Anda di halaman 1dari 32

PROPOSAL OBSERVASI

I.

JUDUL
MEKANISME PENGAMBILAN DAN PENYIMPANAN
SEMEN SAPI SERTA TEKNIK INSEMINASI BUATAN PADA
SAPI DI BIB (BADAN INSEMINASI BUATAN) UNGARAN

II.

LATAR BELAKANG
Inseminasi

Buatan

(IB)

merupakan

teknik

perkawinan

dengan

memasukkan semen segar atau semen beku ke dalam saluran kelamin sapi betina
dengan menggunakan suatu alat yang dibuat oleh manusia. Hal ini bertujuan
untuk perbaikan mutu genetik ternak, menghindari penyebaran penyakit kelamin,
meningkatkan jumlah keturunan dari pejantan unggul dengan inseminasi ke
banyak betina dan meningkatkan kesejahteraan peternak (Ihsan, 1997; Blakely
and Bade, 1998; Ax, Dally, Didion, Lenz, Love, Varner and Hafez, 2000;
Pangestu, 2002 ; Aminasari, 2009). Inseminasi Buatan merupakan salah satu
program yang digalakkan oleh pemerintah guna memperbaiki mutu genetik dan
produktivitas ternak sapi yang ada di Indonesia. Melalui teknologi IB potensi sapi
pejantan unggul dapat dioptimalkan. Kualitas semen mempunyai peranan penting
dalam IB, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan dengan teliti dan hati-hati
(Anonimus, 2005). Motilitas merupakan kriteria yang paling banyak digunakan
untuk evaluasi semen. Hasil penelitian Pena, Barrio, Quintela dan Herradon
(1998); Tsuzuki, Duran, Sawamizu, Ashizawa dan Fujihara (2000); Kreplin (2002)
dalam skripsi Aminasari tahun 2009

menemukan indikasi bahwa integritas

membran dan fertilitas berkorelasi positif dengan motilitas spermatozoa post


thawing. Januskauskas dan Zilinskas (2002) dalam skripsi Aminasari tahun 2009
mengungkapkan bahwa metode perhitungan motilitas spermatozoa relatif
sederhana yaitu pengamatan dengan menggunakan mikroskop.
Skripsi Aminasari (2009) mengutip Penelitian Malone, Miller dan Lannett
Edwards (1998) menunjukkan bahwa spermatozoa semen beku dari individu sapi
jantan yang berbeda dalam satu bangsa mempunyai motilitas yang berbeda.
Susilawati, Suyadi, Nuryadi, Isnaini dan Wahyuningsih (1993) menyatakan bahwa
semen yang berkualitas dari seekor pejantan unggul dapat dipengaruhi oleh

beberapa faktor fisiologi, antara lain: umur pejantan, sifat genetik, suhu dan
musim, frekuensi ejakulasi dan makanan. Percobaan Tanabe dan Salisbury (1981)
yang disitasi oleh Susilawati, dkk (1993) melaporkan bahwa pejantan yang
berumur 2 sampai 7 tahun dapat menghasilkan semen terbaik dengan angka
kebuntingan yang tinggi pada betina yang dikawini dibanding dengan pejantan
umur diluar interval tersebut. Faktor umur merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kualitas semen segar, namun demikian belum banyak informasi
tentang pengaruh umur terhadap kualitas semen beku, sehingga diperlukan
pengkajian lebih lanjut.
Seekor sapi betina terlahir dengan potensi folikel yang membawa oosit
kira-kira sebanyak 150.000. Proses perkembangan folikel (folikulogenesis) mulai
berjalan semenjak betina tersebut mengalami dewasa kelamin (pubertas) hingga
terjadi ovulasi yang menghasilkan satu oosit fungsional pada setiap siklusnya.
Sementara selama kehidupan seekor sapi rata-rata hanya dapat melahirkan anak
tidak lebih dari 10 ekor. Demikian halnya dengan potensi seekor sapi jantan yang
mulai mampu menghasilkan sperma semenjak memasuki dewasa kelamin sampai
menjelang kematian. Pada setiap ejakulasi dihasilkan sebanyak sekitar 2x109
sperma per mililiter, sementara seekor sapi jantan dapat mengalami ejakulasi yang
sehat sebanyak dua kali dalam seminggu. Perkembangan bioteknologi yang sangat
pesat menuntut pemikiran dalam upaya optimalisasi fungsi fisiologis pada sapi
jantan dan betina. Dalam hal ini akan diketahui bagaimana pengaruh teknik
inseminasi buatan terhadap proses proses fisiologi pada sapi jantan dan betina.
(Wahyuni, 2013)
III.

