Anda di halaman 1dari 23

ASPEK REPRODUKSI CAPLAK SAPI INDONESIA

Rhipicephalus (Boophilus) microplus

AGNES CARMELITA MULYA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aspek Reproduksi


Caplak Sapi Indonesia Rhipicephalus (Boophilus) microplus adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah dituliskan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2017

Agnes Carmelita Mulya


NIM B04130149
ABSTRAK
AGNES CARMELITA MULYA. Aspek Reproduksi Caplak Sapi Indonesia
Rhipicephalus (Boophilus) microplus. Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI
HADI dan SUPRIYONO.

Rhipicephalus (Boophilus) microplus adalah satu di antara ektoparasit


penting pada sapi di Indonesia. Caplak ini menghisap darah dan berperan sebagai
vektor berbagai penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aspek
reproduksi caplak sapi Rhipicephalus (Boophilus) microplus seperti periode pra-
oviposisi, periode oviposisi, periode pra-penetasan, periode inkubasi telur dan
fekunditasnya. Sebanyak 25 caplak kenyang darah dikoleksi dari peternakan sapi
Jonggol, Indonesia. Seluruh caplak ditimbang menggunakan timbangan digital
kemudian ditempatkan secara individu di dalam tabung berukuran 12x60 mm.
Tabung ditutup menggunakan spon dan diberi lubang udara kemudian
ditempatkan di atas wadah plastik pada suhu ruang (25-27oC) dan kelembaban
relatif (80-90%). Caplak diamati setiap hari satu kali selama 30 hari. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa rata-rata bobot badan caplak kenyang darah
sebesar 0.13 gram. Rata-rata periode pra-oviposisi (waktu yang dibutuhkan caplak
dari mulai menghisap darah hingga bertelur pertama kali) sebesar 4.55 hari, rata-
rata periode oviposisi (waktu yang dibutuhkan caplak untuk menghasilkan telur
sampai berhenti menghasilkan telur) sebesar 9.18 hari, rata-rata periode pra-
penetasan (waktu yang dibutuhkan caplak dari seusai menghasilkan telur hingga
telur menetas menjadi larva) sebesar 10.64 hari serta rata-rata periode inkubasi
(jumlah periode oviposisi dan periode pra-penetasan) sebesar 19.82 hari. Caplak
yang diamati memiliki rata-rata bobot total telur sebesar 200 mg, dan rata-rata
jumlah produksi telur sebesar 2871 butir. Data ini merupakan gambaran data
terbaru untuk caplak Rhipicephalus (Boophilus) microplus di Indonesia.

Kata kunci: caplak sapi, fekunditas, periode inkubasi telur, oviposisi,


Rhipicephalus (Boophilus) microplus.
ABSTRACT

AGNES CARMELITA MULYA. Reproduction Aspects of Cattle Tick In


Indonesia Rhipicephalus (Boophilus) microplus. Supervised by UPIK
KESUMAWATI HADI and SUPRIYONO

Rhipicephalus (Boophilus) microplus is one of the most important


ectoparasites of cattle in Indonesia. This cattle tick belongs to blood-sucking
ectoparasite that can be as vector of several diseases in animals. This study aims
to examine reproductive aspects of Rhipicephalus (Boophilus) microplus such as
the pre-oviposition period, oviposition period, pre-hatching period, egg incubation
period and fecundity. Twenty five engorged female ticks were collected from
cattle farm in Jonggol, Indonesia. The ticks were weighed using digital scales.
Twenty five ticks were placed individually in the plastic tube (12x60 mm). The
plastic tube were closed by sponge with air hole and kept for 30 days in the
laboratory room temperature (25-27o C) and a relative humidity 80-90%. The
result showed that the average body weight of the engorged ticks collected from
beef cattle was 0.13 gram. The average pre-oviposition period (the time required
by ticks from the moment they stop to suck blood until they start laying eggs for
the first time) was 4.55 days, the average oviposition period (the time required by
ticks from the moment they start laying eggs until they stop laying) was 9.18 days,
the average of pre-hatching egg period (the time required by ticks from the
moment they stop laying eggs until the eggs begin to hatch into larvae) was 10.64
days and the average of egg incubation period (the oviposition period plus pre-
hatching period) was 19.82 days. The average egg weight was 200 mg, and the
average number of eggs produced was 2871 eggs/tick. This study is the newest
information of Rhipicephalus (Boophilus) microplus in Indonesia.

Key words: cattle tick, fecundity, egg incubation period, oviposition,


Rhipicephalus (Boophilus) microplus.
ASPEK REPRODUKSI CAPLAK SAPI INDONESIA
Rhipicephalus (Boophilus) microplus

AGNES CARMELITA MULYA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PRAKATA

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Mei 2016 ini adalah ektoparasit
pada sapi dengan judul Aspek Reproduksi Caplak Sapi Indonesia Rhipicephalus
(Boophilus) microplus.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi
MS dan Drh Supriyono MSi selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan
saya sampaikan kepada teman-teman saya terutama yang berada di bawah
bimbingan Divisi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan IPB dan kepada
Gregorius Giga yang telah membantu saya dalam berbagai bentuk. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada orang tua serta seluruh keluarga, atas
segala doa dan dukungannya.
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam karya ilmiah
ini sehingga kritik dan saran sangat diharapkan. Semoga karya ilmiah ini
bermanfaat.

