Oleh
I Dewa Agung Made Wihanjana Putra
NIM. 2009611065
Gelombang 17 Kelompok D
LABORATORIUM
KOASISTENSI DIAGNOSTIK LABORATORIK
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2021
1. Sinyalmen
Dua ekor anak kuda ditemukan mati di padang rumput Peternakan dan Kesehatan
Hewan Lanwades, Inggris. Satu anak kuda mati dengan gejala diare berat dan toksemia
dan satu kuda mati tanpa ada tanda-tanda klinis penyakit. Sedikit dipaparkan pada laporan
kasus bahwa kuda-kuda tersebut sering merumput di daerah bendungan air bersama
dengan kuda-kuda betina lainnya.
Sinyalmen terdiri dari :
Hewan : 2 ekor anak kuda
Ras : Thoroughbred
Umur : 5 Bulan dan 6 Bulan
Jenis Kelamin : 2 Ekor Kuda Jantan
Alamat : Horse Ranch and Animal Health Lanwades, 166 High Street,
Newmarket, Suffolk CB8 9WS, Inggris (Blunden. et al., 2006)1
2. Tanda Klinis
Berdasarkan kasus yang dilaporkan oleh Blunden. et al. (2006) 1, tanda klinis yang
ditunjukan pada anak kuda yaitu keluar lendir sedang pada hidung bagian kanan, diare,
dehidrasi, dan penurunan berat badan. Tanda Klinis lainnya yang sering ditemukan
berupa anoreksia, depresi, vomit, demam, kejang, kolik, bakteremia dan diare, encer
dengan atau tanpa darah, pembesaran hati dan limpa (Mccue., 2014)2
3. Data Epidemiologi
a. Hospes
Hospes dari kasus ini adalah anak kuda jantan ras thoroughbred yang ada pada
Peternakan dan Kesehatan Hewan Lanwades, Inggris. Status vaksin dari kuda tersebut
tidak diketahui (Blunden. et al., 2016)1.
b. Agen
Nekropsi dilakukan pada satu anak kuda throughbred usia 6 bulan yang menunjukan
tanda klinis. Berdasarkan pemeriksaan eksternal, pengangkatan kulit dan pemeriksaan
jaringan subkutan tidak mengungkap temuan yang signifikan. Kemudian pada
pembedahan lambung ditemukan sedikit jumlah cairan hijau dan pada bagian mukosa
usus terjadi nekrosis dan hilangnya seluruh vili usus dan ulserasi multifokal pada jejenum
dan illeum akibat banyaknya kolonisasi bakteri dengan morfologi bakteri gram negatif
berbentuk batang yang dicurigai campylobacter sp. Kultur usus halus dan usus besar dari
kedua anak kuda menghasilkan pertumbuhan campylobacter sedang sampai berat
kemudian diindentifikasi sebagai C. Jejuni. (Blunden. et al., 2016)1.
c. Lingkungan
Pada Peternakan dan Kesehatan Hewan Lanwades, Inggris, terdapat 15 ekor kuda
terdiri dari 6 ekor kuda betina sebagai indukan, 4 ekor kuda jantan dewasa dan 5 ekor
kuda anakan. Pemeliharaan kuda tersebut secara semi intensif. Dilaporkan oleh Acke et
al. (2018)3 bahwa kejadian campylobacteriosis pada kuda terjadi melalui jalur feses-oral
langsung atau tidak langsung, dengan sumber infeksi seperti rumput maupun air yang
mengalami kontak langsung dengan (feses segar dari hewan yang terinfeksi) atau kontak
tidak langsung (fomites, vektor dan lingkungan) dengan hewan yang terinfeksi. Burung
liar dicurigai sebagai vektor pada kasus ini. Burung liar ini dapat menyebarkan pathogen
ke air danau sehingga mengkontaminasi air disekitarnya sehingga menjadi sumber
dari infeksi campylobater. Pada umumnya, bakteria tersebut ditemukan di kotoran hewan,
tumbuh pada suhu 37-42°C (Carter et al., 2004). Campylobacter dapat menimbulkan
penyakit, tetapi sangat jarang mengakibatkan kematian (Adenkunle et al., 2009). Case
fatality rate dari penyakit campylobacteriosis pada kuda yaitu 8–10% dengan tingkat
mortalitas yaitu mencapai 5-6% dan morbiditasnya mencapai 50% (Nadeem et al., 2015
& Cfsph. 2013)
4. Data Patologi Anatomi
Pada pelaporan Blunden. et al. (2016), perubahan patologi anatomi yang ditemukan
berupa usus halus (jejenum dan ileum) dilatasi oleh gas dan menunjukkan hemorrhagic
transmural multifokal yang mudah terlihat di permukaan serosal, permukaan mukosa usus
halus saat dibuka mengalami perubaan warna kemerahan-cokelatan, bergelombang dan
nekrosis. Timus mengalami atropi, dan pada hati terjadi pembengkakan dengan inflamasi
dan nekrosis.
