Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH MANDIRI KOASISTENSI REPRODUKSI

“SINKRONISASI ESTRUS PADA SAPI DENGAN PREPARAT

HORMON PROGESTERON CIDR”

HALAMAN DEPAN

Disusun oleh :
Muna Fadhilah
20/458208/KH/10578
DEPARTEMEN REPRODUKSI DAN OBSTETRI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas segala rahmat
dan karunia-Nya, penulis mampu menyelesaikan makalah yang berjudul
“SINKRONISASI ESTRUS PADA SAPI DENGAN PREPARAT HORMON
PROGESTERON CIDR” Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi
sebagian dari persyaratan untuk memperoleh derajad dokter hewan.
Dalam penulisan makalah ini, penulis mendapatkan banyak dukungan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih
kepada :
1. Prof. Dr. drh. Siti Isrina Oktavia Salasia, selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
2. Dr. drh. Surya Agus Prihatno, M.P., selaku Kepala Departemen
Reproduksi dan Obstetri Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
3. drh. Erif Maha Nugraha Setyawan, M.Sc., Ph.D., selaku koordinator
Koasistensi Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta dan selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan bagi penulis.
4. Teman-teman kelompok koasistensi A.2020.8 yang telah mendukung
penulis dalam penyusunan makalah ini.

Demikian makalah ini penulis susun, semoga dapat memberikan manfaat


bagi penulis maupun pembaca pada umumnya. Mohon maaf apabila terdapat
kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini.
Yogyakarta, 9 Februari 2021

Penulis

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keunggulan teknologi IB pada sapi antara lain efisiensi pemanfaatan pejantan
unggul, peningkatan mutu genetis sapi-sapi lokal, dimungkinkan perkawinan
silang antar bangsa, dihindari penyakit menular yang ditularkan lewat perkawinan
alam (sexually transmissible diseases), dimungkinkan pemilihan semen pejantan
tertentu dan peningkatan efisiensi pemuliabiakan (breeding efficiency) sapi perah
dan potong. Dengan aplikasi inseminasi buatan juga dimungkinkan persilangan
antar bangsa sapi berbeda, yang secara alami tidak mungkin dilakukan akibat
perbedaan ukuran berat badan. Keberhasilan inseminasi buatan pada sapi dapat
terkait dengan deteksi estrus. Kesulitan dalam hal deteksi estrus pada sapi
diakibatkan tanda-tanda estrus yang tidak begitu terlihat secara visual. Salah satu
penanganan yang dapat menjadi pilihan untuk mengatasi maslah tersebut adalah
sinkronisasi estrus. Sinkronisasi estrus (birahi) adalah cara teknis yang dilakukan
untuk membuat sapi birahi sesuai dengan waktu yang kita kehendaki, dan untuk
suatu populasi tujuanya adalah menghendaki sekelompok sapi birahi secara
serentak (bersamaan). Sinkronisasi estrus juga dapat memperpendek waktu
calving interval (jarak antar kelahiran). Ada hal penting yang masih menjadi
catatan adalah  masih banyak kejadian di lapangan pelaksanaan sinkronisasi estrus
justru menyebabkan keguguran atau kematian embrio dini. Prinsip dari
sinkronisasi estrus adalah adanya hambatan pelebasan luteinizing hormone (LH)
dari kelenjar hipofisis anterior yang menghambat pematangan folikel de graaf
atau menyingkirkan corpus luteum dengan pemberian preparat luteolitik. Dewasa
ini penggunaaan preparat hormon progesteron dengan merek dagang Controlled
Internal Drug Release (CIDR, produksi Eazi-Breed, New Zealand) yang
mengandung 0,3 g progesteron sedang marak dipakai dalam upaya sinkronisasi
estrus pada berbagai hewan ternak. Hasil dari beberapa penelitian dilaporkan
bahwa dengan mengimplan CIDR di dalam vagina selama 7, 12, dan 14 hari pada
sapi Friesian Holstein (Vargas et al., 1994), selama 12 hari pada domba Sufflok
( Fukui et al., 1994), selama 12 hari pada domba St. Croix (Feradis, 1999), dan
selama 7 dan 14 hari pada kambing peranakan Etawah (Ngangi, 2002).

1.2 Tujuan
Makalah ini memiliki tujuan untuk memberikan ulasan tentang literatur
yang berhubungan dengan sinkronisasi estrus dengan preparat hormon
progesterone CIDR.

