Anda di halaman 1dari 6

Canine coronavirus

Etiologi
Canine coronavirus (CCoV) termasuk ke dalam famili Coronaviridae,
subfamili Coronavirinae, genus Alphacoronavirus, Betacoronavirus, dan
Gammacoronavirus. Alphacoronavirus merupakan RNA positif berantai tunggal
dengan helical nukleokapsid, amplop bagian luar terdiri dari banyak protein
proyeksi yang tersusun dari luar ke dalam, yaitu protein spike (S), protein
membran (m), protein amplop kecil/ small envelope (E), dan protein nukleokapsid
(N). CCoV diklasifikasikan menjadi dua bentuk, CCoV tipe I merupakan strain
enterik dan CCoV tipe II merupakan strain pantropik dengan infeksi multisistemik
yang dapat menyebabkan penyakit pada fetus. Canine corona enteritis merupakan
penyakit infeksius yang menyerang anjing dari berbagai umur dan jenis.
Transmisi penyakit tersebut dapat terjadi melalui rute faecal-oral atau intranasal.
Virus tersebut menyerang sel epitel mukosa yang menutupi ujung dan sepertiga
atas vili usus, sedangkan mukosa kolon sebagian besar mengalami bentuk
subklinis. Penyakit ini lebih parah menyerang pada hewan muda. CCoV pada
feses anjing yang terinfeksi tidak dapat bertahan di lingkungan selama lebih dari
48 jam (Awad et al., 2020).

Canine viral enteritis harus dicurigai pada anjing dengan gejala muntah
dan diare akut, terutama pada anak anjing dan beberapa hewan terkena secara
bersamaan. Pemeriksaan elektron mikroskopis (EM) dari sampel feses atau isolasi
dalam kultur jaringan adalah teknik yang paling umum digunakan untuk
melakukan diagnosa. Selain itu, teknik polymerase chain reaction (PCR) juga
semakin banyak digunakan untuk mendeteksi patogen, terutama jika virus tersebut
memiliki titer yang sangat rendah. PCR dicirikan oleh sensitivitas, spesifisitas,
dan kecepatan tinggi, sehingga menjadi banyak digunakan untuk mendeteksi
berbagai mikroorganisme. Vaksinasi dengan menggunakan vaksin Canine
coronavirus inaktif, secara signifikan dapat mengurangi replikasi virus dan
terjadinya penyakit klinis setelah infeksi CCoV (Sakulwira et al., 2003).
Gejala Klinis
Gejala klinis yang ditimbulkan dari penyakit ini yaitu anoreksia, depresi,
muntah, serta diare berair hingga berlendir dan terkadang adanya diare hemoragik.
(Awad et al., 2020). Selain itu, tanda klinis yang dapat diamati pertama kali yaitu
adanya demam (39,5oC - 40oC), lethargy, serta gejala neurologis seperti ataksia
dan kejang (seizures) yang diikuti oleh kematian (Decaro dan Buonavoglia, 2011).
Kasus infeksi pantropik II-a CCoV strain CB/05 terutama ditandai dengan adanya
hemorrhagic enteritis dan cairan serosanguineous yang melimpah di rongga
abdomen. Selain itu, paru-paru menunjukkan beberapa area konsolidasi dan
emfisema perifer. Perdarahan juga terlihat pada hati, limpa, ginjal, serta terjadi
pembesaran limfonodus mediastinum dan mesenterika. Strain baru dari CCoV tipe
II-a yang telah diidentifikasi yaitu strain 450/07, strain tersebut didapatkan setelah
kematian anjing miniature pinscher berusia 60 hari dengan gejala enteritis
hemoragik, pneumonia fibrinous, dan keterlibatan multiorgan. Selain itu, CCoV
juga dapat menyebabkan lesi primer pada usus dengan enteritis hemoragik, dan
pneumonia interstitial ringan (Zappulli et al., 2020).

Patologi Patognomonis
Berdasarkan kasus pada jurnal (Decaro dan Buonavoglia, 2011),
menjelaskan bahwa hasil nekropsi pada anjing yang terinfeksi CCoV
menunjukkan adanya lesi yang parah pada saluran pencernaan, tonsil, paru-paru,
hati, limpa, dan ginjal. Lesi yang paling terlihat adalah gastroenteritis hemoragik.
Tonsil membesar dan terdapat perdarahan multifokal. Bronkopneumonia subakut
terlihat di lobus cranial dan caudal, dan disertai adanya efusi di rongga thorax.
Limpa membesar dan menunjukkan perdarahan subkapsular. Hati mengalami
nekrosis dan lipidosis disertai adanya perdarahan. Infark dan perdarahan terlihat di
korteks dan medula ginjal.

Gambar 3.1 Ginjal anjing yang terinfeksi CCoV pantropik, terdapat area hemoragik
yang meluas di korteks ginjal (Decaro dan Buonavoglia, 2011).

Gambar 3.2 Paru-paru anjing yang terinfeksi CCoV pantropik, terdapat pneumonia di
lobus caudal (Decaro dan Buonavoglia, 2011).

