Disusun Oleh:
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh:
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Wakil Dekan
Tanggal Pengesahan:
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkat dan rahmat-Nya, sehingga kegiatan dan penyusunan laporan Program Pen-
didikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) ekstramural bagian reproduksi sapi perah
dapat diselesaikan dengan baik. Laporan ini ditulis berdasarkan kegiatan yang dil-
aksanakan pada tanggal 29 Juli – 24 Agustus 2019 di Koperasi Serba Usaha
(KSU) Tandangsari, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Penulis ingin menyam-
paikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Dr Drh Chusnus Choliq, MS, MM, selaku pembimbing dalam kampus
atas bimbingan, ilmu, serta masukan yang telah diberikan.
2. Drh Nsereko Godfrey, selaku pembimbing lapang atas segala ilmu dan
pengalaman yang telah diberikan.
3. Paramedis KSU Tandangsari atas ketersediaan waktu, tenaga, ilmu, dan
pengalaman yang diberikan selama kegiatan praktik di lapangan.
4. Seluruh petugas yang telah menerima kehadiran serta membantu pelaksa-
naan praktik lapang di KSU Tandangsari.
5. Pihak penyelenggara kegiatan Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan
(PPDH), Fakultas Kedokteran Hewan dan segenap staf pengurus yang
ikut serta dalam terselenggaranya kegiatan ini.
Penulis menyadari bahwa kegiatan ini tidak akan terlaksana dengan baik
tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Dengan ini, penulis
menyampaikan permohonan maaf bila masih terdapat kesalahan dan kekurangan.
Penulis juga sangat berterima kasih dan terbuka untuk kritik serta saran yang ber-
sifat membangun demi kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini bermanfaat
dan dapat memberikan informasi yang berguna bagi semua pihak.
Penulis
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Tujuan dari praktik lapang pelayanan kesehatan klinik sapi perah adalah
meningkatkan wawasan dan pengalaman mahasiswa PPDH sebagai calon dokter
hewan terkait kejadian penyakit klinik yang sering menyerang sapi perah.
Kegiatan ini juga bertujuan untuk melatih mahasiswa dalam menentukan
2
diagnosa, prognosa, dan terapi untuk kasus yang sering terjadi dilapangan.
Dengan begitu, diharapkan mahasiswa dapat mempelajari manajemen pemeli-
haraan dan kesehatan sapi yang baik dan benar.
Manfaat
PELAKSANAAN KEGIATAN
Metode
Kegiatan pelayanan kesehatan sapi perah yang diikuti oleh mahasiswa PPDH
selama praktek lapang di KSU Tandangsari meliputi penanganan kasus-kasus
klinik yang terjadi pada sapi perah berdasarkan adanya laporan langsung dari pe-
ternak. Pelayanan kesehatan tersebut dilakukan oleh satu orang dokter hewan
dibantu oleh empat orang paramedis yang masing-masing memiliki wilayah kerja
tersendiri. Pelayanan kasus klinik yang dilakukan selama berada di lapangan
berdarakan diagnosa yang diperoleh dari hasil anamnesa dari peternak, dan
pemeriksaan fisik pada sapi. Petugas pelayanan kesehatan sapi perah juga
melakukan terapi dengan memberikan obat-obatan pada sapi yang mengalami sa-
3
kit, dan saran terhadap peternak untuk mencegah terjadinya kasus yang sama pada
sapinya. Penanganan kasus klinik yang terjadi dilapangan juga dilakukan melalui
pendekatan terhadap simptom-simptom yang terjadi pada sapi perah. Beberapa
kasus klinik yang terjadi pada sapi perah di lapangan selama mahasiswa
melakukan praktik lapang di KSU Tandangsari disajikan pada Tabel 1.
Rumen Asidosis
Anamnesa
Sapi pertama kali dilaporkan oleh peternak menunjukkan gejala tidak nafsu
makan dan lemas. Pada laporan kedua, sapi masih tidak mau makan selama tiga
hari, dan pada laporan ketiga sapi ambruk.