1.3 Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan pemahaman
mengenai sinkronisasi estrus dengan preparat hormon progesteron CIDR.
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Siklus Estrus dan Peranan Hormonal


Penentuan siklus berahi, lama periode berahi dan waktu inseminasi dapat
diketahui berdasarkan pada perubahan tingkah laku (Mauget et al., 2007). Untuk
memberikan hasil yang maksimal pada reproduksi ternak, diperlukan campur
tangan manusia yang berperan sebagai pengatur berbagai unsur penunjang
keberhasilan reproduksi seperti, pakan pencatatan, kesehatan, serta fertilitas jantan
dan betina (Mauget et al., 2007). Mekanisme terjadinya estrus dan siklus estrus
merupakan hasil kerja kontrol hormon seperti pada gambar 1.

Gambar 1. Mekanisme hormonal dalam siklus estrus (Sonjaya 2007)

Gambar 1 memperlihatkan ketika Hypothalamus mendapatkan rangsangan


maka akan mensekresikan hormon GnRH yang akan merangsang Hipofisa
Anterior untuk mensekresikan hormon FSH dan LH. Hormon pemacu folikel
(FSH) dari Hipofisa Anterior menggalakkan pertumbuhan folikel di ovarium.
Dibawah pengaruh hormon itu satu atau lebih dari satu folikel dapat tumbuh
menjadi cukup besar untuk membentuk benjolan bening dipermukaan ovarium
(folikel matang). Karena pertumbuhan ini, ovarium menghasilkan hormon yang
disebut estrogen, yang menyebabkan sapi dara atau sapi dewasa menampakkan
tanda-tanda berahi. Hormon kedua dari Hipofisa Anterior, yaitu LH untuk
membantu terjadinya ovulasi dan pengawalan pertumbuhan tenunan luteal untuk
membentuk korpus luteum didalam rongga yang ditinggalkan oleh folikel yang 13
pecah. Dibawah pengaruh hormon ketiga dari kelenjar Hipofisa Anterior, hormon
luteotropin, korpus luteum mulai memproduksi hormon progesteron yang
menghambat pendewasaan lebih banyak folikel dan mempersiapkan uterus untuk
menerima dan memelihara ovum yang telah dibuahi. Jika tidak terjadi
pembuahan, korpus luteum akan tetap aktif untuk 17 sampai 19 hari, dan pada
akhir waktu itu FSH memacu folikel lain untuk menjadi masak. Dalam waktu 2
sampai 3 hari cukup estrogen yang terbentuk untuk menyebabkan berahi lagi
(Sonjaya, 2012).
Lama siklus berahi pada sapi dikontrol oleh sekresi progesteron dan CL.
Konsentrasi progesteron akan meningkat setelah ovulasi dan mencapai
konsentrasi maksimum pada hari ke 8-11 dalam siklus berahi. Tingginya
konsentrasi progesteron akan menghambat sekresi GnRH. Pada ternak yang tidak
bunting, dimana prostaglandin disokong oksitosin yang disekresikan endometrium
uterus, CL akan regresi dan konsentrasi progesteron menurun sampai 0,5 ng/ml
dalam waktu 24 jam. Selama siklus berahi, CL merupakan struktur yang penting
dalam hal ukuran dan lama terjadinya. Munculnya dan hilangnya CL bertanggung
jawab terhadap fenomena siklus berahi (Sonjaya, 2007)
Berahi pada sapi biasanya berlangsung selama 12-18 jam. Variasi terlihat
antar individu selama siklus berahi, pada sapi-sapi di lingkungan panas
mempunyai periode estrus yang lebih pendek sekitar 10-12 jam. Hal ini terjadi
dengan penurunan tingkat FSH dalam darah dan penaikan tingkat LH. Sesaat
sebelum ovulasi, folikel membesar dan turgid serta ovum mengalami pemasakan.
Estrus berakhir kira-kira pada saat pecahnya folikel ovari atau terjadinya ovulasi
(Frandson, 1996). Interval antara timbulnya satu periode berahi ke permulaan
periode berikutnya disebut sebagai suatu siklus berahi. Siklus berahi pada
dasarnya dibagi menjadi 4 fase atau periode yaitu proestrus, estrus, meteestrus,
dan diestrus (Hafez, 2000; Marawali, dkk., 2001; Sonjaya, 2007). Berdasarkan
perubahan-perubahan dalam ovaria siklus estrus dapat dibedakan pula menjadi 2
fase, yaitu fase folikel, meliputi proestrus, estrus serta awal metestrus, dan fase
luteal, meliputi akhir metestrus dan diestrus.
Hormon progesteron mulai meningkat pada akhir berahi dengan
terbentuknya Corpus Luteum (CL). Corpus luteum memproduksi hormon
progesteron dan akan bertahan beberapa waktu, dan menunjukan hewan berada
dalam fase luteal (Senger, 2003). Pada akhir fase luteal jika tidak terjadi
kebuntingan, CL akan mengalami regresi atas pengaruh PGF2α yang dihasilkan
oleh endometrium uterus, dengan menurunnya konsentrasi P4 maka akan terjadi
pembentukan folikel baru untuk memasuki siklus berahi yang baru (Senger,
2003). Selama fase luteal, hormon progesteron tinggi karena corpus luteum aktif,
sedangkan hormon LH dan FSH rendah akibat umpan balik negatif dari
Progesteron terhadap Hipotalamus dan Hipofisa Anterior Gambar 2, pada akhir 18
fase luteal, uterus menghasilkan hormon Prostaglandin yang akan melisiskan
Korpus Luteum yang berdampak terhadap penurunan hormon progesteron yang
selanjutnya terjadi peningkatan hormon LH dan FSH disertai pertumbuhan dan
pematangan folikel serta peningkatan estrogen dan akhirnya timbul berahi
Gambar 2.