Bogor, Agustus 2017

Agnes Carmelita Mulya


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
Manfaat Penelitian 1
TINJAUAN PUSTAKA 2
Klasifikasi 2
Morfologi 2
Siklus Hidup 3
Peran Caplak Rhipicephalus (Boophilus) microplus 4
Pengendalian Caplak Rhipicephalus (Boophilus) microplus 4
METODE 5
Waktu dan Tempat Penelitian 5
Metode Penelitian 5
Analisis Data 6
HASIL DAN PEMBAHASAN 6
Morfologi Caplak Rhipicephalus (Boophilus) microplus 6
Periode Pra-Oviposisi 8
Periode Oviposisi dan Masa kubasi Telur 8
Fekunditas Telur Rhipicephalus (Boophilus) microplus 9
SIMPULAN DAN SARAN 12
Simpulan 12
Saran 12
DAFTAR PUSTAKA 12
RIWAYAT HIDUP 14
vi

DAFTAR TABEL
1 Periode pra-oviposisi R. (Boophilus) microplus berdasarkan bobot
badan. 8
2 Periode oviposisi dan periode pra-penetasan R. (Boophilus) microplus
berdasarkan bobot badan. 9
3 Bobot badan, bobot telur, dan jumlah telur R. (Boophilus) microplus 10
4 Jumlah Telur R. (Boophilus) microplus yang dihasilkan per hari
berdasarkan bobot badan. 10

DAFTAR GAMBAR
1 Caplak betina R. (Boophilus) microplus dewasa engorged. 2
2 Siklus hidup R. (Boophilus) microplus. 3
3 Morfologi caplak R. (Boophilus) microplus kenyang darah 6
4 Telur dan caplak betina dewasa. 7
5 Peletakan telur caplak Rhipicephalus (Boophilus) microplus 7
6 Rata-rata jumlah telur R. (Boophilus) microplus yang diproduksi per
hari. 11
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Caplak Rhipicephalus (Boophilus) microplus merupakan jenis caplak keras


yang wilayah penyebarannya sangat luas. Caplak ini terdapat di negara tropis dan
subtropis seperti Indonesia, Australia, Amerika, Brazil, India dan Filipina
(Labruna et al. 2009). Serangan caplak sapi dilaporkan terjadi di Jawa Barat,
Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, Lampung, Sumbawa, Timor, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Indonesia sebagai negara beriklim tropis memiliki permasalahan ektoparasit
hampir di sepanjang tahun, maka dari itu diperlukan pengendalian yang tepat
untuk mengurangi kerugian yang ditimbulkan oleh caplak ini (Hadi dan Soviana
2010).
Kerugian yang ditimbulkan oleh R. (Boophilus) microplus diantaranya
menurunnya produksi susu dan daging, anemia hingga kematian. R. (Boophilus)
microplus juga diketahui merupakan vektor berbagai penyakit seperti babesiosis,
ricketsiosis, anaplasmosis dan Q-fever (Labruna et al. 2009). Sapi dikatakan
terinfestasi caplak R. (Boophilus) microplus ketika caplak mengisap darah yang
dapat menimbulkan kerusakan pada kulit (dermatosis) yang termasuk kategori
ringan hingga menimbulkan kematian yang termasuk kategori sangat berat (Wall
dan Shearer 2001).
R.(Boophilus) microplus termasuk caplak berumah satu yaitu mulai dari
stadium larva, nimpa dan dewasa hidup pada satu ekor hewan. Menurut Beriajaya
(1982) caplak R.(Boophilus) microplus betina dapat menghasilkan telur sebanyak
2000 butir dan akan menetas menjadi larva, nimpa dan dewasa. Selama stadium
perkembangannya, seekor caplak dapat mengisap darah sapi hingga 0.5 mL dan
apabila populasi caplak pada sapi mencapai 6000–10000 caplak maka dapat
membunuh sapi dewasa (Barnet 1961). Di Indonesia, aspek reproduksi caplak R.
(Boophilus) microplus belum pernah diteliti terutama mengenai periode pra-
oviposisi, periode oviposisi, periode pra-penetasan, masa inkubasi telur dan
fekunditasnya.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aspek reproduksi caplak R.


(Boophilus) microplus di Indonesia meliputi periode pra-oviposisi, periode
oviposisi, periode pra-penetasan, masa inkubasi telur dan fekunditasnya.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang aspek


reproduksi caplak sapi R. (Boophilus) microplus asal Indonesia, sehingga dapat
menjadi bahan pertimbangan dalam pengendalian caplak.
2

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi

Berikut adalah klasifikasi ilmiah Rhipicephalus (Boophilus) microplus:


Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Upafilum : Chelicerata
Kelas : Arachnida
Upakelas : Acarina
Superordo : Parasitiformes
Ordo : Ixodida
Superfamili : Ixodidea
Genus : Rhipicephalus
Subgenus : Boophilus
Spesies : Rhipicephalus microplus
Dalam beberapa tahun belakangan, Boophilus spp ditetapkan menjadi
subgenus dari genus Rhipicephalus (Murrel dan Barker 2003). Hal ini didasarkan
atas laporan ditemukannya kedekatan dasar molekular dan morfologi dari
Rhipicephalus dengan Boophilus. Boophilus ditetapkan menjadi subgenus dan
Boophilus microplus berubah nama menjadi Rhipicephalus (Boophilus) microplus
untuk menghindari kesalahpahaman di antara para peneliti.