Signalment
Nama/No sapi : 43210
Jenis hewan : Sapi
Ras/ Breed : Friesian Holstein
Warna rambut/kulit : hitam-putih/rose
Jenis Kelamin : betina
Umur : 8 tahun
Berat badan : ± 350 kg
Tanda khusus : tidak ada
Status Present
Keadaan umum
Perawatan : baik
Habitus/Tingkah laku : tulang punggung lurus/Jinak
Gizi : baik / 3 (1-5)
Pertumbuhan badan : baik
Sikap berdiri : bertumpu pada empat kaki
Suhu tubuh : 38.6 °C
Frekuensi jantung : 120 kali/menit
Frekuensi nafas : 60 kali/menit
Kasus pertama pada sapi dengan nomor telinga 43210 terjadi pada tanggal 30
Juli 2019. Sapi dilaporkan oleh peternak sudah satu hari tidak mau makan dan
lemas. Keika diperiksa, suhu tubuh mencapai 39.2oC dengan frekuensi denyut
4
Sapi menunjukkan dehidrasi, adanya distensi rumen, dan stasis rumen atau rumen
yang tidak berkontraksi. Sapi mengalami diare yang berbau khas dan berbuih
dengan warna coklat kekuningan. Berdasarkan temuan klinis tersebut, sapi ini
didiagnosa mengalami rumen asidosis (Gambar 1a).
a b
Gambar 1 (a) Sapi yang mengalami rumen asidosis; (b) Infus yang diberikan
berupa Cofacalcium pada hari ketiga pengobatan
dan dapat berbahaya. Kematian mendadak bisa terjadi pada serangan berat tanpa
diikuti gejala klinis, sehingga penyakit ini dikenal juga dengan ”Sudden Death
Syndrome”.
Terapi pada kasus rumen asidosis di KSU Tandangsari pada hari pertama
pemeriksaan adalah pemberian sediaan antibiotik Penstrep secara intramuskular
sebanyak 20 ml dan sediaan multivitamin Vitol-140 secara intramuskular
sebanyak 10 ml. Penstrep mengandung procaine penicillin G 200000 IU/ml dan
streptomycin sulphate 200 mg/ml dengan dosis untuk sapi dewasa 1 ml/20 kg BB
dan pedet: 1 ml/10 kg BB. Penstrep berfungsi sebagai antibiotik untuk mengobati
infeksi yang mungkin terjadi pada saluran pencernaan akibat mikroorganisme
yang sensitif terhadap penicillin dan dihidrostreptomicin, seperti Streptococcus sp.
Vitol-140 mengandung vitamin A, retinol palmitate 80000 IU/ml, vitamin D3,
cholecalciferol 40000 IU/ml, vitamin E, dan alpha-tocoferolacetate 20mg/ml. Vit-
amin ini berfungsi untuk memperbaiki gangguan metabolisme mineral karena pa-
kan yang tidak seimbang.
Pada hari berikutnya, sapi diberikan terapi infus RL sebanyak 500 ml secara
subkutan, calcidex sebanyak 80 ml secara subkutan, Vitol-140 sebanyak 10 ml
secara intramuskular, dan antiinflamasi Phenylject sebanyak 20 ml secara intra-
muskular (Phenylbutazone 200 mg/ml). Sediaan calcidex mengandung Ca
borogluconat 500 mg/ml, Mg chloride hexahydrate 67 mg/ml, Na hypophosphate
monohydrate 20.6 mg/ml, dan asam borat 100 mg/ml. Calcidex berfungsi untuk
mengatasi kekurangan kadar kalsium di dalam darah.
Pemberian sediaan infus cofacalcium sebanyak 500 ml secara intravena pada
hari ketiga (Gambar 1b). Infus ini mengandung kalsium glukonat 140 g, magnesi-
um hipofosfit, 6H2O 45 g, dan asam borat 28.75 g. Infus ini berfungsi untuk he-
wan yang mengalami defisiensi kalsium dan magnesium.
Menurut Triakoso (2013) pengobatan rumen asidosis adalah pemberian
antasida sebanyak 1 gram/kg BB, magnesium oksida, magnesium hidroksida, atau
natrium bikarbonat secara peroral, berguna untuk menetralisir keasaman rumen.
Obat dicampur dengan air hangat dan diberikan secara drenching. Triakoso (2013)
juga menyebutkan terapi suportif yang dapat diberikan adalah pemberian thiamine
dan kalsium. Antihistamin dan antiradang dapat diberikan pada kasus pincang
akibat rumen asidosis. Untuk mencegah terjadinya kasus rumen asidosis
dipeternak, dokter hewan menyarankan kepada peternak untuk menghindari
pemberian pakan tinggi karbohidrat rendah serat (konsentrat) dalam jumlah
banyak dalam waktu singkat.
Ketosis
Anamnesa
Sapi dilaporkan mati mendadak setelah satu hari sebelumnya tidak mau
makan. Sapi tersebut sedang bunting 8 bulan. Anak sapi tidak dapat diselamatkan.