5. Diagnosa Sementara
Berdasarkan tanda klinis dan lesi patologi anatomi berupa usus halus mengalami
hemorrhagic transmural multifokal dan bagian mukosa mengalami mengalami perubahan
warna merah-cokelat, bergelombang, nekrosis dan hati mengalami pembekakan dengan
inflamasi dan nekrosis, untuk diagnosa sementara diarahkan pada Campylobacteriosis,
dengan diagnosa banding clostridium perfringens tipe A atau C, rotavirus, dan
Strongyloides westeri (Browning et al. 1991; Netherwood et al. 1996; dalam buku
Suardana. 2015)
6. Diagnosa Definitif
Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan klinis, data epidemiologi, pemeriksaan
patologi anatomi dan histopatologi, serta kultur jaringan usus halus, besar dan fesses dari
kedua anak kuda secara aseptik diinokulasikan pada media CCDA (Charcoal
Cefoperazone deoxycholate Agar) dan diinkubasikan pada suhu 42oC pada kondisi
mikroaerofilik selama 48 jam. Koloni yang tumbuh dilakuan pewarnaan gram dan
diidentifikasi kedua anak kuda terinfeksi bakteri spesies Campylobacter, kemudian
diidentifikasi sebagai C. jejuni. Metode lain seperti Uji ELISA (Enzyme Linked
Immunbsorbent Assay) dilakukan untuk diagnosis antibodi dengan Kultur anaerobik dari
spesimen usus dan hasilnya negatif rotavirus, clostridium sp dan salmonella sp. Selain
itu, analisis dengan metode molekuler PCR (Polymerase Chain Reaction) dari sampel
yang dikumpulkan seperti hati, paru-paru, timus dan limpa tidak mengungkapkan bahwa
kuda terinfeksi DNA Equine herpesvirus (EHV-1 atau EHV-4) dalam kedua kasus
tersebut. (Blunden. et al., 2016)1.
7. Diskusi Kasus
a. Alasan Pengambilan Sampel
Identifikasi campylobacter dapat dilakukan dengan menggunakan sampel fesses atau
dengan sampel usus, hati dan daging (khusus unggas) yang terinfeksi secara klinis.
Untuk biakan sampel harus disimpan pada suhu 36-37 oC dan inkubasi pada suhu 42oC
dengan media selektif yang akan menghambat pertumbuhan banyak bakteri lainnya,
sehingga memudahkan identifikasi jenis campylobacter sp. Spesies campylobacter yang
sering menginfeksi manusia hewan dan bersifat patogen adalah campylobacter jejuni
yang menyebabkan gejala diare dan juga menyebabkan infeksi aliran darah (bakteremia),
sehingga organ utama yang seing terinfeksi bakteri campylobacter adalah hati dan usus
karena hati merupakan tempat pengolahan hasil-hasil metabolisme didalam tubuh dan
usus dikarenakan bakteri ini dapat berkolonisasi dan berkembang biak pada daerah
kripta dan bagian distal usus, dimana pada tahap awal akan terjadi kemotaksis dan
motilitas bakteri menuju sel epitel usus, diikuti dengan adhesi, invasi dan berkembang di
dalam vakuola sel usus. Di dalam sel usus, bakteri memproduksi cytolethal distending
toxin (CDT) yang menyebabkan kerusakan pada sel usus, Kerusakan sel usus tersebut
menyebabkan peradangan pada usus (enteritis) dengan gejala klinis diare cair dan
terkadang berdarah (Andriani et al., 2013)4
b. Kajian Epidemiologi Singkat
Campylobacter sp. merupakan bakteri yang dapat menyebabkan penyakit
campylobacteriosis. Gejala utama yang ditimbulkan oleh Campylobacter sp. adalah
gangguan pencernaan, maka biasanya penyakit ini diberi nama tambahan menjadi
gastrointestinal campylobacteriosis. Bakteri Campylobacter sp. juga menyebabkan infeksi
aliran darah (bakteremia), infeksi campylobacter pada manusia dan hewan sering
menyebab diare yaitu lebih besar 2-7 kali dibandingkan dengan infeksi spesies
Salmonella sp, Shigella sp, Clostridium sp ataupun Escherichia coli O157:H7. Genus
Campilobacter memiliki beberapa spesies yang penting terhadap kesehatan masyarakat
dan hewan. Spesies yang bersifat patogen di antaranya C. Jejuni, C. Coli, C. upsaiensis
dan C. Fetus. Dari semua jenis campylobacter, C. jejuni diduga sebagai penyebab utama
infeksi yaitu sekitar 80 - 90% kasus Campylobacteriosis (Suardana, 2015). C. jejuni
merupakan bakteri enterik yang patogen pada manusia dan hewan (Andriani et al., 2013).
