Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PRAKTIK LAPANGAN

PELAYANAN KESEHATAN SAPI PERAH


DI WILAYAH KOPERASI SERBA USAHA (KSU) TANDANGSARI
KABUPATEN SUMEDANG, JAWA BARAT
29 JULI – 24 AGUSTUS 2019

Disusun Oleh:

Adventia Natalia M, SKH B94174402


Andi Tifani, SKH B04174407
Vicky Nova, SKH B04174449

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2019
i

LEMBAR PENGESAHAN

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN (PPDH)

PELAYANAN KESEHATAN SAPI PERAH


DI WILAYAH KOPERASI SERBA USAHA (KSU) TANDANGSARI
KABUPATEN SUMEDANG, JAWA BARAT
29 JULI – 24 AGUSTUS 2019

Oleh:

Adventia Natalia M, SKH B94174402


Andi Tifani, SKH B04174407
Vicky Nova, SKH B04174449

Menyetujui,
Dosen Pembimbing

Dr Drh Chusnul Choliq, MS, MM


196205301987031002

Mengetahui,

Wakil Dekan

Prof Drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet


NIP. 196308101988031004

Tanggal Pengesahan:
i

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkat dan rahmat-Nya, sehingga kegiatan dan penyusunan laporan Program Pen-
didikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) ekstramural bagian reproduksi sapi perah
dapat diselesaikan dengan baik. Laporan ini ditulis berdasarkan kegiatan yang dil-
aksanakan pada tanggal 29 Juli – 24 Agustus 2019 di Koperasi Serba Usaha
(KSU) Tandangsari, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Penulis ingin menyam-
paikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Dr Drh Chusnus Choliq, MS, MM, selaku pembimbing dalam kampus
atas bimbingan, ilmu, serta masukan yang telah diberikan.
2. Drh Nsereko Godfrey, selaku pembimbing lapang atas segala ilmu dan
pengalaman yang telah diberikan.
3. Paramedis KSU Tandangsari atas ketersediaan waktu, tenaga, ilmu, dan
pengalaman yang diberikan selama kegiatan praktik di lapangan.
4. Seluruh petugas yang telah menerima kehadiran serta membantu pelaksa-
naan praktik lapang di KSU Tandangsari.
5. Pihak penyelenggara kegiatan Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan
(PPDH), Fakultas Kedokteran Hewan dan segenap staf pengurus yang
ikut serta dalam terselenggaranya kegiatan ini.
Penulis menyadari bahwa kegiatan ini tidak akan terlaksana dengan baik
tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Dengan ini, penulis
menyampaikan permohonan maaf bila masih terdapat kesalahan dan kekurangan.
Penulis juga sangat berterima kasih dan terbuka untuk kritik serta saran yang ber-
sifat membangun demi kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini bermanfaat
dan dapat memberikan informasi yang berguna bagi semua pihak.

Bogor, Agustus 2019

Penulis
1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Susu sangat bermanfaat bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan gizi.


Peternakan sapi perah memiliki nilai strategis dalam memenuhi kebutuhan terse-
but. Namun, produksi susu yang dihasilkan oleh sapi perah di Indonesia belum
mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Menurut Ditjennakkeswan (2018),
produksi susu segar nasional pada tahun 2018 adalah 909.64 ton/tahun. Total
kebutuhan susu sapi untuk konsumsi pada tahun 2018 sebesar 1,05 juta ton, se-
mentara prediksi kebutuhan pada tahun 2019 sebesar 1,10 juta ton dan 2020 sebe-
sar 1,14 juta ton. Kekurangan ini mengakibatkan tingkat konsumsi susu masyara-
kat Indonesia per kapita hanya 11.8 liter per tahun dan masih lebih rendah
dibandingkan sejumlah negara di Asia Tenggara sekitar 20 liter per kapita per ta-
hun (Kementan 2016).
Tanjungsari merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Sumedang, Jawa
Barat yang berada pada ketinggian 800 m diatas permukaan laut dengan suhu
berkisar 18-29˚C, dengan kelembaban udara sekitar 60-85%. Potensi alam yang
baik dan ketersedian air yang cukup membuat daerah Tanjungsari cocok dijadikan
untuk pengembangan usaha sapi perah. Koperasi Serba Usaha Tandangsari meru-
pakan salah suatu koperasi yang bergerak di bidang usaha peternakan sapi perah.
KSU Tandangsari telah menyalurkan susu segar dari anggota peternak dengan
menggunakan standar kualitas dan kuantitas susunya. Pelayanan dalam unit usaha
sapi perah meliputi pemenuhan kebutuhan pakan ternak untuk sapi perah ang-
gotamaupun non-anggota sehingga KSU Tandangsari melakukan pengolahan pa-
kan ternak berupa konsentrat.
KSU Tandangsari melayani anggotanya dalam masalah kesehatan hewan ter-
naknya). Dalam penyelenggaraannya, unit usaha tersebut ditunjang dengan adan-
ya pelayanan kesehatan sapi perah. Bentuk kegiatan pelayanan tersebut meliputi
kesehatan klinis dan reproduksi. Kegiatan pelayanan tersebut dilakukan secara
rutin untuk menjamin kesehatan sapi perah, meningkatkan kualitas susu yang
dihasilkan, serta memantau penerapan manajemen pemeliharaan dan kesehatan
yang telah disosialisasikan.
Dokter hewan memiliki peranan penting dalam manajemen kesehatan sapi
perah. Pengetahuan serta pengalaman sangat diperlukan bagi calon dokter hewan
di masa depan. Berdasarkan hal tersebut, program Pendidikan Profesi Dokter
Hewan (PPDH) Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor bekerja
sama dengan Koperasi Serba Usaha (KSU) Tandangsari dalam melaksanakan
praktik lapang kegiatan manajemen kesehatan sapi perah. Program ini diharapkan
dapat menciptakan tenaga dokter hewan yang berkualitas sehingga kebutuhan ba-
han baku susu untuk industri dapat dipenuhi secara bertahap dari dalam negeri.