Morfologi

Gambar 1 Caplak betina Rhipicephalus (Boophilus) microplus dewasa


engorged (uky.edu/Classes/ENT/574/insects/Livestock/ticks/ticks.htm).
Rhipicephalus (Boophilus) microplus memiliki dua bagian tubuh yaitu
sefalotoraks dan idiosoma (abdomen). Tubuhnya mempunyai kulit (integumen)
yang tebal sehingga termasuk kategori caplak keras. Di bagian gnatosoma
terdapat kapitulum (kepala) dan alat alat mulut yang terletak dalam satu rongga
disebut kamerostom. Basis kapitulum berbentuk segi enam, spirakulum bulat dan
oval, hipostom dan palpus pendek dan pipih, bidang dorsal dan lateral bergerigi
3

(Levine 1990). Subgenus Boophilus tidak memiliki festoon atau ornamentasi,


tetapi terdapat mata yang terletak pada sisi lateral skutum. Alat mulut caplak
terdiri dari sepasang hipostom, kelisera dan pedipalpus (Sigit et al. 1992). Caplak
ini tergolong dalam metastigmata yaitu memiliki sepasang stigmata (lubang
pernafasan) yang terletak di ventrolateral belakang koksa IV (Hadi dan Soviana
2010). Larva mempunyai tiga pasang kaki, sedangkan nimfa dan dewasa
memiliki empat pasang kaki (Soedarto 2003). Pasangan tungkai pertama larva
caplak terdapat sebuah organ sensori yang disebut organ Haller. Alat ini
berfungsi sebagai reseptor kelembapan, kimia, dan mekanis sehingga dapat
mendeteksi adanya inang yang cocok serta dapat menerjemahkan bau
feromon yang dikeluarkan oleh caplak lain. Caplak betina memiliki skutum yang
hanya menutupi sepertiga bagian anterior tubuhnya. Oleh karena itu, tubuh
caplak betina dapat berkembang lebih besar daripada caplak jantan (Hadi dan
Soviana 2010).

Siklus Hidup
Siklus hidup R.(Boophilus) microplus berupa telur-larva-nimfa-caplak
dewasa. Caplak dewasa setelah kawin akan menghisap darah sampai kenyang,
lalu jatuh ke tanah untuk bertelur. Larva yang baru menetas akan mencari
inang dengan bantuan olfaktoriusnya. Bila tidak cepat mendapat induk semang
yang baru larva dapat menahan lapar untuk berminggu-minggu bahkan sampai
berbulan-bulan. Setelah berhasil mendapatkan induk semang dan menghisap
darahnya, larva akan melepaskan diri dari induk semang untuk berganti kulit
(molting) menjadi nimfa (Hendrix dan Robinson 2006). Nimfa menghisap darah
kembali, setelah kenyang akan jatuh ke tanah dan berganti kulit menjadi caplak
dewasa. Satu siklus hidup berkisar antara 6 minggu sampai tiga tahun (Hadi
2010). Caplak dewasa dapat bertelur sekitar 300-5000 butir per caplak (Hendrix
dan Robinson 2006). Caplak memerlukan ± 1 tahun untuk menyelesaikan satu
siklus hidup di daerah tropis dan lebih dari satu tahun di daerah lebih
dingin.

Gambar 2 Siklus hidup Rhipicephalus (Boophilus) microplus (Hadi et al.


2013).
4

Berdasarkan jumlah inang yang diperlukan caplak dalam melengkapi


satu siklus daur hidupnya dikenal istilah caplak berumah satu, berumah dua
dan berumah tiga. R. (Boophilus) microplus merupakan caplak berumah satu
yang perkembangbiakan stadium larva hingga dewasa terjadi dalam satu induk
semang (inang) (Hadi dan Soviana 2010). Stadium kehidupan caplak ini terdiri
dari stadium parasitik dan nonparasitik. Stadium parasitik dimulai pada saat
larva menempel pada tubuh inang sampai dengan caplak tumbuh dewasa. Caplak
dapat menularkan penyakit melalui dua cara yaitu secara transtadial dan
transovarial. Secara transtadial artinya setiap stadium caplak baik larva, nimfa
maupun dewasa mampu menjadi penular patogen, sedangkan secara transovarial
artinya caplak dewasa betina yang terinfeksi patogen akan dapat
menularkannya pada generasi berikutnya melalui sel-sel telur (Hadi 2011).

Peran Caplak Rhipicephalus (Boophilus) microplus


Caplak sapi atau R (Boophilus) microplus adalah ektoparasit pengisap
darah sehingga menyebabkan anemia pada ternak tersebut. Selain mengisap darah
R. (Boophilus) microplus juga merupakan vektor berbagai penyakit parasit darah
diantaranya penyakit Babesiosis (Babesia bovis dan B. bigemina),
Anaplasmosis (Anaplasma marginale) serta Equinepiroplasmosis (Theileria
equi). Disamping itu, luka bekas gigitan caplak dapat mengundang kehadiran
lalat hijau (Chrysomia sp) untuk bertelur pada luka tersebut sehingga
menyebabkan belatungan (miasis). Pada kasus belatungan, infestasi larva
lalat pada awalnya terjadi pada jaringan kulit yang luka, selanjutnya larva
bergerak lebih dalam menuju ke jaringan otot sehingga luka melebar dan bau
busuk. Kondisi tersebut menyebabkan tubuh ternak terganggu, demam
disertai penurunan nafsu makan sehingga sangat merugikan peternak
(Sulistyaningsih 2016). Menurut Labruna et al. (2009) caplak ini juga berperan
sebagai vektor pembawa bakteri penyebab penyakit seperti ricketsiosis dan Q
fever.

