula (disebut cervical alae). Cacing ini mempunyai
usofagus yang khas bentuknya karena adanya pembesaran ganda (double-bulb
oesophagus). Enterobius tidak mempunyai rongga mulut, tetapi memiliki tiga buah bibir.
Cacing jantan mempunyai ekor yang melingkar, sedangkan ekor cacing betina lurus dan
runcing. Di ujung posterior cacing jantan terdapat spikulum dan papil-papil.

Gambar 122. Enterobius vermicularis. Cacing dewasa (kiri) Telur (kanan)


(Sumber: CDC, http://www.perfecthealthlifestyle.com/images002)
221

Telur. Telur Enterobius bentuknya asimetris, tidak berwarna, mempunyai dinding telur
yang tipis dan tembus sinar. Telur berukuran sekitar 50-60 mikron x 30 mikron. Dalam
waktu sekitar 6 jam sesudah dikeluarkan di daerah perianal oleh induknya, di dalam telur
cacing sudah terbentuk larva yang hidup. Seekor cacing betina Enterobius mampu
memproduksi telur sebanyak 11.000 butir per hari.

Gambar 123. Bagan Enterobius vermicularis


a. Cacing jantan b. Cacing betina c. Telur

Daur hidup. Hospes definitif satu-satunya cacing ini adalah manusia. Untuk melengkapi
daur hidup Enterobius tidak diperlukan hospes perantara. Di daerah sekitar perianal dan
perineal penderita, telur yang diletakkan oleh cacing betina dalam waktu 6 jam sudah
tumbuh menjadi telur infektif karena telah mengandung larva cacing.
Infeksi enterobiosis dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu penularan melalui mulut,
penularan melalui pernapasan dan terjadinya retrofeksi. Penularan terjadi melalui mulut
jika telur yang infektif terbawa dari tangan ke mulut penderita sendiri (autoinfection) atau
terjadi karena memegang benda yang tercemar telur infektif, misalnya alas tidur, bantal
atau pakaian dalam penderita. Penularan melalui pernapasan, terjadi karena telur infektif
yang beterbangan di udara terhirup oleh penderita.
Penularan secara retrofeksi adalah penularan yang terjadi karena larva cacing yang
menetas di daerah perianal masuk kembali ke dalam usus penderita, lalu berkembang
222

menjadi cacing dewasa. Mudahnya terjadi penularan, menyebabkan enterobiosis


merupakan penyakit infeksi yang sering menjangkiti seluruh anggota keluarga, penghuni-
penghuni panti asuhan atau panti jompo, di asrama-asrama, dan di tempat-tempat
berkumpulnya banyak orang dalam waktu yang lama.

Gambar 124. Daur hidup Enterobius vermicularis.

Sesudah masuk ke dalam mulut atau melalui jalan napas karena menghirup udara yang
tercemar, telur cacing akan masuk ke dalam usus dan di dalam duodenum telur akan
menetas. Larva rabditiform yang terbentuk akan tumbuh menjadi cacing dewasa di
jejunum dan di bagian atas dari ileum. Dibutuhkan waktu 2 sampai 8 minggu lamanya
agar daur hidup cacing ini dapat berlangsung secara lengkap.

Perubahan patologi dan gejala klinis. Enterobius dewasa jarang menimbulkan


kerusakan jaringan organ penderita. Migrasi induk cacing untuk bertelur di daerah
perianal dan perineal menimbulkan gatal-gatal (pruritus ani) yang dapat mengganggu
tidur penderita, dan bila digaruk dapat menimbulkan infeksi sekunder. Cacing betina yang
mengadakan migrasi ke vagina dan tuba falopii dapat menimbulkan radang ringan di
daerah tersebut.
223

Cacing Enterobius sering dijumpai di dalam apendiks, namun infeksi apendiks jarang
terjadi. Jika terjadi migrasi cacing ke usus halus bagian atas, lambung atau usofagus, hal
ini dapat menimbulkan gangguan ringan di daerah tersebut. Apabila penderita tidak
mengalami reinfeksi, enterobiasis dapat sembuh dengan sendirinya, karena cacing betina
akan mati 2-3 minggu sesudah bertelur.

Diagnosis enterobiosis. Anak-anak yang mengalami gatal-gatal malam hari menjelang


pagi di sekitar anus, apalagi jika disertai enuresis, mungkin ia menderita enterobiasis.
Untuk menetapkan diagnosis pasti, telur cacing atau cacing dewasa harus dapat
ditemukan.
Anal swab. Hapusan anus ini yaitu menempelkan selotape transparan di daerah sekitar
anus penderita memudahkan ditemukannya telur cacing. Anal swab dilakukan segera
sesudah bangun tidur pagi hari, sebelum mandi dan sebelum buang air besar. Dengan
memeriksa selotape yang ditetesi toluen di bawah mikroskop akan memudahkan
ditemukannya telur cacing.

Pengobatan enterobiosis. Karena penularan enterobiasis sangat mudah terjadi pada


seluruh anggota keluarga yang hidup dalam satu rumah, maka pengobatan infeksi cacing
ini harus ditujukan terhadap seluruh anggota keluarga dalam waktu yang bersamaan, dan
sebaiknya sering diulang. Obat-obat cacing pilihan untuk mengobati enterobiosis adalah
Pirantel pamoat, Mebendazol dan Albendazol. Obat cacing yang juga dapat digunakan
adalah Piperazin sitrat.
Pemberian dan dosis obat-obat cacing tersebut adalah sebagai berikut:
Pirantel pamoate. Obat cacing untuk dewasa maupun anak ini diberikan dalam
bentuk dosis tunggal dengan takaran 10 mg/kg berat badan (base), dengan
pemberian maksimum 1.0 g. Pengobatan harus diulang 2 minggu kemudian
terhadap seluruh keluarga serumah penderita.
Mebendazol. Diberikan sebanyak 100 mg (dewasa dan anak) dalam bentuk dosis
tunggal, dan diulang 2 minggu kemudian.
Albendazol. Obat ini diberikan sebanyak 400 mg (dewasa dan anak) dalam
bentuk dosis tunggal, dan diulang sesudah 2 minggu.
224

Piperazin sitrat. Dengan takaran 50 mg/kg berat badan/hari obat ini diberikan
selama 7 hari, kemudian diulang sesudah 2-4 minggu. Pengobatan sebaiknya
diberikan pada seluruh keluarga penderita atau yang serumah.

Pencegahan enterobiosis. Dengan mengobati penderita dan keluarganya atau orang yang
hidup di dalam satu rumah, berarti memberantas sumber infeksi. Untuk mencegah
penularan, kebersihan perorangan dan lingkungan harus dijaga terutama di lingkungan
kamar tidur, dan diupayakan agar sinar matahari dapat masuk secara langsung ke dalam
kamar tidur. Sinar matahari langsung akan mengurangi jumlah telur cacing yang infektif,
baik yang ada di perlengkapan kamar tidur maupun yang beterbangan di udara.

Trichostrongylus

Infeksi parasit zoonosis yang disebabkan oleh cacing genus Trichostrongylus,


(trichostrongiliasis) tersebar di seluruh dunia dan secara alami merupakan parasit pada
kuda, rodensiat, dan berbagai hewan herbivora, serta pernah dilaporkan juga
menginfeksi manusia. Derajat infeksi pada manusia umumnya rendah. Penularan dari
manusia ke manusia umumnya terjadi pada cacing Trichostrongylus orientalis yang
jarang terjadi pada hewan golongan ruminansia.

Anatomi dan morfologi


Cacing dewasa. Bentuk cacing dewasa Trichostrongylus mirip cacing tambang oleh
karena memiliki bursa kopulatriks. Bentuk selubung mulutnya tidak jelas, namun
bentuknya telurnya mirip telur cacing tambang.

Larva. Larva rabditiform mempunyai rongga mulut yang lebih pendek dibanding rongga
mulut cacing tambang dan di ujung ekornya terdapat pembesaran berbentuk bola.
225

Gambar 125. Trichostrongylus .Cacing dewasa dan telur


(Sumber: CDC, University of Pennsylnania)
1

Gambar 126. Bagan morfologi Trichostrongylus colubriformis


a. Bagian anterior cacing dewasa b. Bursa kopulatriks
c. Telur d. Larva rabditiform
1. ujung anterior 2.lubang ekskresi 3. spikulum 4. vili dorsal
5. morula 6. rongga mulut panjang 7 .bulbus usofagus
8. cincin saraf 9. lambung 10. primordium genital 11. anus 12. ekor
226

Daur hidup dan penularan. Jika telur Trichostrongylus yang dikeluarkan bersama
tinja jatuh di tanah, telur akan menetas menjadi larva yang dapat menginfeksi hospes
yang baru melalui kulit. Selain itu jika larva cacing menempel pada daun tanaman, telur
akan membentuk kista, sehingga dapat masuk melalui mulut bersama daun yang dimakan
oleh herbivora.
Penularan trikostrongiliasis dari hewan ke manusia dapat terjadi akibat
penggunaan tinja hewan untuk pupuk tanaman, sehingga sayuran yang dimakan tercemar
telur cacing atau larva cacing tersebut. Selain itu penggunaan kotoran hewan untuk
bahan bakar juga mempermudah terjadinya penularan infeksi cacing zoonosis ini.

Gambar 127. Daur hidup Trichostrongylus .


L=larva : L1=larva stadium 1 L2=larva stadium 2 L3=larva stadium 3

Gejala klinis dan diagnosis. Trichostrongiliasis pada manusia umumnya terjadi tanpa
gejala (asimtomatik). Penderita kadang-kadang mengeluh adanya gangguan pencernaan
berupa diare, nyeri lambung dan menurunnya berat badan.
Untuk menentukan diagnosis terjadinya infeksi cacing ini terutama didasarkan atas
ditemukannya telur cacing pada sediaan tinja penderita yang diperiksa secara
langsung, maupun melalui metoda konsentrasi. Pada pemeriksaan darah tepi tampak
gambaran adanya eosinofilia yang bersifat sementara.

Pengobatan dan pencegahan. Untuk mengobati trichostrongiliasis berbagai jenis obat


cacing dapat digunakan antara lain Pirantel pamoate (obat pilihan), Mebendazole, dan
227

Albendazol. Obat Tiabendazol, Levamisol dan Befenium hidroksinaftoa dapat juga


digunakan.

Dosis Pirantel pamoate adalah 11 mg/kg base )maksimum 1 gram) dosis tunggal.
Sebagai obat pengganti dapat digunakan Mebendazol dengan dosis dewasa/anak 2x100
mg selama 3 hari dan Albendazol dengan dosis tunggal 400 mg.

Untuk mencegah penularan Trichostrongylus dari hewan ke manusia dilakukan dengan


menghindari pemakaian kotoran hewan untuk pupuk atau bahan bakar. Selain itu
semua sayuran yang akan dimakan hendaknya dimasak lebih dahulu.

Trichuris trichiura

Trichuris trichiura mempunyai bentuk badan mirip cambuk, sehingga cacing ini sering
disebut sebagai cacing cambuk (whip worm). Infeksi dengan Trichuris disebut trikuriasis.
Cacing cambuk tersebar luas di daerah tropis yang berhawa panas dan lembab dan hanya
dapat ditularkan dari manusia ke manusia. Meskipun banyak cacing Trichuris yang
menginfeksi hewan, Trichuris trichiura bukanlah parasit zoonosis.

Tempat hidup. Trichuris trichiura dewasa melekatkan diri pada mukosa usus penderita,
terutama di daerah sekum dan kolon, dengan membenamkan kepalanya di dalam dinding
usus. Meskipun demikian cacing ini dapat ditemukan hidup di apendiks dan ileum bagian
distal.

Anatomi dan morfologi. Bentuk tubuh cacing dewasa sangat khas, mirip cambuk,
dengan tiga per lima panjang tubuh bagian anterior berbentuk langsing seperti tali
cambuk, sedangkan dua per lima bagian tubuh posterior lebih tebal mirip pegangan
cambuk. Panjang cacing jantan sekitar 4 cm sedangkan panjang cacing betina sekitar 5
cm. Ekor cacing jantan melengkung ke arah ventral, mempunyai satu spikulum retraktil
228

yang berselubung. Badan bagian kaudal cacing betina membulat, tumpul berbentuk
seperti seperti koma.
Bentuk telur Trichuris trichiura khas bentuknya, mirip biji melon yang berwarna coklat,
berukuran sekitar 50x25 mikron dan mempunyai dua kutub jernih yang menonjol.

Gambar 128. Trichuris trichiura dewasa (kiri); telur (kanan)


(Sumber: University of Stanford)

Gambar 129. Bagan cacing Trichuris trichiura


(a) cacing betina (b) cacing jantan (c) telur
a. anus e. esofagus h. kepala i. usus o. ovarium
p. penutup s. spikulum t. testis u. uterus v. vulva
229

Daur hidup. Telur cacing ini mengalami pematangan dan menjadi infektif di tanah
dalam waktu 3-4 minggu lamanya Jika manusia tertelan telur cacing yang infektif, maka
di dalam usus halus dinding telur pecah dan larva ke luar menuju sekum lalu berkembang
menjadi cacing dewasa. Dalam waktu satu bulan sejak masuknya telur infektif ke dalam
mulut, cacing telah menjadi dewasa dan cacing betina sudah mulai mampu bertelur.
Trichuris trichiura dewasa dapat hidup beberapa tahun lamanya di dalam usus manusia.

Gambar 130. Daur hidup Trichuris trichiura


Gejala klinis dan diagnosis. Karena Trichuris trichiura dewasa melekatkan diri pada
usus dengan cara menembus dinding usus, maka hal ini dapat menyebabkan timbulnya
trauma dan kerusakan pada jaringan usus. Cacing dewasa juga dapat menghasilkan toksin
yang menyebabkan iritasi dan keradangan usus.
Infeksi ringan trichuriasis dengan beberapa ekor cacing umumnya tidak menimbulkan
keluhan bagi penderita. Pada infeksi yang berat, penderita akan mengalami gejala dan
keluhan berupa anemia berat dengan hemoglobin yang dapat kurang dari tiga persen,
diare yang berdarah, nyeri perut, mual dan muntah dan berat badan yang menurun.
Kadang-kadang dapat terjadi prolaps rectum yang dengan melalui pemeriksaan
proktoskopi dapat dilihat adanya cacing-cacing dewasa pada kolon atau rektum penderita.
Pada pemeriksaan darah penderita yang mengalami infeksi cacing yang berat,
hemoglobin darah dapat berada di bawah 3 g%. Selain itu darah menunjukkan gambaran
230

eosinofilia dengan eosinofil lebih dari 3 %. Pada pemeriksaan tinja penderita dapat
ditemukan telur Trichuris trichiura yang khas bentuknya.
Diagnosis pasti trikuriasis ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan tinja untuk
menemukan telur cacing yang khas bentuknya. Pada infeksi yang berat pemeriksaan
proktoskopi dapat menunjukkan adanya cacing dewasa yang berbentuk cambuk yang
melekat pada rektum penderita.

Pengobatan trikuriasis. Karena cacing dewasa membenamkan kepalanya di dalam


dinding usus, maka pengobatan terhadap infeksi cacing ini sukar dilakukan dengan cepat.
Untuk memberantas cacing Trichuris trichiura sebaiknya diberikan kombinasi dua obat
cacing secara bersama-sama, yaitu kombinasi Pirantel pamoate dan Oksantel pamoat.
Pirantel pamoat diberikan dengan dosis 10 mg/kg berat badan dan oksantel pamoat
dengan dosis 10-20 mg/kg berat badan/hari. Kombinasi obat ini diberikan bersama dalam
bentuk dosis tunggal.
Jika hanya diberikan satu jenis obat saja, maka obat pilihan yang dapat diberikan
adalah Mebendazol dengan dosis 2x100 mg /hari selama 3 hari berturut-turut atau 500
mg dosis tunggal. Sebagai obat pengganti dapat diberikan Albendazol dengan dosis 400
mg selama 3 hari atau Ivermectin dengan dosis 200 mcg/kg berat badan per hari selama 3
hari. Nitazoxanide dapat juga diberikan sebagai obat pengganti dengan dosis
dewasa 500 mg selama 3 hari dan dosis anak 2x 100 mg (umur 1-3 tahun) dan
2x200 mg (umur 4-11 tahun) selama 3 hari. Levamisol dapat diberikan dengan
dosis tunggal 2.5 mg/kg berat badan/hari.
Penderita yang mengalami anemia diobati dengan preparat besi disertai dengan
perbaikan gizi penderita.

Pencegahan. Untuk mencegah penularan trikuriasis selain dengan mengobati penderita


juga dilakukan pengobatan masal untuk mencegah terjadinya reinfeksi di daerah
endemis. Higiene sanitasi perorangan dan lingkungan harus dilakukan untuk mencegah
terjadinya pencemaran lingkungan oleh tinja penderita, misalnya dengan membuat WC
atau jamban yang baik di setiap rumah. Makanan dan minuman harus selalu dimasak
dengan baik untuk dapat membunuh telur infektif cacing Trichuris trichiura.
231

CACING TAMBANG

Beberapa jenis cacing tambang dapat menimbulkan penyakit pada manusia.


Ancylostoma duodenale dewasa menimbulkan ankilostomiasis, cacing dewasa Necator
americanus menimbulkan nekatoriasis, larva Ancylostoma braziliensis dan larva
Ancylostoma caninum yang menyebabkan dermatitis (creeping eruption).
Sebaran cacing tambang sangat luas ke seluruh dunia, terutama di daerah tropis
dan subtropis yang bersuhu panas dan mempunyai kelembaban yang tinggi. Infeksi
cacing-cacing ini banyak dijumpai pada pekerja tambang di Eropa, Cina, dan Jepang,
sehingga cacing-cacing ini disebut cacing tambang.
Cacing tambang yang menginfeks penduduk Indonesia disebabkan oleh Necator
americanus yang menyebabkan nekatoriasis dan Ancylostoma duodenale yang
menimbulkan ankilostomiasis.

Ancylostoma duodenale dan Necator americanus

Ancylostoma duodenala dan Necator americanus dewasa hidup di dalam usus halus,
terutama di jejunum dan duodenum manusia dengan cara mengigit membran mukosa
menggunakan giginya, dan mengisap darah yang keluar dari luka gigitan

Anatomi dan morfologi.


Cacing dewasa. Cacing tambang dewasa berbentuk silindris berwarna putih keabuan.
Ukuran panjang cacing betina antara 9 sampai 13 mm, sedang cacing jantan berukuran
panjang antara 5 dan 11 mm.
Di ujung posterior tubuh cacing jantan terdapat bursa kopulatriks (bursa copulatrix),
suatu alat bantu kopulasi.
Ancylostoma duodenala dan Necator americanus dewasa dapat dibedakan
morfologinya berdasar bentuk tubuh, rongga mulut dan bentuk bursa kopulatriksnya.
Dengan pemeriksaan mikroskopis atas tinja, bentuk telur berbagai cacing tambang sukar
dibedakan.
232

Gambar 131. Cacing tambang dan telur cacing


(URL: http://home.austernet.com/au/peter/-)

Gambar 132. Bagan struktur cacing tambang (a) betina (b) jantan
1. esofagus 2. usus 3. ovarium 4. testis 5. uterus 6. bursa kopulatriks
233

Gambar 133. Mulut dan bursa kopulatriks cacing tambang.


(URL: http://www.atlas.or.kr)

Ancylostoma duodenale. Tubuh cacing Ancylostoma duodenale dewasa mirip huruf C.


Rongga mulutnya memiliki dua pasang gigi dan satu pasang tonjolan. Cacing betina
mempunyai spina kaudal.

Necator americanus. Ukuran tubuh Necator americanus dewasa lebih kecil dan lebih
langsing dibanding badan Ancylostoma duodenale. Tubuh bagian anterior cacing
melengkung berlawanan dengan lengkungan bagian tubuh lainnya sehingga bentuk
tubuh yang mirip huruf S. Di bagian rongga mulut terdapat 2 pasang alat pemotong
(cutting plate). Berbeda dengan Ancylostoma duodenale, di bagian kaudal badan cacing
betina tidak terdapat spina kaudal (caudal spine).

Telur. Pada pemeriksaan tinja di bawah mikroskop sinar, bentuk telur berbagai spesies
cacing tambang mirip satu dengan lainnya, sehingga sukar dibedakan. Telur cacing
tambang berbentuk lonjong, tidak berwarna, berukuran sekitar 65 x 40 mikron. Telur
cacing tambang yang berdinding tipis dan tembus sinar ini mengandung embrio yang
mempunyai empat blastomer.
234

Larva cacing tambang. Cacing tambang mempunyai dua stadium larva, yaitu larva
rhabditiform yang tidak infektif dan larva filariform yang infektif. Kedua jenis larva ini
mudah dibedakan karena larva rabditiform bentuk tubuhnya agak gemuk dengan panjang
sekitar 250 mikron, sedangkan larva filariform yang berbentuk langsing panjang
tubuhnya sekitar 600 mikron.
Selain itu bentuk rongga mulut (buccal cavity) larva rabditiform tampak jelas,
sedangkan pada filariform tidak sempurna, sudah mengalami kemunduran. Usofagus
larva rabditiform pendek ukurannya dan membesar di bagian posterior sehingga
berbentuk bola (bulbus esophagus). Usofagus larva filariform lebih panjang dibanding
ukuran panjang larva rabditiform.
Larva filariform cacing Ancylostoma duodenale dapat dibedakan dari larva
filariform Necator americanus dengan melihat selubung (sheat) larva.

Gambar 134. Larva cacing tambang


(a) filariform (b) rabditiform
( Sumber: CDC)

Di bagian luar tubuh larva filariform cacing tambang terdapat selubung yang tembus
sinar. Selubung larva filariform Necator americanus menunjukkan adanya garis-garis
melintang, yang tidak terdapat pada selubung larva filariform Ancylostoma duodenale.
235

Gambar 135. Diferensiasi larva rabditiform dan larva filariform cacing tambang.
a. Larva rabditiform b. Larva filariform
1. Rongga mulut (buccal cavity) 2. Esofagus. 3. Bulbus esophagus 4. usus 5. ekor.

Gambar 136. Diferensiasi larva filariform A.duodenale dan N.americanus.


A. Necator americanus B. Ancylostoma duodenale
1.usofagus 2.usus 3.anus 4. selubung larva
( larva N. americanus mempunyai garis-garis melintang).
236

Daur hidup cacing tambang. Daur hidup Ancylostoma duodenale maupun Necator
americanus hanya membutuhkan satu jenis hospes definitif, yaitu manusia. Tidak ada
hewan yang bertindak sebagai hospes reservoir.
Sesudah keluar dari usus penderita, telur cacing tambang yang jatuh di tanah
dalam waktu dua hari akan tumbuh menjadi larva rabditiform yang tidak infektif karena
larva ini dapat hidup bebas di tanah. Sesudah berganti kulit dua kali, larva rabditiform
dalam waktu satu minggu akan berkembang menjadi larva filariform yang infektif yang
tidak dapat mencari makan dengan bebas di tanah.
Untuk dapat berkembang lebih lanjut larva filariform harus mencari hospes
definitif, yaitu manusia. Larva filariform akan menginfeksi kulit manusia, menembus
pembuluh darah dan limfe selanjutnya masuk ke dalam darah dan mengikuti aliran darah
menuju jantung dan paru-paru.

Gambar 137 . Daur hidup cacing tambang

Lung migration. Sesudah larva filariform menembus kulit sehat manusia, larva ini akan
memasuki pembuluh darah dan limfe, beredar di dalam aliran darah, masuk ke jantung
kanan, lalu masuk ke dalam kapiler paru. Kemudian larva filariform menembus dinding
kapiler masuk ke dalam alveoli. Sesudah berganti kulit dua kali larva cacing mengadakan
237

migrasi ke bronki, trakea, laring dan faring, akhirnya tertelan masuk ke dalam saluran
usofagus. Di dalam lumen usofagus larva berganti kulit untuk yang ketiga kalinya.
Migrasi larva berlangsung sekitar sepuluh hari.
Dari usofagus larva masuk ke usus halus, berganti kulit yang keempat kalinya, lalu
tumbuh menjadi cacing dewasa jantan dan betina. Dalam waktu satu bulan, cacing betina
sudah mampu bertelur untuk melanjutkan keturunannya..

Perubahan patologis dan gejala klinis. Cacing tambang dewasa maupun larva cacing
filariform dan larva yang mengadakan lung migration dapat menimbulkan perubahan
patologis pada jaringan organ penderita. Cacing dewasa yang berada di dalam usus terus
menerus mengisap darah penderita. Seekor cacing dewasa Necator americanus dapat
menyebabkan hilangnya darah penderita sampai 0.1 cc per hari, sedangkan seekor cacing
Ancylostoma duodenale dapat menimbulkan kehilangan darah sampai 0.34 cc per hari.
Pada waktu larva filariform menembus kulit penderita larva cacing menimbulkan
dermatitis dengan gatal-gatal yang hebat (ground itch). Sedangkan larva cacing tambang
yang beredar di dalam darah (lung migration) akan menimbulkan bronkitis dan reaksi
alergi yang ringan .

Diagnosis cacing tambang. Kelainan patologis yang ditimbulkan oleh cacing tambang
dewasa maupun larvanya menyebabkan terjadinya banyak keluhan dan gejala klinis yang
tidak khas. Untuk menentukan diagnosis pasti infeksi cacing tambang harus dilakukan
pemeriksaan mikroskopis atas tinja untuk menemukan telur cacing.
Keluhan penderita dan gambaran klinis infeksi cacing tambang dapat berupa:
(1) anemia hipokromik mikrositer dan gambaran umum kekurangan darah
(pucat, perut buncit, rambut kering dan mudah lepas),
(2) gangguan pencernaan berupa rasa tak enak di epigastrium, sembelit, diare atau
steatore,
(3) ground-itch (gatal kulit di tempat masuknya larva filariform), dan
(4) gejala bronkitis akibat adanya larva di dalam paru yang menimbulkan batuk-
batuk yang kadang-kadang disertai dahak berdarah.
238

Karena itu diagnosis banding untuk infeksi cacing tambang adalah penyakit-penyakit
penyebab lain anemia, tuberkulosis dan penyakit-penyakit penyebab gangguan perut
lainnya.

Gambar 138. Anak yang menderita infeksi cacuing tambang


(Sumber: University of Iowa-CDC,)

Pada pemeriksaan darah penderita infeksi cacing tambang menunjukkan gambaran:


hemoglobin yang menurun sampai kurang dari 11,5 g/dl pada penderita perempuan dan
kurang dari 13,5 g/dl pada penderita laki-laki. Selain itu gambaran darah juga
menunjukkan MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) yang kurang dari
31-36 g/dl.
Hapusan darah tepi menunjukkan gambaran: hipokromik mikrositer, leukopenia dengan
limfositosis relatif, dengan jumlah leukosit kurang dari 4.000/ml, eosinofilia yang dapat
mencapai 30% dan anisositosis, atau poikilositosis.
239

Pada pemeriksaan sumsum tulang terdapat gambaran yang menunjukkan hiperplasia


normoblastik.

Pengobatan infeksi cacing tambang. Penderita infeksi cacing tambang pada umumnya
mengalam anemia yang bisa berat. Karena itu pengobatan penderita selain ditujukan
untuk memberantas cacingnya juga dilakukan untuk mengatasi anemianya:
(a). Obat cacing. Obat-obat cacing yang efektif untuk memberantas cacing tambang
antara lain adalah Albendazol, Mebendazol, Levamisol, dan Pirantel pamoat yang dapat
diberikan per oral.
Albendazol diberikan sebagai dosis tunggal sebesar 400 mg, diberikan satu kali.
Mebendazol diberikan dengan dosis untuk orang dewasa dan anak berumur di
atas dua tahun sebesar 2x 100 mg selama 3 hari. Jika telur masih positif, obat ini
bisa diulang 3-4 minggu kemudian. Dosis tunggal 500-600 mg juga efektif untuk
mengatasi infeksi cacing tambang.
Pirantel pamoat. Obat yang hanya efektif untuk mengobati Ancylostoma
duodenale ini, diberikan dalam bentuk dosis 10-11 mg/kg berat badan (maksimum
1.0 g ) selama 3 hari.
Levamisol. Obat ini diberikan sebanyak 120 mg levamisol base sebagai dosis
tunggal untuk orang dewasa. Pada anak levamisol base diberikan dengan dosis 2.5
mg/kg berat badan sebagai dosis tunggal.
(b). Pengobatan anemia. Anemia penderita diobati menggunakan sediaan zat besi (Fe)
yang diberikan per oral atau parenteral.

Pencegahan infeksi cacing tambang. Di daerah endemis Ancylostoma duodenale dan


Necator americanus penduduk sering mengalami reinfeksi. Infeksi baru maupun reinfeksi
dapat dicegah dengan memberikan obat cacing kepada penderita dan sebaiknya juga
dilakukan pengobatan masal pada seluruh penduduk di daerah endemis. Pendidikan
kesehatan diberikan pada penduduk untuk membuat jamban pembuangan tinja (WC)
yang baik untuk mencegah pencemaran tanah, dan jika berjalan di tanah selalu
menggunakan alas kaki untuk mencegah terjadinya infeksi pada kulit oleh larva filariform
cacing tambang
240

Strongyloides stercoralis

Strongyloides stercoralis yang juga disebut sebagai cacing benang (threadworm)


menyebabkan infeksi strongiloidiasis pada manusia maupun hewan. Cacing ini termasuk
cacing zoonosis yang tersebar luas di seluruh dunia terutama di daerah tropis yang tinggi
kelembabannya. Tempat hidup cacing betina dewasa adalah di dalam membrana mukosa
usus halus, terutama di daerah duodenum dan jejunum manusia dan beberapa jenis
hewan. Strongyloides stercoralis jantan jarang ditemukan di dalam usus hospes
definitifnya.

Anatomi dan morfologi


Cacing dewasa. Strongyloides stercoralis betina berbentuk seperti benang halus yang
tidak berwarna, tembus sinar dan mempunyai kutikel yang bergaris-garis. Cacing betina
yang parasitik mempunyai ukuran panjang tubuh sekitar 2,2 mm. Rongga mulut cacing
pendek, sedangkan esofagusnya panjang, langsing dan berbentuk silindrik. Terdapat
sepasang uterus yang berisi telur.
Cacing jantan hidup bebas, berukuran lebih kecil dibanding cacing betina, mempunyai
ekor yang melengkung.

Gambar 139.. Cacing dewasa dan larva rabditiform


(Sumber CDC: http://www.dpd.CDC.gov/DPDx)
241

Telur. Telur Strongyloides stercoralis mirip telur cacing tambang, mempunyai dinding
telur yang tipis dan tembus sinar. Bentuk telur yang bulat lonjong berukuran sekitar 55 x
30 mikron. Telur ini dikeluarkan di dalam membrana mukosa usus penderita dan segera
menetas menjadi larva, sehingga telur tidak dapat ditemukan di dalam tinja penderita.

Larva. Strongyloides stercoralis mempunyai dua stadium larva, yaitu larva rabditiform
dan larva filariform. Larva rabditiform mempunyai ukuran sekitar 225 mikron dan lebar
badan 16 mikron, mempunyai rongga mulut yang pendek dengan dua pembesaran
usofagus yang khas bentuknya. Primordium genital larva rabditiform lebih besar
ukurannya dibanding primordium genital larva rabditiform cacing tambang. Larva
filariform yang langsing bentuknya, berukuran sekitar 600 mikron x 20 mikron,
mempunyai esofagus yang lebih panjang dari ukuran esofagus cacing tambang. Ekor
larva filariform Strongyloides stercoralis bercabang yang merupakan ciri khas larva
filariform cacing ini.

Tabel 11. Diferensiasi Morfologi larva cacing tambang dan Strongyloides stercoralis

(a). Larva rabditiform

Spesies Ukuran Primordium genital Rongga mulut


Strongyloides 225 x 16 mikron Berukuran besar, terletak Pendek, ukuran
stercoralis sepanjang dinding ventral sekitar 1/3-1/2
pertengahan badan ukuran lebar bagian
anterior tubuh.
Cacing tambang 250 x 17 mikron Kecil, terletak di dekat Panjang, ukuran
ekor sama dengan lebar
badan

(b). Larva filariform


Primordium genital
Spesies Ukuran Panjang esofagus Ujung ekor
Strongyloides 600 x 20 mikron Sekitar panjang Bercabang
stercoralis badan
Cacing tambang 500 x 20 mikron Sekitar panjang Runcing
badan

45Ekor
Esofagus 3 2 1
242

Gambar 140. Diferensiasi larva Cacing tambang dan Strongyloides stercoralis


(a). larva rabditiform cacing tambang (b). larva rabditiform Strongyloides stercoralis
(c). larva filariform cacing tambang (d). larva filariform Strongyloides stercoralis
.1. ronggamulut 2. esofagus 3. bulbus esofagus 4. primordium genital 5.ekor

Daur hidup. Daur hidup Strongyloides stercoralis tidak memerlukan hospes perantara.
Cacing dewasa hidup di dalam usus manusia yang bertindak sebagai hospes definitifnya,
sedangkan beberapa jenis hewan dapat bertindak sebagai reservoir host yang menjadi
sumber penularan bagi manusia.
Di dalam mukosa usus telur cacing dikeluarkan oleh induk cacing dan segera menetas
menjadi larva rabditiform. Larva ini akan berkembang melalui tiga jalur daur hidup:
1. Daur hidup Langsung. Bersama tinja penderita larva rabditiform jatuh ke tanah,
tumbuh menjadi larva filariform yang infektif. Larva filariform menembus kulit
hospes, menjalani lung migration, dan selanjutnya berkembang menjadi cacing
dewasa di dalam usus penderita.
2. Daur hidup Tak Langsung. Larva rabditiform yang bersama tinja penderita jatuh
di tanah, berkembang langsung menjadi cacing dewasa yang hidup bebas (free
living). Cacing-cacing dewasa lalu melahirkan larvalarva rabditiform yang
kemudian berkembang menjadi larva filariform yang infektif. Larva filariform
243

menembus kulit hospes, diikuti terjadinya lung migration, kemudian tumbuh dan
berkembang menjadi cacing dewasa di dalam usus penderita.
3. Autoinfection. Larva rabditiform yang terdapat di dalam usus berubah menjadi
larva filariform, yang kemudian menembus mukosa usus dan berkembang
menjadi cacing dewasa.

Gambar 141. Bagan daur hidup Strongyloides stercoralis

Perubahan patologis dan gejala klinis. Infeksi ringan Strongyloides stercoralis pada
umumnya tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas. Perubahan patologis yang terjadi
dapat disebabkan oleh larva cacing maupun oleh cacing dewasa. Pada waktu menembus
kulit penderita larva cacing menimbulkan dermatitis disertai urtikaria dan pruritus. Jika
larva cacing yang mengadakan migrasi paru banyak jumlahnya, hal ini dapat
menyebabkan terjadinya pneumonia (eosinophilic pneumonia atau Lofflers syndrome)
dan batuk darah.
244

Strongyloides stercoralis dewasa yang berada di dalam mukosa usus penderita dapat
menimbulkan diare yang berdarah disertai lendir. Jika cacing dewasa melakukan invasi
ke mukosa lambung, maka akan terjadi nyeri epigastrium yang berat. Infeksi yang berat
dengan Strongyloides stercoralis dapat menyebabkan kematian penderita.

Diagnosis strongiloidosis. Diagnosis pasti strongiloidosis dapat ditegakkan jika dapat


ditemukan larva rhaditiform pada tinja segar penderita. Jika larva rabditiform dibiakkan
dalam biakan tinja, maka dalam waktu tiga hari akan terbentuk larva filariform dan juga
cacing dewasa yang hidup bebas dalam sediaan yang sama. Baik larva rabditiform
maupun larva filariform Strongyloides stercoralis dapat dibedakan dari larva-larva cacing
tambang.

Pengobatan. Sebagai obat pilihan untuk memberantas infeksi cacing Strongyloides


stercoralis dapat digunakan Albendazol dengan dosis (dewasa dan anak) 2x400 mg
selama 2 hari. Tiabendazol sebagai pengganti obat pilihan dapat diberikan per oral
sesudah makan dengan dosis 25 mg/kg berat badan per hari, terbagi dalam 3 dosis
pemberian, dengan lama pengobatan 3 hari atau lebih.
Sebagai obat pengganti juga dapat menggunakan Ivermectin dengan dosis 200 mcg/ kg
per hari yang diberikan selama 2 hari.
Obat-obat lainnya, misalnya levamisol, Mebendazol dan pirantel pamoate dapat juga
digunakan, meskipun hasilnya kurang memuaskan.

Pencegahan. Oleh karena adanya hewan-hewan sebagai hospes reservoir pada daur
hidup Strongyloides stercoralis, maka pencegahan strongiloidiasis lebih sulit dilakukan
dibanding pencegahan terhadap infeksi cacing tambang. Terjadinya autoinfeksi di usus
penderita dan terdapatnya daur hidup bebas Strongyloides stercoralis di tanah juga makin
menyulitkan pemberantasan parasit ini.

Trichinella spiralis
245

Cacing yang mempunyai nama lain ini umumnya disebut sebagai cacing trikina.
Trichinella spiralis tersebar luas di seluruh dunia, terutama di negara-negara yang
penduduknya banyak mengkonsumsi daging babi yang tidak dimasak dengan sempurna,
misalnya di Eropa dan Amerika Utara. Di Asia epidemi infeksi cacing ini (trikinosis)
pernah dilaporkan dari Thailand, Siria dan India. Penelitian serologis pada penduduk
Bensbach di Papua New Guinea menunjukkan prevalensi trichinosis sebesar 28.9%.

Tempat hidup cacing. Cacing dewasa maupun larva cacing dapat ditemukan bersama-
sama di dalam satu tubuh hospes definitif. Cacing dewasa Trichinella spiralis hidup di
dalam mukosa duodenum dan jejunum hospes definitif misalnya babi, tikus dan manusia
serta anjing, kucing, beruang dan berbagai mamalia lainnya. Sedangkan larva cacing
ditemukan dalam bentuk kista di dalam otot-otot bergaris hospes definitif.

Anatomi dan morfologi


Cacing dewasa. Ukuran panjang cacing jantan Trichinella spiralis antara 1.4 mm
sampai 1.6 mm, sedangkan cacing betina berukuran lebih panjang dapat mencapai 4
mm. Ujung anterior cacing berbentuk langsing dengan mulut tanpa papil. Ujung
posterior cacing bentuknya bulat tumpul pada cacing betina, sedang pada yang jantan
melengkung ke arah ventral. Di bagian posterior cacing jantan terdapat 2 buah papil
yang membedakan bentuknya dari cacing betina. Trichinella spiralis betina mempunyai
satu ovarium dengan vulva terletak di seperlima anterior dari badan. Cacing betina tidak
bertelur melainkan melahirkan larvanya (vivipaar). Alat pencernaan cacing panjang dan
sempit

Larva. Panjang larva cacing dapat mencapai 100 mikron, namun di dalam otot hospes
definitif umumnya larva terdapat dalam bentuk kista. Dalam bentuk kista, larva dapat
tetap hidup 6 bulan bahkan bisa mencapai 30 tahun. Jaringan hospes yang mengandung
larva Trichinella infektif bagi mamalia lain yang memakannya.
246

Gambar 142. Diagram Trichinella spiralis


a. Cacing betina b. Cacing jantan c. larva di dalam otot
1. esofagus 2. cincin saraf 3. mulut 4. vagina 5. sel badan 6. usus 7. uterus
8. ovarium 9. anus 10.testis 11. usus 12. papil 13. kloaka 14.larva 15.jaringan otot

Daur hidup. Trichinella spiralis dewasa maupun larvanya terdapat di dalam satu tubuh
hospes yang sama, namun untuk dapat melengkapi daur hidupnya cacing ini
membutuhkan dua hospes yang satu jenis yang sama atau dari jenis yang berbeda.
Sebagai contoh, daur hidup Trichinella spiralis pada tikus hutan misalnya, hanya
dibutuhkan satu jenis hospes yaitu tikus oleh karena adanya sifat kanibalis pada tikus
yang memakan sesamanya.
Selain manusia, babi dan tikus yang menjadi hospes definitif cacing ini, cacing
Trichinella spiralis juga dapat hidup di dalam tubuh anjing, kucing dan beruang. Di
lingkungan alami, daur hidup cacing ini dapat berlangsung diantara kelompok
hewan yang bersifat kanibalis, misalnya kelompok tikus. Babi juga bisa terinfeksi cacing
in karena makan sampah yang mengandung daging tikus mati.
247

Gambar 143. Daur hidup Trichinella spiralis.


Manusia umumnya terinfeksi Trichinella spiralis karena makan daging babi mentah
yang mengandung kista larva cacing atau daging dimasak kurang matang. Pada waktu
berada di dalam usus halus dinding kista pecah dan larva akan terlepas, lalu segera
memasuki mukosa usus. Dalam waktu dua hari larva cacing akan berkembang menjadi
cacing dewasa. Seekor Trichinella spiralis betina dapat melahirkan sampai 1500 larva
yang dilepaskan di dalam mukosa usus. Kemudian larva memasuki aliran darah dan
limfe, menyebar ke berbagai organ dan bagian tubuh lainnya, terutama ke otot-otot gerak
misalnya otot lidah, diafragma, mata, laring, otot biseps, otot perut, deltoid dan otot
gastroknemius. Larva terutama tersebar memasuki otot-otot yang miskin glikogen,
membentuk kista di daerah tersebut dan tetap infektif dalam waktu lama. Antara bulan ke
enam sampai bulan ke sembilan mulai terjadi perkapuran kista.

Perubahan patologi jaringan dan organ. Gejala dan keluhan penderita mulai terjadi
dua hari sesudah tertelannya kista larva yang infektif. Cacing dewasa yang berasal dari
perkembangan larva yang melakukan iinvasi ke dalam mukosa usus dapat menyebabkan
terjadinya kelainan patologis pada organ dan jaringan.
Larva yang dilahirkan oleh induk cacing yang menyebar ke dalam otot-otot gerak
menimbulkan keradangan endovaskuler dan perivaskuler akut yang menyebabkan
terjadinya nyeri otot rematik, diikuti gangguan bernapas, mengunyah dan berbicara.
Selain itu dapat terjadi kelumpuhan yang spastik pada otot ekstremitas, diikuti edema
248

sekitar mata, hidung dan tangan. Pembesaran kelenjar limfe juga dapat terjadi.
Migrasi larva dapat menyebabkan terjadinya nekrosis otot jantung yang
menimbulkan miokarditis, yang merupakan komplikasi berat pada pederita trikinosis.
Komplikasi lainnya adalah endefalitis, meningitis, tuli, gangguan mata dan diplegia.
Pada masa enkistasi atau masa tahap tiga, terjadi edema toksik atau dehidrasi beratyang
merupakan masa krisis dengan terjadinya penurunan tekanan darah penderita yang dapat
menimbulkan kolaps. Selain itu tampak juga gejala-gejala neurotoksik dan komplikasi
lain misalnya miokarditis, pneumonia, peritonitis, dan nefritis.
Pada infeksi ringan trikinosis penyembuhan terjadi dalam waktu dua minggu,
sedangkan pada infeksi yang berat penyembuhan baru terjadi pada minggu kedelapan.

Gejala klinis. Gejala klinis dan keluhan penderita trikinosis pada manusia tidaklah khas.
Masa inkubasi yang lamanya 10 hari sejak masuknya kista cacing bersama daging babi
yang infektif, diikuti oleh keluhan gastrointestinal penderita berupa sakit perut, mual,
muntah dan diare. Penderita kemudian mengalami nyeri hebat pada otot-otot gerak,
diikuti gangguan bernapas, gangguan menelan dan sukar berbicara. Kelenjar-kelenjar
limfe juga akan membesar disertai edema sekitar mata, hidung dan tangan. Jika
terjadi nekrosis otot jantung, penderita akan mengalami miokarditis yang dapat
menyebabkan kan kematian penderita.
Selain itu penderita dapat juga mengalami radang otak (ensefalitis) dan radang
selaput otak (meningitis), tuli, gangguan mata, gejala neurotoksik misalnya neuritis
perifer, halusinasi, delirium, disorientasi atau mengalami komplikasi berupa miokarditis,
pnemonia, peritonitis dan nefritis.

Diagnosis pasti . Untuk menetapkan diagnosis pasti trikinosis harus dapat ditemukan
cacing dewasa atau larva cacing. Cacing dewasa atau larva mungkin dijumpai pada tinja
penderita pada waktu mengalami diare. Di dalam darah, cairan otak atau dalam air susu
ibu, larva yang beredar sulit ditemukan. Cara yang lebih memungkinkan adalah
menemukan larva cacing melalui biopsi otot atau biopsi organ atau ditemukan larva
cacing pada waktu dilakukan otopsi atas penderita yang sudah meninggal dunia.
Pemeriksaan darah tepi, uji serologi dan pemeriksaan radiologi merupakan sarana
249

bantu untuk menegakkan diagnosis trikinosis.