Campylobacter dapat menyerang berbagai jenis hewan diantaranya kucing, anjing, sapi,
kambing, kuda, unggas, hewan laboratorium dan manusia. Sumber infeksi adalah burung
liar yang merupakan reservoir utama dari bakteri campylobacter. Campylobacter jejuni
tidak tumbuh di luar tubuh inang, namun dapat bertahan hidup untuk waktu yang lama di
air (Suardana, 2015). Bakteri ini mati pada suhu pasteurisasi dan sangat sensitif dalam
kondisi asam. Pada suhu beku, C. jejuni mampu bertahan lama namun kelangsungan
hidupnya menurun, sehingga bakteri ini dapat bertahan dalam produk unggas hingga
beberapa bulan (Songer & Post 2005). Campylobacter sp telah dikenal sebagai bakteri
penyebab diare pada manusia sejak tahun 1972 dengan tanda klinis yang dilaporkan
berupa gastroenteritis. Di Indonesia kasus campylobacteriosis telah dilaporkan pertama
kali pada tahun 2001 dengan kasus yang ditemukan pada anak-anak dibawah usia kurang
dari 5 tahun dengan ciri penyakit bersifat asimptomatik yang ditunjukan dengan
ditemukan campylobacter jejuni pada spesimen penderita diare di bebarapa kota
(Andriani et al., 2013). Atas dasar itu, kontaminasi bisa berasal dari hewan (mamalia dan
unggas) dan di beberapa kondisi dapat berasal dari manusia yang telah terinfeksi.
c. Etiologi Penyakit
Campylobacteriosis merupakan penyakit akibat bakteri yang dapat menyerang
manusia maupun hewan (zoonosis) yang disebabkan oleh bakteri genus Campylobacter.
Ada sekitar enam belas spesies yang berhubungan dengan Campylobacter, tapi yang
paling sering diisolasi adalah C. jejuni, C. coli, dan C. upsaiensis. Spesies paling umum
yang dikaitkan dengan penyakit hewan dan manusia adalah C. jejuni. Campylobacter
jejuni adalah spesies bakteria gram negatif, berbentuk lengkung, batang, non-spora,
bersifat motil dengan ukuran sangat kecil (lebar 0,2-0,5 μm dan panjang 0.5-5 μm).
Bakteri ini bersifat mikroaerofilik yaitu dapat tumbuh optimal dengan kadar oksigen
rendah. Semua Campylobacter tumbuh dengan baik pada media pertumbuhan dengan pH
5.5-8.0, sedangkan pH optimum untuk pertumbuhan C. Jejuni yaitu pada kisaran 6.5-7.5
(Stern et al. 1992, diacu dalam Abdy 2007). Untuk melihat morfologi Campylobacter
jejuni diperlukan media selektif yaitu media CCDA (Charcoal Cefoperazone
deoxycholate Agar) dilakukan pada suhu 37 °C selama 4 sampai 6 jam kemudian
diteruskan inkubasinya pada suhu 42 °C. Inkubasi dilakukan pada kondisi mikroaerofilik
yaitu 5% oksigen, 10%karbondioksida, dan 85% nitrogen ini bertujuan untuk
menghambat pertumbuhan banyak bakteri lainya pada sempel, sehingga memudahkan
mengindentifikasi C. jejuni. Koloni yang terbentuk cenderung tidak berwarna atau abu-
abu. Koloni ini berair, meluas atau bulat, dan konveks. Kedua tipe koloni dapat muncul
pada pelat agar (Jawetz et al. 2007). Kemudian warnai dengan pewarnaan gram atau
dengan carbon fuchsin menunjukkan morfologi yang khas. Reduksi nitrat, pembentukan
hidrogen sulfida, tes hipurat, dan kepekaan terhadap antimikroorganisme dapat digunakan
untuk mengidentifikasi spesies ini lebih lanjut (Andriani et al. 2013 ; Jawetz et al.2007) 4.
d. Pathogenesa
Jalur transmisi dari infeksi C. Jejuni melalui feses-oral, secara langsung atau tidak
langsung, pada hewan sumber infeksi bisa disebabkan oleh rumput, air maupun makanan
yang mengalami kontak langsung dengan (feses segar dari hewan yang terinfeksi) atau
pada kontak tidak langsung (fomites, vektor dan lingkungan) dengan hewan yang
terinfeksi. Campylobacter jejuni melekat pada sel epitel dengan bantuan fibronectin-
binding protein (CADF), lipoprotein (JlpA), dan Peb1A. Faktor perlekatan atau adhesin
lainnya untuk mengikat C. jejuni terhadap sel-sel epitel adalah flagellin, pili, dan
lipopolisakarida (LPS). Sel epitel memungkinkan bakteri untuk menempati tempat yang
tahan terhadap pembersihan usus, seperti aliran fluida dan peristaltik (Joens 2004).