Pengendalian Caplak Rhipicephalus (Boophilus) microplus


Pengendalian dilakukan untuk mengurangi dan meniadakan infestasi
caplak pada tubuh inang. Faktor yang memengaruhi jumlah infestasi caplak pada
sapi, satu di antaranya adalah penggembalaan ternak secara bebas di padang
rumput, sehingga tindakan preventif harus dilakukan untuk meminimalisir tingkat
infestasi. Aplikasi dengan bahan kimia (akarisida) adalah metode paling
umum digunakan dalam pengendalian caplak. Teknologi terbaru berupa
pengembangan vaksin melalui penggunaan kelenjar ludah, usus, telur dan ekstrak
larva caplak yang disuntikkan secara subkutan ke tubuh sapi. Vaksinasi ini
mampu menurunkan pertumbuhan caplak hingga 70% (Kusyanto 2001).
Pengendalian paling aman adalah dengan menyemprot atau memandikan
sapi dengan asuntol 0,1% (sekali dalam satu minggu selama empat kali
berturut-turut) atau penyuntikan dengan ivermectin secara subcutan minimal
3 kali (sekali dalam 21 hari) secara berturut-turut (Sulistyaningsih 2016).
Telur caplak ini dapat dihambat perkembangannya dengan menggunakan
acarisida seperti amitraz dan flumethrin (Haque 2014). Beberapa metode
penggunaan insektisida tersebut terhadap caplak sapi di antaranya adalah
dipping dan spraying (Djojosumarto 2008).
5

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Lokasi pengambilan caplak dilakukan di peternakan sapi Jonggol,


Kabupaten Bogor, Indonesia. Penelitian lebih lanjut untuk mempelajari aspek
reproduksi caplak yang dikoleksi dilakukan di Laboratorium Entomologi
Kesehatan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Mei
2016 hingga bulan Juni 2016.

Metode Penelitian

Koleksi Caplak
Sampel caplak dikoleksi secara manual dari tubuh sapi dan menggunakan
bendera caplak di sekitar padang penggembalaan di peternakan sapi rakyat
Jonggol, Kabupaten Bogor, Indonesia.

Pemeliharaan Caplak
Caplak betina dewasa sebanyak 25 caplak diletakkan secara individual
dalam tabung kaca pada suhu ruang (25oC–27oC) dan kelembaban relatif (80–
90%). Tabung kaca ditutup menggunakan spon dan diberi lubang udara. Seluruh
tabung kaca diletakkan di atas wadah yang di bawah wadah telah diisi air untuk
menjaga kelembapan dan menghindari serangga lain mendekat. Selama penelitian
caplak tidak diberi makan.

Pengamatan Morfologi Caplak Dewasa


Caplak diletakkan di atas gelas objek yang sebelumnya telah ditempel
double tape agar caplak tidak bergerak saat diamati. Pengamatan morfologi
dilakukan di bawah mikroskop. Gambar hasil pengamatan caplak diambil
menggunakan perangkat kamera Optilab®. Identifikasi morfologi caplak
mengikuti buku panduan Atlas Entomologi Veteriner (Hadi et al. 2013).

Pengukuran Bobot Badan dan Bobot Telur Caplak


Sebanyak 25 caplak betina kenyang darah yang dikoleksi diukur bobot
badannya menggunakan timbangan digital. Setelah itu dilakukan pengelompokkan
berdasarkan bobot badan. Telur yang dihasilkan caplak R. (Boophilus) microplus
diukur bobotnya menggunakan timbangan digital, kemudian dihitung jumlah
telurnya. Pengamatan bobot telur dilakukan satu kali terhadap lima caplak.

Pengamatan Caplak Bertelur


Pengamatan caplak bertelur dilakukan terhadap lima caplak betina dewasa
kenyang darah diamati satu kali setiap hari selama 30 hari. Pengamatan terbagi
menjadi tiga periode. Pertama, periode pra-oviposisi yaitu waktu yang dibutuhkan
caplak dari selesai mengisap darah sampai pertama kali bertelur. Kedua, periode
oviposisi yaitu waktu yang dibutuhkan caplak untuk meletakan telur. Ketiga,
6

periode pra-penetasan yaitu waktu yang dibutuhkan caplak selesai menghasilkan


telur sampai telur menetas menjadi larva untuk pertama kali. Seluruh periode
diamati di bawah mikroskop dan diambil gambarnya menggunakan kamera
Optilab®. Setiap caplak yang bertelur dipindahkan ke tabung baru untuk
mempermudah perhitungan jumlah telur per hari. Setiap tabung diberi label nama.

Perhitungan Periode Inkubasi telur


Periode inkubasi telur dihitung dengan menjumlahkan periode oviposisi dan
periode pra-penetasan. Telur-telur yang dihasilkan juga diamati warna dan
kecerahannya di bawah mikroskop.

