Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PRAKTIKUM ILMU KEBIDANAN DAN KEMAJIRAN

VETERINER DAN SATWA AKUATIK

(DISTOKIA DAN PENANGANANNYA)

NAMA
NIM
KELOMPOK
ASISTEN

:
:
:
:

MUHAMMAD RIFKI RAJAB


O111 12 259
5 (LIMA)
WAHYU ANDRY LESMANA

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
I. Tujuan

Tujuan dari praktikum distokia dan penanganannya yaitu mahasiswa dapat


menjelaskan keadaan distokia pada hewan beserta cara penanggulangannya.
II. Tinjauan Pustaka
Distokia adalah suatu gangguan dari suatu proses kelahiran atau partus,
yang mana dalam stadium pertama dan stadium kedua dari partus itu keluarnya
fetus menjadi lebih lama dan sulit, sehingga menjadi tidak mungkin kembali
bagi induk untuk mengeluarkan fetus kecuali dengan pertolongan manusia.
Pada umumnya kejadian distokia lebih sering terjadi pada sapi perah
disbanding sapi potong.
Sebab-Sebab Dasar Distokia
Sebab-sebab dasar distokia antara lain :
1. Faktor Lingkungan
a. Pakan; Hewan yang diberi makanan yang jelek dan berada pada
kondisi yang buruk dapat mengalaami tingkat distokia yang
tinggi.Pemberian makanan yang banyak dapat meningkatkan berat
anak, timbunan lemak intrapelvis, distokia dan risiko laserasi
vagina
b. Pengawasan, Kelahiran sapi harus diawasi tetapi tidak secara
mencolok oleh anak kandang yang berpengalaman. Walaupun
pengawasan yang berlebihan dapat mengarah pada diagnose
distokia yang berlebihan, pada beberapa hal menyebabkan
penurunan angka kematian anak. Gangguan terhadap sapi tidak
lama menjelang kelahiran dapat meningkatkan insiden distokia.
c. Penyakit, Hipokalsemia saat kelahiran adalah salah satu penyebab
inersia uterine premier. Beberapa kelompok ternak dengan penyakit
seperti salmonellosis dan burcelosis dapat mengalami peningkatan
insiden distokia, selain masalah-masalah lain.
d. Induksi kelahiran, Walaupun hal ini dapat mengurangi distokia
sehubungan kaitannya dengan disproporsi fetopelvis, insiden
maldisposisi fetus, kegagalan serviks untuk dilatasi, dan retensi
membrane fetus dapat meningkat.
2. Faktor Intrinsik
a. Umur, Insiden distokia yang lebih tinggi terlihat pada sapi dara
yang dikawinkan sewaktu muda, yang pertumbuhannya jelek, serta
kelahiran Pertama. Insiden distokia dapat turun dengan
meningkatnya ukuran dan berat induk.
b. Ras, Terlihat adanya perbedaan insiden distokia berdasarkan ras,
dengan angka teringgi pada ras sapi continental. Lama kebuntingan

pada ras ini lebih panjang dan ukurana anak sapi dibandingkan
tubuh induk lebih besar.
c. Berat badan, Banyak penelitian yang menunjukka bahwa insiden
distokia menigkat dengan meningkatnya berat badan anak.Anak
sapi yang lebih berat sering mempunyai ukuran tubuh yang lebih
besar dibandingkan dengan yang lebih ringan.Anak sapi jantan
lebih berat dan sering mempunyai masa kebuntingan yang lebih
lama daripada betina. Anak sapi kembar lebih kecil dari pada yang
tunggal tetapi insiden pada kelahiran ganda lebih tinggi akibat
alasan lain diluar alasan ukuran.
d. Lama Kebuntingan, Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada
beberapa ras continental kebuntingan lebih lama, sampai 290 hari
dibandingkan lama normal 283 hari. Pada sapi bunting yang lebih
tua berat anak sapi dapat meningkat rata-rata 0,5 kg/hari dan
panjang tulang serta panjang fetus juga meningkat. Kedua factor
tersebut meningkatkan insiden distokia.
Sebab-Sebab Langsung Distokia
Penyebab terjadinya distokia pada sapi ditinjau dari dua aspek yaitu :
1.
Aspek induk antara lain: kegagalan mengeluarkan fetus karena
gangguan pada uterus (gangguan myometrium, infeksi uterus,
penyakit sistemik, herediter), dan gangguan pada bagian abdominal
(ketidakmampuan merejan karena umur, kesakitan, kelemahan, ruptur
diafragma).
2.
Aspek fetus antara lain : defisiensi hormon (ACTH/cortisol, ukuran
fetus terlalu besar, jenis kelamin fetus, kelainan posisi fetus serta
kematian fetus dalam rahim).