Campylobacter jejuni berkembang biak di usus kecil, menginvasi epitel kemudian
menyebabkan radang yang mengakibatkan munculnya sel darah merah dan darah putih
pada tinja. Campylobacter jejuni masuk ke dalam aliran darah sehingga timbul gejala
klinik seperti demam enterik. Invasi jaringan yang terlokalisasi serta aktivitas toksin
menyebabkan timbulnya enteritis. Campylobacter jejuni memiliki lipopolisakarida
dengan aktivitas endotoksik. (Jawetz et al,. 2007).
e. Terapi dan Pencegahan
Menurut Sunu (2010), terapi yang dapat diberikan pada penderita campylobacteriosis
baik pada hewan maupun manusia dapat diberikan berupa terapi antibiotik,yakni
eritromisin 500 mg 2 kali sehari secara oral selama 5 hari cukup efektif. Eritromisin
menjadi antibiotika pilihan untuk pengobatan infeksi Campylobacter dikarenakan mudah
digunakan, memiliki efikasi yang tinggi, dan sedikit toksisitas. Dapat juga diberikan
Ciproflxacin sebagai antibiotik kelas floroquinolones yang mampu mencegah infeksi dari
bakteri Campylobacter jejuni dan membunuhnya. Selain itu dapat juga dilakukan
pemberian elektrolit dan thiamin (Vitamin B1) untuk menjaga keseimbangan biokimia
dalam tubuh hewan.
Metode pencegahan wabah campylobacteriosis dilakukan dengan pembatasan akses
ke sumber infeksi potensial, seperti pada hewan ternak ruminansia dapat dilakukan
pembatasan pemeliharan daerah danau maupun genangan air, dan meminimalkan
pemberian pakan rerumputan yang basah serta pembatasan kontak hewan vektor seperti
burung liar yang dapat menyebarkan agen bakteri (Acke et al. 2018)3. Pada peternakan
unggas pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian klorin pada air minum ternak
untuk meminimalkan tingkat kolonisasi mikroba pada usus ayam bagian bawah. Dapat
juga dilakukan pemberian antibiotika pada ternak dengan dosis yang tepat untuk
mengurangi jumlah C. jejuni pada usus ternak, dan juga pengebalan terhadap ternak
sebagai indukan atau yang sudah siap potong. Sedangkan pencegahan penyebaran kasus
sporadik yang disebabkan oleh C. jejuni pada manusia dapat dicegah dengan beberapa
parameter di antaranya: menghindari konsumsi air dan produk makanan yang tidak diolah
terlebih dahulu, dan melakukan sanitasi kebersihan seperti mencuci tangan setelah
melakukan kontak dengan hewan yang mengalami gejala diare yang dicurigai terinfeksi
penyakit ini. (Hopkin et al., 1984 dalam buku Suardana. 2015).
LAMPIRAN
Tabel 1. Diagnosa Banding Campylobacteriosis
Campylobacteriosis Clostridium perfringens Rotavirus Strongyloidiasis
Etiologi Bakteri campylobacter Bakteri clostridium adalah Rotavirus adalah virus RNA Cacing nematoda Strongylus
adalah bakteria gram bakteri gram positif, anaerob, untai ganda dalam famili sp, jenis Strongyloides
negatif, berbentuk berbentuk batang, berspora. Reoviridae westeri
lengkung, batang, non- Spesies C. Perfringens tipe C
spora, bersifat motil. Ada paling sering ditemukan pada
sekitar enam belas. Spesies hewan bakteri secara alami
paling umum yang dikaitkan berada dalam tanah dan hidup
dengan penyakit hewan dan sebagai mikroflora normal
manusia adalah C. jejuni. pada usus hewan. Pada keadan
tertentu, bakteri ini tumbuh
secara cepat dan memproduksi
jumlah besar toksin.
Tanda Klinis Anoreksia, depresi, vomit, Diare, kolik, demam dan Diare, demam, depresi, Diare, anoreksia, penurunan
demam, kejang, kolik, dan kematian mendadak anoreksia, dehidrasi berat badan, edema bagian
diare berlendir, encer ventral dan anemia
dengan darah
Penularan Fecal-oral dengan Kontak Fecal-oral melalui feses hewan Fecal-oral dengan Kontak Penularan dapat terjadi
langsung atau tidak penderita. Bakteri masuk ke langsung atau tidak langsung melalui paparan cairan tubuh
langsung dengan feses, air, tubuh melalui pencernaan. dengan feses, air, makanan penderita, seperti dahak, tinja,
makanan dan benda Pada kondisi tertentu dan benda terkontaminasi. atau muntah
terkontaminasi populasinya meningkat dan
campylobacter menghasilkan toksin dalam
jumlah besar di usus
Diagnosis Media biakan selektif Identifikasi dari feses, kultur ELISA, uji aglutinasi, Pemeriksaan darah, ELISA
campylobacter blood free isi usus dan ginjal dengan poliakrilamida dan pemeriksaan feses secara
selective agar base, PCR, pewarnaan gram, dan PCR. elektroforesis dan RT-PCR. mikroskop.
ELISA
Terapi Pemberian antibiotik Pemberian antibiotik penisilin Terapi cairan yang Pemberian obat cacing
eritromisin atau dan pemberian elektrolit dan mengandung elektrolit dan Seperti : Ivermectin,
ciprofloxacin dan terapi vitamin dextrose. Dianjurkan thiabendazole, albendazole.
cairan untuk menangani vaksinasi untuk pencegahan
dehidrasi dan juga vitamin
untuk menjaga
keseimbangan biokimia
tubuh.