(1). Pemeriksaan darah tepi : menunjukkan adanya gambaran eosinofilia.
(2). Uji serologi: beberapa jenis uji serologi, misalnya Uji Fiksasi Komplemen,
Uji Presipitin, Uji Aglutinasi dan Uji Flokulasi Bentonit dapat membantu
menegakkan diagnosis trikinosis. Dengan menggunakan antigen pada
pengenceran 5000-10,000 kali, hasil positif dapat dibaca dalam waktu 20 menit.
(3). Pemeriksaan radiologi dapat membantu menunjukkan adanya kista pada
jaringan atau organ tubuh penderita.
Prognosis. Infeksi yang ringan pada trikinosis mempunyai prognosis yang baik, dan
pada infeksi berat prognosisnya sangat buruk. Tidak adanya eosinofili atau eosinofili
yang ringan menunjukkan prognosis yang buruk.

Pengobatan trikinosis. Untuk mengobati trikinosis sebagai obat pilihan dapat diberikan
Mebendazol dengan dosis 3x 200-400mg selama 3 hari, lalu diikuti dengan dosis 3x 400-
500 mg selama 10 hari. Sebagai obat pengganti dapat diberikan Albendazol dengan dosis
2x400 mg selama 8-14 hari.
Obat cacing lainnya yang dapat diberikan adalah Tiabendazol selama 1 minggu,
dengan dosis 25 mg/kg berat badan/hari yang terbagi dalam 3 dosis pemberian.
Pada pengobatan trikinosis yang berat dan pada pengobatan dengan Tiabendazol
harus disertai pemberian kortikosteroid dosis rendah secara bertahap dan hati-hati,
untuk mengurangi gejala dan keluhan penderita.
Terhadap nyeri otot dan sakit kepala penderita dapat diberikan analgetika,
sedangkan gejala dan keluhan neurologik dapat diobati dengan penenang.

Pencegahan. Untuk mencegah penularan trikinosis, harus dilakukan pemeriksaan daging


babi yang akan dijual.
Memasak daging babi dengan sempurna sebelum dimakan dapat mengurangi
penyebaran trikinosis. Membekukan daging babi dan daging lainnya dapat membunuh
kista cacing.
Selain itu babi yang diternakkan harus selalu diberi makanan yang dipanasi
lebih dahulu . Tikus harus selalu dijauhkan dari lingkungan peternakan babi.
250

Angiostrongylus cantonensis

Angiostrongylus cantonensis yang dikenal sebaga cacing paru tikus ini tersebar di
seluruh dunia dan banyak dilaporkan dari daerah tropis dan subtropis. Hospes definitif
cacing ini adalah berbagai jenis rodensiasia tempat cacing dewasa hidup di dalam arteria
pulmonalisnya.

Anatomi dan morfologi. Angiostrongylus cantonensis dewasa berbentuk filiform atau


silindris dengan panjang dapat mencapai 25 mm. Ukuran panjang cacing jantan sekitar
7.7 mm, sedangkan cacing betina panjangnya sekitar 12.8 mm. Badan cacing
mempunyai kutikula halus dengan penebalan di kedua ujungnya. Kepala cacing
mempunyai tiga bibir yang berpapil, tetapi tidak mempunyai rongga mulut.cacing jantan
mempunyai bursa kopulatriks yang kecil ukurannya yang mengarah ke ventral. Larva
cacing yang infektif untuk manusia, mempunyai ukuran 0.5 mm x 0.025 mm.

Gambar 144. Angiostrongylus cantonensis.


A. cacing betina. B. cacing jantan
(http://www.cdc.gov/dpdx)
251

Daur hidup. Infeksi Angiostrongylus cantonensis pada manusia terjadi karena termakan
larva infektif yang terdapat di dalam daging moluska (bekicot, siput) atau makan
daging hewan pemakan moluska misalnya ketam, ikan, dan udang yang tidak dimasak
dengan sempurna. Infeksi pada moluska terjadi akibat makan larva cacing yang
dikeluarkan bersama tinja hewan mengerat yang terinfeksi, yang menjadi hospes
definitif parasit ini. Manusia juga dapat tercemar larva infektif cacing melalui jari-jari
tangannya pada waktu mengolah daging moluska sebelum dimasak atau melalui buah
dan sayur-sayuran yang tercemar lendir moluska yang yang infektif.

Gambar 145. Daur hidup Angiostrongylus cantonensis

Perubahan patologis dan gejala klinis. Angiostrongylus cantonensis dapat ditemukan di


dalam otak, sumsum tulang belakang dan di dalam rongga bola mata penderita.
Parasit yang berada di dalam sumsum tulang dapat menyebabkan gangguan sensorik
pada ektremitas, sedangkan yang berada di dalam jaringan otak dapat menimbulkan
meningoensefalitis eosinofilik pada manusia.
252

Satu sampai tiga minggu sesudah masa inkubasi berlangsung sejak tertelannya larva
infektif cacing ini, gambaran klinis meningoensefalitis mulai terlihat berupa sakit kepala
yang hebat, demam, kaku kuduk, mual dan muntah-muntah. .

Diagnosis. Selain adanya gejala klinis berupa meningoensefalitis, diagnosis infeksi


(angiostrongiliasis) dapat ditetapkan melalui pemeriksaan cairan sumsum tulang dan
pemeriksaan darah penderita.
Pemeriksaan cairan sumsum tulang (spinal fluid) menunjukkan adanya
peningkatan protein dan pleositosis eosinofilik, tetapi kadar glukosa adalah normal. Pada
pemeriksaan darah gambaran sel darah menunjukkan adanya eosinofilia perifer dengan
leukositosis ringan.
Angiostrongylus cantonensis kadang-kadang juga dapat ditemukan di dalam
cairan sumsum tulang penderita. Jika cacing dijumpai di dalam rongga mata penderita,
hal ini dapat menimbulkan gangguan penglihatan penderita.

Pengobatan angiostrongiliosis. Belum ditemukan obat yang spesifik untuk memberantas


Angiostrongylus cantonensis. Obat-obatan Tiabendazol, albendazol, levamisol,
Mebendazol atau ivermectin yang biasa digunakan untuk cacing jaringan misalnya
trikinosis dan strongiloidosis hasilnya kurang memuaskan.
Untuk menurunkan demam dan rasa sakit dapat diberikan analgetikum,
sedangkan kortikosteroid dapat diberikan untuk membantu mengurangi rasa sakit dan
keluhan penderita akibat proses keradangan yang terjadi.

Pencegahan. Untuk mencegah penularan angiostrongiloidosis maka moluska, siput,


ketam dan ikan sebelum dimakan harus dimasak dengan sempurna untuk membunuh
larva infektif cacing. Buah-buahan dan sayur-sayuran sebelum dimakan juga harus
dicuci bersih untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kontaminasi tangan oleh lendir
moluska yang mengandung larva infektif cacing.
Karena tikus dan hewan mengerat merupakan sumber penularan, pemberantasan
rodensia yang berada di sekitar rumah dan pemukiman penduduk harus dilakukan dengan
teratur.
253

Capillaria

Capillaria adalah cacing nematoda yang hidup pada mukosa usus halus, yang dapat
menimbulkan kapilariasis pada manusia. Penderita dengan infeksi parasit ini pernah
dilaporkan dari Jepang, Korea, Taiwan, Mesir dan Indonesia. Capillaria philippinensis
dan Capillaria hepatica endemis di Filipina dan Thailand.

Anatomi dan morfologi. Capillaria dewasa berukuran panjang antara 2-4 mm,
sedangkan telurnya berbentuk biji mentimun mirip telur cacing Trichuris.

Gambar 146. Capillaria philippinensis


( URL: http://www.tmu.edu)

Cara penularan. Berbagai jenis hewan misalnya rodensiasia, karnivora, babi dan kera
dapat menularkan Capillaria ke manusia, namun hewan-hewan yang dapat bertindak
sebagai hospes alami belum jelas jenisnya.
Kapilariasis pada manusia terutama disebabkan oleh yang menimbulkan
kapilariasis intestinal dan Capillaria hepatica yang menjadi penyebab dari kapilariasis
hepatik.
Capillaria hepatica merupakan parasit yang umum didapatkan pada tikus dan
hewan pengerat lainnya serta dapat hidup pada berbagai mamalia lainnya. Penularan
254

kapilariasis hepatik terjadi melalui infeksi per oral dengan masuknya telur infektif cacing
ini bersama sayuran, buah atau air minum.
Kapilariasis intestinal terjadi melalui infeksi karena makan ikan air tawar yang mentah
atau kurang matang.

Gejala klinis dan diagnosis. Kapilariasis yang berat dapat menyebabkan terjadinya
enteropati yaitu hilangnya protein dalam jumlah besar yang disertai sindroma
malabsorpsi. Penderita juga mengalami asites dan transudasi pleura. Gejala klinis
kapilariasis intestinal yang dialami penderita dapat berupa diare berat, malabsorpsi,
gangguan cairan tubuh, asites dan kekurangan protein. Penderita kapilariasis hepatik
dapat mengalami pembesaran hati, asites yang nyata dan anemia. Kapilariasis dapat
menyebabkan kematian penderita sampai sebesar 5-10%. Pada pemeriksaan darah
gambaran darah menunjukkan adanya eosinofilia dan anemia.
Untuk menetapkan diagnosis pasti kapilariasis hepatik harus ditemukan telur
cacing Capillaria hepatica melalui biopsi hati penderita atau pada waktu dilakukan otopsi
pada jenasah penderita. Sedangkan diagnosis pasti kapilariasis intestinalis ditetapkan
dengan ditemukannya telur cacing Capillaria philippinensis pada tinja penderita.

Pengobatan. Kapilariasis intestinal dapat diobati dengan Mebendazol dengan dosis


2x200 mg/hari yang diberikan selama 20-30 hari. Albendazol dapat diberikan sebagai
obat pengganti dengan dosis 400 mg per hari selama 10 hari. Tiabendazol dengan dosis
25 mg/kg berat badan/hari ternyata juga efektif terhadap infeksi cacing ini.
Mebendazol juga merupakan obat pilihan Capillaria hepatica dengan Albendazol sebagai
obat pengganti. Steroid dapat diberikan untuk mengurangi proses keradangan pada hati.

Pencegahan. Penularan kapilariasis intestinal dapat dicegah dengan menghindari makan


ikan mentah atau hewan air lainnya yang berasal dari daerah endemis kapilariasis.
Membuang ekskreta manusia dengan baik pada jamban saniter dan menjaga higiene
perorangan harus dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi Capillaria.
255

Pencegahan kapilariasis hepatik dilakukan dengan menjaga kebersihan


lingkungan dan perorangan, serta selalu memasak makanan atau minuman dan mencegah
pencemaran tinja terhadap tanah dan lingkungan.

NEMATODA JARINGAN

Cacing Filaria

Cacing filaria dari superfamili Filarioidea, yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi,
Brugia timori, Onchocerca volvulus, Loa loa, Acanthocheilonema (Mansonella)
perstans, dan Mansonella ozzardi adalah cacing-cacing nematoda jaringan yang dapat
menimbulkan masalah kesehatan manusia. Cacing-cacing ini dilaporkan dari daerah-
daerah tertentu di berbagai tempat di dunia, sesuai dengan terdapatnya vektor penularnya.
Cacing dewasa lebih sukar ditemukan dibanding bentuk larvanya (microfilaria,
mikrofilaria).

Anatomi dan morfologi mikrofilaria. Bentuk anatomi dan morfologi mikrofilaria


cacing filaria penting untuk membedakan penyebab filariasis, karena bentuknya yang
khas untuk masing-masing spesies, dengan memperhatikan ukuran panjangnya, adanya
selubung (sheath) dan susunan intinya. Selain itu mikroflaria lebih mudah ditemukan di
dalam darah dibandingkan dengan cacing dewasanya yang hidup di dalam jaringan.
256

Gambar 147. Bagan mikrofilaria


1.Kepala 2. Cincin saraf 3. Lubang ekskresi 4. Sel ekskresi 5. Inti 6. Sel Genital 1 (G1)
7. G2 8.G3 9.G4 10.Anus 11. Ekor 12. Selubung (sheath)
257

Tabel 12. Perbedaan morfologi mikrofilaria

Spesies filaria Selubung Panjang Inti


(sheath) (mikron)

Wuchereria bancrofti Mempunyai 300 Tidak mencapai ujung


ekor

Brugia malayi / Mempunyai 260 Mencapai ujung ekor


Brugia timori 310 Mencapai ujung ekor

Onchocerca volvulus Tidak ada 360 Tidak mencapai ujung


ekor

Loa loa Mempunyai 300 Mencapai ujung ekor

Acanthocheilonema Tidak ada 200 Mencapai ujung ekor


perstans

Mansonella ozzardi Tidak ada 240 Tidak mencapai ujung


ekor
258

Gambar 148. Mikrofilaria berselubung (sheated microfilaria) dan yang tidak


berselubung (unsheated microfilaria)
AP= Acanthocheilonema perstans MO=Mansonella ozzardi OV=Onchocerca volvulus
WB= Wuchereria bancrofti LL=Loa loa BM=Brugia malayi

Daur hidup filaria. Pada umumnya hospes definitif filaria adalah manusia, kecuali
Brugia malayi dan Onchocerca volvulus yang merupakan parasit zoonotik. Bertindak
sebagai hospes perantara adalah serangga pengisap darah, yaitu nyamuk atau lalat
pengisap darah.
Filaria dewasa hidup di dalam saluran limfe dan pembuluh limfe, sedangkan larva cacing
(mikrofilaria) hidup di dalam darah tepi penderita. Filariasis di Indonesia dapat
disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan
Brugia timori. Brugia timori belum banyak diketahui morfologinya, sifat biologi maupun
epidemiologi penyakitnya.
259

Gambar 149. Daur hidup filaria.

Daur Periodik. Di Indonesia filariasis dapat ditularkan oleh berbagai spesies nyamuk,
yang hidup aktif di siang hari atau di malam hari. Sesuai dengan dtemukannya
mikrofilaria di dalam darah tepi, dikenal periodik nokturnal, subperiodik diurnal dan
subperiodik nokturnal.
Periodik nokturnal (nocturnal periodic): mikrofilaria hanya ditemukan di dalam
darah pada waktu malam hari.
Subperiodik diurnal (diurnal subperiodic): mikrofilaria terutama dijumpai siang
hari, malam hari jarang ditemukan.
Subperiodik nokturnal (nocturnal subperiodic): mikrofilaria terutama dijumpai
malam hari, jarang ditemukan siang hari.

Tabel 13. Hospes definitif dan hospes perantara filaria

Spesies filaria Hospes definitif Hospes perantara

Wuchereria bancrofti Manusia Aedes, Culex, Anopheles


Brugia malayi Manusia Anopheles
260

Brugia malayi Manusia, hewan Mansonia


Brugia timori Manusia Anopheles
Onchocerca volvulus Manusia, simpanse Simulium
Loa loa Manusia Chrysops
Acanthocheilonema perstans Manusia Culicoides
M.ozzardi Manusia Culicoides

Wuchereria bancrofti
Infeksi cacing dewasa Wuchereria bancrofti menyebabkan filariasis bancrofti, sedangkan
larva cacing (mikrofilaria) dapat menimbulkan occult filariasis. Wuchereria bancrofti
dewasa hidup di dalam saluran limfe dan kelenjar limfe manusia. Filaria ini tersebar luas
di daerah tropis dan subtropis di Asia, Afrika, Amerika dan Eropa, sedangkan di
Indonesia ada 26 propinsi yang merupakan daerah endemis filariasis dengan microflarial
rate (Mf rate) sebesar 3,1% . Dengan demikian sekitar 6 juta orang Indonesia sudah
terinfeksi filariasis. .

Anatomi dan morfologi. Wuchereria bancrofti dewasa berbentuk seperti rambut,


berwarna putih susu. Panjang tubuh cacing jantan sekitar 4 cm, mempunyai ekor yang
261

melengkung dilengkapi dua spikulum yang tidak sama panjang. Panjang cacing betina
sekitar 10 cm, mempunyai ekor yang runcing bentuknya.
Mikrofilaria. Stadium infektif cacing ini mudah ditemukan di dalam darah tepi, dengan
panjang sampai 300 mikron dan lebar 8 mikron. Mikrofilaria mempunyai selubung
(sheath) hialin, dengan inti atau sel somatik berbentuk granul yang susunannya tidak
mencapai ujung ekor.

Gambar 150. Mikrofilaria Wuchereria bancrofti


(Sumber: CDC)

Daur hidup. Cacing Wuchereria bancrofti tidak termasuk parasit zoonosis dan manusia
merupakan satu-satunya hospes definitif cacing ini. Tidak ada hewan yang bertindak
sebagai reservoir host cacing ini. Nyamuk genus Culex, Aedes dan Anopheles dapat
bertindak sebagai vektor penular filariasis bancrofti.
Daur hidup Wuchereria bancrofti umumnya bersifat periodik nokturna (nocturnal
periodic), sehingga mikrofilaria hanya dijumpai di dalam darah tepi pada malam hari.
Filaria yang hidup di daerah Pasifik mempunyai mikrofilaria lebih banyak dijumpai pada
waktu siang hari, meskipun dalam jumlah lebih sedikit dapat juga ditemukan pada malam
hari (diurnal subperiodic). Di Thailand mikrofilaria Wuchereria bancrofti bersifat
subperiodik nokturna, artinya lebih banyak dijumpai di dalam darah tepi pada waktu
malam hari.
Sesudah mikrofilaria yang beredar di dalam darah penderita terhisap oleh
nyamuk, di dalam tubuh nyamuk dalam waktu 10 sampai 20 hari larva berkembang
262

menjadi stadium larva stadium tiga yang infektif (L3). Larva stadium tiga panjangnya
sekitar 1500 sampai 2000 mikron dan lebar badan antara 18 dan 23 mikron, dapat
ditemukan di dalam selubung proboscis nyamuk yang menjadi vektor perantaranya.
Apabila nyamuk ini menggigit manusia lain maka ia akan memindahkan larva L3 yang
kemudian secara aktif akan masuk ke saluran limfe lipat paha, skrotum atau saluran limfe
perut, dan hidup di tempat tersebut. Sebelum berkembang menjadi cacing dewasa di
dalam tubuh manusia, mikrofilaria mengalami pergantian kulit dua kali. Pada umur lima
sampai 18 bulan cacing dewasa betina telah matang seksual dan sesudah mengadakan
kopulasi dengan cacing jantan dapat mulai melahirkan mikrofilaria, yang segera
memasuki sistem sirkulasi darah perifer.

Perubahan patologi dan gejala klinis. Wuchereria bancrofti dewasa maupun


mikrofilaria dapat menimbulkan gangguan patologi. Akibat iritasi mekanis dan sekresi
toksik yang dikeluarkan cacing betina maka akan menyebabkan timbulnya limfangitis
pada pembuluh limfe. Selain itu cacing dewasa yang mati dapat menimbulkan limfangitis
dan kadang-kadang terjadi sumbatan atau obstruksi limfatik pada aliran limfe akibat
terjadinya fibrosis saluran limfe dan proliferasi endotel saluran limfe. Obstruksi ini
menyebabkan terjadinya varises saluran limfe dan elephantiasis serta hidrokel.
Apabila saluran limfe kandung kemih, varises saluran limfe atau ginjal pecah, cairan
limfe dapat masuk ke dalam aliran urin penderita melalui membrane mukosa traktus
urinarius. Hal ini menyebabkan urin menjadi berwarna putih susu dan mengandung
lemak, albumin dan fibrinogen. Urin yang putih seperti susu ini disebut kiluria, yang
kadang-kadang juga mengandung mikrofilaria.
Pada filariasis bancrofti, elefantiasis yang kronis dapat mengenai kedua lengan,
tungkai, payudara, buah zakar atau vulva, yang hanya dapat diperbaiki melalui tindakan
operasi.

Diagnosis filariasis bancrofti. Filariasis bancrofti dimulai dengan terjadinya limfangitis


akut dengan gejala-gejala berupa saluran limfe yang dapat diraba, terjadinya
pembengkakan saluran limfe, yang selain berwarna merah juga disertai rasa nyeri.
263

Sesudah itu penderita akan mengalami demam disertai menggigil. Selanjutnya penderita
akan menunjukkan gejala-gejala dan keluhan limfadenitis, orkitis, funikulitis dan abses.

Gambar 151. Elefantiasis bancrofti pada kaki kiri.


( URL: http://www.tmu.edu)

Obstruksi saluran limfe dapat menimbulkan berbagai akibat klinis berupa varises limfe,
hidrokel, kiluria, limfskrotum dan elephantiasis.
Diagnosis pasti filariasis bancrofti dapat ditetapkan jika pada pemeriksaan darah (tetes
tebal) ditemukan mikrofilaria Wuchereria bancrofti yang khas bentuknya di dalam darah
tepi. Kadang-kadang mikrofilaria juga ditemukan di dalam kiluria, eksudat varises limfe
dan cairan hidrokel. Pada awal dari timbulnya gejala klinis mikrofilaria tidak dapat
ditemukan. Juga mikrofilaria tidak dapat dijumpai sesudah terjadinya limfangitis akibat
matinya cacing dewasa dan jika telah terjadi elefantiasis akibat obstruksi limfatik. Pada
biopsi kelenjar limfe kadang-kadang dapat ditemukan cacing dewasa.
Pemeriksaan darah penderita menunjukkan adanya eosinofilia antara 5% - 15%.
Pemeriksaan imunologik misalnya Uji Fiksasi Komplemen, Uji Hemaglutinasi
Tak langsung, atau Pemeriksaan Imunofluoresensi Tak langsung dapat dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosis filariasis.
264

Pengobatan filariasis bancrofti. Pada saat ini yang paling banyak digunakan untuk
mengobati filariasis bancrofti adalah Dietilkarbamasin sitrat (Diethylcarbamazine
citrat, DEC) yang diberikan dengan dosis 6 mg/kg berat badan /hari yang diberikan satu
kali. DEC ditujukan untuk memberantas mikrofilaria, mengobati filariasis pada tahap
akut, untuk mengobati kiluria, limfedema , dan diberikan pada tahap awal elefantiasis.
DEC juga dapat diberikan dalam selama 14 hari dengan pengaturan dosis sebagai berikut:
hari-1: 50 mg; hari ke-2: 3x50 mg; hari ke-3: 3x100 mg; hari ke-4 sampai dengan 14:
3x2 mg/kg berat badan/hari (Medical Letter, August 2004).
Pada pengobatan masal (mass treatment) di daerah edemis diberikan DEC 6 mg/
kg berat badan per hari yang diberikan satu kali satu bulan, sebanyak 12 kali.
Jika terjadi alergi atau timbul panas dan rasa sakit, antihistamin, analgetik dan antipiretik
dapat diberikan sesuai dengan keperluan.
Jika hidrokel atau elephantiasis yang lanjut telah terjadi, komplikasi filariasis ini
hanya dapat diatasi melalui pembedahan.

Pencegahan filariasis bancrofti. Untuk mencegah penularan filariasis tindakan-tindakan


yang harus dilakukan adalah melaksanakan pengobatan masal pada penduduk daerah
endemis filariasis, pengobatan pencegahan terhadap pendatang yang berasal dari daerah
non endemis filariasis, dan memberantas nyamuk yang menjadi vektor penularnya di
daerah tersebut.
Selain itu, lingkungan harus diupayakan agar bebas nyamuk vektor penularnya
dan mencegah gigitan nyamuk menggunakan repellent atau kelambu pada waktu tidur.

Brugia

Terdapat dua spesies cacing Brugia yang menyebabkan masalah kesehatan pada manusia,
yaitu Brugia malayi dan Brugia timori. Brugia malayi tersebar di Asia, mulai dari India,
Asia Tenggara, sampai ke Jepang, sedangkan Brugia timori hanya dijumpai di Indonesia
bagian Timur, yaitu di Nusa Tenggara Timur. Brugia hanya ditemukan di daerah pedesaan
(rural).
265

Di Indonesia terdapat dua spesies Brugia, yaitu Brugia malayi yang menimbulkan
filariasis brugia atau filariasis malayi, dan Brugia timori menyebabkan filariasis timori.
Brugia dewasa hidup di dalam saluran dan pembuluh limfe, sedangkan mikrofilaria
dijumpai di dalam darah tepi hospes definitif.

Anatomi dan morfologi. Bentuk dewasa cacing Brugia mirip dengan bentuk cacing
dewasa Wuchereria bancrofti, sehingga sulit dibedakan. Brugia malayi betina panjang
badannya dapat mencapai 55 mm, sedangkan panjang cacing jantan hanya sekitar 23 cm.
Panjang badan Brugia timori betina sekitar 39 mm sedangkan cacing jantan mempunyai
panjang badan sekitar 23 mm.

Stadium larva Brugia (mikrofilaria) mempunyai selubung (sheath) yang panjangnya


dapat mencapai 260 mikron pada Brugia malayi dan pada Brugia timori dapat mencapai
310 mikron. Mikrofilaria Brugia malayi memiliki ciri khas Morfologi, yaitu bentuk
ekornya yang mengecil dan mempunyai dua inti terminal, sehingga mudah dibedakan
dari mikrofilaria Wuchereria bancrofti.
266

Gambar 152. Mikrofilaria Brugia (a) Brugia malayi (b) Brugia timori
(Sumber: CDC)

Daur hidup Brugia. Cacing Brugia ada yang termasuk parasit zoonotik, tetapi ada juga
yang hanya hidup pada manusia. Hospes definitif Brugia yang zoonotik, selain manusia
juga berbagai hewan mamalia sehingga dapat berperan selaku reservoir host. Brugiasis
malayi mempunyai bermacam-macam periodisitas, ada yang nocturnal periodic,
nocturnal subperiodic, atau non periodic, sedangkan Brugia timori bersifat periodik
nokturna.

Vektor penular brugiasis adalah nyamuk Anopheles yang menjadi vektor brugiasis non
zoonotik dan Mansonia yang menjadi vektor brugiasis zoonotik.
267

Gambar 153. Daur hidup Brugia malayi

Gejala klinis dan diagnosis. Limfadenitis pada brugiasis berbeda dengan limfadenitis
pada filariasis bancrofti. Pada brugiasis malayi limfadenitis yang terjadi pada satu
kelenjar inguinal dapat menjalar ke bawah (limfangitis retrograd) dan dapat membentuk
ulkus yang jika sembuh akan meninggalkan jaringan parut yang khas. Pada brugiasis
malayi elefantiasis umumnya hanya terjadi pada tungkai bawah yang terletak di bawah
lutut dan jarang terjadi di lengan bawah di bawah siku. Infeksi Brugia juga tidak pernah
menyebabkan limfangitis dan elephantiasis pada alat kelamin dan payu dara. Juga
kiluria belum pernah dilaporkan terjadi pada penderita brugiasis.

Diagnosis pasti brugiasis hanya dapat ditetapkan sesudah diperiksa darah tepi penderita
untuk menemukan microfilaria Brugia yang khas bentuknya. Uji serologi dan
pemeriksaan imunologik yang dilakukan terutama bertujuan untuk meningkatkan
kepekaan dalam menentukan diagnosis dini brugiasis.

Pengobatan dan pencegahan brugiasis. Seperti halnya pengobatan terhadap filariasis


bancrofti, DEC merupakan obat pilihan untuk brugiasis. Obat ini dapat diberikan dengan
268

dosis lebih rendah, yaitu 3x 0.3-2 mg/kg berat badan/hari, yang diberikan selama 3
minggu.

Pencegahan penularan brugiasis dilakukan sesuai dengan upaya pencegahan pada


filariasis bancrofti, yaitu pengobatan penderita, pengobatan masal penduduk di daerah
endemis, pengobatan pencegahan pada pendatang dan pemberantasan vektor penular
filariasis malayi.

Tabel 14. Epidemiologi filariasis di Indonesia

Spesies filaria Daerah sebaran Vektor penular Hospes definitif

Wuchereria Pedesaan (rural) An. Farauti


bancrofti An.koliensis
An.subpictus
An.punctulatus
Cx. annulirostris Manusia
Culex spp.
Aedes spp.
Mansonia spp.

Perkotaan(urban) Culex fatigans

Brugia malayi Pedesaan An. barbirostris


Mansonia spp. Manusia
Mn. uniformis
Mn.bonneae Manusia,kucing,
Mn.dives kera, mamalia

Brugia timori Pedesaan An.barbirostris Manusia

Occult filariasis
269

Occult filariasis adalah filariasis limfatik yang disertai oleh hipersensitif terhadap antigen
mikrofilaria, akibat terjadinya penghancuran mikrofilaria oleh antibodi yang dibentuk
oleh penderita. Occult filariasis disebut juga tropical pulmonary eosinophilia.

Gejala klinis dan diagnosis. Occult filariasis menunjukkan gejala klinis berupa
limfadenitis, kelainan paru disertai batuk dan sesak, demam subfebril, hepatomegali, dan
splenomegali. Pada pemeriksaan darah tepi gambaran darah menunjukkan adanya
hipereosinofilia dan leukositosis, disertai peningkatan kadar IgE dan zat anti mikrofilaria.
Pada biopsi jaringan kelenjar limfe, paru, limpa dan hati, dapat ditunjukkan
adanya infiltrasi sel-sel eosinofil. Untuk menentukan diagnosis pasti occult filariasis
harus dapat ditemukan adanya sisa-sisa mikrofilaria di antara infiltrasi sel eosinofil pada
jaringan yang dibiopsi.

Pengobatan. Pada stadium awal Occult flariasis pengobatan dengan DEC dengan dosis
6 mg/kg per hari selama 12-21 hari memberikan hasil yang memuaskan, tetapi jika sudah
terjadi fibrosis paru, kerusakan tersebut tidak dapat diperbaiki lagi.

Onchocerca volvulus
270

Onchocerca volvulus dewasa hidup di dalam jaringan subkutan penderita, sedangkan


mikrofilarianya dapat ditemukan di jaringan kulit yang berada di dekat tempat hidupnya.
Mikroflaria jarang ditemukan di dalam darah tepi. Onchocerca volvulus yang disebut juga
sebagai Filarial volvulus atau Onchocerca caecutiens ini menyebabkan penyakit
onkosersiasis, onkoserkosis, blinding filariasis, atau river blindness. Infeksi dengan
Onchocerca volvulus dilaporkan tersebar di Afrika Barat, Afrika Timur, Amerika Tengah
dan Selatan (Meksiko, Venezuela, Guatemala) dan pernah juga dilaporkan dari Yaman
dan Arabia bagian Selatan.

Anatomi dan morfologi cacing. Onchocerca volvulus dewasa berbentuk seperti benang
halus yang berwarna putih susu, dengan tubuh yang mempunyai kutikulum yang menebal
secara anuler. Ukuran panjang cacing jantan sekitar 4 cm, sedangkan cacing betina
panjangnya dapat mencapai 50 cm.
Mikrofilaria Onchocerca tidak mempunyai selubung (sheath), panjangnya dapat
mencapai 360 mikron, sedangkan intinya tidak mencapai ujung ekor..

Daur hidup. Manusia adalah hospes definitif utama cacing Onchocerca volvulus,
sedangkan simpanse dapat menjadi reservoir host. Hospes perantara dan vektor penular
cacing ini adalah Simulium. Di dalam tubuh lalat pengisap darah ini mikrofilaria
berkembang menjadi larva infektif dalam waktu enam hari. Infeksi Onchocerca volvulus
terjadi jika Simulium yang mengandung larva infektif menggigit penderita baru. Daur
hidup filarial ini berlangsung mirip daur hidup Wuchereria bancrofti.

Perubahan patologi dan gejala klinis. Baik cacing dewasa maupun larva cacing
Onchocerca dapat menyebabkan kelainan patologis pada jaringan, misalnya
pembentukan nodul subkutan dan timbulnya reaksi alergi pada penderita. Nodul subkutan
umumnya terbentuk di daerah kulit yang terbuka, yaitu di tempat gigitan
serangga.Seringkali terjadi lebih dari tiga benjolan dengan ukuran masing-masing sekitar
6 cm yang berisi cacing dewasa dan mikrofilaria. Akibat penyebaran mikrofilaria yang
berasal dari nodul di daerah kepala atau wajah penderita ke dalam bola mata, penderita
271

dapat mengalami konjungtivitis, iridosiklitis, glaukoma, katarak, dan bahkan menjadi


buta. Penderita juga bisa mengalami reaksi alergi berupa gatal-gatal dan kelainan kulit
yang terjadi akibat reaksi tubuh terhadap adanya mikrofilaria cacing ini.

Infeksi Onchocerca volvulus dapat menimbulkan komplikasi misalnya terjadi hidrokel,


elephantiasis genital, atau elephantiasis kaki. Dapat juga terbentuk hanging groin yaitu
kantong kulit yang berisi kelenjar limfe femoral atau inguinal yang mengalami sclerosis,.

Diagnosis. Diagnosis pasti onkoserkosis dapat ditetapkan jika dapat ditemukan


mikrofilaria atau cacing dewasa pada hasil biopsi kulit atau nodul. Onkoserkosis mata
dapat diketahui jika dengan menggunakan lampu terlihat adanya gerakan mikrofilaria
yang ada di dalam bola mata.
Pada pemeriksaan darah yang dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis
didapatkan gambaran hipereosinofilia, sedangkan dengan pemeriksaan serologi misalnya
dengan teknik antibodi fluoresen dapat diperkuat diagnosis onkosersiasis.

Pengobatan dan pencegahan. Terjadinya penyebaran mikrofilaria yang dapat


menimbulkan komplikasi yang dapat dicegah dengan melakukan enukleasi nodul.

Sebagai obat cacing pilihan adalah Ivermectin dengan dosis 150 mcg/kg berat badan
diberikan satu kali yang diulang tiap 6-12 bulan sampai tidak tampak gejala dan
keluhan.

Pengobatan dengan dietilkarbamazin (DEC) dengan dosis 25 mg-200 mg per hari yang
diberikan meningkat secara bertahap dapat membunuh mikrofilaria cacing ini, tetapi tidak
mampu membunuh cacing dewasanya. Pemberian DEC disertai deksametason 80
mikrogram/kg berat badan per hari harus dilakukan di rumah sakit karena mikrofilaria
yang mati dapat menimbulkan reaksi alergi yang hebat (Mazzotti reaction),.
Memberantas lalat Simulium yang menjadi vektor penular parasit ini merupakan tindakan
pencegahan yang terbaik. Gigitan vektor dapat dihindari dengan menggunakan repellen.

Loa loa
272

Cacing filaria yang juga dikenal sebagai cacing mata Afrika atau filaria oculi ini
menimbulkan. penyakit loaiasis, atau Calabar swelling. Daerah sebaran filariasis ini
meliputi Afrika Barat dan Afrika Tengah. Cacing dewasa hidup di dalam jaringan
subkutan manusia dan bangsa primata. Mikrofilaria Loa loa beredar di dalam darah pada
waktu siang hari sedangkan pada waktu malam hari mikrofilaria dapat ditemukan di
dalam kapiler paru.

Anatomi dan morfologi


Cacing dewasa. Loa loa dewasa berbentuk benang halus yang berwarna putih susu.
Kepala cacing berbentuk runcing dilengkapi sepasang papil lateral dan dua pasang papil
submedian. Panjang cacing betina sekitar 7 cm, sedangkan cacing jantan mempunyai
ukuran panjang sekitar 4 cm.

Badan mikrofilaria Loa loa mempunyai selubung (sheath) dan panjang badannya sekitar
300 mikron dengan susunan inti yang mencapai ujung ekor.

Daur hidup Loa loa. Sebagai hospes definitif utama cacing ini adalah manusia,
sedangkan Chrysops bertindak selaku hospes perantara dan juga vektor penular parasit
ini. Mikrofilaria mempunyai periodisitas diurna, sehingga stadium ini hanya dijumpai di
dalam darah tepi pada waktu siang hari.

Mikrofilaria yang berada di dalam darah penderita jika terisap oleh Chrysops, di dalam
tubuh lalat ini dalam waktu sekitar sepuluh hari mikrofilaria akan berkembang menjadi
larva infektif. Perjalanan daur hidup kemudian berlangsung seperti daur hidup filaria
pada umumnya.
273

Gambar 154. Daur hidup Loa loa

Gambar 155. Simulium ( kiri) Chrysops (kanan)


(Sumber: Canad.J.Arthropod Identification;
http://www.ice.mpg.de-bol/junio)
274

Gejala klinis dan diagnosis. Loa loa dewasa yang mengembara di jaringan bawah kulit
menimbulkan pembengkakan karena terjadinya edema jaringan subkutan yang disebut
Calabar swelling. Hal ini terjadi sebagai reaksi alergi hospes terhadap cacing ini. Cacing
dewasa yang berada di konjungtiva dapat menimbulkan gangguan pada fungsi mata
(occuli filariasis).
Untuk menegakkan diagnosis pasti loasis harus dapat ditemukan mikrofilaria di
dalam darah atau didapatkan cacing dewasa dalam jaringan subkutan atau di dalam mata.
Pada pemeriksaan darah tepi gambaran darah menunjukkan adanya eosinofilia.

Pengobatan dan pencegahan. Pemberian DEC dosis tunggal 6 mg/kg harus dilakukan
dengan pengawasan, karena pemberian obat ini dapat menimbulkan reaksi alergi yang
berat pada penderita akibat mikrofilaria yang mati.
Pembedahan bisa dilakukan untuk mengeluarkan cacing dewasa pada waktu berada di
permukaan jaringan punggung hidung atau pada waktu cacing tampak berada di
konjungtiva mata.
Untuk mencegah penularan Loa loa penderita harus diobati dengan DEC secara
teratur karena penderita merupakan sumber infeksi. Selain itu harus dilakukan
pemberantasan vektor dan mencegah gigitan Chrysops dengan menggunakan repellen.

Acanthocheilonema perstans

Filaria yang tersebar di daerah tropis Afrika, Amerika Selatan dan Amerika Tengah yang
disebut juga Dipetalonema perstans, Mansonella perstans atau filaria persisten ini
menimbulkan akantokeilonemiasis. Cacing dewasa hidup di dalam rongga peritoneum,
rongga pleura atau kadang-kadang di dalam perikardium jantung penderita.

Anatomi dan morfologi


Cacing dewasa. Acanthocheilonema perstans dewasa berwarna putih kekuningan ini
mempunyai tubuh berbentuk silindris dan mempunyai kutikulum yang halus. Cacing
275

jantan mempunyai ukuran panjang badan sekitar 45 mm, sedangkan cacing betina
berukuran panjang sekitar 80 mm.
Mikrofilaria. Mikrofilaria yang panjangnya sekitar 200 mikron tidak berselubung,
dengan susunan inti yang mencapai ujung ekor.

Daur hidup. Manusia adalah hospes definitif parasit ini sedangkan Culicoides bertindak
sebagai hospes perantara.
Mikrofilaria bersifat subperiodik nokturna dengan perjalanan daur hidup cacing yang
sesuai dengan filaria lainnya.

Gambar 156. Daur hidup Acanthocheilonema perstans

Gejala klinis dan diagnosis. Stadium infektif Acanthocheilonema perstans masuk ke


dalam tubuh penderita melalui gigitan vektor. Parasit ini tidak banyak menimbulkan
kelainan patologis pada jaringan tubuh penderita karena cacing ini mampu dengan baik
menyesuaikan hidupnya di dalam tubuh hospes.
276

Untuk menetapkan diagnosis pasti infeksi Acanthocheilonema perstans harus


ditemukan mikrofilaria di dalam darah tepi penderita. Untuk membantu menegakkan
diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan serologi misalnya uji hemaglutinasi atau uji
flokulasi bentonit.

Pengobatan dan pencegahan. Sebagai obat pilihan dapat diberikan Albendazol 2x400
mg selama 10 hari atau Mebendazol dengan dosis 2x100 mg selama 30 hari.
Dietilkarbamasin (DEC) dapat digunakan untuk membunuh cacing dewasa, tetapi tidak
dapat memberantas mikrofilaria cacing ini. Selain itu pencegahan sulit dilakukan karena
vektor penularnya (Culicoides ) sukar diberantas.

Gambar 157. Culicoides


(URL: http://content.6.eol.org/2009)

Mansonella ozzardi

Cacing yang juga dikenal sebagai Filaria ozzardi ini menimbulkan filariasis ozzardi, atau
mansoneliasis ozzardi yang banyak dilaporkan dari Amerika Tengah dan Amerika
277

Selatan. Mansonella ozzardi dewasa dapat ditemukan hidup di dalam rongga tubuh, di
dalam mesenterium atau di dalam jaringan lemak visera, sedangkan mikrofilaria cacing
dapat ditemukan di dalam darah tepi.
Anatomi dan morfologi cacing
Cacing dewasa. Badan cacing dewasa mempunyai kutikulum yang halus. Panjang tubuh
cacing jantan sekitar 38 mm, sedangkan cacing betina panjang badannya dapat mencapai
81 mm.
Mikrofilaria. Mikrofilaria yang tidak berselubung mempunyai ukuran panjang sekitar
240 mikron dengan inti yang tidak mencapai ujung ekor.

Daur hidup. Manusia merupakan hospes definitif cacing ini sedangkan Culicoides
bertindak sebagai hospes perantara.

Gejala klinis dan diagnosis. Mansonella ozzardi jarang menimbulkan kelainan patologis
pada jaringan dan organ penderita meskipun pernah dijumpai terjadinya hidrokel dan
pembesaran kelenjar limfe. Bentuk mikrofilaria Mansonella ozzardi yang khas yang
ditemukan di dalam darah tepi menegakkan diagnosis pasti infeksi cacing ini.

Tabel 15. Gejala klinis dan diagnosis pasti filariasis


Spesies filaria Gejala klinis Diagnosis pasti
Wuchereria Limfangitis, Mikrofilaria (mf) : darah tepi,
bancrofti limfadenitis, varises kiluria, eksudat varises,
limfe, elefantiasis, hidrokel)
hidrokel,kiluria Cacing dewasa: di cairan atau
kelenjar limfe.

Brugia malayi/ Limfangitis, Mf : di darah tepi


limfadenitis, elefantiasis Cacing dewasa: di jaringan
Brugia timori
Onchocerca Nodul subkutan, Mf : di subkutan, mata
volvulus kelainan mata, buta Cacing dewasa : di nodul

Loa loa Calabar swelling, Mf : di darah


gangguan mata Cacing dewasa: d subkutan,
mata
278

Acanthocheilonema Tak nyata Mf : di darah tepi


perstans

Mansonella ozzardi Jarang (hidrokel, Mf : di darah tepi


limfadenitis)

Pengobatan dan pencegahan. Infeksi Mansonella ozzardi dapat diobati dengan


Ivermectin dengan dosis tunggal 200 mcg/kg berat badan. Pencegahan penularan parasit
ini juga sulit dilakukan karena vektor penularnya yaitu Culicoides sukar diberantas.

Dracunculus medinensis

Filaria yang termasuk dalam superfamili Dracunculoidea yang disebut juga sebagai
cacing medina, cacing naga, atau Filaria medinensis ini menyebabkan drakunkulosis
atau drakunkuliasis. Penyakit ini dilaporkan tersebar di India, Myanmar, Arab, Afrika,
Amerika Selatan dan Amerika Tengah.
Larva akan ke luar dari tubuh cacing dewasa jika kulit penderita berhubungan
dengan air, kemudian masuk dan hidup di dalam air.

Anatomi dan morfologi


Cacing dewasa. Dracunculus medinensis dewasa yang badannya berbentuk silindris,
berwarna putih susu. Panjang cacing betina dapat mencapai 120 cm, sedangkan panjang
cacing jantan sekitar 40 mm. Bentuk larva cacing filiform, dengan panjang badan yang
dapat mencapai 750 mikron.
279

Gambar 158. Larva Dracunculus medinensis.


(Sumber: Colorado State University)

Daur hidup. Manusia adalah hospes definitif parasit ini, sedangkan cyclops bertindak
sebagai hospes perantara. Jika larva yang masuk ke dalam air dimakan cyclops, larva
kemudian akan tumbuh menjadi stadium infektif di dalam tubuh cyclops. Pada manusia
infeksi terjadi karena penderita minum air yang tercemar cyclops yang infektif. Di dalam
lambung penderita larva akan ke luar dari badan cyclops lalu menembus dinding usus,
masuk ke jaringan retroperitoneum dan berkembang menjadi cacing dewasa jantan dan
betina yang kemudian mengadakan kopulasi. Cacing betina yang gravid lalu menuju ke
permukaan tubuh dan membentuk ulkus pada kulit.
280

Gambar 159. Daur hidup Dracunculus medinensis

Gejala klinis dan diagnosis. Cacing betina dapat menyebabkan terjadinya ulkus pada
kulit. Cacing juga dapat menyebabkan toksemia yang menimbulkan gejala-gejala klinis
berupa eritema, urtikaria, pruritus, mual, muntah, diare, dispepsi yang berat dan sinkop.
Komplikasi dapat terjadi pada ulkus berupa kista bernanah, abses kronik, artritis,
sinovitis, ankilosis dan kontraktur. Gejala-gejala klinis toksemia yang disertai
pembentukan ulkus kulit mengarahkan diagnosis drakunkulosis.
Diagnosis pasti drakunkulosis dapat ditegakkan jika ditemukan cacing dewasa
pada ulkus atau ditemukan larva cacing pada cairan ulkus. Sebagai upaya untuk
membantu menegakkan diagnosis dapat dilakukan uji intradermal menggunakan antigen
cacing, pemeriksaan radiologi untuk menemukan cacing yang sudah mengapur, dan
memeriksa darah penderita yang menunjukkan adanya eosinofilia.