Analisis Data

Jumlah telur caplak dianalisis menggunakan metode statistik uji One Way
Anova dan uji Korelasi. Uji One Way Anova digunakan untuk melihat perbedaan
jumlah telur yang dihasilkan setiap hari dan dilanjutkan dengan Uji Tukey . Uji
korelasi digunakan untuk melihat hubungan antara bobot badan dan jumlah telur
yang dihasilkan. Perangkat statistik yang digunakan SPSS Statistics 22 dan
Microsoft Excel.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Morfologi Caplak Rhipicephalus (Boophilus) microplus

Hasil identifikasi secara morfologi menunjukkan bahwa caplak yang


dikoleksi adalah Rhipicephalus (Boophilus) microplus (Gambar 3).

Tungkai
Telur
Sefalotoraks

Abdomen

Gambar 3 Morfologi caplak Rhipicephalus (Boophilus) microplus kenyang darah


7

Gambar 4 Telur dan caplak dewasa R. (Boophilus) microplus. A: Telur, B: Caplak


dewasa.

Gambar 5 Peletakan telur caplak R. (Boophilus) microplus.

Caplak yang diamati memiliki warna coklat kekuningan dengan rata-rata


panjang tubuh 0.5 cm dan lebar 0.3 cm (Gambar 4B). Ciri morfologi
R.(Boophilus) microplus yaitu tubuh caplak keras dan berbentuk bulat telur
(Gambar 3). Tubuh caplak yang diamati terdiri atas sefalotoraks dan abdomen.
Perangkat mulut terdiri dari satu hipostom, sepasang khelisera dan sepasang
pedipalpi. Basis kapitulum berbentuk segi enam, spirakulum bulat oval, bentuk
hipostom dan palpus pendek pipih (Sigit et al. 1992). Kelisera terdiri atas dua
ruas, dan ujungnya dilengkapi dengan dua atau lebih kait yang dapat digerak-
gerakkan. Kait-kait ini berfungsi untuk membuat sayatan pada kulit inang
secara horinzontal agar hipostom dapat ditusukkan ke dalam kulit inang.
Pedipalpus terdiri atas tiga atau empat ruas yang terletak di sisi hipostom.
Caplak ini tidak memiliki festoon tetapi terdapat mata yang terletak pada sisi
lateral skutum. Pada pasangan tungkai pertama larva caplak memiliki organ
sensori yang disebut organ Haller yang berfungsi sebagai reseptor kelembaban,
kimia, mekanis sehingga larva dapat menemukan inang yang cocok. Caplak betina
hanya memiliki skutum yang menutupi sepertiga bagian anterior tubuhnya (Hadi
dan Soviana 2010). Ukuran caplak ini dipengaruhi oleh jumlah darah yang dihisap
oleh caplak tersebut. Semakin banyak jumlah darah yang dihisap semakin besar
ukuran caplak (Hadi dan Adventini 2015).
Telur yang diamati memiliki ukuran rata-rata 0.1 cm. Telur berwarna coklat
gelap dan berubah warna menjadi kuning cerah mendekati periode penetasan
8

(Gambar 4A). Kondisi telur caplak dipengaruhi berbagai faktor diantaranya


kelembaban dan suhu. Menurut Harahap (2001) kelembaban berperan pada
penjagaan kerusakan telur. Faktor lain yaitu suhu lingkungan berpengaruh
terhadap periode penetasan telur (Saputro 2014).

Periode Pra-Oviposisi

Hasil pengamatan bobot badan caplak yang digunakan sebagai sampel dapat
dibedakan menjadi lima kelas dan dihitung rata-rata periode pra-oviposisinya
seperti disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Periode pra-oviposisi telur R.(Boophilus) microplus berdasarkan bobot
badan.
No Kelas (gram) Median Jumlah Mean
Caplak Periode Pra-
oviposisi
(hari)
1. 0.01–0.05 0.01 3 5.50 (5–6)a
2. 0.06–0.10 0.10 5 4.40 (4–6)a
3. 0.11–0.15 0.13 6 4.50 (4–5)a
4. 0.16–0.20 0.17 9 4.33 (4–5)a
5. 0.21–0.25 0.23 2 4.00 (4)a
Rata-rata 4.55
Huruf superscript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata
(p>0.05)

Periode pra-oviposisi adalah waktu yang dibutuhkan caplak dari mulai


menghisap darah hingga bertelur pertama kali. Rata-rata periode pra-oviposisi dari
caplak yang diamati sebesar 4.55 hari (Tabel 1). Setiap kelas menunjukan hasil
periode pra-oviposisi yang tidak berbeda nyata (p>0.05). Hasil ini tidak berbeda
jauh dengan penelitian terdahulu. Menurut Harahap (2001), periode pra-oviposisi
R.(Boophilus) microplus berkisar 2–6 hari.
Periode pra-oviposisi ini dapat dipengaruhi oleh kelembapan, semakin
rendah kelembapan tempat bertelur maka semakin lama periode pra-oviposisinya.
Kelembaban juga berperan pada penjagaan kerusakan telur (Harahap 2001).
Setelah periode pra-oviposisi berakhir dilanjutkan periode oviposisi yaitu periode
peletakan telur caplak.