Berdasarkan cerita dari peternak, feses sapi berbentuk lebih padat dan keras dari
biasanya.
6
Pemeriksaan Fisik
Tidak dilakukan pemeriksaan fisik karena sapi sudah dalam keadaan mati
saat paramedis datang.
Diagnosa : Ketosis
Differensial Diagnosa : Hipokalsemia
Prognosa : Infausta
Kasus kedua pada sapi 2 terjadi pada tanggal 30 September 2019 di daerah
Cilembu. Laporan datang dari peternak yang menyatakan bahwa sapi dengan no-
mor telinga 10341 pagi ini mati mendadak setelah satu hari sebelumnya tidak mau
makan. Sapi tersebut sedang bunting 8 bulan. Anak sapi tersebut juga dalam kon-
disi mati. Berdasarkan cerita dari peternak, feses sapi berbentuk lebih padat dan
keras dari biasanya. Sapi tersebut diduga mengalami ketosis (Gambar 2).
minggu masa laktasi yang dapat menurunkan produksi susu dan kondisi repro-
duksi (Asl et al. 2011).
Pada awal masa laktasi, sapi mengamali peningkatan kebutuhan energi untuk
memproduksi susu. Keseimbangan energi negatif menyebabkan tubuh harus me-
mecah lemak dari jaringan adiposa sebagai sumber energi. Pemanfaatan lemak
yang berlebihan akan menyebabkan ketidakseimbangan karbohidrat pada hati dan
metabolisme lemak. Hal ini terlihat dari meningkatnya konsentrasi badan-badan
keton (beta-hidroxybutyrate, acetoacetate, dan acetone pada jaringan tubuh dan
susu yang diproduksi. Beta-hydroxibutyrate tersintesis dari absorsi butyrate pada
epitel rumen dan mengalami ketogenesis. Acetoacetate dan BHB secara bebas
didistribusikan dan ditransportasikan kedalam darah (Asl et al. 2011).
Hati merupakan tempat utama pembentukan dan badan-badan keton. Dalam
keadaan ketosis, hati tidak dapat mengubah badan-badan keton menjadi acetoace-
tyl-CoA karena hati mengalami defisien dalam sistem enzim pengaktifannya
(Bergman 1970). Acetoasetat sebagian besarnnya dapat direduksi menjadi betahi-
droksi butirat dehidrogenase dimana reaksinya berjalan bolak-balik dan
acetoasetat merupakan komponen yang tidak stabil karena bentuk aceton dan
CO2 tidak dapat diubah. Aceton adalah komponen metabolit yang berasal dari
acetyl-CoA umumnya dianggap sebagai zat non-glikogenik. Aceton bersifat mu-
dah menguap dan berbau khas yang timbul pada saat respirasi yang secara kuanti-
taif betahidroksi butirat merupakan benda keton yang paling banyak dalam urin
dan darah pada saat ketosis (Harper 1979).
Pengobatan yang dapat diberikan pada sapi yang mengalami ketosis adalah
Pemberian larutan glukosa 50% 500 ml untuk meningkatkan kadar glukosa dalam
darah, mengurangi proses glukoneogenesis dan pemberian hormone insulin yang
mempunyai kerja antiketogenik yang bagus. Selain itu menurunkan benda keton
darah, juga meningkatkan penggunaan glukosa darah.