RUMUSAN MASALAH
Kualitas semen mempunyai peranan penting dalam proses inseminasi

buatan, sehingga perlu diketahui bagaimana proses pengambilan semen dari sapi
jantan. Kualitas semen dapat dipengaruhi oleh proses penyimpanan semen yang
biasanya disimpan dengan cara pembekuan. Oleh karenanya, perlu dilakukan
observasi mengenai proses penyimpanan semen sapi. Proses inseminasi buatan
pada sapi juga perlu dikaji melalui observasi agar dapat diketahui bagaimana

proses kebuntingan pada sapi dapat terjadi ditinjau dari faktor fisiologis yang
berkaitan.
IV.

TUJUAN
Kegiatan observasi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses

pengambilan semen dari sapi jantan, mengetahui bagaimana proses penyimpanan


semen beku, dan mengetahui proses inseminasi buatan hingga terjadi kebuntingan
pada sapi yang diinseminasi.
V.

MANFAAT
Hasil observasi ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mahasiswa

jurusan biologi mengenai proses proses fisiologi pada hewan khususnya


mamalia. Proses fisiologi yang dapat dipahami dalam observasi ini diantaranya
adalah proses reproduksi mamalia(sapi) yang meliputi spermatogenesis, ovulasi,
fertilisasi dan implantasi.
VI.

TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Reproduksi Sapi Jantan
Secara anatomik, alat kelamin jantan dapat dibagi menjadi 3 bagian besar,

yaitu :
1. Kelenjar benih testis
2. Saluran reproduksi vas eferens, epididimis, vas deferens, uretra, serta
kelenjar mani (kel.vesikularis, kel.prostat, kelenjar bulbouretralis/cowper)
3. Alat kelamin luar penis dan skrotum
Testis
Gonad yang sepasang dan berada dalam scrotum ini memiliki kapsul yang
terdiri dari dua lapisan yaitu tunica vaginalis dan tunica albuginea. Testis
dilekatkan lewat tunica vaginalis oleh suatu ligament (selaput jaringan ikat rapat)
ke dasar skrotum. Kedalaman testis terbagi atas kurang lebih 250 kamar bentuk
pyramid yang puncaknya berada di mediastinum. Kamar kamar tersebut disebut
lobula testis, dipisahkan satu sama lain dengan sekat jaringan ikat septula testis.
Dalam tiap lobules testis terdapat 1 3 tubuli seminiferi (saluran penghasil mani).
Dalam Tubulus seminiferi terdapat sel germintiv yang disebut spermatogonia. Sel

sel ini berada di dasar tubulus. Dengan jaringan interstitial dibatasi oleh lamina
basalis. Lamina basalis terdiri dari lapisan tipis di dasar epital germinal,
mengandung butiran halus dan jaringan serat halus. Spermatogonia berproliferasi
terus menerus membentuk sel spermatogenik : spermatosit, spermatid,
spermatozoa. Sel sertoli terletak diantara spermatogonia, tegak pada lamina
basalis, dan puncaknya mencapai lumen. Fungsi ser sertoli melindungi dan
memberi nutrisi sel sel spermatogenilk, fagositosis (memakan sel sel
spermtogenik yang abnormal atau sisa spermatid), menggetahkan lender yang ikut
membina plasma semen dan menggetahkan estrogen, menggetahkan androgen
binding protein (ABP) untuk mengikat androgen dari sel leydig.

Gambar 1. Anatomi Organ Reproduksi Sapi jantan (Syifak, 2013)


Mekanisme Spermatogenesis
Proses

pembentukan

dan

pemasakan

spermatozoa

disebut spermatogenesis. Spermatogenesis hanya terjadi pada hewan jantan.