Tujuan

Tujuan dari praktik lapang pelayanan kesehatan klinik sapi perah adalah
meningkatkan wawasan dan pengalaman mahasiswa PPDH sebagai calon dokter
hewan terkait kejadian penyakit klinik yang sering menyerang sapi perah.
Kegiatan ini juga bertujuan untuk melatih mahasiswa dalam menentukan
2

diagnosa, prognosa, dan terapi untuk kasus yang sering terjadi dilapangan.
Dengan begitu, diharapkan mahasiswa dapat mempelajari manajemen pemeli-
haraan dan kesehatan sapi yang baik dan benar.

Manfaat

Manfaat yang dapat diperoleh dari pelaksanaan PPDH praktik lapang


pelayanan klinik pada sapi perah adalah:
1. Menambah wawasan, keterampilan, dan pengalaman sebagai calon dokter
hewan terkait peternakan sapi perah.
2. Meningkatkan kemampuan mahasiswa PPDH sebagai calon dokter hewan
dalam bersosialisasi dengan peternak sapi perah dan petugas lapang.
3. Mengenalkan calon dokter hewan dengan dunia kerja dalam bidang industri
sapi perah.

PELAKSANAAN KEGIATAN

Waktu dan Tempat

Kegiatan magang profesi pilihan ini dilaksanakan pada tanggal 29 Juli


sampai dengan 24 Agustus 2019 di Divisi Kesehatan Hewan, Koperasi Serba
Usaha (KSU) Tandangsari, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang,
Provinsi Jawa Barat.

Metode

Kegiatan magang profesi wajib pelayanan kesehatan sapi perah di KSU


Tandangsari, Kabupaten Sumedang antara lain adalah pelayanan kesehatan klinik
sapi perah, pelayanan reproduksi dan gangguan reproduksi. Kegiatan tersebut
dilakukan pada hari Senin sampai Sabtu mulai pukul 08.00 – 15.00. Mahasiswa
akan mengikuti petugas kesehatan hewan ke lapang yang terdiri dari 4 orang
paramedis dan 1 orang dokter hewan. Peternak akan melapor melalui alat pesan
singkat (Message, Whatsapp). Petugas kesehatan dan mahasiswa akan keliling
wilayah tugas kemudian mengunjungi peternak yang memberikan laporan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan pelayanan kesehatan sapi perah yang diikuti oleh mahasiswa PPDH
selama praktek lapang di KSU Tandangsari meliputi penanganan kasus-kasus
klinik yang terjadi pada sapi perah berdasarkan adanya laporan langsung dari pe-
ternak. Pelayanan kesehatan tersebut dilakukan oleh satu orang dokter hewan
dibantu oleh empat orang paramedis yang masing-masing memiliki wilayah kerja
tersendiri. Pelayanan kasus klinik yang dilakukan selama berada di lapangan
berdarakan diagnosa yang diperoleh dari hasil anamnesa dari peternak, dan
pemeriksaan fisik pada sapi. Petugas pelayanan kesehatan sapi perah juga
melakukan terapi dengan memberikan obat-obatan pada sapi yang mengalami sa-
3

kit, dan saran terhadap peternak untuk mencegah terjadinya kasus yang sama pada
sapinya. Penanganan kasus klinik yang terjadi dilapangan juga dilakukan melalui
pendekatan terhadap simptom-simptom yang terjadi pada sapi perah. Beberapa
kasus klinik yang terjadi pada sapi perah di lapangan selama mahasiswa
melakukan praktik lapang di KSU Tandangsari disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Rekapitulasi kasus klinik berdasarkan gejala klinis di lapangan


No Kasus yang ditemukan Jumlah kasus
1 Rumen asidosis 1
2 Ketosis 1
3 Mastitis klinis 1

Rumen Asidosis

Anamnesa
Sapi pertama kali dilaporkan oleh peternak menunjukkan gejala tidak nafsu
makan dan lemas. Pada laporan kedua, sapi masih tidak mau makan selama tiga
hari, dan pada laporan ketiga sapi ambruk.

Signalment
 Nama/No sapi : 43210
 Jenis hewan : Sapi
 Ras/ Breed : Friesian Holstein
 Warna rambut/kulit : hitam-putih/rose
 Jenis Kelamin : betina
 Umur : 8 tahun
 Berat badan : ± 350 kg
 Tanda khusus : tidak ada

Status Present
Keadaan umum
 Perawatan : baik
 Habitus/Tingkah laku : tulang punggung lurus/Jinak
 Gizi : baik / 3 (1-5)
 Pertumbuhan badan : baik
 Sikap berdiri : bertumpu pada empat kaki
 Suhu tubuh : 38.6 °C
 Frekuensi jantung : 120 kali/menit
 Frekuensi nafas : 60 kali/menit

Diagnosa : Rumen Asidosis


Diagnosa diferensial : Perakut toksemia, ambruk akibat milk faver
Prognosa : Dubius – Infausta

Kasus pertama pada sapi dengan nomor telinga 43210 terjadi pada tanggal 30
Juli 2019. Sapi dilaporkan oleh peternak sudah satu hari tidak mau makan dan
lemas. Keika diperiksa, suhu tubuh mencapai 39.2oC dengan frekuensi denyut
4

jantung 64 kali/menit dan frekuensi nafas 28 kali/menit. Pada hari ke 4, sapi


masih belum mau makan dan ambruk. Ketika diperiksa suhunya mencapai 38.6
oC, frekuensi denyut jantung 120 kali/menit dan frekuensi nafasnya 60 kali/menit.