Patologi Pendarahan pada usus Peradangan usus, Peradangan usus dengan villi Infeksi berat dapat
Anatomi disertai lesi nekrotik, dan Pembengkakan paru dan ginjal atropi menyebabkan enteritis
pembesaran hati dan limpa eosinophilic
dengan atrofi vili di bagian
proksimal
jejunum
Histopatologi Enteteritis hemoragic et Entercolitis, Hidronefrosis dan Usus halus mengalami atropi Enteritis dengan villi
necrosis dan pembesaran kongesti limfonodus vili dan edema di lamina mengalami atropi dan typhlo
hati dengan inflamasi dan mesenterikus propria dan juga nekrosis colitis
nekrosis multifokal
: Anak kuda jantan
NEKROPSI
HISTOPATOLOGI
PEMERIKSAAN
Thoroughbred
: 6 Bulan
SAMPEL
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791
PEMERIKSAAN
PATOLOGI ANATOMI
Hewan/Ras
UNIVERSITAS UDAYANA
PEMBUATAN PREPARAT
Umur
HISTOPATOLOGI
DEHIDRASI FIKSASI
TRIMMING
: I Dewa Agung Made Wihanjana
BLOCKING
Menghilangkan alkohol Infiltrasi paraffin kedalam
Pencetakan
dari jaringan jaringan
: 2009611065
PEMBACAAN
MOUNTING DAN CUTTING
PREPARAT
STAINING
Putra
LABELLING Pemotongan dengan
Ditutup dengan entellan Hematoxylin-Eosin ketebalan 4 – 6 µm,
dan cover glass Imunohistokimia dengan mikrotom
Diagnosa
Pemeriks
NIM
a
LABORATORIUM PATOLOGI VETERINER
FAKULTAS PATOLOGI KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791
Dr. Drh. Ida Bagus Oka Winaya, M.kes I Dewa Agung Made Wihanjana Putra
NIK. 19621228 199203 1 001 NIM. 2009611065
LABORATORIUM VIROLOGI VETERINER
FAKULTAS PATOLOGI KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791
UJI SEROLOGI
ELISA
Uji Aglutinasi
Uji Imunokromatografi
UJI MOLEKULER
RT-PCR
RT-LAMP
kuda yang terkena penyakit sesuai dengan tanda klinis mereka (Slovis, 2009).
Rotavirus pada kuda memiliki tingkat mortalitas yaitu mencapai 90-100% dan
morbiditasnya mencapai 70% (Robert, 2017).
Untuk diagnosa kasus ini dapat dilakukan dengan swab rektal dan sampel
feses dengan menggunakan media yang ditambahkan tripsin ke media bebas serum
sedangkan sampel feses pada anak kuda biasanya partikel RVA dapat langsung
diamati langsung dibawah mikroskop elektron (Flewett et al. 1975). Selain itu
terdapat pilihan diagnosa yang lebih praktis yaitu dengan menggunakan beberpa kit
deteksi antigen cepat untuk RVA manusia yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
infeksi RVA pada kuda (Dwyer et al.1990; Imagawa et al. 1994). Kit ini cepat, praktis
dan dapat memberi hasil dalam waktu 15 menit. Bebrapa kit didasarkan pada prinsip-
prinsip uji aglutrasi lateks (Gambar. 4A) atau uji imunokromatografi (Gambar. 4B).
Banyak kit menggunakan antibodi terhadap protein VP6 untuk mendeteksi RVA,
karena protein VP6 sangat terkonservasi di antara RVA (Slovis, 2009). Beberapa alat
uji aglutinasi lateks dilaporkan berguna untuk diagnosis infeksi RVA kuda (Dwyer et
al.1990; Imagawa et al. 1994). Namun, kit ini kurang sensitif dibandingkan kit uji
imunokromatografi, karena hasilnya lebih sulit untuk dibaca (Nemoto et al. 2010)
Oleh karena lebih banyak peneliti menggunakan kit uji imunokromatografi ((Dipstick
'Eiken' Rota, Eiken Chemical Co., Ltd., Tokyo, Japan)) dalam kegiatan praktisi
sehari-hari.
Reverse transcription polymerase chain reaction (RT- PCR) digunakan untuk
mendeteksi RNA RVA kuda (Fukai, et al. 2006; Gentsch et al. 1992; Gouvea et al.