Periode Oviposisi dan Masa Inkubasi Telur

Hasil pengamatan bobot badan caplak dapat dibedakan menjadi lima kelas
dan dihitung rata-rata periode oviposisi dan periode pra-penetasannya seperti
disajikan pada Tabel 2.
9

Tabel 2 Periode oviposisi dan pra-penetasan dari telur R.(Boophilus) microplus


berdasarkan bobot badan.
No Kelas (gram) Median Jumlah Mean Mean Periode
Caplak Periode Pra-penetasan
Oviposisi (hari)
(hari)
1. 0.01–0.05 0.01 3 6.33 (0–10)a 8.00 (0–13)a
2. 0.06–0.10 0.10 5 9.80 (9–10)a 10.40 (0–15)a
3. 0.11–0.15 0.13 6 9.67 (9–10)a 11.33 (0–17)a
4. 0.16–0.20 0.17 9 10.11(9–11)a 10.00 (0–14)a
5. 0.21–0.25 0.23 2 10.00 (10)a 13.5 (13–14)a
Rata-rata 9.18 10.64
Huruf superscript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata
(p>0.05)

Periode oviposisi adalah waktu yang dibutuhkan caplak untuk menghasilkan


telur sampai berhenti menghasilkan telur sedangkan periode pra-penetasan yaitu
waktu yang dibutuhkan caplak selesai menghasilkan telur sampai telur menetas
menjadi larva untuk pertama kali. Hasil pengamatan menunjukan rata-rata periode
oviposisi sebesar 9.18 hari dan periode pra-penetasan sebesar 10.64 hari (Tabel 2),
sehingga diperoleh masa inkubasi telur sebesar (9.18+10.64) 19.82 hari.
Masa inkubasi telur yang diamati dalam penelitian ini berbeda dengan
penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Menurut Menurut Wahyuwardhani
(1994) caplak R.(Boophilus) microplus yang berada di Indonesia memiliki rata-
rata periode inkubasi selama 21–26 hari. Perbedaan hasil ini dapat dipengaruhi
oleh suhu lingkungan, semakin tinggi suhu lingkungan masa inkubasi akan
berlangsung lebih cepat. Periode pra-oviposisi, oviposisi dan masa inkubasi telur
caplak sapi R. (Boophilus) microplus dalam penelitian ini memiliki perbedaan
dibandingkan caplak anjing R. sanguineus. Menurut Hadi dan Adventini (2015),
caplak anjing R. sanguineus yang berada di Indonesia memiliki periode pra-
oviposisi selama 4.9 hari, periode oviposisi selama 14.3 hari, periode pra-
penetasan 6.9 hari dan masa inkubasi telur selama 21.2 hari.
Hasil pengamatan menunjukan terdapat satu caplak (4%) dari 25 caplak
yang tidak bertelur (Tabel 2). Hal ini dapat dipengaruhi oleh jumlah darah yang
dihisap oleh caplak tersebut. Menurut Hadi dan Adventini (2015), darah
digunakan caplak untuk perkembangan ovari dan pematangan telur.

Fekunditas Telur Caplak Rhipicephalus (Boophilus) microplus

Lima caplak (20%) dari 25 sampel caplak diambil secara acak untuk diamati
lebih lanjut bobot badan, bobot telur dan jumlah telur yang dihasilkan setiap
harinya seperti yang disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4.
10

Tabel 3 Bobot badan, bobot telur, dan jumlah telur R. (Boophilus) microplus.
No Bobot Badan Jumlah Bobot Telur
Sampel Telur (butir) Total
(gram) (mg)
1. 0.08 1394 100
2. 0.13 2325 100
3. 0.15 2890 100
4. 0.20 3539 300
5. 0.22 4209 300
Rata-rata 0.16 2871 200

Hasil pengamatan menunjukan rata-rata jumlah telur yang dihasilkan


sebanyak 2871 butir dengan kisaran jumlah telur 1394 sampai 4209 butir (Tabel
3). Jumlah produksi telur yang diamati masih dalam kisaran yang pernah
dilaporkan beberapa peneliti terdahulu. Alvarado dan Gonzales (1979)
melaporkan telur yang dihasilkan R.(Boophilus) dapat mencapai 3285 butir.
Menurut Lingganingsih (1989), telur R. (Boophilus) microplus dapat mencapai
4138 butir dan menurut Harahap (2001) mencapai 1083 butir.
Rata-rata bobot badan dari lima caplak tersebut sebesar 0.16 gram (Tabel 3).
Bobot badan dan jumlah telur diuji statistik dan hasil menunjukan bahwa terdapat
korelasi yang sangat kuat (r=0.99) antara bobot badan dan jumlah telur yang
dihasilkan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh
Wahyuwardhani (1994), bahwa produksi jumlah telur caplak R. (Boophilus)
microplus dapat dipengaruhi oleh bobot badan. Semakin besar bobot badan,
semakin banyak jumlah telur yang dihasilkan. Bobot badan caplak tersebut dapat
dipengaruhi oleh perbedaan volume darah yang dihisap. Semakin banyak volume
darah yang dihisap semakin besar bobot badan caplak tersebut.
Bobot telur yang diamati diperoleh hasil rata-rata sebesar 200 gram (Tabel
3). Perbedaan bobot telur antara caplak satu dengan yang lain dapat dipengaruhi
oleh ukuran telur dan volume dalam telur. Semakin besar bentuk telur
memungkinkan kandungan isi dalam telur lebih banyak maka bobot telur akan
semakin tinggi (Harahap 2001).

Tabel 4 Jumlah telur R. (Boophilus) microplus yang dihasilkan per hari.