Sapi menunjukkan dehidrasi, adanya distensi rumen, dan stasis rumen atau rumen
yang tidak berkontraksi. Sapi mengalami diare yang berbau khas dan berbuih
dengan warna coklat kekuningan. Berdasarkan temuan klinis tersebut, sapi ini
didiagnosa mengalami rumen asidosis (Gambar 1a).

a b
Gambar 1 (a) Sapi yang mengalami rumen asidosis; (b) Infus yang diberikan
berupa Cofacalcium pada hari ketiga pengobatan

Rumen asidosis disebut juga grain overload atau konsumsi konsentrat


berlebihan. Rumen asidosis diklasifikasikan menjadi rumen asidosis akut (Nocek
1997), sub acute ruminal acidosis (Kleen 2003), dan rumen asidosis sub klinis
(Nocek 1997). Rumen asidosis adalah suatu kondisi patologis yang behubungan
dengan akumulasi asam atau menipisnya cadangan basa dalam darah dan jaringan
tubuh ternak. Rumen asidosis atau penurunan pH pada rumen terjadi karena
adanya konsumsi yang berlebih pada konsentrat tinggi karbohidrat atau hijauan
rendah serat (Nocek 1997). Rumen asidosis juga dapat terjadi pada sapi yang
mengalami perubahan pakan secara mendadak (Fubini dan Divers 2008).
Konsentrat tinggi karbohidrat dan hijauan rendah serat adalah pakan yang
mudah difermentasi oleh bakteri komensal di rumen sehingga menyebabkan
produksi volatile fatty acid (VFA) meningkat. Jumlah VFA yang banyak ini
menyebabkan pH rumen menurun. Menurunnya pH rumen menyebabkan bakteri
Streptococcus bovis yang tahan terhadap asam dapat tumbuh dan memperbanyak
diri. Bakteri S. bovis ini dapat menghasilkan asam laktat. VFA dan asam laktat
yang dihasilkan oleh bakteri tersebut yang menyebabkan kondisi pH rumen
semakin menurun. Menurunnya pH rumen berdampak pada menurunnya
pertumbuhan bakteri-bakteri komensal di rumen (Nocek 1997).
Kondisi stres dapat memicu terjadinya keseimbangan energi negatif yang
dapat menyebabkan penurunan bobot badan dan sapi mudah terkena penyakit.
Pemberian konsentrat secara cepat dan berlebihan dapat memicu terjadinya rumen
asidosis (Kleen 2003). Asidosis dapat berpengaruh langsung terhadap rumen
diantaranya penurunan motilitas rumen, peningkatan tekanan osmolaritas rumen,
hiperkeratosis, dan ruminitis (Nocek 1997). Rumen asidosis juga dapat
berdampak secara sistemik diantaranya bakteri Fusobacterium necrophorum dapat
mempenetrasi dinding rumen menuju ke hati yang kemudian menyebabkan
terjadinya abses di hati. Kondisi rumen asidosis dapat menyebabkan penurunan
cairan ekstraseluler (dehidrasi), penurunan cardiac output, penurunan perfusi
perifer, penurunan aliran darah di ginjal, hingga kematian (Nocek 1997). Kasus
rumen asidosis subklinis pada sapi berlangsung secara cepat melalui hitungan hari
5

dan dapat berbahaya. Kematian mendadak bisa terjadi pada serangan berat tanpa
diikuti gejala klinis, sehingga penyakit ini dikenal juga dengan ”Sudden Death
Syndrome”.
Terapi pada kasus rumen asidosis di KSU Tandangsari pada hari pertama
pemeriksaan adalah pemberian sediaan antibiotik Penstrep secara intramuskular
sebanyak 20 ml dan sediaan multivitamin Vitol-140 secara intramuskular
sebanyak 10 ml. Penstrep mengandung procaine penicillin G 200000 IU/ml dan
streptomycin sulphate 200 mg/ml dengan dosis untuk sapi dewasa 1 ml/20 kg BB
dan pedet: 1 ml/10 kg BB. Penstrep berfungsi sebagai antibiotik untuk mengobati
infeksi yang mungkin terjadi pada saluran pencernaan akibat mikroorganisme
yang sensitif terhadap penicillin dan dihidrostreptomicin, seperti Streptococcus sp.
Vitol-140 mengandung vitamin A, retinol palmitate 80000 IU/ml, vitamin D3,
cholecalciferol 40000 IU/ml, vitamin E, dan alpha-tocoferolacetate 20mg/ml. Vit-
amin ini berfungsi untuk memperbaiki gangguan metabolisme mineral karena pa-
kan yang tidak seimbang.
Pada hari berikutnya, sapi diberikan terapi infus RL sebanyak 500 ml secara
subkutan, calcidex sebanyak 80 ml secara subkutan, Vitol-140 sebanyak 10 ml
secara intramuskular, dan antiinflamasi Phenylject sebanyak 20 ml secara intra-
muskular (Phenylbutazone 200 mg/ml). Sediaan calcidex mengandung Ca
borogluconat 500 mg/ml, Mg chloride hexahydrate 67 mg/ml, Na hypophosphate
monohydrate 20.6 mg/ml, dan asam borat 100 mg/ml. Calcidex berfungsi untuk
mengatasi kekurangan kadar kalsium di dalam darah.
Pemberian sediaan infus cofacalcium sebanyak 500 ml secara intravena pada
hari ketiga (Gambar 1b). Infus ini mengandung kalsium glukonat 140 g, magnesi-
um hipofosfit, 6H2O 45 g, dan asam borat 28.75 g. Infus ini berfungsi untuk he-
wan yang mengalami defisiensi kalsium dan magnesium.
Menurut Triakoso (2013) pengobatan rumen asidosis adalah pemberian
antasida sebanyak 1 gram/kg BB, magnesium oksida, magnesium hidroksida, atau
natrium bikarbonat secara peroral, berguna untuk menetralisir keasaman rumen.
Obat dicampur dengan air hangat dan diberikan secara drenching. Triakoso (2013)
juga menyebutkan terapi suportif yang dapat diberikan adalah pemberian thiamine
dan kalsium. Antihistamin dan antiradang dapat diberikan pada kasus pincang
akibat rumen asidosis. Untuk mencegah terjadinya kasus rumen asidosis
dipeternak, dokter hewan menyarankan kepada peternak untuk menghindari
pemberian pakan tinggi karbohidrat rendah serat (konsentrat) dalam jumlah
banyak dalam waktu singkat.

