Oleh : Kelompok 7
Iin Nuraeni Nurul Aini S. Harahap Awan Subangkit Eva Meydina Rakhmah Aulia Jasmine Maharani Arif Syaifudin Jeni Febrianto Yohana Paula P. P (B04080012) (B04080049) (B04080067) (B04080088) (B04080127) (B04080129) (B04080166) (B04080182)
DEPERTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
B.burgdorferi melalui kontak langsung dengan mamalia (hewan peliharaan dan rusa) ataupun burung migran. Penyakit ini belum pernah dilaporkan di Indonesia, tetapi kemungkinan timbulnya penyakit bisa terjadi lewat pemasukan anjing dari negara tertular yang membawa caplak Ixodes sp sebagai vektor penyakit (Soeharsono 2002).
II. PENYEBAB
II. 1 Agen Penyebab Penyebab penyakit lyme adalah bakteri berbentuk spiral yang termasuk dalam famili Spirochaetaceae, genus Borrelia, species Borrelia burgdorferi (Soeharsono 2002). Spirochaeta ini dinamakan B. burgdorferi atas penghargaan bagi penemunya, yaitu Willy Burgdorfer (Turkington et al. 2007). II. 2 Karakteristik Borrelia burgdorferi adalah bakteri yang motil, panjang, ramping, dan berbentuk helix. Spirochaeta Borrelia adalah Eubacteria dalam urutan Spirochaetales (Holt et al. 1994 yang dikutip oleh Gern dan Falco 2000). Analisis sekuen 16S rRNA menunjukkan bahwa filogeni dari spirochaeta terdiri dari beberapa kelompok utama berikut: Treponema, Spirochaeta, Borrelia, Serpulina, Leptospira dengan suatu strain terdefinisi (Paster et al 1991 yang dikutip oleh Gern dan Falco 2000). B. Burgdorferi berukuran antara 4 m sampai 30 m, dengan diameter 0,18 m sampai 0,25 m dan terdiri dari 3-10 kumparan tidak teratur (Johnson et al. 1984 yang dikutip oleh Gern dan Falco 2000). Sel dikelilingi oleh amplop luar berupa cairan yang mengandung protein permukaan luar (Johnson et al. 1977 yang dikutip oleh Gern dan Falco 2000). Menurut Hovind-Hougen et al. (1986) yang dikutip oleh Gern dan Falco (2000), antara silinder protoplasma dan membran luar terdapat ruang periplasmik. B. burgdorferi memiliki beberapa flagela di ruang periplasmik yang dimasukkan di setiap akhir dari silinder protoplasma secara subterminal (7-11 flagela pada setiap ujung) dan tumpang tindih di bagian tengah spirochaeta. Silinder protoplasma mengandung bahan genom. B. burgdorferi mempunyai genom unik yang berisi 910 kb kromosom dan 21 plasmid yang berbeda (Casjens et al. 2000 yang dikutip oleh Seshu dan Skare 2000). 25 mikron
Penonjolan membran Borrelia burgdorferi Gambar 1 Struktur Borrelia burgdorferi (Bradford dan Allen 2004). Kebanyakan spirochaeta tidak bisa dilihat dengan menggunakan mikroskop cahaya konvensioal. Dark-field microscopy bisa digunakan untuk melihat spirochaeta. Dark-field microscopy memiliki kondenser khusus yang cahayanya langsung menuju objek sehingga partikel atau sel yang mendapat cahaya akan mengalahkan latar belakang yang gelap (Todar 2008).