Spermatogenesis terjadi di tubulus seminiferus. Spermatogenesis mencakup
pematangan sel epitel germinal melalui proses pembelahan dan diferensiasi sel,
yang bertujuan untuk membentuk sperma fungsional. Pematangan sel terjadi di
tubulus seminiferus yang kemudian disimpan di epididimis. Dinding tubulus

seminiferus tersusun dari jaringan ikat dan jaringan epitelium germinal (jaringan
epitelium benih) yang berfungsi pada saat spermatogenesis. Pintalan-pintalan
tubulus seminiferus terdapat di dalam ruang-ruang testis (lobulus testis). Satu
testis umumnya mengandung sekitar 250 lobulus testis. Tubulus seminiferus
terdiri dari sejumlah besar sel epitel germinal (sel epitel benih) yang disebut
spermatogonia (spermatogonium = tunggal). Spermatogonia terletak di dua
sampai tiga lapisan luar sel-sel epitel tubulus seminiferus. Spermatogonia terusmenerus membelah untuk memperbanyak diri, sebagian dari spermatogonia
berdiferensiasi melalui tahap-tahap perkembangan tertentu untuk membentuk
sperma.
Pada tubulus seminiferus terdapat sel-sel induk spermatozoa atau
spermatogonium, sel Sertoli, dan sel Leydig. Sel Sertoli berfungsi memberi
makan spermatozoa sedangkan sel Leydig yang terdapat di antara tubulus
seminiferus berfungsi menghasilkan testosteron.
Proses spermatogenesis dapat dibagi dalam 3 tahap yaitu :
1.

Spermatositogenesis
Merupakan spermatogonia yang mengalami mitosis berkali-kali yang
akan menjadi spermatosit primer. Spermatogonia merupakan struktur primitif
dan dapat melakukan reproduksi (membelah) dengan cara mitosis.
Spermatogonia ini mendapatkan nutrisi dari sel-sel sertoli dan berkembang
menjadi spermatosit primer. Spermatogonia yang bersifat diploid (2n),
berkumpul di tepi membran epitel germinal yang disebut spermatogonia tipe
A. Spermatogonia tipe A membelah secara mitosis menjadi spermatogonia
tipe B. Kemudian, setelah beberapa kali membelah, sel-sel ini akhirnya
menjadi spermatosit primer yang masih bersifat diploid. Spermatosit primer
mengandung kromosom diploid (2n) pada inti selnya dan mengalami meiosis.
Satu spermatosit akan menghasilkan dua sel anak, yaitu spermatosit sekunder.
Proses dari pembentukan spermatogonium dari sel PGC terjadi sebelum
kelahiran individu, kemudian spermatoganium tipe A terus membelah dan
berkembang sampai tahap spermatoganium tipe B sampai pada masa sebelum
masuk masa pubertas dan spermatogonium tipe B berkembang spermatosit
setelah memasuki masa pubertas.

2.

Meiosis
Spermatosit primer menjauh dari lamina basalis, sitoplasma makin
banyak dan segera mengalami meiosis I menghasilkan spermatosit sekunder
yang n kromosom (haploid). Spermatosit sekunder kemudian membelah lagi
secara meiosis II membentuk empat buah spermatid yang haploid juga.
Sitokenesis pada meiosis I dan II ternyata tidak membagi sel benih yang
lengkap terpisah, tapi masih berhubungan lewat suatu jembatan (Interceluler
bridge). Dibandingkan dengan spermatosit I, spermatosit II memiliki inti
yang gelap.

3.

Spermiogenesis
Merupakan transformasi spermatid menjadi spermatozoa yang meliputi 4

fase yaitu fase golgi, fase tutup, fase akrosom dan fase pematangan. Pada fase
golgi butir-butirr praakrosom muncul pada gelembung golgi yang selanjutnya
bergabung membentuk butir akrosom tunggal dalam gelembung akrosom. Selama
fase tutup (tudung) kedua butir akrosom dan gelembung bergerak ke arah kutub
anterior inti. Disini, butir-butir akrosom tumbuh dan menutup hampir dua pertiga
bagian anterior inti sebagai tutup kepala. Pada fase akrosom sebagian besar
akrosom tetap terletak pada anterior inti sedangkan sisa akrosom menyebar
kedalam tudung kepala. Selanjutnya fase pematangan , baik inti maupun seluruh
spermatid mengambil bentuk memanjang. Setelah ekor terbentuk sempurna,
badan residu, yang terdiri dari kelebihan sitoplasma mengandung sedikit
paraplasma serta organel terpisah dari spermatozoa dan tigh junction atau barier
terputus. Hasil akhir berupa empat spermatozoa (sperma) masak. Ketika spermatid
dibentuk pertama kali, spermatid memiliki bentuk seperti sel-sel epitel. Namun,
setelah spermatid mulai memanjang menjadi sperma, akan terlihat bentuk yang
terdiri dari kepala dan ekor. (Syifak, 2013)