Ketosis

Anamnesa
Sapi dilaporkan mati mendadak setelah satu hari sebelumnya tidak mau
makan. Sapi tersebut sedang bunting 8 bulan. Anak sapi tidak dapat diselamatkan.
Berdasarkan cerita dari peternak, feses sapi berbentuk lebih padat dan keras dari
biasanya.
6

Pemeriksaan Fisik
Tidak dilakukan pemeriksaan fisik karena sapi sudah dalam keadaan mati
saat paramedis datang.

Diagnosa : Ketosis
Differensial Diagnosa : Hipokalsemia
Prognosa : Infausta

Kasus kedua pada sapi 2 terjadi pada tanggal 30 September 2019 di daerah
Cilembu. Laporan datang dari peternak yang menyatakan bahwa sapi dengan no-
mor telinga 10341 pagi ini mati mendadak setelah satu hari sebelumnya tidak mau
makan. Sapi tersebut sedang bunting 8 bulan. Anak sapi tersebut juga dalam kon-
disi mati. Berdasarkan cerita dari peternak, feses sapi berbentuk lebih padat dan
keras dari biasanya. Sapi tersebut diduga mengalami ketosis (Gambar 2).

Gambar 2 Sapi bunting 8 bulan yang mengalami ketosis


Ketosis adalah suatu keadaan dimana badan-badan keton menumpuk di da-
lam tubuh. Ketosis merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan
penimbunan benda-benda keton yaitu asam asetoasetat, β-hidroxibutirat dan hasil
dekarboksilasinya (aseton dan isopropanol) di dalam cairan tubuh. Benda keton
dapat tertimbun di dalam kemih (ketonuria), darah (ketonemia), dan air susu
(ketolaksia) yang keseluruhan disebut ketosis (Subronto 2004).
Gejala ketosis adalah menurunnya nafsu makan, menurunnya kegiatan ru-
men, adanya konstipasi, rendahnya produksi susu, dan hilangnya bobot badan.
Bau aceton dapat dicium pada susu atau dari udara pernapasannya (Chase 1990).
Timbulnya bau aseton yang khas pada napas, susu, dan urin disebabkan oleh
adanya abnormalitas akumulasi benda keton dalam darah dan jaringan. Menurut
Luick et al. (1967), ketosis akan menurunkan kandungan lemak susu, laktosa dan
casein. Gejala gangguan syaraf hipersalivasi, menjilat benda disekitarnya, otot-
otot bahu dan pinging gemetar (hipertonia neuralis) yang hanya terlihat dalam 1-2
hari pertama kejadian penyakit, namun gejala syaraf tidak selalu terjadi pada se-
tiap kasus.
Ketosis dapat dibedakan menjadi ketosis primer dan ketosis sekunder. Keto-
sis primer adalah ketosis yang terjadi tanpa ada gejala patologi dalam tubuh sapi,
sedangkan ketosis sekunder biasanya diikuti kelainan seperti demam, mastitis,
atau retensi plasenta (Chase 1990). Puncak prevalensi ketosis terjadi pada dua
7

minggu masa laktasi yang dapat menurunkan produksi susu dan kondisi repro-
duksi (Asl et al. 2011).
Pada awal masa laktasi, sapi mengamali peningkatan kebutuhan energi untuk
memproduksi susu. Keseimbangan energi negatif menyebabkan tubuh harus me-
mecah lemak dari jaringan adiposa sebagai sumber energi. Pemanfaatan lemak
yang berlebihan akan menyebabkan ketidakseimbangan karbohidrat pada hati dan
metabolisme lemak. Hal ini terlihat dari meningkatnya konsentrasi badan-badan
keton (beta-hidroxybutyrate, acetoacetate, dan acetone pada jaringan tubuh dan
susu yang diproduksi. Beta-hydroxibutyrate tersintesis dari absorsi butyrate pada
epitel rumen dan mengalami ketogenesis. Acetoacetate dan BHB secara bebas
didistribusikan dan ditransportasikan kedalam darah (Asl et al. 2011).
Hati merupakan tempat utama pembentukan dan badan-badan keton. Dalam
keadaan ketosis, hati tidak dapat mengubah badan-badan keton menjadi acetoace-
tyl-CoA karena hati mengalami defisien dalam sistem enzim pengaktifannya
(Bergman 1970). Acetoasetat sebagian besarnnya dapat direduksi menjadi betahi-
droksi butirat dehidrogenase dimana reaksinya berjalan bolak-balik dan
acetoasetat merupakan komponen yang tidak stabil karena bentuk aceton dan
CO2 tidak dapat diubah. Aceton adalah komponen metabolit yang berasal dari
acetyl-CoA umumnya dianggap sebagai zat non-glikogenik. Aceton bersifat mu-
dah menguap dan berbau khas yang timbul pada saat respirasi yang secara kuanti-
taif betahidroksi butirat merupakan benda keton yang paling banyak dalam urin
dan darah pada saat ketosis (Harper 1979).
Pengobatan yang dapat diberikan pada sapi yang mengalami ketosis adalah
Pemberian larutan glukosa 50% 500 ml untuk meningkatkan kadar glukosa dalam
darah, mengurangi proses glukoneogenesis dan pemberian hormone insulin yang
mempunyai kerja antiketogenik yang bagus. Selain itu menurunkan benda keton
darah, juga meningkatkan penggunaan glukosa darah.

