Anda di halaman 1dari 14

DAFTAR ISI

SAMPUL ............................................................................................................. i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
I.1 LATAR BELAKANG .......................................................................... 1
I.2 TUJUAN .............................................................................................. 2
I.3 MANFAAT .......................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 3
II.1 PENGERTIAN DISTOKIA DAN EUTOKIA .................................. 3
II.2 PENYEBAB DISTOKIA ................................................................... 7
II.3 POSISI ABNORMAL FETUS ........................................................... 7
II.4 PROSEDUR PENDAHULUAN PENANGANAN DISTOKIA ........ 8
II.5 TEKNIK PENANGANAN DISTOKIA ............................................. 9
BAB III MATERI DAN METODE ............................................................... 12
III.1 MATERI .......................................................................................... 12
III.2 METODE ......................................................................................... 12
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 15
IV.1 HASIL ............................................................................................. 13
IV.1 PEMBAHASAN ............................................................................. 16
BAB V PENUTUP ........................................................................................... 18
V.1 KESIMPULAN ................................................................................. 18
V.2 SARAN ............................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 19
LAMPIRAN ..................................................................................................... 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Sistem reproduksi adalah sistem yang berperan dalam menghasilkan gamet
fungional dalam tubuh. Reproduksi menggambarkan pembuatan sel telur, sperma,
dan proses-proses yang menyertainya sampai pembuahan. Sistem reproduksi terdiri
dari organ reproduksi primer atau gonad (testis pada jantan dan ovarium pada
betina) yang mensekresikan hormon dan menghasilkan gamet (sperma dan ovum).
Selain itu, juga terdapat organ reproduksi sekunder berupa kelenjar dan saluran-
saluran reproduksi (Haviz, 2013).
Reproduksi sapi betina tergantung pada kondisi kesehatan sistem
reproduksinya. Komponen utama organ reproduksi sapi betina, meliputi ovarium
oviduct, cornua uteri, uterus, serviks, dan vagina (Bardas et al., 2014).
Perkembangan alat kelamin betina meliputi 3 unsur pokok yaitu gonad, primordial
germ cell (PGC), dan duktus paramesonephricus (Lestari dan Ismudiono, 2014)
Distokia didefinisikan sebagai parturisi yang berkepanjangan dan sulit
sehingga membutuhkan bantuan (Abera, 2017). Distokia terjadi ketika terdapat
kegagalan dalam satu atau lebih dari tiga komponen utama proses kelahiran, yaitu
kekuatan mendorong (expulsive forces), kecukupan jalan kelahiran (birth canal
adequacy), dan ukuran dan posisi fetus (Noakes et al., 2001).
Distokia bisa didefinisikan sebagai ketidakmampuan sapi mengeluarkan
neonatus melalui saluran kelahiran karena akibat dari adanya masalah pada uterus
atau saluran kelahiran, atau karena masalah pada fetus (Mekonnen dan Nibret,
2016). Menurut Mahendra et al (2016), Distokia adalah kesulitan atau
ketidakmampuan untuk mengeluarkan fetus melalui saluran kelahiran tanpa adanya
bantuan. Penyebab distokia bisa disebabkan karena dua faktor yaitu maternal dan
fetal.
Demikian diperlukan penanganan gangguan reproduksi pada ternak harus
ditanggulangi dengan melihat prevalensi yang tinggi sehingga dapat menyebabkan
kerugian pada ternak dan dapat memperlambat laju peningkatan populasi ternak
dalam negeri (Adjid, 2004).
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari laporan ini yaitu mahasiswa dapat melakukan sterility control
dan pemeriksaan kebuntingan (umur kebuntingan) melalui palpasi rektal
1.3 Manfaat
Adapun manfaat dari laporan ini berdasarkan tujuan yaitu mahasiswa dapat
mengetahui dan melakukan sterility control dan pemeriksaan kebuntingan (umur
kebuntingan) melalui palpasi rektal.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian distokia dan eutokia
2.1.1 Distokia
Distokia bisa didefinisikan sebagai Kesulitan melahirkan, secara teknis
disebut distosia, didefinisikan sebagai proses kelahiran yang lama dan sulit dengan
bantuan yang sering dibutuhkan. Untuk tujuan merumuskan rencana manajemen
klinis untuk hewan individu, akan lebih mudah untuk membagi penyebab distosia
menjadi penyebab asal ibu dan asal janin (Abera, 2017).
2.1.2 Eutokia
Eutoakia atau kelahiran normal merupakan suatu proses kelahiran dengan
kehadiran janin berukuran normal, panggul induk normal, keampuan ekspulsif, dan
persentasi janin normal (Lien et al., 2014).
2.2 Penyebab terjadinya distokia
2.2.1 Penyebab dasar
Dari, perspektif klinis, etiologi dystocia beragam dan termasuk cacat dalam
bendungan atau janin dan faktor manajemen, atau kombinasinya. Untuk tujuan
merumuskan rencana manajemen klinis untuk hewan individu, akan lebih mudah
untuk membagi penyebab distosia menjadi salah satu asal maternal yang berasal
dari janin (Abera, 2017).
2.2.2 Sebab – Sebab Langsung (Maternal dan Fetal)
a. Maternal
Masalah dengan bendungan yang menghambat atau mencegah persalinan
termasuk kurangnya kekuatan ekspulsif dan kelainan saluran lahir. Tidak adanya
kontraksi atau inersia uterus mungkin primer atau sekunder. Inersia uterus primer
disebabkan oleh peregangan yang berlebihan dan sering terjadi pada kehamilan
kembar pada sapi dan defek pada miometrium yang menyebabkan kontraksi
menjadi tidak mungkin, defek hormonal dan hipokalsemia periparturient dan
mungkin juga disebabkan oleh sapi yang tertutup rapat. Inersia uterus sekunder
disebabkan oleh kelelahan otot uterus sekunder akibat distosia obstruktif.
Persalinan dapat dihambat oleh ukuran pelvis maternal yang tidak adekuat, kelainan
pelvis, dilatasi serviks yang tidak lengkap, dan torsi uterus. Stenosis vulva dan
vestibula mungkin merupakan akibat dari ketidakdewasaan atau mungkin
merupakan kelainan yang diturunkan pada beberapa keturunan (Abera, 2017).
b. Fetus
Secara umum, asal janin dystocia dapat dibagi secara umum menjadi 3P
abnormal (P1 = presentasi, P2 = posisi dan P3 = postur) dan ukuran janin berlebihan
relatif terhadap panggul ibu (disproporsi janin). Presentasi adalah hubungan antara
sumbu panjang janin dan jalan lahir ibu; posisi menunjukkan permukaan saluran
lahir ibu dimana kolom tulang belakang janin diterapkan dan postur mengacu pada
disposisi pelengkap janin yang bergerak dan melibatkan fleksi atau ekstensi leher
atau tungkai janin. Persalinan normal dilakukan secara longitudinal, dalam
presentasi anterior, posisi sakral dorsal; dengan ekstensi kaki depan bilateral.