Temuan laboratorium berdasarkan kasus pada jurnal (Evermann et al.,


2005), menyebutkan bahwa anjing yang dilakukan nekropsi memiliki kondisi
postmortem yang baik. Daerah perianal dan ventral ekor terdapat sedikit feses
berwarna merah tua hingga hitam. Permukaan serosal dari usus halus menjadi
kasar, jejunum dan ileum mengandung banyak gumpalan kecil berwarna merah.
Colon mengandung sedikit feses berwarna merah tua hingga hitam. Ptechie
multifokal tersebar di area paru-paru. Pada usus halus terdapat sedikit kripta yang
terdistribusi secara acak dengan adanya dilatasi ringan hingga sedang yang
mengandung sedikit debris sel nekrotik dan neutrofil. Jumlah limfosit dan sel
plasma di lamina propria sedikit meningkat. Folikel limfoid periarteriolar pada
limpa mengalami sedikit penurunan seluleritas, disertai adanya limfosit nekrotik
yang tersebar. Diagnosis histologis yang disimpulkan yaitu adanya enteritis
ringan, limfositik, dan plasmasitik; serta deplesi limfoid enterik dan limpa.

Gambar 3.3 Fotomikrograf bagian ileum. Keparahan terjadi pada vili yang menjadi
tumpul dan kripta vili, terjadi distensi dengan adanya debris nekrotik yang
dilapisi oleh epitel attenuated atau nekrotik. Lamina propria diperlebar
oleh adanya fibrin, bahan berprotein, dan eritrosit. Lesi enteritis
nekrotikans berat terdapat di seluruh usus halus. HE. (Evermann et al.,
2005).

Gambar 3.4 Fotomikrograf paru-paru anjing yang terinfeksi CCoV pantropik, terdapat
eksudat fibrinopurulen seluler padat, gangguan pada septae, dan edema
difus. HE. (Decaro dan Buonavoglia, 2011).
Gambar 3.5 Fotomikrograf liver anjing yang terinfeksi CCoV pantropik, terdapat
degenerasi hepatosit difus dan perubahan lemak mikrovakuolar. HE.
(Decaro dan Buonavoglia, 2011).

Gambar 3.6 Fotomikrograf ginjal anjing yang terinfeksi CCoV pantropik, terdapat
nekrosis koagulatif dengan hiperemia. HE. (Decaro dan Buonavoglia,
2011).

Teknik Diagnosa PCR


CCoV-I dan CCoV-II dapat diidentifikasi dari kandungan usus anjing
dengan tes genotipe spesifik RT-PCR (reverse transcriptase polymerase chain
reaction). CCoV-II RNA juga terdeteksi dengan titer tinggi di paru-paru, limpa,
hati, ginjal, dan otak. Strain virus corona (CB/05) diisolasi pada sel A-72 dari
semua jaringan yang diperiksa, kecuali otak (Decaro dan Buonavoglia, 2011).
Sampel lain yang dapat digunakan untuk mendeteksi CCoV adalah sampel feses.
Spesimen dihomogenisasi (10% wt/vol) pada media Eagle yang dimodifikasi dan
kemudian disentrifugasi 2.500×g selama 10 menit. Kemudian, 140 μL supernatan
digunakan untuk ekstraksi RNA dengan menggunakan Viral RNA Mini Kit
QIAamp (QIAGEN), lalu RNA templates disimpan pada suhu -70°C sampai
digunakan (Decaro et al., 2010).
Semua ekstrak RNA dideteksi dengan real-time RT-PCR berbasis TaqMan
dengan sedikit modifikasi. Metode langkah 1 diadopsi dengan menggunakan
Platinum Quantitative PCR ThermoScript One-Step System (Invitrogen SRL,
Milan, Italia) dan dicampuran 50-μL berikut: 25 μL campuran utama, 300 nM
primer CCoV-forward (5′-TTGATCGTTTTTATAACGGTTCTACAA-3′) dan
CCoV-reverse (5′-AATGGGCCATAATAGCCACATAAT-3′), probe CCoV-Pb
200 nM (5′-FAMACCTCAATTTAGCTGGTTCGTGTATGGCATTBHQ1-3′),
dan 10 μL template RNA. Untuk mendapatkan kurva standar untuk kuantifikasi
absolut, dilakukan analisis duplikat pengenceran log10 dari RNA standar. Profil
termal terdiri dari transkripsi balik pada 50°C selama 20 menit, aktivasi Platinum
Taq DNA polimerase pada 95°C selama 2 menit, 45 siklus denaturasi pada 95°C
selama 15 detik, annealing pada 48°C selama 30 detik, dan ekstensi pada 60°C
selama 30 detik (Decaro et al., 2010).