Mastitis Klinis
Anamnesa
Petugas Keswan mendapat laporan dari peternak bahwa susu sapi yang di-
perah pagi ini mengalami penurunan produksi. Susu yang diproduksi biasanya 11
liter menjadi 8 liter. Sapi tersebut juga lemas dan tidak nafsu makan. Sapi sudah 4
bulan pasca melahirkan dengan status laktasi kedua.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
Perawatan : Baik
Habitus : Tulang punggung rata
Gizi : Baik
Pertumbuhan : Baik
Sikap Berdiri : Menumpu dengan keempat kaki
Suhu : 39.1oC
Frekuensi jantung : 60×/menit
Frekuensi nafas : 28×/menit
8
Alat urogenitalia
Betina
Mukosa vagina : Rose, licin, mengkilap, tidak ada lesio
Kelenjar mamae
Besar : Tidak proporsional
Letak : Ventral abdomen
Bentuk : Ambing kwartir kiri belakang
membengkak
Kesimetrisan : Tidak simetris
Konsistensinya : Kenyal, kwarit kiri belakang keras
Palpasi rektal : Tidak dilakukan
Alat gerak
Perototan kaki depan : Simetris
Perototan kaki belakang : Simetris
Spasmus otot : Tidak ada
Tremor : Tidak ada
Sudut persendian : Tidak ada kelainan
Cara berjalan : Sapi tidak berjalan (dikandangkan)
Cara berlari : Sapi tidak berjalan (dikandangkan)
Kestabilan pelvis : Tidak ada kelainan
Konformasi : Kokoh
Kesimetrisan : Simetris
Palpasi Pertulangan
Kaki kiri depan : Kompak
Kaki kanan depan : Kompak
Kaki kiri belakang : Kompak
Kaki kanan belakang : Kompak
Konsistensi pertulangan : Keras
Reaksi saat dipalpasi : Tidak ada refleks sakit
Kasus ketiga pada sapi 3 terjadi pada tanggal 1 Agustus 2019 di daerah Wi-
bawa Mekar. Laporan datang dari peternak yang menyebutkan bahwa susu sapi
dengan nomor telinga 113271 pagi ini mengalami penurunan produksi. Susu yang
diproduksi biasanya 11 liter menjadi 8 liter. Sapi tersebut juga lemas dan tidak
nafsu makan. Sapi tersebut sudah 4 bulan pasca melahirkan dengan status laktasi
kedua. Setelah dilakukan pemeriksaan, ambing bagian kwartir sebelah kiri
belakang mengalami pembengkakan, berwarna kemerahan, dan terdapat respon
sakit pada saat dilakukan palpasi. Ukurannya lebih besar daripada kwartir lainnya.
Suhu kwartir juga terasa lebih panas dibandingkan kwartir lainnya. Namun, tidak
dilakukan periksaan lebih lanjut terhadap susu yang diproduksi. Sapi tersebut
diduga mengalami mastitis klinis (Gambar 3).
11
Gambar 3 Sapi penderita mastitis dengan gejala klinis kwartir kiri belakang
bengkak
Mastitis merupakan penyakit paling umum terjadi pada industri sapi perah.
Mastitis adalah peradangan jaringan interna kelenjar susu atau ambing dengan
berbagai penyebab, derajat keparahan, lama penyakit, dan akibat penyakit yang
sangat beragam (Morin dan Hurley 2003). Mastitis sering dikaitkan dengan
infeksi intramamari oleh bakteri dan terbagi menjadi mastitis klinis dan mastitis
subklinis (Lundberg 2015). Mastitis menyebabkan banyak kerugian ekonomi,
terutama karena penurunan produksi susu, penurunan kualitas susu, dan
berkurangnya keawetan susu (Lakhsmi dan Jayavaardhanan 2016). Penurunan
produksi susu per kwartir yang disebabkan oleh mastitis dapat mencapai 45% dan
kerugian yang disebabkan oleh mastitis kronis dapat mencapai 85% (Casas dan
Morales 2012).
Mastitis dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti higiene personal peternak
terutama saat proses pemerahan susu, sanitasi lingkungan kandang, maupun ke-
biasaan sapi yang sering berbaring dikandang (Septiani 2013). Kebiasaan ini dapat
menyebabkan bakteri mudah masuk kedalam puting dan mengontaminasi ambing.
Negara berkembang seperti Indonesia memiliki tingkat kejadian mastitis yang
cukup tinggi yakni 85% (Hardiati 2015). Hal ini disebabkan oleh bakteri yang
sangat menyukai kondisi lingkungan di Indonesia. Berbagai jenis bakteri
penyebab mastitis adalah Streptococcus agalactiae, S. dysgalactiae, S. uberis, S.
zooepidemicus, S. aureus, Escherichia coli, E. aerogenes, dan Pseudomonas
aeruginosa. Dalam keadaan tertentu, mastitis juga dapat disebakan oleh
Mycoplasma sp., Nocardia asteroides, dan Candida sp. (Ditjennakkeswan 2014).
Gejala klinis yang sering teramati pada kasus mastitis klinis adalah demam,
anoreksia, lemas, depresi, apatis, mengalami penurunan bobot bada hingga terjadi
penurunan sistem imun. Namun, gejala klinis ini jarang terlihat pada kejadian
mastitis ringan hingga sedang. Hewan yang mengalami mastitis klinis parah akan
menunjukkan peningkatan suhu tubuh, denyut jantung, dan frekuensi pernafasan
(Petersson-Wolfe et al. 2018).
