Anda di halaman 1dari 28

Laporan Kegiatan Praktikum

Pembuatan Diluter Untuk Semen Domba

Oleh :
Azharuddin Anshori, S. KH 061613143057
Briantono Willy Rendragraha, S. KH 061613143034
Deynara Septin Dwi Putri, S. KH 061613143041
Dhikri Lailatu M, S. KH 061613143098
Dinar Agustina P, S.KH 061613143060
Farah Aidah Nurreza, S. KH 061613143128
Farah Nurfadhilla Yuantari, S. KH061613143081
Nararya Wijaya C. D. M. P., S. KH061523143101

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


GELOMBANG XXVII KELOMPOK 3 SUB KELOMPOK D
DEPARTEMEN REPRODUKSI VETERINER EKS LAB IB
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2017

1
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Inseminasi Buatan merupakan salah satu teknologi reproduksi yang sudah banyak

digunakan untuk meningkatkan produktivitas dan reproduktivitas ternak. Inseminasi buatan

berasal dari kata Artificial yang berarti tiruan atau buatan, dan Inseminatus yang berarti

pemasukan, penyampaian, atau deposisi seman atau air mani. Jadi inseminasi buatan

didefenisikan menjadi cara pemasukan atau deposisi semen ke dalam saluran reproduksi

betina menggunakan alat bantuan manusia dan bukan secara alamiah (Susilowati, dkk.,

2010).
Teknologi Inseminasi Buatan (IB) merupakan teknologi yang sudah lama dikenal

dalam bidang reproduksi. Di Indonesia sendiri, IB mulai dilaksanakan pada tahun 1952 oleh

Balai Penelitian Hewan di Bogor (sekarang Balai Penelitian Ternak) pada sapi-sapi perah.

Namun, pelaksanaan IB sejatinya mulai berkembang dan dikenal oleh masyarakat luas

semenjak dimulainya penggunaan semen beku pada sapi-sapi perah di daerah Bogor dan

sekitarnya pada tahun 1972 oleh Balai Penelitian Ternak (Siregar dan Sitorus, 1977).
Pada awal pelaksanaan IB di Indonesia masih menggunakan semen yang berasal dari

pejantan lokal hasil seleksi. Namun dalam program pengembangan dan perbaikan mutu

ternak, pemerintah mengimpor semen baeku dari beberapa negara seperti Belgia, New

Zaeland, Australia, Denmark, Jepang, USA dan Belanda (Susilowati, dkk., 2010).
Penerapan metode IB yang baik akan dimungkinkan memanfaatkan seekor pejantan

untuk mengawini banyak betina dengan mengencerkan semen, di samping itu metode IB

dapat dimanfaatkan untuk melakukan perkawinan silang dengan pejantan-pejantan unggul

(Thomassen and Farstad, 2009). Oleh karena itu, diharapkan bahwa mahasiswa koasistensi

FKH Unair mampu mengaplikasikan teknik IB, serta memahami teknik pengambilan dan

pengolahan semen.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka dapat diperoleh

rumusan masalah antara lain :

2
 Bagaimana cara penampungan semen pada domba?

 Bagaimana cara pemeriksaan semen?

 Bagaimana cara pengolahan semen?

 Apa saja bahan yang digunakan sebagai pengencer semen?

 Bagaimana perbandingan kualitas semen pada berbagai diluter?

1.3 Tujuan

Tujuan dari kegiatan ini adalah sebagai berikut:

 Mengetahui cara penampungan semen pada domba


 Mengetahui cara pemeriksaan semen
 Mengetahui cara pengolahan semen
 Mengetahui bahan yang digunakan sebagai pengencer semen
 Mengetahui perbandingan kualitas semen domba pada berbagai diluter

1.4 Manfaat

Manfaat dari hasil pemeriksaan ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada

pihak – pihak terkait, seperti peternak dan masyarakat mengenai berbagai macam diluter dan

bahan-bahan yang digunakan sebagai pengencer semen untuk meningkatkan kualitas hidup

spermatozoa untuk dilakukan inseminasi buatan dan sebagai upaya untuk meningkatkan

kualitas semen beku seperti pada kegiatan ini digunakan kuning telur sitrat, susu, pisang,

papaya dan bengkuang.

3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Semen atau air mani dari suatu spesies hewan mempunyai perbedaan dalam sifat-

sifatnya dengan spesies lain, yaitu volume, kekentalan, pH, konsentrasi, warna dan bau.

Semen adalah hasil sekresi kelamin jantan yang terdiri dari dua bagian, yaitu plasma

seminalis dan spermatozoa atau sel kelamin jantan. Plasma seminalis dihasilkan oleh

kelenjar-kelenjar epididimis, kelenjar vesikula seminalis, kelenjar prostat, kelenjar

bulbourethralis (cowper’s) dan kelenjar uretrhra, sedangkan spermatozoa dihasilkan dalam

tubulus seminiferus terstis melalui spermatogenesis (Susilowati, dkk., 2010).

2.1 Struktur Spermatozoa

Spermatozoa terdiri dari tiga bagian yaitu kepala, leher dan ekor. Bagian kepala terdiri

dari lapisan pelindung akrosom dan membran plasma, dan untuk bagian dalam terdiri dari inti

sel yang mengandung materi genetik (DNA). Menurut Susilowati dkk. (2010), akrosom

mengandung enzim akrosomal (hyaluronidase, CPE dan acrosin) yang berfungsi pada proses

fertilisasi untuk melisiskan ikatan cumulus oophorus, corona radiata dan zona pelusida pada

sel telur saat terjadinya proses pembuahan.

Bagian leher mengandung sentriol proksimal yang berfungsi sebagai pusat kinetik

untuk mengawali koordinasi kontraksi selaput fibril yang menghasilkan gerak. Bagian ini

berakhir pada cincin sentriol yang kemungkinan berfungsi mengkoordinir rentetan kontraksi

dari serabut-serabut fibril itu (Susilowati, dkk., 2010).

Bagian ekor menyerupai flagellum berfungsi sebagai alat gerak spermatozoa. Bagian

tengah merupakan pusat tenaga spermatozoa karena di dalamnya terdapat mitokondria.

Mitokondria mengandung enzim-enzim yang berhubungan dengan metabolisme eksudat

spermatozoa. Bagian ini kaya akan phospholipid, lesithin dan plasmalogen. Plasmalogen

merupakan energi endogen untuk aktivitas spermatozoa (Susilowati, dkk., 2010).

4
2.2 Spermatogenesis

Spermatogenesis adalah proses pembentukan sel sperma yang terjadi di tubulus

seminefrus di bawah kontrol hormon gonadothropin dan hipofisis (pituitaria bagian depan).