Mekanisme Ereksi

Adanya perasaan erotik maka saraf parasimpatis terpacu dan menyebabkan


relaksasi otot polos pada arteri dan korpus kavernosum, akibatnya darah mengalir
ke arteri dan teregang, ruang kaverna terisi darah arterial dan ruangan membesar.
Pembesaran ruangan ini menyebabkan vena besar yang berdinding tipis tergencet
hingga darah sulit meninggalkan melalui vena. Darah yang mengumpul di korpus
kavernosum dengan tekanan yang makin meninggi dan menyebabkan organ
mengeras. Pada saat ini a.helisina yang jalannya bekelok-kelok, secara pasif
teregang dan menjadi lurus ( Yatim, 1990).
Setelah ejakulasi pengaruh saraf simpatis lebih dominan dan otot polos
kembali pada tonusnya, aliran darah normal kembali, darah yang tertinggal dalam
korpus kavernosum tertekan masuk kedalam vena karena kontraksi otot polos
trabekula dan kerutan kembali jaringan elastis. Penis kembali kebentuk yang
normal ( Yatim, 1990). Ereksi merupakan peningkatan turgiditas organ yang
disebabkan
menghasilkan

pemasukan

darah

penambahan

lebih

besar

daripada

tekanan

dalam

penis.

pengeluaarn

yang

Faktor-faktor

yang

menyebabkan ereksi antara lain vasodilatasi pada arteri (disebabkan oleh


ransangan saraf pelvis yang disebut saraf erigentes dari pleksus pelvis) dan
pengurangan aliran vena dari pelvis. Pada kuda dan anjing saat berereksi terjadi
penambahan diameter maupun panjang penis sebab spesies ini mempunyai
jaringan erektil lebih banyak daripada jaringan pengikat lainnya. Ereksi pada
ruminansia dan babi terjadi dengan meluruskan fleksura sigmoid (R.D. Frandson,
1992) dalam Prasetyo, 2013.
Mekanisme Ejakulasi
Ejakulasi adalah suatu gerak refleks yang mengosongkan epididimis,
uretra dan kelenjar-kelenjar kelamin aksesori pada jantan. Dapat terjadi karena
ransangan pada glans penis. Dapat juga ditimbulkan dengan cara masase kelenjar
kelamin aksesori melalui rectum atau dengan menggunakan electric ejaculator
(R.D. Frandson, 1992) dalam Prasetyo, 2013.

Ransangan sensori dari glans Rangsangan emosi dari pusat tertinggi


Melalui saraf pudendal diensefalon Medula spinalis Jumalah rangsangan sensori
dan emosi menghasilkan orgasme Pusat lumbalis Simpatetik motorik parasimpatik
motoric Kontraksi otot polos pada prostat, kontraksi otot serang lintang, vesikula
seminalis dan vas ischiokavernosus, bulbokavernosus Deferens. Penutupan
spinkter interna dan otot contraktor-urethra Pemancaran Ejakulasi (R.D. Frandson,
1992).
Proses ejakulasi berada di bawah pengaruh saraf otonom. Asetilkolin
berperan sepagai neurotransmiter ketika saraf simpatis mengaktivasi kontraksi
dari leher kandung kemih, vesikula seminalis, dan vas deferens. Refleks ejakulasi
berasal dari kontraksi otot bulbokavernosus dan ischiokavernosus serta dikontrol
oleh saraf pudendus. Singkatnya, ejakulasi terjadi karena mekanisme refleks yang
dicetuskan oleh rangsangan pada penis melalui saraf sensorik pudendus yang
terhubung dengan persarafan tulang belakang (T12-L2) dan korteks sensorik
(salah satu bagian otak). Ejakulasi merupakan potensi seekor sapi jantan yang
mulai mampu menghasilkan sperma semenjak memasuki dewasa kelamin sampai
menjelang kematian. Pada setiap ejakulasi dihasilkan sebanyak sekitar 2x109
sperma per mililiter, sementara seekor sapi jantan dapat mengalami ejakulasi yang
sehat sebanyak dua kali dalam seminggu. Sumeidiana et al. 2007 dalam jurnal
Prasetyo tahun 2013 melaporkan