2
Persalinan spontan dengan presentasi, posisi, atau postur janin lainnya tidak
mungkin kecuali janinnya cukup kecil atau panggul bendungan luar biasa besar.
Deviasi kepala dan fleksi dari berbagai sendi dalam presentasi anterior, fleksi kedua
tungkai belakang (Sungsang) dalam presentasi posterior, atau kembar dapat
menyebabkan distosia. Penyebab paling umum distosia pada sapi adalah
disproporsi feto-panggul. Situasi ini paling umum terjadi pada sapi muda di mana
janin memiliki ukuran normal untuk berkembang biaknya tetapi panggul ibu
memiliki ukuran yang tidak mencukupi (Relatif lebih dari ukuran) atau janin
mungkin luar biasa besar dan tidak dapat dikirim melalui saluran panggul dengan
ukuran normal (Abera, 2017).

2.3 Posisi Abnormal Pada Fetus


Adapun posisi posisi abnormal pada fetus yaitu (Jackson, 2013):
1) Presentasi posterior
Presentasi poster bantuknya fetus menghadap ke belakang. Presentasi ini bisa
masuk dalam kategori normal jika postur dan posisi dari fetus mendukung atau
tidak terjadi abnormalitas. Pada posisi ini jika dilakukan palpasi perrektal maka
yang ditemukan dalam rongga pelvis bukan kepala tapi ekor, kaki bekakng, dan
bagian panggul (Jackson, 2013).

Gambar 2.1 Presentasi Posterior (Jackson, 2013).