Tubulus seminiferus ini terdiri atas sel setroli dan sel germinalis. Spermatogenesis terjadi

dalam tiga fase, yaitu fase spermatogonial, fase meiosis, dan fase spermiogenesis yang

membutuhkan waktu 13-14 hari (Yuwanta, 2004). Spermatogenesis adalah proses

pembentukan spermatozoa yang terjadi di organ kelamin (gonad) jantan, yaitu testis tepatnya

di tubulus seminiferus. Spermatozoa yang bersifat haploid (n) dibentuk di dalam testis

melewati sebuah proses kompleks. Spermatogenesis mencakup pematangan sel epitel

germinal dengan melalui proses pembelahan dan diferensiasi sel. Pematangan sel terjadi di

tubulus seminiferus yang kemudian disimpan dalam epididimis. Tubulus seminiferus terdiri

dari sejumlah besar sel germinal yang disebut spermatogonia (jamak). Spermatogonia terletak

di dua sampai tiga lapis luar sel-sel epitel tubulus seminiferus. Spermatogonia berdiferensiasi

melalui tahap – tahap perkembangan tertentu untuk membentuk sperma.

2.3 Proses Spermatogenesis

Proses spermatogenesis terdiri dari dua tahap, yaitu tahap spermatositogenesis dan

spermiogenesis.

2.3.1. Spermatositogenesis

Proses ini dimulai dengan sel benih primitif, yaitu spermatogonium. Ada 2 tipe

spermatogonium di dalam testis yaitu tipe A yang selalu membelah diri dengan pembelahan

mitosis biasa dan hanya menghasilkan sel spermatoginia tipe A dan tipe B. Tipe B

membelah secara mitosis sederhana membentuk dua sel spermatosit prime. Setiap anak sel

tipe B memperbesar diri dan setelah membelah menjadi dua sel spermatosit primer. Setelah

pertumbuhan dan pembesaran sel spermatosit primer akan mengalami dua kali pembelahan

5
inti. Pembelahan pertama dari setiap sel spermatosit primer dihasilkan dua sel spermatosit

sekunder dan selanjutnya akan dihasilkan dua sel spermatid, sehingga dari satu sel

spermatosit primer akan dihasilkan empat sel spermatid (Susilowati, dkk., 2010).

2.3.2 Spermiogenesis

Spermiogenesis adalah proses metamorphose yang terjadi selama perubahan sel

spermatid menjadi spermatozoa. Inti sel spermatid akan mengumpul di bagian anterior sel,

sedang badan golgi akan mengumpul di bagian depan inti yang kemudian memipih

bentuknya. Di samping itu, terbentuk pula vakuola yang berisi idiosom atau proakrosome.

Setelah terbentuk vacuola, badan golgi berpindah ke arah posterior dan selanjutnya

terbentuk badan asesori yang kemudian menjadi bagian leher dari spermatozoa. Setelah

badan golgi berada di bagian leher, pada saat itu juga terbentuk sentriol yang berbentuk

seperti cincin. Mitokondria kemudian berkumpul pada bagian posterior kepala spermatozoa,

membentuk selaput yang membungkus axial filament (Susilowati, dkk., 2010).

Proses pembentukan spermatozoa dipengaruhi oleh kerja beberapa hormon, diantaranya:

a. Kelenjar hipofisis menghasilkan hormon perangsang folikel (Folicle Stimulating Hormon/

FSH) dan hormon lutein (Luteinizing Hormon/ LH).

b. LH merangsang sel Leydig untuk menghasilkan hormon testosteron. Pada masa pubertas,

androgen/ testosteron memacu tumbuhnya sifat kelamin sekunder.

c. FSH merangsang sel Sertoli untuk menghasilkan ABP (Androgen Binding Protein) yang

akan memacu spermatogonium untuk memulai spermatogenesis.

d. Hormon pertumbuhan, secara khusus meningkatkan pembelahan awal pada

spermatogenesis.

2.4 Metode Penampungan Semen

Penampungan semen bertujuan untuk memperoleh semen yang jumlah (volume)-nya

banyak dan kualitasnya baik untuk diproses lebih lanjut untuk keperluan inseminasi buatan.

6
Secara umum penampungan semen adalah ejakulasi yang dipengaruhi oleh faktor internal,

yaitu hormon, metabolisme, keturunan, makanan, umur, dan kesehatan secara umum dari

pejantan tersebut; dan eksternal, yaitu suasana lingkungan, tempat penampungan,

manajemen, para penampung, cuaca, sarana penampungan, dan lain-lain. Maka untuk

mendapatkan semen yang memenuhi syarat adalah mengamati dan memperhatikan perilaku

setiap pejantan yang akan ditampung semennya.

Berbagai cara penampungan semen untuk keperluan IB telah banyak dilakukan dan

dikembangkan. Di antaranya dengan cara menyedot sperma dari vagina sesudah kawin alam.

Ada pengumpulan semen pada sapi dengan cara masase atau pengurutan yaitu memasukkan

tangan ke dalam rectum dan mengurut bagian saluran reproduksi hewan jantan yang

mengandung semen, hingga semen itu mengalir keluar melalui penis. Ada juga dengan cara

elektro ejakulasi yaitu dengan menggunakan rangsangan listrik (Toelihere, 1985).

2.4.3 Metode Vagina Buatan

Vagina buatan adalah alat yang digunakan untuk menampung spermatozoa, di mana

alat tersebut dikondisikan sebagaimana vagina asli. Struktur dari alat ini adalah:

a. Lapisan luar yang terbuat dari bahan plastik atau karet.

b. Lapisan dalam terbuat dari bahan seperti balon yang lembut karena lapisan ini adalah

tempat masuknya penis, sehingga tidak menyebabkan iritasi pada penis.

c. Saluran tempat masuknya air dan udara.

d. Selongsong penampungan.

e. Tabung digunakan untuk menampung sperma dan diletakkan diujung selongsong.

Penampungan semen menggunakan vagina buatan merupakan metode yang paling

efektif diterapkan pada ternak besar (sapi, kuda, kerbau) ataupun ternak kecil (domba,

kambing, dan babi) yang normal (tidak cacat) dan libidonya bagus. Kelebihan metode ini

adalah selain pelaksanaannya yang tidak rumit, semen yang dihasilkannya pun maksimal

7
karena metode penampungan ini merupakan modifikasi dari perkawinan alam. Sapi jantan

dibiarkan menaiki pemancing yang dapat berupa ternak betina, jantan lain, atau panthom

(patung ternak yang didesain sedemikianrupa sehingga oleh pejantan yang akan ditampung

semennya dianggap sebagai ternak betina). Ketika pejantan tersebut sudah menaiki

pemancing dan mengeluarkan penisnya, penis tersebut arahnya dibelokkan menuju mulut

vagina buatan dan dibiarkan ejakulasi di dalam vagina buatan. Vagina tiruan yang

digunakan dikondisikan agar menyerupai kondisi (terutama dalam hal temperatur dan

kekenyalannya) vagina yang sebenarnya.