Pengobatan dan pencegahan. Drakunkulosis dapat diobati dengan Mebendazol dengan


dosis 400-800 mg per hari selama 6 hari. Pemberian DEC dalam dosis besar dapat
membunuh cacing dewasa maupun larvanya. Jika terjadi gejala sistemik yang timbul
281

akibat alergi dapat diobati dengan memberikan antihistamin. Akibat toksemia dapat
dikurangi dengan mengeluarkan cacing dewasa dari jaringan melalui pembedahan.
Untuk menghambat penyebaran drakunkulosis dilakukan dengan mencegah
terjadinya pencemaran air minum oleh bahan infektif yang berasal dari penderita yang
sakit, memasak air sebelum diminum, dan melakukan disinfeksi air dengan klorida.

Larva migrans

Larva migrans adalah larva cacing nematoda hewan yang melakukan migrasi di dalam
tubuh manusia tetapi tidak berkembang lebih lanjut menjadi bentuk dewasa. Dua jenis
larva migrans yang terjadi pada manusia adalah cutaneous larva migrans dan visceral
larva migrans.
Cutaneous larva migrans atau creeping eruptions terjadi karena larva cacing masuk ke
dalam tubuh manusia melalui kulit atau mulut lalu larva mengadakan migrasi hanya di
dalam jaringan kulit. Pada visceral larva migrans telur cacing masuk melalui mulut
penderita dan larva cacing yang menetas melakukan migrasi di dalam organ-organ atau
jaringan viseral penderita.Baik larva cacing-cacing penyebab larva migrans kutan
maupun larva migrans viseral menimbulkan kelainan jaringan atau organ yang terinfeksi

Penyebab larva migrans. Cacing nematoda hewan yang larvanya dapat menyebabkan
cutaneous larva migrans adalah Ancylostoma braziliensis, Ancylostoma caninum dan
Gnathostoma spinigerum yang hidup pada kucing, anjing dan sejenisnya, sedangkan
penyebab visceral larva migrans adalah larva Toxocara canis, cacing askaris yang hidup
pada anjing, dan Toxocara cati, cacing askaris yang hidup pada kucing.

Cutaneous larva migrans


282

Larva migrans kutan disebabkan oleh larva cacing Ancylostoma braziliensis atau
Ancylostoma caninum yang masuk ke dalam tubuh penderita melalui kulit dan
menimbulkan gatal-gatal pada kulit tempatnya masuk. Dua hari kemudian larva sudah
membentuk lorong berliku-liku di dalam stratum germinativum. Akibat migrasi larva di
dalam kulit akan terjadi rasa gatal yang menyebabkan terjadinya infeksi sekunder karena
garukan penderita. Migrasi larva dapat berlangsung sampai beberapa bulan dan
menimbulkan gambaran khas yang disebut creeping eruption.
Cutaneous larva migrans yang disebabkan oleh Gnathostoma spinigerum terjadi sesudah
penderita makan ikan mentah yang mengandung larva stadium III cacing ini.

Ancylostoma braziliensis dan Ancylostoma caninum


Larva kedua spesies cacing tambang yang tersebar luas di daerah tropis dan subtropis ini
menimbulkan kelainan kulit yang disebut creeping eruption atau cutaneous larva
migrans. Tempat hidup cacing dewasa kedua spesies adalah di dalam usus kucing dan
anjing.
Cacing tambang penyebab larva migran kutan dapat dibedakan spesiesnya dengan
memperhatikan bentuk mulut dan gigi serta bursa kopulatriks yang khas bentuknya.

Ancylostoma braziliensis. Ukuran panjang cacing jantan adalah 4,7- 8,5 mm dan cacing
betina berukuran panjang 6,1-10,5 mm. Cacing ini mempunyai rongga mulut dengan dua
pasang gigi yang tidak sama ukurannya. Bursa kopulatriks cacing jantan berukuran kecil
dengan rays yang pendek.

Ancylostoma caninum. Ukuran panjang cacing jantan adalah sekitar 10 mm, sedangkan
cacing betina berukuran panjang sekitar 14 mm. Di dalam rongga mulut cacing ini
terdapat tiga pasang gigi. Bursa kopulatriks cacing jantan mempunyai ukuran yang besar
dengan rays yang panjang dan langsing.
283

Gambar 160. Kepala dan bursa kopulatriks


(A). Ancylostoma braziliensis (B) A.caninum.
1. Dua pasang gigi terpisah, tidak sama ukurannya.
2. Tiga pasang gigi.
3. Batang-batang bursa (rays ) tebal, pendek ukurannya.
4. Rays langsing, panjang.
284

Gambar 161. Buccal capsule dan bursa copulatrix cacing tambang


(URL:http:www.atlas.or.kr/- dan http://www.nematode.net/images)

Kelainan patologis dan gejala klinis. Sesudah menembus kulit manusia, larva flariform
cacing mengadakan migrasi intrakutan serta membentuk terowongan di dalam kulit yang
khas bentuknya. Larva filariform Ancylostoma braziliensis dan Ancylostoma caninum
tidak dapat berkembang menjadi cacing dewasa di dalam tubuh manusia. Creeping
eruption yang merupakan dermatitis intrakutan sepanjang terowongan yang digali oleh
larva cacing berbentuk garis berkelok-kelok mirip ular yang khas bentuknya. Garukan
kulit yang berulang-ulang oleh penderita dapat menimbulkan infeksi sekunder.

Gnathostoma spinigerum
Cacing dewasa. Gnathostoma spinigerum dewasa panjang badannya sekitar 31 mm.
Cacing ini mempunyai bibir besar dan berlobus tiga dengan permukaan medialnya
bergerigi. Bulbus kepala cacing mempunyai 4 rongga submedian yang dilengkapi dengan
6-11 baris kait-kait yang melintang. Dua pertiga tubuh bagian anterior cacing mempunyai
spina-spina kutikula yang besar dan pipih dengan tepi posterior yang bergerigi. Di bagian
kaudal cacing jantan terdapat spina-spina kecil dan 4 pasang papil besar yang
bertangkai.cacing jantan mempunyai spikulum yang tidak sama panjang. Vulva cacing
betina membuka 4-8 mm dari ujung posterior badan cacing.
Telur. Telur Gnathostoma spinigerum lonjong seperti telur Ascaris dan mempunyai
sumbat di salah satu kutubnya.
285

Gambar 162. Struktur Gnathostoma spinigerum


(a) cacing betina (b) cacing jantan c. larva stadium tiga d. Telur
1. bibir 2. bulbus kepala 3. kait 4. spina 5. kelenjar ludah
6. esofagus 7. usus 8. anus 9.sumbat 10. dinding telur
286

Gambar 163. Gnathostoma spinigerum.


A.Cacing dewasa B. Kepala cacing dewasa khas bentuknya.
(Sumber: Stanford University)

Diagnosis. Secara klinis diagnosis creeping eruption oleh cacing tambang mudah
ditentukan.. Terjadinya creeping eruption yang khas disertai leukositosis dan eosinofilia
menunjukkan diagnosis cutaneous larva migrans. Uji intradermal menggunakan antigen
berasal dari larva atau cacing Gnathostoma spinigerum menegakkan diagnosis cutaneous
larva migrans oleh cacing ini. Diagnosis pasti cutaneous larva migrans dapat ditetapkan
melalui biopsi kulit dengan ditemukannya larva cacing tambang yang menjadi
penyebabnya.

Gambar 164. Cutaneous larva migrans (creeping eruption)


(Sumber: Okaw Veterinary Clinic)
287

Pengobatan larva migran kutan. Creeping eruption pada cutaneous larva migrans yang
menunjukkan adanya larva cacing. Pada ujung terowongan dimana terdapat larva cacing
tambang kloretil disemprotkan untuk membunuh larva cacing melalui proses
pendinginan. Untuk terapi lokal dapat juga diberikan Tiabendazol topikal.

Larva migran kutan dapat diobati dengan Albendazol, Ivermectin atau Tiabendazol untuk
memberantas larva yang mengadakan migrasi intrakutan dan beredar di bawah kulit..
Albendazol diberikan dengan dosis 400 mg/hari selama 3 hari, atau diobati dengan
Ivermectin dengan dosis 200 mcg/kg berat badan/hari selama 1- 2 hari. Tiabendazol per
oral dengan dosis 25 mg/kg berat badan/hari yang diberikan selama 3 hari atau lebih.

Terhadap cutaneous larva migrans oleh Gnathostoma spinigerum belum ada obat yang
efektif untuk mengatasinya sehingga harus dilakukan tindakan operatif untuk
mengeluarkan cacing ini.

Pencegahan larva migran kutan. Kontak dengan larva cacing Ancylostoma braziliensis
dan Ancylostoma caninum harus dihindari untuk mencegah terjadinya cutaneous larva
migrans dengan cara mencegah terjadinya kontak antara kulit dengan tanah yang
tercemar tinja anjing dan kucing.

Untuk mencegah terjadinya cutaneous larva migrans yang disebabkan oleh Gnathostoma
spinigerum makanan dan minuman harus dimasak dengan baik.
Anjing dan kucing yang menderita ankilostomiasis harus diobati karena merupakan
sumber infeksi.
288

Visceral larva migrans

Larva migran viseral terjadi sesudah tertelan telur infektif cacing Toxocara melalui
makanan atau minuman. Telur menetas di dalam usus halus, kemudian larva menembus
dinding usus lalu masuk ke dalam aliran darah dan mencapai organ-organ tubuh. Larva
yang berada di dalam organ terutama hati akan menyebabkan terbentuknya granuloma.
Gejala klinis yang terjadi berupa hepatomegali, demam, disertai gejala alergi, misalnya
asma bronkiale

Toxocara
Cacing dewasa. Cacing Toxocara dewasa panjangnya dapat mencapai 10 cm pada
Toxocara cati dan 18 cm pada Toxocara canis. Cacing ini mempunyai sayap leher yang
berukuran besar yang bentuknya sempit memanjang pada Toxocara canis dan pendek
melebar pada Toxocara cati. Ekor cacing jantan mempunyai tonjolan terminal dan sayap
kaudal. Spikulum cacing jantan panjangnya dapat mencapai 2 cm pada Toxocara cati, dan
1 mm pada Toxocara canis.

Telur. Telur Toxocara mirip telur Ascaris dengan gerigi pada kult telur yang lebih kecil

Gambar 165. Toxocara canis, telur dan kepala cacing dewasa


289

(URL: http://plpnemweb.ucdavis,edu/nemplex)

Gambar 166. Bagan diferensiasi Toxocara canis dan Toxocara cati


(a). Toxocara canis (ujung anterior) (b). Toxocara cati (ujung anterior)
(c). Toxocara canis (ujung posterior) (d). Toxocara cati (ujung posterior)
1.tiga buah bibir 2.sayap leher (pada T.cati lebih lebar) 3. spikula
4. papil sensorik 5. lubang kloaka

Diagnosis larva migran viseral. Adanya gejala klinis berupa hepatomegali, asma dan
demam yang diperkuat dengan pemeriksaan darah tepi yang menunjukkan adanya
hipereosinofilia persisten yang berkisar antara 15% dan 80% serta leukositosis antara
15.000 dan 80.000 mengarahkan diagnosis ke visceral larva migrans.

Pengobatan larva migran viseral. Larva penyebab visceral larva migrans juga belum
berhasil diobati dengan obat-obat anti larva cacing.

Pencegahan larva migran viseral. Larva migran dapat dicegah penularannya dengan
cara mengobati dengan baik anjing dan kucing terinfeksi Toxocara yang menjadi sumber
penularan. Makanan dan minuman harus dimasak dengan baik.
290

Bab 4
ARTROPODA

Kata artropoda (arthropoda) berarti kaki yang mempunyai sendi-sendi. Hewan yang
sering disebut sebagai serangga ini adalah metazoa yang mempunyai tubuh yang
bersegmen-segmen atau beruas-ruas.

Anatomi artropoda. Artropoda memiliki tonjolan tubuh (appendages) yang


berpasangan, misalnya antena, kaki dan sayap, sehingga tubuhnya bilateral simetri.
Berbeda dengan metazoa lain, artropoda memiliki rangka luar (exoskeleton). Alat
pencernaannya sudah memiliki mulut dan anus dengan sistem ekskresinya terbuka ke
dalam saluran pencernaan. Sistem sirkulasi darahnya terbuka (open circulatory system)
terdapat di bagian dorsal tubuhnya. Rongga tubuh artropoda juga bertindak sebagai
rongga darah (haemocele). Sistem saraf terdapat di bagian ventral, sedangkan sistem
respirasi berupa sistem tabung hawa (trakea) yang mempunyai muara di seluruh
permukaan tubuh berupa lubang-lubang hawa (spirakel). Artropoda yang hidup di dalam
air bernapas menggunakan insang.
291

Gambar 167 . Bagan anatomi Artropoda


1.Antena 2. Mata 3. mulut 4. kaki 5. segmen abdomen 6. sayap 7. kepala 8. toraks
(URL: http://www.feenixx.com/arthropods/images/anatomy)
Entomologi Kedokteran. Ilmu kedokteran yang mempelajari tentang peran artropoda
dalam ilmu kesehatan yang dapat menjadi penyebab penyakit atau sebagai penular
penyakit-penyakit manusia, disebut Entomologi Kedokteran (Medical Entomology).
Sebagai contoh, penyakit kudis (skabies) suatu radang kulit pada manusia disebabkan
secara langsung oleh Sarcoptes scabiei sedangkan penyakit pes dapat ditularkan oleh
pinjal Xenopsylla cheopis.
Pada penularan penyakit, artropoda dapat bertindak sebagai vektor yang
menularkan bibit penyakit atau berperan sebagai tuan rumah perantara (hospes perantara,
intermediate host). Beberapa jenis udang-udangan rendah berperan sebagai hospes
perantara cacing Cestoda atau Trematoda, sedangkan nyamuk Anopheles adalah vektor
penular Plasmodium yang menjadi penyebab malaria.

Artropoda sebagai penyebab penyakit

Secara langsung artropoda sendiri dapat menimbulkan kelainan jaringan atau organ
manusia dan hewan, gangguan jiwa (entomofobi) atau menimbulkan gangguan dan
ketenangan hidup (annoyance). Alat indera misalnya mata atau gendang telinga dapat
mengalami kerusakan (trauma) akibat duri serangga yang tajam dan kerusakan kulit
dapat terjadi akibat infeksi serangga (dermatosis), misalnya oleh tungau Sarcoptes
penyebab kudis. Beberapa artropoda mengisap darah tuan rumah tempatnya hidup
sehingga menimbulkan kehilangan darah (blood loss). Larva lalat dapat menginvasi luka
terbuka jaringan atau organ tubuh hospes yang masih hidup menimbulkan miasis.
Artropoda ada yang menghasilkan racun (toxin) atau bahan alergen yang merangsang
terjadinya alergi pada hospes.

Entomofobi. Tidak sedikit orang perempuan, anak-anak dan beberapa individu lainnya
mempunyai rasa takut yang berlebihan terhadap serangga. Meskipun lipas (kecoa) dan
banyak laba-laba tidak berbahaya, tetapi rasa takut ini dapat menimbulkan gangguan jiwa
292

dan kadang-kadang menyebabkan halusinasi sensoris. Keadaan ini sering dijumpai pada
wanita dan anak-anak.

Annoyance. Banyaknya lalat, nyamuk, lipas, atau serangga pengganggu lainnya di dalam
rumah tinggal menyebabkan kenyamanan hidup penghuni rumah akan terganggu . Hal ini
bisa mengakibatkan kurang tidur, hilangnya nafsu makan atau akibat lainnya, yang dapat
mengganggu kesehatan penghuni rumah. Hewan-hewan yang terganggu hidupnya oleh
serangga dapat mengalami penurunan produksi daging, susu atau telurnya, dan bahkan
dapat mati karenanya.

Blood Loss (Kehilangan darah). Gigitan serangga penghisap darah, misalnya nyamuk,
kutu busuk atau caplak jarang menimbulkan kekurangan darah pada manusia secara
langsung, karena jumlah darah yang dihisap serangga relatif sangat kecil jumlahnya. Pada
hewan, terutama bayi hewan yang masih tidak mampu mengusir serangga penghisap
darah misalnya caplak (ticks), dapat mengalami kehilangan darah dalam jumlah besar
akibat banyaknya serangga parasitik yang mengisap darah. Sering terjadi bayi anjing
misalnya yang mati akibat tingginya infestasi caplak pada suatu saat, sehingga terjadi
anemia akut yang berat.

Kerusakan mata dan alat indera. Pengemudi kendaraan di malam hari sering mengalami
kejadian masuknya serangga ke dalam mata. Gosokan berulang-ulang pada mata dapat
mengakibatkan kerusakan mata yang tergores oleh bagian keras tubuh serangga atau
bagian yang tajam, misalnya kaki-kaki serangga yang berduri. Komplikasi luka, misalnya
infeksi sekunder dapat mengakibatkan gangguan penglihatan atau bahkan kebutaan.
Masuknya serangga ke dalam lubang telinga dapat merusak alat pendengaran, mialnya
gendang telinga, dan komplikasi yang berat akibat infeksi di rongga telinga tengah dapat
menimbulkan tuli atau kematian akibat penyebaran infeksi ke otak.

Toksin (racun) serangga. Beberapa jenis serangga yang dapat menghasilkan racun yang
dapat menimbulkan gangguan setempat atau sistemik, yang ringan sampai berat, bahkan
dapat menyebabkan kematian penderita. Lebah, kalajengking (scorpion), lipan
293

(centipede), laba-laba dan caplak dan berbagai serangga lainnya, dapat menghasilkan
racun yang dapat membunuh manusia terutama anak-anak. Racun serangga dapat masuk
ke dalam tubuh manusia melalui gigitan atau sengatan.
Dermatosis. Berbagai gangguan kulit dapat terjadi akibat gigitan atau infestasi serangga.
Gigitan nyamuk, kutu badan (Pediculus) dan kutu busuk (Cimex) dapat menimbulkan
iritasi kulit penderita yang menyebabkan nyeri atau gatal-gatal. Berbagai jenis tungau
(mites) yang menggali jaringan di bawah kulit dapat menimbulkan iritasi yang berat yang
disebut akariasis, misalnya pada penyakit gudig (scabies).

Alergi. Banyak orang yang peka terhadap protein berupa tubuh serangga atau ekskreta
yang dikeluarkan oleh serangga tertentu dapat menimbulkan reaksi alergi misalnya
berupa gatal-gatal atau sesak napas. Asma bronkiale sering disebabkan oleh tungau
(mites) yang terdapat dalam debu rumah (house- dust mites ).

Miasis (myiasis). Yang dimaksud dengan miasis adalah infestasi larva serangga terutama
dari ordo Diptera di dalam organ atau jaringan tubuh manusia atau hewan yang masih
hidup.. Jika luka terbuka tidak dirawat dengan baik sehingga mengalami infeksi sekunder
maka akan menimbulkan bau busuk yang menarik lalat untuk bertelur pada jaringan yang
rusak. Larva yang kemudian menetas akan hidup pada organ atau jaringan rusak tersebut
sehingga mengganggu proses penyembuhan luka. Makanan kotor yang tercemar telur
lalat jika tertelan dapat juga menimbulkan miasis pada usus, karena larva lalat menetas di
dalam usus penderita.

Artropoda sebagai penular penyakit

Banyak serangga yang dapat menularkan penyakit-penyakit yang merupakan masalah


kesehatan dunia. Filariasis, malaria, demam berdarah, pes, demam tifoid, dan berbagai
penyakit lainnya ditularkan oleh serangga. Artropoda dapat menjadi vektor penular yang
aktif menyebarkan penyakit, atau sebagai hospes perantara (intermediate host ) yang
bertindak secara pasif menularkan penyakit.
294

a. Vektor penular penyakit


Artropoda yang bertindak sebagai vektor penular penyakit secara aktif akan
memindahkan mikroorganisme penyebab penyakit dari penderita pada orang lain yang
sehat. Cara penularan penyakit dapat terjadi secara mekanis atau secara biologis. Jika
penularan terjadi secara mekanis, artropoda disebut sebagai vektor mekanis.
Mikroorganisme yang ditularkan secara mekanis selama berada di dalam tubuh vektor
tidak bertambah jumlahnya dan tidak berubah bentuk Morfologinya. Sedangkan pada
penularan penyakit secara biologis oleh artropoda yang bertindak selaku vektor biologis,
di dalam tubuh artropoda mikroorganisme yang ditularkan berubah bentuknya atau
bertambah jumlahnya (karena berkembang biak dalam tubuh artropoda), atau mengalami
perubahan bentuk maupun jumlahnya.

Vektor mekanis. Selaku vektor mekanis (mechanical vector), serangga hanya membawa
mikroorganisme penyebab penyakit yang berasal dari penderita (berupa muntahan, tinja,
atau bahan lain yang berasal dari penderita) lalu bahan infektif tersebut mencemari
makanan atau minuman yang ditelan oleh orang sehat. Di dalam tubuh artropoda, kuman
penyebab penyakit tidak mengalami perubahan bentuk maupun jumlahnya. Lalat rumah
(Musca domestica) adalah vektor mekanis dalam penularan amubiasis karena kista
amuba (stadium infektif) selama melekat pada badan lalat tetap berbentuk kista (tidak
berubah menjadi trofozoit) dan kista tidak bertambah jumlahnya.

Vektor biologis. Di dalam tubuh artropoda yang bertindak sebagai vektor biologis
(biological vector), kuman penyebab penyakit mengalami perubahan. Penularan yang
terjadi disebut sebagai penularan biologis (biological transmission).

Penularan biologis. Penularan biologis dapat terjadi dalam tiga bentuk yaitu :
Propagative transmission. Di dalam tubuh artropoda kuman bertambah
jumlahnya, tetapi bentuk Morfologinya tidak berubah. Penularan ini disebut
penularan propagatif, misalnya penyakit pes (plague) yang ditularkan oleh pinjal
tikus (flea) sebagai vektornya.
295

Cyclo-propagative transmission. Pada bentuk penularan ini di dalam tubuh vektor


kuman penyebab penyakit berubah bentuknya (siklikal), dan bertambah
jumlahnya karena berkembang biak (multiplikasi). Sebagai contoh adalah
penularan penyakit malaria yang penyebabnya adalah Plasmodium dan nyamuk
Anopheles bertindak sebagai vektor penularanya .
Cyclo-developmental transmission. Pada bentuk penularan ini kuman penyebab
penyakit hanya mengalami perubahan bentuk saja, tidak berkembang biak
sehingga tetap jumlahnya. Sebagai contoh adalah penularan penyakit kaki gajah
(filariasis) yang disebabkan oleh Wuchereria bancrofti dan nyamuk Culex
fatigans menjadi vektor penularnya..

Penularan transovarial (Transovarial transmission). Penularan ini terjadi dari induk


serangga ke generasi berikutnya melalui ovarium dan sel telur. Mikroorganisme
penyebab penyakit yang menginfeksi induk serangga berkembang biak di dalam tubuh
serangga induk, lalu menyebar ke jaringan dan organ serangga antara lain ke ovarium dan
sel-sel telur di dalamnya. Keturunan serangga dari induk yang terinfeksi akan lahir dalam
keadaan sudah terinfeksi mikroorganisme. Contoh penyakit yang ditularkan secara
transovarial adalah penyakit Scrub typhus yang penyebabnya adalah Rickettsia
tsutsugamushi dan tungau Trombicula akamushi yang menjadi vektor penularnya.

b. Hospes perantara. Serangga yang bertindak sebagai hospes perantara menularkan


mikroorganisme penyebab penyakit secara pasif, sedangkan yang memasukkan
mikroorganisme ke dalam tubuh penderita atau tuan rumah adalah hospes sendiri,
misalnya melalui makanan atau minuman yang tercemar.
Larva cacing Diphyllobothrium latum di dalam tubuh cyclops (termasuk
artropoda) berkembang menjadi larva yang mampu menembus badan ikan dan tumbuh
menjadi stadium infektif yang dapat menginfeksi manusia yang makan ikan mentah.
Cyclops dalam hal ini merupakan hospes perantara pertama sedangkan ikan merupakan
hospes perantara kedua dari daur hidup cacing Diphyllobothrium latum.
296

Paragonimus westermani dapat menginfeksi manusia jika orang makan ketam air
tawar mentah yang mengandung larva infektif cacing tersebut. Dalam hal ini ketam (kelas
Eucrustacea) merupakan hospes perantara dalam daur hidup Paragonimus westermani.

Penyakit-penyakit yang ditularkan oleh artropoda. Pada umumnya artropoda penular


penyakit hidup berdekatan dengan manusia, hidup parasitik pada vertebrata yang
dipelihara manusia, dan hidupnya sangat tergantung pada manusia atau hewan yang
menjadi hospesnya tersebut. Berbagai mikroorganisme yang dapat ditularkan oleh
artropoda antara lain adalah protozoa, cacing, jamur, bakteria, riketsia, dan virus. Contoh-
contoh dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 16. Penyakit dan vektor penularnya


Mikroorganisme Penyakit Vektor
297

PROTOZOA
Entamoeba histolytica Amubiasis Musca, Blattidae
Plasmodium Malaria Anopheles
Trypanosoma gambiense Penyakit tidur Glossina
Leishmania Leismaniasis Phlebotomus

CACING
Ascaris lumbricoides Askariasis Musca, Blattidae
Brugia malayi Filariasis malayi Mansonia
Wuchereria bancrofti Filariasis bancrofti Culex fatigans

BAKTERIA
Enterobacteriaceae Enteritis Musca, Blattidae
Bacillus anthracis Antraks Tabanus
Yersinia pestis Pes Xenopsylla cheopis
Borrelia recurrentis Relapsing fever Ticks
Aspergillus Jamur sistemik Musca, Blattidae

RIKETSIA
Rickettsia prowazekii Louse-borne typhus Pediculus humanus
Rickettsia mooseri Murine typhus Pinjal (flea)
Rickettsia akari Rickettsial pox Ticks
Rickettsia tsutsugamushi Scrub typhus Trombicula mites

VIRUS
Poliovirus Polio Musca, Blattidae
Coxsackie virus (*) Muscidae
Echovirus (*) Muscidae
Dengue virus Dengue fever Aedes
Yellow fever virus Yellow fever Aedes aegypti
Kyasanur forest virus Kyasanus forest disease Ticks

(*) penyakit yang ditimbulkan tergantung pada tipe virus

INSECTA

Insekta merupakan kelas dari artropoda yang paling penting, karena banyak jenis
serangga dalam kelas ini yang menjadi vektor penular berbagai macam penyakit yang
menjadi masalah kesehatan dunia, misalnya penyakit malaria, demam berdarah dengue,
yellow fever, pes, dan filariasis. Karena serangga ini memiliki 6 buah kaki maka kelas
insecta juga disebut sebagai kelas Hexapoda.
298

Anatomi dan morfologi. Bentuk anatomi dan morfologi kelas Insekta mirip dengan
morfologi filum Arthropoda pada umumnya yang terdiri dari tiga bagian utama, yaitu
kepala, toraks, dan abdomen yang dipisahkan oleh batas yang jelas.

Kepala. Insekta mempunyai kepala yang dilengkapi dengan satu pasang antena yang
berfungsi sebagai alat peraba yang sangat peka. Mata insekta merupakan mata majemuk
(compund eyes) yang merupakan sekumpulan lensa tunggal yang masing-masing lensa
menangkap sebagian obyek yang dilihat. Ada beberapa spesies insekta yang masih
memiliki ocelli, yaitu bintik hitam yang merupakan sisa mata yang tidak lagi berfungsi.
Bentuk mulut insekta mempunyai susunan yang sesuai dengan kebiasaan makan, yaitu
mulut untuk menusuk (piercing) atau bentuk non piercing mulut yang tidak untuk
menusuk tubuh mangsanya.

Toraks. Dada serangga terdiri dari tiga bagian, yaitu prothorax di bagian anterior,
mesothorax di bagian tengah dan metathorax di bagian posterior. Dari bagian mesothorax
dan metathorax masing-masing keluar satu pasang sayap, sehingga insekta umumnya
memiliki empat helai sayap. Ordo Diptera hanya mempunyai dua helai sayap karena
sayap yang keluar dari bagian metathorax telah mengalami perubahan bentuk dan fungsi
menjadi alat keseimbangan yang disebut halter. Insekta memiliki enam buah kaki
(hexapoda) yang dari masing-masing bagian thorax keluar satu pasang kaki.
Abdomen. Segmen abdomen tampak nyata dan tembus sinar dan tidak mempunyai
tonjolan-tonjolan tubuh. Berbagai struktur organ terdapat di dalam segmen abdomen,
misalnya alat kopulasi, ovipositor dan genetalia eksterna.

Sistem sirkulasi. Sebuah jantung yang dimiliki insekta terdapat di bagian dorsal tubuh.
Sistem sirkulasi dilengkapi oleh adanya aorta dan haemocele yang sebenarnya adalah
rongga tubuh yang berfungsi sebagai sistem sirkulasi. Sel darah insekta yang tidak
berwarna merah (haemolymph) berfungsi untuk membawa makanan dan tidak berperan
dalam pergantian gas, sedangkan leukosit berfungsi untuk melindungi diri dari benda
asing yang memasuki tubuh insekta. Di bagian anterior terdapat aorta yang berperan
299

membawa darah ke daerah kepala, lalu menyebar ke seluruh haemocele dan organ-organ
tubuh lainnya.

Sistem respirasi. Untuk bernapas Insekta menggunakan tabung-tabung hawa atau


trachea yang berakhir di permukaan tubuh dalam bentuk lubang hawa yang disebut
spirakel atau stigmata. Larva insekta atau insekta belum dewasa yang hidup di dalam air
menggunakan insang sebagai alat untuk bernapas.

Sistem pencernaan makanan. Usus insekta terdiri dari tiga bagian, yaitu stomodeum
atau foregut, mesenteron atau midgut dan proctodeum atau hindgut. Stomodeum terdiri
dari rongga mulut, kelenjar ludah, epifaring, hipofaring, faring, proventrikulus dan
divertikel usofagus (crop), mesenteron terdiri dari lambung yang bagian posteriornya
terdapat Malpighian tubules yang berperan sebagai alat ekskresi dan proctodeum
merupakan usus sebenarnya yang terdiri dari ileum, kolon, rektum dan anus. Malpighian
tubules yang merupakan organ ekskresi sisa metabolisme bermuara di daerah ileum.

Sistem reproduksi. Organ reproduksi Insekta janta memiliki dua buah testis dan sebuah
penis, sedangkan insekta betina mempunyai dua ovarium, ovarium tubules yang
merupakan saluran utama yang berhunungan dengan receptaculum seminis dan berakhir
di ovipositor. Sifat reproduksi insekta dapat berupa oviparus, viviparus, larviparus atau
pupiparus, namun beberapa jenis insekta dapat bersifat partenogenetik.

Gambar 168.
Bagan
anatomi
Insecta
(URL:

http://www.dkimages.com/discover/-/829)
300

1. Antena 2. mata 3. ganglion saraf 4. rangka luar 5. kaki


6. spirakel 7. ganglion saraf abdomen 8. tabung malpighi
9. usus 10. sistem sirkulasi 11. sayap

Metamorfosis. Selama perkembangan dan pertumbuhan insekta, dapat terjadi perubahan


baik berupa perubahan bentuk luar maupun perubahan struktur dalam tubuh. Proses
perubahan perkembangan ini disebut metamorfosis. Metamorfosis terdapat dalam tiga
bentuk, yaitu ametamorfosis, metamorfosis sederhana (simple metamorphosis) dan
metamorfosis lengkap (complete metamorphosis).

Ametamorphosis adalah perubahan tubuh selama daur hidup insekta yang tidak jelas
metamorfosisnya. Perubahan-perubahan tubuh meliputi perubahan dari telur menjadi
nimfa kemudian dari nimfa berkembang menjadi bentuk dewasa. Bentuk nimfa mirip
serangga dewasa, hanya ukurannya yang lebih kecil. Bentuk perubahan ametamorfosis
disebut juga ametabola atau direct development.

Incomplete metamorphosis atau metamorfosis sederhana (simple metamorphosis, atau


heterometabola) adalah bentuk metamorfosis yang sesudah fase telur terdapat lebih dari
satu tahap bentuk nimfa ( telur-nimfaI-nimfa II-dewasa). Bentuk nimfa mudah dibedakan
dari bentuk dewasa karena bentuk dewasa mempunyai sayap.
301

Gambar 169. Incomplete metamorphosis


(Sumber: Textbook of Medical Parasitology, 2009;
URL: http://pkc.sysu.edu.cn/-)

Complete metamorphosis. Bentuk metamorfosis ini juga disebut sebagai metamorphosis


lengkap (holometabola, atau complex metamorphosis) adalah metamorfosis yang semua
fase daur hidupnya mempunyai bentuk Morfologi yang tidak sama, dan berbeda sifat dan
cara hidupnya. .
Sebagai contoh serangga yang memiliki metamorfosis lengkap adalah lalat.
Stadium-stadium hidup lalat terdiri dari bentuk telur, bentuk larva, bentuk pupa dan
bentuk dewasa. Stadium telur lalat hidup di tempat lembab, tidak bergerak (pasif) dan
tidak membutuhkan makanan dari luar. Bentuk larva hidup di tempat lembab yang basah,
aktif bergerak mencari makanan, sedangkan bentuk pupa harus hidup di darat yang
kering, tidak aktif bergerak (stadium istirahat) karena tidak membutuhkan makanan.
Lalat dewasa yang bersayap hidup di udara, aktif terbang untuk mencari makanan.

Gambar 170. Complete metamorphosis lalat.


(Sumber: Textbook of Medical Parasitology, 2009)
302

Klasifikasi. Dasar klasifikasi Insekta dilakukan atas ada tidaknya sayap, pertumbuhan
sayap, jenis metamorfosis, susunan mulut, dan ciri-ciri khas lainnya. Berdasar pada ada
tidaknya sayap, insekta digolongkan menjadi apterygota yang artinya tidak bersayap dan
pterygota yang artinya bersayap. Anatomi sayap, dan susunan venasi sayap (vena adalah
tabung hawa yang terdapat pada sayap insekta) juga digunakan untuk melakukan
klasifikasi insekta.

Berdasar atas fungsinya, mulut insekta dapat digolongkan menjadi beberapa tipe, yaitu
sucking mouth yang berfungsi untuk mengisap, chewing mouth untuk mengunyah, biting
mouth untuk menggigit dan piercing mouth yang berfungsi untuk menusuk sumber
makanan.
Insekta ada yang mempunyai struktur mulut yang mempunyai lebih dari satu
fungsi, misalnya bentuk mulut yang berfungsi untuk menusuk dan mengisap (piercing
and sucking) seperti yang dimiliki oleh nyamuk.

Mulut Lalat

Gambar 171. Struktur mulut penghisap pada lalat rumah (suckng mouth, kiri) dan
mulut penusuk-penghisap pada nyamuk ( piercing and sucking, kanan)
(Sumber: University of Sidney : http://www.bebite.com/mos2.jpg)
303

Mulut Nyamuk

PHTHIRAPTERA (ANOPLURA)

Dari ordo ini yang hidup parasitik pada manusia adalah famili Pediculidae, dengan tiga
spesies penting yang hanya hidup parasitik pada manusia adalah Pediculus humanus
capitis, P.humanus corporis dan Phthirus pubis. Anoplura merupakan ektoparasit yang
tersebar luas di seluruh dunia, terutama di daerah beriklim dingin yang penduduknya
sering berpakaian tebal, jarang mandi dan kurang menjaga kebersihan badannya. Infestasi
Pediculus dan Phthirus pubis atau pedikulosis mudah ditularkan melalui hubungan
langsung antar individu, atau melalui benda-benda pribadi yang digunakan bersama-
sama, misalnya topi, pakaian dalam, dan sisir. Phthirus pubis juga sering ditularkan
melalui hubungan kelamin. Pada suhu 5o Celcius Phthirus pubis mampu hidup dua hari
tanpa makan, sedangkan Pediculus humanus dapat bertahan hidup tanpa makan sampai
sepuluh hari lamanya. Pada suhu 40o Celcius, semua ektoparasit dewasa spesies tersebut
akan mati, tetapi telurnya masih dapat hidup selama 15 menit pada suhu 600 Celcius.
304

Anatomi dan morfologi. Phthiraptera mempunyai 3 pasang kaki yang ujungnya


mempunyai kait untuk melekatkan diri pada rambut hospes. Antena terdiri dari 5 segmen
dan terdapat satu pasang mata yang kecil yang terdapat di belakang antena. Ektoparasit
ini mempunyai telur berwarna putih yang lonjong bentuknya dan mempunyai penutup
telur (operkulum). Telur dapat melekat erat pada rambut hospes karena berperekat.
Seekor kutu betina bertelur sebanyak 6 sampai 9 butir dalam satu hari,.

Pediculus humanus. Bentuk tubuh spesies ini memanjang dengan ujung posterior
meruncing, mempunyai batas ruas yang jelas. Bentuk tubuh Pediculus humanus capitis
sangat mirip dengan P.humanus corporis sehingga sukar dibedakan, kecuali dari ukuran
panjang badannya. Pediculus humanus corporis mempunyai panjang badan antara 2-4
mm sedang P.humanus capitis panjang badannya antara 1-2 mm. Kepala Pediculus
humanus berbentuk ovoid yang bersudut, sedangkan semua kakinya berukuran sama
besar.

Phthirus pubis. Parasit ini mempunyai bentuk tubuh yang bulat seperti kura-kura, dengan
ukuran panjang tubuh antara 0,8 sampai 1,2 mm. Kepalanya yang berbentuk segi empat
berbeda bentuk dengan kepala Pediculus humanus yang berbentuk ovoid. Batas ruas-ruas
abdomen parasit ini tidak jelas. Kaki-kaki Phthirus pubis khas bentuknya dimana
pasangan kaki pertama lebih kecil ukurannya dibanding ukuran pasangan kaki kedua dan
ketiga.
305

Gambar 172. Ordo Pthiraptera


(URL: http://www.bergen.edu/faculty)

Daur hidup. Anoplura mempunyai metamorfosis yang tidak lengkap (incomplete


metamorphosis). Telur parasit dalam waktu lima hari akan menetas menjadi bentuk nimfa
yang sesudah mengalami pergantian kulit tiga kali, dalam waktu 7-14 hari akan berubah
menjadi bentuk dewasa. Parasit dewasa dapat hidup sampai 40 hari lamanya pada badan
hospes.

Gejala klinis pedikulosis. Pedikulosis adalah infestasi parasit ini pada manusia. Akibat
gigitan parasit air liur yang dikeluarkan pada waktu mengisap darah mangsanya akan
menyebabkan terjadinya iritasi kulit penderita yang dapat berlangsung selama beberapa
hari. Gigitan parasit juga menyebabkan terbentuknya papul berwarna merah yang terasa
sangat gatal, disertai pembengkakan kulit yang berair. Infestasi pedikulosis yang
berulang-ulang menyebabkan terjadinya pengerasan kulit yang disertai pigmentasi yang
disebut morbus errorum atau vagabonds disease. Garukan kulit dapat menimbulkan
infeksi sekunder yang menyebabkan timbulnya pustula, krusta atau terjadi proses
pernanahan. Akibat gangguan tidur yang berlangsung lama penderita dapat mengalami
depresi mental.
306

Pedikulosis menunjukkan gejala klinis yang khas berupa gatal-gatal yang disertai
adanya bekas garukan. Diagnosis pasti dapat ditegakkan jika dapat ditemukan parasit
dewasa atau telurnya.

Pengobatan pedikulosis. Tujuan pengobatan pedikulosis adalah untuk mengobati


gatalnya dan memberantas parasitnya.
Untuk memberantas parasitnya dapat diberikan insektisida atau benzoas benzylicus
emulsion dan dilakukan tindakan sebagai berikut:
Pediculus humanus corporis: Untuk badan penderita dapat diberikan DDT
bedak 10% dalam pyrophyllite, atau Benzena Hexa Chloride (BHC) bentuk
debu 1% (dust) yang diberikan 2 minggu satu kali atau diberikan bubuk
Malathion 1%..
Untuk memberantas parasit yang melekat pada pakaian, dilakukan desinfeksi
pakaian dengan merebusnya atau memasukkannya ke dalam otoklaf dengan
suhu 60o Celcius selama 15 menit. Fumigasi menggunakan gas metil bromida
dapat juga memberantas parasit yang ada di pakaian.
Pediculus hominis capitis. Parasit yang hidup di daerah kepala dapat diobati
dengan insektisida, yaitu salep Lindane (BHC) 1%, atau bedak DDT (10%),
atau bedak BHC 1% dalam prophyllite, atau diobati dengan Benzoas
Benzylicus Emulsion.
Phthirus pubis. Parasit yang berada di rambut pubis diobati dengan salep
lindane atau bedak DDT 10%, sedangkan parasit yang terdapat pada bulu mata
dapat diobati dengan oksida kuning air raksa.

Anoplura sebagai penular penyakit. Spesies Phthiraptera yang dapat menularkan


penyakit hanyalah Pediculus humanus corporis. Penyakit-penyakit yang dapat ditularkan
adalah :
a. Epidemic typhus (typhus fever). Rickettsia prowazekii penyebab penyakit ini
ditularkan melalui kulit yang luka akibat gigitan ektoparasit yang tercemar dengan
tinja atau koyakan badan ektoparasit yang infektif. Sumber penularan epidemic
307

typhus pada manusia adalah penderita yang berstatus sebagai asymptomatic


carrier.
b. Epidemic relapsing fever. Borrelia recurrentis yang merupakan penyebab
penyakit ini dapat menular dengan cara seperti penularan typhus fever. Ektoparasit
yang terinfeksi Borrelia akan tetap infektif selama hidupnya sehingga
menyulitkan pemberantasan penyakit ini.
c. Trench fever. Rickettsia quintana penyebab penyakit ini ditularkan melalui
gigitan ektoparasit yang infektif atau melalui luka lecet yang tercemar tinja
ektoparasit yang infektif. Anoplura yang terinfeksi riketsia akan tetap infektif
untuk seumur hidupnya.

HEMIPTERA

Hanya ada beberapa spesies anggota ordo Hemiptera yang penting bagi kesehatan
manusia. Ordo ini mempunyai bentuk mulut yang berfungsi untuk menusuk dan
mengisap dengan alat penusuk (proboscis) yang beruas-ruas yang terdapat di bagian
depan kepala. Jika tidak sedang digunakan probosis berada dalam keadaan terlipat di
daerah toraks. Famili Reduviidae dan famili Cimicidae merupakan dua famili yang
penting pada ordo Hemiptera yang dapat menyebabkan penyakit dan menularkan
penyakit pada manusia.
308

Gambar 173. Ordo Hemiptera


(URL: http://www.cals.nscu.edu
http://www.//cnr.berkeley.edu/citybugs/research)

Cimicidae
Cimicidae dewasa mempunyai badan yang berbentuk lonjong dan pipih
dorsoventral, dengan tubuh yang tertutup oleh rambut-rambut pendek. Ukuran panjang
badan lebih kurang 5,5 mm dengan parasit betina berukuran lebih besar dari yang jantan.
Cimicidae tidak bersayap, yang ada hanyalah sisa-sisa sayap depan, mempunyai mata
majemuk (compound eyes) tetapi tidak memiliki ocelli. Serangga yang mengeluarkan
bau khas yang tidak enak ini mempunyai probosis yang terdiri atas 3 segmen dan antena
yang terdiri dari 4 segmen. Spesies-spesies yang penting dari famili Cimicidae adalah
Cimex lectularius yang banyak dijumpai di daerah subtropis dan Cimex hemipterus yang
terdapat di daerah tropis.

Cimex. Serangga ini aktif mencari makanan pada malam hari, mengisap darah manusia
atau mamalia yang dibutuhkannya untuk memproduksi telur. Pada waktu siang hari
hewan ini bersembunyi di celah-celah kayu, lubang-lubang kecil yang ada di tempat tidur
309

atau di dinding. Cimex menyebar dengan mudah dari rumah ke rumah terjadi dengan
mudah melalui pakaian atau barang-barang lainnya.
Daur hidup Cimex termasuk metamorfosis yang tidak lengkap (incomplete
metamorphosis), yaitu terdiri dari bentuk telur, bentuk nimfa dan bentuk dewasa. Daur
hidup yang lengkap dari bentuk telur sampai menjadi bentuk dewasa memerlukan waktu
sekitar satu minggu sesudah mengalami 5-6 kali pergantian kulit. Dalam keadaan tidak
makan Cimex mampu bertahan hidup selama lebih dari satu tahun.
Akibat gigitan Cimex akan meninggalkan bekas gigitan yang berwarna merah
disertai rasa gatal di daerah gigitan. Anak yang peka terhadap air ludah Cimex jika digigit
serangga ini dapat mengalami urtikaria sistemik atau asma bronkiale. Dalam uji coba di
laboratorium hewan ini dapat menularkan Coxiella burnetti, Yersinia pestis, Leishmania
donovani dan Trypanosoma cruzi.