bahwa,

frekuensi

ejakulasi memengaruhi

volume semen, ejakulasi 2 kali sehari setiap 2 4 hari mampu menghasilkan


volume semen yang optimal. Frekuensi ejakulasi yang terlalu sering dalam
satuan waktu yang relatif pendek cenderung akan menurunkan libido, volume
semen dan jumlah spermatozoa per ejakulasi (Toelihere 1993 dalam Prasetyo,
2013).
Sistem Hormonal dalam Proses Spermatogenesis
Spermatogonium berkembang menjadi sel spermatosit primer. Sel
spermatosit primer bermiosis menghasilkan spermatosit sekunder, spermatosit
sekunder membelah lagi menghasilkan spermatid, spermatid berdiferensiasi
menjadi spermatozoa masak. Bila spermatogenesis sudah selesai, maka ABP
testosteron (Androgen Binding Protein Testosteron) tidak diperlukan lagi, sel

sertoli akan menghasilkan hormon inhibin untuk memberi umpan balik kepada
hipofisis agar menghentikan sekresi FSH dan LH ( Anonim B, 2009 ).
Spermatozoa akan keluar melalui uretra bersama-sama dengan cairan yang
dihasilkan oleh kelenjar vesikula seminalis, kelenjar prostat dan kelenjar cowper.
Spermatozoa bersama cairan dari kelenjar-kelenjar tersebut dikenal sebagai semen
atau air mani. Pada waktu ejakulasi, seorang laki-laki dapat mengeluarkan 300
400 juta sel spermatozoa ( Anonim B, 2009 ).
Hormon pada Alat Genital Jantan
Proses spermatogenesis distimulasi oleh sejumlah hormon, yaitu
testoteron, LH (Luteinizing Hormone), FSH (Follicle Stimulating Hormone),
estrogen dan hormon pertumbuhan ( Anonim A, 2009 ).
1.

Testoteron
Testoteron disekresi oleh sel-sel Leydig yang terdapat di antara tubulus

seminiferus. Hormon ini penting bagi tahap pembelahan sel-sel germinal untuk
membentuk sperma, terutama pembelahan meiosis untuk membentuk spermatosit
sekunder ( Anonim A, 2009 ).
2.

LH (Luteinizing Hormone)
LH disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior. LH berfungsi menstimulasi

sel-sel Leydig untuk mensekresi testoteron ( Anonim A, 2009 ).


3.

FSH (Follicle Stimulating Hormone)


FSH juga disekresi oleh sel-sel kelenjar hipofisis anterior dan berfungsi

menstimulasi sel-sel sertoli. Tanpa stimulasi ini, pengubahan spermatid menjadi


sperma (spermiasi) tidak akan terjadi ( Anonim A, 2009 ).
4.

Estrogen
Estrogen dibentuk oleh sel-sel sertoli ketika distimulasi oleh FSH. Sel-sel

sertoli juga mensekresi suatu protein pengikat androgen yang mengikat testoteron
dan estrogen serta membawa keduanya ke dalam cairan pada tubulus seminiferus.
Kedua hormon ini tersedia untuk pematangan sperma ( Anonim A, 2009 ).
5.

Hormon Pertumbuhan
Hormon pertumbuhan diperlukan untuk mengatur fungsi metabolisme

testis. Hormon pertumbuhan secara khusus meningkatkan pembelahan awal pada


spermatogenesis ( Anonim A, 2009 ).

Sel Leydig
Fungsi sel leidig menghasilkan hormon testosteron yang berfungsi :

mengatur

aktivitas

Memelihara

Bersama

kelenjar

tanda

dengan

khas

hormon

assesorius,
jantan

FSH

terutama

(secondary
dan

Hiphofisa

kelenjar

sex

prostat.