2.4.1 Masase Kelenjar Ampula

Metode penampungan semen melalui masase dapat diterapkan pada ternak besar

(sapi, kerbau, kuda) dan pada ternak unggas (kalkun dan ayam). Pada ternak besar metode

pengurutan ampulla vas deferens diterapkan apabila hewan jantan tersebut memiliki potensi

genetik tinggi akan tetapi tidak mampu melakukan perkawinan secara alam, baik karena

nafsu seksualnya rendah atau mempunyai masalah dengan kakinya (lumpuh, pincang, atau

cedera). Sedangkan pada ternak ayam atau kalkun metode pengurutan punggung merupakan

satu-satunya metode penampungan yang paling baik hasilnya (Sufyanhadi, 2012).

Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Case pada tahun 1925 dan kemudian

diikuti oleh Miller dan Evans pada tahun 1934. Teknik yang dilakukan adalah dengan cara

memasukkan tangan sepanjang 18 – 25 cm ke dalam rektum dan kemudian dilakukan

pengurutan pada bagian kelenjar vesicularis dan ampulae dari bagian depan ke belakang.

Pengurutan ini dilakukan selama dua menit dan biasanya akan dihasilkan semen.

Metode ini jarang dilakukan karena diperlukannya keterampilan khusus serta

pengalaman dalam hal pengurutan bagian ampulae melalui rektum. Dari hasil penelitian,

sangat sedikit sapi jantan yang merespon metode ini. Kendala lain dari metode ini adalah

semen yang dihasilkan tidak bersih dan mengandung lebih banyak kuman dibandingkan

8
dengan penampungan semen cara lain. Daerah preputium dan sekitarnya harus dibersihkan

dan dibilas dengan larutan NaCl. Penampungan semen dengan metode pengurutan ini lebih

mudah pada pejantan Angus muda dibandingkan dengan pejantan tua, sapi Hereford dan

Santa Gertrudis.

2.4.2 Metode Elektro-ejakulator

Apabila penampungan semen tidak bisa dilakukan dengan metode vagina buatan

dikarenakan ternak tidak cukup terlatih untuk ditampung, maka perlu dilakukan

penampungan dengan menggunakan alat ini. Perbedaan yang utama dari penampungan

vagina buatan adalah volume yang didapatkan dengan elektro-ejakulator adalah dua kali

lapit lebih besar dari vagina buatan, sedangkan densitasnya adalah separuhnya. Meskipun

demikian, perbaikan densitas dapat dilakukan dengan membuang bagian yang tidak

mengandung spermatozoa. Bagian ini keluar dulu setelah dirangsang, kemudian rangsangan

dilanjutkan dan penampungan ini menghasilkan semen dengan densitas yang baik.

Penampungan semen menggunakan metode ini adalah upaya untuk memperoleh semen dari

pejantan yang memiliki kualitas genetik tinggi tetapi tidak mampu melakukan perkawinan

secara alam akibat gangguan fisik atau psikis. Metode ini saat ini lebih banyak diterapkan

pada ternak kecil seperti domba dan kambing karena pada ternak besar lebih mudah

dilakukan melalui metode pengurutan ampula vas deferens (Rinaldi, 2012).

9
2.5 Pengenceran Semen

Pengenceran semen adalah upaya untuk memperbanyak volume semen, mengurangi

kepadatan spermatozoa serta menjaga kelangsungan hidup spermatozoa sampai batas waktu

penyimpanan tertentu pada kondisi penyimpanan di bawah atau di atas titik beku.

Pengenceran dan penyimpanan semen merupakan usaha mempertahankan kualitas

spermatozoa dalam periode yang lebih lama yakni untuk memperpanjang daya hidup

spermatozoa, motilitas, dan daya fertilitasnya.

Media pengencer harus mengandung bahan makanan bagi spermatozoa, tidak bersifat

racun, mengandung bahan pelindung dari terjadinya “cold shock”, dapat mencegah

pertumbuhan kuman, dan sebagai penyanggah yang dapat mempertahankan pH, serta

mempunyai sifat-sifat fisik dan kimia yang sesuai dengan plasma semen. Tentang syarat-

syarat bahan pengencer yaitu harus mengandung nutrisi, melindungi spermatozoa terhadap

“cold shock” mencegah perubahan pH, dan mempertahankan tekanan osmotik serta

keseimbangan elektrolik. Beberapa bahan pengencer yang umum digunakan dalam

pengenceran semen adalah kuning telur, susu, air kelapa. Bahan pengencer lain yang

berpotensi untuk dimanfaatkan dalam mempertahankan kualitas spermatozoa adalah

pengencer NaCl fisiologis, Ringer Laktat dan Ringer Dextrose.

2.6 Bahan Pengencer

Bahan pengencer tris kuning telur terdiri dari tris Aminomethan, asam sitrat,

karbohidrat sederhana, kuning telur, Penicillin, Sreptomycin dan aquadest. Tris Aminomethan

berfungsi sebagai buffer dan mempertahankan keseimbangan osmotik dan keseimbangan

elektrolit. Fruktosa menyediakan makanan sedangkan kuning telur berfungsi sebagai

pelindung spermatozoa terhadap cold shock serta sebagai sumber energi (Suteky, 2008).

Sekitar 30% dari berat telur adalah bagian dari kuning telur. Kuning telur memiliki komposisi

10
gizi yang lebih lengkap dibandingkan putih telur. Komposisi utama kuning telur adalah terdiri

dari air, protein, lemak, karbohidrat, mineral, dan vitamin dan protein telur termasuk

sempurna karena mengandung semua jenis asam amino esensial dalam jumlah yang cukup

besar (Toeliher, 1979).

Kuning telur mempunyai pengaruh cryoprotective pada sperma. Aktivitas

cryoprotective kuning telur di perantarai oleh fraksi lipoprotein densitas rendah. Fraksi

lipoprotein densitas rendah berfungsi sebagai agen lipid tambahan pada membran plasma sel

sperma.