Gambar 2. Level hormon saat siklus estrus (Mottershead, 2001)


2.2 Sinkronisasi Estrus
Sinkronisasi birahi merupakan suatu cara untuk menimbulkan gejala birahi
secara bersama-sama, atau dalam selang waktu yang pendek dan dapat diramalkan
pada sekelompok hewan. Tujuan sinkronisasi berahi adalah untuk memanipulir
proses reproduksi, sehingga hewan akan terinduksi berahi proses ovulasinya,
dapat diinseminasi serentak dan dengan hasil fertilitas yang normal. Penggunaan
teknik sinkronisasi berahi akan mampu meningkatkan efisiensi produksi dan
reproduksi kelompok ternak, disamping juga mengoptimalisasi pelaksanaan
inseminasi buatan dan meningkatkan fertilitas kelompok (Wenkoff, 1986).
Beberapa metode sinkronisasi estrus telah dikembangkan, antara lain
dengan penggunaan sediaan progesteron, prostaglandin F2a (PGF2a), serta
kombinasinya dengan gonadotropin releasing hormone (GnRH). Pemberian
progesteron berpengaruh menghambat ovulasi, prostaglandin F2a menginduksi
regresi korpus luteum, sedangkan GnRH menambah sinergi proses ovulasi
(Rabiee et al., 2005; Kasamanickam et al., 2006). Suatu implan intravagina
Controlled Internal Drug TM Release (CIDR, Eazibreed, Inter Ag, Hamilton,
New Zealand), merupakan implan progesteron intravagina kini paling banyak
digunakan untuk sinkronisasi estrus pada sapi (Mapletof et al., 2003; Martinez et
al., 2005; Salverson dan Perry, 2007).
Kebanyakan penelitian sinkronisasi estrus dengan implan progesteron
intravagina pada sapi hanya melaporkan kemampuan suatu agen sinkronisasi
untuk menimbulkan estrus dan hasil konsepsinya setelah perlakuan inseminasi
buatan (Fullenwider et al., 2002; Garcia et al., 2004; Crane et al., 2005;
Kasimanickam et al., 2006; Salverso 2006; Cavalieri et al., 2007).