characteristics)

mengatur

aktivitas

spermatogenesis ( Yatim, 1990). Hormon LH atau ICSH mengatur aktivitas sel


leidig pengaruh ini semakin jelas bila sekaligus ditambah dengan FSH. Di dalam
tubuh hewan memang terjadi inter-relasi antara kelenjar endokrin tertentu dalam
mengatur aktivitas alat reproduksi, misalnya kelenjar hipophisa, adrenal dan testis
sendiri ( Yatim, 1990).
Air mani sering disebut sperma atau semen, terdiri dari campuran
spermatozoa dan sekresi kelenjar asesorius dan epididimis. Sekreta kelenjar selain
sebagai pengangkut (vesicle), juga bekerja sebagai pembawa makanan serta
mengaktifkan gerakan spermatozoa. Kandungan hialuronidase dalam air mani
yang cukup tinggi diduga terdapat pada kepala dari spermatozoa, enzim mana
yang diperlukan pada proses pembuahan, khususnya untuk merusak selaput
sekunder dari ovum ( Yatim, 1990).
Hormon testosteron sangat berpengaruh terhadap kesuburan kelenjar
asesorius dan ciri khas kelamin jantan (secondary sex characteristic). Kastratsi
sebelum datangnya dewasa kelamin menyebabkan perkembangannya kelenjar
tersebut berhenti, sedangkan kastrasi pada umur dewasa menyebabkan
kemunduran secara bertahap kelenjar asesorius. Secara histologi telah dibuktikan
bahwa sel kelenjar mengecil dan aktivitas bersekresi mundur. Selanjutnya
parenkim kelenjar mengalami involusi dan digantikan dengan jaringan ikat
( Yatim, 1990).
Konsentrasi spermatozoa
Konsentrasi spermatozoa

yaitu jumlah spermatozoa yang terkandung

dalam satu ejakulasi. Penilaian konsentrasi sangat penting, karena digunakan


untuk

menentukan

jumlah

pengenceran semen.

berhubungan erat dengan konsistensi dari semen.

Konsentrasi spermatozoa

B. Manajemen Pengelolaan Semen


Pengambilan dan Penyimpanan Semen
Berbagai cara penampungan semen untuk keperluan inseminasi buatan
telah banyak dilakukan dan dikembangkan . Diantaranya dengan cara menyedot
sperma dari vagina segera sesudah kawin alam. Ada pengumpulan semen pada
sapi dengan cara masase atau pengurutan yaitu memasukkan tangan ke dalam
rectum dan mengurut bagian saluran reproduksi hewan jantan yang mengandung
semen, hingga semen itu mengalir ke luar melalui penis . Ada juga dengan cara
elektro ejakulasi yaitu dengan menggunakan rangsangan listrik (TOELIHERE,
1985) . Cara yang paling populer untuk penampungan semen yaitu dengan
menggunakan suatu alat yang disebut vagina buatan.
Vagina buatan merupakan sebuah silinder keras dan kaku, terbuat dari
karet . Mempunyai panjang kira-kira 30 cm, diameter 6 cm clan tebalnya 0,5
cm . Pada 1/3 bagian dari salah satu ujungnya terdapat lubang penutup yang bisa
dibuka dan ditutup. Gunanya untuk jalan keluar masuknya air dan ventilasi udara.
Sebuah selongsong karet yang permukaannya agak halus berdiameter 6 cm dan
panjang 50 cm . Digunakan sebagai lapisan dalam dari tabung no 1. Corong
yang terbuat dari karet, mulutnya berdiameter 7 cm, ekornya berdiameter 1,5
cm dan panjangnya 26 cm. Pada badan corong dibuat turisan kecil untuk
keluarnya udara. Tabung untuk penampungan semen terbuat dari kaca yang
ujungnya lancip, lebih baik yang berskala . Dapat juga dipakai tabung sentrifuge
yang berskala sampai 15 ml. Bahan pelicin dipakai untuk melicinkan mulut
Vagina Buatan . Pelicin yang biasa dipakai adalah Jelly. Kalau tidak ada bisa
menggunakan vaselin .
Persiapan kandang, pejantan dan hewan pemancing
Lokasi penampungan harus bersih dan kering. Kotoran dan lumpur
dibersihkan dulu . Suasana di sekitar lokasi penampungan harus tenang dan tidak
banyak orang yang menonton. Kandang penampung mempunyai lantai atau
tempat berpijak yang tidak licin. Atau bisa juga tempat berpijak sapi jantan dialasi
dengan keset yang terbuat dari sabut kelapa berukuran 2x2 m. Sebelum
penampungan semen dimulai, praeputium dan daerah sekitarnya harus dicuci

dengan air hangat, kemudian dikeringkan. Rambut di ujung praeputium tidak


boleh terlalu panjang tetapi jangan digunting terlalu pendek, cukup ditinggalkan
2-5 cm . Penampungan semen dilakukan di tempat penampungan yang khusus.
Kondisi pejantan harus dalam keadan sehat, jangan ditakut-takuti clan disakiti,
jangan dibuat marah, misalnya karena tidak mau ke luar dari kandang lalu
dipecut .Penampungan semen yang terlalu sering dalam satu minggu, jika terus
menerus

dilakukan

akan

mempengaruhi

kualitas

dan

kuantitas

semen

.Penampungan yang dilakukan satu sampai dua kali seminggu akan menjaga
kualitas

dan

kuantitas

semen

serta

kondisi

pejantan

tetap

baik.