2) Presentasi tranversal
Presentasi tranversal bisa dalam bentuk dorsotranversal, ventrotanversal, atau
laterotranversal. Bentuk ini bergantung dari bagian ventral, dorsal, atau lateral
tubuh fetus yang menempel pada bagian pelvis. Pada palpasi pereektal presentasi
ini akan terasa jelas dan bila sulit dilakukan penaganan bisa dilakukan sectio
caesaria. Pada pengangan ventrotranvesal lebih mudah karena bagian kaki
berada di pelvis sehingga untuk reposisi berupa rotasi menjadi lebih mudah. Tapi
sebaliknya jika dalam posisi ventrotranversal maupun lateral akan lebih sulit
melakukan reposisi sehingga disarankan untuk melakukan sectio caesaria
(Jackson, 2013).

3
Gambar 2.2 abnormalias presentasi yaitu (a) presentasi ventrotramversal (b)
presentrasi dorsotanversal (Jackson, 2013)
3) Presentasi vertikal
Presentasi vertikal berupa malpresentasi dengan bagian tubuh fetus menghadap
vertikal dibagian inlet pelvis. Bentuk presentasi vertikal bisa dorsoventikal,
lateroventrikal, maupun ventroventrikal (Jackson, 2013).

Gambar posisi sapi distokia (Cady, 2009).


2.4 Prosedur pendahuluan penanganan distokia
2.4.1 Anamnesa
Seiring pemeriksaan awal dan persiapan penanganan distokia sedang
dilakukan, petugas perlu menanyakan riwayat pasien (anamnesis), meskipun
banyak poin juga yang akan muncul dari pengamatan pribadi terhadap hewan
tersebut. Informasi ini harus mencakup: durasi kebuntingan, sejarah pembiakan
sebelumnya, lamanya waktu hewan itu bekerja aktif, sifat merejan kuat atau lemah,
terputus-putus atau teratur, meningkat atau menurun dalam frekuensi, apakah
kantung allantoic pecah, kantung amnion muncul di vulva atau tidak. Informasi ini
berguna dan perlu untuk pemeriksaan dan penanganan distokia yang cermat
(Moges, 2016).
Pada keadaan darurat yang serius kadang sulit melakukan pengambilan
riwayat kasus lengkap namun bila memungkinkan hal ini tetap harus dilakukan.
Dokter yang belum terbiasa dengan model manajemen klien, ada baiknya untuk

4
mendapatkan ringkasan singkat kasus distokia sebelumnya, manajemen peternak
dan informasi mengenai sapi jantan yang digunakan untuk periode kawin. Untuk
menghemat waktu, sebagian besar informasi ini dapat digali selama percakapan saat
evaluasi klinis berlangsung. Penting untuk mengetahui berapa lama hewan tersebut
telah merejan. Penting juga untuk menentukan apakah parturisi dimulai secara
prematur atau pada masa yang cukup. Kemajuan persalinan dapat dinilai dari durasi
dan intensitas kontraksi persalinan, saat pecahnya membran fetus dan munculnya
bagian fetus pada vulva (Abera, 2017).
2.4.2 Pemeriksaan
Pemeriksaan umum pasien yang mengalami distokia meliputi kondisi fisik
apakah kurus atau terlalu gemuk, atau dalam kondisi baik. Jika hewan itu berbaring,
dokter hewan harus menentukan; apakah bisa berdiri atau lelah atau terpengaruh
dengan kelumpuhan obturator. Pulsus, suhu dan respirasi harus diperhatikan. Pada
kebanyakan kasus distokia denyut nadi dan tingkat respirasi meningkat secara
moderat dan suhunya sedikit lebih tinggi dari biasanya karena usaha parturisi
(Moges, 2016). Sapi matur dan sapi dara harus diberi waktu yang cukup lama untuk
melahirkan anak sapi secara spontan. Jika waktu istirahat yang cukup atau tahap
pertama atau kedua persalinan terlampaui, pemeriksaan diindikasikan. Sapi dara
harus diberi waktu lebih lama untuk pengiriman spontan daripada yang dibutuhkan
pada sapi pluripara (Noakes et al., 2001).
Mengetahui kejadian parturisi normal penting untuk mendiagnosis dan
mengobati kasus distokia; pada tahap persiapan atau tahap 1 yang berlangsung dari
2 sampai 6 jam, setiap anak sapi berputar ke posisi tegak, kontraksi uterus dimulai
dan kantung air dikeluarkan; Sementara pada saat melahirkan atau tahap 2 yang
berlangsung selama satu jam atau kurang, sapi yang biasanya berbaring, fetus
memasuki jalan lahir, kaki depan menonjol dan persalinan fetus selesai. Karunkula-
kotiledon berelaksasi dan dalam pembersihan atau tahap 3 yang berlangsung dari 2
sampai 8 jam, kontraksi uterus berlanjut untuk mengeluarkan plasenta (Abera,
2017).
Sifat leleran vulva, apakah berair, mucoid, darah, atau fetid akan sering
mengindikasikan kondisi fetus. Jika banyak darah segar yang muncul, luka pada
jalan lahir mungkin terjadi karena adanya intervensi dari pemilik atau orang lain.
Karakter membran fetus jika menggantung dari vulva adalah bantuan lebih lanjut
dalam menentukan kondisi fetus dan lamanya distokia sudah ada. Jika sebagian
fetus menonjol dari vulva, kondisi dan posisi dan postur tubuh harus diamati. Vulva
itu sendiri harus diamati untuk mendapatkan informasi tentang jumlah edema atau
trauma yang hadir sebagai indikasi lamanya distokia telah ada (Moges, 2016).
Gerakan fetus harus diperhatikan di sisi kiri sapi dan jika ini kuat, ini
menunjukkan pemisahan plasenta yang menyebabkan anoksia fetus dan
hipermotilitas. Setelah amnion pecah, fetus diperiksa dengan tangan untuk
menentukan presentasi, posisi dan postur tubuhnya (Kumar, 2009).
2.4.3 Pemeriksaan klinis