Spirochaeta tidak diklasifikasikan ke dalam bakteri Gram positif atau Gram negatif. Ketika B. burgdorferi dilakukan pewarnaan Gram, maka sel-sel yang terwarnai akan lebih menunjukkan bakteri jenis Gram negatif. Hal ini disebabkan oleh safranin yang digunakan dalam pewarnaan akan melisiskan dinding sel dari Borrelia. Dinding sel Borrelia tidak memiliki membran luar yang berisi zat seperti substansi LPS, membran dalam, dan ruang periplasmik yang berisi lapisan peptidoglikan. Oleh karena itu, dilihat dari jenis komponen yang ada pada dinding sel B. burgdorferi adalah jenis bakteri Gram negatif (Todar 2008) B. burgdorferi telah diisolasi dari berbagai jenis vertebrata, mulai dari kutu, serangga, bahkan manusia. Ada tiga jenis Borrelia yang telah dilaporkan ke masyarakat di Amerika Serikat, yaitu B. burgdorferi, B. andersonii, dan B. bissettii. Terdapat lima jenis Borrellia yang berhasil diidentifikasi di daerah Eropa, yaitu B. burgdorferi, B. gannii, B. afzelii, B. valaisiana, dan B. lusitaniae. Beberapa spesies Borrelia tampaknya memiliki hubungan yang sangat spesifik dengan vektor mereka yaitu caplak Ixodes sp. Hal ini juga berpengaruh dengan pola distribusi geografi dari caplak (Gern dan Falco 2000). II. 3 Siklus Hidup Siklus hidup dari B. burgdorferi berkaitan dengan siklus hidup caplak. Caplak ini memiliki empat tahap dalam dua tahun siklus hidupnya, yaitu telur, larva, nimfa, dan dewasa. Caplak ini biasanya memperoleh spirochaeta pada saat stadium larva ketika sedang menghisap darah hewan kecil seperti hewan pengerat atau burung. Caplak kemudian menjadi inang spirochaeta. Bakteri ini berdiam diri dalam saluran pencernaan dari inang selama stadium nimfa dan dewasa. Pada stadium ini bakteri ditransmisikan ke hewan lain atau manusia. Telah dipelajari bahwa B. burgdorferi juga dapat ditransmisikan melalui pinjal, nyamuk, dan caplak (Bradford dan Allen 2004).
Nimfa (transisi) Spirochaeta dalam inang masuk ke larva caplak Spirochaeta masuk ke manusia melalui gigitan caplak
Larva
Dewasa
Telur Inang: rusa, anjing, atau kuda Spirochaeta dapat ditransmisikan melalui pinjal, nyamuk, atau caplak Gambar 3 Siklus hidup caplak Ixodes scapularis (Bradford dan Allen 2004). II. 4 Vektor Biologis Spesies Borrelia yang tersisa, B. burgdorferi, B. garinii, B. afzelii, B. bissettii, dan B. valaisiana, ditransmisikan oleh sebagian besar spesies caplak, tergantung pada distribusi geografis mereka, yaitu I. scapularis, I. pacificus, dan I. spinipalpis di Amerika Serikat, I. ricinus dan I. hexagonus di Eropa, dan I. persulcatus di Eurasia. Distribusi B. garinii telah dilaporkan ada di seluruh dunia dan terkait dengan caplak yang berhubungan dengan burung laut, yiatu I. uriae dari spesies yang telah terisolasi (Gern dan Falco 2000). II. 5 Daya Hidup Agen di Dalam Induk Semang Pada dasarnya ada dua mekanisme yang dilakukan B. burgdoferi agar bisa bertahan hidup dalam inang dan bertahan hidup untuk jangka waktu yang lama tanpa diketahui oleh inangnya. Seseorang yang terinfeksi oleh B. burgdoferi dapat tetap terlihat sehat (tanpa gejala) untuk jangka waktu yang lama dan tiba-tiba
mulai mengalami gejala. Salah satu dari mekanisme ini melibatkan invasi jaringan oleh spirochaeta tersebut. Ujung spirochaeta memiliki kemampuan untuk mengikat sel-sel, berputar-putar untuk merangsang enzim dari sel-sel tubuh, mencerna bagian dari membran sel, dan akhirnya masuk ke dalam sel. Setelah masuk, spirochaeta akan menyebabkan kematian sel atau menjadikan sel sebagai tempat tinggal dari spirochaeta. Hal ini dapat memungkinkan spirochaeta bertahan/tertidur selama bertahun-tahun sehingga terlindung dari sistem kekebalan tubuh dan antibiotik (Bradford dan Allen 2004).