Reduviidae
Reduviidae yang disebut juga assasin bug atau kissing bug adalah serangga yang
mempunyai kepala kecil, memiliki sepasang mata majemuk dan dua buah ocelli.
Probosisnya mempunyai 3 segmen, sedangkan antenanya terdiri dari 4 segmen. Badan
Reduviidae berwarna coklat dengan bercak-bercak yang berwarna merah dan kuning,
terutama pada bagian toraks, sayap dan tepi abdomen. Serangga ini mempunyai sayap
yang sempurna sehingga dapat terbang dengan baik.
Beberapa spesies Reduviidae ada yang menghasilkan toksin sehingga gigitannya
menimbulkan rasa nyeri dan rasa gatal yang disertai pembengkakan di tempat gigitan,
diikuti terjadinya selulitis, limfangitis dan limfadenitis. Reduviidae dapat menjadi vektor
penular Trypanosoma cruzi yang menyebabkan Chagas disease yang infeksinya terjadi
melalui luka gigitan yang tercemar tinja serangga yang infektif. Triatoma, Panstrongylus,
Rhodnius, Eutriatoma, Eratyrus dan Psammolestes adalah genus-genus Reduviidae yang
dapat menjadi vektor penular Chagas disease.
Untuk memberantas famili Cimicidae maupun Reduviidae dapat digunakan
larutan DDT 5% dalam minyak tanah atau Gammexane dalam bentuk residual spray.
310

ORTHOPTERA

Famili Blattidae
Dari ordo Orthoptera hanya famili Blattidae yang penting dalam bidang kesehatan
manusia. Famili Blattidae yang sering disebut sebagai kecoa, coro atau lipas adalah
hewan malam yang hidup secara berkelompok, yang makan segala jenis makanan
(omnivora), termasuk dahak dan tinja manusia. Lipas mempunyai daur hidup dengan
metamorfosis yang sederhana terdiri dari bentuk telur, bentuk nimfa dan bentuk dewasa.
Pada waktu keluar dari tubuh induknya telur lipas terbungkus di dalam kapsul kulit
(ootheca) yang masing-masing ootheca berisi 8-16 butir telur. Bentuk nimfa mirip bentuk
dewasa, namun tidak mempunyai sayap. Lipas dewasa dapat hidup sampai 3 tahun
lamanya.

Anatomi dan morfologi. Tubuh lipas berbentuk pipih dorsoventral dengan permukaan
badan yang halus berwarna coklat muda, merah atau hitam. Antena berbentuk filiform,
panjang, langsing dan bersegmen. Terdapat dua pasang sayap yang pada Blatta orientalis
jantan ukurannya lebih panjang dari pada sayap betinanya. Sayap bagian luar sempit,
tebal seperti kulit, sedang sayap bagian dalam yang lebar tipis seperti membran.
Blattidae yang hidup berdekatan dengan manusia adalah Periplaneta americana,
Blatta orientalis, Blatella germanica dan Supella supellectilium. Spesies-spesies tersebut
mudah dibedakan bentuk luarnya.
Periplaneta americana adalah lipas berukuran besar, sekitar 3,8 cm, berwarna
coklat kemerahan sedangkan Blatta orientalis berwarna hitam kecoklatan, berukuran
panjang sekitar 2,5 cm. Blatella germanica lipas yang berukuran kecil dengan panjang
1,3 cm berwarna coklat muda, dan memiliki 2 garis longitudinal pada toraksnya mudah
dibedakan dari Supella supellectilium yang berukuran 1,3 cm dan berwarna coklat muda,
namun tidak mempunyai garis pada toraks.
311

Gambar 174. Famili Blattidae


(URL: http://www.homeopathyandmore.com/-/images)

Lipas sebagai penular penyakit. Cara hidup lipas yang kotor, bersifat omnivora yang
makan segala jenis bahan termasuk tinja dan dahak manusia, pergerakannya yang cepat
dan karena hidup berdekatan dengan manusia, lipas mudah menularkan berbagai macam
penyakit. Melalui penularan secara mekanis, Blattidae dapat menularkan berbagai jenis
bakteria usus antara lain Vibrio cholerae dan Salmonella typhosa, Enterovirus, virus
polio, parasit usus misalnya Entamoeba histolytica dan Giardia lamblia, cacing usus
misalnya Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura dan jamur Aspergillus.

Pemberantasan lipas. Untuk memberantas lipas berbagai jenis insektisida dapat


digunakan misalnya bubuk chlordane 5%, larutan chlordane 2% dan larutan 3%
malathion.
312

SIPHONAPTERA

Ordo Siphonaptera yang disebut juga sebagai ordo Aphaniptera memiliki banyak
anggota spesies atau subspesies. Serangga ini dikenal secara umum sebagai pinjal atau
flea. Pinjal umumnya tidak mempunyai hospes yang spesifik sehingga mudah berpindah
hospes, baik yang sama maupun yang berbeda spesiesnya. Karena tidak adanya hospes
yang spesifik ini meningkatkan kemampuan pinjal dalam menularkan penyakit. Hanya
Pulex irritans dan Tunga penetrans yang menjadikan manusia sebagai hospes utamanya.
Pinjal yang lain menjadikan manusia hanya sebagai hospes insidental.

Daur hidup. Daur hidup pinjal termasuk metamorfosis lengkap (complete


metamorphosis), yaitu terdiri dari bentuk telur, bentuk larva, bentuk pupa dan bentuk
dewasa. Daur hidup lengkap pinjal berlangsung antara 14 sampai 27 hari, dan pinjal
dewasa dapat bertahan hidup sampai 1 tahun lamanya.

Gambar 175. Daur hidup pinjal


313

(Sumber: CDC)
Anatomi dan morfologi pinjal. Ordo Siphonaptera merupakan hewan kecil yang
berukuran panjang antara 1,5 mm sampai 4 mm, dengan tubuh yang berbentuk pipih,
berwarna coklat dan terbungkus lapisan chitin dan tidak mempunyai sayap. Bentuk
mulutnya yang berfungsi untuk menusuk dan mengisap (piercing-sucking) terletak
tersembunyi pada suatu celah.
Ocular bristle. Serangga ini mempunyai mata yang dilengkapi rambut mata
(ocular bristle) yang letaknya dapat digunakan untuk membedakan spesies-
spesies pinjal.

Comb. Bentukan seperti sisir yang terdapat pada sebagian spesies pinjal, disebut
juga sebagai ctenidium. Genal comb atau oral comb adalah comb yang terletak di
atas mulut, sedangkan yang terdapat di toraks segmen pertama disebut thoracal
comb atau pronotal comb. Xenopsylla cheopis, Pulex irritans dan Tunga
penetrans tidak mempunyai comb, sedangkan Nosopsyllus fasciatus hanya
mempunyai thoracal comb. Ctenocephalides felis dan Ctenocephalides canis
mempunyai oral comb dan thoracal comb.

Gambar 176. Bentuk anatomi pinjal.


1. antena 2.thoracal comb 3. oral comb 4. coxa 5. femur 6. tibia 7. tarsus 8. sternit
314

(URL: http://www.ento.csro.au/educaton/Assorts/csiro)
Spermatheca. Spermatheca adalah kantung yang terdapat pada pinjal betina yang
berfungsi menampung sperma pinjal jantan sesudah terjadi kopulasi. Organ ini terletak
pada segmen abdomen yang ke-8 dan ke-9. Untuk setiap spesies pinjal spermatheca
berbeda bentuknya sehingga dapat digunakan untuk membantu mengadakan diferensiasi
spesies pinjal. Penis pinjal terdapat pada segmen ke-5 atau ke-6 abdomen pinjal jantan.

Anatomi khas pinjal. Anatomi yang khas pada spesies pinjal selain dengan
memperhatikan bentuk spermatheca, juga dengan melihat letak ocular bristle, adanya
comb dan struktur comb tersebut.

Xenopsylla cheopis. Tidak mempunyai comb, dan ocular bristle terletak di depan
mata.
Pulex irritans. Tidak mempunyai comb, ocular bristle terletak di bawah mata.
Tunga penetrans. Tidak mempunyai comb, memiliki ciri khas berupa bentuk
kepala yang besar ukurannya.
Nosopsyllus fasciatus. Hanya memiliki pronotal comb, dan memiliki lebih dari
satu pasang ocular bristle.
Ctenocephalides. Memiliki thoracal comb dan genal comb.
Ctenocephalides canis: panjang kepala kurang dari dua kali ukuran tinggi kepala,
sehingga kepala tampak tumpul. Thoracal comb mempunyai 18 buah spina (gigi
sisir), dengan spina pertama lebih pendek dari pada spina ke-2.
Ctenocephalides felis: ukuran panjang kepala pinjal betina lebih dari dua kali
ukuran tingginya, sehingga kepala tampak berbentuk runcing. Spina pertama oral
comb berukuran sama panjang dengan spina ke-2, dan thoracal comb mempunyai
16 buah gigi sisir.
315

Tabel 17. Perbedaan anatomi dan morfologi Siphonaptera

Genus Comb Ocular bristle Ciri khas lain

Xenopsylla Tidak ada Di depan mata


Pulex Tidak ada Di bawah mata
Tunga Tidak ada Kepala: besar
Nospsyllus Thoracal Lebih dari satu
Ctenocephalide Oral dan thoracal
s
316

Gambar 177. Ordo Siphonaptera


(Sumber: CDC)

Penyakit yang disebabkan pinjal. Gigitan pinjal dapat menimbulkan alergi dan
dermatitis yang pada anak-anak reaksinya dapat berlangsung berat. Ctenocephalides dan
Pulex irritans adalah spesies pinjal yang sering menggigit hospes. Pinjal betina Tunga
penetrans yang terdapat di daerah tropis Afrika sering menimbulkan dermatitis karena
menggali kulit kaki penderita yang terdapat di bawah kuku dan kemudian mengisap darah
penderita. Selain menimbulkan rasa gatal hebat juga terjadi radang yang sering diikuti
infeksi sekunder.

Penyakit yang ditularkan pinjal. Pinjal dapat menularkan penyakit baik dengan
bertindak sebagai vektor penular penyakit atau sebagai hospes perantara.
Xenopsylla cheopis. Pinjal ini merupakan vektor utama dalam penularan penyakit pes
yang disebabkan oleh kuman Yersinia pestis. Jika terjadi wabah pes pada tikus, pinjal
menjadi infektif untuk waktu lama. Akibat wabah populasi tikus punah sehingga pinjal
harus mencari hospes baru antara lain manusia dan menimbulkan epidemi pes pada
manusia. Epidemi pes pada manusia biasanya didahului oleh epidemi pes pada tikus,
sehingga kita harus waspada dan melakukan pencegahan terhadap kemungkinan
terjadinya epidemi pes pada manusia. Pulex irritans merupakan vektor kedua dalam
penularan pes. Xenopsylla cheopis juga dapat bertindak sebagai vektor penular endemic
typhus yang secara alami merupakan penyakit pada tikus yang disebabkan oleh Rickettsia
mooseri. Manusia tertular mikroorganisme ini melalui luka gigitan atau luka lecet yang
tercemar tinja atau jaringan rusak pinjal yang infektif. Penularan dapat juga terjadi
melalui konjungtiva atau membrana mukosa penderita yang terpapar tinja infektif. Pinjal
yang terinfeksi Rickettsia akan tetap infektif untuk seumur hidupnya. Nosopsyllus
fasciatus juga dapat menularkan Endemic typhus.

Pinjal sebagai hospes perantara. Pinjal dapat menjadi hospes perantara pada daur hidup
cacing-cacing Dipylidium caninum dan Hymenolepis diminuta. Pinjal-pinjal
Ctenocephalides canis, C. felis dan Pulex irritans adalah hospes perantara D. caninum,
sedangkan pada daur hidup Hymenolepis diminuta yang bertindak sebagai hospes
317

perantara adalah Xenopsylla cheopis, Ctenocephalides canis, Ctenocephalides felis,


Pulex irritans atau Nosopsyllus fasciatus.

Memberantas pinjal. Penularan penyakit pes, endemic typhus, maupun infeksi cacing
pita anjing dapat dicegah dengan memberantas tikus dan pinjal yang hidup pada tikus
maupun pinjal yang hidup pada hewan yang dipelihara misalnya anjing dan kucing. Pinjal
tikus diberantas di lingkungan hidup tikus menggunakan insektisida agar pinjal tikus
tidak berpindah tempat ke lingkungan hidup manusia.
Berbagai insektisida dapat digunakan untuk memberantas pinjal antara lain DDT
5%, Diazinon 1% atau Lindane 1% dalam larutan minyak tanah. Insektisida dalam bentuk
bubuk atau inert dust dari DDT 10% atau Triklorfon 1% juga dapat digunakan Hewan-
hewan peliharaan misalnya anjing dan kucing dapat diberi bedak Malathion 4%, DDT
10% atau Rotenon 10%.

DIPTERA

Terdapat lebih dari 80 ribu spesies serangga berasal dari sekitar 140 famili yang
termasuk dalam ordo Diptera. Artropoda ini mempunyai dua sayap, karena sepasang
sayap posterior telah berubah bentuk dan fungsinya menjadi alat keseimbangan (halter).
Ordo Diptera mempunyai mata majemuk dan umumnya memiliki tiga buah ocelli.
Diptera merupakan golongan serangga yang paling banyak menjadi penular penyakit.
Dalam daur hidupnya, ordo ini mempunyai metamorfosis lengkap yang terdiri
dari bentuk telur, bentuk larva, bentuk pupa dan bentuk dewasa. Sebagian besar spesies
lalat bertelur (oviparus), ada yang melahirkan larva (larviparus) atau diantara kedua sifat
tersebut (ovoviviparus) dan ada yang pupiparus ( melahirkan pupa).
Diptera mempunyai mulut yang berfungsi untuk mengisap (sucking-mouth)
dengan berbagai modifikasi antara lain juga berfungsi untuk menusuk (piercing-mouth)
misalnya untuk mengisap darah.
318

Diptera yang berderajat tinggi, larvanya sering mampu menembus jaringan dan
organ tubuh manusia atau hewan hidup, sehingga menimbulkan miasis (myiasis).

Anatomi dan klasifikasi Diptera. Tiga subordo yang penting dalam ordo Diptera adalah
subordo Nematocera, Brachycera dan Cyclorrhapha. Diferensiasi ordo Diptera dilakukan
berdasarkan ciri-ciri anatomi dan morfologi serta sifat-sifat khusus subordo, antara lain
bentuk venasi sayap dan bentuk antena.
Subordo Nematocera mempunyai antena yang berbentuk filiform (panjang antena
lebih dari ukuran panjang kepala dan toraks) mempunyai lebih dari 8 segmen dan
tidak mempunyai rambut bercabang (arista). Subordo ini mempunyai palpus
maksilaris yang terdiri dari 4 atau 5 segmen.
Subordo Brachycera mempunyai antena yang berbentuk aristaform (mempunyai
arista), panjang antena kurang dari ukuran panjang kepala dan toraks, dengan
jumlah segmen antena kurang dari enam ruas. Palpus subordo ini terdiri dari 2
atau 3 segmen.
Subordo Cyclorrhapha mempunyai antena aristaform yang terdiri dari 3 segmen,
sedangkan palpusnya hanya terdiri dari satu segmen.

Gambar 178. Bentuk mulut dan kepala Diptera.


Cyclorrapha (kiri) dan Nematocera (kanan)
(Sumber: Sidney University)
319

Tabel 18. Klasifikasi ordo Diptera

Subordo Subordo Subordo


Nematocera Brachycera Cyclorrapha

Antena - filiform - aristaform - aristaform


- > 8 segmen - < 6 segmen - 3 segmen
- tak ada arista - ada arista -ada arista

Palpus 4 atau 5 segmen 2 atau 3 segmen 1 segmen

Famili yang 1. Culicidae Tabanidae 1. Muscidae


penting 2. Ceratopogonidae 2. Calliphoridae
3. Psychodidae 3. Oestridae
4. Simuliidae 4. Gasterophilidae
5. Chloropidae
6. Sarcophagidae

NEMATOCERA

\Terdapat empat famili yang penting dalam subordo Nematocera, yaitu famili Culicidae
(keluarga nyamuk), famili Psychodidae (misalnya Phlebotomus), famili Simuliidae
(misalnya Simulium) dan famili Ceratopogonidae (misalnya Culicoides)..

Culicidae
Famili Culicidae mempunyai bentuk tubuh, sayap dan probosis yang langsing.
Keluarga nyamuk merupakan serangga yang penyebarannya sangat luas, mulai dari
daerah kutub yang dingin sampai daerah tropis yang panas. Nyamuk juga mampu hidup
di daerah dengan ketinggian 5000 meter di atas permukaan laut, sampai di dalam
tambang yang letaknya 1500 meter di bawah permukaan tanah. Tiga subfamili nyamuk
320

yang penting dalam bidang kesehatan yaitu subfamili Culicinae, subfamili Anopheline
dan subfamili Toxorrhynchitinae.

Daur hidup nyamuk. Nyamuk mempunyai metamorfosis yang sempurna


(holometabola) dengan larva dan pupa yang memerlukan air untuk hidupnya, sedangkan
telur nyamuk pada umumnya diletakkan di air (pada beberapa spesies nyamuk telurnya
dapat hidup tanpa air dalam waktu yang lama).
Telur nyamuk Anopheles diletakkan satu demi satu di permukaan air, telur Culex
berderet-deret seperti rakit, dan telur Aedes ditempatkan di sepanjang tepian air. Beberapa
hari sesudah berada di dalam air telur nyamuk akan menetas menjadi larva, yang sesudah
4 kali berganti kulit larva akan berubah menjadi bentuk pupa. Pupa nyamuk merupakan
bentuk aktif yang sangat sensitif terhadap pergerakan air tetapi bentuk ini tidak
memerlukan makanan. Stadium pupa berlangsung selama 2-3 hari sebelum pupa berubah
bentuk menjadi nyamuk dewasa.

Biologi nyamuk. Nyamuk jantan di alam dapat hidup selama satu minggu, sedangkan
nyamuk betina mampu hidup sampai dua minggu lamanya. Nyamuk yang dipelihara di
laboratorium pada kelembaban tinggi dengan makanan yang cukup mengandung
karbohidrat dapat hidup sampai beberapa bulan lamanya.
Untuk hidupnya, nyamuk jantan tidak mengisap darah tetapi menghisap cairan
tumbuhan atau madu, sedangkan nyamuk betina mengisap darah, kecuali
Toxorhynchitinae yang makan cairan tumbuhan. Nyamuk betina pada umumnya
menyukai darah hewan (zoophilus), yang diperlukan untuk perkembangan telurnya agar
proses reproduksi dapat berlangsung.
Hanya nyamuk-nyamuk pengisap darah yang dapat menularkan penyakit pada
manusia, yaitu nyamuk Anopheles, Aedes, Culex dan Mansonia.
321

Gambar 179. Daur hidup nyamuk

Anatomi dan morfologi nyamuk. Tubuh nyamuk, sayap, antena, maupun probosisnya
berbentuk langsing. Nyamuk memiliki sayap yang mempunyai pipa-pipa udara (vena)
yang tersebar ke seluruh bagian sayap sampai mencapai ujung sayap. Alat penusuk
(probosis) yang terdapat di kepala dapat digerakkan ke depan maupun ke bawah. Antena
nyamuk yang berbentuk filiform yang terdiri dari 15 segmen. Antena nyamuk jantan
banyak mempunyai bulu panjang (plumose), sedang pada nyamuk betina bulu antena
sedikit dan pendek (pilose). Nyamuk mempunyai sepasang mata majemuk tetapi tidak
mempunyai ocelli.
Culicinae mempunyai toraks yang bagian posteriornya (scutellum) mempunyai
tiga lobus (trilobi), sedang pada Anopheline skutelum tidak berlobus. Di segmen
abdomen bagian posterior nyamuk betina mempunyai 2 caudal cerci yang berukuran
kecil sedangkan pada nyamuk jantan terdapat organ seksual yang disebut hypopygium.
322

Gambar 180 . Bagan morfologi nyamuk

Toxorrhynchitinae
Subfamili Toxorhynchitinae tersebar luas di daerah tropis dan subtropis. Nyamuk
yang hidup siang hari ini baik yang jantan maupun yang betina tidak mengisap darah
melainkan hanya makan cairan tumbuhan atau bunga. Nyamuk pada subfamili ini hanya
ada satu genus, yaitu Toxorhynchites yang mempunyai tubuh yang berwarna-warna.
Nyamuk meletakkan telurnya satu demi satu di lubang pohon, potongan bambu
atau lekukan daun yang berisi air. Larva Toxorhynchites besar ukurannya ini bersifat
kanibalis karena memakan larva jenisnya yang berukuran lebih kecil. Selain itu larva
Toxorhynchites juga merupakan pemangsa (predator) bagi larva nyamuk jenis lainnya,
misalnya Aedes dan Culex yang hidup di dalam satu wadah atau tempat perkembang
biakan di alam. Seekor larva nyamuk Toxorhynchites dalam waktu satu hari dapat
memangsa 16 ekor larva nyamuk Aedes.
323

Gambar 181. Toxorhynchites dewasa


( Sumber: http://www.planetainvertebrados.com.)

Culicinae
Dua genus yang penting dalam subfamili ini adalah genus Aedes dan genus Culex
karena dapat menularkan berbagai penyakit yang menjadi masalah kesehatan dunia,
misalnya demam berdarah dengue, yellow fever, filariasis dan ensefalitis.

Anatomi dan morfologi. Subfamili Culicinae mempunyai bentuk scutellum yang trilobi
sedangkan abdomennya tertutup oleh sisik-sisik lebar yang mendatar. Kepala nyamuk
Culicinae betina mempunyai palpus yang lebih pendek dari pada probosis dan palpus
yang panjang pada nyamuk jantan. Di tempat berkembang biaknya telur nyamuk
Culicinae tidak mempunyai pelampung diletakkan berderet-deret seperti rakit atau
diletakkan satu demi satu di permukaan air atau dilekatkan pada dinding bejana
(container) sedikit di atas batas antara permukaan air dan kontiner.
Larva nyamuk mempunyai siphon dengan pekten berbentuk sempurna, dan
umumnya mempunyai lebih dari satu kelompok hair tufts.
324

Gambar 182. Subfamili Culicinae


(URL: http://www.nd.edu/lumen)

Nyamuk Aedes
Aedes betina mengisap darah waktu siang hari, terutama pada waktu sore hari.
Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus merupakan vektor penular demam dengue
atau demam berdarah dengue dan demam chikungunya di Indonesia dan di berbagai
negara lainnya.
Selain merupakan vektor utama penular demam dengue, nyamuk Aedes aegypti
juga adalah vektor utama penular demam kuning (yellow fever) sehingga juga disebut
sebagai yellow fever mosquito. Spesies ini tersebar luas di dunia di daerah yang terletak
antara 40oLintang Utara dan 40o Lintang Selatan, dan hanya hidup pada suhu antara 8 o
37o Celcius. Telur nyamuk ini dalam keadaan kering mampu tetap hidup selama bertahun-
tahun. Berbagai tempat berair bersih dapat menjadi sarang tempat kembang biak
(breeding-place) nyamuk ini, misalnya yang terdapat di bak mandi, tempayan penyimpan
air minum, kaleng kosong, plastik air minum, ban bekas dan kontener atau wadah buatan
lainnya. Nyamuk Aedes aegypti dewasa terutama hidup dan mencari mangsa di dalam
rumah atau bangunan beratap lainnya.
Aedes albopictus lebih menyukai wadah alami ( potongan bambu pagar, lipatan
daun, pelepah pohon pisang atau kelapa, dan lubang-lubang pohon) yang terdapat di luar
rumah sebagai tempat kembang biaknya. Nyamuk dewasa hidup dan mencari mangsa di
luar rumah atau bangunan, yaitu di kebun yang teduh dan rimbun dengan pepohonan.
325

Anatomi dan morfologi. Abdomen nyamuk Aedes betina mempunyai ujung yang lancip
dan terdapat cercus yang panjang. Telur diletakkan satu-satu pada permukaan air atau
pada perbatasan air dan container. Larva Aedes mempunyai siphon yang gemuk, yang
mempunyai satu pasang hair tuft dan pecten yang tumbuh tidak sempurna.
Aedes aegypti dewasa tubuhnya berwarna hitam mempunyai bercak putih
keperakan atau putih kekuningan. Pada toraks bagian dorsal terdapat bercak putih yang
khas bentuknya, berupa 2 garis sejajar di bagian tengah toraks dan 2 garis lengkung di
tepi toraks.
Aedes albopictus dewasa mudah dibedakan dari Aedes aegypti karena garis yang
terdapat pada toraks dorsal hanya berupa 2 garis lurus yang terdapat di tengah toraks.

Aedes albopictus

Gambar 183. Ciri khas garis toraks (a) Aedes albopictus dan (b) Aedes aegypti
(URL: http://www.mosquito-va.org/- http://www.mosquitaire.com)

Nyamuk Culex
Nyamuk Culex dapat menjadi vektor penular berbagai mikroorganisme, misalnya
arbovirus, filariasis dan malaria pada unggas. Culex pipiens quinquefasciatus atau sering
disebut Culex fatigans merupakan vektor penular filariasis pada manusia, sedang Culex
pipiens adalah penular penyakit St.Louis encephalitis. Culex tarsalis adalah vektor
penular penyakit Western encephalitis dan St.Louis encephalitis. Culex tritaeniorhynchus
326

merupakan vektor utama penularan Japanese B encephalitis, banyak dijumpai di Asia


Tenggara dan Asia Timur

Anatomi dan biologi. Nyamuk Culex betina mempunyai abdomen yang berujung tumpul
dan mempunyai pulvili. Nyamuk ini meletakkan telurnya di permukaan air yang menjadi
tempat berkembang biaknya (breeding place) secara berderet-deret sehingga berbentuk
seperti rakit. Larva Culex mempunyai sifon yang panjang dan langsing yang memiliki
beberapa kelompok hair tufts.
Nyamuk Culex pipiens complex menyukai breeding place berupa genangan air
hujan atau air yang mempunyai kadar tinggi bahan organik, sedangkan Culex tarsalis
lebih menyukai genangan air yang terkena sinar matahari sebagai tempat berkembang
biaknya. Culex tritaeniorhynchus yang banyak dijumpai di Asia Tenggara dan Asia Timur
menyukai air tanah dan rawa-rawa sebagai breeding-placenya.

Nyamuk Mansonia
Nyamuk Mansonia merupakan vektor utama penular Brugia malayi pada manusia
sedangkan kera dan kucing dapat bertindak sebagai hospes reservoir. Nyamuk ini dapat
menularkan brugiasis malayi yang periodik nokturnal maupun yang subperiodik
nokturnal.

Anatomi dan biologi. Ciri khas nyamuk Mansonia dewasa adalah badan, kaki, palpus
dan sayapnya tertutup sisik-sisik berwarna coklat dan putih. Sisik-sisik pada sayap
membentuk bercak-bercak lebar yang tidak simetris. Nyamuk ini hidup di rawa-rawa,
telurnya yang berwarna coklat kehitaman secara berkelompok diletakkan oleh induknya
di bawah daun tumbuhan air yang mengapung di permukaan air. Dalam beberapa hari
telur menetas menjadi larva. Larva Mansonia selalu berada di dalam air, melekat pada
akar tumbuhan air dengan cara menusukkan siphonnya yang runcing ke dalam akar
tumbuhan untuk mengisap udara. Nyamuk ini merupakan vektor filariasis di daerah yang
berawa-rawa di luar Jawa.
Untuk memberantas larva nyamuk Mansonia dilakukan pemberantasan tanaman air
dengan herbisida misalnya pentachlorophenol (PCP) atau menggunakan larvisida bentuk
327

granul yang dapat melayang di dalam air sehingga dapat membunuh larva yang melekat
pada akar tumbuhan air.

Gambar 184. Nyamuk Mansonia (a) dewasa dan (b) larva.


Perhatikan larva melekat pada akar tumbuhan air dengan
siphon yang runcing (Dept.Medical Entomology, ICPMR)

Anopheline
Anopheles adalah genus nyamuk yang terpenting dalam subfamili ini karena
merupakan satu-satunya vektor penular malaria pada manusia. Terdapat sekitar 30 spesies
Anopheles yang dapat menjadi vektor penular malaria. Penular malaria pada manusia
adalah nyamuk Anopheles yang spesiesnya berbeda antara satu tempat dengan tempat
lainnya. Anopheles penular malaria di Indonesia antara lain adalah Anopheles sundaicus,
An.aconitus, An. barbirostris, dan An.subpictus. Selain menularkan malaria, Anopheles
juga dapat menularkan filariasis pada manusia. Cacing filaria manusia yang dapat
ditularkan oleh nyamuk Anopheles adalah Wuchereria bancrofti yang nocturnal periodic.

Anatomi dan morfologi. Nyamuk jantan Anopheles mempunyai palpus yang ujungnya
membesar (club-shaped). Berbeda dengan Aedes dan Culex, nyamuk ini baik nyamuk
jantan maupun nyamuk betinanya mempunyai palpus yang sama panjang dengan
probosis. Scutellum toraks nyamuk dewasa ujungnya membulat, tidak mempunyai lobus.
Kaki-kaki Anopheles panjang dan langsing. sedangkan abdomennya tidak mempunyai
bercak-bercak sisik.
328

Gambar 185. Anopheles dewasa


(URL: http://www.files.myopera.com/echa2268)

Larva Anopheles tidak mempunyai siphon tetapi mempunyai palmate-hair yang khas
bentuknya. Selain itu larva juga mempunyai pelampung sehingga pada waktu bernapas
di permukaan air, posisi larva adalah mendatar atau sejajar dengan permukaan air. Hal ini
berbeda dengan posisi larva Aedes dan Culex yang menungging atau membentuk sudut
terhadap garis permukaan air.

Gambar 186. Larva Culicine (Aedes, Culex) dan larva Anopheline


Larva Culicine mempunyai siphon, larva Anopheline tidak bersiphon.
(Sumber: R.C.Russel, 2000)
329

Daur hidup dan biologi. Sarang nyamuk (breeding place) Anopheles sangat bervariasi
sesuai dengan spesies dan lingkungan hidupnya. Sebagai contoh, Anopheles sundaicus
menyukai genangan air payau di daerah pantai (lagoon), sedangkan Anopheles aconitus
menyukai air tawar yang tergenang di sawah-sawah.
Sesudah diletakkan di air, telur Anopheles dalam waktu 1-2 hari akan menetas
menjadi larva yang dalam waktu 8-12 hari kemudian berubah menjadi bentuk pupa. Pupa
dalam waktu 2-3 hari akan berkembang menjadi nyamuk dewasa yang dapat bertahan
hidup di alam sampai satu bulan lamanya.

Penyakit-penyakit yang ditularkan oleh nyamuk. Banyak mikroorganisme penyebab


penyakit yang dapat ditularkan oleh nyamuk, yaitu Plasmodium, cacing filaria, dan
arbovirus serta beberapa virus lainnya.

Malaria. Penyakit protozoa ini disebabkan oleh Plasmodium vivax, P.falciparum,


P.malariae dan P.ovale yang penularnya adalah nyamuk Anopheles yang spesiesnya
berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Terdapat sekitar 30 spesies Anopheles
dapat menularkan malaria.

Filariasis. Di Indonesia infeksi cacing Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia
timori endemis di berbagai daerah terutama di luar Jawa

Arbovirus. Virus-virus yang ditularkan secara biologis oleh artropoda ada yang
ditularkan oleh nyamuk. Semua arbovirus grup A ditularkan oleh nyamuk, yaitu virus
Chikungunya, virus Mayaro, virus Onyong-nyong, virus Venezuelan equine encephalitis,
virus Sinbis, dan virus Western encephalitis. Sebagian arbovirus grup B juga dapat
ditularkan olen nyamuk, yaitu virus Yellow fever, virus dengue, virus St.Louis
encephalitis, virus Japanese B encephalitis, virus Murray Valley encephalitis, virus West
Nile, dan virus Ilheus. Virus Eastern encephalitis, virus Bunyawera, virus Bwamba, virus
Oropouche, dan virus California yang tidak termasuk arbovirus juga dapat ditularkan
oleh nyamuk.
330

Tabel 19 . Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk


Nama penyakit Penyebab Nyamuk penular
Malaria Plasmodium Anopheles

Filariasis Wuchereria bancrofti Anopheles, Culex


Brugia malayi Aedes, Mansonia
Brugia timori Tidak jelas

Demam dengue Virus dengue Aedes aegypti, Ae.albopictus

Chikungunya Virus chikungunya Aedes aegypti, Ae.albopictus

Yellow fever Virus Yellow fever Aedes aegypti, Ae.simpsoni

Japanese B Virus Japanese B Culex tritaeniorhynchus


encephalitis Encephalitis

St.Louis encephalitis Virus St.Louis Culex pipiens, Culex fatigans


Encephalitis

Ceratopogonidae
Culicine
Keluarga Diptera yang dikenal juga sebagai gnats atau punkies ini tersebar luas di
daerah tropis dan subtropis. Sarang tempat berkembang biak (breeding places) yang
disukainya adalah genangan air, kolam, aliran sungai tidak deras, dan tanah yang lembab.
Induk Ceratopogonidae meletakkan telurnya pada daun busuk yang ada di sungai, luban-
lubang yang ada di tanah atau lubang-lubang pohon, tanaman air dan juga kotoran dan
sampah lainnya. Larva serangga ini berbentuk mirip cacing yang mempunyai toraks yang
terdiri dari 3 segmen dan abdomen yang mempunyai 9 segmen. Pupa Ceratopogonidae
yang lonjong khas bentuknya karena mempunyai corong napas yang terletak di daerah
toraks. Dalam famili ini, hanya Culicoides yang penting bagi kesehatan manusia.

Culicoides. Culicoides dewasa bentuknya mirip nyamuk berukuran kecil, mempunyai


sayap yang berbulu sangat halus, yang kadang-kadang berbintik berwarna-warni.
Serangga ini antena yang terdiri dari 14 segmen, sedangkan palpusnya mempunyai 5
segmen. Culicoides menggigit manusia atau mamalia pada waktu sore hari yang tidak
berangin, yang gigitannya menyebabkan timbulnya nodul pada kulit yang menjadi
radang atau kadang-kadang terjadi vesikel yang mengandung eksudat. Culicoides adalah
331

vektor penular filariasis yang disebabkan oleh Acanthocheilonema perstans dan


Mansonella ozzardi.

Gambar 187. Culicoides


( Sumber: Parasitologia Veterinaria-UAB)

Psychodidae
Anggota famili Psychodidae yang penting dalam ilmu kesehatan adalah genus
Phlebotomus, disebut juga sebagai lalat pasir (sand-flies) yang tersebar di daerah tropis
belahan bumi bagian Barat yang beriklim panas.

Phlebotomus . Serangga ini sangat kecil ukurannya, sehingga ia dapat menembus kawat
kasa nyamuk. Seluruh tubuh lalat, juga kaki dan sayapnya, tertutup bulu-bulu yang
panjang. Phlebotomus mempunyai sayap pendek yang membentuk sudut di ujung
sayapnya, yang tidak mempunyai vena sayap melintang (cross-vein).

Gambar 188. Phlebotomus


(URL: http://searo.who.int/i,age/oth-ke1)
332

Daur hidup. Phlebotomus mempunyai metamorfosis yang lengkap, terdiri dari bentuk
telur, bentuk larva, bentuk pupa dan bentuk dewasa. Dalam waktu 7-12 hari telur akan
menetas menjadi bentuk larva, yang dalam waktu 40 hari akan berubah menjadi bentuk
pupa. Sepuluh hari kemudian bentuk pupa akan berubah menjadi bentuk dewasa.
Phlebotomus hidup di bawah batu, di dalam dinding yang rusak, kandang hewan dan
bangunan yang gelap dan lembab yang menyediakan cukup bahan organik untuk
makanan bagi larvanya.

Gejala klinis dan penyakit. Akibat gigitan Phlebotomus akan terbentuk benjolan keras
berwarna putih yang menyebabkan timbulnya rasa nyeri menyengat yang kemudian akan
diikuti rasa gatal-gatal yang berlangsung sampai beberapa hari lamanya. Penderita yang
mengalami banyak gigitan akan menderita demam, mual dan tanda-tanda toksemia
lainnya.
Phlebotomus secara biologis dapat menularkan penyakit antara lain adalah plebotomus
fever yang disebut juga sebagai sandfly fever atau Pappataci fever yang disebabkan oleh
virus, dan bartonellosis (Carrions disease) yang disebabkan oleh Bartonella
baccilliformis. Lalat pasir juga dapat menularkan leishmaniasis yang disebabkan oleh
Leishmania donovani, L. tropica dan L. braziliensis.
Untuk memberantas Phlebotomus berbagai macam insektisida residual dapat
digunakan, misalnya DDT dalam bentuk larutan yang disemprotkan.

Simuliidae
Pada famili Simuliidae hanya genus Simulium yang penting karena dapat
menularkan Onchocerca volvulus, cacing filaria penyebab kebutaan.
Simulium. Genus Simulium yang disebut juga sebagai black-flies atau buffalo-gnats
merupakan salah satu anggota famili yang penting karena dapat menularkan penyakit dan
mempunyai penyebaran luas di Afrika dan Amerika Selatan dan Amerika Tengah.

Anatomi dan biologi. Simulium dewasa berukuran kecil antara 1-5 mm, dengan
punggung yang memberi kesan bungkuk. Mulut lalat betina dilengkapi dengan 6 buah
333

pisau, sehingga gigitannya menimbulkan perdarahan. Antena lalat pendek ukurannya


terdiri dari 10-11 segmen, sedangkan palpusnya terdiri dari 4 segmen. Simulium
mempunyai sayap yang jernih tanpa bercak, yang memiliki 2-3 vena besar yang menebal
di daerah kostal.
Larva Simulium terdiri atas 12 segmen yang berbentuk piring. Pupa yang
terbentuk berada di dalam kantung dalam waktu 2-30 hari akan berubah menjadi lalat
dewasa yang mencari mangsa mulai pagi sampai sore hari.

Gambar 189. Simulium dewasa (kiri) dan larva (kanan).


(Sumber: University of Iowa)

Sebagai tempat berkembang biak (breeding-place) Simulium menyukai sungai yang


airnya mengalir deras. Oleh induknya telur yang diletakkan pada karang atau tanaman air
yang berada di bawah permukaan air, dalam waktu 4-27 hari akan menetas menjadi
bentuk larva. Larva lalu melekatkan diri pada benda-benda di bawah air dengan
menggunakan alat isap kaudal (caudal sucker) yang terdapat di bagian ekornya.

Gejala klinis dan penyakit. Akibat gigitan Simulium penderita mula-mula tidak merasa
sakit, akan tetapi beberapa waktu kemudian bekas gigitan akan terasa nyeri dan gatal, lalu
timbul pembengkakan yang berlangsung beberapa hari lamanya. Simulium dapat
menularkan Onchocerca volvulus, cacing filaria yang tersebar di Afrika, Meksiko,
Amerika Selatan dan Amerika Tengah, yang dapat menyebabkab kebutaan. Diduga lalat
ini juga dapat menularkan penyakit tularemia secara mekanis.
334

Pemberantasan Simulium. Baik lalat dewasa maupun larva Simulium dapat diberantas
menggunakan insektisida organofosfat misalnya temephos, pyretroid misalnya
permethrin, dan biopestisida misalnya Bacillus thuringiensis, telah menggantikan
chlorinated hydrocarbon misalnya DDT, yang dulu pernah digunakan.

BRACHYCERA

Famili Tabanidae merupakan kelompok subordo ini yang penting dalam bidang
kesehatan, karena dapat menularkan berbagai macam penyakit.

Tabanidae
Hanya lalat betina Tabanidae yang mengisap darah manusia. Untuk tempat
berkembang biaknya Tabanidae dapat memanfaatkan berbagai macam breeding places
baik yang kering maupun yang lembab dan basah. Lalat betina mengeluarkan telurnya
secara berkelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 100-700 telur yang
terbungkus bahan tahan air. Dalam waktu 5-7 hari telur akan menetas menjadi larva yang
berbentuk silindris yang terdiri dari 11-12 segmen. Untuk berubah bentuk menjadi pupa
yang membutuhkan waktu beberapa bulan lamanya, larva harus berganti kulit 4-9 kali.
Pupa dalam waktu 5-21 hari akan berkembang menjadi lalat dewasa yang dapat hidup di
alam selama 8 minggu. Terdapat dua genus famili Tabanidae yang penting yaitu Tabanus
dan Chrysops.

Anatomi dan morfologi. Ukuran tubuh Tabanidae antara 6-25 mm, mempunyai kepala
berukuran besar dengan antena terdiri dari 3 segmen. Larva dengan badan berbentuk
silindris yang terdiri dari 11-12 segmen mempunyai kepala amat kecil.
Tabanus adalah lalat berukuran besar, mempunyai antena dengan segmen ke-3 yang
bentuknya melengkung, sedangkan sayapnya tampak bersih tanpa bercak.
335

Chrysops yang ukuran tubuhnya lebih kecil dari Tabanus, mempunyai antena dengan
antena segmen ke-3 yang berbentuk lurus. Chrysops mempunyai sayap yang khas karena
mempunyai bercak yang berbentuk seperti pita (band-form).

Gambar 190. Tabanidae


Tabanus (kiri) dan Chrysops (kanan)
(Sumber: Gayle and Jeanell Strickland Iowa State University
http://www.biology.ualberta.ca/bscejournal)

Tabanidae sebagai penyebab dan penular penyakit. Famili Tabanidae gigitannya


terasa sangat nyeri dan menimbulkan perdarahan di tempat gigitan. Tabanus dapat
menularkan penyakit anthrax dan tripanosomiasis pada hewan, sedangkan Chrysops
menularkan cacing Loa-loa dan penyakit tularemia.

Pemberantasan Tabanidae. Untuk memberantas famili Tabanidae dapat digunakan


insektisida organofosfat misalnya diazinon dan piretroid misalnya permethrin.
336

CYCLORRPHAPHAxxx

Terdapat enam famili penting yang menjadi anggota subordo Cyclorrhapha, yaitu famili
Muscidae, famili Calliphoridae, famili Oestridae, famili Gasterophilidae, famili
Chloropidae dan famili Sarcophagidae.

Muscidae
Famili Muscidae merupakan famili terpenting subordo Cyclorrhapha. Terdapat 2
kelompok famili Muscidae, yaitu kelompok lalat pengisap darah ( blood-sucking flies )
dan kelompok lalat yang tidak mengisap darah (non blood sucking flies). Glossina dan
Stomoxys termasuk kelompok lalat pengisap darah, sedangkan Musca, Fannia dan
Muscina termasuk famili Muscidae yang tidak mengisap darah.

Lalat pengisap darah

Glossina. Lalat pengisap darah yang dikenal sebagai lalat tsetse ini tersebar di Afrika dan
Arab bagian Selatan. Glossina yang hanya mengisap darah pada waktu siang hari ini
tidak bertelur, melainkan melahirkan larva (larviparous) yang dalam waktu 1 jam akan
berubah menjadi bentuk pupa. Pupa dalam waktu 3 minggu sampai 60 hari akan berubah
bentuk menjadi lalat dewasa yang dapat hidup di alam sampai 1 tahun lamanya.
Glossina merupakan vektor penular baik secara biologis maupun secara mekanis dari
Trypanosoma gambiense dan Trypanosoma rhodesiense,
Lalat yang ukuran tubuhnya sedikit lebih besar dari ukuran lalat rumah (Musca
domestica) ini berwarna kecoklatan. Glossina mempunyai mulut yang probosisnya
berbentuk sangkur dengan pangkal probosis tampak membesar. Jika sedang tidak
digunakan probosis akan mengarah horizontal ke depan.. Pada waktu istirahat sayap
Glossina tampak saling menyilang seperti mata gunting.
337

Gambar 191. Famili Muscidae pengisap darah


a. Glossina b. Stomoxys
(URL: http://cal.vet.upenn.edu/projects/paraav)

Stomoxys. Stomoxys yang dikenal juga sebagai lalat kandang (stable fly), ukuran
badannya sebesar lalat rumah ini, tetapi perutnya lebih lebar dibanding lalat rumah. Lalat
yang probosisnya berbentuk sangkur berwarna hitam ini tersebar luas di seluruh dunia.
Untuk dapat bertelur, Stomoxys harus lebih dahulu beberapa kali mengisap darah
mangsanya. Telur akan menetas menjadi larva dalam waktu 2-5 hari, dan 3 minggu
kemudian larva akan berubah bentuk menjadi pupa. Dalam waktu 9-13 hari pupa akan
berkembang menjadi lalat dewasa yang dapat hidup di alam sampai 20 hari lamanya.
Baik lalat betina maupun lalat jantan mengisap darah pada waktu siang hari. Sebagai
tempat untuk berkembang biak Stomoxys membutuhkan tempat-tempat yang lembab dan
basah, tanaman air, sampah atau kotoran hewan.
Stomoxys yang gigitannya sangat menyakitkan ini merupakan vektor penting
dalam penularan penyakit surra yang disebabkan oleh Trypanosoma evansi yang banyak
menyebabkan kematian kuda. Lalat ini juga merupakan vektor mekanis pada penularan
penyakit anthrax, tetanus, dan yellow fever, serta dapat menimbulkan traumatic myiasis
atau enteric pseudo myiasis pada manusia.
338

Pemberantasan lalat pengisap darah. Insektisida piretroid misalnya deltamethrin


digunakan baik untuk lalat yang ada di lapangan, maupun melalui dipping pada hewan
ternak.