Prosedur Pendahuluan Penanganan Distokia


Semua kasus kebidanan harus selalu dianggap berpotensi darurat dan
penanganannya tidak boleh ditunda.Beberapa klien yang berpengalaman
mungkin dapat memberikan informasi yang dapat diandalkan melalui telpon,
namun hal tersebut tersebut tidak boleh menggantikan pemeriksaan klini
hewan untuk memastikan semua aspek dari kasus tersebut.adapun prosedur
pendahuluan yang harus diperhatikan pada penanganan distokia yaitu:
Pemeriksaan Antenatal

Riwayat Kasus
Pada kasus darurat yang serius, mungkin tidak cukup waktu untuk
mengambil riwayat kasus secra lengkap, tetapi terdapat mungkin hal ini harus

dilakukan.Banyak informasi yang dapat segera diperoleh dari pemilik hewan.


Butir-butir berikut harus diketahui:
1. Anamnesa (sejarah, lama kebuntingan, sejarah perkawinan, kejadian
abnormal pada proses partus sebelumnya, adanya penyakit, berapa lama
hewan mengalami perejanan, gelisah, anoreksia)
2. Melihat apakah kantong allantois sudah pecah, kantong amnion berada
pada vulva, apakah fetus sudah tampak
3. Apakah sudah terjadi traksi pada fetus
4. Berapa kali ternak melahirkan
5. Bagaimana kondisi ternak (berdiri atau berbaring)
6. Melakukan pemeriksaan umum terhadap kondisi induk (melihat pulsus,
napas, suhu badan, kekuatan merejan, terjadi paresis puerpuralis atau
paraplegia, keadaan vulva dan terjadinya perdarahan serta posisi dari
fetus)
7. Melakukan pemeriksaan khusus (melihat kondisi vulva, kondisi fetus di
dalam uterus, presentasi dari fetus dan kepentingan dalam pemakaian
anesthesi epidural)
Penanggulangan Distokia
Penanggulangan distokia yang dapat dilakukan antara lain:
a. Penanganan konservatif
Dokter hewan dapat mempertimbangkan bahwa kasusnya belum
memerlukan bantuan dan memutuskan untuk memberi pasien periode
waktu tertentu sebelum melakukan tindakan lebih lanjut.
b. Penanganan manipulatif
Kelahiran vagina dengn bantuan setelah perbikan berbagai
maldisposisi fetus.
c. Terapi obat untuk meningkatkan aktivitas miometrial
Penggunaan obat ekbolik khusus seperti oksitosin. Terapi kalsium
atau glukosa dapat diperlukan dalam kasus yang diduga terjadi
defisiensi.
d. Penanganan bedah
Pada operasi sesar uterus dibuka dengan pembedahan untuk
memungkinkan pengambilan anak melalui laparatomi. Pada kejadian
kerusakan uterus yang berat sewaktu pembedahan maka perlu
dilaukan histerektomi. Fetotomi (kadang disebut embriotomi adalah
pemotongan oleh dokter hewan yang bekerja lewat vagina dari fetus

menjadi bagian-bagian kecil yang dapat dengan mudah dikeluarkan


melalui saluran peranakan.
Teknik Penanggulangan Distokia
a. Repulsi, yaitu mendorong fetus sepanjang saluran peranakan kearah
dalam uterus. Memakai tangan pelaksanaanya dengan presentasi fetus :
1. Anterior, tangan fetus antara bahu dan dada atau bawah leher.
2. Longitudinal posterior, tangan ditempatkan di daerah perineal di
atas arcus ischiadicus.
b. Mutasi, yaitu cara penanggulangan distokia dimana fetus dikembalikan
ke presentasi, posisi dan postur yang noemal melalui repulse, rotasi
versi dan pembentukan atau perentangan ekstremitas.
c. Ekstensi, yaitu pembetulan letak bagian-bagian fetus yang mengalami
fleksi.
d. Rotasi, yaitu memutar tubuh fetus sepanjang sumbu longitudinal (ke
kanan atau kiri). Posisi dorso-ilial atau dorso pubis sering terjadi pada
tortio uterus 90 180 derajat.
e. Versio, yaitu memutar fetus ke depan atau ke belakang.
f. Reposisi dan Retraksi, Retraksi dapat diterapkan setelah dilakukan
reposisi pada kasus malpresentasi, maldisposisi atau malpostur fetus.
g. Fetotomi adalah memotong fetus yang tidak bisa dikeluarkan, menjadi
potongan-potongan kecil yang lebih mudah dikeluarkan melalui
saluran peranakan.
h. Sectio Caesaria. Indikasi sesar pada sapi antara lain disproporsi
fetopelvis, maldisposisi fetus yang tidak dapat dikoreksi secara
manipulatif, torsi uterus yang tidak dapat dibetulkan lagi, dilatasi
serviks atau bagian lain dari saluran peranakan yang tidak lengkap,
monster fetus dan kerusakan berat pada vagina
III.