Mastitis Klinis
Anamnesa

Petugas Keswan mendapat laporan dari peternak bahwa susu sapi yang di-
perah pagi ini mengalami penurunan produksi. Susu yang diproduksi biasanya 11
liter menjadi 8 liter. Sapi tersebut juga lemas dan tidak nafsu makan. Sapi sudah 4
bulan pasca melahirkan dengan status laktasi kedua.

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum
Perawatan : Baik
Habitus : Tulang punggung rata
Gizi : Baik
Pertumbuhan : Baik
Sikap Berdiri : Menumpu dengan keempat kaki
Suhu : 39.1oC
Frekuensi jantung : 60×/menit
Frekuensi nafas : 28×/menit
8

Kulit dan rambut


Aspek rambut : Kusam
Kerontokan : Tidak ada
Kebotakan : Tidak ada
Turgor kulit : < 3 Detik
Permukaan kulit : Tidak ada keropeng
Kepala dan leher
(Inspeksi)
Ekspresi wajah : Apatis
Pertulangan kepala : Kompak
Posisi tegak telinga : Tegak mengarah kesamping
Posisi kepala : Lebih tinggi dari tulang punggung
Mata dan orbita kiri
Palpabrae : Membuka dan menutup sempurna
Cilia : Mengarah keluar
Konjuctiva : Rose, licin, basah, tidak ada lesio
Membran nictitans : Tidak terlihat
Mata dan orbita kanan
Palpabrae : Membuka dan menutup sempurna
Cilia : Mengarah keluar
Konjuctiva : Rose, licin, basah, tidak ada lesio
Membran nictitans : Tidak terlihat
Bola mata kanan
Sclera : Putih
Kornea : Tembus terang
Iris : Tidak ada perlekatan
Limbus : Permukaan rata
Pupil : Tidak ada kelainan
Refleks pupil : Ada
Vasa injectio : Tidak ada
Bola mata kiri
Sclera : Putih
Kornea : Tembus terang
Iris : Tidak ada perlekatan
Limbus : Permukaan rata
Pupil : Tidak ada kelainan
Refleks pupil : Ada
Vasa injectio : Tidak ada
Hidung dan sinus-sinus
Bentuk : Simetris
Lubang : Tidak ada kelainan, cuping hidung kering
Aliran udara : Lancar
Suara perkusi : Nyaring
Mulut dan rongga mulut
Rusak atau luka bibir : Tidak ada
Mukosa : Rose, basah, tidak ada lesio
Gigi geligi : Tidak ada kelainan
Karang gigi : Ada
9

Permukaan lidah : Kasar


Telinga
Posisi daun telinga : Tegak ke samping
Bau : Khas cerumen
Permukaan : Kotor, tidak ada lesio
Refleks pangilan : Ada
Krepitasi : Tidak ada
Leher
Perototan : Simetris
Trakhea : Teraba, tidak ada refleks batuk
Esophagus : Teraba, tidak ada penyumbatan
Thoraks
Sistem pernafasan
(Inspeksi)
Bentuk : Simetris
Tipe pernafasan : Abdominal
Ritme : Teratur
Intensitas : Dangkal
Frekuensi : 28×/menit
(Palpasi)
Penekanan rongga thorak : Tidak ada refleks sakit
Penekanan intercostalis : Tidak ada refleks sakit
(Perkusi)
Lapangan paru-paru : Tidak ada perluasan
Gema perkusi : Nyaring
(Auskultasi)
Suara pernfasan : Ekspirasi vesicular lebih terdengar jelas
Suara ikutan antara
Ex- dan inspirasi : Tidak ada
Sistem peredaran darah
Ictus cordis : Tidak ada
Lapangan jantung : Tidak ada kelainan
Frekuensi : 60×/menit
Intensitas : Kuat
Ritme : Teratur
Suara sistol dan diastole : Terdengar
Sinkronisasi pulsus dan jantung: Sinkron
Abdomen dan Organ pencernaan
Besarnya : Simetris
Bentuknya : Tidak ada kelainan
Legok lapar : Tidak ada kelainan
Tegangan isi perut : Tegang
Frekuensi rumen : 4×/ 5 menit
Rumen : Tidak ada kelinan
Peristaltik usus : Terdengar
Anus
Sekitaran anus : Bersih
Refleks spincter ani : Ada
10

Alat urogenitalia
Betina
Mukosa vagina : Rose, licin, mengkilap, tidak ada lesio
Kelenjar mamae
Besar : Tidak proporsional
Letak : Ventral abdomen
Bentuk : Ambing kwartir kiri belakang
membengkak
Kesimetrisan : Tidak simetris
Konsistensinya : Kenyal, kwarit kiri belakang keras
Palpasi rektal : Tidak dilakukan
Alat gerak
Perototan kaki depan : Simetris
Perototan kaki belakang : Simetris
Spasmus otot : Tidak ada
Tremor : Tidak ada
Sudut persendian : Tidak ada kelainan
Cara berjalan : Sapi tidak berjalan (dikandangkan)
Cara berlari : Sapi tidak berjalan (dikandangkan)
Kestabilan pelvis : Tidak ada kelainan
Konformasi : Kokoh
Kesimetrisan : Simetris
Palpasi Pertulangan
Kaki kiri depan : Kompak
Kaki kanan depan : Kompak
Kaki kiri belakang : Kompak
Kaki kanan belakang : Kompak
Konsistensi pertulangan : Keras
Reaksi saat dipalpasi : Tidak ada refleks sakit