Sampel Jumlah telur hari ke- (Butir)
No. Bobot 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Total
(gram)
1. 0.08 327 528 257 154 41 45 16 12 4 10 1394
2. 0.13 97 249 578 648 485 159 62 36 8 3 2325
3. 0.15 253 476 830 550 552 103 106 18 2 – 2890
4. 0.20 259 667 563 905 422 479 115 107 14 8 3539
5. 0.22 197 585 803 646 749 604 272 318 28 7 4209
Rata- 0.16 abc 501cd 606d 581d 450bcd 278abcd 114ab 98a 11a 6a 2871
227
rata
Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata
(p<0.05).
11

700 606 581

Rata-rata Jumlah Telur


600 501
450
500
400 278
300 227
114 98 Jumlah telur (butir)
200
100 11 6 0
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Hari ke-
Gambar 6 Rata-rata jumlah telur R. (Boophilus) microplus yang diproduksi per
hari.

Jumlah telur R. (Boophilus) microplus dihitung jumlahnya setiap hari dari


pertama bertelur hingga berhenti bertelur (Tabel 4). Rata-rata caplak bertelur
selama sepuluh hari, berhenti pada hari kesebelas (Tabel 4). Caplak R.
(Boophilus) microplus akan mati dan mengering rata-rata lima hari setelah selesai
bertelur. Hasil menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata dari jumlah telur yang
dihasilkan setiap harinya dari lima sampel caplak tersebut (Tabel 4) (p˂0.05).
Berdasarkan pengamatan rata-rata jumlah telur yang dihasilkan per hari
(Gambar 6) didapatkan hasil puncak produksi jumlah telur R. (Boophilus)
microplus terdapat pada hari ketiga dengan rata-rata jumlah telur sebanyak 606
butir. Pada hari ketiga dan seterusnya terjadi penurunan produksi. Produksi telur
paling rendah terjadi pada hari kesepuluh dengan rata-rata jumlah telur sebanyak
enam butir dan kemudian berhenti pada hari kesebelas.
Caplak betina yang telah selesai mengeluarkan telur kemudian mati.
Penyebab kematian caplak betina setelah bertelur antara lain karena selama proses
bertelur caplak betina tidak lagi memakan darah. Caplak betina mengeluarkan
telur dan melewatkannya di dasar basis kapituli untuk melindungi telur-telurnya
agar tidak kering (Lord 2001).
Telur-telur yang dihasilkan tidak seluruhnya menetas. Proses penetasan telur
caplak dipengaruhi oleh kelembaban, suhu, ataupun telur yang tidak fertil.
Kelembaban berpengaruh terhadap kerentanan atau ketahanan telur tetapi tidak
berpengaruh terhadap lama waktu periode oviposisi. Suhu berpengaruh terhadap
periode penetasan telur, semakin tinggi suhu telur semakin cepat menetas
(Saputro 2014). Telur caplak dapat dihambat perkembangannya dengan
menggunakan acarisida seperti amitraz dan flumethrin (Haque 2014).
Caplak tidak selalu menghasilkan telur yang fertil dikarenakan belum
terjadinya pembuahan, organ reproduksinya belum berkembang sempurna atau
komponen yang berada di dalam telur belum cukup sehingga telur tidak dapat
menetas. Menurut Ismail et al. (1984) caplak R. (Boophilus) microplus yang tidak
dibuahi (partenogenesis) hanya mampu menghasilkan telur yang daya tetasnya
0.008%.
12

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Rata-rata periode pra-oviposisi telur caplak Rhipicephalus (Boophilus)


microplus sebesar 4.55 hari, rata-rata periode oviposisi sebesar 9.18 hari, rata-rata
periode pra-penetasan sebesar 10.64 hari, rata-rata periode inkubasi telur sebesar
19.82 hari dan rata-rata jumlah telur yang dihasilkan satu caplak betina R.
(Boophilus) microplus sebesar 2871 butir dengan rata-rata bobot total telur
sebesar 200 mg.

Saran

Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang daya tetas telur karena terdapat
telur-telur yang tidak menetas pada saat penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Alvarado R, Gonzales J . 1979. Oviposition and viability in Boophilus microplus


(Acari : Ixodidae) under laboratory condition . Revis. Launowner.
Microbiol. 21(1) : 31-36.
Barnet S. 1961. The Control of Ticks on Livestock. Italy: FAO Agricultural
Studies.
Beriajaya. 1982. Pengaruh jenis induk semang terhadap aspek pertumbuhan
caplak sapi Boophilus microplus (canestrini) (Acari, Ixodidae) [Thesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Djojosumarto P. 2008. Panduan Lengkap Pestisida dan aplikasinya.Armando R,
editor. Jakarta (ID) : PT. Agromedia Pustaka.
Hadi U, Gunandini D, Soviana S, Supriyono. 2013. Atlas Entomologi Veteriner.
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Hadi U, Soviana S.2010.Ektoparasit Pengenalan, Identifikasi dan
Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Press.
Hadi U. 2011. Bioekologi berbagai jenis serangga pengganggu pada hewan
ternak di Indonesia dan pengendaliannya. Bogor: Fakultas Kedokteran
Hewan Institut pertanian Bogor [Internet]. [diunduh 2017 Agustus].
Tersedia pada: http://upikke.staff.ipb.ac.id/files/2011/03/Bioekologi-
Berbagai-Jenis-Serangga-Pengganggu-Peternakan-di-Indonesia-dan-
Pengendaliannya.pdf
Hadi U, Adventini M. 2015. Fecundity, Oviposition, and Egg Incubation Period of
female Rhipicephalus sanguineus Lattreille (Acari: Ixodidae) Ticks in
Indonesia. J Vet Med Res. 2(5): 1036.
Harahap I. 2001. Aspek Biologis Caplak Sapi Boophilus microplus Indonesia
dalam Kondisi Laboratorium [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.
13