1990; Tsunemitsu, et al. 2001). Tsunemitsu, et al. (2011) melaporkan pengembangan
uji semi-nested RT-PCR untuk mendeteksi gen VP7 dan membedakan antara RVA
kuda G3 dan G14 (Gambar. 5) (Tsunemitsu, et al. 2001). Reverse transcription loop-
mediated isothermal amplification (RT-LAMP) juga telah dikembangkan untuk
mendeteksi RVA RNA kuda. RT-LAMP dilakukan dalam 60 menit dalam kondisi
isotermal (60 ° C), dan hasilnya dapat dinilai dengan mata telanjang berdasarkan
kekeruhan atau fluoresensi campuran reaksi (Gambar. 6). Uji RT-LAMP dapat
dilakukan tanpa peralatan mahal atau elektroforesis gel setelah RT-PCR; oleh karena
itu harus berguna untuk diagnosis RVA kuda di laboratorium diagnostik.
(Tsunemitsu, et al. 2001).
Flowchart Uji RT-PCR Rotavirus Enteritis
Pengambilan Sampel
(Organ usus halus atau Isolasi RNA RT-PCR
feses)
LAMPIRAN
Gambar 1. Partikel Rotavirus grup A kuda di Gambar 2. Diare pada anak kuda yang
bawah pengamatan mikroskop elektron terinfeksi rotavirus grup A
(Sumber : Nemoto et al. 2021) (Sumber : Nemoto et al. 2021).
Dr. Drh. Ida Bagus Kade Suardana, M.Si I Dewa Agung Made Wihanjana Putra
NIK. 19631007 199003 1 002 NIM. 2009611065
Gambar 6. Hasil RT-LAMP terlihat empat tabung hijau kiri positif untuk kuda grup A
rotavirus gen, dan empat tabung coklat kanan negatif. (Sumber : Nemoto et al. 2021)
(Sumber : Nemoto et al. 2021)
LABORATORIUM BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI VETERINER
FAKULTAS PATOLOGI KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791
Uji Katalase
Sampel
(Usus halus, Swab feses, dan hati)
Trasnsport Media
Blood Agar
Charcoal Cefoperazome Deoxycholate Agar
Koloni Campylobacter cenderung besar,
mengkilat pada agar darah akibat pecahnya Koloni Campylobacter cenderung berbentuk
permukaan agar selama proses coretan dan bulat kecil dan berwarna putih
menghemolisis darah
Pewarnaan Gram
Sampel Aseptis
(Usus Halus, Feses)
PCR
Metode yang digunakan adalah One Step PCR. Adapun formulasi untuk master mix
yang digunakan: PCR mix 21 µ, primer forward 1µ, primer reverse 1 µ, dan template
DNA 2 µ (Angeliya et al. 2013)
SIKLUS PCR
Program amplifikasi DNA yang digunakan adalah adalah sebagai berikut : denaturasi
awal pada suhu 95° C selama 10 menit sebanyak 1x siklus, selanjutnya pada siklus ke
dua sebanyak 30x siklus, antara lain denaturasi pada suhu 95°C selama 15detik, tahapan
annealing pada suhu 55° C selama 15 detik dan elongasi pada suhu 72°C selama 1
menit. Pada siklus ke tiga sebanyak 1x yaitu elongasi akhir pada suhu 72°C selama 4
menit. (Angeliya et al. 2013)
ELEKTOFORESIS
Untuk mendeteksi produk PCR, sampel 10μl DNA yang diamplifikasi diperiksa dengan
elektoforesis dalam 1,5 % agarose gel, divisualisasikan dengan ethidium bromide dan
UV light. Elektroforesis dilakukan selama 25 menit pada daya 125 Volt 400 ampere
(Angeliya et al. 2013)
LABORATORIUM BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI VETERINER
FAKULTAS PATOLOGI KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791
akuades mengalir. Teteskan Safranin merata selama 30 detik, kemudian bilas dengan
aquades mengalir. Tiriskan preparat kemudian prosedur dilanjutkan dengan mengamati
preparat menggunakan mikroskop. Dari hasil pengamatan dibawah mikroskop, terlihat
morfologi bakteri berbentuk batang melengkung spiral, seperti huruf S dan termasuk
bakteri gram negatif. Bakteri gram negatif kehilangan kristal violet ketika dicuci dengan
iodine acetone dan ketika diberi larutan pemucat safranin, sel akan menyerap zat
pewarna ini sehingga sel tampak bewarna merah, sedangkan bakteri gram positif
mempertahankan zat pewarna ungu kristal sehingga sel berwarna ungu tua. Terjadi
perbedaan warna sel ini dapat disebabkan oleh perbedaan dalam struktur kimiawi
permukaan sel bakteri (Pelczar dan Chan, 2007).
IV. Identifikasi Campylobacter Jejuni Melalui Uji PCR
Campylobacter jejuni perlu diaplikasikan PCR dengan primer Forward: 5'-
TGACGCTAGTGTTGTAGGAG-3 dan primer Reverse: 5'- CCATCATCGCTAAGTGCAAC-
3’. Primer PCR tersebut dapat mengamplifikasi DNA campylobacterjejuni sepanjang
pita DNA 402 bp. Metode PCR merupakan metode uji laboratorik molekuler yang
sensitif dan spesifik, cepat dan akurat untuk menentukan diagnosa campylobacteriosis.