11
BAB 3 MATERI DAN METODE

2.1 Penampungan dan Pemeriksaan Semen


2.1.1. Persiapan alat dan bahan

Alat: Bahan:
 Vagina buatan  Domba jantan (hewancoba)
 Termos  Vaselin
 Temperatur  Alkohol 70%
 Obyek glass  Eosin negrosin
 Cover glass  NaCl 0.9%
 Pipet tetes  NaCl 1%
 Mikroskop  Aquadest
 Spektrofotometer

2.1.2. Penampungan Semen Domba


a. Domba betina pemancing disiapkan dan dijepit dengan kedua kaki operator.
b. Dekatkan domba jantan yang akan diambil spermanya pada betina pemancing,

tetapi dicegah agar tidak dinaiki. Dekatkan dan jauhkan 2-3 kali untuk

merangsang libidonya lebih besar dengan harapan volume semennya

bertambah.
c. Operator lain memeriksa suhu vagina buatan dengan kisaran 420 - 450C dan

bibir luar vagina buatan diberi vaselin. Ambil posisi operator di belakang

sebelah kanan betina pemancing. Pegang vagina buatan dengan tangan kanan

dengan kemiringan 450.


d. Preputium domba dipegang (pangkal penis) dengan tangan kiri, arahkan

masuk kedalam vagina buatan saat pejantan akan melakukan ejakulasi.


e. Lepaskan tabung gelas penampung dari corong karet vagina buatan dan

simpan dalam termos dengan suhu sekitar 50C atau pada suhu kamar. Jangan

sampai terkena sinar matahari langsung.


1.1.1. Pemeriksaan Semen Domba
a. Pemeriksaan makroskopis
 Volume: dengan melihat skala tabung penampung semen.
 Konsistensi: dilakukan dengan memiringkan tabung. Apabila semen lama

untuk kembali, maka konsistensi semen pekat.


 Bau: dengan menciumbau semen yang ada pada tabung koleksi.
 Warna: dengan melihat warna semen pada tabung koleksi.
 Derajat keasaman (pH): diperiksa dengan kertas lakmus.
a. Pemeriksaan mikroskopis

12
 Gerakan massa: dengan meletakkan satu tetes semen di atas obyek glass

dan diperiksa di bawah mikroskop perbesaran 100 kali.


 Gerakan individu: dengan mencampurkan setetes NaCl fisiologis 0,9%

dan semen di atas obyek glass, kemudian diaduk hingga homogen dan

tutup dengan cover glass. Diamati di bawah mikroskop perbesaran 400

kali.
 Penentuan konsentrasi air mani (cara Rusia): satu tetes semen diletakkan

di atas obyek glass kemudian ditutup dengan cover glass dan diamati di

bawah mikroskop untuk mengamati jarak antar kepala sel spermatozoa.


 Penentuan konsentrasi air mani (spektrofotometer): kabel fitting

spektrofotometer dipasang pada stop kontak dan tunggu kira-kira 10

menit. Jarum diatur agar menunjukkan angka 0 di skala sebelah kiri.

Tabung kuvet berisi NaCl 2% dengan volume 10 ml dimasukkan ke dalam

spektrofotometer. Atur jarum agar menunjukkan angka 0 di sebelah kanan,

kemudian tabung diangkat. Pada tabung kuvet lain, masukkan semen 0.05

ml + NaCl 2% sebanyak 10 ml, kemudian dimasukkan ke dalam

spektrofotometer. Amati jarum menunjuk pada angka berapa, kemudian

dikonversikan:

Tabel 3.1.Daftar angka konversi konsentrasi spermatozoa (juta/ml)

Std
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
580
0.0 - 60 120 180 240 300 360 420 480 540
0.1 600 660 720 780 840 900 960 1020 1080 1140
0.2 1200 1260 1320 1380 1440 1500 1560 1620 1680 1740
0.3 1800 1860 1920 1980 2040 2100 2160 2220 2280 2340
0.4 2400 2460 2520 2580 2640 2700 2760 2820 2880 2940
0.5 3000 3060 3120 3180 3240 3300 3360 3420 3480 3540
0.6 3600 3660 3720 3780 3840 3900 3960 4020 4080 4140
0.7 4200 4260 4320 4380 4440 4500 4560 4620 4680 4740
0.8 4800 4860 4920 4980 5040 5100 5160 5220 5280 5340

13
0.9 5400 5460 5520 5580 5440 5700 5760 5820 5880 5940

 Penentuan persentase spermatozoa hidup: dilakukan dengan

meletakkan setetes semen di atas obyek glass bersih, kemudian setetes

eosin negrosin di sebelah tetes semen, kemudian dicampur hingga

homogen dan dilakukan preparat ulas, lalu dikeringkan. Seluruh

pengerjaan ini dilakukan maksimal 15 detik. Preparat ulas diamati di

bawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali.


 Menghitung morfologi sel spermatozoa yang abnormal: dilakukan

sama dengan langkah-langkah penentuan persentase spermatozoa

hidup, sekaligus dilakukan penghitungan terhadap persentase sel

spermatozoa yang abnormal.


b. Pemeriksaan biologis (resistensi test): 0.02 ml semen diambil kemudian

dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan 10 ml NaCl 1%, diaduk

hingga homogen. Satu tetes larutan tersebut diambil dan diletakkan di atas

obyek glass, diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 kali. Bila sel

spermatozoa masih bergerak, ditambahkan 10 ml NaCl 1% secara bertahap

hingga gerakan sel spermatozoa oscilatoris/berputar atau tinggal 40%.

2.2 Pengolahan Semen Domba


1.1.2. Persiapan Alat dan Bahan

Alat: Bahan:
 Beker glass  Susu skim
 Batang gelas pengaduk  Kuning telur
 Termometer  Buah pisang
 Kompor  Buah pepaya
 Timbangan  Air kelapa
 Larutan sitrat
 Aquadest
 Antibiotik (Penicillin, Streptomycin)
 Vaselin
 Mikroskop
 Penyaringan

14
1.1.3. Pengencer Air Susu Masak
a. Susu skim ditimbang sebanyak 3 gram, dimasukkan ke dalam beker glass dan

ditambahkan aquades 30 ml, diaduk hingga homogen.


b. Dipanaskan dengan suhu 920-950C selama 10 menit.
c. Susu didinginkan hingga mencapai suhu kamar 200 - 270C.
d. Susu disaring dengan kertas saring untuk membuang kepala susu.
e. Ditambahkan antibiotik Penicillin dengan dosis 1000 IU/ ml pengencer dan

Streptomycin 1 mg/ ml pengencer. Penambahan antibiotikhanyadihitung untuk

10 ml bahan pengencer. Diaduk sampai antibiotik tercampur rata.


f. Semen yang telah memenuhi syarat pemeriksaan dicampurkan kedalam

pengencer air susu masak dengan perbandingan 1:10.


g. Pergerakan progresif dan persentase hidup spermatozoa diamati di bawah

mikroskop dengan perbesaran 400 kali. Apabila masih dinyatakan baik,

kemudian simpan pada suhu 30-50C.


h. Pemeriksaan rutin dilakukan setiap hari (gerakan individu progresif dan

persentase hidup spermatozoa), dan dihentikan apabila gerakan individu

progresif tinggal 40%.