5
Pemeriksaan spesifik atau klinis yang terdiri dari pemeriksaan saluran
genital dan fetus yang terperinci dan harus dilakukan hanya setelah hewan
terkendali dengan baik, karena operasi obstetrik biasanya mengikuti segera setelah
pemeriksaan ini. Pada rentang ternak, parasut yang ditata dengan baik diinginkan,
atau sapi bisa diikat dengan kencang dengan tali di sudut sebuah kotak besar. Jika
mereka menendang, ujung hidung akan sering mengalihkan perhatian mereka
(Abera, 2017). Hewan bisa menjadi sangat agresif dan berpotensi sangat berbahaya
pada saat parturisi, petugas harus memastikan keselamatan mereka sendiri selama
pasien diperiksa dan dirawat. Genitalia eksternal hewan dan struktur sekitarnya
harus dicuci secara teliti dengan antiseptik ringan. Operator harus mencuci dan
melumasi lengannya dengan antiseptik sebelum melakukan pemeriksaan terhadap
jalan lahir dan fetus (Kumar, 2009).
2.4.4 Alat-alat
2.4.5 Obat-Obatan
2.5 Teknik Penanganan Distokia
2.5.1 Observatif
Dalam beberapa keadaan seperti adanya vesikus amniotik mendekati
saluran panggul dan ketika tonus uterus dianggap memuaskan dapat diputuskan
untuk menyarankan periode menunggu terkontrol. Periode tersebut harus selalu
memiliki batas waktu setelah itu, jika kejadian yang diantisipasi belum terjadi
periode menunggu lebih lanjut atau pengobatan alternatif akan digunakan. Penting
bahwa kapan pengobatan konservatif seperti itu digunakan, dan terutama ketika
klien meninggalkan operasi, pengaturan dibuat untuk laporan yang akan diberikan
kepada ahli kebidanan mengenai kemajuan dalam interval waktu yang terbatas.
Kontak harus dipelihara dengan pemilik sampai ada penghentian kasus yang
berhasil (Jackson, 2004).
2.5.2 Manipulatif
Terdapat beberapa tehnik manipulatif pada penanganan distokia yaitu (Abera,
2017) :
a. Mutasi
Ini didefinisikan sebagai proses dimana janin direstorasi untuk presentasi
normal, posisi dan postur dengan tolakan, rotasi, versi, atau perpanjangan
ekstremitas. Abnormalitas postur janin umumnya lebih mudah untuk diperbaiki
ketika bendungan berdiri. Setelah dokter hewan membawa setiap bagian janin ke
dalam postur normal, penyebab distokia biasanya lega dan janin akan dikeluarkan
secara normal, atau partus dibantu atau diakhiri oleh traksi. Jika mutasi tidak dapat
diselesaikan dalam 15 hingga 30 menit, metode alternatif untuk pengiriman harus
dipilih.
b. Repulsion
Repulsion, kadang-kadang disebut retropulsi, terdiri dari mendorong janin
keluar dari panggul induk atau saluran lahir ke rongga perut dan rahim, di mana
ruang tersedia untuk koreksi posisi atau postur janin dan ekstremitasnya. Biasanya