Adapun caranya sebagai berikut :
Sampel berupa usus halus atau feses yang telah dibuat suspensi. yang selanjutnya
diekstrasi dengan DNA metode guanidium tiosianat. Sel-sel dilisis dengan GES-buffer
selanjutnya protein diendapkan dengan amonium asetat PCIA digunakan untuk
menghilangkan eksonuklease dan lipoprotein yang tersisa dari DNA. Akhirnya DNA
diendapkan dengan 80% isopropanol. Selain ekstrasi DNA, dapat juga dilisiskan dengan
mengambil koloni dari media blood agar. Metode yang digunakan adalah One Step PCR.
Adapun formulasi untuk master mix yang digunakan: PCR mix 21 µ, primer forward 1µ,
primer reverse 1 µ, dan template DNA 2 µ. Program amplifikasi DNA yang digunakan
adalah adalah sebagai berikut : denaturasi awal pada suhu 95° C selama 10 menit
sebanyak 1x siklus, selanjutnya pada siklus ke dua sebanyak 30x siklus, antara lain
denaturasi pada suhu 95°C selama 15detik, tahapan annealing pada suhu 55° C selama
15 detik dan elongasi pada suhu 72°C selama 1 menit. Pada siklus ke tiga sebanyak 1x
yaitu elongasi akhir pada suhu 72°C selama 4 menit. Produk PCR yang diperoleh
dilanjutkan visualisasi dengan elektroforesis DNA yang dilakukan pada gel agarose 1,5
% dengan pewamaan sybr safe dalam larutan TBE buffer 1 x. Larutan tersebut
dididihkan di dalam microwave dalam gelas Erlenmeyer ukuran 100 ml. Larutan
ditambah dengan 10 µ ybr safe. Agarose dituang ke dalam chamber electrophoresisyang
telah dipasangi sisir larutan.Agarose akan mengeras(berbentuk gel) setelah 20 menit.
Selanjutnya,sisir diambi lsehingga terbentuk sumuran pada gel agarose. Larutan trisboric
EDTA (TBE) dituang ke dalam alat elektroforesis. Produk PCR sebanyak 5 µ dicampur
dengan 1,5 µ loading buffer. Suspensi sebanyak 6,5 µ tersebut dimasukkan ke masing-
masing sumur pada gel agarose. Sumuran terakhir diisi dengan 5 µ penanda molekuler
(DNA ladder 100 bp). Elektroforesis dijalankan pada voltase 125 volt selama 25 menit.
Gel produk amplifikasi PCR divisualisasikan di atas UV transilluminator dan hasilnya
didokumentasikan dengan kamera. (Angeliya et al. 2013)
LABORATORIUM BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI VETERINER
FAKULTAS PATOLOGI KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
JL. PB Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791
LAMPIRAN
Denpasar, 2021
Mengetahui,
Dosen Pembimbing Mahasiswa
Drh. Ketut Tono PG., M.Kes I Dewa Agung Made Wihanjana Putra
NIK. 19591231 198601 1 001 NIM. 2009611065
Pemeriks : I Dewa Agung Made Wihanjana Hewan/Ras : Anak kuda jantan
a Putra Thoroughbred
NIM : 2009611065 Umur : 6 Bulan
Diagnosa : Campylobacteriosis TTD Dosen Piket :-
SAMPEL
Koleksi Langsung
Koleksi Langsung
Natif Ulas Darah PCR Kerokan Kulit
Tebal ELISA
Trikogram Identifikasi
Kualitatif Kuantitatif
Sedimentasi Pengapungan
Parfitt dan
Ritschi
Banks
Diagnosa Banding: Strongyloides westeri
Strongyloides westeri biasanya terjadi pada anak kuda yang berusia <6 bulan.
Strongyloides westeri memiliki bentuk telur oval, berwarna abu-abu, memiliki selubung
selapis tipis, mengandung larva dan memiliki rongga. Menurut Lyons (2014), telur cacing
Strongyloides westeri berbentuk oval, berukuran sekitar 25x50 µm, memiliki dinding tipis
yang dapat menembus cahaya dan mengandung embrio larva sehingga telur cepat menetas
(Nonbur, 2018).
Gambar 2. Siklus hidup Strongyloides westeri: a Telur S.Wetri ; b L3 (infektif atau hidup
bebas); Siklus parasit: c L3 infektif menginfeksi kuda betina atau anak kuda melalui
penetrasi kulit; d Infeksi menular pada anak kuda melalui kelenjar mamae saat menyusui; e
telur larva keluar melalui feses; Siklus hidup bebas: f L3 hidup bebas berkembang menjadi
dewasa; g telur larvasi yang diproduksi (Sumber : Nonbur, 2018)
Pada gambar terlihat. Telur yang terlarut di tanah menetas dan larva berkembang
melalui L1 dan L2 ke tahap L3. Larva tahap ketiga bersifat infektif atau noninfeksi. L3
infektif dapat masuk ke inang melalui penetrasi kulit. Pada kuda betina dewasa dengan cara
larva menumpuk di jaringan subkutan dan pada anak kuda dapat melalui penetrasi kulit atau
melalui kolostrum dan susu induknya yang terinfeksi. Larva melakukan perjalanan ke usus
kecil di mana mereka berkembang menjadi betina yang mampu bertelur subur meskipun tidak
ada jantan yang hadir dalam fase parasit dari siklus hidup (yaitu mereka partenogenik).Telur
yang sudah terlarut akan dibuang dengan kotoran yang membawa kita kembali ke sikluas
awal (Nonbur, 2018)
Metode Diagnosa Parasitologi Strongyloides westeri
1. Pemeriksaan Feses Kualitatif – Natif
Pemeriksaan feses kualiatif natif dilakukan secara langsung dengan mikroskop untuk
melihat adanya infeksi protozoa Eimeria sp. melalui keberadaan ookista pada feses ayam.