Lalat tidak mengisap darah

Musca. Terdapat dua spesies Musca yang penting Indonesia, yaitu Musca sorbens dan
Musca domestica. Sebagai tempat berkembang biak Musca menyukai lahan yang
mengandung sisa-sisa bahan organik dan tinja kuda.
Seekor lalat betina yang dapat hidup di alam sampai 3 bulan lamanya, sejak
berumur 2 hari sudah mampu mengeluarkan 120 butir telur setiap kali bertelur. Dalam
waktu satu hari, telur akan menetas menjadi larva yang mempunyai 12 segmen. Sesudah
3 kali berganti kulit, dalam waktu 1 minggu larva berubah menjadi pupa. Antara 3-6 hari
kemudian pupa akan berubah menjadi lalat dewasa.
Lalat dewasa berwarna abu-abu kehitaman, berukuran panjang antara 6 sampai 9 mm,
mempunyai 4 garis gelap longitudinal di punggungnya. Antena mempunyai arista yang
berambut. Tubuh lalat terutama kakinya tertutup bulu-bulu yang memudahkan
mikroorganisme terbawa oleh lalat. Selain itu, sebelum makan lalat selalu memuntahkan
cairan dari mulutnya dan menyukai mata dan daerah sikitar mata.
Penyakit-penyakit pencernaan dapat ditularkan secara mekanis oleh lalat,
misalnya bakteria usus (Salmonella, Shigella, dan Escherichia coli), cacing usus dan
protozoa (misalnya Ascaris lumbricoides, cacing tambang, Trichuris trichiura, Taenia
saginata, Taenia solium, Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, dan Balantidium coli),
serta poliovirus, enterovirus dan jamur Aspergillus. Larva lalat yang tercemar
mikroorganisme misalnya telur cacing, spora anthrax atau spora Clostridium tetani, dapat
tetap terbawa pada waktu larva berubah menjadi stadium dewasa. Selain itu Treponema
pertenue penyebab framboesia dan Mycobacterium tuberculosis dapat ditularkan oleh
lalat. Selain menularkan penyakit,Musca juga dapat menyebabkan miasis.
339

Fannia. Fannia yang lebih kecil ukurannya dari pada Musca ini mempunyai antena arista
yang tidak berambut, halter yang berwarna kuning dan kaki yang berwarna hitam. Sayap
mempunyai vena longitudinal ke-3 dan ke-4 yang berjauhan letaknya.
Lalat ini dapat menyebabkan berbagai macam miasis, misalnya gastric myiasis, intestinal
myiasis dan urogenital myiasis. Gastric myiasis menyebabkan mual, muntah, nyeri perut
dan vertigo, sedangkan intestinal myiasis dapat menimbulkan nyeri perut, diare dan
perdarahan anus. Disuri, piuri, hematuri dan albuminuri yang terjadi dapat merupakan
gejala klinis dari urogenital myiasis.

Gambar 192. Famili Muscidae yang tidak mengisap darah


(a). Musca (b) Fannia
(URL: http://www.ento.csiro.au/aicn/images)

Calliphoridae
Famili Calliphoridae yang disebut juga Blow-flies dan tersebar luas di dunia
adalah lalat berukuran sedang sampai besar dengan tubuh yang berwarna mengkilat.
Lalat yang tidak mengisap darah ini larvanya dapat menimbulkan miasis. Blow-flies
merupakan vektor mekanis penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri usus, parasit
usus, polio, frambusia, dan tuberkulosis. Lucilia, Chrysomyia dan Calliphora adalah
genus-genus yang penting dalam famili Calliphoridae.

Lucilia. Genus lalat yang dikenal sebagai Green-bottle flies ini berwarna hijau metalik
kebiruan, mempunyai tubuh berukuran sedang. Induk lalat meletakkan telurnya pada
daging busuk atau bangkai hewan, pada luka terbuka atau di dalam lubang-lubang tubuh
340

lain yang berbau busuk. Larva Lucilia dapat menyebabkan miasis kulit, miasis intestinal,
dan miasis urogenital.

Chrysomyia. Chrysomyia termasuk lalat berukuran sedang dengan badan berwarna hijau
mengkilat dan sayap jernih yang mempunyai venasi jelas. Pada abdomen terdapat garis-
garis transversal. Miasis mata, miasis tulang dan berbagai miasis organ lainnya dapat
ditimbulkan oleh lalat ini yang menyukai luka terbuka yang basah.

Calliphora. Lalat ini dikenal sebagai blue-bottle flies, berwarna biru metalik, mempunyai
badan yang berukuran besar. Untuk berkembang biak lalat ini menyukai bangkai hewan
dan dapat menyebabkan miasis kulit, miasis intestinal, dan miasis urogenital.

Gambar 193. Famili Calliphoridae


(URL: http://wpcontent.answers.com/ ; http://upload.wikimedia.org/)

Oestridae
Terdapat 3 genus yang penting dalam famili ini, yaitu genus Oestrus, Dermatobia
dan Hypoderma.
341

Oestrus. Tubuh lalat yang banyak berbulu ini berukuran lebih kecil dari ukuran tubuh
tawon madu, berwarna kuning sampai abu-abu kecoklatan. Lalat ini disebut juga sebagai
sheep bot-fly karena larvanya diletakkan di dalam lubang-lubang badan domba. Larva
yang diletakkan di dalam rongga mata dapat melakukan migrasi sehingga mencapai
hidung, sinus dan faring. Daerah sebaran lalat ini luas di seluruh dunia.

Dermatobia. Dermatobia hominis yang sering disebut sebagai human bot-fly, lalat
dewasanya mempunyai panjang tubuh sekitar 15 mm. Badan lalat berwarna abu-abu
kecoklatan, sedangkan bagian depan kepalanya berwarna merah jingga, begitu juga
warna kakinya. Telur lalat ini dapat melekat pada badan hospes dengan perantaraan
serangga lain, misalnya nyamuk, Stomoxys, atau caplak (ticks). Dermatobia hominis
dapat menimbulkan miasis kulit karena larvanya dapat menembus kulit yang sehat.

Hypoderma. Hypoderma yang bentuknya mirip lebah ini merupakan parasit pada sapi
karena meletakkan telurnya pada rambut hewan ini. Larva yang menetas akan menembus
kulit, lalu mengadakan migrasi ke dalam jaringan dan dapat mencapai tempat yang jauh
dari tempat asal larva, misalnya larva yang berasal dari daerah kulit paha dapat
mengadakan migrasi sampai ke kulit kepala.

Gambar 194. Oestridae : (a) Oestrus (b) Dermatobia (c) Hypoderma


(URL: http://insects.ufv.br/entomologia/ent; http://www.bvs.sld.au/restas/san;
http://www.nobodyhere.com/just ).
342

Gasterophilidae
Gasterophilus atau horse bot-fly adalah anggota famili Gasterophilidae yang sebenarnya
secara alami merupakan parasit pada kuda. Larva lalat ini hidup di dalam usus kuda
sesudah tertelan melalui mulut atau sesudah larva menembus kulit. Pada manusia larva
Gasterophilus dapat dijumpai berada di jaringan subkutan dan menimbulkan miasis yang
mirip creeping eruption yang ditimbulkan oleh larva Ancylostoma braziliensis. Karena itu
miasis ini disebut creeping cutaneous myiasis.

Gambar 195. Gasterophilus dewasa


(URL: http://www.ento.csiro.au/aien/images)

Chloropidae
Salah satu genus famili ini adalah Hippelates lalat kecil berwarna hitam yang berukuran
sekitar 2 mm dan mempunyai kaki berwarna kuning. Hippelates menyukai nanah, darah,
lemak dan sekresi mata, dan dapat menyebabkan luka pada membran mukosa sehingga
dapat menjadi vektor mekanis pada penularan epidemic conjunctivitis, frambusia,
trachoma dan ulcus tropicum.
343

Gambar 196. Hippelates


(URL: http://www.cedarcreek.umn.edu )

Sarcophagidae
Famili lalat yang sering disebut sebagai lalat daging ini umumnya berwarna abu-abu
dengan bintik-bintik kuning yang terdapat pada abdomen. Pada permukaan dorsal dari
toraks terdapat garis longitudinal, sedangkan di permukaan dorsal abdomen terdapat
gambaran mirip papan catur. Termasuk dalam famili Sarcophagidae adalah Sarcophaga
dan Wohlfahrtia.

Sarcophaga. Tubuh lalat ini berukuran besar dengan panjang badan yang dapat mencapai
14 mm. Lalat ini menyukai kotoran hewan, tetapi madu dari bunga juga dimakannya.
Sarcophaga dapat menyebabkan miasis kulit, miasis hidung dan sinus, miasis pada
jaringan, miasis vagina dan miasis usus.

Wohlfahrtia. Wohlfahrtia adalah lalat yang larviparous artinya melahirkan larva yang
dapat menembus kulit yang sehat. Pada abdomen lalat dewasa terdapat gambaran papan
catur yang berbentuk titik-titik hitam. Wohlfahrtia dapat menimbulkan miasis kulit,
miasis mata, miasis hidung, miasis telinga, miasis vagina, miasis lidah dan miasis usus.
344

Gambar 197. (a) Sarcophaga (b) Wohlfahrtia


(URL: http://www.glaucus.org.uk/Fly/-;
http://nathhistoric.bio.uci.edu/diptera)

MIASIS

Infestasi larva lalat pada jaringan atau organ tubuh manusia atau hewan yang masih hidup
disebut miasis (myiasis). Adanya larva lalat pada jenasah atau bangkai hewan yang sudah
membusuk bukanlah miasis.
Sesuai dengan sifat hidup larva lalat yang menjadi penyebabnya, miasis
dikelompokkan menjadi miasis spesifik atau obligatory myiasis, miasis semi spesifik atau
facultative myiasis, dan miasis eksidental (accidental myiasis).

Miasis spesifik. Miasis spesifik adalah miasis yang disebabkan oleh larva lalat yang
harus hidup pada jaringan atau organ tubuh hewan yang belum mati. Termasuk dalam
kelompok ini adalah larva Gasterophilus, Callitroga, Chrysomyia, Dermatobia,
Wohlfarthia dan Hypoderma.
345

Gambar 198. a. Larva Gasterophilus b. Larva Dermatobia


(URL: http://course.winona.edu/kbates)

Miasis semispesifik. Larva lalat penyebab miasis semispesifik sebenarnya secara alami
meletakkan telur atau larvanya pada daging atau tumbuhan yang sudah busuk, namun
kadang-kadang telur diletakkan oleh induk lalat pada jaringan hewan atau tanaman yang
masih sehat. Larva penyebab miasis semispesifik adalah Fannia, Musca, Calliphora,
Lucilia, Sarcophaga, Phormia dan Phaenicia

Gambar 199. Larva lalat penyebab miasis semispesifik


(URL: http://www.landcareresearch.co.nr/research/biosystematcs
http://www.livingwithbugs.com/images/flylarva )
346

Miasis eksidental. Pada umumnya secara alami induk lalat meletakkan telurnya pada
sampah-sampah organik atau makanan. Jika telur tersebut termakan oleh manusia atau
hewan maka di dalam usus telur akan menetas dan larva yang keluar dapat masuk ke
dalam jaringan atau organ sehingga menyebabkan terjadinya miasis.

Miasis organ dan jaringan. Sesuai dengan jenis organ atau jaringan tubuh tempat
terjadinya miasis, maka miasis digolongkan menjadi miasis usus (intestinal myiasis),
miasis saluran kencing (urinary myiasis), miasis kulit (cutaneous myiasis), miasis mata
(ophthalmic myiasis), dan miasis hidung (nasal myiasis) dan miasis jaringan lainnya.

Intestinal myiasis. Miasis usus atau enteric myiasis terjadi karena telur atau larva
lalat tertelan bersama makanan atau minuman misalnya daging atau keju dingin.
Miasis usus yang disebabkan oleh Muscidae dan Calliphoridae, yang tertelan
adalah telur lalat, sedangkan pada miasis usus oleh Sarcophagidae yang tertelan
adalah larva lalat. Miasis usus juga dapat terjadi jika induk lalat meletakkan
telurnya di daerah sekitar anus dan larva yang menetas kemudian akan masuk ke
dalam saluran usus.

Urinary myiasis. Akibat tercemar dengan telur atau larva lalat, alat kedokteran
yang dimasukkan ke dalam uretra penderita laki-laki dapat menjadi perantara
terjadinya miasis. Pada wanita larva lalat dapat langsung masuk ke dalam saluran
kencing melalui alat kelamin luar.

Larva penyebab miasis jaringan. Pada satu jenis jaringan atau organ miasis dapat
disebabkan oleh berbagai jenis larva lalat. Sebaliknya satu jenis larva lalat dapat
menimbulkan miasis pada beberapa jenis organ atau jaringan.
347

Tabel 20. Lalat dan jenis miasis

Famili lalat Genus Jenis miasis


Muscidae Musca 8,9
Fannia 8,9
Muscina 8,9

Gasterophilidae Gasterophilus 1,8


Calliphoridae Callitroga (Cochliomyia) 1,6
Chrysomyia 1,3,4,5,6,8
Lucilia 8,9
Calliphora 1,8,9

Sarcophagidae Sarcophaga 1,3,8,9


Wohlfhartia 1,3,4,5,6,7.8

Chloropidae Hippelates 3
Oestridae Oestrus 1,3,4,10
Dermatobia 1
Hypoderma 1,2,3

Keterangan jenis miasis


1. kulit, 2. subkutan, 3.mata, 4.nasal, 5. telinga, 6.vagina, 7. lidah, 8. intestinal, 9. urinary,
10. rongga mulut.

Anatomi dan morfologi larva lalat. Larva lalat yang diperiksa diambil dari tempat larva
ditemukan pada jaringan atau organ. Pada pemeriksaan anatomi dan morfologi lalat yang
harus diperhatikan adalah bentuk dari spirakel anterior, lempeng stigma dan spirakel
posterior, karena struktur-struktur larva tersebut untuk setiap spesies lalat mempunyai
bentuk yang berbeda.
348

Gambar 200. Morfologi luar larva lalat


(Sumber: Thyssen,2007. Biological Research)

Gambar. 201. Bentuk-bentuk spirakel posterior


1.Musca 2. Stomoxys 3. Muscina 4. Ophyra 5. Phormia
6. Phaenicia 7. Calliphora
(Sumber:Novartis Animal Health)
349

ARACHNIDA

Kelas Arachnida penting dalam bidang kesehatan karena selain ada yang dapat
menimbulkan penyakit secara langsung akibat toksin dan iritan yang dihasilkannya, ada
juga yang dapat menjadi vektor penular berbagai macam penyakit. Laba-laba,
kalajengking (scorpion) dan caplak (ticks) ada yang menghasilkan toksin yang dapat
menimbulkan gejala keracunan lokal maupun gejala sistemik, bahkan dapat
menyebabkan kematian penderita. Sarcoptes scabiei adalah tungau (mites) yang dapat
menyebabkan penyakit kulit ( skabies, kudis, gudig), sedangkan Dermatophagoides
adalah tungau debu rumah (house dust mites) yang merupakan penyebab utama asma
bronkiale akibat alergi pada penderita yang sensitif. Banyak caplak dan tungau yang
dapat menularkan penyakit-penyakit protozoa, riketsia, virus, bakteria, atau spirochaeta.

Anatomi dan morfologi arachnida. Arachnida mempunyai tubuh yang terdiri dari dua
segmen atau bagian, yaitu segmen cephalothorax dan segmen abdomen. Segmen
cephalothorax merupakan fusi antara segmen kepala dan segmen toraks. Arachnida
dewasa umumnya mempunyai 4 pasang kaki, sedangkan larva caplak dan sebagian besar
larva mites hanya mempunyai 3 pasang kaki. Arachnida tidak mempunyai sayap dan
tidak memiliki antena. Anggota kelas arachnida mempunyai mulut yang dilengkapi
dengan satu pasang rahang penusuk (chelicera) dan satu pasang pedipalpus yang
berfungsi untuk menangkap mangsa atau mempertahankan diri. Caplak dan tungau
mempunyai hypostome.
Alat pernapasan arachnida mirip sistem respirasi insekta, yaitu sistem tabung
hawa (trachea), namun hanya mempunyai satu pasang lubang hawa atau spirakel
(spiracle). Laba-laba memiliki sistem pernapasan gabungani antara sistem trakea dan
sistem paru-paru buku (lung-book). Laba-laba mudah dibedakan jantan betinanya (sexual
dimorphisme) karena yang jantan ukurannya jauh lebih kecil dari pada laba-laba betina.
Pada umumnya anggota ordo dalam kelas Arachnida bertelur, kecuali scorpion
dan beberapa spesies mites bersifat viviparous. Umur arachnida dewasa umumnya
350

panjang. Caplak misalnya dapat hidup sampai 14 tahun lamanya, dan dalam keadaan
lapar tanpa makanan binatang ini dapat bertahan hidup sampai beberapa tahun lamanya.
Empat ordo penting dalam kelas Arachnida adalah ordo Scorpionida, ordo Araneida, ordo
Acarina dan ordo Pedipalpida.

SCORPIONIDA
Kalajengking (scorpion) adalah hewan malam yang banyak dijumpai di daerah yang
beriklim panas. Pada waktu siang hari hewan ini hidup bersembunyi di bawah batu, kayu,
pasir atau di dalam tanah. Scorpion bernapas dengan paru=paru buku (booklungs) dan
berkembang biak secara ovovivipar.
Segmentasi abdomen scorpion tampak jelas. Segmen terujung abdomen
mempunyai perpanjangan yang berbentuk seperti ekor dan berakhir sebagai organ
penyengat. Scorpion mempunyai pedipalp yang besar dengan 2 segmen terakhir
berbentuk seperti alat penjepit. Scorpion adalah predator berbagai macam hewan kecil
antara lain serangga, laba-laba, diplopoda dan rodensia yang kecil ukurannya.

PEDIPALPIDA
Ordo Pedipalpida yang juga disebut whip scorpion ini adalah binatang yang hidup malam
hari yang memangsa cacing dan serangga kecil. Pada waktu siang hari hewan ini
menyembunyikan diri di bawah batu atau tempat terlindung lainnya. Hewan ini
melindungi dirinya dari pemangsa lainnya dengan mengeluarkan cairan bersifat asam
berbau menyengat yang disemprotkan dari pangkal ekornya yang dapat menyebabkan
iritasi kulit.
Pedipalpida mempunyai tubuh mirip scorpion, namun berbeda bentuk pedipalpnya. Kaki
pertamanya mirip antenna sedangkan di ujung abdomen terdapat bentuk seperti cambuk
yang tidak berfungsi sebagai alat sengat.
351

Gambar 202 . (a) Scorpion (b) Whip scorpion


(URL:http://www.healthstones.com)

ARANEIDA
Araneida yang dikenal sebagai laba-laba adalah hewan pemakan daging (carnivora) yang
merupakan predator serangga atau hewan kecil lainnya. Laba-laba hidup di dalam
lubang-lubang batu, di bawah jembatan, dan tempat gelap lainnya misalnya di bagian
gelap kamar mandi dan bersembunyi di lekukan kakus latrin. Araneida ada yang
gigitannya beracun, tiga diantaranya adalah Latrodectus mactans atau Blackwidow
spider, Tarantula dan Loxosceles..

Anatomi dan morfologi. Laba-laba mempunyai segmen abdomen yang tidak beruas-
ruas. Segmen abdomen (opisthosome) dan segmen cephalothorax (prosome) dipisahkan
oleh batang sempit (pedicel) yang menghubungkan kedua segmen tersebut. Laba-laba
mempunyai rahang penusuk (chelicera) yang mempunyai kelenjar racun yang terbuka di
dekat puncak pada ruas yang kedua. Terdapat 4 pasang kaki yang dimiliki oleh laba-laba
dan pedipalp sering dikira adalah pasangan kaki yang kelima. Pada ujung abdomen
terdapat kelenjar yang menghasilkan benang sutra untuk membuat jaring(spinnerets).
352

Gambar 203. Diagram Araneida


(URL: http://www.enchantedlearning.com/arachnids)

ACARINA

Anatomi dan morfologi. Abdomen Acarina tidak mempunyai segmen. Selain itu segmen
cephalothorax dan segmen abdomen telah mengadakan fusi, sehingga badan ordo ini
tampak menjadi satu kantung. Ordo Acarina berukuran kecil, kepalanya telah mengalami
kemunduran, tidak mempunyai antena dan tidak mempunyai sayap. Pada ordo Acarina
terdapat dua kelompok besar yaitu golongan caplak (ticks) dan golongan tungau (mites)
yang mudah dibedakan karena berbeda ukuran tubuhnya, panjangnya rambut badan,
struktur kulit badannya dan berbeda bentuk mulut dan jenis gigi-giginya.
Caplak (ticks) berukuran besar sehingga dapat dilihat dengan mata, mempunyai
kulit badan tebal yang tidak tembus sinar, dan umumnya tidak memiliki rambut. Mulut
caplak yang mudah dilihat dengan mikroskop memiliki gigi-gigi pemotong dan gigi-gigi
untuk melekatkan diri pada tubuh hospes.
353

Tungau (mites) yang berukuran kecil (mikroskopis) hanya dapat dilihat dengan
menggunakan alat pembesar atau mikroskop. Mites mempunyai kulit tubuh sangat tipis
yang tembus sinar. Mulut mites atau hypostoma tidak bergigi, letaknya tersembunyi
sehingga sukar dilihat.

Ticks (caplak)
Anatomi dan morfologi. Caplak biasanya tidak mempunyai mata, kadang-kadang hanya
memiliki mata sederhana (simple eye). Pada mulut ticks terdapat gig-gigi pemotong
(chelicera) yang terletak di bagian dorsal sedangkan gigi untuk melekat terdapat di mulut
bagian ventral (hypostome). Caplak juga mempunyai palpus yang berfungsi untuk
menyangga badannya pada waktu hewan ini menggigit mangsanya.

Gambar 204. Diagram morfologi Ticks dilihat dari arah dorsal


(Sumber: University of Lincoln, Course)
354

Dua famili ticks yang penting adalah famili Ixodidae dan famili Argasidae. Famili
Ixodidae adalah keluarga caplak keras (hard ticks) yang mempunyai penebalan kulit
tubuh di bagian dorsal, yang disebut sebagai skutum (scutum). Famili Argasidae adalah
keluarga caplak lunak (soft ticks) yang tubuh bagian dorsalnya tidak menebal.
Perbedaan jenis kelamin (sexual dimorphisme) pada famil Ixodidae adalah nyata
karena ticks jantan mudah dibedakan dari ticks betina. Ixodidae jantan mudah dibedakan
dari caplak betina karena skutumnya menutup seluruh bagian dorsal tubuh, sedangkan
pada caplak betina skutum hanya terdapat di bagian anterior tubuh bagian dorsal. Sexual
dimorphisme pada caplak lunak (famili Argasidae) tidaklah nyata karena pada caplak
lunak tidak mempunyai skutum, baik caplak jantan maupun caplak betina.
Kepala atau kapitulum (capitulum) caplak keras terletak di bagian anterior badan
sehingga mudah terlihat dari arah dorsal, sedangkan pada caplak lunak kapitulum terletak
di bagian ventral sehingga tidak tampak dari arah dorsal.

Skutum

Hard tick

Gambar 205. Diferensiasi soft tick dan hard tick


Kapitulum (Sumber: T.V. Wilson: How ticks work )
tampak URL: http://www.static.howatuffwork.com/gif/tick
mm
355

Tabel 21. Diferensiasi famili Ixodidae dan famili Argasidae

Ixodidae Argasidae
(Hard ticks) (Soft ticks)

Skutum Ada Tidak ada

Sexual dimorfisme Jelas Tidak jelas

Kapitulum Terletak anterior, mudah Terletak ventral, tidak


dilihat dari arah dorsal. tampak dari arah dorsal

Fase nimfa Satu fase Lebih dari satu fase

Daur hidup caplak. Mirip dengan metamorfosis sederhana (simple metamorphosis),


daur hidup ticks terdiri dari telur, bentuk larva, nimfa dan bentuk dewasa. Stadium larva,
nimfa dan bentuk dewasa mirip bentuknya, hanya berbeda ukuran dan jumlah kaki-
kakinya. Bentuk nimfa dan bentuk dewasa caplak memiliki 4 pasang kaki sedangkan
bentuk larva hanya mempunyai 3 pasang kaki. Ukuran badan ticks dewasa lebih besar
dari pada ukuran nimfa.

Nimfa yang selama daur hidupnya mengalami satu atau beberapa kali pergantian kulit,
belum jelas organ seksualnya sehingga sukar dibedakan jantan betinanya. Nimfa Ixodidae
hanyamengalami satu kali pergatian kulit nimfa, sedang pada famili Argasidae pergantian
kulit nimfa terjadi beberapa kali.
356

Gambar 206. Daur hidup caplak


(URL: http://www.static.howatuffwork.com/gif/tick)

Hospes caplak. Ticks dapat hidup pada bermacam-macam hospes antara lain mamalia,
rodensia, unggas dan manusia. Sesuai dengan jumlah hospes yang diperlukan untuk
melengkapi daur hidupnya, dikenal one host ticks, two host ticks, three host ticks dan
many host ticks.

One host ticks. Ticks ini hanya memerlukan satu jenis hospes yang dapat menjadi tempat
hidup semua jenis stadiumnya, baik stadium larva, nimfa maupun stadium dewasanya.
Sebagai contoh adalah Boophilus annulatus.

Two host ticks. Pada two host ticks, caplak stadium larva dan stadium nimfa hidup pada
hospes pertama, sedangkan caplak dewasa hidup pada hospes kedua yang berbeda
jenisnya dari hospes pertama. Rhipicephalus adalah contoh two host ticks.
357

Three host ticks. Caplak ini membutuhkan tiga jenis hospes yang berbeda untuk
melengkapi daur hidupnya: larva hidup pada hospes pertama, nimfa pada hospes kedua
dan stadium dewasa hidup pada hospes ketiga. Contoh three host ticks adalah
Dermacentor andersoni dan Ixodes ricinus.

Many host ticks. Kelompok caplak ini membutuhkan lebih dari tiga jenis hospes untuk
melengkapi daur hidupnya. Selain larva dan caplak dewasa yang hidup pada hospes yang
berbeda jenisnya, setiap fase nimfa yang mengalami pergantian kulit harus hidup pada
hospes yang berbeda jenisnya. Ornithodoros hermsi adalah caplak yang termasuk many
host ticks.

Caplak dan penyakit. Secara langsung caplak dapat menimbulkan dermatosis dan
beberapa jenis ticks dapat menghasilkan toksin. Selain itu caplak juga dapat menularkan
berbagai macam mikroorganisme penyebab penyakit. Ixovotoxin yang dihasilkan oleh
beberapa jenis ticks dapat menyebabkan terjadinya kelumpuhan saraf (ticks paralyse),
berbagai gejala sistemik dan bahkan dapat menyebabkan kematian penderita.
Dalam menularkan penyakit, ticks berperan pada transtadial transmission atau
transovarial transmission. Dalam transtadial transmission, setiap stadium ticks baik
bentuk larva, bentuk nimfa maupun bentuk dewasa mampu menularkan penyakit.
Sedangkan pada transovarial transmission, induk ticks yang terinfeksi organisme
penyebab penyakit melalui sel-sel telur ovarium yang terinfeksi dapat menularkannya
pada generasi ticks yang berikutnya.

Penyakit yang ditularkan caplak. Ixodidae maupun Argasidae dapat menularkan virus,
riketsia, bakteria atau protozoa penyebab penyakit.

1. Virus. Arthropods borne virus (Arbovirus) yang dapat ditularkan oleh ticks adalah
arbovirus grup B yang menjadi penyebab Kyasanur Forest Disease, Russian Spring
Summer Encephalitis dan Omsk Hemorrhagic Fever. Kyasanur Forest Disease
ditularkan oleh Ixodes dan Haemaphysalis, Russian Spring Summer Encephalitis
358

ditularkan oleh Ixodes, Haemaphysalis dan Dermacentor, dan Omsk Hemorrhagic


Fever ditularkan oleh Dermacentor dan Ixodes.
Beberapa jenis virus lain yang termasuk ungrouped viruses dapat juga ditularkan
oleh ticks.

2. Rickettsia. Ticks merupakan sumber utama penularan riketsia (essential reservoir


host) karena riketsia hidup lebih lama di dalam tubuh ticks dari pada di dalam tubuh
manusia penderita. Rocky Mountain Spotted Fever adalah penyakit riketsia yang
ditularkan oleh Dermacentor, Epidemic Typhus ditularkan oleh Amblyomma, dan
Queensland Tick Typhus ditularkan oleh Ixodes.

3. Bakteria. Relapsing Fever yang disebabkan oleh Borrelia recurrentis ditularkan oleh
Ornithodoros, dan tularemia yang disebabkan oleh Pasteurella tularensis ditularkan
oleh berbagai jenis ticks, misalnya Dermacentor, Rhipicephalus, Amblyomma dan
Haemaphysalis.

4. Protozoa. Caplak dapat menularkan berbagai jenis protozoa yang hidup di dalam
darah hewan, misalnya piroplasmosis yang disebabkan oleh Babesia dapat ditularkan
oleh Boophilus, Haemaphysalis, Rhipicephalus, Dermacentor, Anocentor dan
Hyalomma. Selain itu, Eastcoast Fever yang disebabkan oleh Theileria parva dapat
ditularkan oleh Rhipicephalus dan Haemaphysalis, sedangkan anaplasmosis yang
disebabkan oleh Anaplasma marginale dapat ditularkan oleh Boophilus,
Rhipicephalus, Ixodes, Hyalomma dan Dermacentor.
359

Gambar 207. Hard ticks (kiri) dan Soft ticks (kanan)


(URL: http://www.pathmicro.medsc.edu/parasitology)

Mites (tungau)
Anatomi dan morfologi tungau. Bentuk mites mirip ticks, ukurannya sangat kecil
(mikroskopis) sehingga harus dilihat dengan kaca pembesar atau mikroskop. Tubuhnya
terdiri dari satu segmen yang merupakan fusi segmen antara segmen abdomen dan
segmen cephalothorax. Mites dewasa dan nimfa mempunyai 4 pasang kaki, sedangkan
larva hanya memiliki 3 pasang kaki. Sebagian besar mites tidak mempunyai hypostoma,
kecuali Mesostigmata, dan tidak mempunyai mata atau hanya memiliki mata sederhana
(simple eyes). Sistem respirasi mites menggunakan trakea atau secara langsung menyerap
oksigen udara melalui permukaan tubuhnya yang lunak. Mites umumnya bertelur, kecuali

Daur hidup tungau. Mites umumnya bertelur, kecuali Pyemotes ventricosus yang
ovovivipar. Daur hidup mites yang umumnya berlangsung lengkap dalam waktu kurang
dari 4 minggu terdiri dari telur, bentuk larva, bentuk nimfa dan bentuk dewasa.

Tungau sebagai penyebab penyakit. Sebagian besar mites hidup bebas di alam (free
living), dan hanya sedikit yang dapat menimbulkan penyakit secara langsung atau mampu
menularkan penyakit pada manusia.
360

Penyebab langsung penyakit.. Mites secara langsung dapat menyebabkan kehilangan


darah (blood loss), akariasis, alergi dan dermatitis.
Blood loss. Kehilangan darah atau cairan tubuh umumnya hanya terjadi pada
hewan atau anak hewan yang terinfestasi tungau.
Akariasis. Infestasi mites dapat terjadi di dalam rongga telinga tengah dan telinga
bagian dalam, di dalam saluran napas dan paru, di dalam jaringan limfe, saluran
dan rongga hidung, serta sinus-sinus nasal.
Alergi. Akibat gigitan mites, orang-orang yang peka dapat mengalami alergi.
Selain itu akibat menghirup udara yang mengandung tungau debu rumah (house
dust mites, misalnya Dermatophagoides) orang-orang yang peka dapat mengalami
bersin-bersin atau asma bronkiale.
Dermatitis. Berbagai jenis mites, misalnya Sarcoptidae, Demodicidae, tungau
unggas, tungau tikus atau oleh larva Trombicula dapat menyebabkan dermatitis.

Dermatitis. Skabies (gudig, kudis) disebabkan oleh Sarcoptes scabiei var.scabiei yang
termasuk famili Sarcoptidae banyak dilaporkan dari Indonesia. Semua stadium parasit ini
dapat menimbulkan dermatitis pada manusia. Mites dewasa menggali parit di dalam
epidermis, menimbulkan rasa gatal yang hebat dan menyebabkan kerusakan kulit. Kulit
yang sering mengalami infestasi Sarcoptes adalah daerah interdigital, axilla, sekitar
umbilikus, skrotum, dan daerah areola mammae. Skabies umumnya berasal dari keluarga
miskin yang kurang menjaga kebersihan dirinya. Penularan skabies terjadi akibat
hubungan erat langsung dengan penderita, misalnya yang terjadi di panti asuhan, asrama
dan diantara anggota keluarga. Skabies sering diikuti infeksi sekunder, misalnya dengan
Staphyllococcus sehingga terjadi piodermi. Skabies dapat diobati dengan salep belerang,
atau benzoas benzylicus emulsion, sedangkan infeksi sekunder diobati dengan antibiotika
yang sesuai.
Demodex folliculorum juga dapat menimbulkan dermatitis. Tungau ini berbentuk
seperti cacing, berukuran antara 0.,1 mm dan 0,4 mm, mempunyai abdomen yang
bergaris-garis transversal. Tungau ini mempunyai 4 pasang kaki yang berukuran pendek,
semuanya terletak di bagian anterior tubuhnya. Demodex folliculorum hidup di dalam
folikel rambut dan kelenjar minyak (cebaceous glands) yang terdapat di daerah sekitar
361

hidung, kelopak mata dan kadang-kadang di kulit kepala bagian depan dan sekitar
papilla mammae. Akibat infestasi parasit ini pada kulit penderita terbentuk nodul,
komedo, dan mengalami pembesaran folikel rambut. Dermatitis akibat Demodex
folliculorum diobati dengan gamma benzene hexachloride (Kwell ointment).
Keluarga Dermanyssidae, Pyemotidae dan Acaridae yang hidup parasitik pada
unggas dan tikus, gigitannya dapat menimbulkan gatal-gatal yang hebat pada manusia
penderita. Larva Trombicula (chigger) selain menimbulkan gatal yang hebat (chigger
dermatitis), juga sering diikuti terjadinya infeksi sekunder yang menimbulkan pustula.

Gambar 208. Mites penyebab dermatitis.


(URL: http://www.thefoxwebsite.org)

Penyakit yang ditularkan oleh mites. Tungau dapat menularkan beberapa jenis
penyakit riketsia ( misalnya Rickettsial pox dan Scrub typhus) dan virus penyebab demam
berdarah.

Rickettsial pox. Penyakit yang gejalanya berupa demam dan nyeri otot ini disebabkan
oleh Rickettsia akari . Penularnya adalah stadium nimfa dan stadium dewasa
Liponyssoides sanguineus yang dalam keadaan alami merupakan parasit dari tikus rumah.
Penyebaran penyakit terjadi secara transovarial, sehingga mites menjadi sumber utama
infeksi riketsia ini.
362

Scrub Typhus. Penyakit ini disebabkan oleh Rickettsia tsutsugamushi yang pada manusia
menimbulkan gejala klinis berupa sakit kepala, apati, lemah badan menyeluruh, demam
menggigil, anoreksia, kongesti konjungtiva, bradikardi dan limfadenitis. Di tempat
gigitan larva tungau Trombicula (chigger) tampak adanya eschar yaitu lesi primer yang
semula berbentuk papul yang tidak nyeri kemudian pelan-pelan akan membesar sehingga
mencapai garis tengah 8-12 mm. Eschar lalu mengalami nekrosis sehingga berwarna
gelap, kemudian terbentuk ulkus dangkal yang jika sembuh akan meninggalkan bekas
luka. Penularan Scrub typhus terjadi secara transovarial dan hanya larva mites yang
dapat menjadi vektor penularnya. Trombicula yang larvanya berperan dalam penularan
Scrub typhius adalah Trombicula akamushi, T.deliensis, T.pallida, T.intermedia dan
T.scutellaris.

Gambar 209. Trombicula . (a) Tungau dewasa , (b) Larva (chigger)


(Sumber: FEHD, http://www.fehd.gov.hk)

Epidemic Hemorrhagic fever. Demam berdarah yang bersifat epidemik ini


penyebabnya adalah virus ini belum jelas kelompoknya.

Argentine Haemorrhagic fever. Virus penyebab penyakit ini juga belum jelas
taksonominya. Penyakit ini ditularkan oleh mites rodensia, yang terjadi melalui
bahan-bahan yang tercemar air seni dan tinja rodensia.
363

CRUSTACEA

Crustacea berperan di bidang kesehatan karena ada yang dapat bertindak sebagai hospes
perantara daur hidup cacing yang parasitik pada manusia. Superkelas yang hidup di
dalam air dan bernapas dengan insang ini mempunyai 2 pasang antena dan lebih dari 3
pasang rahang. Malacostraca dan Copepoda merupakan anggota kelas Eucrustacea yang
penting pada superkelas Crustacea.

Malacostraca
Hewan yang berukuran besar ini (makroskopis) badannya mempunyai 5 segmen
kepala, 8 segmen toraks, dan 7 segmen abdomen. Ordo Decapoda adalah anggota
Malacostraca yang mempunyai perisai (carapace) yang menutupi bagian toraks tempat
keluarnya 3 pasang maksilipeds dan 5 pasang kaki. Ketam dan udang air tawar serta
kepiting air payau merupakan anggota ordo Decapoda yang menjadi hospes perantara
yang kedua dari cacing Paragonimus westermani, sedangkan udang laut (prawn)
berperan dalam penularan cacing Angiostrongylus cantonensis.

Copepoda
Crustacea yang berukuran sangat kecil ini hanya dapat dilihat dengan mikroskop.
Organisme ini mempunyai 1 pasang maksila, dan 4-5 pasang kaki dan tidak mempunyai
carapace. Dalam subkelas ini, anggota yang penting adalah ordo Eucopepoda yang hidup
di air tawar atau air asin yang tenang dan mempunyai ciri khas, yaitu hewan betina selalu
membawa kantung telurnya. Hanya Eucopepoda yang hidup di air tawar dapat menjadi
hospes perantara parasit yang infektif pada manusia. Cyclops dan Diaptomus adalah
contoh Copepoda yang penting dalam bidang kesehatan. Cyclops adalah hospes perantara
berbagai jenis cacing misalnya Dracunculus medinensis, Gnathostoma spinigerum,
Diphyllobothrium latum dan Sparganum, sedangkan Diaptomus merupakan hospes
perantara cacing pita ikan (Diphyllobothrium latum).
364

Gambar 210. Crustacea : Eucopepoda (kiri) Decapoda (kanan)


(URL: http://www.cals.ncs.edu/course/ent525)

Tabel 22. Perbedaan Eucopepoda dan Decapoda

Eucopepoda Decapoda

Ukuran Sangat kecil (mikroskopis) Makroskpis

Carapace Tidak mempunyai Mempunyai

Maxilla 1 pasang 3 pasang

Kaki 4-5 pasang 5 pasang

Ciri khas lain: 1. Tidak mempunyai mata Mempunyai 5 segmen


majemuk. kepala, 8 segmen toraks dan
2. Hewan betina selalu 7 segmen abdomen
membawa kantung telur

Hospes perantara 1. D.latum 1. P.westermani


dari: 2. D.medinensis 2. A.cantonensis
3. G.spinigerum
365

MYRIAPODA

Terdapat dua ordo yang penting dalam kelas Myriapoda, yaitu ordo Chilopoda dan ordo
Diplopoda yang tubuhnya mempunyai banyak segmen. Morfologi kedua ordo berbeda
dalam hal jumlah kaki setiap segmen, jumlah spirakel pada tiap segmen, ada tidaknya
kelenjar racun, dan pada ada tidaknya gigi beracun. Myriapoda menyukai tempat hidup
yang lembab dan gelap, antara lain di bawah tumpukan batu atau kayu dan timbunan
sampah.

CHILOPODA

Hewan ini memiliki tubuh dengan banyak segmen, yang setiap segmennya mempunyai
satu pasang kaki dan satu pasang tabung hawa (spirakel). Kaki pertama chilopoda
berubah fungsi menjadi kuku beracun, tempat bermuaranya saluran racun yang untuk
setiap jenis Chilopoda berbeda kekuatan racunnya. Termasuk Chilopoda adalah
Centipedes (lipan, kelabang) yang bersifat karnivora yang menjadikan serangga dan
hewan kecil lainnya sebagai mangsanya.

DIPLOPODA

Ordo ini memiliki tubuh dengan banyak segmen, yang masing-masing segmennya
mempunyai dua pasang kaki dan dua pasang spirakel. Mulutnya tidak bertaring, tetapi
memiliki rahang penggigit. Termasuk Diplopoda adalah Millipedes (keluwing, kaki
seribu) yang tidak mempunyai kelenjar racun, tetapi segmen tubuhnya menghasilkan
sekresi berupa cairan yang dapat menimbulkan kelainan kulit (dermatitis). Millipedes
termasuk herbivora yang makan tumbuhan dan merupakan hospes perantara cacing pita
Hymenolepis diminuta.
366

Gambar 211. (a) Chilopoda (b) Diplopoda


(URL:http:www//biologyjunction.com/-/)

PENTASTOMIDA

Pentastomiasis infeksi oleh Pentastomida terutama dilaporkan dari daerah tropis dan
subtropis, antara lain dari Afrika, Timur Tengah, dan Asia Tenggara. Pentastomiasis
umumnya tidak menunjukkan gejala klinis (asimtomatis). Terdapat dua genus dari
subkelas Pentastomida yang penting, yaitu Linguatula dan Armillifer karena dapat
menimbulkan pentastomiasis viseral pada manusia. Pentastomida adalah parasit zoonosis
yang mempunyai bentuk tubuh seperti cacing karena tidak mempunyai tonjolan tubuh,
tidak bersegmen, tidak memiliki organ sirkulasi dan tidak mempunyai alat respirasi.
Organ-organ dalam tubuhnya tidak berkembang, kecuali organ reproduksi yang mengisi
sebagian besar rongga tubuhnya.
Parasit dewasa yang tidak mempunyai kaki ini hidup di dalam saluran napas
hewan karnivora, reptil, unggas dan mamalia. Pentastomida memiliki lima tonjolan
tubuh, yaitu satu yang berfungsi sebagai mulut dan dua pasang gigi atau kait yang
terdapat di dekat mulut yang berfungsi untuk melekatkan diri pada jaringan hospes. Larva
memiliki dua pasang kaki yang sangat pendek. Daur hidup parasit ini membutuhkan
hospes perantara, yaitu herbivora atau manusia.
367

Jika telur yang dikeluarkan oleh parasit dewasa tertelan hospes perantara bersama
makanan atau minuman, di dalam usus telur akan menetas menjadi larva yang kemudian
akan mengadakan migrasi menuju ke berbagai organ tubuh, misalnya hati, limpa, paru
dan kelenjar limfe, lalu membentuk kapsul di dalam organ-organ tersebut. Setelah
berganti kulit beberapa kali, kaki kaki parasit akan menghilang, dan terbentuklah stadium
nimfa yang infektif. Jika hospes perantara yang organ tubuhnya mengandung nimfa
dimakan oleh hospes definitif, parasit melakukan migrasi ke saluran pernapasan hospes
dan tumbuh menjadi parasit dewasa.

Linguatula serrata. Spesies ini dikenal sebagai "cacing lidah" karena bentuknya mirip
lidah. Infeksi parasit ini pada nasofaring manusia disebut linguatuliasis atau halzoun
syndrome yang terjadi sesudah makan lambung mentah, paru dan hati mentah kambing,
domba atau unta. Parasit yang terdapat di seluruh dunia ini hidup di dalam rongga hidung
dan saluran napas karnivora, misalnya anjing, kucing dan serigala, sedangkan herbivora
misalnya domba dan kambing dan kadang-kadang manusia, bertindak sebagai hospes
perantara. Umur parasit dapat mencapai 15 bulan lamanya di dalam tubuh hospes.
Kulit artropoda ini tampak bergaris-garis transversal. Parasit jantan berukuran
antara 1.8 cm dan 2 cm, sedangkan yang betina berukuran lebih besar, dengan panjang
antara 8 cm dan 13 cm. Telur berukuran sekitar 70 mikron. Parasit dapat menimbulkan
iritasi berat pada rongga hidung sehingga mengganggu pernapasan penderita dan
insomnia. Sesudah parasit mati, penderita akan sembuh dengan sendirinya.