6
diperlukan karena jalan lahir atau rongga panggul sangat sempit dan membatasi
sehingga tidak mungkin untuk memperbaiki penyimpangan dalam posisi atau
postur tanpa menyediakan lebih banyak ruang untuk memanipulasi janin atau
ekstremitas panjang. Pengusiran bisa dilakukan oleh lengan operator, lengan
asisten, atau oleh repeller kruk. Repulsi sulit atau tidak mungkin pada hewan
berbaring yang berbaring di tulang dada, karena visera perut mendorong janin
kembali ke arah panggul. Jika hewan telentang itu harus diletakkan di sisinya
dengan empat kakinya diperpanjang. Janin dan saluran lahir harus dilumasi dengan
baik dan 3 sampai 5 liter pelumas berbasis air dapat dengan lembut diperkenalkan
di sekitar janin melalui tabung perut oleh sarana pompa. Mungkin perlu untuk
menghilangkan straining perut dengan anestesi epidural, tetapi upaya pengusiran
bendungan tidak akan tersedia untuk pengiriman janin. Perawatan harus dilakukan
untuk memukul mundur janin, karena ruptur uteri dapat terjadi akibat tekanan yang
berlebihan.
c. Rotasi
Ini didefinisikan sebagai memutar janin pada sumbunya memanjang untuk
membawanya dari dorso-ilial atau posisi dorso-pubis ke posisi dorso-sacral. Rotasi
parsial juga merupakan komponen penting dari teknik pengiriman vagina rutin
untuk memastikan bahwa pinggul janin memasuki panggul induk pada diagonal.
Dalam banyak kasus, rotasi dapat dilakukan oleh tangan dan lengan operator.
Dengan menggenggam humerus dari ekstremitas ventral dekat sendi bahu, operator
mengangkat janin ke atas dan medial. Atau, anggota badan janin dapat disilangkan
dan kekuatan rotasi diterapkan untuk membawa janin ke posisi dorso-sacral. Dalam
kasus yang sulit, penggunaan batang detorsion mungkin diperlukan, tetapi kekuatan
yang berlebihan dapat mengakibatkan cedera pada bendungan dan janin harus
dihindari.
d. Version
Ini didefinisikan sebagai rotasi janin pada sumbu transversalnya menjadi
presentasi anterior atau posterior. Biasanya terbatas pada 90 derajat dan upaya
untuk mengubah presentasi ekor ke presentasi kranial tidak mungkin berhasil dan
umumnya akan menyebabkan robekan uterus.
e. Tarikan
Ini adalah penarikan janin dari bendungan melalui jalan lahir dengan cara
penerapan kekuatan luar atau traksi. Penerapan gaya eksternal digunakan untuk
menarik bagian-bagian janin yang disajikan dan untuk mendukung, atau mengganti
kekuatan induk. Kekuatan semacam itu diterapkan dengan tangan atau melalui
medium jerat atau kait. Limb-snares dipasang di atas fetlock dan snare kepala dapat
diterapkan dengan mana loop ditempatkan di mulut dan di atas polling dan di
belakang kedua telinga dengan meninggalkan kedua ujung tali yang menonjol dari
kekuatan tambahan yang dapat digunakan. Kekuatan yang berlebihan tidak tepat
diterapkan dapat menyebabkan beberapa indikasi untuk operasi caesar termasuk
kebesaran janin, trauma ke janin. Pada sapi, dirasakan bahwa disproporsi feto-
panggul yang baik, pelebaran yang tidak lengkaptarikan terkoordinasi dari empat

7
orang rata-rata harus serviks, torsion uterus yang tidak dapat direduksi, hidrops dari
batasi. Dalam traksi presentasi posterior dapat diterapkan janin, hidrops allantois
atau kelainan presentasi, ke pastern janin atau di atas hook dengan menggunakan
posisi atau postur, hernia ventral dan kasus yang berkepanjangan rantai kandungan.