Materi dan Metode


Metode yang digunakan dalam praktikum distokia dan penanganannya yaitu
berupa peragaan slide. Dalam praktikum dijelaskan beberapa cara
penanggulangan distokia berdasarkan malposisisi fetus.

IV.

Hasil dan Pembahasan


Penangulangan Distokia
1. Presentasi: Longitudinal anterior
Posisi: Dorso sacral
Postur: Unilateral shoulder flexion posture

Prognosa: Fausta
Penanganan : Ujung kaki yang menjulur diikat dengan tali,dan
biarkan
menjulur, kemudian direpulsi, ekstensi bagian bahunya. Ujung
teracak dilindungi agar tidak melukai saluran reproduksi. Tali ujung kaki
kemudian ditarik keluar.

2. Presentasi: Longitudinal anterior


Posisi: Dorso sacral
Postur: Head neck flexion posture dorsal
Penanganan: salah satu kaki fetus di ikat, lalu fetus
direpulsikan kemudian diekstensi sehingga posisi
kepala menghadap ke arah vagina. Setelah posisi
extended, fetus siap untuk diretraksi keluar. Cara
lain jika fetus tidak dapat dikeluarkan dan masih
dalam keadaan hidup adalah dengan operasi caesar.
3. Presentasi: Longitudinal anterior
Posisi: Dorso sacral
Posture: Dog sitting
Prognosa: Fausta
Penanganan: Kaki diikat dengan tali, direpulsi,
ekstensi
kaki
depan,
dibuat
dorsalsacral, ekstensi, kemudian diretraksi.
Penarikan harus cepat karena umbilicus tergencet,
jika tidak fetus akan mati kehabisan nafas.
4. Presentasi: Longitudinal anterior
Posisi: Dorso sacral
Posture : Vertex Posture
Prognosa: Fausta-Infausta
Penanganan: Salah satu kaki fetus diikat, lalu fetus
direpulsikan kemudian dirotasi sehingga posisi
kepala tepat sedikit menengadah dan tidak
mengganjal kembali pada tulang pubis. Setelah
posisi extended, fetus siap untuk diretraksi keluar.
Cara lain jika fetus tidak dapat dikeluarkan dan
masih dalam keadaan hidup adalah dengan operasi
cesar.

5. Presentasi : longitudinal posterior


Posisi: Dorso illial
Posture:
Bilateral
hip
flexion
(BreechPosture)
Prognosa: Infausta

posture

Penanganan: ikat salah satu kaki fetus sebagai acuan, lalu dengan bantuan
porok kebidanan fetus diekstensi, kemudian di keluarkan kaki belakangnya
dan diretraksi perlahan sesuai dengan irama kontraksi dari induk.

6. Presentasi: Ventro transversal presentation


Posisi: chepalo pubic
Postur:Dorso illiaca sinister/dexter
Prognosa: Fausta
Penanganan: ikat salah satu kaki depan
fetus, lau dengan bantuan porok kebidanan
fetus didorong (ekstensi), lalu dirotasi dan siap untuk diretraksi.
7. Presentasi: longitudinal posterior
Posisi: Dorso sacrum
Posture: Hock flexion posture
Prognosa: fausta-infausta
Penanganan: terlebih dahulu harus dilakukan palpas
i
vaginal untuk mendapatkan kaki fetus, setelah
dirasa dapat maka kaki fetus lalu diikat dengan tali,
posisi tubuh di repulse lalu diekstensikan untuk membenahi posisi badan
dari fetus. Lalu dengan perlahan dilakukan versio, agar pas posisi depanbelakang, kemudian dilakukan retraksi dengan
perlahan sesuai irama kontraksi induk.
8. Presentasi: longitudinal anterior
Posisi: Dorso sacrum
Postur: bilateral hip flexio posture
enanganan: pada posisi seperti gambar diatas,
maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mengikat kaki depan fetus
tersebut, lalu dengan bantuan porok kebidanan, posisi fetus direpulsi.
Setelah mengalami repulse maka hal selanjutnya adalah ekstensi, dalam
hal
ini
adalah pembenaran posisi untuk kaki belakang, setelah posisi sesuai dengn