Gambar 212. Linguatula serrata


(Sumber: Stanford University)
368

Armillifer armiillife. Parasit bentuk tubuhnya seperti untaian tasbih dengan larva mirip
artropoda dan nimfanya mirip cacing kecil. Hospes definitif Armillifer adalah ular dan
reptil lainnya,sedangkan bertindak sebagai hospes perantaranya adalah rodensia, mamalia
dan manusia. Larva primer parasit ini sesudah menetas di jaringan usus manusia akan
menembus dinding usus, mengadakan migrasi ke berbagai organ dan membentuk kista,
lalu berkembang menjadi larva stadium tiga. Kista dapat menimbulkan nyeri perut,
muntah, konstipasi, dan diare. Sesudah ekskistasi larva stadium tiga dapat menimbulkan
lesi pada hati, dinding usus dan peritoneum.

Pengobatan pentastomiasis. Hanya jika terjadi gejala klinis yang berat dilakukan
tindakan operasi untuk mengeluarkan larva parasit dari jaringan. Jika terjadi halzoun
syndrome jalan napas yang tersumbat harus di bersihkan dari gangguan parasit.

ARTROPODA BERACUN

Racun atau toksin yang dihasilkan oleh berbagai jenis artropoda dapat menimbulkan
iritasi atau gangguan pada manusia, baik yang bersifat lokal maupun sistemik. Gejala
yang timbul serta keluhan penderita dipengaruhi oleh kepekaan individu dan jenis racun
yang menjadi penyebabnya. Gejala klinis yang yang ditimbulkan oleh toksin kerapkali
sukar dibedakan dengan gejala alergi.
Berbagai kelas dan ordo artropoda dapat menghasilkan toksin yaitu ordo
Araneida (laba-laba), ordo Acarina (ticks dan mites: caplak dan tungau), ordo
Scorpionida (kalajengking atau scorpion), ordo Chilopoda (lipan atau centipedes) dan
ordo-ordo Coleoptera, Lepidoptera, Hymenoptera dan famili Reduviidae yang termasuk
anggota kelas Insecta.
Berdasar pada akibat yang ditimbulkannya terdapat empat jenis racun serangga,
yaitu toksin hemolitik (hemolytic toxin) yang menimbulkan hemolisis darah penderita,
369

toksin hemoragik (hemorrhagic toxin) yang menimbulkan perdarahan, toksin neurotoksik


(neurotoxic toxin) yang menimbulkan gangguan sistem saraf dan vesicating toxin, larutan
yang menimbulkan iritasi dan dermatitis pada kulit.
Artropoda beracun memasukkan toksin ke dalam tubuh penderita melalui gigitan
serangga (misalnya gigitan laba-laba dan lipan), melalui sengatan (misalnya sengatan
kalajengking dan lebah), melalui kontak langsung (misalnya kontak dengan bulu ulat
kupu-kupu), dan melalui semprotan cairan racun (misalnya pada whip scorpion).

Laba-laba
Racun laba-laba masuk ke dalam tubuh korban melalui gigitan rahang atau
chelicera yang mengandung racun. Tiga jenis laba-laba beracun adalah Tarantula,
Latrodectus mactans (black-widow spider) dan Loxosceles.

Tarantula. Lycosa tarentula adalah laba-laba yang berbulu panjang dan lebat sehingga
tampak besar dan menakutkan. Gigitan Tarantula menimbulkan rasa sakit, tetapi tidak
menyebabkan gejala sistemik karena daya racunnya rendah.

Latrodectus mactans. Laba-laba yang sering disebut sebagai black-widow spider ini
tersebar luas di seluruh dunia. Laba-laba ini mempunyai abdomen yang bulat, berwarna
hitam atau coklat kelabu, yang mempunyai gambaran mirip gelas pasir waktu (sand-hour
glass) berwarna merah, jingga, kuning atau putih. Nama black-widow spider diberikan
karena sesudah kopulasi, laba-laba jantan segera akan dibunuh dan dimakan oleh laba-
laba betina yang racunnya 40 kali lebih kuat dibanding kekuatan racun laba-laba jantan.
Racun black-widow spider disebut toxalbumin, suatu neurotoxin sangat kuat yang
kekuatan racunnya 15 kali kekuatan racun ular derik (rattlesnake). Pada manusia gigitan
black-widow spider akan menimbulkan arachnidism. Gigitan laba-laba menimbulkan
bekas gigitan berupa dua bintik merah kecil yang mula-mula tidak terasa sakit. Sepuluh
menit kemudian korban akan mengalami kejang otot perut, otot kaki dan otot dada,
diikuti gangguan pernapasan, gangguan pembicaraan, dan keluarnya keringat yang
berlebihan (hyperhidrosis). Toksalbumin juga dapat merangsang kambuhnya ulkus
peptikum, batu empedu, apendisitis, pankreatitis akut dan kolik ginjal, yang sering
370

menimbulkan kesalahan diagnosis. Akibat gigitan black-widow spider, lima persen


penderita arachnidism akan meninggal dunia.
Untuk mengobati arachnidisme sebaiknya penderita dirawat di rumahsakit dan segera
diberi glukonas kalsikus atau atropin dan fisostigmin. Hidroterapi dengan kompres panas
dapat dilakukan disertai pemberian adrenalin dan kortison. Pemberian antivenin hanya
boleh diberikan jika pengobatan lain tidak berhasil, karena pemberian antivenin
mempunyai risiko tinggi terjadinya hipersensitif terhadap serum tersebut.

Loxosceles. Gigitan laba-laba ini dapat menimbulkan necrotic arachnidism, yaitu


gangren di daerah gigitan yang membutuhkan waktu lama untuk sembuh kembali.

Gambar 213. Laba-laba beracun.


(a). Loxosceles (b). Tarantula (c). Black widow spider
(Sumber: CDC; http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/)
371

Ticks dan mites


Ticks (caplak). Caplak menghasilkan toksin yang disebut ixovotoxin suatu neurotoxin
yang mempengaruhi susunan saraf pusat dan bekerja pada neuromuscular-junction.
Toksin ini menyebabkan timbulnya kejang, sakit kepala, dan kelumpuhan yang bersifat
flaksid dan bilateral simetris yang disebut tick-paralyse. Paralisis yang berat dapat
menyebabkan kelumpuhan saraf pernapasan dan saraf jantung yang fatal, terutama jika
korbannya anak-anak. Caplak keras (hard ticks) dari famili Ixodidae maupun caplak
lunak (soft ticks) dari famili Argasidae dapat menghasilkan toksin yang masuk ke dalam
tubuh korban melalui gigitannya. Umumnya gejala keracunan akibat gigitan soft ticks
(misalnya Ornithodoros) lebih ringan dari pada hard ticks, misalnya Dermacentor
andersoni.
Tindakan pertama yang harus dilakukan jika terjadi gigitan ticks adalah mencoba
melepaskan ticks dari tempat gigitannya secara hati-hati dengan menetesi badan caplak
dengan bahan kimia yang menimbulkan iritasi misalnya chloroform, eter, benzene atau
jodium tingtur, lalu ticks dilepaskan pelan-pelan dengan pinset. Jika caplak dengan paksa
ditarik dari tempat gigitannya tanpa ditetesi bahan kimia, hal ini akan menyebabkan
kepala ticks yang mengandung kelenjar racun dapat putus dan tertinggal di dalam otot
korban. Karena terjadi kontraksi otot, kelenjar racun akan terus menerus mengeluarkan
toksin yang dapat membahayakan jiwa penderita.

Gambar 214. Dermacentor, Hard ticks


(Sumber: CDC)
372

Mites (tungau). Gatal-gatal yang hebat, perdarahan lokal atau demam pada penderita
yang peka dapat ditimbulkan oleh toksin tungau yang hidup pada unggas (misalnya
Dermanyssus gallinae) dan hewan lainnya (misalnya larva Trombicula atau chigger).
Gigitan mites dapat dicegah dengan menggunakan repellen yang dioleskan pada kulit
atau disemprotkan pada pakaian.

Gambar 215. Mites (tungau)


(a) Dermanyssus gallinae dewasa (b) larva tungau (chigger)
URL: http://www.traveldoctor.co.uk/images

Scorpion
Scorpion adalah binatang malam yang hidup di daerah tropis yang mempunyai sengat
beracun yang terdapat di ujung ekornya. Sifat toksin scorpion adalah hemolitik dan
neurotoksik yang dapat menyebabkan kematian pada anak berusia di bawah lima tahun
akibat terjadinya kelumpuhan saraf otot pernapasan. Penderita juga mengalami mual,
muntah, hipersalivasi, hiperhidrosis, paralisis otot lidah dan tenggorok, kejang otot perut,
sianosis dan konvulsi.
Tindakan yag harus dilakukan jika terjadi sengatan scorpion adalah melakukan
ikatan torniquet di atas daerah sengatan untuk menghambat menjalarnya racun. Daerah
sengatan lalu dikompres dingin dengan es atau disemprot etil klorida sebagai krioterapi
(cryotherapy). Pada gejala keracunan yang berat, jika diperlukan dapat diberikan infus
glukosa, suntikan insulin atau dilakukan pernapasan buatan.
373

Gambar 216. Scorpion


( Sumber: L.Mayorga Desert Animals)

Hymenoptera
Hymenoptera (lebah, tawon, semut, dan sejenisnya) memiliki alat sengat yang sebenarnya
adalah alat untuk mengeluarkan telur serangga betina (ovipositor) yang beralih fungsi.
Terdapat dua jenis bahan racun yang dihasilkan oleh kelenjar racun Hymenoptera. Bahan
racun pertama bersifat asam dan yang kedua bersifat basa. Masing-masing bahan racun
bukanlah racun yang kuat karena hanya menimbulkan iritasi. Jika kedua bahan racun
bercampur, maka larutan bahan campuran yang terjadi akan berubah sifat menjadi racun
yang kuat yang menjadi bagian dari racun Hymenoptera yang disebut apitoksin
(apitoxin).

Apitoksin. Racun Hymenoptera terdiri dari berbagai macam bahan, yaitu asam formiat,
saponin, histamin, melittin yaitu sejenis protein yang bersifat hemolitik, dehydrogenase
inhibitor yang lebih kuat dari pada yang dimiliki oleh ular kobra dan hyaluronidase yang
mempermudah racun menyebar ke jaringan-jaringan. Karena itu apitoksin mempunyai
berbagai sifat yaitu sebagai toksin hemolitik yang menyebabkan terjadinya melena dan
374

hemoglobinuria, sifat toksin neurotoksik yang menimbulkan paralisis otot, toksin


hemoragik yang menghambat koagulasi darah sehingga mudah terjadi perdarahan, dan
bersifat histaminik yang menyebabkan timbulnya gejala alergi pada penderita. Karena itu
gejala klinis yang terjadi dapat berupa asma bronkiale, urtikaria, angioedema, sianosis,
syok atau kegagalan pernapasan.
Jika terjadi sengatan lebah, tindakan yang harus dilakukan pertama kali adalah
mengambil sengat yang masih menusuk di kulit korban, karena selama sengat masih
berada di dalam otot korban, akibat kontraksi otot jumlah racun yang masuk akan makin
meningkat sehingga akibat keracunan menjadi semakin berat. Salep kortikosteroid lokal
dan pemberian antihistamin per oral cukup untuk mengatasi akibat sengatan yang ringan.
Penderita yang mengalami gejala klinis yang berat akibat sengatan, harus segera diberi
adrenalin melalui suntikan dan glukonas kalsikus secara intravena. Jika penderita
mengalami gangguan pernapasan dapat dilakukan trakeotomi atau pemberian oksigen.
Terhadap pekerja peternakan lebah yang berisiko tinggi disengat lebah berulang-ulang
dapat dilakukan desensitasi dengan memberikan ekstrak toksin lebah.

Gambar 217 . Ordo Hymenoptera


(URL: http://134.tinypic.com/2rwnqzd)

Larva Lepidoptera
Larva Lepidoptera menghasilkan toksn yang belum dapat ditentukan jenisnya. Toksin ini
larut di dalam cairan alkali dan menjadi tidak aktif jika dipanaskan pada suhu 115o
375

Celcius. Toksin yang masuk ke dalam tubuh korban melalui kontak dengan rambut larva
Lepidoptera, menimbulkan dermatitis yang menyebabkan rasa terbakar yang menyebar
ke luar daerah kontak. Gejala keracunan dan keluhan penderita dapat berlangsung sampai
12 jam lamanya, diikuti rasa gatal yang hebat, mual dan demam. Kontak dengan rambut
larva Lepidoptera yang terjadi di daerah leher dapat menyebabkan kelumpuhan saraf.
Untuk mengobati keracunan, penderita diberi kodein per oral untuk mengurangi
nyeri dan dilakukan kompres panas dengan amonia panas atau soda kue untuk
mengurangi keluhan umum penderita.

Gambar 218. Larva Lepidoptera


(URL: http://www.funet.fi/pub/sci/bio/life/insecta}

Coleoptera
Cantharis vesicatoria yang dikenal sebagai Spanish fly adalah salah satu spesies ordo
Coleoptera yang dapat menghasilkan toksin. Toksin yang dihasilkan disebut cantharidin
yang bersifat sebagai vesicating toxin. Toksin ini pernah digunakan sebagai perangsang
seksual (aphrodiasic) pada kuda yang akan dikawinkan dan penyalahgunaannya pada
manusia sering menimbulkan kerusakan ginjal.
376

Gambar 219. Cantharis vesicatoria


(Sumber: University of South Florida)

Chilopoda
Scolopendra adalah lipan yang hidup di daerah tropis yang gigitannya dapat
menimbulkan rasa sakit dengan gejala klinis lokal selama beberapa minggu. Kadang-
kadang penderita mengalami pembengkakan kelenjar regional, sakit kepala, vertigo,
demam dan muntah-muntah. Untuk mengurangi keluhan dan rasa sakit penderita, dapat
diberikan kodein per oral disertai kompres dingin setempat atau anestesi lokal.

Gambar 220. Scolopendra


(URL:http//farm3.static.flickr.com)
377

PENGENDALIAN SERANGGA

Tujuan pengendalian serangga (arthropods control) yang menjadi vektor penular penyakit
adalah untuk menekan populasi vektor sampai berada di bawah batas kemampuannya
menularkan penyakit dan menimbulkan epidemi. Pada pemberantasan penyakit malaria
misalnya, nyamuk Anopheles tidak perlu diberantas habis, hanya diturunkan populasinya
agar epidemi malaria dapat dicegah. Pengendalian dan pemberantasan serangga dapat
dilakukan secara mekanis, secara biologis atau secara kimiawi.

(a). Pengendalian secara mekanis. Dengan tindakan fisik sarang atau tempat
berkembang serangga biak (breeding place) dimusnahkan, misalnya dengan cara
mengeringkan genangan air yang menjadi sarang nyamuk, membakar sampah yang
menjadi tempat lalat bertelur dan berkembang biak, membersihkan sarang dan tempat
persembunyian laba-laba, lipas, lipan, dan ektoparasit lainnya. Mencegah terjadinya
kontak antara serangga dan manusia dengan menggunakan kawat nyamuk pada jendela
dan jalan angin lainnya termasuk pengendalian secara mekanis.

(b). Pengendalian secara biologis. Pada pengendalian serangga secara biologis


digunakan makhluk hidup yang menjadi predator atau pemangsa serangga atau
menggunakan organisme yang bersifat parasitik terhadap serangga, sehingga penurunan
populasi serangga terjadi secara alami tanpa menimbulkan gangguan keseimbangan
ekologi lingkungan. Memelihara ikan yang menjadi predator jentik nyamuk dan
melakukan sterilisasi serangga jantan dengan radiasi sehingga tidak mampu membuahi
betinanya, merupakan contoh pengendalian serangga secara biologis.
Beberapa jenis organisme yang hidup parasitik pada serangga, misalnya virus,
bakteri, jamur, cacing dan protozoa sudah dapat dibiakkan dan diproduksi secara
komersial. Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri pengendali serangga dan
378

Heterorhabditis yang termasuk cacing nematoda yang bersifat patogenik terhadap


serangga ( Entomopathogenic nematodes) sudah diproduksi secara komersial.

(c). Pengendalian secara kimiawi. Pada waktu ini pengendalian serangga secara
kimiawi menggunakan insektisida (pembunuh serangga) masih paling sering
dilaksanakan karena dalam waktu pendek dapat diproduksi dalam jumlah besar, mudah
dikemas dan dikirimkan dengan cepat ke daerah tempat terjadinya epidemi penyakit yang
ditularkan oleh serangga.

Insektisida

Bahan kimia yang digunakan untuk memberantas dan mengendalikan serangga ini
berdasar atas stadium serangga yang menjadi targetnya dibagi menjadi imagosida untuk
memberantas serangga dewasa, larvisida ditujukan terhadap larva, dan ovisida jika
insektisida ditujukan untuk memberantas telur serangga.
Insektisida juga dikelompokan berdasar atas tempat masuknya ke dalam tubuh
serangga, yaitu racun kontak (contact poison) yang masuk melalui kulit, racun perut
(stomach poison) jika masuk melalui mulut atau alat pencernaan, dan fumigans yang
masuk melalui saluran pernapasan seranggga.
Bahan kimia yang menjadi bahan dasar insektisida dapat berasal dari bahan kimia
inorganik misalnya arsen dan fluorin, bahan kimia berasal dari tumbuhan misalnya
piretrum dan rotenon, bahan kimia organofosfat, hidrokarbon chlorin atau bahan-bahan
kimia lainnya.

Faktor-faktor dalam memilih insektisida. Untuk memberantas serangga berbagai


faktor harus diperhatikan dalam menentukan jenis insektisida yang akan digunakan.
Faktor-faktor tersebut adalah faktor serangga yang menjadi target, faktor lingkungan
tempat hidup serangga dan kemasan insektisida..
Faktor serangga. Faktor serangga yang menjadi target yang harus diperhatikan
antara lain adalah : (a).spesies serangga (b). stadium serangga yang akan
diberantas (bentuk telur, larva atau bentuk dewasa), dan (c) sifat biologi serangga
379

(misalnya bagaimana cara hidup, cara makan, jenis makanan yang disukai, waktu
terjadinya aktivitas dalam mencari makan, sistem pernapasan, tempat berkembang
biak).

Faktor lingkungan. Lingkungan harus diperhatikan agar pemberantasan


serangga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan yang merugikan kehidupan
manusia dan hewan serta organisme lain yang berada di lingkungan tempat
serangga hidup (misalnya di sawah, di dalam rumah, di luar rumah, atau di
udara).

Kemasan insektisida. Sesuai dengan serangga yang menjadi target pemberantasan, maka
kemasan insektisida disesuaikan dengan metoda penggunaannya, yaitu bentuk semprotan
(spraying), bentuk pengasapan atau pengabutan (aerosol), bentuk debu (dust), bentuk
granula atau bentuk umpan (baiting).

Spraying. Bentuk semprotan dilakukan untuk membunuh serangga secara langsung


melalui kontak kulit. Terdapat dua cara penyemprotan, yaitu metoda space spraying atau
residual spraying. Space spraying dilakukan untuk membunuh secara langsung serangga
yang terbang di udara, sedangkan residual spraying ditujukan pada serangga yang sedang
beristirahat di tempat hinggap sesudah selesai makan. Karena itu pada residual spraying
insektisida disemprotkan pada dinding, atap, lantai rumah, kandang hewan atau bangunan
lainnya, tempat hinggap serangga yang menjadi tempat terjadinya kontak antara serangga
dan insektisida. Insektisida yang digunakan (residual insecticide) harus bersifat stabil
tidak mudah dirusak oleh iklim dan perubahan cuaca baik panas maupun dingin, dan
dapat melekat dengan kuat pada permukaan tempat yang disemprot.

Aerosol. Aerosol adalah insektisida berbentuk partikel yang sangat halus berupa asap, gas
atau kabut, sehingga sesudah disemprotkan insektisida dalam waktu yang lama berada di
udara. Hal ini memberi lebih besar kemungkinan terjadinya kontak antara insektisida
dengan serangga target. Dalam bentuk aerosol insektisida dapat digunakan di dalam
rumah maupun di luar rumah.
380

Debu. Insektisida berbentuk debu ini terikat pada bedak atau pyrophyllite dengan
konsentrasi insektisida yang rendah, kurang dari 10%.

Granul. Insektisida bentuk granul adalah insektisida dalam konsentrasi rendah yang
dilarutkan dalam larutan inorganik misalnya attapulgit, yang digunakan untuk
memberantas larva nyamuk Mansonia, larva Tabanus atau Culicoides yang hidup
dibawah permukaan air di daerah rawa yang banyak ditumbuhi tanaman air.

Umpan (bait). Sebagai umpan, insektisida dicampurkan ke dalam bahan makanan yang
disukai oleh serangga, misalnya kristal gula untuk memikat lalat, semut atau lipas.

Insektisida organofosfat

Titik kerja insektisida organofosfat adalah pada neuromuscular junction saraf dan
insektisida dapat masuk ke dalam tubuh serangga maupun mamalia melalui kulit, alat
pencernaan maupun alat pernapasan. Beberapa contoh jenis insektisida organofosfat yang
pernah digunakan adalah parathion, methyl parathion, malathion, diazinon, dichlorvos
dan abate. Insektisida organofosfat umumnya rendah daya residualnya sehingga harus
sering diulang penggunaannya.

Parathion. Insektisida ini adalah derifat fenil golongan fosfor dengan rumus 0,0-diethyl
0-p-nitrophenyl phosphorothionate. Insektisida ini dapat digunakan untuk memberantas
berbagai jenis serangga, namun sangat beracun bagi mamalia dan manusia.

Malathion. Insektisida ini merupakan derifat alifatik golongan fosfor yang dapat
digunakan memberantas berbagai jenis serangga. Malathion tidak terlalu toksik bagi
mamalia dan manusia, tetapi bukan residual insecticide yang baik karena mudah terurai.
Selain itu berbagai jenis serangga telah kebal terhadap malathion.
381

Diazinon. Derifat heterosiklik dari golongan fosfor ini memiliki aktivitas residual yang
baik sehingga banyak dimanfaatkan untuk memberantas nyamuk dan serangga vektor
penular penyakit lainnya.

Dichlorvos atau DDVP dengan rumus 2,2-dichlorovinyl didimethyl phosphate dapat


bekerja lebih lama karena dapat diformulasikan dalam plastic resin untuk menghambat
penguapan insektisida.

Temophos.. Larvisida organofosfat dengan nama dagang Abate ini banyak digunakan
untuk memberantas larva nyamuk Aedes aegypti dan larva lalat yang menjadi vektor
berbagai macam penyakit. Untuk mencegah penyebaran demam dengue di daerah
endemis, abate digunakan untuk memberantas larva Aedes aegypti yang hidup di dalam
rumah. Resistensi Aedes aegypti sudah terjadi di berbagai daerah di Brazil.

Keracunan organofosfat. Gejala keracunan insektisida organofosfat pada manusia


terjadi secara akut dan mendadak, menimbulkan gejala keracunan yang ringan sampai
berat. Pada keracunan yang ringan, penderita akan mengalami berkeringat berlebihan
(hiperhidrosis), hipersalivasi, gangguan bernapas, sakit kepala, gangguan akomodasi otot
mata, dan kejang perut. Pada pemeriksaan mata, pupil mata menyempit (miosis).
Pada keracunan berat, penderitaakan mengalami diare, kencing tak terkendali,
lemah badan yang berat, disertai fasikulasi otot-otot. Jika terjadi keracunan berat, dapat
mengalami konvulsi, koma, atau gagal pernapasan yang menyebabkan kematian
penderita.

Tindakan keracunan organofosfat. Keracunan insektisida organofosfat diatasi dengan


melakukan atropinisasi, yaitu memberikan antidotnya berupa atropin yang harus
diberikan segera dengan dosis 2-4 mg secara intravena. Sesuai dengan kebutuhan, dosis
dapat ditingkatkan sampai 30 mg sehingga tampak gejala-gejala terjadinya atropinisasi
pada penderita.
Sesudah dilakukan atropinisasi, penderita dapat diberi oksigen dan jika perlu
dapat dilakukan pernapasan buatan. Apabila terjadi konvulsi, dapat diberikan tridione
382

dengan dosis 1 gram intravenous, yang dapat dinaikkan sampai 5 gram. Untuk
memperkuat atropinisasi, dapat diberikan 2-PAM (pyridine-2-aldoxime) atau DAM
(diacetyl monoxime).

Insektisida hidrokarbonklorin

Chlorinated hydrocarbon atau insektisida hidrokarbonklorin bersifat stabil, tidak mudah


terurai oleh hujan, sinar matahari atau perubahan iklim sehingga sering digunakan
sebagai insektisida redisu (residual insecticides) untuk pemakaian di luar rumah.
Insektisida ini dapat diserap melalui kulit, mulut dan alat pernapasan, dan bekerja
terhadap susunan saraf pusat.
DDT (Dichloro-diphenyl-trichloroethane) termasuk insektisida golongan organoklorin
yang paling terkenal. Insektisida ini bekerja melalui kontak kulit terhadap berbagai jenis
artropoda, mempunyai daya residual yang lama waktunya dan rendah daya racunnya
terhadap mamalia. Namun DDT yang stabil ini akan ditimbun di dalam jaringan tubuh
manusia, misalnya di hati, dan di dalam jaringan hewan yang dikonsumsi oleh manusia,
misalnya ikan. Saat ini banyak serangga yang sudah kebal (resisten) terhadap DDT.
Insektisida golongan chlorinated hydrocarbon lainnya, misalnya benzene hexachloride
(BHC), chlordane, lindane, aldrin,dieldrin, toxaphene dan endrin, ternyata juga tidak lagi
efektif memberantas serangga.

Keracunan organoklorin. Keracunan ringan insektisida ini menyebabkan sakit kepala,


lemah badan, sukar tidur, dan mata kabur. Pada keracunan berat, misalnya termakan tidak
sengaja atau bunuh diri, penderita mengalami konvulsi yang bersifat tonik-klonik,
mengalami depresi, pingsan dan akhirnya meninggal dunia.

Pengobatan keracunan organoklorin. Karena tidak ada antidotnya, jika terjadi


keracunan organoklorin tindakan pertama yang dilakukan adalah dekontaminasi racun
dengan misalnya membersihkan kulit penderita dari cemaran insektisida, kemudian
diikuti kumbah lambung. Gejala klinis akibat pengaruh dan rangsangan terhadap susunan
383

saraf pusat diobati dengan memberi pentobarbital, oksigen dan bila perlu pernapasan
buatan.

Resistensi insektisida

Artropoda dikatakan telah kebal atau resisten terhadap suatu insektisida jika dengan dosis
yang biasa digunakan, artropoda tersebut tidak dapat dibunuh. Resistensi dapat terjadi
karena berbagai sebab, yaitu karena serangga memiliki sistem enzim yang dapat
menetralisir racun insektisida, karena adanya timbunan lemak di dalam tubuh serangga
yang mampu menyerap insektisida yang masuk, dan adanya hambatan lain yang dimiliki
serangga untuk mencegah masuknya dan terserapnya insektisida ke dalam tubuh
serangga.
Selain faktor-faktor yang dimiliki artropoda tersebut, faktor lain yang dapat
mempengaruhi terjadinya resistensi adalah lamanya stadium serangga, generation time
serangga dan kompleks genetik ( genetic complex ) artropoda.
1. Insektisida yang bekerja terhadap semua stadium serangga baik telur, larva, pupa
maupun dewasa, akan lebih cepat menimbulkan resistensi oleh serangga
dibandingkan dengan insektisida yang hanya bekerja pada satu stadium misalnya
larva serangga.
2. Serangga yang mempunyai daur hidup pendek sehingga dalam satu tahun terdapat
banyak generasi, lebih cepat resisten terhadap suatu insektisida dibandingkan
dengan serangga yang hanya mempunyai satu generasi dalam satu tahun ( daur
hidupnya panjang).
3. Semakin banyak gene serangga yang mengatur kemampuan resistensi serangga
terhadap insektisida, semakin lambat terjadi resistensi. Jika jumlah gene pengatur
resistensi sedikit, serangga cepat resisten terhadap insektisida.

Pembagian resistensi. Resistensi dibagi menjadi resistensi bawaan (natural resistancy)


dan resistensi yang didapat( acquired resistancy)..
Resistensi bawaan. Serangga yang secara alami sensitif terhadap suatu
insektisida akan menghasilkan secara alami keturunan yang juga sensitif terhadap
384

insektisida tersebut. Sedangkan serangga yang secara alami sudah resisten


terhadap suatu insektisida, keturunannya juga akan resisten terhadap insektisida
bersangkutan. Selain itu serangga yang sensitif terhadap suatu insektisida jika
mengalami mutasi (yang terjadi satu kali setiap beberapa ratus atau ribu tahun)
dapat berkembang menjadi serangga yang resisten terhadap insektisida tersebut.

Resistensi didapat. Akibat pemberian dosis insektisida yang di bawah dosis


lethal dalam waktu yang lama, serangga target yang sebelumnya sensitif dapat
menyesuaikan diri berkembang menjadi menjadi resisten terhadap insektisida
tersebut.

Gambar 221. Bagan resistensi bawaan dan didapat.

Berdasar atas jenis insektisida yang tidak lagi peka terhadap serangga, resistensi
dibedakan menjadi resistensi silang (cross-resistance) dan resistensi ganda (double-
resistance).
Cross-resistance (Resistensi silang). Kekebalan serangga yang terjadi terhadap
dua insektisida yang satu jenis atau satu seri, misalnya kebal terhadap malathion
dan diazinon atau kebal terhadap DDT dan dieldrin.
385

Double-resistance (Resistensi ganda). Kekebalan serangga yang terjadi


terhadap dua insektisida yang berbeda jenis golongannya, misalnya kebal
terhadap malathion dan DDT.

Gambar 222. Bagan resistensi silang dan resistensi ganda

Jika satu jenis serangga telah resisten terhadap suatu insektisida, maka dosis insektisida
harus dinaikkan. Jika dosis insektisida terus menerus dinaikkan, maka pada dosis tertentu
akan dapat membahayakan kesehatan manusia dan hewan serta berdampak buruk pada
lingkungan hidup. Karena itu insektisida harus diganti dengan insektisida jenis atau
golongan lain atau diciptakan insektisida baru untuk memberantas serangga tersebut.

Repellent

Repelen (repellent) adalah bahan kimia untuk menghindari gigitan dan gangguan
serangga terhadap manusia. Repelen tidak membunuh serangga. Repelen dipakai dengan
cara menggosokannya pada badan, atau menyemprotkannya pada pakaian. Karena itu,
repelen harus memenuhi syarat tidak mengganggu pemakai, tidak lengket atau melekat,
baunya menyenangkan, tidak menimbulkan iritasi kulit, tidak beracun, tidak merusak
pakaian dan mempunyai efek repelen yang lama.
DEET ( N,N-diethyl-m-toluamide) adalah satu contoh repelen yang tidak berbau,
tetapi menimbulkan rasa terbakar jika mengenai mata, jaringan membranous atau
mengenai luka terbuka. Selain itu DEET juga merusak benda dari plastik dan bahan
sintetik lainnya. DEET 20% dapat melindungi diri dari gigitan serangga selama sekitar 4
jam.
386

Ethyl hexanediol efeknya serupa DEET tetapi pendek waktu kerjanya. Picaridin (KBR
3023) dan minyak kayuputih (mengandung p-menthane 3,8-diol) juga digolongkan
sebagai repelen. Permethrin adalah repelen yang juga bersifat sebagai insektisida yang
efektif bekerja dalam waktu lama dengan cara disemprotkan pada pakaian, kelambu,
sepatu, dan tenda. Permethrin tidak boleh dioleskan langsung pada kulit.

Repelen dapat berbentuk cairan, pasta, dan sabun yang digosokkan pada kulit badan atau
berupa larutan yang disemprotkan pada pakaian, sepatu, atau tenda.

Penggunaan repelen yang benar. Penggunaan repelen harus dalam jumlah secukupnya
pada kulit atau pakaian, tetapi jangan digosokkan pada kulit yang berada di bawah
pakaian. Repelen tidak boleh dioleskan pada kulit yang luka atau kulit yang alergi
terhadap bahan repelen. Jangan menyemprotkan repelen langsung ke wajah. Semprotkan
repelen pada telapak tangan, baru dioleskan hati-hati ke kulit wajah tetapi jangan sampai
mengenai mata atau mulut. Minyak kayuputih sebaiknya tidak digunakan pada anak
berumur di bawah 3 tahun, sedangkan DEET tidak digunakan pada bayi berumur kurang
dari 2 bulan. Anak tidak boleh memegang repelen atau menggosokkan repelen pada
badannya agar tidak termakan bahan ini atau mengenai matanya dan selalu jauhkan
repelen dari jangkauan anak-anak.
387

Bab 5
PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Diagnosis pasti infeksi protozoa dan cacing dapat ditetapkan jika dapat ditemukan parasit
penyebabnya, baik parasit dewasa atau parasit yang belum dewasa (stadium imatur). Pada
protozoa dapat ditemukan bentuk trofozoit atau bentuk kista, pada cacing bentuk cacing
dewasa, larva atau bentuk telurnya. sedangkan artropoda dapat ditemukan dalam bentuk
telur, bentuk larva, nimfa, bentuk pupa, atau bentuk dewasa.

Pemeriksaan mikroskopis. Untuk memeriksa sediaan di bawah mikroskop diperlukan


perlengkapan berupa mikroskop, alat-alat gelas, dan bahan-bahan lainnya sesuai dengan
kebutuhan.
1. Mikroskop. Sesuai dengan ukuran pembesaran yang dituju, mikroskop dilengkapi
dengan lensa objektif untuk pembesaran kecil maupun pembesaran besar serta
lensa objektif imersi minyak (100x) dan juga lensa okuler pembesaran 5 kali dan
10 kali. Untuk memeriksa cacing dewasa dan serangga berukuran besar digunakan
dissecting-microscope.
2. Alat gelas. Kaca benda (object-glass) dan kaca penutup (cover-glass) diperlukan
untuk memudahkan melihat objek di bawah mikroskop.
3. Bahan lain. Kertas lensa (lenspaper), kertas pembersih, kapas, minyak imersi dan
berbagai bahan lainnya disediakan sesuai dengan keperluan.

PEMERIKSAAN PROTOZOA DAN CACING

Pemeriksaan Tinja
Bahan tinja yang akan diperiksa dikumpulkan pada tempat yang bersih misalnya kotak
plastik yang dapat ditutup rapat dan tidak boleh tercampur dengan air seni penderita,
minyak, garam aluminium, magnesium, barium atau bismuth.
388

Bahan tinja yang padat (formed stools) dapat disimpan semalam di dalam kotak berisi es
batu, sedang tinja cair (unformed stools), tinja berdarah atau tinja berlendir harus
diperiksa segera, tidak lebih dari setengah jam sesudah dikeluarkan. Tinja berdarah atau
berlendir tidak boleh didinginkan di dalam kotak es, atau dimasukkan ke dalam lemari
pendingin (refrigerator) maupun lemari pembeku (freezer). Jika pemeriksaan tidak dapat
dilakukan segera, misalnya karena akan dikirim ke laboratorium yang terletak jauh dari
tempat pengambilan, sebaiknya tinja diawetkan dalam larutan formalin 10% atau bahan
pengawet lainnya.

Pemeriksaan langsung tinja


a. Tinja ditentukan kepadatannya dan dicatat adanya darah, lendir, cacing dewasa atau
potongan cacing.
b. Pada kaca benda (object-glass) dibuat hapusan tinja dengan garam faali
(physiological salt) dan hapusan tinja dengan larutan iodine (lugol).
1. Hapusan garam faali. Tinja sebanyak 1-2 mg tinja dicampur 1-2 tetes
larutan garam faali. Dengan hapusan garam faali ini, parasit termasuk
protozoa misalnya trofozoit amuba tampak hidup dan bergerak.
2. Hapusan tinja iodine (lugol). Sebanyak 1-2 mg tinja dicampur 1-2 tetes
larutan iodine. Larutan iodine dibuat dengan membuat larutan jenuh iodine
pada 1% kalium iodide, lalu disaring. Dengan pemeriksaan ini parasit mati
dan tidak bergerak, sehingga memudahkan pemeriksaan morfologi kista
protozoa atau telur cacing. Tinja yang telah diawetkan dalam larutan
formalin dapat diperiksa langsung dengan larutan lugol.
Pemeriksaan konsentrasi tinja
a. Sedimentasi sederhana
1. Sebanyak 10 g tinja dicampur dengan air sebanyak 20x volume tinja, lalu
diaduk dengan baik. Masukkan larutan tinja ke dalam gelas urinalisis, biarkan
selama 1 jam
2. Sebanyak 2/3 volume larutan permukaan dibuang, tambahkan air lalu diaduk
lagi dengan baik.
3. Ulangi tindakan no.2 sehingga larutan permukaan tampak jernih.
389

4. Ambillah endapan yang ada di dasar gelas dengan pipet dan diperiksa di
bawah mikroskop.
b. Sedimentasi sederhana dengan gliserol
1. Campurlah tinja dengan air yang telah diberi 0.5% gliserol lalu diaduk.
2. Sesudah terjadi endapan, larutan permukaan dibuang, diganti dengan larutan
air-gliserol, lalu diaduk dengan baik.
3. Sesudah terjadi endapan, ulangi prosedur no.2 sehingga larutan permukaan
menjadi jernih.
4. Endapan yang terbentuk diperiksa di bawah mikroskop.
c. Metoda pemusingan sederhana
1. Sebanyak 3 gram tinja dicampur air sebanyak 90x volume tinja.
2. Larutan tinja disaring dengan 2 lapis kain kasa, lalu dimasukkan ke dalam
tabung pemusing (centrifuge tube).
3. Tabung dipusingkan selama 1-2 menit pada kecepatan 1500-2300 rpm.
4. Larutan permukaan dibuang diganti dengan air, aduk dengan baik, lalu
dipusingkan.
5. Prosedur no.3-4 diulang sebanyak dua kali.
6. Endapan yang terjadi diperiksa di bawah mikroskop.
d. Metoda pengapungan langsung (untuk menemukan telur cacing)
Tinja dicampur dengan larutan pengapung, yaitu salah satu larutan jenuh bahan di
bawah ini:
1. Natrium Klorida ( BD 1.20)
2. Natrium Nitrat (BD 1.18)
3. Seng Sulfat (BD 1.18)
4. Larutan Sukrose (BD 1.20) yang dibuat dari 910 g sukrose dilarutkan dalam
1125 ml air panas. Tambahkan fenol 6.5 ml sebagai pengawet.
Prosedur:
1. Larutan tinja yang sudah disaring dengan kain kasa dimasukkan ke
dalam tabung reaksi.
2. Larutan pengapung ditambahkan sampai mencapai bibir tabung.
390

3. Gelas penutup (coverglass) ditempelkan dengan hati-hati pada mulut


tabung reaksi.
4. Sediaan yang menempel pada gelas penutup diperiksa dibawah
mikroskop dengan pembesaran kecil.
e. Metoda pengapungan sentrifugal tak langsung (menemukan telur cacing)
1. Larutan tinja disaring dengan beberapa lapis kain kasa.
2. Larutan tinja dicampur dengan larutan garam faali jenuh yang sudah disaring,
masukkan campuran ke dalam tabung pemusing.
3. Pusingkan pada 1000 rpm selama 5 menit.
4. Cairan yang ada dipermukaan tabung diambil dengan sengkelit (oser), lalu
diperiksa di bawah mikroskop.

Pemeriksaan malaria dan parasit darah


(a). Pemeriksaan darah langsung
Protozoa dan cacing yang hidup di dalam darah mudah dilihat di dalam darah dengan
memeriksa setetes darah yang diambil dari ujung jari atau cuping telinga yang diencerkan
dengan setetes larutan garam faali pada kaca benda.. Sesudah ditutup dengan gelas
penutup sediaan diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran kecil untuk
memeriksa mikrofilaria dan dengan pembesaran besar untuk memeriksa Trypanoszoma.
Parasit mudah dilihat karena aktif bergerak.
(b). Pemeriksaan hapusan darah
Parasit darah dapat diperiksa dengan membuat hapusan darah tebal (thick smear) atau
hapusan darah tipis (thin smear) pada kaca benda, yang diwarnai dengan pewarnaan
Giemsa atau pewarnaan Wright.
Pewarnaan Giemsa
Larutan induk: Bubuk zat warna Giemsa 1g
Gliserin 66 ml
Metil alkohol, absolut, bebas aseton 66 ml
Larutan penyangga (Buffer solution): pH 7.0 :
61,1 ml M/15 Na2HPO4 ditambah 900 ml akuades atau
38,9 ml M/15 NaH2PO4.H2O2 ditambah 900 ml akuades.
391

Tetes tebal (thick smear) pewarnaan Giemsa


Keringkan tetesan darah tebal di udara, jangan difiksasi.
Warnai dengan larutan 1/50 Giemsa di dalam larutan bufer akuades (pH 7,0) selama
45-50 menit.
Rendam (dipping) selama 3 menit dalam bufer akuades, lalu keringkan dalam posisi
vrtikal.

Hapusan darah (thin smear) Giemsa


Fiksasi hapusan darah tipis dalam metil alkohol absolut selama 30 detik
Ambil dan keringkan
Warnai dengan larutan 1/20 Giemsa di dalam larutan bufer akuades (pH 7,0) selama
45-50 menit.
Rendam dalam bufer akuades, lalu keringkan dalam posisi vertikal.

Pemeriksaan Khusus Protozoa dan Cacing


a. Menghitung telur cacing (Stolls Egg Counting)
Konsistensi tinja ditentukan lebih dahulu, yaitu formed, mushy-formed, mushy,
mushy-diarrheic, diarrheic, atau watery (cair). Hasil perhitungan Telur Per Gram
(TPG) dikalikan dengan nilai konversi, yaitu formed 1, mushy-formed 1.5 , mushy
2, mushy-diarrheic 3, diarrheic 4 dan watery 5.
Prosedur
1. Sebanyak 56 ml 0.1N NaOH (setara dengan 0.4% larutan NaOH) dimasukkan
ke dalam tabung Stoll (atau Erlenmeyer yang bertanda 56 ml dan 60 ml).
2. Tinja dimasukkan ke dalam tabung Stoll sampai pada tanda 60 ml.
3. Butiran gelas (glass-beads) dimasukkan kedalam tabung lalu kocoklah tabung
dengan kuat.
4. Menggunakan pipet Stoll ambillah 0.075 ml larutan tinja, lalu diperiksa di
bawah mikroskop. Hitunglah jumlah telur cacing seluruhnya (misalnya N).
5. Angka Telur Per Gram (TPG) akhir diperoleh sesudah dikonversi sesuai
dengan konsistensi tinja yang diperiksa, sehingga nilai akhir TPG adalah :
Formed : 200 N
392

Mushy-formed: 300 N
Mushy: 400 N
Mushy-diarrheic: 600 N
Diarrheic: 800 N
Watery: 1000 N
Keterangan:
Formed: tinja normal, padat.
Mushy-formed : tinja lunak, dapat dipotong dengan lidi; meski container
tempat tinja dikocok, bentuk tinja tidak mengikuti bentuk container.
Mushy: bila dikocok, bentuk tinja mengikuti bentuk container.
Mushy-diarrheic: tanpa dikocok bentuk tinja mengikuti bentuk container,
tetapi tinja tak dapat dituang ke luar container.
Diarrheic: bentuk sesuai bentuk bejana, tinja dapat dituang ke luar
container.
Watery (cair): karena sangat encer, tinja bersifat seperti air.

b. Menemukan telur Enterobius (Metoda Pita Scotch)


1. Tempelkan bagian yang berperekat dari cellophan tape (selotip) pada daerah
sekitar lubang anus. Telur cacng akan menempel pada selotip. Lakukan
metoda ini pagi hari sesudah penderita bangun tidur, sebelum mandi.
2. Bagian yang berperekat selotip ditempelkan pada gelas objek, lalu ratakan.
3. Tetesi xylol atau toluene.
4. Dengan pembesaran kecil (10x10) sediaan diperiksa di bawah mikroskop.
Telur cacing enterobius yang khas bentuknya mudah dilihat.
Sebaiknya pemeriksaan dilakukan tiga hari berturut-turut.
c. Pemeriksaan dahak (menemukan telur cacing Paragonimus atau larva Ascaris
lumbricoides, Strongyloides stercoralis atau larva cacing tambang )
1. Dahak dicampur dengan larutan 3% NaOH dalam jumlah sama, lalu
pusingkan dengan kecepatan tinggi.
2. Larutan permukaan dibuang.
3. Endapan diperksa di bawah mikroskop.
393

d. Pemeriksaan urin dan kiluria. Pemeriksaan urin ditujukan untuk menemukan telur
cacing Schistosoma haematobium, sedangkan pemeriksaan kiluria untuk menemukan
mikrofilaria Wuchereria bancrofti.
1. Urin porsi terakhir ditampung pada gelas sedimentasi.
2. Tunggu beberapa waktu agar terjadi endapan.
3. Endapan diambil dengan pipet , teteskan pada kaca benda lalu diperiksa di
bawah mikroskop.

e. Mengisolasi nematoda dari tinja atau tanah (Metoda Baermann)


1. Tinja atau tanah diletakkan pada kain (cheesecloth) yang terdapat di atas
kawat kasa.
2. Corong Baermann diisi air hingga menyentuh kawat kasa.
3. Di atas corong ditempatkan lampu sebagai sumber panas.
4. Keran corong dibuka untuk mengumpulkan cacing.