2.5.3 Obat
Penggunaan obat ecobolic spesifik seperti oksitosin, kalsium atau terapi
glukosa diperlukan dalam kasus-kasus di mana kekurangan kalsium. Untuk kasus
torsi uterin, diberikan obat antibiotik dan anti steroid obat inflamasi. Prostaglandin
F-2 alpha digunakan terutama untuk luteolytic, memiliki efek untuk memicu onset
estrus yang dapat diprediksi dalam berbagai spesies. PGF2 alpha menyebabkan
kontraksi uterus yang ditandai dengan keluarnya fetus dari uterus. Kekurangan
estrogen dianggap sebagai salah satu penyebab penting kegagalan pelebaran serviks
karenanya diinjeksikan estrogen seperti estradiol valerat 20-30 miligram secara
intramuskular dapat membantu pelebaran serviks, estrogen harus diberikan dengan
hati-hati dalam serviks yang tertutup sepenuhnya karena dapat membuat uterus
ruptur karena kontraksi yang kuat. Demikian juga, suntikan oksitosin 20 – 40
melalui intravena atau intramuskular dapat diberikan untuk kontraksi uterus untuk
mempengaruhi pelebaran serviks pelebaran (Mekonnen and Nibret, 2016).
Penanganan maserasi fetus yang dapat dilakukan dengan mengeluarkan
tulang fetus (sulit dan mahal), pengeluaran nanah dengan hormon PGF2alpha /
estrogen atau dengan pertimbangan ekonomis hewan dijual/ dipotong. Terapi yang
dapat dilakukan untuk mumifikasi fetus yaitu dengan injeksi stilbestrol secara
intramuskular dengan dosis 50-80 mg atau dengan injeksi PGF2alpha (Affandhy et
al., 2007).
2.5.4 Bedah
Caesarian section adalah disebut sebagai cesarotomy atau hysterectomy ialah
pengeluaran fetus dengan insisi melalui dinding perut dan rahim. Indikasi
dilakukannya caesarian section yaitu distokia (persalinan yang sulit). Distokia
dapat terjadi karena fetus memiliki ukuran yang besar, ukuran pelvis yang kecil,
trauma pelvis, dilatasi yang tidak cukup serta malposisi dari fetus (Tear, 2012).
Operasi caesar adalah prosedur obstetri rutin dalam praktik ternak yang
memiliki tingkat kelangsungan hidup induk dan fetus yang tinggi lebih cepat dan
lebih aman daripada fetotomi. Kebutuhan untuk intervensi mendesak ditunjukkan
jika ada bukti hipoksia janin seperti yang ditunjukkan oleh gerakan hiperaktif
pengusi, dapat diidentifikasi dalam cairan ketuban. Indikasi untuk operasi ini adalah
untuk melahirkan janin ketika persalinan normal sulit atau tidak diinginkan.
Paravertebral atau anestesi epidural lumbar dianjurkan dalam keadaan telentang.
Ada banyak tempat insisi untuk operasi ini: antara vena mammary dan garis tengah,
sayatan sisi miring, ke bawah dan ke depan dari sedikit di bawah sudut eksternal
ilium, sayatan vertikal pada fossa paralumbar (sebaiknya dari sisi kiri untuk
menghindari omentum dan usus). Analisis kasus yang dipublikasikan menunjukkan
bahwa enam indikasi utama berikut secara kumulatif untuk 90% dari semua operasi

8
caesar: disproporsi fetomaternal atau fetopelvic. Dilatasi pada serviks, torsi uterus
yang tidak dapat dikoreksi sebaliknya, monster janin, disposisi janin yang salah
(presentasi, posisi atau postur), emfisema janin. Pilihan posisi pasien untuk operasi
caesar adalah berdiri (cocok untuk fossa paralumbar kiri atau kanan dan
pendekatan miring lateral) bagian punggung (cocok untuk garis tengah ventral dan
pendekatan paramedian); recumbency sternal (cocok untuk fossa paralumbar kiri
atau kanan); lateral recumbency (cocok untuk pendekatan ventrolateral dan low-
flank). Pilihannya tergantung pada preferensi ahli bedah, perilaku hewan, serta
fasilitas yang tersedia. Seekor sapi mampu mentoleransi operasi saat berdiri,
pendekatan fossa paralumbar kiri atau panggul adalah teknik standar untuk janin
yang hidup atau mati, janin yang tidak terkontaminasi (Mekonnen and Nibret,
2016).
2.5.5 Euthanasia
Euthanasia adalah kegiatan yang umum dan penting dari kedokteran hewan
pada sapi. Euthanasia berasal dari kata Yunani yang eu berarti baik dan thanatos
yang berarti kematian (Cockcroft, 2015). Ketika kebuntingan memperburuk kondisi
bagi induk dan anak ketika proses kelahiran dimulai, lebih baik dilakukan
euthanasia (Noakes et al., 2016).