2.3 Penggunaan Preparat Progesteron


2.3.1 Prinsip penggunaan hormon progesteron
Prinsip dari metode ini adalah menghambat sekresi Follicle Stimulating
Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) dari adenohipofisis sehingga
menghambat pematangan folikel de Graaf dan ovulasi sel telur. Pemberian
progesteron akan merubah fungsi ovarium dan dalam dosis yang cukup dapat
menghambat ovulasi. Untuk penyerentakan berahi biasanya dipakai progesteron
atau preparat-preparat progesteron misalnya 6-Methyl-17-Acetoxy Progesterone
(MAP); 6-Chloro-6-didydro-17-Acetoxy Progesterone (CAP) dan Dihydroxy
Progesterone Acetophenide (DHPA) (Toelihere, 1985).
Beberapa penelitian menunjukkan pemberian hormon progesteron pada
sapi secara berulang dapat mengendalikan terjadinya berahi dan ovulasi. Hormon
progesteron merupakan hambatan terhadap pembebasan hormon gonadotrophin
yang menyebabkan hewan tetap berada dalam keadaan anestrus karena tidak
terjadi pertumbuhan folikel. Penggunaan progesteron dalam penyerentakan berahi
pertama kali dilaporkan oleh Ulberg pada tahun 1951, pemberian 50 sampai 100
mg progresteron (P4) setiap hari dari hari ke-15 sampai ke-19 siklus berahi akan
menyebabkan berahi setelah 4,6 hari penghentian penyuntikan. Pemberian P4
tidak selalu memberikan respon yang seragam pada setiap individu ternak.
Keadaan ini terjadi karena perbedaan individual dalam penyerapan hormon
tersebut dan kadar penghambatan dan pemulihan kembali setelah persediaan
hormon di dalam tubuh habis (Toelihere, 1981).
Penggunaan hormon progesteron selama sembilan hari mampu
menimbulkan laju kebuntingan 40% pada sistem peternakan rakyat yang
tradisional dan ekstensif di daerah Lampung (Melasari, 1998). Penggunaan
progesteron dalam penyerentakan berahi akan lebih efektif apabila ternak
memiliki CL. Keberadaan progesteron yang dihasilkan CL memberi-kan respon
berahi dan laju kebuntingan yang lebih baik dibandingkan tanpa kehadiran CL
(Solihati, 1998).

2.3.2 Controlled Internal Drug Release (CIDR)


Controlled Internal Drug Release (CIDR) merupakan alat yang terbuat
dan sebatang silikon berbentuk huruf T dan mengandung 1,9 gram hormon
progesteron untuk hewan besar (seperti sapi dan kerbau) dan 0,33 gram hormon
progesteron untuk hewan kecil (seperti kambing dan domba). Keuntungan
penggunaan alat ini adalah untuk mengontrol siklus berahi, mengatasi problem
fertilitas seperti anovulatori anestrus (ternak yang tidak bersiklus) dan ovarium
yang sistik, serta untuk program seleksi dan transfer embrio (Putri, 2012).
Penggunaan CIDR untuk sinkronisasi estrus sapi Holstein telah dilakukan
di Jepang oleh Vargas et al. (1994) dan menghasilkan sebanyak 90,7% induk
estrus dan 63,3% induk bunting sebagai respon terhadap penggunaan CIDR.
Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa penyuntikan pada saat pencabutan
CIDR tidak berpengaruh terhadap persentase kebuntingan, tetapi berpengaruh
secara nyata terhadap peningkatan kejadian standing estrus dan jumlah CL yang
dihasilkan yaitu rata-rata per induk sebesar 3,1 (Putri, 2012).

2.3.3 Mekanisme Kerja CIDR


Mekanisme kerja dari alat ini, yaitu alat ini dimasukkan dan didiamkan
dalam vagina selama beberapa hari, selanjutnya progesteron yang terdapat di
dalam alat ini akan diserap oleh vagina dan segera disekresikan ke dalam aliran
darah yang akan menghambat pelepasan FSH dan LH dan adenohipofisis melalui
mekanisme umpan balik negatif. Kadar progesteron dalam darah akan meningkat
pada saat alat disisipkan dalam vagina dan tetap stabil dipertahankan selama
periode penyisipan alat ini. Setelah alat ini dicabut terjadi penurunan progesteron
secara mendadak dan mencapai level basal sehingga terjadi feedback positif pada
hipotalamus untuk melepaskan GnRH yang akhirnya terjadi pelepasan hormon
FSH dan LH dari adenohipofisis dan akan terjadi pematangan folikel, berahi dan
ovulasi. CIDR memberikan fertilitas terbaik bila diinsersikan selama 7 sampai 10
hari (Putro, 2008). Pada pemasangan CIDR di vagina dilakukan pada hari ke-0.
Setelah selang 7 hari CIDR dicabut, tetapi 24 jam sebelum pencabutan CIDR di
injeksi PGF2α untuk melisiskan korpus luteum yang tersisa, sehingga akan lebih 5
meminimumkan kadar progesteron setelah CIDR dicabut, sebagai akibatnya
proses estrus dan ovulasi akan menjadi lebih baik ( Putro, 2008).
Terdapat dua cara sinkronisasi berahi, yang pertama dengan melisiskan
corpus luteum misalnya dengan prostaglandin dan yang kedua substitusi fungsi
corpus luteum dengan progestagen. Lisisnya corpus luteum akan diikuti dengan
pembebasan hormon gonadotrophin yang menyebabkan birahi dan timbulnya
proses ovulasinya (Peters, 1986). Substitusi corpus luteum dengan pemberian
progesteron eksogen akan menyebabkan penekanan pembebasan hormon
gonadotrophin dari pituitaria anterior. Penghentian pemberian progesteron
eksogen ini akan diikuti dengan pembebasan hormon gonadotrophin secara tiba-
tiba yang berakibat terjadinya berahi dan ovulasi serentak (Wenkoff, 1986).