Gambar 223. Corong Baermann


(Sumber: K.Kionke, WormBook)

f. Konsentrasi mikrofilaria di dalam darah


Bahan pemeriksaan: darah yang telah diberi natrium sitrat.
1. Darah segar 5 ml dicampur dengan 1 ml natrium sitrat (2%) yang dibuat pada
larutan NaCl 0.85%.
394

2. Pusingkan 1000 rpm selama 10 menit.


3. Endapan yang ada di dasar tabung diambil menggunakan pipet kapiler.
4. Usapkan endapan pada kaca benda.
5. Dengan mikroskop pembesaran rendah periksa sediaan untuk melihat
pergerakan mikrofilaria yang masih hidup.

Bahan pemeriksaan : darah diberi heparin.


1. Darah vena sebanyak 4 ml dimasukkan ke dalam tabung pemusing berisi 0.01
ml larutan heparin 1%.
2. Sebanyak 4 ml saponin cair 2% ditambahkan dan dicampur dengan baik.
3. Sebanyak 5 ml larutan darah-saponin dimasukkan ke dalam tabung pemusing,
lalu pusingkan pada 2000 rpm selama 10 menit.
4. Larutan permukaan dibuang menggunakan pipet, sisakan 2-3 tetes endapan.
5. Endapan diaduk, dengan pipet diambil lalu diteteskan pada kaca benda.
6. Di bawah mikroskop sediaan diperiksa untuk melihat adanya mikrofilaria
yang masih bergerak.

Bahan pemeriksaan: darah segar.


1. Darah vena sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam tabung pemusing yang berisi
10 ml formalim 2%.
2. Pusingkan 1500 rpm selama 5 menit.
3. Ambil 1 tetes endapan, periksa di bawah mikroskop untuk melihat
mikrofilaria yang telah mati.

g. Pemeriksaan mikrofilaria dalam darah ( konsentrasi dan pewarnaan)


Bahan pemeriksaan: darah segar.
1. Darah vena sebanyak 1 ml dicampur dengan 10 ml formalin 2% di dalam
tabung pemusing.
2. Campuran darah-formalin didiamkan satu malam pada suhu kamar atau
dipusingkan.
3. Larutan permukaan dibuang dengan cepat.
395

4. Endapan diambil dengan pipet kapiler, ratakan pada kaca penutup (coverglass)
lalu keringkan di udara.
5. Sediaan yang sudah kering difiksasi dengan eter-alkohol (eter dicampur 95%
alkohol dengan volume yang sama) selama 10 menit, lalu keringkan di udara.
6. Sediaan yang sudah terfiksasi diwarnai dengan D-hematoxylin selama 1 jam,
lalu cucilah cepat dengan 0.05% HCl.
7. Bilas dengan air mengalir sampai sediaan berwarna biru, lalu keringkan di
udara.
8. Dengan pembesaran kecil sediaan yang sudah ditetesi minyak imersi diperiksa
di bawah mikroskop.

Membuat larutan Delafields Hematoxylin:


Bahan: 1 g kristal hematoxylin dan 10 ml etil alkohol 100%.
1. Kristal hematoxylin dilarutkan dalam etil alkohol.
2. Seluruh larutan dicampur dengan larutan aluminium kalium sulfat ( 20 g
aluminium kalium sulfat dalam 200 ml akuades), lalu dipanaskan hingga
mendidih.
3. Pada larutan ditambahkan 0.5 g merkuri oksida, aduklah selama 30 detik, lalu
dinginkan dengan cepat.
4. Zat warna Delafields Hematoxylin dapat segera dipakai.

h. Pemeriksaan larva Trichinella spiralis dalam oto


1. Metoda kompresi otot
Jaringan otot diiris tipis diletakkan di antara dua lempeng kaca benda, lalu
ditekan. Sediaan diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran kecil untuk
melihat kista berisi larva yang ada di dalam jaringan otot.
2. Metoda pencernaan otot
Otot yang diduga terinfeksi cacing digiling atau dicacah.
Setiap 50 g daging giling dicampur dengan larutan percerna (Campuran air
600 ml, scale pepsin 5 g dan 10 ml HCl jenuh).
396

Cara mencampur daging dengan larutan pencerna dengan corong Baermann.


1. Larutan pencerna dituang ke dalam corong sampai 1,5 cm di bawah
mulut corong yang terdapat kawat kasa yang tertutup 4 lapis kain
(cheesecloth).
2. Letakkan gilingan daging pada kain.
3. Biarkan selama 48 jam suhu 35o-370Celcius.
4. Keran penutup corong dibuka, larva diambil dan disimpan di dalam
larutan garam faali pada suhu 30o-35oCelcius.
5. Larva yang hidup diperiksa di bawah mikroskop dengan hati-hati.

i. Fiksasi Nematoda
Bahan larutan untuk fiksasi:
Larutan laktofenol (Fenol 10 g , Gliserin 10,6 ml. Lactic acid 8.2 ml,
Akuades 10 ml )
Larutan formalin 5-8%
Larutan gliserin-alkohol (Etil alkohol (70-80%) 96 ml dan Gliserin 4 ml)

Cara fiksasi:

(a) Fiksasi nematoda kecil


Cacing difiksasi dalam larutan formalin hangat, lalu di simpan.
Letakkan cacing di atas kaca benda, tetesi larutan laktofenol, lalu periksa
di bawah mikroskop.
(b). Fiksasi nematoda besar
1. Cacing hidup dimasukkan ke dalam botol berisi larutan garam faali,
lalu dikocok kuat-kuat selama 3-4 menit.
2. Cacing dimasukkan ke dalam larutan gliserin-alkohol yang terdapat di
dalam botol penguap (evaporated dish), lalu dipanaskan 60o Celcius.
3. Letakkan botol penguap di tempat panas, lalu biarkan alkohol
menguap pelan-pelan.
397

4. Sebelum alkohol menguap seluruhnya, cacing diambil letakkan di atas


kaca benda, lalu lekatkan dengan gliserin-jelly.

j. Fiksasi dan pewarnaan Trematoda


Bahan fiksasi:
Larutan formalin 5-8% atau
Larutan AFA yang dibuat dari:
Formalin komersial : 10 ml
Alkohol 95% : 50 ml
Glacial acetic acid : 2 ml
Akuades : 38 ml
Bahan pewarna: Semichons Acetic Carmine (SAC)
Pembuatan larutan SAC
1. Sebanyak 50 ml akuades dicampur dengan 50 ml acetic acid
masukkan ke dalam botol.
2. Masukkanb bubuk carmine berlebihan ke dalam botol.
3. Botol ditutup dengan penutup yang dilengkapi termometer.
4. Botol dimasukkan kedalam penangas air (waterbath) 100oCelcius
selama 15 menit.
5. Sesudah itu botol didinginkan sampai terjadi endapan.
6. Saring larutan permukaan lalu disimpan.

Cara pewarnaan Trematoda

1. Cacing yang ada di dalam 1% larutan garam dikocok dengan kuat selama 3
menit.
2. Larutan dibuang diganti dengan larutan ( 1% larutan garam + larutan fiksasi
dalam volume sama), lalu dikocok kuat selama 3 menit.
3. Cacing diambil dimasukkan ke dalam larutan fiksasi murni selama 3-12 jam.
398

4. Cacing diambil, dipindahkan ke dalam larutan alkohol-iodin selama 12 jam.


(Alkohol-iodin dibuat dengan menambahkan iodine pada alkohol 70% sampai
berwarna merah anggur).
5. Cacing diambil dipindahkan ke dalam alkohol 70%, diamkan beberapa jam
untuk melarutkan sisa iodin.
6. Cacing dipindahkan ke dalam pewarna SAC yang diencerkan 2x dengan
akuades.
7. Pindahkan cacing ke dalam alkohol asam ( 70% alkohol diberi beberapa tetes
HCl 1%) untuk dekolorisasi, sehingga tampak struktur cacing.
8. Cacing dicuci berulang kali dengan alkohol 70% sebagai proses netralisasi.
9. Sesudah itu cacing dipindah ke dalam larutan alkohol 85%, lalu 95% dan
alkohol 100% untuk pengeringan secara bertahap, masing-masing selama 30
menit.
10. Cacing dilekatkan pada kaca benda dengan larutan perekat (mounting
medium misalnya permount atau Canada balsam).

k. Fiksasi dan pewarnaan cestoda


Bahan fiksasi: larutan AFA (lihat fiksasi trematoda).
Bahan pewarna: larutan SAC.

Cara fiksasi dan pewarnaan:


1. Cacing dimasukkan dalam air dingin sehingga kontraksi cacing berhenti.
2. Sesudah itu cacing dimasukkan ke dalam larutan AFA.
3. Segmen yang dipilih dipotong dengan pisau tajam, lalu masukkan ke dalam
air selama beberapa menit.
4. Segmen dimasukkan ke dalam larutan SAC (encerkan 2x) selama waktu
tertentu sesuai dengan ukuran sediaan.
5. Lakukan dekolorisasi segmen dengan alkohol asam.
6. Segmen dicuci berulang dengan alkohol 70%.
7. Pengeringan bertahap dilakukan dengan alkohol 85%, 95% dan 100%,
masing-masing selama 30 menit.
399

8. Sediaan cacing dilekatkan pada kaca benda menggunakan permount atau


Canada balsam.

L. Pewarnaan mikrofilaria dalam darah ( Ehrlichs Hematoxylin)

1. Dibuat hapusan darah (thin smear) atau tetes tebal (thick smear), lalu keringkan.
2. Dilakukan hemolisis eritrosit pada tetes tebal menggunakan akuades selama 10
menit. Untuk thin smear tak perlu dilakukan hemolisis.
3. Sediaan difiksasi dengan larutan eter-alkohol (larutan eter dan etanol absolut
dengan volume sama, lalu dikeringkan.
4. Dilakukan pewarnaan selama 15-20 menit dengan larutan Erlich-Delafields
Hematoxylin dengan volume sama ( masing-masing larutan lebih dahulu
diencerkan 10x dengan alkohol 35%).
5. Dilakukan dekolorisasi dengan alkohol asam ( alkohol 35% dan 0.1% HCl)
6. Sediaan dicuci dengan air alkali selama 10-15 menit.
7. Dilakukan pengeringan bertahap dengan alkohol 35%, 70%, 95%, 100%, lalu
xylol.
8. Lekatkan sediaan dengan permount atau Canada balsam pada kaca benda.

Pembuatan larutan Ehrlichs Hematoxylin


Bahan:
Hematoxylin 2g
Etanol absolut 100 ml
Gliserin 100 ml
Glacial acetic acid 10 ml
Akuades 100 ml
Aluminium potassium sulfat 10g
Prosedur:
1. Hematoxylin dicampur dengan alkohol, lalu ditambahkan gliserin dan acetic
acid.
400

2. Dibuat larutan alum dengan akuades hangat.


3. Tuangkan larutan alum pelan-pelan ke dalam larutan no.1 lalu diaduk-aduk.
4. Simpan larutan no.3 dalam botol yang bertutup longgar selama 4 minggu,
sebelum digunakan sebagai stock solution.

m. Metoda biakan larva cacing (Harada-Mori)


Tujuan : membiakkan larva cacing tambang, Strongyloides stercoralis dan
Trichostrongylus orientalis)
Prosedur
1. Sejumlah 0.5 gram tinja dioleskan pada pertengahan kertas saring
berukuran 3x16 cm. 5 cm di ujung pertama kertas saring dan 1 cm di
ujung lainnya jangan diolesi tinja.
2. Kertas saring dimasukkan ke dalam tabung reaksi (panjang 18 cm
diameter 2 cm), dengan bagian tak bertinja (5cm) diletakkan di bawah
tabung.
3. Masukkan 3 ml air ke dalam tabung reaksi.
4. Tutup mulut tabung dengan kertas plastik yang diikat karet gelang.
5. Tabung reaksi disimpan di dalam inkubator (suhu 24-28oC) selama 10
hari.
6. Dengan menggunakan mikroskop pembesaran kecil dasar tabung
diamati untuk melihat adanya larva di dasar tabung .
7. Jika tampak larva, larva diambil dengan pipet bersama cairan dasar
tabung, lalu diperiksa dengan mikroskop pembesaran besar untuk
menentukan spesies cacing.
n. Memeriksa larva filaria pada nyamuk
1. Nyamuk betina yang telah lama mengisap darah dibunuh dengan kloroform,
karbon tetraklorida atau asap rokok
2. Sesudah dibuang sayap dan kakinya, nyamuk segera dicelupkan ke dalam
alkohol 35-50% lalu keluarkan
3. . Letakkan nyamuk di atas gelas objek di dekat satu tetes laruta garam faali.
4. Potong kepala nyamuk lalu letakkan di tetesan garam faali.
401

5. Kepala dan proboscis dibedah (panjang lebih dari 0.1 mm) lalu ditutup dengan
coverglass untuk menemukan larva infektif.
6. Dada nyamuk dibedah hati-hati, di dalam tetesan garam faali pisahkan
jaringannya . Sesudah ditutup dengan gelas penutup sediaan diperiksa di
bawah mikroskop.

o. Uji intradermal
Trikinosis
1. Larutan antigen Trichinella spiralis dalam garam faali ( 1:10.000) disimpan
di dalam refrigerator.
2. Antigen ( 1:10.000) sebanyak 0,1 ml disuntikkan intrakutan pada satu lengan,
dan 0.1 ml larutan garam faali pada lengan lainnya (sebagai control).
3. Sepuluh menit kemudian bekas suntikan diperiksa. Uji intradermal positif jika
terbentuk benjolan putih di daerah suntikan, dikelilingi daerah erimatus
dengan diameter 3 cm.

Hidatidosis
1. Dibuat larutan antigen (1:10.000) dengan mencampur bubuk antigen dengan
larutan garam faali.
2. 0,2 ml antigen disuntikkan intradermal pada lengan atas dan 0,2 ml larutan
garam faali di lengan lainnya.
3. Tempat suntikan diperiksa 15 menit kemudian. Jika terjadi pembengkakan
berarti reaksi intradermal positif.
402

KOLEKSI DAN PENGAWETAN SERANGGA

Tujuan mengumpulkan dan mengawetkan serangga antara lain adalah mempelajari


morfologi serangga dengan teliti, melakukan percobaan menggunakan serangga hidup
untuk mempelajari resistensi dan kepekaan insektisida, mempelajari mekanisme
perkembangan mikroorganisme di dalam tubuh serangga, dan untuk memudahkan
melakukan konsultasi ke pusat penelitian yang lebih lengkap..

Pengumpulan serangga
Agar usaha untuk menangkap dan mengumpulkan serangga berhasil, harus dipelajari
lebih dahulu biologi serangga sehingga dapat ditentukan tempat-tempat dan waktu yang
paling tepat untuk menangkap dan mengumpulkan serangga. Tempat yang tepat untuk
mengadakan koleksi serangga adalah sarang serangga yang menjadi tempat serangga
berkembang biak (breeding-place) dan tempat serangga mencari makanan. Serangga
yang merupakan ektoparasit pada manusia atau hewan ditangkap dan dikumpulkan dari
tubuh hospes definitif atau hospes perantara tempat serangga hidup.
Waktu-waktu yang paling tepat menangkap dan mengumpulkan serangga adalah
pada saat serangga aktif bergerak mencari makanan, atau aktif melakukan kegiatan hidup
lainnya. Serangga bergerak lebih aktif di musim panas pada waktu cuaca cerah, tidak
hujan, dan tidak berangin. Di musim dingin atau pada waktu turun hujan, serangga sukar
ditemukan karena umumnya bersembunyi di tempat-tempat yang sukar dilihat. Serangga-
serangga yang hidup siang hari sebaiknya dikoleksi pada waktu siang atau sore hari,
sehingga mudah dilakukan identifikasi sementara. Serangga yang hidup malam hari
dikumpulkan dengan bantuan lampu berwarna biru untuk menarik kumpulan serangga
datang mendekat, sehingga mudah ditangkap.

Alat dan perlengkapan koleksi serangga


Berbagai alat perlengkapan yang diperlukan untuk menangkap dan mengumpulkan
serangga adalah :
Jaring serangga. Alat ini digunakan untuk menangkap serangga berukuran besar
yang terbang, misalnya kupu-kupu;
403

Botol pembunuh serangga (killing-bottle). Botol bermulut lebar yang berisi bahan
kimia yang dapat membunuh serangga dengan cepat. Bahan kimia dapat
berbentuk cair yang mudah menguap (etil asetat, karbontetraklorida, chloroform)
atau berbentuk bahan padat yang mudah menguap misalnya cyanida.
Kotak atau tempat penyimpan serangga. Serangga dewasa yang baru ditangkap
sesudah dibunuh di dalam killing-bottle harus segera disimpan dalam kotak
penyimpan serangga, misalnya kotak plastik tempat obat (pill-box). Untuk
serangga bersayap lebar yang mudah rusak misalnya kupu-kupu, sesudah dibunuh
dalam killing-bottle kupu-kupu dalam posisi sayap terentang disimpan dengan
hati-hati ke dalam amplop surat, lalu amplop ditutup. Kemudian masing-masing
amplop disisipkan pada halaman-halaman buku atau map.
Larutan pengawet. Larutan pengawet yang dimasukkan ke dalam flakon gelas
bekas tempat obat suntik dapat digunakan untuk menyimpan beberapa jenis
serangga, misalnya larva lalat, ticks, chilopoda dan serangga bertubuh lunak
lainnya. Bahan pengawet yang dapat digunakan adalah alkohol 70%-100% atau
larutan formalin 4%-10%.
Forsep. Dengan alat ini serangga kecil atau serangga yang mudah rusak dapat
dipegang dengan hati-hati. .
Kaca pembesar (hand-lens). Untuk menentukan jenis serangga yang ditangkap,
kaca pembesar memudahkan melihat morfologinya.
Pipet. Alat ini digunakan untuk mengambil serangga yang hidup di air, misalnya
larva nyamuk yang berada di dalam tempat hidupnya (breeding-place).
Aspirator pengisap debu. Tungau debu rumah (house-dust mites) mudah
dikumpulkan dari debu yang berasal dari berbagai lokasi di dalam rumah, dari
debu karpet, kasur atau sofa.
Perangkap sinar (light-trap). Serangga terbang yang hidup malam hari mudah
dikumpulkan menggunakan perangkap sinar yang dilengkapi dengan lampu
berwarna biru.
404

Gambar 224. New Yersey-Type Light trap


( http://entnemdept.ufl.edu)

Pengawetan serangga
Serangga dapat diawetkan melalui tiga cara, yaitu menggunakan metoda penusukan
dengan jarum (pinning), membuat slide mikroskopik, atau menggunakan larutan
pengawet.

a.Metoda pinning
Sebaiknya metoda ini ini dilakukan terhadap serangga yang baru ditangkap
karena tubuhnya masih lunak. Jika serangga yang sudah tersimpan lama, tubuhnya rapuh
sehingga rusak jika ditusuk dengan jarum. Serangga yang sudah rapuh jika akan
dipinning tubuhnya yang sudah rapuh harus dilunakkan tubuhnya lebih dahulu dengan
menyimpannya di kotak lembab yang tertutup selama 24 jam. Dengan metoda pinning,
morfologi normal dan alami serangga mudah dipelajari. Jarum serangga yang digunakan
untuk proses pinning harus berukuran kecil, tipis, dan tidak berkarat.
405

Cara pinning: Pada serangga yang bertubuh lunak dan bersayap tipis, misalnya kupu-
kupu, jarum ditusukkan pada pertengahan toraks dari arah dorsal (punggung) kearah
ventral (perut). Untuk serangga bersayap keras misalnya Coleoptera jarum ditusukkan
pada basis sayap dari arah dorsal menuju ventral.

Gambar 225. Pinning Coleoptera


(URL: http://www.cals.ncsu.edu/course/ent425)

Serangga kecil misalnya nyamuk dewasa, pinning dilakukan dengan metoda card-point
pinning atau metoda minuten-pinning. Pada card-point pinning serangga dilekatkan pada
ujung lancip karton berbentuk segitiga, lalu karton ditusuk dengan jarum pada basis dari
segitiga. Pada metoda minuten pinning, digunakan dua jenis ukuran jarum, yaitu jarum
besar untuk menusuk karton atau gabus segiempat, sedangkan jarum kecil untuk menusuk
serangga dari arah ventral menuju dorsal. Lihat gambar. Serangga yang sudah dipinning
harus diberi label yang berisi keterangan tentang nama serangga, tempat dan tanggal
koleksi, nama kolektor dan keterangan lain yang dianggap perlu.

Koleksi serangga yang sudah dipinning harus disimpan di dalam kotak serangga berkaca
yang tertutup rapat dan selalu kering. Sebaiknya kotak serangga diberi repellen untuk
mengusir serangga perusak, dan bahan pengering (desiccator) misalnya butiran silica
agar kotak tidak menjadi lembab.
406

Gambar 226. Tempat penusukan jarum pada serangga


( Sumber: Northern Carolina State University, Course)

b.Larutan pengawet
Serangga bertubuh lunak misalnya kupu-kupu, larva lalat, lalat, ticks, centipedes, dan
millipedes dapat disimpan di dalam botol tertutup rapat yang berisi larutan pengawet.
Yang dapat digunakan adalah alkohol 70%-100% atau formalin 4%-10%. Botol
penyimpan diberi label dengan keterangan yang lengkap.

c.Slide mikroskopis
Serangga berukuran sangat kecil yang untuk menentukan jenisnya harus diperiksa di
bawah mikroskop harus diproses dalam bentuk slide mikroskopis. Slide dapat dibuat
secara permanen atau semi-permanen.
Pembuatan slide semi permanen : Keringkan serangga lebih dahulu dengan kertas tissue,
letakkan di atas gelas objek. Tetesi dengan permount atau Canada balsam, lalu tutup
dengan gelas penutup (coverglass). Kemudian keringkan pada suhu kamar.
407

Pembuatan slide permanen


Untuk membuat slide permanen dilakukan prosedur sebagai berikut:
a. Proses penipisan (clearing). Masukkan serangga ke dalam larutan KOH 10%
selama 1-10 jam (tergantung tebalnya pigmen kulit serangga) atau panaskan
lebih dahulu KOH tetapi jangan sampai menguap.

b. Proses dehidrasi. Keringkan serangga secara bertahap menggunakan alkohol


konsentrasi bertingkat mulai dengan alkohol konsentrasi 30%-50%-70%-90%-
100%, kemudian dimasukkan ke dalam larutan xylol. Lamanya waktu pada
masing-masing larutan adalah 10 menit.

c. Proses mounting. Serangga yang sudah kering diletakkan pada gelas objek,
lalu tetesi dengan permount atau Canada balsam, lalu tutup dengan coverglass.
Keringkan pada suhu kamar atau panaskan slide pada pemanas slide (slides
warming table).
408

DAFTAR PUSTAKA

1. Abercrombie,M. M.Hickman, M.L.Johnson dan M.Thain, 1997. Kamus Lengkap


Biologi, Penguin, penerbit Erlangga, Jakarta.
2. Adam and Maegraith, 1966. Clinical and Tropical Disease, Fourth Edition.
Blackwell Scientific Publication, Oxford, Edinburg.
3. Ahmad Ramali dan K.St.Pamoentjak1996. Kamus Kedokteran, Penerbit
Jambatan, Jakarta.
4. Armed Forces Pest Management Board, 2006.Filth Flies. Trchnical Guide No.30.
5. Bangs, M.J., Sirait,S., Purnomo and Maguire, J.D. 2006. Strongyloidiasis with
gastric nucosal invasion presenting with acute interstitial nephritis. Southeast
Asian J. Trop.Med.Public Health, Vol.37No.4, July 2006.
6. Bartges J. 2001. Giardia lamblia, University of Tennessee
7. Beaver, P.C., Yung RC., Cup EW., 1984. Clinical Parasitology, Ninth Edition Lea
Febiger, Philadelphia.
8. Blacklock and Southwell, 1966. A guide to Human Parasitology, 8th Edition,
London, ELBS.
9. Brooke MM., Melvin, DM, 1969. Morphology of Diagnostic Stages of Intestinal
Parasitesof Man. Public Health Service Publicatio, No. 1966.
10. Brown HW., 1969. Basic Clinical Parasitology, 3rd Edition, New York: Appleton-
Century-Crofts.
11. Buckelew TP, 2007. Cestodes, California University of Pennsylvania.
http://www.workforce.cup.edu/buckelew/cestodes.htm
12. Budiyani,L.2006. Infeksi giardia lamblia pada balita di kecamatan Jatinegara:
kaitannya dengan status nutrisi. Perpustakaan Universitas Indonesia.
13. CDC,USA Division of Parasitic Disease, 1999. Balantidium Infection, Center for
Disease Control and Prevention, National Center for Infectious Disease, USA.
14. CDC,USA Division of Parasitic Disease, 1999. Cyclospora infection, Center for
Disease Control and Prevention, National Center for Infectious Disease, USA.
409

15. CDC,USA-DPDx, 1999. Parasites and Health: Cystoisospora belli, Laboratory


Identification of Parasites of Public Health Concern.
16. CDC,USA Parasite and Health, 1992. Cercarial Dermatitis, CDC,USAMMUR;
41(14).
17. CDC,USA Parasite and Health, Free LivingAmebic Infection.
http://www.dpd.CDC,USA.gov/dpdx
18. CDC,USA Parasite and Health, 2007. Parasitic Diseases, Ascaris lumbricoides,
Center for Disease Control and Prevention, National Center for Infectious
Disease, USA.
19. CDC,USA Parasite and Health, 2003. Hookworm and Strongyloides Larvae,
Center for Disease Control and Prevention, National Center for Infectious
Disease, USA.
20. CDC,USA Malaria, 1974.Identification and Diagnosis of Parasites of Public
Health Concern. http://www//dpd.CDC,USA.gov/dpdx.HTML/malaria.htm
21. Center for Health Protection , 2005. Myiasis, Hongkong Department of Health.
22. Chacon-Cruz,E. and Mitchell,DK., 2006. Intastinal Protozoal Disease, e-
Medicine, http://www.emedicine.com/ped/topic1914.htm
23. Chatterjee KD. 1969. Parasitology, 7th Edition, Published by the author, Calcutta.
24. Class of 2005. Trypanosoma cruzi, Blackburg, Virginia: Virginia-Maryland
Regional College of Veterinary Medicine.
25. College of Medicine, 1995. Microscopic View of the Sarcoptes scabiei, University
of Iowa.
26. Corry Jebkucik, Martin GL, and Sortor, 2004. Common Intestinal Parasites,
American Family Physician, 69(5).
27. Delorenzi,NA. and Navone,G.,2001. Hookworm, Necator americanu, CEPAVE,
La Plata, Buenos Aires, Argentina, http://www.cdfound.to.it/HTML
28. Department of Dermatology,1995. Microscope View of the Sarcoptes scabiei mite,
Iowa University, College of Medicine.
29. Departemen Kesehatan, 2004. Penggunaan Artemisinin Untuk Atasi Malaria di
daerah Yang Resisten Klorokuin, Pusat Data dan Informasi, 27 April 2004.
410

30. Departemen Kesehatan R.I. Petunjuk Pemberantasan Taeniasis/Sistiserkosis di


Indonesia.
31. Department of Health, 2007. Parasitic Diseases, Centers for Disease Control and
Prevention, Atlanta, Georgia, USA.
32. Department of Health and Tropical Medicine, 2002. Diagnostic Parasitology
Laboratory; Giardiasis. Missouri University.
33. Department of Pathology, 2006. Protozoa, University of Cambridge.
34. Desser, SS, 2000. Eimeria, Department of Zoology .University of Toronto,
Canada.
35. Depkominfo, 2009. Indonesia masih beresiko malaria, Pusat Data Departemen
Komunikasi dan Informatika.
36. Diagnostic Parasitology Laboratory, 2007. Dientamoeba fragilis, London School
of Hygiene and Tropical Medicine.
37. Diagnostic Parasitology Laboratory, 2002. Giardiasis, London School of Hygiene
and Tropical Medicine.
38. Division of of Parasitic Diseases, 2001. Ascariasis, CDC,USA, Atlanta Georgia,
USA.
39. Division of of Parasitic Diseases, 2001.Dipylidium caninum infection, CDC,USA,
Atlanta Georgia, USA.
40. Division of of Parasitic Diseases, 2001.Diphyllobothriasis, CDC,USA, Atlanta
Georgia, USA.
41. Dubey,JP. and Beattie, CP..1988. Toxoplasmosis of Animals and Man. Boca Raton,
Florida: CRC Press.
42. Faust and Russel, 1965. Craig and Fausts Clinical Parasitology, 7th Edition,
Philadelphia: Lea and Febiger.
43. Fox,JC. 2004. Clinical Parasitology Images, OSU College of Veterinary
Medicine, Oklahoma State University.
44. Garcia,LC.and Lynne,S.2001. Dientamoeba fragilis, Diagnostic Medical
Parasitology, International Journal of Parasitology, 29, ASM Press.
45. Hardin, 2007. Tapeworm Pictures, Hardin Library for the Health Science,
University of Iowa. http://www.lib.uiowa.edu/hardin/-/-html
411

46. Human Parasitology Tutorial, 2000. Taenia solium, Stanford University.


47. James and Harwood, 1971. Herms Medical Entomology, Sixth Edition, The
Macmillan Company, Collier-Macmillan Ltd.
48. Jim Kalisch, 2003. Musca domestica, Department of Entomology University of
Nebraska, Lincoln.
49. John Williams, 2003. Blastocystis hominis, Department of Infectious and Tropical
Diseases, London School and Hygiene and Tropical Medicine.
50. Jul Gaffar, 2001. Cestodes (Tapeworm). Microbiology and Immunology Online,
School of Medicine University of South Carolina .
51. Jul Gaffar, 2004. Intestinal and Luminal Protozoa. Microbiology and
Immunology Online, School of Medicine University of South Carolina .
52. Junta Karbwang and T.Harinasuta, 1992. Handbook of Antiparasitic Drugs.
Ruamtasana Co., Bangkok.
53. Keith,DL.and W.L.Kramer,1993. Mosquito Update for Nebraska, University of
Nebraska., Lincoln, NE.
54. Laboratory Division Public Health Concern, 2004. Echinococcosis Fact
sheet.CDC,USA DPDx., Centers for Disease Control and Prevention.
55. Laboratory Division Public Health Concern, 2001. Hookworm Diagnostic
Findings, CDC,USA DPDx, Centers for Disease Control and Prevention.
56. Laboratory Division Public Health Concern, 2001. Filariasis Diagnostic
Findings, CDC,USA DPDx, Centers for Disease Control and Prevention.
57. Laboratory Identification of Parasites of of Public Health Concern, 2002.
Common Invader of the Human Body, Parasitic Image , CDC,USA-DPDx.
58. Laboratory Division Public Health Concern, 2001. Giardia intestinalis, CDC,USA
DPDx, Centers for Disease Control and Prevention.
59. Marc Lontie, 2001. Planorbis and Bulinus, Medish centrum voor Huisartsen,
Leuven, Belgium. http://www.cdfound.to,it/HTML/sch2.htm
60. Marcelo de Campos Pereira, 2001. Triatoma infestans, University of Sao Paolo,
Department of Parasitology.
412

61. Mardiana dan Djarismawati 2005. Prevalensi Cacing Usus pada Murid Sekolah
Dasar di Daerah Kumuh di Wilayah DKI Jakarta. Kongres dan Seminar Nasional
Entomologi Kesehatan dan Parasitologi, Bandung, 18-22 Agustus 2005.
62. Martinez, AJH, 2001. Free living amoebas: Naegleria, Acanthamoeba and
Balamothia. http://www.modares.ac.ir/elearning/Dalimi/Proto/-
63. MacLean,JD.,2007. Trichomonas vaginalis. Clinical Parasitology , McGill Center
for Tropical Disease.
64. MacLean,JD.,2005. Trypanosoma cruzi. Clinical Parasitology , McGill Center for
Tropical Disease.
65. Medical Letter Editors, 2004. Drugs for Parasitic Infections. The Medical Letter,
Vol.46 (Issue 1189).
66. NguyenT.Chanh,006Gnathostoma,http://www.khoahoc.net/baivo/-/200706-
ancasong.htm
67. NCID, 2001. Toxocara infection and animals.Healthy Pets Healthy People, US
Department of Health and Human Services.
68. Owen,I.L. a.o. 2001. Focus of Human Trichinellosis in Papua New Guinea.
Am.J.Trop.Med.Hyg. 65(5), 2001, 553-557.
69. Parasite Image Library, 2001. Cyclosporiasis, Division of Parasitic Diseases,
Centers for Disease Ccntrol, Atlanta.
70. Parasite Image Library, 2004. Trichuriasis, Division of Parasitic Diseases, Centers
for Disease Ccntrol, Atlanta.
71. Parasite Image Library, 2004. Heterophyasis, Division of Parasitic Diseases,
Centers for Disease Ccntrol, Atlanta.
72. Parasitology Department, 2003. Blastocytosis, Oregon State Public Health
Laboratory.
73. Peter Darben, 1997. Sarcoptes scabiei, Technology Clinical Parasitology
Collection, Queensland University.
74. Redbook Online, 2003. Ascaris lumbricoides, American Academy of Pediatrics.
75. Richard Hunt,2004. Arthropods, Parasitology Chapter Seven, Microbiology and
Immunology Online, University of South Carolina,School of Medicine.
413

76. Richardson and Kendall, 1969. Veterinary Protozoology, 3rd Edition, Oliver and
Boyd Ltd, Edinburg.
77. Russel,RC.,1996. Mansonia, A colour photo atlas of mosquitoes of Southeastern
Australia.
78. Sodeman Jr., WA.2001.Intestinal Protozoa:Amebas.
http://www.modares.ac.ir/elearning/ Dalimi/Proto/Lecture
79. Soulsby, 1968. Helminths, Arthropoda, and Protozoa of Domesticated Animals, 6th
Edition, London: Balliere, Tyndall and Cassel.
80. Sudomo, M. 2008. Penyakit parasitik yang kurang diperhatikan di Indonesia.
Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Entomologi dan Moluska, 15 Januari
2008, Balitbangkes, Departemen Kesehatan R.I.
81. Sudomo,M. dan Sasono, M.D.P. 2007. Pemberantasan schistosomiasis di
Indonesia, Bul. Penel.Kesehatan, Vol.25,No.1, 36-45, 2007.
82. Terazawa a., Muljono R., Susanto L.,Margono, S.S. and Konishi,E. 2003. High
Toxoplasma Antibody Prevalence Among Inhabitans in Jakarta, Jpn J. Infectious
Disease, 56:107-9.
83. Thyssen, PJ. and AX.Linhares, 2007. First decription of the Immature stages of
Hemilucilia segmentaria.Biol.res 40:271-280.
84. Tim Clarke, 2001. Taenia saginata, Microbiology Department, Royal Hallamshire
Hospital, Sheffield, UK.
85. Uniformed Services University of the Health Services: Diagnostic of Parasitology
and Medical Zoology, USUHS, Bethesda, Maryland.
86. Upton, SJ. 2001. Cyclospora cayetanensis, Division of Biology, Kansas State
University, Manhattan, KS.
87. Upton,SJ., 2001. Pediculosis, Biology Division, Kansas State University,
Manhattan, KS.
88. Wandra, T., et al. Current Situation of Taeniasis and Cysticercosis in Indonesia.
89. WHO, 1991. Basic Laboratory Methods in Medical Parasitology, WHO
Publication, Geneve.
90. WHO, 2005. The Brugia malayi, Wohlbachia DNA Sequencing Project.
414

91. WHO Expert Committe, 1985. The Control of Schistosomiasis, WHO Technical
Report Series Nr. 728, World Health Organization, Geneve.
92. WHO Scientific Group, 1985. Arthropods borne and Rodensiat borne Viral
Diseases.WHO Technical Report Series, No. 719, World Health Organization,
Geneve.
93. WHO Expert Committee, 1978. Parasitic Zoonoses, World Health Organization,
Geneve.
94. White,G.(Editor) 2006. Filth flies Significance , Technical GuideNo.30,
Department of Entomology and Nematology, University of Florida.
95. Wiser, MF. 1999. Intestinal Protozoa, Department of Tropical Medicine, Tulane
University.
415

GLOSARIUM

AIDS. Acquired immune deficiency syndrome.


Abdomen. Bagian tubuh yang berisi organ perut.
Abate. Insektisida untuk memberantas larva nyamuk Aedes aegypti yang terdapat di
dalam rumah.
Abortus. Keguguran, terhentinya kehamilan sebelum 28 minggu.
Accole. Terdapat di bagian tepi eritrosit.
Acetylcholine, asetilkolin. Neurotransmitter pada interneuron dan antara otot dan saraf.
Aerobic, aerobik. Membutuhkan oksigen bebas.
Akariasis. Iritasi pada kulit yang ditimbulkan oleh mites.
Aksonema, Axonema. Inti mikro badan silia dan flagel.
Amastigot. Stadium tanpa flagel (aflagela) dari Leishmania.
Amuboma, Amoeboma. Jaringan granuloma yang terbentuk di usus pada amubiasis
usus.
Anaerobic, anaerobik. Tidak membutuhkan oksigen bebas.
Anal swab, Usap dubur. Usapan kulit di daerah sekitar anus untuk mendapatkan telur
Enterobius vermicularis.
Annoyance. Gangguan terhadap ketenangan hidup.
Anaphylaxis, anafilaksis. Bentuk reaksi hipersensitif yang berat, dapat menyebabkan
syok atau kematian penderita.
Antenna, antena. Organ indera penciuman dan peraba yang terdapat pada artropoda.
Appendage. Tonjolan anggota badan.
Asexual, aseksual. Reproduksi yang tidak melibatkan meiosis, produksi gamet,
fertilisasi, perpindahan materi genetik, dan partenogenesis.
Autonfeksi, Autoinfection. Penularan yang disebabkan oleh parasit
(misalnya Strongyloides stercoralis) yang sebelumnya sudah ada di dalam tubuh hospes.
416

Bintik Schuffner, Schuffner dots.. Bintik-bintik yang terdapat pada Plasmodium vivax
stadium trofozoit bentuk amuboid yang menginfeksi sel darah merah.
Biological Control, Pengendalian Hayati. Pengendalian terhadap hama dan parasit
menggunakan organisme dan atau produknya.
Biotic Factor, Faktor Biotik. Faktor organisme hidup (hewan, manusia, tumbuhan) yang
mempengaruhi lingkungan hidup.
Black fever. Leismaniasis viseral atau penyakit Kala-azar. Disebut demikian karena kulit
penderita berwarna hitam akibat terjadinya hiperpigmentasi.
Black water fever. Bentuk malaria falciparum yang disertai hemolisis intravaskuler,
demam dan hemoglobinuria.
Blepharoplast, Blefaroplast. Bentuk kinetoplas beberapa jenis protozoa yang merupakan
inti pelengkap. Pada bentuk trofozoit protozoa, dari blefaroplas keluar lebih dari satu
flagel.
Blinding filariasis. Filariasis penyebab kebutaan yang disebabkan oleh infeksi
Onchocerca volvulus ( onkosersiasis, onkoserkosis).
Booklungs, Paru-paru buku. Organ respirasi pada arachnida berupa membra tipis yang
berbentuk seperti lembaran-lembaran buku.
Bothria, botria. Lekukan berbentuk celah yang terdapat pada kepala cacing
Diphyllobothrium latum.
Brood capsule. Kapsul yang terbentuk dari bagian dalam kista hidatid disertai
pembentukan sejumlah besar skoleks.
Bursa copulatrix, Bursa kopulatrik. Alat bantu kopulasi yang terdapat di ujung posterior
tubuh cacing nematoda jantan.
Calabar swelling. Pembengkakan jaringan subkutan yang terjadi sebagai reaksi alergi
hospes terhadap cacing Loa loa dewasa yang mengembara di jaringan bawah kulit..
Carnivora, karnifor. Hewan pemakan daging.
Carrier, Karier. Individu yang dapat menularkan penyakit ( karena membawa stadium
infektif organisme penyebab penyakit) tetapi tidak menunjukkan gejala sakit.
Caudal cerci. Struktur yang terdapat pada bagian caudal dari abdomen nyamuk betina.
Cephalic cone. Tonjolan khas di daerah anterior tubuh cacing dewasa Fasciola hepatica.
417

Cephalothorax, Sefalotoraks. Penyatuan (fusi) dari segmen kepala dan segmen toraks,
misalnya pada arachnida dan beberapa jenis crustacea.
Cercaria, Serkaria. Larva stadium terakhir Trematoda yang terjadi di dalam tubuh siput,
berkembang dari larva redia. Larva serkaria kemudian meninggalkan tubuh siput dan
berenang bebas di dalam air.
Cerci, Serki. Satu pasang alat indera yang merupakan tonjolan (appendages) di ujung
segmen abdomen serangga.
Cervical alae, Sayap leher. Pelebaran kutikula leher cacing dewasa Enterobius
vermicularis atau Toxocara yang berbentuk seperti sayap .
Chelicera. Bentuk seperti taring pada mulut arachnida yang berfungsi untuk menggigit
mangsa.
Coenurus. Kista dengan banyak skoleks yang terjadi pada larva Multiceps yang terdapat
di dalam susunan saraf pusat.
Coenurosis. Infeksi larva coenurus pada manusia yang dapat menimbulkan penyakit
yang berat dengan prognosis yang buruk. Infeksi terjadi karena tertelan telur cacing yang
berasal dari tinja anjing yang menderita infeksi Multiceps.
Compound eyes, Mata majemuk. Mata yang mempunyai banyak lensa yang masing-
masing lensa menangkap satu bagian dari obyek yang dilihat.
Ctenidium. Bentuk seperti sisir (comb) yang terdapat pada pinjal.
Cutting plate, Pelat pemotong.. Gigi berbentuk pelat pemotong yang terdapat pada
mulut Necator americanus .
Cysticercus bovis, Sistiserkus bovis. Larva Taenia saginata.
Cysticercus cellulosae, Sistiserkus selulosa. Larva Taenia solium.

Decapoda. Kelas crustacea berukuran besar, termasuk udang dan kepiting


Dehydrogenase. Enzim yang berfungsi sebagai katalisator reaksi redoks dengan
meniadakan hidrogen dari suatu substrat dan memindahkannya ke substrat lainnya.
Definitive host, Hospes definitif atau final host. Hospes yang menjadi tempat hidup
parasit dewasa atau parasit matang seksual (sexually mature).
418

Diecious. Jantan dan betina mempunyai organ seksual yang berbeda (uniseksual)..
Digenetik. Daur hidup lengkap terdiri dari 2 generasi, yaitu generasi seksual dan
generasi aseksual.
Diurnal. Di dalam darah tepi mikrofilaria hanya dijumpai pada waktu siang hari,
Diurnal subperiodik, Subperiodic diurnal. Di dalam darah tepi mikrofilaria dalam
jumlah banyak ditemukan pada waktu siang hari, sedangkan pada waktu malam hari
mikrofilaria jarang ditemukan.
Double infection, Infeksi ganda. Ditemukan lebih dari satu parasit malaria di dalam satu
sel eritrosit .
Duodenum. Usus duabelas jari.
Dwarf tapeworm, Cacing pita kerdil. Nama umum dari cacing Hymenolepis nana.

Egg balls, Bola-bola telur. Telur-telur Dipylidium caninum yang terbungkus di dalam
kantung-kantung yang masing-masing kantung berisi sekitar 15-20 butir telur.
Ektoparasit, Ectoparasite. Parasit yang hidup di permukaan tubuh hospes (menimbulkan
infestasi).
Elefantiasis, Elephantiasis. Fibrosis saluran limfe dan proliferasi endotel saluran limfe
akibat terjadinya obstruksi saluran limfe oleh cacing filaria yang mati di dalam saluran
limfe.
Embrio. Organisme muda yang berkembang dari sel telur sesudah terjadi reproduksi
seksual.
Endemic typhus, tifus endemis. Riketsiosis disebabkan oleh Rickettsia mooseri yang
ditularkan oleh pinjal.
Endoparasit, Endoparasite. Parasit yang hidup di dalam tubuh hospes (menyebabkan
infeksi).
Enterobiosis. Infeksi cacing Enterobius vermicularis.
Eosinofil, Eosinophil. Salah satu jenis dari sel darah putih (leukosit).
Eosinofilia, Eosinophylia. Jumlah eosinofil darah lebih dari 3%.
419

Epidemic typhus, tifus epidemik. Riketsiosis disebabkan oleh Rickettsia prowazekii yang
dapat ditularkan oleh Pediculus humanus corporis.
Espundia. Leishmaniasis nasofaring.
Exoskeleton. Rangka yang menutup bagian luar tubuh.
Extracellular, Ekstraseluler. Berada di luar membran plasma.
Extra-intestinal amoebiasis. Amubiasis pada manusia yang ditimbulkan oleh
Entamoeba histolytica yang menyerang organ-organ di luar usus misalnya hati, paru,
otak, kulit dan jaringan tubuh lainnya.