(Partodihardjo,1980).
Ke dalam kandang penampungan diikatkan seekor sapi betina sebagai
hewan pemancing . Dapat juga dipakai sapi jantan kebiri atau jantan yang
pendiam . Yang paling baik adalah sapi betina yang sedang berahi . Bagian
belakang dari hewan pemancing sekitar pangkal ekor harus dibersihkan dari
kotoran - kotoran yang menempel.
Perawatan hewan yang akan ditampung
Pejantan harus selalu dalam keadaan bersih, dimandikan setiap harisupaya
terhindar dari penyakit dan lalat-lalat yang ada di sekitarnya . Harus disemprot
dengan anti septik, misalnya Lysol, savlon Persediaan air minum harus selalu ada
dan setiap hari harus diganti dengan air bersih . Pemberian makanan dilakukan
dua kali dalam sehari, pagi dan siang . Rumput yang diberikan harus masih segar
clan sudah dicacah supaya tidak ada yang terbuang. Biasanya yang diberikan
adalah rumput raja atau rumput gajah. Pemberian konsentrat atau makanan
penguat juga dilakukan dua kali dalam sehari . Pemberian konsentrat biasanya
lebih didahulukan dari pada pemberian rumput .
Cara penampungan semen
Untuk mendapatkan semen yang kualitas clan kuantitasnya lebih baik,
perlu dibuat rangsangan pada sapi jantan yang akan ditampung dengan melakukan
pengekangan terhadap pejantan, dengan jalan membawa pejantan itu mendekati
hewan pemancing lalu membawanya pergi lagi . Membiarkan pejantan itu

menaiki hewan pemancing tetapi tidak ditampung semennya. Pengekangan ini


disebut false mount . Satu false mount meninggikan konsentrasi sperma 50 % dan
dua false mount menyebabkan peninggian konsentrasi dua kali lipat konsentrasi
sperma yang diperoleh tanpa pengekangan (HALE DAN ALMQUIST, 1960 )
Rangsangan ini dapat diulangi satu atau dua kali . Pada penunggangan berikutnya
baru ditampung semennya .Untuk mempertahankan libido pemancing harus
diganti-gant (TOELIHERE,1985). Pada saat penampungan, penampung berdiri di
samping

kanan,

memegang

vagina

buatan

pada

tangan

kanan

dan

mengarahkannya kira-kira 45 ke atas pada garis horizontal pemancing .


Penampung harus sabar menunggu pejantan ereksi dan menaiki pemancing .
Waktu untuk menampung harus tepat . Hal ini dapat diperoleh karena pengalaman
atau kebiasaan . Sesudah pejantan berereksi secara sempurna dan menaiki
pemancing pada saat itulah dilakukan penampungan . Dengan telapak tangan kiri
yang mengarah ke atas, preputium digenggam dan penis yang ereksi ditarik
kesamping ke arah vagina buatan. Penis itu sendiri tidak boleh digenggam dan
tersentuh karena dapat menyebabkan pejantan menarik kembali penis ke dalam
preputium dan turun kembali, tetapi kadang-kadang dapat terjadi ejakulasi
sebelum penis memasuki vagina buatan . Ujung penis dikenakan ke mulut vagina
buatan . Pejantan harus dibiarkan mendorong sendiri penisnya ke dalam vagina
buatan, karena gerakan ini yang berupa gesekan perlu untuk ejakulasi . Apabila
penampung yang mendorong vagina buatan menutupi penis yang ereksi, maka
kebanyakan pejantan tidak mau berejakulasi . Ejakulasi ditandai dengan adanya
suatu dorongan tiba-tiba ke depan G . dan kaki-kaki belakang pejantan terangkat
seolah-olah hendak melompati Vetina . Sesudah ejakulasi, pejantan bergerak turun
dan vagina buatan ditarik perlahan-lahan ke depan. Setelah penis terlepas ke luar,
vagina buatan segera dibalikkan vertical dengan tabung penampung berada di
bawah, lalu lubang ventilasi udara dibuka sedikit. Atau bisa juga vagina buatan
diputar perlahan-lahan membentuk angka 8 supaya semen yang tertampung dapat
turun dan masuk ke dalam tabung penampung . Setelah kira-kira semua semen
turun ke dalam tabung penampung, maka tabung penampung dilepas dari ekor
corong karet dan ditutup. Lalu disimpan dalam termos berisi air hangat 37 C .
Semen ini siap dibawa ke laboratorium untuk dievaluasi.