Diagnosa : Mastitis klinis


Differensial Diagnosa : Tumor mamae
Prognosa : Fausta

Kasus ketiga pada sapi 3 terjadi pada tanggal 1 Agustus 2019 di daerah Wi-
bawa Mekar. Laporan datang dari peternak yang menyebutkan bahwa susu sapi
dengan nomor telinga 113271 pagi ini mengalami penurunan produksi. Susu yang
diproduksi biasanya 11 liter menjadi 8 liter. Sapi tersebut juga lemas dan tidak
nafsu makan. Sapi tersebut sudah 4 bulan pasca melahirkan dengan status laktasi
kedua. Setelah dilakukan pemeriksaan, ambing bagian kwartir sebelah kiri
belakang mengalami pembengkakan, berwarna kemerahan, dan terdapat respon
sakit pada saat dilakukan palpasi. Ukurannya lebih besar daripada kwartir lainnya.
Suhu kwartir juga terasa lebih panas dibandingkan kwartir lainnya. Namun, tidak
dilakukan periksaan lebih lanjut terhadap susu yang diproduksi. Sapi tersebut
diduga mengalami mastitis klinis (Gambar 3).
11

Gambar 3 Sapi penderita mastitis dengan gejala klinis kwartir kiri belakang
bengkak

Mastitis merupakan penyakit paling umum terjadi pada industri sapi perah.
Mastitis adalah peradangan jaringan interna kelenjar susu atau ambing dengan
berbagai penyebab, derajat keparahan, lama penyakit, dan akibat penyakit yang
sangat beragam (Morin dan Hurley 2003). Mastitis sering dikaitkan dengan
infeksi intramamari oleh bakteri dan terbagi menjadi mastitis klinis dan mastitis
subklinis (Lundberg 2015). Mastitis menyebabkan banyak kerugian ekonomi,
terutama karena penurunan produksi susu, penurunan kualitas susu, dan
berkurangnya keawetan susu (Lakhsmi dan Jayavaardhanan 2016). Penurunan
produksi susu per kwartir yang disebabkan oleh mastitis dapat mencapai 45% dan
kerugian yang disebabkan oleh mastitis kronis dapat mencapai 85% (Casas dan
Morales 2012).
Mastitis dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti higiene personal peternak
terutama saat proses pemerahan susu, sanitasi lingkungan kandang, maupun ke-
biasaan sapi yang sering berbaring dikandang (Septiani 2013). Kebiasaan ini dapat
menyebabkan bakteri mudah masuk kedalam puting dan mengontaminasi ambing.
Negara berkembang seperti Indonesia memiliki tingkat kejadian mastitis yang
cukup tinggi yakni 85% (Hardiati 2015). Hal ini disebabkan oleh bakteri yang
sangat menyukai kondisi lingkungan di Indonesia. Berbagai jenis bakteri
penyebab mastitis adalah Streptococcus agalactiae, S. dysgalactiae, S. uberis, S.
zooepidemicus, S. aureus, Escherichia coli, E. aerogenes, dan Pseudomonas
aeruginosa. Dalam keadaan tertentu, mastitis juga dapat disebakan oleh
Mycoplasma sp., Nocardia asteroides, dan Candida sp. (Ditjennakkeswan 2014).
Gejala klinis yang sering teramati pada kasus mastitis klinis adalah demam,
anoreksia, lemas, depresi, apatis, mengalami penurunan bobot bada hingga terjadi
penurunan sistem imun. Namun, gejala klinis ini jarang terlihat pada kejadian
mastitis ringan hingga sedang. Hewan yang mengalami mastitis klinis parah akan
menunjukkan peningkatan suhu tubuh, denyut jantung, dan frekuensi pernafasan
(Petersson-Wolfe et al. 2018).
Menurut Divers dan Peek (2008), untuk mendiagnosa mastitis, dibutuhkan
pemeriksaan lebih lanjut dengan pengujian sampel susu menggunakan California
Mastitis Test (CMT). Tujuannya untuk mengetahui abnormalitas susu yang di-
produksi. Metode kultur bakteri juga dapat dilakukan untuk mengetahui mikroba
12