1.1.4. Pengencer Kuning Telur Sitrat


a. Larutan sitrat dibuat dengan cara: menimbang Na Sitrat 2.9 gram + aquades

mencapai 100 ml. Diaduk dan dipanaskan sampai larutan homogen.


b. Telur dibukadan diambil kuning telurnya, kemudian disaring. Kuning telur dan

laruan sitrat dicampur dengan perbandingan 1:1.


c. Ditambahkan antibiotik Penicillin dengan dosis 1000 IU/ ml pengencer dan

Streptomycin 1 mg/ ml pengencer. Penambahan antibiotik hanya dihitung

untuk 10 ml bahan pengencer. Diaduk sampai antibiotik tercampur rata.


d. Semen yang telah memenuhi syarat pemeriksaan dicampurkan ke dalam

pengencer air susu masak dengan perbandingan 1:10.


e. Pergerakan progresif dan persentase hidup spermatozoa diamati di bawah

mikroskop dengan perbesaran 400 kali. Apabila masih dinyatakan baik,

kemudian simpan pada suhu 30 - 50C.

15
f. Pemeriksaan rutin dilakukan setiap hari (gerakan individu progresif dan

persentase hidup spermatozoa), dan dihentikan apabila gerakan individu

progresif tinggal 40%.

1.1.5. Pengencer Sari Buah Sitrat (Buah Pisang, Pepaya dan Air kelapa)
a. Masing-masing buah ditimbang 30 gram kecuali air kelapa, kemudian digerus

sampai halus dengan mortir. Ditambahkan aquades 30 ml, lalu disaring

diambil sarinya dan diukur pH ± 5.


b. Untuk air kelapa langsung saring dan ambil 30 ml tambah aquades dan diukur

pH.
c. Tambahkan larutan sitrat dengan perbandingan 1:1 ke dalam sari buah.
d. Ditambahkan antibiotik Penicillin dengan dosis 1000 IU/ ml pengencer dan

Streptomycin 1 mg/ ml pengencer. Penambahan antibiotik hanya dihitung

untuk 10 ml bahan pengencer. Diaduk sampai antibiotik tercampur rata.


e. Semen yang telah memenuhi syarat pemeriksaan dicampurkan ke dalam

pengencer sari buah sitrat dengan perbandingan 1:10.


f. Pergerakan progresif dan persentase hidup spermatozoa diamati di bawah

mikroskop dengan perbesaran 400 kali. Apabila masih dinyatakan baik,

kemudian simpan pada suhu 30 - 50C.


g. Pemeriksaan rutin dilakukan setiap hari (gerakan individu progresif dan

persentase hidup spermatozoa), dan dihentian apabila gerakan individu

progresif tinggal 40%.


BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pemeriksaan Makroskopis

Pemeriksaan makroskopis semen terdiri dari volume ejakulasi semen, konsistensi,

bau, warna dan derajat keasaman semen. Hasil evaluasi semen segar dari domba jantan

menunjukkan bahwa semen tersebut memenuhi syarat dan layak untuk diencerkan.

Hewan Volume Konsistensi Warna Bau pH

16
Domba 1 ml Kental Putih susu Khas domba 6,5

Volume ejakulasi semen yang didapatkan sebanyak 1 ml. Hal ini termasuk kategori

normal karena rata-rata volume semen domba adalah kisaran 0,5 - 2 ml. Semen domba

umumnya mempunyai volume yang rendah tetapi konsentrasi sperma tinggi sehingga

memperlihatkan warna krem atau putih susu. Dalam jenis ternak itu sendiri volume semen

per ejakulasi berbeda-beda menurut breed, umur, ukuran badan, kualitas pakan, dan lain-lain.

Volume rata-rata akan meninggi dengan prestimulasi yang cukup dan umumnya lebih tinggi

bila penampungan dilakukan secara elektro ejakulasi daripada dengan vagina buatan

(Susilowati dkk., 2010).

Konsistensi semen yang didapatkan adalah kental atau pekat. Hal ini terlihat saat

tabung dimiringkan dan ditegakkan kembali, terlihat bintik kecil yang banyak seolah

berdesakan turun ke bawah perlahan-lahan. Dalam semen yang pekat mengandung lebih

banyak spermatozoa daripada kelenjar assesorisnya. Semen domba ini normal karena relatif

pekat, hal itu berarti semen domba ini mengandung spermatozoa yang relatif banyak.

Semen spesies hewan secara normal mempunyai bau tertentu yang banyak

dipengaruhi oleh bau cairan dari kelenjar pelengkap. Bau semen yang didapatkan adalah bau

khas semen domba. Dalam hal ini termasuk kategori normal, karena tidak ditemukan bau

busuk yang berarti tidak ada infeksi sepanjang saluran alat kelamin pejantan. Tidak juga

ditemukan bau anyir (amis) yang berarti tidak ada keabnormalitasan alat kelamin pejantan.

Warna semen yang didapatkan adalah berwarna putih bersih sampai pekat atau krem.

Hal ini termasuk kategori normal. Tidak terlihat keadaan yang abnormal, seperti warna semen

yang tercemar darah (merah), warna coklat muda atau kehijau-hijauan yang berarti

terkontaminasi feses, warna kuning atau putih kotor yang berarti tercampur air kencing atau

nanah, serta tidak ada gumpalan atau bekuan/kepingan di dalam semen.

17
Derajat keasaman semen yang diperoleh menunjukkan angka 6,5 yang diukur

menggunakan kertas lakmus. Hasil ini termasuk kategori normal karena untuk pH semen

domba dan kambing adalah 6,4-6,8 (Susilowati, dkk., 2010). Semakin baik kualitas semen

cenderung semakin asam, karena kualitas semen yang baik spermatozoanya akan lebih aktif

bergerak dan menghasilkan asam laktat yang lebih banyak sehingga pHnya rendah. Pada pH

semen yang tinggi (lebih alkalis) umumnya banyak mengandung sel-sel spermatozoa yang

mati. Peningkatan sekresi kelenjar asesoris dapat pula menghasilkan pH semen yang lebih

alkalis.

4.2 Pemeriksaan Mikroskopis

Pada pemeriksaan mikroskopis ini yang diperiksa adalah gerakan massa, gerakan

individu, konsentrasi semen, jumlah spermatozoa yang hidup-mati dan abnormal.

Gerakan massa adalah gerakan dari beberapa sel spermatozoa bersama-sama sehingga

membentuk suatu gelombang. Gerakan massa mencerminkan daya gerak dan konsentrasi

spermatozoa. Pemeriksaan ini dilakukan pada suhu 37°C agar diperoleh gerakan spermatozoa

yang optimal. Penilaian gerakan massa semen yang didapatkan adalah +++, artinya gerak

semen membentuk gelombang-gelombang yang besar dan banyak serta cepat. Hal tersebut

memberikan gambaran yang jelas bahwa semen tersebut mengandung spermatozoa hidup

yang banyak dan aktif.