9
Bab III
Materi dan Metode
3.1 Materi
3.1.1 Alat
a. Buku
b. Kursi
c. Meja
d. Papan tulis
e. Pulpen
f. Spidol
3.1.2 Bahan
a. Kertas yang berisikan kasus-kasus
3.2 Metode
a. Melakukan persiapan alat dan bahan
b. Kertas berisikan kasus dibagikan ke setiap kelompok
c. Setelah itu, seluruh kelompok mengerjakannya selama 15 menit, lalu dikumpul
ke asisten
d. Lalu asisten membagikan satu persatu kertas berisikan kasus.
e. Setelah itu, satu kelompok akan membacakan hasil diskusi mereka, lalu akan
ditanggapi oleh kelompok yang lain
f. Diskusi berjalan dengan tertip. Setelah itu asisten menjelaskan mengenai
diagnosis yang tepat (penyakit yang tepat) sesuai dengan kasus yang diberikan.

10
Bab IV
Hasil dan Pembahasan
4.1 Hasil
4.1.1 Kasus 1
H. Alif Daeng Opel mempunyai sapi betina yang sedang birahi, kebetulan
tetangga H.Alif dg. Opel, yakni Hj. Fadil Fidin mempunyai beberapa sapi jantan,
setelah berdiskusi, drh. Imran yang kebetulan anak dari H. Alif Daeng Opel
menghubungi finas peternakan kabupaten sudiang. Setelah mengetahui hal
tersebut, dinas peternakan bersama drh. Imran memeriksa sapi dinyatakan telah
bunting. Memesuki bulan ke-5, ukuran abdomen sapu sangat besar dan setlah
diperiksa oleh drh. Adi bin slamet, sapi tersebut tenyata bunting kembar.
Memsuki minggu ke2, bulan ke7 intensitas ukuran abdomen sapi meningkat
pesat sementara nafsu makan sapi kian menurun dan sapi sesekali mengejan dan
terengah engah, 2 hari kemudian, drh. Imran melakukan palpasi rectal dan fetus
tidak dapat terava. Memsuki bulan ke 8, sapi mengalami rebah dan sulit berdiri.
4.1.2 Kasus 2
Dato’ oca neniliki peternakan yang cukup besar didaerah sulawei selatan. Namu,
sesuatu kerika terdapat salah satu sapunye yang telah di IB sebelumnya
mengalami kelainan. Sapi yang diduga bunting ini mengelurkan cairan berbau
busuk dari organ kelaminnya. Maka dato’ oca memutuskan untuk memanggil
drh. Jestopel untuk memeriksa sapi tersebut. Pada pemeriksaan klinis duh dan
denyut nadi norma dan tidak ada nafsu makan, dehidrasi sedang, lemah dan berat
badan menurun. Sedangkan pada pemeriksaan per-reltal dirasakan adanya tulag
fetus di uterus terikat dengan mengelurkan cairan bernanah berbubusuk dari
vulva. Terdengar suara kreping tulang jelas di cornua uteri. Pemeriksaan
pervagina; mengungkapkan serviks ganya dengan jari dan fetus dapat teraba
dengan posisi longitudinal posterior.
4.1.3 Kasus 3
Peternakan sapi “Maju Mundur” milik juragan H. Imran Makmur menghubungi
petugas pinrang sore tadi. H.imran makmur memiliki nafsu makan yang
menurun adan tetapi sapi tersebut terlihat gemuk. Setelah petugas datang
kelokasi, ternyata salah satu sapi betina milik H.Imran sudah rebah dan ketika
berdiri sapi tersebut terlihat mengalami tremor dan terlihat ketikseimbangan saat
berdiri. Dan ternyata sapu tersebut sudah kawin sejak 8 bulanyang lalu. Pada
saat membuang air kecil bau urine sapi sangat khas.
4.1.4 Kasus 4
Peternakan sapi “Maju Jaya” milik h. mawar merupakan speernakan terbesar
yang memiliki kandang kolektif. Salah satu betina di kandag tersebut sejak 10
bulan yang lalu memperhihatkan tanda klinis layaknya sapi bunting seperti
pembesaran abdomen tetapi sapi tidak memperlihatkan pembesaran kelenjar
mammae. Hasil palpasi rektal menunjuka uterus membesar dan mengeras pada
salah satu sisi serta tidak ada desiran arteri uterima mediana dan ketika ovarium
dirabah terdapat penonjolan folikel