Menurut Divers dan Peek (2008), untuk mendiagnosa mastitis, dibutuhkan
pemeriksaan lebih lanjut dengan pengujian sampel susu menggunakan California
Mastitis Test (CMT). Tujuannya untuk mengetahui abnormalitas susu yang di-
produksi. Metode kultur bakteri juga dapat dilakukan untuk mengetahui mikroba
12
spesifik penyebab mastitis. Hal ini berkaitan dengan pemberian antibiotik yang
tepat dan sesuai dengan agen penyebab mastitis.
Terapi kasus mastitis klinis di KSU Tandangsari adalah pemberian antibiotik
Penstrep 20 ml dan Calcidex 4 ml. Penstrep mengandung procaine penicillin G
200000 IU/ml dan streptomycin sulphate 200 mg/ml. Antibiotik ini dapat
digunakan untuk kasus mastitis yang disebabkan oleh mikroorganisme yang sensi-
tif terhadap penicillin dan dihidrostreptomicin. Contohnya adalah Campylobacter,
Clostridium, Corynobacterium, Escherichia coli, Erysipelothrix, Haemophilus,
Klebsiella, Listeria, Pasteurella, Salmonella, Staphylococcus, dan Streptococcus.
Menurut Subronto (2008), antibiotik yang terbukti berguna untuk pengobatan
mastitis meliputi penisilin (benzilpenisilin G, prokain penisilin G, benzatin
penisilin, kloksasilin, ampisilin, hetasilin), sefalosporin, eritromisin, neomisin,
novobiosin, oksitetrasiklin, dan streptomisin atau dihidrostreptomisin. Terapi yang
dapat diberikan untuk mengurangi rasa sakit pada kasus mastitis klinis adalah an-
ti-inflamasi non-steroid. Anti-inflamasi nonsteroid yang biasa digunakan pada sa-
pi mastitis klinis adalah flunixin meglumine, ketoprofen, atau karprofen. Ketiga
obat ini dapat mengurangi inflamasi, menurunkan suhu tubuh dan denyut jantung.
Namun, pengobatan ini biasanya diberikan pada kasus mastitis sedang hingga be-
rat (Petersson-Wolfe et al. 2018).
Hal penting yang harus diperhatikan selain terapi yaitu sistem perkandangan
dan cara pemerahan susu. Sistem perkandangan sapi sudah baik, lantai kandang
terbuat dari semen yang dialasi dengan karpet, dan terdapat irigasi yang lancar.
Namun, sapi sering berbaring pada alas kandang yang masih ada fesesnya. Hal ini
dapat terlihat dari hampir seluruh sapi dikandang tersebut kotor akibat feses yang
belum dibersihkan. Cara pemerahan yang dilakukan peternak adalah manual
dengan tangan dan selalu dibersihkan sebelum dilakukan pemerahan. Namun,
terkadang peternak tidak melakukan teat dipping setelah pemerahan.
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Asl AN, Nazifi S, Ghasrodashti AR, Olyaee A. 2011. Prevalence of subclinical
ketosis in dairy cattle in Southwestern Iran and detection of cutoff point for
NEFA and glucose concentration for diagnosis of subclinical ketosis. Preva-
lentive Veterinary Medicine. 100: 38-43.
Bergman EN. 1970. Hyperketonemia-ketogenesis and ketone body metabo1ism.
J Dairy Sci. 54: 6.
13
Casas EMC, Morales REM. 2012. Bovine Mastitis pathogens: prevalence and ef-
fects on somatic cell count. Intecs [Internet]. [diunduh 2019 September 9];
17: 359-374. Tersedia pada: http://dx.doi.org/10.5772/51032.
Chase. LE. 1990. Kelainan Metabolik Dalam Nutrisi Sapi Perah. Proceeding Sem-
inar International F.H. PPSKI. Bandung.
Divers JT dan Peek FS. 2008. Desease of Diary Cattle. China (CN): Saunders
Elsevier.
[Ditjennakkeswan] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2018.
Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta (ID) : Direktoran
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian.
[Ditjennakkeswan] Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2014. Manual Penyakit Hewan
Mamalia. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan, Direktorat Kesehatan Hewan.
Fubini S, Divers TJ. 2008. Noninfectious diseases of the gastrointestinal tract. Di
dalam Diver TJ, Peek SF, editor. Rebhun’s Disease of Dairy Cattle.
Missouri (US): Saunders Elsevier.