Gerakan individu dari setiap spermatozoa penting. Sebab bila tidak ada gerakan dari sel

spermatozoa, tidak mungkin spermatozoa dapat mencapai sel telur (ovum) yang terdapat di

tuba fallopii. Pemeriksaan gerakan setiap spermatozoa harus dilakukan pada temperatur

tubuh sebab pada temperatur dilakukan segera setelah semen ditampung dari seekor pejantan.

Penilaian gerakan individu spermatozoa dari semen yang didapatkan adalah 90/4, yang

berarti bahwa spermatozoa yang bergerak progresif 90% dengan kecepatan 4 (sangat cepat).

Dan pergerakan spermatozoa bersifat Progresif (P) atau gerakan maju. Lubis (2011)

18
mengatakan bahwa motilitas yang baik dari spermatozoa memungkinkan spermatozoa dapat

mencapai sel telur di dalam saluran oviduk dalam waktu yang relatif singkat, sehingga

memungkinkan terjadinya fertilisasi yang sempurna.

Konsentrasi semen menunjukkan banyaknya spermatozoa di dalam setiap mm3 atau

cm3 (ml) semen. Dalam hal ini perhitungan sering menggunakan satuan mm 3. Berdasarkan

cara Rusia, penilaian untuk konsentrasi semen yang didapatkan adalah Densum (D) yang

umumnya kental, yaitu letak spermatozoa sedemikian rapat sehingga jarak antara kepala

spermatozoa yang satu dengan yang lain kurang dari panjang satu kepala spermatozoa.

Berarti ada lebih dari 1 juta spermatozoa di dalam setiap mm 3 semen. Selain itu, konsentrasi

spermatozoa dapat dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer dengan hasil yang

didapatkan adalah 0.68 yang menunjukkan terdapat spermatozoa 4080 juta per ml.

Rata-rata persentase hidup spermatozoa pada sampel semen domba didapatkan 93 %.

Menurut Toelihere (1993) dalam Lubis (2011) menyatakan bahwa semen yang baik adalah

semen yang setelah dilakukan penafsiran mikroskopis berdasarkan perbedaan afinitas

penyerapan warna eosin-negrosin oleh spermatozoa mempunyai persentase hidup ≥50%.

Abnormalitas spermatozoa domba yang diperoleh adalah 10%. Persentase abnormalitas

yang didapatkan masih menunjukkan nilai normal.Hal ini sesuai dengan pendapat Toelihere

(1993) dalam Lubis (2011) yang menyatakan bahwa pada kebanyakan ejakulat persentase

spermatozoa abnormal berkisar antara 5-20%. Apabila abnormalitas spermatozoa lebih dari

25% dari total spermatozoa dalam satu kali ejakulasi, maka akan menurunkan fertilisasi

(Bearden and Fuquay, 1997).

Penilaian motilitas melibatkan estimasi subjektif terhadap kelangsungan hidup

spermatozoa dan kualitas motilitas. Hasil pengamatan motilitas spermatozoa menunjukkan

perbedaan setiap bahan pengencer, serta terdapat interaksi antara lama waktu penyimpanan.

Hal ini menunjukkan bahwa motilitas spermatozoa dipengaruhi oleh lama waktu

19
penyimpanan. Semakin lama waktu penyimpanan menyebabkan motilitas spermatozoa terus

mengalami penurunan karena persediaan energi semakin terbatas dan menyebabkan tingkat

penurunan pH. Hal tersebut disebabkan selama penyimpanan proses metabolisme

spermatozoa terus berlangsung, baik secara aerob maupun anaerob. Toelihere (1993) dan

Bearden dan Fuquay (1984) dalam Lubis (2011) menyatakan bahwa metabolisme

spermatozoa dalam keadaan anaerob menghasilkan peningkatan asam laktat dan menurunkan

pH semen yang akhirnya menurunkan motilitas dan daya hidup spermatozoa. Kadar asam

laktat yang cukup tinggi akan menghambat aktivitas metabolisme spermatozoa dan juga

merupakan racun bagi spermatozoa. Metabolisme bertujuan untuk menghasilkan ATP dan

ADP yang dipergunakan untuk motilitas spermatozoa. Apabila persediaan fosfat organik

dalam ATP habis, maka kontraksi fibril spermatozoa akan berhenti sehingga motilitas juga

berhenti.

4.3 Pemeriksaan Biologis

Pemeriksaan biologis bertujuan untuk melihat kemampuan bertahan dari spermatozoa

terhadap pengaruh NaCl 1% yang bersifat hipotonis, sehingga NaCl 1% akan masuk ke

dalam spermatozoa dan dalam kadar tertentu spermatozoa akan membengkak dan akhirnya

spermatozoa akan pecah (lisis) dan mati. Pada pemeriksaan semen domba yang diperiksa

diperoleh hasil sebagai berikut:


Volume NaCl 1% yang dipakai = 30 ml
Volume semen yang dipakai = 0,02 m
Angka Resitensi (R) = Vol. NaCl 1% yang dipakai
Vol . semen yang dipakai
= 30 ml
0,02 ml
= 1500
Dari hasil pemeriksaan serta perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa semen

domba yang ditampung memiliki angka resistensi yang berada dalam kisaran normal yaitu

500 – 5000, dan semen ini juga layak digunakan untuk inseminasi buatan (IB). Syarat dari

semen yang layak digunakan untuk IB sekurang-kurangnya memiliki angka resistensi 3000.

20
Apabila semen memiliki angka resistensi kurang dari 3000 maka semen tidak dapat

digunakan untuk IB (Hardijanto dkk., 2010). Menurut Suherni dkk (2010) bahwa hasil uji

resistensi semen kurang dari 3000 dari seekor pejantan dinyatakan tidak dapat digunakan

untuk IB, namun setelah di uji kekentalan, gerakan, dan aktifitas spermatozoa ternyata masih

cukup baik untuk digunakan IB. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil uji resistensi bukan

acuan layak atau tidaknya spermatozoa digunakan untuk IB.