menggigit pada hewan kecil tapi juga mengigit manusia. Nimfa caplak terinfeksi oleh agen penyakit lyme ketika menggigit spesies tikus selama tahap larvanya. Pada musim gugur, nimfa menjadi dewasa dan nimfa yang terinfeksi menjadi caplak dewasa yang terinfeksi. Caplak dewasa ini memilih untuk menggigit rusa tetapi adakalanya caplak dewasa juga menggigit manusia pada musim gugur dan musim dingin. Saat itulah terjadi penularan penyakit lyme ke manusia. Penularan terjadi kurang lebih 36 jam setelah gigitan caplak (VDH 2008). Penularan B. burgdorferi pada manusia juga dapat terjadi melalui transplasenta yang telah dilaporkan mengakibatkan kematian pada anak yang baru lahir. Anak dari ibu yang terinfeksi B. burgdorferi mengalami kematian pada hari ke 39. Hasil otopsi memperlihatkan kerusakan jantung yang berat, sedangkan pada pemeriksaan histologi ditemukan B. burgdorferi pada limpa, saluran ginjal, dan sumsum tulang anak. Spirochaeta ada di setiap jaringan tetapi tidak menimbulkan peradangan. Meskipun kelainan pada jantung tidak dapat dikaitkan secara definif terhadap B. burgdorferi, efek teratogeniknya tidak dapat dikesampingkan karena infeksi primer terjadi kurang lebih selama proses pembentukan jantung (Elliott et al. 2001). Keberadaan penyakit lyme di suatu daerah sangat terkait dengan tiga elemen yang harus ada di alam, yiatu bakteri B. burgdorferi, caplak yang menularkannya, dan mamalia (seperti mencit dan rusa) yang menyediakan makanan bagi caplak di setiap siklus hidupnya (Todar 2008).
dapat dideteksi dalam ginjal pada kasus-kasus penyakit ginjal dan pada kasus seekor anjing yang agen penyebab penyakitnya dapat dikultur dari urinnya. Studi terbaru menunjukkan bahwa lyme nefritis kemungkinan terkait dengan kompleks imun. Kejadian artritis pada anjing biasanya disertai dengan kebengkakan, demam, anoreksia, kelesuan, atau limpadenitis. Kelainan pada jantung tergolong langka, biasanya dicirikan dengan adanya kelainan bradikardia. Sedangkan gejala neurologis, biasanya dicirikan dengan paralisa pada wajah, kejang, dan terlalu agresif. Gejala eritema migran pada anjing biasanya jarang terjadi. Munculnya eritema pada anjing sering disebabkan oleh penyakit lainnya (FSPH 2011). Gejala klinis yang terjadi pada kucing sangat sedikit yang diketahui. Meskipun 5-47% kucing dinyatakan seropositif dalam sebuah survei, kejadian alami penyakit pada kucing tidak terlihat. Pada beberapa negara kucing yang terinfeksi Borellia menunjukkan gejala demam, lesu, kekakuan, dan artritis. Pada suatu eksperimen, kelinci yang diinfeksi dengan B. burgdoferi menunjukkan adanya lesi eritema migrans di kulit, poliartritis, dan karditis (FSPH 2011). Banyak kuda pada daerah endemik dinyatakan positif dan sebagian kasus mungkin terjadi subklinis. Gejala-gejala klinis yang biasa terjadi adalah demam ringan, peradangan pada sendi yang berulang, mialgia, dan penurunan berat badan karena mialgia yang berjalan kronis. Beberapa gejala lain juga dilaporkan, diantaranya gejala neurologis, lesi pada kulit, uveitis, penyakit jantung, hepatitis, laminitis, dan abortus. Secara eksperimental dilaporkan terjadi lymphohistiocytic nodul di dermis kuda poni (FSPH 2011). Pada hewan ternak, seperti sapi, gejala yang muncul pada kasus lyme akut adalah demam, kekakuan, dengan atau tanpa disertai kebengkakan pada sendi, dan penurunan produksi susu. Gejala awal yang muncul adalah lesio pada kulit, kebengkakan yang hangat, dan hipersensitifitas kulit pada ambing. Gejala ini dapat sembuh dalam beberapa minggu. Gejala selanjutnya adalah laminitis, penurunan berat badan, uveitis, dan abortus. Penyakit ini lebih sering terjadi pada sapi yang masih muda. Ternak pada umumnya rentan terhadap infeksi secara eksperimental. Sebuah studi mengatakan bahwa sapi yang telah diinokulasi dengan tiga genus spirochaeta di Eropa (10 strain Finlandia yang berbeda) tetap tidak menunjukkan gejala yang jelas (FSPH 2011).