Hardiati A. 2015. Uji Sensitivitas Streptococcus sp. Isolat susu sapi perah
koperasi peternak sapi Bandung Utara terhadap antibiotik [skripsi]. Yogya
(ID): Universitas Gajah Mada.
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2016. Outlook Susu Komoditas Pertanian
Subsektor Peternakan. Jakarta (ID) : Pusat Data dan Informasi Pertanian
Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian.
Kleen JL, Hooijer GA, Rehage J, Noordhuizen JPTM. 2003. Subacute ruminal
acidosis (SARA): a review. J Vet Med A Physiol Pathol Clin Med. 50 (8):
406-414.
Lakhsmi R, Jayavardhanan KK. 2016. Isolation and identification of major
causing bacteria from bovine mastitis. International Journal of Applied and
Pure Science and Agriculture. 2(4): 45-47.
Luick JR, Black. AL, Simesen MG, Kametaka M, Kronfeld DS. 1967. Acetone
metabolim in normal and ketotic cows. J Dairy Sci. 50: 544-548.
Lunberg A. 2015. Mastitis in dairy cows: genotypes, spread, and infection out-
come of three important under pathogens. Acta Universitatis Agriculture
Sueciae. 28: 11-14.
Morin, D.E. and W.L. Hurley. 2003. Mastitis Lesson B. USA: University of Illi-
nois.
Nocek JE. 1997. Bovine acidosis: implications on laminitis. Journal of Dairy
Science. 80: 1006-1028.
Triakoso N. 2013. Penyakit Non Infeksius pada Ternak. Surbaya (ID) :
Universitas Airlangga.
Petersson CS, Leslie KE, Swartz TH. 2018. An Update on the effect of clinical
mastitis on the welfare of dairy cows and potential therapies. Vet Clin Food
Anim. 34: 525–535.
Septiani YN. 2013. Panjang Puting dan Periode Laktasi sebagai Faktor Predispo-
sisi Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di KPSBU Lembang Kabupaten
Bandung [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Subronto, dan Ida Tjahajati. 2004. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta: UGM
Press.
14
Rekapitulasi Kasus Sapi Perah di KSU Tandangsari padaTanggal 29 Juli –24 Agustus 2019
melaporkan sapi JK: betina mati dan nervosa. Bentuk digestif perlakuan medis adalah pemberian infus laru-
mati bunting 8 Ras: FH gejala yang terlihat anorexia, karena sapi sudah tan Glukosa 50 % sebanyak
bulan Warna: hitam putih penurunan nafsu makan , penge- mati 500 mL. Pemberian obat
BCS: 3 (1-5) luaran benda benda keton yang corticotrophin yang
dideteksi dengan adanya bau khas mengandung ACTH 200-
keton dan urin. Gejala syaraf 600 IU diberikan per oral.
ditandai dengan menjilat, me-
makan benda asing, dan paresis
3. Mastitis Kasus 1 Kasus 1 Hasil pemeriksaan Gejala klinis yang sering teramati Penstrep 20 ml IM Menurut Subronto (2008),
klinis Peternak No. Telinga: HR:60x/menit pada kasus mastitis klinis adalah dan Calcidex 4 ml antibiotik yang terbukti
melaporkan bah- 113271 RR:28x/menit demam, anoreksia, lemas, depresi, IM. berguna untuk pengobatan
wa sapi tersebut JK: betina T: 39.1ºC. apatis, mengalami penurunan bo- mastitis adalah penisilin.
mengalami Ras: FH Ambing kwartir bot bada hingga terjadi penurunan Anti-inflamasi nonsteroid
penurunan Warna: hitam putih kiri belakang sistem imun. Namun, gejala klinis juga biasa digunakan pada
produksi susu BCS: 3 (1-5) mengalami pem- ini jarang terlihat pada kejadian sapi mastitis klinis dian-
yang biasanya 11 bengkakan. Saat mastitis ringan hingga sedang. taranya flunixin meglumine,
liter menjadi 8 dipalpasi, sapi Hewan yang mengalami mastitis ketoprofen, atau karprofen.
liter. Sapi tersebut mengalami klinis parah akan menunjukkan Ketiga obat ini dapat mengu-
juga lemas dan kesakitan. peningkatan suhu tubuh, denyut rangi inflamasi, menurunkan
kurang nafsu jantung, dan frekuensi pernafasan suhu tubuh dan denyut jan-
makan. (Petersson-Wolfe et al. 2018). tung. Namun, pengobatan ini
biasanya diberikan pada
kasus mastitis sedang hingga
berat (Petersson-Wolfe et al.
2018).