11
4.2 Pembahasan
4.2.1 Kasus 2
Diagnosa dari kasus ini yaitu hidrop allantois dengan patognomonisnya
yaitu tidak nafsu makan tapi mengalami peningkatan berat badan serta terjadi
pembesaran abdomen karena cairan allantois yang banyak dan menekan rongga
thoraks dan menyebabkan dyspnoe. Penanganan yang dilakukan untuk kasus ini
yaitu terlebih dahulu dilakukan aspirasi lalu dilakukan tindakan selanjutnya yaitu
operasi caesar atau fetotomi dan apabila prognosanya infaustai sebaiknya dilakukan
afkir atau euthanasia.
4.2.2 Kasus 2
Diagnosa kasus ini yaitu maserasi fetus dengan patognomonisnya yaitu
leleran yang berbau busuk terlihat divulva, uterus yang diraba keras dan menonjol
yang diduga adalah sisa-sisa tulang dan terdapat bekas pertumbuhan corpus luteum.
Penyebab kasus ini adanya infeksi dari bakteri yang berasal dari keadaan sekitar
kandang yang terawatt disertai saluran pembuangan yang penuh. Penanganan yang
tepat untuk kasus ini yaitu pengambilan sisa-sisa tulang dengan palpasi rektal lalu
bersihkan dengan flushing, pemberian antibiotic dan juga dapat dilakukan dengan
operasi caesar. Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah kasus ini yaitu
pembersihan kandang serta pembersihan saluran pembuangan yang ada di dekat
kandang.
4.2.3 Kasus 3
Diagnosa dari kasus ini yaitu mumifikasi fetusi dengan patognomonisnya
yaitu sudah bunting selama 10 bulan, dimana sapi hanya bunting selama 9 bulan,
peternakan memiliki kandang kolektif dimana jantan dan betina berada dalam satu
kandang, pembesaran abdomen dan hasil palpasi rektal menunjukkan uterus
membesar dan mengeras pada salah satu sisi serta tidak ada desiran arteri uterine
mediana dan ketika ovarium diraba terdapat penonjolan folikel ini membuktikan
bahwa fetus yang berada di dalam uterus sudah mati dan mengeras. Penanganan
yang tepat untuk kasus ini yaitu penyuntikan hormone PGF2 alpha untuk
melisiskan corpus luteum.
4.2.4 Kasus 4
Menimbulkan adanya infeksi akibat proses PKB yang tidak tepat sehingga
dapat menimbulkan infeksi pada organ reproduksi. Adapun pertimbangan lainnya
yaitu adanya pembesaran kedua sisi abdomen pada sapi yang telah di PKB pada
saat drh.Alfiah ingin melakukan palpasi rektal tercium bau tidak sedap dari saluran
reproduksi sapi dan ketika ovarium diraba tidak terdapat pertumbuhan CL.

12
Bab VI
Kesimpulan
1. Distokia didefinisikan sebagai kesulitan melahirkan atau ketidakmampuan
untuk dikeluarkan anak dari uterus melalui vagina sedangkan eutokia adalah
kelahiran yang normal
2. Penyebab distokia yaitu terbagi atas dua yaitu penyebab dasar dan penyebab
langsung
3. Adapun prosedur penanganan distokia yaitu anamnesa, pemeriksaan,
pemeriksaan khusus, alat dan obat-obatan
4. Adapun teknik penanganan distokia yaitu konservatif, manipulatif, obat, bedah
dan euthanacia

13

Anda mungkin juga menyukai