Haque M. 2014. Effect of Various Acaricides on Hatchability of Eggs


of Rhipicephalus (Boophilus) microplus. Biomed Research
International.14:1-5.
Hendrix C, Robinson E. 2006. Diagnostic Parasitology for Veterinary
Technicians.3th Ed. Mosby Inc. an affiliate Elsevier Inc.
Ismail S. 1984. Life cycle of Amblyoma cordiferum under laboratorium condition.
Nat J. 38(1) : 73-77.
Kusyanto. 2001. Kadar Antibodi Serum Sapi Bali (Bos Indicus) terhadap infestasi
alami Boophilus microplus dengan uji Elisa Tidak Langsung [skripsi].
Bogor: IPB.
Labruna M, Victoria N, Atilio J, Carolina T . 2009. Allopatric speciation in ticks:
genetic and reproductive divergence between geographic strains of
Rhipicephalus (Boophilus) microplus. Biomed Central. 9(46): 1-12.
Levine. 1990. Parasitologi Veteriner. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Press.
Lingganingsih. 1985. Hubungan antara berat badan caplak Boophilus microplus
dengan produksi telur. [skripsi] Bogor: IPB.

Lord. 2001. Rhipicephalus sanguineus Latreille (Arachnida: Acari: Ixodidae).


Florida: University of Florida.
Murrel A, Barker S. 2003. Synonim of Boophilus curtice with Rhipicephalus
koch, (Acari: Ixodidae). Systematic Parasitology. 56:169-172.
Saputro T. 2014. Makalah Penyakit Parasit Caplak [internet]. [diunduh 31 Mei
2017] http://www.ilmuternak.com/2014/03/makalah-penyakit-parasit-
caplak_21.html#ixzz3IcTXPsK3.
Sigit S, Hadi U, Soviana S, Gunandini D. 1992. Penuntun Praktikum Ektoparasit
Edisi Kedua. Bogor (ID): FKH IPB.
Soedarto. 2003. Zoonosis Kedokteran. Surabaya (ID): Airlangga University Press.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia). Yogyakarta (ID): Gadjah
Mada University Press.
Sulistyaningsih. 2016. Infestasi Caplak Boophilus microplus pada Sapi Potong
di Kota Banjarbaru dalam Seminar Nasional. Kalimantan Selatan: Dinas
Peternakan.
Wahyuwardhani S. 1994. Pengaruh perkembangan tubuh caplak Boophilus
microplus betina dewasa terhadap fertilitas telurnya. lmu Temak dan Veteriner
. 1(1): 62-67.
Wall R, Shearer D. 2001. Veterinary Ectoparasites: Biology, Pathology, &
Control Second Edition. London: Blackwell Science Ltd.
14

RIWAYAT HIDUP

Agnes Carmelita Mulya lahir di Bandung, 26 Mei 1995. Penulis merupakan


putri kedua dari Ir Mula Fridus B dan Barbara Yayah R. Lulus pada tahun 2013
dari SMAN 6 Bandung dan di tahun yang sama diterima di Fakultas Kedokteran
Hewan IPB. Penulis tergabung dalam berbagai organisasi di kampus seperti
Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) cabang IPB
(sebagai kepala divisi Infokom) dan Pengurus Besar IMAKAHI nasional,
Himpunan Profesi Ruminansia, hingga organisasi internasional seperti
International Veterinary Student Association (IVSA) chapter Indonesia yaitu
organisasi internasional bidang Kedokteran Hewan dan World Merit Indonesia
(sebagai Kepala Departemen External) yaitu organisasi internasional yang
bergerak dalam bidang Sustainable Development Goals. Selain itu, penulis
tergabung sebagai Ambassador of Indonesian Culture and Tourism karena
ketertarikannya terhadap budaya dan pariwisata Indonesia. Penulis juga seringkali
menghadiri forum nasional seperti 1st Summit Indonesian Young Health
Proffesional Society dan Aliansi Mahasiswa Kedokteran Indonesia serta Youth
Development Summit 2016 karena Penulis sangat tertarik tidak hanya pada
kesehatan hewan namun juga kesehatan masyarakat luas dan permasalahan
masyarakat Indonesia lainnya. Penulis menerima beasiswa dari Tanoto
Foundation pada tahun 2015. Penulis sempat mewakili IPB maju sebagai finalis
essay ilmiah dalam lomba tingkat nasional yaitu Pekan Ilmiah Veteriner Nasional
di tahun 2015 lalu. Minat dalam menulis juga membawa penulis untuk
berpartisipasi dalam acara Mini World Georgia yang dilaksanakan oleh Kedutaan
Besar Georgia. Pada tahun 2016, penulis mewakili Indonesia dan merupakan satu-
satunya perwakilan IPB yang tergabung sebagai delegasi dalam acara
Internasional IVSA Asia Conference yang mengangkat tema satwa liar di
Bangkok, Thailand.

Anda mungkin juga menyukai