4.4 Pengamatan Harian

Hasil pemeriksaan harian semen cair domba yang disimpan di dalam lemari es (2 - 8oC)

dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


Tabel 4.1. Hasil pengamatan harian semen cair

Pengencer Pengamatan H1 H2 H3 H4 H5 H6
Gerakan individu 50/3 20/3 10/2 10/1 0/0 0/0
% hidup 64,1% 24% 17,6% 17,6% 9,3% 0%
Kuning
Telur Sitrat % mati 35,9% 76% 82,4% 82,4% 90,7% 100%
% abnormalitas 25% 25% 35% 40% 50% 60%
Gerakan individu 80/4 70/3 60/2 50/2 30/2 10/1
% hidup 88% 75,4% 66% 58% 35,9% 29,7%
Susu Skim
% mati 12% 24,6% 34% 42% 64,1% 70,3%
% abnormalitas 10% 30% 40% 45% 70% 70%
Gerakan individu 75/3 50/3 35/2 20/2 10/1 10/1
% hidup 80% 55,2% 42% 31,7% 17,9% 3%
Pisang sitrat
% mati 20% 44,8% 58% 68,3% 82,1% 93%
% abnormalitas 20% 60% 70% 70% 85% 85%
Gerakan individu 75/4 55/3 45/3 30/2 20/1 10/1
% hidup 89,3% 80,6% 71% 68,3% 47,4% 40,3%
Pepaya
sitrat % mati 10,7% 19,4% 29% 31,7% 52,6% 59,7%
% abnormalitas 15% 20% 35% 40% 60% 75%
Air Kelapa Gerakan individu 90/4 75/4 70/3 55/3 50/2 50/2
sitrat
% hidup 91,8% 78,2% 75,1% 61% 57,7% 54,05%

21
% mati 8,2% 21,8% 24,9% 39% 42,3% 45,95%
% abnormalitas 10% 25% 30% 35% 40% 60%

Dari hasil pengamatan di atas, dapat dilihat bahwa diluter yang memberikan hasil yang

baik adalah air kelapa sitrat. Daya tahan semen dalam air kelapa sitrat yang teramati adalah 6

hari. Pada hari pertama, gerakan individu setelah ditambah dengan air kelapa sitrat

menunjukkan sangat cepat dengan arah gerak progresif atau maju sebanyak 90% (90/4). Pada

hari kedua sampai keempat, pergerakan spermatozoa sedang dengan arah gerak progresif

masing-masing 75%, 70% dan 55%. Pada hari kelima, pergerakan spermatozoa menjadi

lambat/pelan dengan 50% spermatozoa bergerak progresif. Pada hari keenam, semen cair

yang ditambahkan pengencer air kelapa sitrat masih layak digunakan untuk inseminasi

buatan.
Diluter yang menunjukkan hasil jelek yaitu kuning telur sitrat. Pada hari pertama,

gerakan individu setelah ditambah dengan kuning telur sitrat menunjukkan spermatozoa

hanya bergetar dalam satu lapang pandang sebanyak 50% (50/3). Pada hari kedua sampai

keempat, pergerakan spermatozoa sedang hingga kecil masing-masing 20%, 10% dan 10%.

Pada hari kelima, pergerakan spermatozoa tidak dapat diidentifikasi, perhitungan kematian

juga menunjukan tidak ada spermatozoa yang hidup.

4.5 Pembahasan
Pengencer kuning telur sitrat (KTS) digunakan sebagai media hidup spermatozoa

karena mengandung lecithin dan lipoprotein yang dapat digunakan sebagai bahan penyangga

(buffer) semen dan mencegah terjadinya cold schock akibat penurunan temperatur yang

mendadak. Selain itu, kuning telur mengandung glukosa yang dapat digunakan sebagai

sumber energi bagi spermatozoa (Suteky dkk., 2008). Keunggulan kuning telur terletak pada

lipoprotein dan lesitin yang terkandung di dalamnya. Sehingga kuning telur befungsi sebagai

pelindung dan dapat mempertahankan integritas selubung lipoprotein dan sel spermatozoa

(Hidayat, 2011).

22
Namun, dalam praktikum ini penggunaan kuning telur sitrat sebagai diluter

menunjukan hasil yang buruk, dimana pada hari ke 5 bahkan tidak ada spermatozoa yang

mampu bertahan hidup,, hal ini diduga dikarenakan tidak sempurnanya pemisahan antara

kuning telur dan putih telur dalam proses pembuatan diluter, putih telur memiliki kandungan

lysozyme yang merupakan zat enzim yang dapat membunuh spermatozoa, zat ini

menyebabkan spermatozoa tidak dapat bertahan dan mati seluruhnya pada hari ke-5. Proses

pemisahan kuning telur dengan putih telur harus dilakukan dengan hati-hati, memisahkan

kuning telur dengan putih telur dilakukan dengan membuang zat putih telur, kemudian zat

putih telur yang masih utuh terbungkus vitelin diletakan pada kertas saring guna menyerap

putih telur yang masih tersisa, pada praktikum ini proses pemisahan antara kuning telur dan

putih telur dilakukan tanpa menyaring kembali menggunakan kertas saring, sehingga bahan

putih telur masih tersisa.


Salah satu syarat pemilihan bahan-bahan pengencer semen adalah murah dan

mudah diperoleh (Toelihere, 1981), namun dapat menghasilkan semen yang berkualitas.

Berdasarkan pada kriteria tersebut air kelapa memenuhi syarat digunakan sebagai bahan

pengencer semen, karena buah kelapa sangat mudah diperoleh di negara-negara tropik seperti

Indonesia, dengan harga murah dibandingkan dengan bahan-bahan kimia sintetik. Air kelapa

mengandung karbohidrat yang dapat menjadi sumber energi bagi kehidupan spermatozoa

(Smith et al., 1971 yang disitasi oleh Ketaren & Djatmiko, 1981).

Menurut Yildiz et al. (2000), fungsi karbohidrat dalam pengencer adalah sebagai

krioprotektan, mempertahankan tekanan osmotik pengencer serta keutuhan membran plasma,

juga menyediakan substrat energi untuk kebutuhan spermatozoa selama proses penyimpanan.

Reaksi-reaksi yang menghasilkan energi di dalam semen hanya terjadi di dalam spermatozoa

(Toelihere, 1981). Proses metabolisme utama pada spermatozoa adalah glikolisis dan

respirasi (Salisbury & Van Demark, 1985). Fruktosa, glukosa dan manosa dimetabolisir oleh

23
spermatozoa sebagai sumber energi. Fruktosa juga berfungsi mempertahankan tekanan

osmosis dalam pelarut (Kostaman et al., 2000).

Susu yang digunakan sebagai pengencer memiliki kandungan anti cold shock yang

baik untuk sperma sehingga menjadi pelindung saat penurunan suhu dalam proses

penyimpanan. Pemanasan susu dalam proses pembuatan pengencer sangat diperlukan

terutama untuk sterilisasi media pengencer dari zat ataupun mikroorganisme yang tidak

diinginkan dan juga guna pengurangan kadar lemak susu. Selain itu tujuan utama untuk

menonaktifkan enzim yang terdapat dalam mikroorganisme yang dapat mencerna lapisan luar

membran spermatozoa dan dapat menyebabkan kematian sperma (Hidayat, 2011). Di dalam

susu skim sudah terdapat larutan penyangga yang berfungsi untuk mempertahankan pH

semen sehingga penurunan pH akibat penimbunan asal laktat sebagai hasil akhir metabolisme

sperma dapat dicegah.