Sampel positif dikarakterisasi oleh 2 tes genotipe spesifik yang berbeda,


dilakukan dengan menggunakan Platinum Quantitative PCR ThermoScript One-
Step System (Invitrogen SRL) dan set oligonukleotida (konsentrasi akhir masing-
masing adalah 600 dan 200 nM untuk primer dan probe): pasangan primer
CCoVI-F (5′-CGTTAGTGCACTTGGAAGAAGCT-3′)/ CCoVI-R (5′-
ACCAGCCATTTTAAATCCTTCA-3′) dan probe CCoVI-Pb (5′-
FAMCCTCTTGAAGGTACACCAATAMRA-3′) untuk CCoV-I; pasangan
primer CCoVII-F (5′-TAGTGCATTAGGAAGAAGCT-3′)/ CCoVII-R (5′-
AGCAATTTTGAACCCTTC-3′) dan probe CCoVII-Pb (5′-
FAMCCTCTTGAAGGTGTGCCTAMRA-3′) untuk CCoV-II. Protokol termal
dilakukan seperti yang telah dijelaskan untuk deteksi CCoV, kecuali untuk
annealing memiliki suhu yang berbeda, yaitu 53°C untuk CCoV-I dan 48°C dan
CCoV-II (Decaro et al., 2010).
Kuantifikasi relatif dari gen target ke gen referensi GAPDH ditentukan
dengan menggunakan metode 2 – ΔΔCT. Produk PCR positif untuk CCoV (RNA;
DNA virus) dipilih dan dimurnikan menggunakan kit pemurnian QIAGEN.
Pengurutan dilakukan berdasarkan segmen yang diperkuat menggunakan ABI Big
Dye terminator versi 3.1 sequence kit. Urutan yang diperoleh kemudian dianalisis
untuk homologi menggunakan NCBI Basic Local Alignment Search Tool
(BLAST). Penjajaran urutan multipel dilakukan menggunakan ClustalW2 dan
perentase identitas nukleotida ditentukan menggunakan matriks identitas DNA.
Neighbour-joining (NJ) dari pohon filogenik dibagun berdasarkan urutan Canine
coronavirus menggunakan perangkat lunak MEGA5. Reliabilitas pohon dinilai
menggunakan 26 ulangan bootstrap. Semua urutan nukleotida disimpan pada
NCBI GenBank (Awad et al., 2020).

Tabel 1. Primer untuk deteksi CCoV (Awad et al., 2020) (Decaro et al., 2010).

Primer Urutan oligonukleotida (5’-3’) Estimasi


ukuran
produk
CCoV-S F: ACCACCCAGTGTCAAGGAAA 275 bp
R: TGCCTCAGTGTACGATGTGT
GAPDH F: GAGAAAGCTGCCAAATATG 193 bp
R: CCAGGAAATGACCTTGACA
CCoVI F: CGTTAGTGCACTTGGAAGAAGCT
R: FAMCCTCTTGAAGGTACACCAATAMRA
CCoVII F: TAGTGCATTAGGAAGAAGCT
R: AGCAATTTTGAACCCTTC

Awad, R. A., Ali Hassan, S., Attallah, A. G., & Khalil, W. K. B. (2020).
Epidemiology and molecular diagnosis of canine coronavirus in egypt:
Evaluation of different tests used for its diagnosis. Bulgarian Journal of
Veterinary Medicine, 23(4), 467–477. https://doi.org/10.15547/bjvm.2019-
0024
Decaro, N., & Buonavoglia, C. (2011). Canine Coronavirus: Not Only an Enteric
Pathogen. Veterinary Clinics of North America - Small Animal Practice,
41(6), 1121–1132. https://doi.org/10.1016/j.cvsm.2011.07.005
Decaro, N., Mari, V., Elia, G., Addie, D. D., Camero, M., Lucente, M. S.,
Martella, V., & Buonavoglia, C. (2010). Recombinant canine coronaviruses
in dogs, Europe. Emerging Infectious Diseases, 16(1), 41–47.
https://doi.org/10.3201/eid1601.090726
Evermann, J. F., Abbott, J. R., & Han, S. (2005). Canine coronavirus-associated
puppy mortality without evidence of concurrent canine parvovirus infection.
Journal of Veterinary Diagnostic Investigation, 17(6), 610–614.
https://doi.org/10.1177/104063870501700618
Sakulwira, K., Vanapongtipagorn, P., Theamboonlers, A., Oraveerakul, K., &
Poovorawan, Y. (2003). Prevalence of canine coronavirus and parvovirus
infections in dogs with gastroenteritis in Thailand. Veterinarni Medicina,
48(6), 163–168. https://doi.org/10.17221/5764-VETMED
Zappulli, V., Ferro, S., Bonsembiante, F., Brocca, G., Calore, A., Cavicchioli, L.,
Centelleghe, C., Corazzola, G., De Vreese, S., Gelain, M. E., Mazzariol, S.,
Moccia, V., Rensi, N., Sammarco, A., Torrigiani, F., Verin, R., &
Castagnaro, M. (2020). Pathology of coronavirus infections: A review of
lesions in animals in the one-health perspective. Animals, 10(12), 1–41.
https://doi.org/10.3390/ani10122377

Anda mungkin juga menyukai