spesifik penyebab mastitis. Hal ini berkaitan dengan pemberian antibiotik yang
tepat dan sesuai dengan agen penyebab mastitis.
Terapi kasus mastitis klinis di KSU Tandangsari adalah pemberian antibiotik
Penstrep 20 ml dan Calcidex 4 ml. Penstrep mengandung procaine penicillin G
200000 IU/ml dan streptomycin sulphate 200 mg/ml. Antibiotik ini dapat
digunakan untuk kasus mastitis yang disebabkan oleh mikroorganisme yang sensi-
tif terhadap penicillin dan dihidrostreptomicin. Contohnya adalah Campylobacter,
Clostridium, Corynobacterium, Escherichia coli, Erysipelothrix, Haemophilus,
Klebsiella, Listeria, Pasteurella, Salmonella, Staphylococcus, dan Streptococcus.
Menurut Subronto (2008), antibiotik yang terbukti berguna untuk pengobatan
mastitis meliputi penisilin (benzilpenisilin G, prokain penisilin G, benzatin
penisilin, kloksasilin, ampisilin, hetasilin), sefalosporin, eritromisin, neomisin,
novobiosin, oksitetrasiklin, dan streptomisin atau dihidrostreptomisin. Terapi yang
dapat diberikan untuk mengurangi rasa sakit pada kasus mastitis klinis adalah an-
ti-inflamasi non-steroid. Anti-inflamasi nonsteroid yang biasa digunakan pada sa-
pi mastitis klinis adalah flunixin meglumine, ketoprofen, atau karprofen. Ketiga
obat ini dapat mengurangi inflamasi, menurunkan suhu tubuh dan denyut jantung.
Namun, pengobatan ini biasanya diberikan pada kasus mastitis sedang hingga be-
rat (Petersson-Wolfe et al. 2018).
Hal penting yang harus diperhatikan selain terapi yaitu sistem perkandangan
dan cara pemerahan susu. Sistem perkandangan sapi sudah baik, lantai kandang
terbuat dari semen yang dialasi dengan karpet, dan terdapat irigasi yang lancar.
Namun, sapi sering berbaring pada alas kandang yang masih ada fesesnya. Hal ini
dapat terlihat dari hampir seluruh sapi dikandang tersebut kotor akibat feses yang
belum dibersihkan. Cara pemerahan yang dilakukan peternak adalah manual
dengan tangan dan selalu dibersihkan sebelum dilakukan pemerahan. Namun,
terkadang peternak tidak melakukan teat dipping setelah pemerahan.

SIMPULAN

Kegiatan praktik lapangan pelayanan kesehatan klinik sapi perah dapat


meningkatkan wawasan, keterampilan dan kemampuan dalam pengelolaan
kesehatan sapi perah melalui pelayanan kesehatan sapi perah. Penyakit yang
ditemui selama mengikuti kegiatan praktik lapang adalah rumen asidosis, ketosis,
dan mastitis.

DAFTAR PUSTAKA
Asl AN, Nazifi S, Ghasrodashti AR, Olyaee A. 2011. Prevalence of subclinical
ketosis in dairy cattle in Southwestern Iran and detection of cutoff point for
NEFA and glucose concentration for diagnosis of subclinical ketosis. Preva-
lentive Veterinary Medicine. 100: 38-43.
Bergman EN. 1970. Hyperketonemia-ketogenesis and ketone body metabo1ism.
J Dairy Sci. 54: 6.
13

Casas EMC, Morales REM. 2012. Bovine Mastitis pathogens: prevalence and ef-
fects on somatic cell count. Intecs [Internet]. [diunduh 2019 September 9];
17: 359-374. Tersedia pada: http://dx.doi.org/10.5772/51032.
Chase. LE. 1990. Kelainan Metabolik Dalam Nutrisi Sapi Perah. Proceeding Sem-
inar International F.H. PPSKI. Bandung.
Divers JT dan Peek FS. 2008. Desease of Diary Cattle. China (CN): Saunders
Elsevier.
[Ditjennakkeswan] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2018.
Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta (ID) : Direktoran
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian.
[Ditjennakkeswan] Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2014. Manual Penyakit Hewan
Mamalia. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan, Direktorat Kesehatan Hewan.
Fubini S, Divers TJ. 2008. Noninfectious diseases of the gastrointestinal tract. Di
dalam Diver TJ, Peek SF, editor. Rebhun’s Disease of Dairy Cattle.
Missouri (US): Saunders Elsevier.
Hardiati A. 2015. Uji Sensitivitas Streptococcus sp. Isolat susu sapi perah
koperasi peternak sapi Bandung Utara terhadap antibiotik [skripsi]. Yogya
(ID): Universitas Gajah Mada.
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2016. Outlook Susu Komoditas Pertanian
Subsektor Peternakan. Jakarta (ID) : Pusat Data dan Informasi Pertanian
Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian.
Kleen JL, Hooijer GA, Rehage J, Noordhuizen JPTM. 2003. Subacute ruminal
acidosis (SARA): a review. J Vet Med A Physiol Pathol Clin Med. 50 (8):
406-414.
Lakhsmi R, Jayavardhanan KK. 2016. Isolation and identification of major
causing bacteria from bovine mastitis. International Journal of Applied and
Pure Science and Agriculture. 2(4): 45-47.
Luick JR, Black. AL, Simesen MG, Kametaka M, Kronfeld DS. 1967. Acetone
metabolim in normal and ketotic cows. J Dairy Sci. 50: 544-548.
Lunberg A. 2015. Mastitis in dairy cows: genotypes, spread, and infection out-
come of three important under pathogens. Acta Universitatis Agriculture
Sueciae. 28: 11-14.
Morin, D.E. and W.L. Hurley. 2003. Mastitis Lesson B. USA: University of Illi-
nois.
Nocek JE. 1997. Bovine acidosis: implications on laminitis. Journal of Dairy
Science. 80: 1006-1028.
Triakoso N. 2013. Penyakit Non Infeksius pada Ternak. Surbaya (ID) :
Universitas Airlangga.
Petersson CS, Leslie KE, Swartz TH. 2018. An Update on the effect of clinical
mastitis on the welfare of dairy cows and potential therapies. Vet Clin Food
Anim. 34: 525–535.
Septiani YN. 2013. Panjang Puting dan Periode Laktasi sebagai Faktor Predispo-
sisi Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di KPSBU Lembang Kabupaten
Bandung [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Subronto, dan Ida Tjahajati. 2004. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta: UGM
Press.
14
Rekapitulasi Kasus Sapi Perah di KSU Tandangsari padaTanggal 29 Juli –24 Agustus 2019