posisi normal maka dilakukan penarikan fetus atau retraksi sesuai dengan
kontraksi dari uterus induk.
Treatment setelah Penanganan Distokia
Setelah kelahiran fetus, uterus harus selalu diperiksa untuk mendapatkan
bukti fetus lainnya.Saluran peranakan lalu diperiksa untuk mendapatkan tandatanda kerusakan dan pendarahan.Involusi uterus biasanya mulai segera setelah
kelahiran pedet tersebut, jika tonus uterus lemah, maka 20 IU oksitosin harus
diberikan dengan injeksi intramuscular.Dan kemudian ambingnya diperiksa
kembali untuk mengetahui gejala mastitis (Jackson, 2007).
Anak sapi harus di dorong untuk menghisap kolostrum dalam 6 jam
kelahiran. Pusarnya harus di cekupkan ke dalam iodine atau disemprot dengan
aerosol antibiotik sesegera mungkin setelah lahir.Pusarnya juga harus dioeriksa
berkala setelah lahir untuk memastikan tidak terjadi hemoraghi yang tertunda
dari umbilicus tidak terjadi.Apabila terdapat hal tersebut, pembuluh asal
hilangnya darah harus segera diligasi.Dalam kasus yang terabaikan dimana
terjadi kehilangan darah dalam jumlah cukup besar, maka perlu kiranya
dilakukan transfusi darah (Jackson, 2007).
Pemberian nutrisi pada sapi dan pedet haruslah diperhatikan setelah
dilalukan tindakan, hal ini dikarenakan kondisi tubuh induk dan neonatal
(pedet) dalam kondisi yang lebih lemah dibandingkan dengan kelahiran normal
(eutokia). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian nutrisi ke
pedet antara lain ;

1. Pedet
Kolustrum diberikan pada pedet minimal 3 hari setelah melahirkan.
Pemberian dapat dilakukan 3 jam setelah dilahirkan. Kolustrum
diberikan 2-4 x sehari. Tahapannya yaitu ;
a. Hari 1 ; 5% BB , sekitar 1,5- 2 liter
b. Hari 2 ; 8-10% BB, sekitar 4 liter
Pemberian Calf Starter di berikan pada umur 2 minggu sampai
umur sapih yaitu pakan konsentrat khusus untuk pedet. Pakan ini harus
disukai pedet dengan kandungan TDN 72-75%, PK 16-18% serat kasar
minimal 7% (Sunarko dkk, 2009)
2. Induk
Untuk memenuhi standar kebutuhan pakan sapi perah pada periode
laktasi yang perlu diperhatikan adalah ;

a. Pemberian air secukupnya, ketersediaan air pada sapi perah


merupakan hal penting.
b. Serat Kasar 18-22%
c. Protein Kasar pada awal laktasi sebanyak 16-18% selanjutnya dapat
diturunkan menjadi 14-16%.
d. TDN 64-72%
e. Konsumsi bahan kering pada sapi dengan produksi susu tinggi
adalah 3,5 % BB sedangkan pada sapi produksi susu rendah 2,5-3
%BB (Sunarko dkk, 2009)
V. Kesimpulan
Distokia merupakan suatu kondisi stadium pertama kelahiran (dilatasi
cervik) dan kedua (pengeluaran fetus) lebih lama dan menjadi sulit dan tidak
mungkin lagi bagi induk untuk mengeluarkan fetus. Sebabsebab distokia
diantaranya herediter, gizi, tatalaksana, infeksi, traumatik dan berbagai sebab
lain. Sedangkan eutokia merupakan proses kelahiran yang alami, mudah, dan
aman.
Distokia pada sapi dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Penanggulangan
kasus distokia bergantung pada kondisi induk dan fetus. Perbedaan malposisi
fetus juga menyebabkan adanya perbedaan penanggulangan pada kasus
distokia.

DAFTAR PUSTAKA
Frandson RD, Wilke WL, Fails AD. 2009. Anatomy and Physiology of Farm
Animals. Seventh Edition. Colorado: Wiley-Blackwell.
Jackson, Peter GG. 2013. Handbook Obstetri Veteriner Edisi kedua. UGM Press.
Yogyakarta
Manan, D. 2001. Ilmu Kebidanan pada Ternak. Aceh : Universitas Syah Kuala.
Pangestu, DP. 2014. Status Kebuntingan dan Gangguan Reproduksi Ternak Sapi
Bali Betina di Mini Ranch Maiwa Kabupaten Enrekang. Skripsi, Universitas
Hasanuddin.
Toelihere, M.R. 1979. Ilmu Kebidanan dan Kemajiran. Bandung: Angkasa.

Lampiran

Anda mungkin juga menyukai