2.4 Pelaksaan Sinkronisasi Estrus dengan CIDR


Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rizal (2005) pelaksanaan
sinkronisasi estrus dengan CIDR dibagi menjadi berikut

2.4.1 Implan CIDR


Implant vaginal CIDR dilakukan pada seluruh sapi betina menggunakan
aplikator khusus selama 9 hari. Pemasangan preparat progesteron dilakukan mulai hari
ke-0 (pada saat estrus) dengan cara preparat progesteron dimasukkan kedalam aplikator,
dengan bagian yang berbentuk T pada bagian ujung aplikator. Aplikator diberi gel/pelicin
sebelum dimasukkan kedalam vagina. Rektal dipalpasi untuk meng-fixir serviks.
Aplikator disterilkan terlebih dahulu sebelum digunakan dengan alkohol 70%.
Vulva juga dibersihkan dengan tisu dan dibasahi dengan alkohol 70%. Setelah 9
hari diimplantasikan di dalam vagina, CIDR dicabut.

2.4.2 Pengamatan Estrus


Penngamatan estrus dilakukan 24 jam setelah pencabutan CIDR guna
mengetahui waktu awal munculnya estrus (onset estrus) dengan menggunakan
teaser (pejantan) yang telah di beri apron. Gejala estrus yang timbul diantaranya
vulva merah, panas, dan bengkak, ada tidaknya lendir, saling menaiki sesame
betina, dan diam saat dinaiki teaser.
Timbulnya estrus setelah pencabutan implan CIDR disebabkan karena sapi
betina memasuki siklus estrus baru. Implan CIDR yang mengandung hormon
progesteron akan memberikan efek umpan balik negatif terhadap GnRH sealama
pemasangan implam sehingga terjadi penghambatan sekresi gonadotropin serta
penimbunan gonadotropin di hipofisis anterior. Pada saat pencabutan CIDR,
terjadi penuruna konsentrasi hormon progesteron di dalam darah sehingga umpan
balik negative pun hilang. Fenomena ini disebut rebound effect, sehingga
gonadotropin akan disekresikan dalam jumlah banyak yang mampu merangsang
proses folikulogenesis dan terbentuk folikel-folikel matang. Folikel yang matang
ini akan mensintesis hormon estrogen dan disekresikan ke peredaran darah
sehingga sapi betina akan mengalami estrus.
BAB 3
DISKUSI
1. Alternatif lain sinkronisasi estrus selain menggunakan CIDR agar biaya
lebih terjangkau?
Induksi estrus yang umum digunakan selama ini namun yang menjadi kendala
dari program tersebut adalah mahalnya harga preparat hormon yang diperlukan,
sehingga bagi peternak dirasa kurang ekonomis. Untuk mengatasi mahalnya
harga preparat hormon, maka diperlukan terobosan teknologi untuk
penyerentakan estrus yaitu menggunakan laser. Stimulasi dengan laser atau
disebut juga dengan laserpunktur adalah teknik menembakkan laser pada titik
akupunktur sebagai reseptor biologi dalam tubuh makhluk hidup. Penggunaan
laser untuk menimbulkan stimulasi pada titik akupunktur hanya membutuhkan
waktu beberapa detik saja untuk tiap titiknya. Teknologi ini relatif murah, karena
satu alat bisa digunakan secara massal dan dengan biaya operasional yang relatif
murah (Bintara, 2010) https://core.ac.uk/download/pdf/208384526.pdf

2. Syarat khusus sinkronisasi estrus menggunakan PGF2A?


Syarat utama sinkronisasi estrus dengan PGF2A adalah ternak harus
memiliki corpus luteum, karena fungsi dari PGF2A sendiri adalah
melilsiskan CL. Lisisnya corpus luteum akan diikuti dengan pembebasan
hormon gonadotrophin yang menyebabkan birahi dan timbulnya proses
ovulasinya (Peters, 1986).