berhubungan dengan penyakit lyme tahap tiga adalah komplikasi saraf seperti depresi, gangguan memori, mood, pola tidur, sensasi kaku, dan tingling pada tangan dan kaki. Perjalanan penyakit lyme ada dua, yaitu akut dan kronis. Perjalanan penyakit akut terjadi setelah beberapa minggu dan beberapa bulan terlihat adanya makula (Soeharsono 2002), artritis akut, gejala neurologis termasuk meningitis, Bells palsy, radikulitis (rasa sakit atau ketidaknyamanan yang berkaitan dengan saraf peradangan), atau limfositik meningoradiculitis. Selain itu, adanya kelainan jantung seperti transien atrioventrikular blok dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda, aritmia, miokarditis, atau perikarditis. Gejala klinis yang jarang terjadi yaitu adanya tanda-tanda okular termasuk konjungtivitis selama tahap awal, uveitis, keratitis, dan neuritis optik (FSPH 2011). Perjalanan penyakit kronis terjadi setelah beberapa bulan hingga beberapa tahun. Penderita mengalami demam, merasa kedinginan, lelah, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri pinggang, leher kaku, dan pembengkakan kelenjar limfe (Soeharsono 2002). Gejala klinis yang lain yaitu acrodermatitis chronica atropicans, kelainan neurologis, atau artritis kronis. Acrodermatitis chronica atrophicans adalah suatu kondisi kulit yang terkait dengan B. afzelii dan terlihat paling sering pada anggota badan. Gejala ini biasanya terjadi enam bulan sampai beberapa tahun setelah tanda-tanda awal, dimulai dengan munculnya warna kemerahan atau merah kebiruan pada kulit, dan sering disertai dengan kebengkakan yang pucat. Acrodermatitis chronica atrophicans hampir selalu terjadi pada orang dewasa, terutama perempuan (FSPH 2011). Pada anak-anak, gejala yang mencolok adalah artritis akut. Pengobatan antibiotika secara dini akan memperpendek masa gejala klinis dan mencegah komplikasi lebih lanjut (FSPH 2011; Soeharsono 2002).
menghasilkan antibodi terhadap bakteri tersebut karena bakteri itu laten di dalam tubuh (Constance dan Lesley 2008). Untuk mendeteksi B. burgdorferi dari cairan tubuh dan jaringan, dapat digunakan reaksi berantai polimerase (PCR) yang relatif sensitif dan cepat. Namun, metode PCR tidak mampu membedakan antar sel B. burgdorferi yang masih hidup atau sudah mati di dalam tubuh. Sebagian tes mikrobiologi dengan mengkultur B. burgdorferi dari bagian eritema migran juga dapat dilakukan namun jarang sekali karena B. burgdorferi memerlukan media yang kompleks dan spesifik untuk pertumbuhannya (Madigan dan Martinko 2000). Umumnya, dokter akan memberikan antibiotik ketika gejala-gejala awal penyakit ini muncul dan pasien pernah digigit kutu dalam waktu dekat kemudian diikuti dengan kemunculan eritema migran (Karen 2003).
dicegah dengan cara pemilik hewan peliharaan harus secara teratur memeriksa hewan peliharaannya. Hewan peliharaan harus teratur dimandikan dengan shampo atau produk lain yang direkomendasikan oleh dokter hewan untuk mengontrol caplak (Pfizer 2000). Infeksi B. Burgdorferi pada manusia dapat dihindari dengan menjaga higiene personal pada diri individu. Pemberian antibiotik propilaksis post-exposure dengan doxycycline dosis tunggal selama 72 jam setelah gigitan biasanya diberikan. Terapi profilaksis ini masih menjadi kontroversi pada beberapa negara dan biasanya tidak digunakan di Eropa (FSPH 2011). Vaksinasi pada manusia disarankan di Amerika serikat pada tahun 1998, tetapi pada tahun 2002 vaksin tersebut ditarik dari pasar oleh pabrik. Masalah yang terjadi adalah rendahnya permintaan dan tingginya biaya untuk membuat tiga seri vaksin dan boosters untuk menghasilkan titer antibodi yang tinggi. Penggunaan vaksin juga diperkirakan dapat meningkatkan resiko autoimun artritis. Generasi kedua vaksin hingga saat ini masih dipelajari (FSPH 2011).