Sampel feses didapatkan dari flock yang memiliki gejala berupa diare berdarah. Alat yang
dipersiapkan yaitu pinset, object glass, cover glass, dan mikroskop; sedangkan bahan yang
diperlukan adalah feses ayam dan akuades. Diambil feses sebesar ujung korek api
menggunakan pinset kemudian diletakkan pada object glass. Feses ditetekan dengan akuades
sebanyak 1 – 2 tetes, kemudian dihomogenkan. Jika ada bagian feses yang kasar dipisahkan
dan dibuang. Feses yang telah homogen kemudian ditutup dengan cover glass kemudian
diperiksa menggunakan mikroskop dimulai dari pembesaran yang kecil.
2. Pemeriksaan Feses Kualitatif – Konsentrasi Pengapungan
Pemeriksaan metode pengapungan dilakukan dengan prinsip mengapungkan ookista
yang memiliki BJ yang lebih rendah dibandingkan dengan larutan pengapung setelah melalui
proses sentrifugasi. Larutan pengapung yang memiliki BJ lebih tinggi dibandingkan BJ
ookista adalah garam jenuh (NaCl). Alat yang disiapkan yaitu gelas beker, saringan teh,
tabung sentrifuse, sentrifugator, pipet tetes, rak tabung, object glass, cover glass, dan
mikroskop; sedangkan bahan yang digunakan adalah sampel feses, akuades, dan larutan
pengapung. Prosedur metode pengapungan adalah sebagai berikut: - Feses sebanyak 3 gr
dimasukkan ke dalam gelas beker kemudian ditambahkan akuades sampai konsentrasinya
10%, lalu dihomogenkan. Saring bagian feses yang berukuran besar menggunakan saringan
teh. - Larutan feses dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse sebanyak ¾ volume tabung.
Sentrifuse dengan kecepatan 1500 rpm selama 2 – 3 menit kemudian buang larutan
supernatant. - Tambahkan larutan pengapung sampai ¾ volume tabung lalu homogenkan. -
Masukkan ke dalam tabung sentrifuse, sentrifuse dengan kecepatan 1500 rpm selama 2 – 3
menit. Jika sudah disentrifuse kemudian keluarkan tabung dan letakkan pada rak tabung
secara tegak lurus. - Tambahkan larutan pengapung dengan ditetesi menggunakan pipet
sampai permukaan cairan cembung. Teteskan secara perlahan agar tidak tumpah. Tunggu 1 –
2 menit untuk membiarkan ookista untuk mengapung.- Ambil cover glass kemudian
sentuhkan pada permukaan cairan. Letakkan cover glass pada object glass. Amati dengan
menggunakan mikroskop.
3. Pemeriksaan Feses Kualitatif – Konsentrasi Sedimentasi
Pemeriksaan metode sedimentasi dilakukan dengan prinsip mengendapkan ookista
yang memiliki BJ yang lebih tinggi dibandingkan dengan larutan pengendap setelah melalui
proses sentrifugasi. Larutan pengendap yang memiliki BJ lebih rendah dibandingkan BJ
ookista adalah Sodium Acetic Formaldehyde (SAF). Pemeriksaan sedimentasi dengan larutan
SAF disebut dengan Metode Ritschi. Alat yang disiapkan yaitu gelas corong, kasa, tabung
sentrifuse, sentrifugator, object glass, cover glass, dan mikroskop; sedangkan bahan yang
digunakan adalah sampel feses, akuades, dan larutan pengendap. Prosedur pengendapan
Metode Ritschi adalah sebagai berikut: - Feses yang akan diperiksa diawetkan dalam larutan
SAF. Homogenkan lalu saring dan tampung cairan pada tabung sentrifuse. - Sentrifuse
dengan kecepatam 3000 rpm selama 2 – 3 menit. - Buang supernatant, lalu buat preparat
langsung menggunakan sedimen yang ada. - Amati menggunakan mikroskop.
4. Identifikasi Morfologi Ookista Strongyloides westeri
Gambar 3. Telur Parasit Strongyloides westeri yang ditemukan pada Gastrointestinal Kuda
di Berastagi (perbesaran 400x)
(Sumber : Sherly, 2016)