3. Kondisi khusus apa yang mengharuskan sinkronisasi estrus?


Pada dasarnya sinkronisasi estrus didasari atas kemauan manusia agar
tenaknya cepat bunting. Jadi tergantung tujuan dari manusia sendiri
sinkronisasi estrus digunakan untuk persiapan IB atau TE dan bisa juga
digunakan untuk terapi gangguan reproduksi seperti sista folikuler serta
rendahnya kadar progesterone saat kebuntingan.

BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penggunaan implan progesteron CIDR efektif untuk sinkronisasi estrus
yang dipasang pada saat fase luteal dapat menimbulkan estrus secara serentak.

Saran
Penggunaan preparat progesteron secara tunggal memnag dapat untuk
meyerentakkan estrus secara efektif. Namun untuk menyerentakkan estrus yang
disertai dengan angka fertilitas yang tinggi, maka penggunaan penggunaan
hormone progesterone haruslah dikombinasikan dengan hormon gonadotropin
dan/agtau hormon luteolitik.
BAB 5
DAFTAR PUSTAKA

Darussalam. 2016. Pengaruh Perlakuan Sinkronisasi Berahi Terhadap Respon Berahi


Pada Sapi Bali Induk Pasca Melahirkan. Skripsi Fakultas Peternakan Universitas
Hassanudin.
Herdis, Surachman, M., Kusuma, I., dan Suhana, ER. Badan Pengkajian Dan Penerapan
Teknologi (Bppt). 1999. Peningkatan Efisiensi Reproduksi Sapi Melalui
Penerapan Teknologi Penyerentakan Berahi. WARTOZA vol 9 (1): 1-7.
Putri, ARM. 2012. Respon Ovarium dengan Pemberian Progesteron Menggunakan
Controlled Internal Drug Release (CIDR) pada Perlakuan Sinkronisasi Berahi
dengan Menggunakan Kombinasi GnRH dan PGF2α. Skripsi Fakultas
Peternakan Universitas Hassanudin.
Putro, PP. 2013. Dinamika Folikel Ovulasi Setelah Perlakuan Sinkronisasi Estrus dengan
Implan Progesteron Intravagina pada Sapi Perah. J SainVet vol. 31 (2): 128-138
Rizal, M. 2005. Pengaruh Implantasi Progesteron Intravaginal terhadap Timbulnya Estrus
pada Domba Garut Betina. Jppt undip vol. 30 (3): 167-171.
Sariubang, M. 2011. Sinkronisasi Estrus dalam Kaitannya Dengan Efisiensi Reproduksi
pada Kambing. AgroSain UKI Toraja. Vol. 2 (1): 27-33.
Setiawan, A., Dihansih, E., dan Zamanti, D. 2017. Penggunaan Preparat Progesteron Dan
Hormon GnRH dalam Penentuan Estrus pada Program Superovulasi Sapi
Limosin. J. Pertanian. Vol. 8 (1): 7-17.
Sholihati, N. 2008. Penggunaan Progesteron Intravaginal Dan Kombinasinya Dengan
Pgf2α Serta Estrogen Dalam Upaya Menimbulkan Estrus Dan Kebuntingan Pada
Sapi Perah Anestrus. Jurnal Bionatura, Vol. 10 (3): 258 – 272.
Suharto, K. dan Marhaeniyanto, E. 2010. Sinkronisasi Estrus dengan Implan Controlled
Internal Drug Realese Intravagina pada Kambing Peranakan Etawa. Buana Sains
vol. 10 (1): 1-7.
Widodo, OS., Srianto, P., Wulandari, S. 2019. Pengukuran Kadar Hormon Progesteron
dan Deteksi Birahi pada Sapi Perah yang Disinkronisasi dengan CIDR
(Controlled Internal Drug Release). J Medik Veteriner vol 2 (2): 133-139.

Anda mungkin juga menyukai