amoxicillin tidak dapat menghilangkan bakteri penyebabnya. Hal ini dapat menjelaskan bahwa kebanyakan hewan yang telah terobati memiliki titer antibody yang resisten terhadap B. burgdorferi (Nielssen et al. 2002).
DAFTAR PUSTAKA
Arvin BK. 1996. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 1. Wahab AS, editor. Jakarta: EGC. Bardford RW, Allen HW. 2004. Lyme disease, potential plague of the twenty-first century. California: Bradford Research Institute. [internet]. [diunduh 20 Maret 2012]. Tersedia pada: http://www.arthritistrust.org/Articles/LymeDisease21stCentu ryPlague.pdf Burrascano JJ. 2005. Advanced Topics in Lyme Disease; Diagnostic Hints and Treatment Guidelines for Lyme and Other Tickth borne Illnesses 5 Edition. Bethesda: International Lyme and Associated Diseases Society. Constance AB, Lesley AF. 2008. Beating Lyme: Understanding and Treating This Complex and Often Misdiagnosed Disease. AMACOM. ISBN 978-0-8144-0944-2. hlm 109-111. Elliott DJ, Eppes SC, Klein JD. 2001. Teratogen update: lyme disease. Teratology 64: 276. [FSPH] Food Security and Public Health. 2011. Lyme disease. [internet]. [diunduh 10 Maret 2012]. Tersedia pada: http://www.cfsph.iastate.edu/Factsheets/pdfs/lyme_disease .pdf Gern L, Falco RC. 2000. Lyme disease. Rev sci tech Off int Epiz, 19 (1): 121-135. Karen Vanderhoof-Forschner (2003). Everything You Need to Know about Lyme Disease and Other Tick-Borne Disorders. Wiley. ISBN 978-0-471-40793-5. hlm 84-85.
Littman MP, Goldstein RE, Labato MA, Lappin MR, Moore GE. 2006. ACVIM small animal consensus statement on lyme disease in dogs: diagnosis, treatment, and prevention. J Vet Intern Med 20:422-434. Madigan MT, Martinko JM. 2000. Brock Biology of Microorganisms. Prentice Hall. ISBN 978-0-13-081922-2. hlm 893-895. Nielssen A, Carr A, Heseltine J. 2002. Update on canine lyme disease. Vet Med: 606. Pfizer. 2000. Lyme disease, releated and disorder. [internet]. [diunduh 10 Maret 2012]. Tersedia pada: http://www.sfrc.ufl.edu/download/Pfizer _Pamphlet.pdf. Shakespeare M. 2002. Zoonoses. Grayslake: Pharmaceutical Pr. Seshu J, Skare JT. 2000. The many faces of Borrelia burgdorferi. JMMB 2 (4): 463. Soeharsono. 2002. Zoonosis; Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Yogyakarta: Kanisius. Todar K. 2008. Borrelia burgdorferi and Lyme Disease. [internet]. [diunduh 10 Maret 2012]. Tersedia pada: http://textbook ofbacteriology.net/ Lyme.html Turkington, Carol, Bonnie A. 2007. The Encyclopedia of Infectious Diseases. New York: Infobase Publishing. ISBN 9780816063970. hlm 185. [VDH] Virginia Department of Health. 2008. Preventing tick-borne diseases in virginia. [internet]. [diunduh 10 Maret 2012]. Tersedia pada: http://www.vdh.virginia.gov/epidemiology /DEE/Vectorborne/documents/Tick%20Brochure_8%205x1 1.pdf Womser GP et al. 2000. Practice Guidelines for the treatment of lyme disease. [internet]. [diunduh 10 Maret 2012]. Tersedia pada: http://cid.oxfordjournals.org/content/31/Supplement_ 1/S1 .full.pdf.