Fasioliasis, Fascioliasis. Infeksi oleh Fasciola hepatica.


Femur. Segmen ketiga dari lima segmen kaki serangga yang umumnya berukuran paling
besar.
Fertilized egg. Telur yang tak dibuahi (misalnya pada Ascaris lumbricoides) karena di
dalam usus penderita hanya terdapat cacing betina saja. Bentuk telur lebih lonjong dan
berukuran sekitar 80x 55 mikron dan tidak mempunyai rongga udara.
Fetus, Foetus. Janin.
Filament, Filamen. Struktur berbentuk benang panjang.
Filaria oculi. Infeksi Loa loa yang menyerang mata.
Filariform larva. Larva cacing tambang yang infektif, berbentuk langsing dengan
panjang tubuh sekitar 600 mikron.
Fission. Pembelahan.
Flagel. Alat gerak berbentuk tali yang terdapat pada Mastigophora (misalnya Giardia
lamblia).
Flame cell, Sel api. Sistem ekskresi pada Trematoda yang untuk tiap-tiap spesies khas
bentuknya.
Flask-shape ulcers. Pada pemotongan melintang ulkus pada amubiasis usus
menunjukkan gambaran seperti botol. Dasar ulkus berisi bahan nekrotik berwarna
kekuningan atau kehitaman.
420

Formed applique. Pada malaria falciparum, trofozoit muda Plasmodium falciparum


yang berbentuk cincin tampak berinti dan sebagian sitoplasma berada di bagian tepi dari
eritrosit.
Fungi. Jamur.
Furcocercus cercaria, Serkaria yang mempunyai ekor bercabang (misalnya pada
Schistosoma).

Gamet. Sel nutfah haploid yang berperan untuk fertilisasi.


Gametogoni, Gametogony. Tahap pembentukan gamet yang merupakan salah satu
tahapan daur hidup aseksual Plasmodium di dalam tubuh manusia.
Gametosit, Gametocyte. Bentuk yang terjadi dari perkembangan sebagian merozoit
sesudah tahap skizogoni eritrositik berlangsung beberapa kali. Perkembangan ini terjadi
di dalam eritrosit yang terdapat di dalam kapiler-kapiler limpa dan sumsum tulang. Hanya
gametosit yang sudah matang dapat ditemukan di dalam darah tepi.
Gamma globulin, Globulin gama. Globulin serum imun yang bersifat sebagai antibodi.
Ganglion. Massa jaringan saraf yang banyak berisi sel-sel tubuh (cell bodies).
Gene, Gen. Satuan terkecil dari hereditas yang menyandikan hasil molekuler sel.
Genetic, Genetik. Berkaitan dengan gen.
Genitalia, Genetalia. Organ reproduksi eksternal.
Genital pore. Lubang kelamin yang terletak di salah satu sisi (jika hanya sebuah) atau di
kedua sisi segmen Cestoda jika ada dua buah genital pore.
Genital sucker. Alat isap genital yang terdapat di bagian posterior dari alat isap ventral
cacing Trematoda yang dapat digerakkan ke dalam dan ke luar.
Grams stain. Pewarnaan Gram.
Granul volutin, Volutine granule. Butiran-butiran yang terdapat di dalam sitoplasma
protozoa, misalnya Trypanosoma.
Granuloma. Reaksi granulomatosis berbentuk mirip tumor usus yang terjadi pada infeksi
parasit misalnya pada amubiasis usus kronis.
421

Ground-itch. Gatal kulit di tempat masuknya larva filariform cacing ke dalam kulit,
misalnya pada infeksi cacing tambang.
Gynaecophoric canal. Saluran yang terdapat pada badan cacing jantan Schistosoma,
tempat cacing betina berada pada saat kopulasi.

Tempat hidup, Tempat hidup. Tempat hidup organisme.


Haemolysis, Hemolisis. Pemecahan sel darah merah disertai lepasnya hemoglobin.
HIV. Human Immunodeficiency virus. Virus imunodefisiensi manusia.
Haemocele . Rongga tubuh artropoda yang bertindak sebagai rongga darah.
Hair tufts. Kelompok rambut yang terdapat pada sifon larva nyamuk.
Halo. Daerah terang yang tampak di sekeliling kariosom dari inti Entamoeba.
Halter. Alat keseimbangan pada Diptera yang merupakan bentuk modifikasi dari sayap
belakang.
Halzoun. Laringofaringitis yang terjadi akibat penderita makan hati mentah yang
mengandung cacing Fasciola hepatica muda yang kemudian melekat di mukosa faring.
Hanging-groin. Kantong kulit yang berisi kelenjar limfe femoral atau inguinal yang
mengalami sklerosis akibat infeksi Onchocerca volvulus.
Hemolisis, haemolysis. Pecahnya sel-sel darah.
Herbivora. Hewan pemakan tumbuhan.
Hermafrodit, Hermaphrodite. Organ kelamin jantan (testis) dan betina (ovarium)
terdapat bersama-sama pada satu individu organisme atau parasit, misalnya cacing
Cestoda..
Hexacanth embryo, Embrio heksakan. Embrio cacing Taenia yang mempunyai enam
kait.
Hexapoda. Mempunyai enam kaki.
Hidatidosis. Infeksi kista hidatid pada manusia yang terjadi sesudah tertelan telur cacing
Echinococcus granulosus.
Hiperendemis. Daerah endemis malaria dengan indeks limpa yang selalu di atas 75
persen disertai tingginya indeks limpa pada orang dewasa.
422

Hipoendemis. Daerah endemis malaria dengan indeks limpa antara 0 sampai 10 persen.
Hipostom, hypostome. Organ mulut yang dilengkap gigi gigi pemotong pada caplak
(ticks).
Histamin. Vasodilator yang terbentuk sebagai reaksi terhadap masuknya antigen yang
sesuai.
Holoendemis. Daerah endemis malaria dengan indeks limpa selalu di atas 75 persen.
Sedangkan indeks limpa pada orang dewasa rendah. Hal ini menunjukkan adanya
toleransi yang kuat orang dewasa terhadap malaria.
Hospes, Host. Organisme (disebut juga inang) tempat parasit menggantungkan sepenuh
hidupnya.
Hooklets. Kait yang terdapat di rostellum (bagian kepala yang menonjol) dari cacing
Taenia.
Hookworm. Cacing tambang atau cacing kait, misalnya Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus yang merupakan parasit pada manusia.
Hospes definitif, Definitive host. Hospes yang menjadi tempat hidup parasit dewasa atau
parasit matang seksual (sexually mature).
Hospes insidental, Incidental host. Manusia menjadi hospes parasit tertentu yang
sebenarnya secara alami hidup pada hewan.
Hospes perantara, Intermediate host. Hewan yang menjadi tempat berkembangnya
stadium muda parasit, misalnya bentuk larva untuk melengkapi daur hidup parasit.
House dust mites. Tungau (mites) yang terdapat pada debu rumah dan menjadi penyebab
utama alergi pada debu yang dapat menimbulkan asma.
Hyaluronidase, Hialuronidase. Enzim yang berperan dalam hidrolisis asam hialuronat,
mengurangi viskositasnya.
Hypopygium. Organ seksual yang terdapat pada nyamuk jantan.

Ileum, Ileum. Usus halus bagian bawah terletak paling dekat dengan usus besar (kolon).
Imago. Serangga dewasa yang telah matang seksual.
423

Imunitas, Immunity. Kekebalan, kemampuan untuk bertahan terhadap masuknya benda


asing maupun infeksi parasit dan organisme yang merugikan lainnya.
Immunocompromised. Mengalami gangguan dan penurunan daya tahan atau imunitas
tubuh.
Immunofluorescence, Imunofluoresensi. Penggunaan pewarna fluoresen pada antibodi
untuk mendeteksi antigen-antigen yang spesifik.
Immunoglobulin, Imunoglobulin. Salah satu jenis protein globin yang beraktivitas
sebagai antibodi.
Incomplete metamorphosis, Metamorfosis tak lengkap. Metamorfosis dimana hewan
muda tumbuh bertahap sehingga mempunyai bentuk seperti organisme dewasa.
Index limpa, Spleen Index. Penetapan endemisitas malaria suatu daerah dengan
memeriksa penduduk yang limpanya membesar. Ukuran besarnya limpa ditentukan
dengan menggunakan metoda Schuffner atau disesuaikan dengan ukuran lebar jari di
bawah iga kiri. Pengukuran limpa dilakukan pada anak berumur antara 2 sampai dengan
9 tahun, pada saat penyakit malaria berada di puncak serangan dan limpa berada pada
ukuran maksimum.
Index parasit, Parasite Index. IP adalah persentase anak berumur antara 2 dan 9 tahun
yang pada pemeriksaan tetes tebal darah tepi menunjukkan adanya Plasmodium. Di
daerah endemis, IP pada anak selalu lebih tinggi dari pada IP orang dewasa.
Infection rate nyamuk, Derajat infeksi nyamuk. Infection rate nyamuk Anopheles
ditentukan dengan membedah lambung nyamuk untuk menemukan ookista dan
memeriksa kelenjar ludah nyamuk untuk menunjukkan adanya sporozoit.
Invertebrata. Semua organisme yang tidak termasuk vertebrata.

Jaundis. Warna kekuningan pada selaput konjungtiva.


Jejunum. Bagian usus kecil sesudah duodenum.
Jelly fish. Ubur-ubur.

K
424

Kapilariasis, Capillariasis. Infeksi dengan Capillaria.


Karier amubiasis, Amoebic carrier. Penderita amubiasis yang tidak menunjukkan gejala
klinis, tetapi selalu mengeluarkan kista infektif Entamoeba histolytica di dalam tinjanya.
Kariosom, Karyosome. Kariosom atau plastin.adalah salah satu struktur inti protozoa.
Kelenjar vitelin, Vitelline glands atau vitellarium. Kelenjar organ seksual yang
menghasilkan bahan untuk mematangkan telur.
Kiluria, Chyluria. Urin penderita filariasis yang berwarna putih susu yang mengandung
lemak, albumin dan fibrinogen dan kadang-kadang juga dapat ditemukan mikrofilaria.
Kinetoplas, Kinetoplast. Inti pelengkap yang terdapat pada beberapa jenis protozoa yang
berbentuk blefaroplas atau benda parabasal.
Kista, Cyst. Stadium protozoa yang terbungkus di dalam dinding tebal sehingga parasit
tidak dapat bergerak sendiri, tidak dapat tumbuh, dan tidak dapat memperbanyak diri.
Dalam bentuk kista, parasit mampu bertahan terhadap pengaruh lingkungan hidupnya,
misalnya suhu yang tinggi, kekeringan, kelembaban tinggi, tahan terhadap bahan kimia,
dan lain sebagainya. Karena itu, kista adalah stadium infektif protozoa yang dapat
ditularkan dari satu penderita ke individu lainnya.
Kista hidatid , Hydatid cyst. Fase larva cacing Echinococcus.
Kista metaserkaria, Metacercarial cyst. Serkaria yang keluar dari badan siput
membentuk kista pada tanaman atau ikan yang bertindak selaku hospes perantara yang
kedua. Kista metaserkaria merupakan stadium infektif bagi hospes definitif.
Knob. Pada salah satu ujung telur cacing Diphyllobothrium latum terdapat operkulum
(penutup), dan di ujung lainnya terdapat tonjolan kecil (knob).
Komensalisme, Commensalism. Di alam selalu dijumpai simbiosis, yaitu hubungan
timbal balik antara dua organisme atau makhluk hidup Pada simbiosis komensalisme
salah satu organisme mendapatkan keuntungan dari hubungan tersebut sedangkan
organisme lainnya tidak mendapatkan kerugian apapun.
Korasidium, Coracidium. Onkosfer yang mempunyai silia, terdapat di dalam telur
cacing Diphyllobothrium.
Kuartana tripleks. Siklus demam 24 jam terjadi jika terdapat pematangan 3 generasi
Plasmodium malariae dalam waktu 3 hari.
425

Labium . bibir mulut insekta.


Labrum. Lempeng rangka luar yang terdapat di bagian depan kepala artropoda.
Lancet. Bentuk pisau bedah . Cacing D. dendriticum dewasa dengan panjang 5-15 mm,
dan lebar badan antara .1,5-2,5 mm.
Larva migrans. Larva cacing nematoda hewan yang mengadakan migrasi di dalam
jaringan tubuh manusia namun tidak berkembang menjadi bentuk dewasa.
Larva filariform, Filariform larvae. Dalam daur hidupnya, cacing tambang mempunyai
dua stadium larva, yaitu larva rhabditiform yang tidak infektif dan larva filariform yang
infektif. Larva filariform berbentuk langsing dengan panjang badan sekitar 600 mikron.
Larva rabditiform, Rhabditiform larvae. Larva rabditiform bentuk tubuhnya agak
gemuk dengan panjang sekitar 250 mikron.
Lateral knob. Tonjolan bulat yang terdapat di bagian lateral telur Schistosoma
japonicum.
Lateral spina, Spina lateral. Tonjolan berbentuk duri panjang dan tajam pada telur
Schistosoma mansoni.
Leishmanial form, Bentuk leismania. Stadium dari famili Trypanosomidae yang
berbentuk bulat atau lonjong, mempunyai satu inti dan satu kinetoplas. Flagel tidak
terbentuk.
Leishmanioma. Gejala klinis pada infeksi Leishmania donovani, berupa nodul kulit yang
bersifat primer.
Leukopeni,Leucopenia. Jumlah leukosit darah kurang dari 4.000/ml. Leptomonad
form, Bentuk leptomonad. Stadium dari famili Trypanosomatidae yang bentuknya
memanjang, mempunyai satu inti yang terletak sentral, dan satu flagel panjang yang
keluar dari bagian anterior tubuh tempat kinetoplas berada. Pada bentuk ini belum tampak
undulating membrane.
Lung book, Paru buku. Organ untuk pertukaran gas, berbentuk daun yang terdapat pada
Arachnida yang bernapas di udara.
426

Lung migration. Sirkulasi dan migrasi larva cacing dalam darah dan melewati
pembuluh-pembuluh darah paru. Terjadi misalnya pada daur hidup Ascaris lumbricoides
dan cacing tambang.

Macronukleus, Makronukleus. Inti berukuran besar, berbentuk ginjal yang dimiliki oleh
Ciliata misalnya Balantidium coli.
Magnaform. Bentuk kista Entamoeba histolytica yang besar ukurannya, dengan garis
tengah antara 10-15 mikron.
Makrogamet, Macrogamete. Gamet berukuran besar yang terbentuk di dalam lambung
nyamuk Anopheles berasal dari pematangan makro gametosit.
Makrogametosit, Gametosit betina. Sel yang berkembang dari sebagian merozoit
Plasmodium yang mengadakan pembelahan sel dan diferensiasi.
Malaria algid, Algid malaria. Bentuk klinik malaria pernisiosa disertai dengan
kegagalan sirkulasi perifer, sehingga penderita mengalami kolaps dengan gejala kulit
lembab dan dingin. Pada malaria algid tipe gastrik kolaps disertai muntah, diare pada tipe
koleraik, dan berak darah pada tipe disenterik.
Malaria kuartana tripleks. Siklus demam 24 jam yang terjadi jika terdapat pematangan
3 generasi Pl. malariae dalam waktu 3 hari .
Malaria pernisiosa, Pernicious malaria. Kumpulan gejala yang terjadi akibat
pengobatan malaria falciparum yang tidak sempurna, sehingga menimbulkan kematian
penderita dalam waktu satu sampai tiga hari sesudah pengobatan.
Malaria serebral, Cerebral malaria. Bentuk klinik malaria pernisiosa dengan kelainan
otak yang menyebabkan terjadinya gejala-gejala hiperpireksia, paralisis dan koma.
Malaria tertiana. Plasmodium vivax menimbulkan malaria vivax, disebut juga malaria
tertiana benigna (jinak), sedang Pl. falciparum menimbulkan malaria falciparum atau
malaria tertiana maligna (ganas).
Malpighian tubules, Tubula Malpighi. Tabung kecil panjang dan buntu terletak di dalam
rongga tubuh dan berfungsi sebagai organ ekskresi pada sebagian besar insekta,
miriapoda dan arachnida darat.
427

Mamillation. Permukaan bergerigi lapisan albumin dinding luar telur Ascaris


lumbricoides.
Masa glikogen, Glycogen mass. Terdapat di dalam sitoplasma Entamoeba hartmani yang
pada pewarnaan dengan iodin akan berwarna coklat tua.
Maurers dots, Bintik-bintik Maurer. Bintik-bintik yang terdapat pada trofozoit lanjut
Plasmodium falciparum.
Mazzoti reaction, Reaksi Mazzoti. Reaksi alergi berat yang terjadi akibat matinya
mikroflaria Onchocerca volvulus sesudah dilakukan pengobatan dengan dietil
karbamazin.
Merozoit. Pada Coccidia stadium ini terjadi sesudah terbentuknya skison (schizont).
Sebagian merozoit akan masuk ke dalam lumen usus, setiap merozoit akan memasuki
satu sel epitel usus dan melanjutkan siklus aseksual (schizogony). Merozoit lainnya
mengadakan diferensiasi menjadi gamet jantan (mikrogametosit) dan gamet betina
(makrogametosit).
Mesoendemis. Derajat endemisitas malaria dengan indeks limpa antara 11 sampai 50
persen.
Metacyclic trypanosomal, Tripanosoma metasiklik. Bentuk yang mirip bentuk
tripanosoma tetapi berukuran lebih kecil. Bentuk ini terdapat di dalam tubuh serangga
yang menjadi hospes perantara dan vektor penular dan berkembang menjadi stadium
infektif.
Metacystic trophozoite, Trofozoit metakistik. Disebut juga sebagai amubula (amoebulae)
merupakan bentuk yang terjadi pada proses ekskistasi amuba di dalam sekum atau ileum
bagian bawah, yang berkembang dari amuba berinti empat (tetranucleate amoeba).
Metamorfosis, Metamorphosis. Perubahan perubahan yang terjadi selama perkembangan
dan pertumbuhan insekta.
Metaserkaria, Metacercaria. Bentuk kista larva serkaria Trematoda yang terjadi pada
tumbuhan air atau kulit ikan sebelum memasuki tubuh manusia atau hospes definitif
lainnya. Bentuk metaserkaria merupakan stadium infektf bagi manusia atau hewan yang
sesuai.
Midgut. Usus tengah.
428

Miescher tube. Kelompok spora Sarcocystis yang memanjang seperti pipa, yang terdapat
di dalam otot bergaris yang ukurannya sangat bervariasi antara ukuran mikroskopik
sampai 5 cm panjangnya. Spora berukuran sekitar 1-2 mikron kali 10 mikron,mempunyai
satu inti.
Mikrofilaria, Microfilaria. Stadium pralarva cacing filaria yang terdapat di dalam darah
tepi penderita (manusia , hewan ) atau di dalam jarngan tubuh vektor.
Mikrogamet, Microgamete. Gamet jantan berasal dari diferensiasi merozoit parasit,
misalnya Plasmodium.
Mikronukleus, Micronucleus. Inti kecil protozoa Ciliata misalnya Balantidium coli yang
berbentuk bintik kecil yang terletak di bagian cekungan makronukleus, inti besar yang
berbentuk ginjal.
Millipedes, Milipeda. Kaki seribu, termasuk Diplopoda.
Minutaform. Bentuk kista Entamoeba histolytica yang kecil ukurannya dengan garis
tengah antara 6-9 mikron.
Mixed infection. Infeksi oleh lebih dari satu spesies Plasmodium di dalam tubuh seekor
nyamuk Anopheles betina,
Mirasidium, Miracidium. Larva Trematoda bersilia yang menetas dari dalam telur
sesudah telur masuk ke dalam air dan kemudian berenang untuk mencari siput untuk
tempat berkembang larva lebih lanjut.
Moluska, Mollusca. Filum avertebrata bertubuh lunak dengan kepala di bagian anterior.
Monoecious. Sifat reproduksi cacing Cestoda yang hermafrodit.
Monogenetik, Monogenetic. Hanya terdapat satu generasi cacing pada setiap daur hidup
yang lengkap.
Morbus errorum. Pengerasan kulit disertasi pigmentasi akibat pedikulosis.
Mosquito density, Kepadatan nyamuk. Angka kepadatan nyamuk Anopheles untuk
menentukan derajat endemisitas penyakit malaria di suatu daerah.
Mushy. Konsistensi tinja yang jika dikocok akan mengikuti bentuk tempatnya
Mushy-diarrheic. Konsistensi tinja yang meskipun tidak dikocok bentuk tinja akan
mengikuti bentuk container, tetapi tinja tak dapat dituang ke luar container.
Mutasi. Perubahan materi genetik sebuah sel.
429

Nagana disease. Infeksi oleh Trypanosoma brucei yang ditularkan oleh lalat tsetse
(Glossina).
Neuromuscular junction, Hubungan neuromuskulus. Bagian membran antara sebuah
neuron motor dan membran sel otot yang membentuk sinaps di antara keduanya.
Nymph, Nimfa. Tahapan daur hidup serangga eksopterigota yang terjadi sesudah larva
dan merupakan bentuk imatur yang mirip serangga dewasa yang kecil ukurannya tetapi
belum matang seksual dan tidak bersayap.

Occuli filariasis. Gangguan pada mata yang disebabkan oleh infeksi cacing Loa loa
dewasa yang terdapat di dalam konjungtiva.
Occult filariasis. Filariasis limfatik yang disertai oleh hipersensitif terhadap antigen
mikrofilaria, akibat terjadinya penghancuran mikrofilaria oleh antibodi yang dibentuk
oleh penderita. Occult filariasis disebut juga tropical pulmonary eosinophilia.
Ocellus, oselus. Mata sederhana pada serangga dengan satu lensa yang belum mampu
membentuk gambar sempuna.
Ocular bristle. Rambut mata yang terdapat pada pinjal (flea, ordo Siphonaptera) yang
penting untuk menentukan diagnosis genus pinjal.
Omnivore, Omnivora. Hewan pemakan segala jenis makanan, tumbuhan maupun hewan.
Onkosfer, Oncosphere. Embrio yang mempunyai enam buah kait, dan terdapat di dalam
telur cacing Cestoda.
Ookinet. Stadium perkembangan dari zigot Plasmodium di dalam lambung (midgut)
nyamuk. Ookinet kemudian menembus dinding lambung nyamuk, masuk ke jaringan
antara lapisan epitel dan membran basal dinding lambung.
430

Ookista, Oocyst. Stadium Sporozoa misalnya Coccidia yang berukuran sekitar 15x32
mikron yang berasal dari perkembangan stadium zigot dan terjadi di luar tubuh manusia.
Ootheca. Telur lipas yang terbungkus kantung kulit.
Operkulum, Operculum. Penutup telur yang umumnya dimiliki oleh telur Trematoda
kecuali telur Schistosoma. Telur hanya dapat berkembang menjadi larva jika berada di
dalam air.
Overt malaria. Demam khas yang merupakan gejala klinis malaria akibat pecahnya sel
eritrosit yang ditimbulkan oleh perbanyakan diri (multiplikasi) plasmodium di dalam sel
eritrosit.
Ovipar. Bertelur.
Ovipositor. Tabung pada serangga betina yang berfungsi untuk mengeluarkan telurnya.
Ovovivipar. Bertelur, kemudian larva keluar dari telur yang menetas segera sesudah
berada di luar tubuh induknya.

PCR. Polymerase Chain Reaction.


Palpus. Alat peraba yang terdapat pada avertebrata, misalnya pada serangga terdapat di
daerah mulut yang merupakan bagian dari maksila.
Parasit. Organisme yang menggantungkan hidupnya pada organisme lainnya (hospes)
sehingga merugikan hidup hospes yang ditumpanginya.
Parasit insidental, Incidental parasite. Parasit yang hidup parasitik pada hospes yang
sebenarnya bukan hospes alaminya.
Parasite index, Indeks parasit (IP). Persentase anak berumur antara 2 dan 9 tahun yang
pada pemeriksaan tetes tebal menunjukkan adanya Plasmodium di dalam darahnya. Di
daerah endemis, IP pada anak selalu lebih tinggi dari pada IP orang dewasa.
Parasite rate. Persentase populasi penduduk yang darahnya mengandung parasit malaria
dibanding populasi seluruh penduduk.
Parasitisme. Hubungan timbal balik yang bersifat sementara atau permanen antara dua
organisme hidup di mana salah satu organisme di antaranya (disebut parasit) tergantung
sepenuh hidupnya pada organisme lainnya (disebut inang atau hospes).
431

Parasit koprosoik, Coprozoic parasite atau spurious parasite. Spesies asing yang
berada di dalam usus hospes lalu melewati saluran pencernaan tanpa menimbulkan gejala
infeksi pada hospes.
Parasit obligat, Obligatory parasite. Parasit ini harus selalu hidup parasitik pada hospes
karena selama hidupnya ia sangat tergantung pada makanan yang didapatnya dari hospes
Parasit permanen, Permanent parasite. Parasit yang seluruh masa hidupnya berada di
dalam tubuh hospes yang menyediakan makanan baginya. Di luar tubuh hospes parasit
akan mati.
Parasit temporer, Temporary parasite. Parasit yang hanya hidup parasitik pada tubuh
hospes jika ia sedang membutuhkan makanan, dan hidup bebas (free-living) di luar tubuh
hospes jika sedang tidak membutuhkan makanan dari hospes.
Pathenogenesis, Partenogenesis. Bentuk reproduksi seksual yang uniparental.
Pedicel. Batang sempit penghubung antara segmen abdomen dengan segmen thorax
(pada Hymenoptera) atau cephalothorax (pada laba-laba).
Pedipalp. Modifikasi organ tambahan dekat mulut arachnida yang berfungsi reproduksi,
alat sensoris atau untuk menggigit mangsanya.
Penyakit surra. Penyakit hewan yang disebabkan oleh infeksi Trypanosoma evansi yang
ditularkan oleh lalat Tabanus.
Penyakit tidur. Penyakit infeksi susunan saraf pusat yang disebabkan oleh Trypanosoma
gambiense atau T.rhodesiense.
Periodik nokturnal, Nocturnal periodic. Hanya pada malam hari mikrofilaria ditemukan
di dalam darah tepi penderita filariasis.
Peristome, Peristom. Lekukan spiral yang menunju sitostoma pada beberapa jenis ciliata.
Plague. Penyakit pes, disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis yang ditularkan oleh pnjal
tikus (Xenopsylla cheopis).
Pleroserkoid, Plerocercoid. Larva stadium kedua Diphyllobothrium yang terdapat di
dalam tubuh siklops.
Plumose. Mempunyai rambut yang lebat dan panjang, misalnya pada antena nyamuk
jantan.
Polimorfik, Polymorphic. Mempunyai berbagai bentuk Morfologi parasit yang berbeda-
beda.
432

Predator. Organisme yang memangsa organisme hidup jenis lainnya.


Proboscis, Probosis, belalai. Bagian mulut serangga yang memanjang, berbentuk tabung
untuk menusuk dan mengisap (pada Diptera) atau berbentuk belalai (pada Lepidoptera).
Proglottid, Proglotid. Ruas-ruas atau segmen yang membentuk satuan ruas tubuh yang
lengkap (strobila) dari cacing Cestoda dan masing-masing segmen cacing sudah
mempunyai alat reproduksi yang sempurna strukturnya.
Promastigot. Stadium atau bentuk parasit Leishmania yang mempunyai flagel (disebut
juga sebagai stadium flagella).
Pronotum. Permukaan paling atas dari segmen pertama toraks serangga.
Protoskoleks, Protoscolex. Bakal pembentuk skoleks cacing Cestoda.
Pruritus ani. Gatal-gatal yang terasa di daerah perianal dan perineal yang disebabkan
oleh migrasi induk cacing Enterobius vermicularis yang akan bertelur di daerah perianal
dan perineal tersebut.
Pseudopodi. Alat pergerakan pada Rhizopoda.
Pseudotuberkel, Pseudotubercle. Bentuk mirip tuberkel yang terjadi pada stadium akut
skistosomiasis akibat reaksi jaringan terhadap terbentuknya telur cacing.
Pupa. Bentuk stadium yang tidak makan (non feeding) antara stadium larva dan dewasa
pada daur hidup insekta dengan metamorfosis lengkap, misalnya nyamuk dan lalat.

Quadrinucleate cyst. Kista Entamoeba histolytica yang sudah matang dan mempunyai
empat inti, yang tidak mengandung badan kromatoid maupun masa glikogen.

Rattlesnake. Ular derik, ular beracun di daerah padang pasir di Amerika.


Redia. Stadium larva pada daur hidup Trematoda yang berkembang dari sporokista yang
terdapat didalam tubuh siput sebelum tumbuh menjadi serkaria.
433

Rekrudesens, Recrudescence. Kekambuhan klinis yang terjadi sesudah sembuh


sementara selama beberapa hari pada malaria falsiparum.
Relaps. Kekambuhan klinis yang terjadi pada malaria vivax, malaria ovale dan malaria
malariae.
Relapsing fever. Penyakt infeksi akut disebabkan oleh spirochaeta Borrelia.
Reproduksi aseksual, Asexual reproduction. Multiplikasi protozoa dengan cara
membelah diri secara sederhana (simple binary fission), yang dimulai dengan
menggandakan semua struktur organ-organnya. Selain itu, reproduksi aseksual juga dapat
berlangsung secara multiple fission (schizogony), dimana dari satu individu protozoa akan
terbentuk lebih dari dua individu baru, misalnya pada Plasmodium.
Reproduksi seksual, Sexual reproduction. Reproduksi protozoa yang dilakukan dengan
cara mengadakan multiplikasi secara konjugasi atau secara syngami. Pada konjugasi, dua
individu protozoa menyatukan diri untuk sementara agar terjadi pertukaran material inti
masing-masing protozoa. Sesudah itu kedua individu protozoa memisahkan diri lagi
dalam bentuk individu yang lebih muda.
Reservoir host, Hospes cadangan. Hewan yang dapat bertindak sebagai hospes definitif
bagi parasit yang hidup parasitik pada manusia sehingga dapat bertindak sebagai sumber
infeksi parasit.
Retrofeksi, Retrofection. Penularan diri sendiri, misalnya yang terjadi pada penderita
infeksi Enterobius vermicularis . Infeksi terjadi karena larva cacing yang menetas di
daerah perianal masuk kembali ke dalam usus penderita, dan berkembang menjadi cacing
dewasa.
River blindness. Penyakit yang menyebabkan kebutaan yang disebabkan oleh infeksi
oleh cacing Onchocerca volvulus (onkosersiasis, onkoserkosis, disebut juga blinding
filariasis).
Romanas sign. Pembengkakan kelopak mata yang terjadi pada infeksi dengan
Trypanosoma cruzi yang masuk melalui konjungtiva.
Rostelum, Rostellum. Bagian kepala cacing Taenia yang menonjol dan mempunyai dua
deret kait (hooklets). Kadang-kadang rostellum mengalami invaginasi dan tersembunyi di
antara alat isap.
434

Sabin Feldman Dye Test. Salah satu uji serologi untuk menunjang diagnosis
toksoplasmosis.
Salmonella. Bakteri usus dari golongan Enterobacteriaceae.
Sand-flies, Lalat pasir (Phlebotomus). Lalat pengihisap darah yang bertindak sebagai
vektor penular penyakit Kala-azar.
Sarcocystin, Sarkokistin. Toksin yang dihasilkan oleh parasit Sarcocystis hominis yang
dapat menimbulkan kematian pada kelinci, tetapi tidak menyebabkan keluhan atau gejala
klinis pada manusia.
Schizogony, Skisogoni. Reproduksi aseksual pada protozoa dengan membentuk skison
(schizont), dengan cara mengadakan multiplikasi secara membelah diri secara sederhana
(simple binary fission).
Schizont, Skison. Bentuk yang berkembang dari bentuk trofozoit Sporozoa misalnya
Coccidia yang berada di dalam sel epitel usus manusia.
Schufffner dots, Bintik Schuffner. Bintik-bintik yang terdapat di dalam trofozoit bentuk
amuboid dari Plasmodium vivax yang menginfeksi sel darah merah.
Scolex, Skoleks. Kepala cacing Cestoda..
Scrub typhus. Riketisiosis yang ditularkan oleh tungau Trombicula akamushi.
Scutellum, skutelum. Struktur yang terdapat pada bagian posterior dari toraks insekta.
Seat worm. Enterobius vermicularis, Oxyuris vermicularis, cacing keremi.
Segmen. Ruas-ruas tubuh Cestoda yang membentuk satu unit tubuh yang lengkap. Setiap
segmen cacing mempunyai alat reproduksi yang sudah sempurna
Segmen hamil (gravid), Gravid segment. Segmen Cestoda yang mengandung uterus
yang penuh berisi telur cacing, sedangkan alat-alat reproduksi lainnya mengalami atrofi.
Segmen imatur, Immature segment. Segmen Cestoda yang mempunyai alat-alat
reproduksi yang belum dapat dibedakan struktur jantan betinanya.
Segmen matur, Mature segment. Segmen Cestoda yang memiliki alat reproduksi yang
sudah dapat dibedakan struktur jantan betinanya.
Sel genital, Genital cell. Sel organ reproduksi eksternal.
435

Serkaria, Cercaria. Larva stadium terakhir Trematoda yang berkembang dari larva redia
di dalam tubuh siput. Serkaria ada yang infektif yang mampu menembus kulit penderita.
Sexual dimorphism, Dimorfisme seksual. Terdapat dua ciri fenotip yang jelas
perbedaannya, termasuk jenis kelamin.
Simbiosis, Symbiosis. Hubungan timbal balik antara dua organisme berbeda jenis yang
terjadi di alam.
Simbiosis komensalisme, Commensal symbiosis. Simbiosis yang salah satu organisme
peserta simbiosis mendapatkan keuntungan dari hubungan tersebut sedangkan organisme
lainnya tidak mendapatkan kerugian apa pun.
Simbiosis mutualisme, Mutual symbiosis. Dua organisme yang bersimbiosis keduanya
mendapatkan keuntungan dari simbiosis tersebut.
Sindrom demam eosinofilik, Eosinophylic fever syndrome. Demam disertai
meningkatnya eosinofil darah dan hepatomegali dengan pelunakan organ hati yang terjadi
pada penderita fasioliasis hepatica.
Sindrom malabsorpsi, Malabsorption syndrome. Kumpulan gejala-gejala klinis
kekurangan makanan akibat gangguan penyerapan makanan, vitamin A dan lemak dan
anemia.
Sindrom Loeffler, Loeffler syndrome. Pneumonia disertai gejala-gejala alergi yang
terjadi pada infeksi askariasis (disebut juga Ascaris pneumonia).
Sistiserkoid, Cysticercoid. Kantung kecil berisi skoleks Cestoda yang mengalami
invaginasi di bagian proksimal, sedangkan di daerah kaudal terdapat bagian padat yang
memanjang.
Sistiserkosis, Cysticercosis. Infeksi pada manusia oleh larva Taenia solium (larva cacing
ini disebut cysticercus cellulosae).
Sistiserkus. Cysticercus. Fase istirahat larva Cestoda yang terdapat di dalam tubuh
hospes perantara (intermediate host), dan terdiri dari kantung yang dindingnya
mengandung skoleks, dan rongga di tengahnya berisi sedikit cairan.
Sitostom, Cytostome. Organ pencernaan makanan yang terbentuk dari bagian
ektoplasma. yang berfungsi untuk membuang sisa-sisa metabolisme.
436

Skizogoni, Schizogony. Salah satu tahapan daur hidup aseksual Plasmodium yang
berlangsung pada manusia secara multiple fission, dimana dari satu individu protozoa
akan terbentuk lebih dari dua individu baru.
Skizogoni eksoeritrositik, Exoerythrocytic schizogony. Skizogoni yang berlangsung di
dalam sel-sel hati.
Skizogoni eritrositik, Erythrocytic schizogony. Daur hidup aseksual Plasmodium yang
berlangsung di dalam sel-sel eritrosit.
Skizogoni preeritrositik, Preerythrocytic schizogony. Tahap skizogoni yang
berlangsung di dalam sel-sel hati sebelum skison masuk ke dalam darah.
Skizon, Schizont. Tahapan daur hidup Plasmodium yang terbentuk secara multiple
fission. Di dalam sel-sel parenkim hati, plasmodium didapatkan dalam bentuk skizon
preeritrositik yang berbeda ukuran dan jumlah merozoit di dalamnya. Pada Plasmodium
vivax, skizon preeritrositik berisi 12.000 merozoit yang berukuran sekitar 42 mikron.
Pada Pl. falciparum skizon preeritrositik berisi 40.000 merozoit yang berukuran 60
mikron kali 30 mikron, sedang pada Pl. ovale berisi 15.000 merozoit berukuran 75 x 45
mikron. Bentuk skizon preeritrositik belum pernah ditemukan pada Pl. malariae.
Skolex, Scolex. Kepala cacing Cestoda yang mempunyai alat isap (sucker).
Skutum, scutum. Penebalan kulit tubuh di bagian dorsal caplak keras (Ixodidae).
Soil transmitted helminths. Cacing-cacing yang ditularkan melalui tanah seperti
Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang.
Sparganosis. Infeksi pleroserkoid pada manusia.
Sparganum. Pleroserkoid Diphyllobothrium.
Spermatheca, Spermateka. Organ penampung sperma berasal pada serangga betina,
misalnya pada pinjal ( ordo Siphonaptera).
Spider. Laba-laba.
Spikulum, Spikulum. Alat kelamin luar cacing jantan yang terdapat di bagian ujung
posterior cacing jantan.
Spina. Tonjolan berbentuk duri.
Spina kaudal, Caudal spine. Spina yang terdapat pada bagian kaudal cacing.
Spina terminal, Terminal spine. Spina yang terdapat pada ujung terminal telur cacing
Schistosoma haematobium.
437

Spinnerets. Struktur berbentuk tabung yang terletak di ujung abdomen laba-laba dan
larva beberapa jenis serangga yang menghasilkan benang-benang sutera untuk
membentuk jaring atau kepompong.
Spirakel. Lubang hawa di permukaan tubuh artropoda yang merupakan muara dari
trakea(tabung hawa).
Spleen index, Indeks limpa. Pada epidemiologi malaria, endemisitas ditentukan dengan
melakukan populasi penduduk yang mengalami pembesaran limpa. Pengukuran besarnya
limpa dilakukan dengan menggunakan metoda Schuffner atau disesuaikan dengan ukuran
lebar jari di bawah iga kiri. Pengukuran limpa dilakukan pada anak berumur antara 2
sampai dengan 9 tahun, pada saat penyakit malaria berada di puncak serangan dan limpa
berada pada ukuran maksimum.
Sporoblas, Sporoblast. Bentuk / stadium Coccidia yang tumbuh dari ookista dan terjadi
di luar tubuh manusia.
Sporocyst, Sporokista. Larva Trematoda berbentuk kantung atau kista yang terjadi dari
perkembangan larva mirasidium sesudah memasuki tubuh siput. Dari sporokista akan
terbentuk banyak redia.
Sporogoni, Sporogony. Siklus seksual Plasmodium yang terjadi di dalam tubuh nyamuk
Anopheles.
Sporulated oocyst, Ookista berspora. Ookista yang mengandung spora, misalnya pada
Cyclospora mengandung dua sporokista yang berbentuk lonjong, yang masing-masing
sporokista memiliki dua sporozoit yang berukuran 1.2 x 9 mikron.
Spurious parasite. Benda atau spesies asing yang berada di dalam usus hospes lalu
melewati saluran pencernaan tanpa menimbulkan gejala infeksi pada hospes.
Stallions disease. Penyakit yang disebabkan oleh Trypanosoma equiperdum yang
ditularkan melalui hubungan kelamin.
Stolls egg counting. Penghitungan telur cacing dalam tinja menurut cara Stoll.
Strobila. Batang tubuh Cestoda yang terdiri dari banyak segmen (proglotid)
Subperiodic diurnal, Diurnal subperiodic. Di dalam darah tepi mikrofilaria terutama
dijumpai siang hari, sedang di waktu malam hari jarang ditemukan.
Subperiodic nocturnal, Nocturnal subperiodic. Di dalam darah tepi mikrofilaria
terutama dijumpai malam hari, jarang ditemukan siang hari.
438

Sucker. Alat isap yang terdapat pada cacing trematoda atau cestoda.
Sucking disc, Lempeng isap. Lempeng pengisap yang terdapat pada Giardia lamblia
berfungsi untuk melekatkan diri pada usus penderita.
Surra. Penyakit hewan yang disebabkan oleh Trypanosoma evansi dan ditularkan oleh
lalat Tabanus.

Tarsus. Bagian paling ujung segmen kaki serangga.


Tenesmus. Gangguan kelancaran dan nyeri pada waktu defikasi atau pada waktu
kencing.
Terminal segment, Segmen terminal. Segmen paling ujung cacing Cestoda yang tidak
berisi telur.
Tertiana dupleks. Siklus demam 24 jam pada malaria vivax dimana terdapat pematangan
2 generasi Plasmodium vivax dalam waktu 2 hari.
Thorax, Toraks. Bagian tengah tubuh utama serangga, terletak antara segmen abdomen
dan kepala. Sayap dan kaki merupakan bentuk tonjolan (appendages) yang keluar dari
toraks.
Thread worm, Cacing benang. Nama umum cacing Strongyloides stercoralis, yang
menyebabkan strongiloidiasis.
Thrombositopenia, Trombositopeni. Jumlah trombosit darah menurun.
Tibia. Segmen keempat dari lima segmen kaki serangga, biasanya merupakan segmen
yang terpanjang, langsing, lurus atau agak lengkung dan kadang-kadang mempunyai
spina atau duri-duri.
Trofozoit, Trophozoite. Bentuk atau stadium Protozoa yang aktif bergerak dan bersifat
invasif, dapat tumbuh dan berkembang biak, aktif mencari makanan, dan mampu
memasuki organ dan jaringan. Karena selalu bergerak menggunakan pseudopodi, maka
bentuk trofozoit tidaklah tetap.
Trophozoite-induced malaria. Malaria yang terjadi melalui penularan plasmodium
stadium aseksual (trofozoit) yang dapat terjadi melalui tranfusi darah (transfusion
439

malaria), melalui jarum suntik atau menular dari ibu ke bayi yang dikandungnya melalui
plasenta (congenital malaria).
Tropical pulmonary eosinophilia. Disebut juga Occult filariasis, adalah filariasis
limfatik yang disertai terjadinya hipersensitif terhadap antigen mikrofilaria, akibat
terjadinya penghancuran mikrofilaria oleh antibodi yang dibentuk oleh penderita.
Tropical splenomegaly. Splenomegali yang merupakan gejala klinis pada leismaniasis
viseral (visceral leishmaniasis) atau penyakit Kala-azar.

Ulcus tropicum. Ulkus superfisial disebabkan oleh infeksi Bacillus fusiformis dan
Treponema vincenti.
Undulating membrane. Selaput berbentuk gelombang pada Flagellata yang terbentuk
oleh salah satu flagel yang paling tebal yang berjalan ke arah belakang sepanjang tepi
tubuh, kemudian berjalan ke luar dengan bebas di bagian posterior tubuh.
Unfertilized egg. Telur yang tak dibuahi oleh sel jantan karena di dalam usus penderita
hanya terdapat cacing betina.
Unformed stool. Bentuk tinja yang cair dan tidak mempunyai bentuk tetap.
Uninucleated bodies. Badan berinti satu.yang terdapat pada Pneumocystis carinii.
Unisexual, Uniseksual. Memiliki alat kelamin yang terpisah atas jantan dan betina.
Uterine pore, Lubang uterus. Lubang pada segmen paling ujung Cestoda tempat
dikeluarkannya telur.

Vagabonds disease. Pengerasan kulit disertai pigmentasi akibat pedikulosis kronis.


Vakuol eosinofilik, Eosnophlic vacuole. Rongga berwarna yang terdapat di tempat akar
flagel yang terletak di depan kinetoplas pada Leishmania.
Vektor, Vector. Artropoda yang mampu memindahkan secara aktif stadium infektif
parasit atau organisme penyebab penyakit.
440

Visceral larva migrans, Larva migran viseral. Larva migran yang terjadi di dalam organ
dan jaringan yang disebabkan oleh larva Toxocara canis dan Toxocara cati.
Vivipar. Melahirkan larva.

Western encephalitis. Radang otak disebabkan oleh virus.


Whipworm, Cacing cambuk. Trichuris trichiura.

Xanthochrom. Berubah warna menjadi kuning.


Xenodiagnosis. Diagnosis berdasar ditemukannya organisme, misalnya Trypanosoma
cruzi, di dalam tubuh vektor penular (Reduviidae) sesudah vektor digigitkan pada
penderita yang diduga menderita infeksi T.cruzi.

Yellow fever. Penyakit Demam kunng disebabkanoleh virus Yellow fever.


Yersinia pestis. Kuman penyebab penyakit pes (plague).

Zigot. Hasil fusi sel gamet.


Zoonosis. Penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia dan sebaliknya.
Zoophilus. Menyukai darah hewan.

Anda mungkin juga menyukai