Kondisi yang hampir sama terjadi pada pisang dan pepaya. Pisang mengandung

potasium, karbohidrat, mineral, Vitamin C dan B6, kalium, magnesium dan mangan yang

berperan penting terhadap daya hidup dan motilitas spermatozoa. Pepaya mengandung

vitamin A, vitamin B, vitamin C, vitamin E, vitamin K, kalium, kalsium, zat besi,

magnesium, phosphor dan zinc. Kandungan vitamin E pada buah pisang dan pepaya dapat

menetralisir gugus hidroksil, superoksida, dan radikal hidrogen peroksida, serta mencegah

aglutinasi sperma (Aggarwal et al., 2005). Vitamin E dan C berhubungan dengan efektifitas

antioksidan masing-masing α-tokoferol yang aktif dapat diregenerasi oleh interaksi dengan

vitamin C yang menghambat oksidasi radikal bebas peroksi (Hariyatmi, 2004).


Dari hasil pengamatan harian diketahui bahwa terdapat perbedaan laju motilitas

antar-diluter. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan nutrisi yang terkandung dalam bahan

pengencer. Menurut Utomo dan Sumaryati (2000) dalam Suteky (2008), bahwa dalam

pengencer susu skim hanya menyediakan zat energi, sedangkan pengencer KTS juga terdapat

larutan penyangga dan anti cold shock.

24
Penurunan laju motilitas spermatozoa juga dapat terlihat setiap harinya. Hal ini

disebabkan karena berkurangnya energi spermatozoa akibat proses metabolisme yang terus

berjalan. Suteky (2008) menyebutkan bahwa semakin lama waktu penyimpanan, maka

nutrisi yang terdapat dalam bahan pengencer akan semakin menurun dan dapat menurunkan

motilitas spermatozoa.
Proses metabolisme juga berpengaruh dalam penimbunan asam laktat sehingga

menyebabkan terjadinya penurunan pH menjadi asam, yang mempengaruhi motilitas

spermatozoa. Menurut Tambing et al. (2000), dengan adanya metabolisme pada kondisi

anaerob secara terus-menerus menyebabkan penimbunan asam laktat sehingga akan

berkorelasi nyata dengan daya gerak spermatozoa dan memperpendek daya tahan hidup

spermatozoa. Persentase spermatozoa hidup lebih tinggi daripada persentase motilitas

menunjukkan bahwa banyak spermatozoa yang masih hidup tetapi tidak motil atau bergerak

tidak progresif.

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan

25
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa

diluter yang paling baik untuk bahan pengencer semen adalah air telur sitrat karena

presentase motilitas spermatozoa sangat tinggi dibandingkan diluter lainnya.

5.2 Saran
Berdasarkan data labolatoris yang diperoleh pada pengenceran semen domba maka

dapat disarankan penggunaan pengencer kuning telur sebagai diluter semen yang baik. Telur

yang populer di masyarakat dan harganya terjangkau sehingga dapat menjadi pilihan utama

karena mengandung lecithin sehingga tahan terhadap cold shock. Akan tetapi harus

diperhatikan dalam penyaringan kuning telur agar putih telur tidak tercampur. penggunaan air

kelapa sebagai diluter sebaiknya ditambahkan kuning telur, hal ini disebabkan karena zat

didalam kuning telur mampu melindungi spermatozoa dari cold shock sehingga dapat

mempertahankan kehidupan spermatozoa pada saat penyimpanan.

26
DAFTAR PUSTAKA

Aggarwal, H.K., S. Gupta, R. Pandey, R. Katyai, R.P. Aggarwal and S.K. Aggarwal. 2005.
Lipid peroxide levels and antioxidant status in alcoholic liver disease. Ind. J. Clinic
Biochem 20 (1):67-71.

Bearden, H.J. and J.W. Fuquay. 1997. Applied Animal Reproduction 4 th Ed. Prentice Hall,
Upper Saddle, New Jersey.

Hariyatmi. 2004. Kemampuan vitamin E sebagai antioksidan terhadap radikal bebas pada
usia lanjut. Jurnal MIPA UMS 14:52-60.

Hidayat, B. 2011. Pengaruh bahan pengencer terhadap persentase motilitas spermatozoa


semen cair sapid dan domba, pengaruh straw semen cair domba serta pengaruh suhu
thawing terhadap motilitas spermatozoa. Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Bogor.

Kostaman, T., I. K. Sutama, P. Situmorang, & I. G. M. Budiarsana. 2000. Pengaruh jenis


pengencer terhadap kualitas semen beku kambing peranakan etawah. Prosiding
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner ke-18Pusat Penelitian Peternakan Badan
Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, Bogor. pp: 156-163.

Lubis, T.M. 2011. Motilitas spermatozoa ayam kampung dalam pengencer air kelapa, NaCl
fisiologis dan air kelapa-NaCl fisiologis pada 25 - 290C. Agripet : Vol (11) No.2:45-
50.

Rinaldi. 2012. Penampungan semen dan SNI semen beku. Sumatra Utara. Attribution Non-
Commercial.

Salisbury, G. W., & N. L. Van Demark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan
pada Sapi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (Diterjemahkan oleh R.
Djanuar).

Siregar, S. B. dan P. Sitorus. 1977. Pertumbuhan dan produksi susu dari F1 "grading-up" sapi
perah Friesien dengan semen beku impor. Lembaran LPP 3:1-9.

Suteky, T., S. Kadarsih dan Y.Y. Novitasari. 2008. Pengaruh pengencer susu skim dengan
sitrat kuning telur dan lama penyimpanan terhadap kualitas semen kambing
persilangan Nubian dengan peranakan Ettawa. Jurnal Sain Peternakan Indonesia; 3
(2). 81 – 88.

Susilowati, S., Hardijanto, T.W. Suprayogi, T. Sardjito, T. Hernawati. 2010. Penuntun


praktikum inseminasi buatan. Airlangga University Press. Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Airlangga. Surabaya.

Tambing SN, Toelihere MR, Yusuf TL, Sutama IK. 2000. Kualitas semen beku kambing
peranakan etawah setelah ekuilibrasi. Hayati 8 : 70-75.

Toelihere, M. R. 1981. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung.

Toelihere, M.R. 1985. Fisiologi reproduksi pada Ternak. Angkasa. Bandung.

27
Toelihere, M.R. dan M.B. Taurin. 1979. Semen Beku edisi ketiga. Departemen Reproduksi
Institute Pertanian Bogor, Bogor.

Thomassen R, Farstad W. 2009. Artificial insemination in canids: A useful tool in breeding


and conservation. Theriogenology. 71:190-199.

Yildiz, C., A. Kaya, M. Aksoy,


& T. Tekeli. 2000. Influence of sugar sup-plementation of the
extender on motility and acrosomal integrity of dog spermatozoa during freezing.
Theriogenology 54: 579-585.

Yuwanta, Tri. 2004. Dasar Ternak Unggas. Yogyakarta: Kanisius.

28

Anda mungkin juga menyukai