No Kasus Anamnesa Sinyalemen dan Gejala Klinis Terapi


status present Lapang Literatur Lapang Literatur
1. Rumen asi- Sapi tidak mau No Telinga : 43210 Sapi tidak nafsu Ada tiga macam gejala yang 31 Jul 2019 Untuk gangguan bersifat
dosis makn dan minum, Ras : FH makan dan nam- ditemukan yaitu akut berat, suba- Phenylject 10 ml awal dapat diberikan obat
sekitar 1-2 hari Umur : 6 tahun pak lesu. Saat di kut dan kronis. Gejala yang tim- IM yang merangsang gerakan
lalu Laktasi : 4 uji tinju tidak ada bul bergantung banyaknya kon- Vitol 10 ml IM rumen seperti physotigmin
JK : Betina kontraksi rumen. sentrat serta kepekaan individu. atau neostigmin dengan do-
Warna : Hitam Pada serangan akut gejala akan sis 5 mg/100 kg berat badan
putih muncul 12-36 jam setelah 2Agt 2019 secara s.c. atau diberi mag-
mengkonsumsi pakan. Gejalanya Infus RL 500 ml SC nesium sulfat atau sodium
31 Jul 2019 adalah tremor, letargi atau lesu, Calcidex 80 ml SC sulfat dosis 50-100 gram
HR : 64 x/menit depresi, tidak mau makan dan Phenylject 20 ml selama 2 hari secara p.o.
RR : 28x/menit ataksia. Hewan juga menunjukkan IM Terapi selanjutnya, hewan
T : 39,2°C dehidrasi, daerah mata cekung, Vitol 10 ml IV juga dapat diberi injeksi
adanya distensi abdomen dan sta- antihistamin seperti di-
2Agt 2019 sis rumen. Suhu tubuh dapat phenhidramin HCl dengan
HR : 120 x/menit meningkat cepat kemudian turun 3 Agt 2019 dosis 0.5-1 mg/kg berat ba-
RR : 60 x/menit drastis. Denyut jantung meningkat Infus Cofacalcium dan secara i.m atau
T : 39,6°C dan cepat serta hewan tampak 500 ml IV i.v.Untuk mengurangi asido-
bernafas dangkal dan cepat. Ka- sis dapat diberikan larutan
3 Agt 2019 dang hewan mengalami kebutaan. sodium bicarbonate 2.5%
HR : 124x/menit Dalam 24 jam hewan mungkin sebanyak 500 ml secara i.v
RR : 52x/menit mengalami diare yang berbau secara perlahan-lahan. Un-
T : 38.5°C kecut (asam) dan berlendir serta tuk lebih aman dapat diberi-
Hipersalivasi, tidak berbuih dengan warna coklat kan soda roti sebanyak 250
ada kontraksi ru- kekuningan atau keabuan. Hewan gram secara oral 2 kali
men, nafas dalam. ambruk, koma dan mati. Ke- sehari (Subronto, 2003).
matian mendadak bisa terjadi pa-
da serangan berat tanpa diikuti
gejala klinis, sehingga penyakit
ini dikenal juga dengan “Suden
Death Syndrome” (Triakoso
2013).
2. Ketosis Peternak No telinga : 10341 Sapi ditemukan Ada 2 bentuk gejala yaitu digestif Tidak diberikan Terapi yang dapat dilakukan
15

melaporkan sapi JK: betina mati dan nervosa. Bentuk digestif perlakuan medis adalah pemberian infus laru-
mati bunting 8 Ras: FH gejala yang terlihat anorexia, karena sapi sudah tan Glukosa 50 % sebanyak
bulan Warna: hitam putih penurunan nafsu makan , penge- mati 500 mL. Pemberian obat
BCS: 3 (1-5) luaran benda benda keton yang corticotrophin yang
dideteksi dengan adanya bau khas mengandung ACTH 200-
keton dan urin. Gejala syaraf 600 IU diberikan per oral.
ditandai dengan menjilat, me-
makan benda asing, dan paresis

3. Mastitis Kasus 1 Kasus 1 Hasil pemeriksaan Gejala klinis yang sering teramati Penstrep 20 ml IM Menurut Subronto (2008),
klinis Peternak No. Telinga: HR:60x/menit pada kasus mastitis klinis adalah dan Calcidex 4 ml antibiotik yang terbukti
melaporkan bah- 113271 RR:28x/menit demam, anoreksia, lemas, depresi, IM. berguna untuk pengobatan
wa sapi tersebut JK: betina T: 39.1ºC. apatis, mengalami penurunan bo- mastitis adalah penisilin.
mengalami Ras: FH Ambing kwartir bot bada hingga terjadi penurunan Anti-inflamasi nonsteroid
penurunan Warna: hitam putih kiri belakang sistem imun. Namun, gejala klinis juga biasa digunakan pada
produksi susu BCS: 3 (1-5) mengalami pem- ini jarang terlihat pada kejadian sapi mastitis klinis dian-
yang biasanya 11 bengkakan. Saat mastitis ringan hingga sedang. taranya flunixin meglumine,
liter menjadi 8 dipalpasi, sapi Hewan yang mengalami mastitis ketoprofen, atau karprofen.
liter. Sapi tersebut mengalami klinis parah akan menunjukkan Ketiga obat ini dapat mengu-
juga lemas dan kesakitan. peningkatan suhu tubuh, denyut rangi inflamasi, menurunkan
kurang nafsu jantung, dan frekuensi pernafasan suhu tubuh dan denyut jan-
makan. (Petersson-Wolfe et al. 2018). tung. Namun, pengobatan ini
biasanya diberikan pada
kasus mastitis sedang hingga
berat (Petersson-Wolfe et al.
2018).

Anda mungkin juga menyukai