Semen
Lendir yang keluar dari genitalia jantan waktu ejakulasi disebut
semen(mani). Semen terdiri dari bagian padat dan bagian cair. Bagian padat
adalah spermatozoa, bagian cair disebut plasma semen (air mani). Spermatozoa
dihasilkan testis, plasma semen dihasilkan ampulia vas deferens, dan kelenjarkelenjar prostat, vesicula seminalis, Cowper dan Littre. Semen yang keluar dari
penis biasanya dalam 4 fraksi :
1. Fraksi pre-ejakulasi
Fraksi pre-ejakulasi berasal dari kelenjar Cowper dan Littre. Ini dapat
keluar dari penis jauh sebelum ejakulasi berlangsung dan berfungsi untuk
melicinkan urethra dan untuk melicinkan vagina waktu coitus. Volumenya kurang
lebih 0,2 ml.
2. Fraksi awal
Fraksi awal semata-mata hanya lendir, berasal ari prosat. Lendir ini
mengandung berbagai zat untuk memelihara spermatozoa ketika berada di luar
tubuh jantan. Volumenya kira-kira 0,5 ml.
3. Fraksi utama
Fraksi utama terdiri dari lendir dan sebagian terbesar spermatozoa yang
dikeluarkan dari simpanannya dalam epididimis. Volumenya kurang lebih 2,0 ml.
4. Fraksi akhir
Fraksi akhir lendir mengandung sedikit spermatozoa, yang biasanya
nonmotil (tak bergerak). Lendir fraksi utama dan akhir berasal dari vesicula
seminalis, yang fungsinya juga untuk memelihara spermatozoa ketika berada di
luar tubuh jantan. Volumenya kurang lebih 0,5 ml.

Volume normal semen sekali ejakulasi sekitar 2,0 sampai 3,0 ml. Ada juga
yang sampai 4,5 ml. Jika volume kurang dari 1 ml, ada kemungkinan tak beresnya
prostat dan vesicula seminalis yang merupakan penghasil utama plasma semen.
Keadan fisik semen yang baru di ejakulasi adalah kental. Tapi sekitar 15
menit kemudian akan mengalami pengenceran, disebut likuifaksi, oleh seminin
(enzim lysis) yang dihasilkan prostat.

Kandungan semen
Zat yang terkandung dalam semen antara lain :
1. Fruktosa, dihasilkan vesicula seminalis, berada dalam plasma semen.
Berfungsi untuk sumber energi bagi spermatozoa dalam bergerak.
2. Asam sitrat, spermin, seminin, enzim posfatase asam, glukorunidase,
lisozim dan amilase. Semua dihasilkan oleh prostat. Asam sitrat diduga
berfungi untuk menggumpalkan semen setelah ejakulasi. Spermin
untuk memberi bau khas, seminnin untuk merombak (lysis) sehingga
sperma mengencer, dan juga untuk mengencerkan lendir cerviz betina,
sedangkan enzim-enzim lain berperan dalam memelihara atau memberi
nutrisi bagi spermatozoa di luar tubuh jantan.
3. Prosaglandin, dihasilkan vesicula seminalis dan prostat. Berperan
untuk melancarkan pengangkutan spermatozoa dalam saluran kelamin
jantan dan betina diantaranya dengan mengurangi gerakan uterus,
merangsang kontraksi otot polos saluran kelamin jantan waktu
ejakulasi, dan juga untuk vasodilatasi (mengembangkan pembuluh
darah).
4. Elektrolit, terutama Na, K, Zn, Mg. dihasilkan prostat dan vesicular
seminalis. Untuk memelihara pH plasma semen.
5. Enzim pembuahan : hyaluronidase, neuroaminidase, protease, mirip
tripsin, protease seperti kimotripsin.
6. Inhibitor, dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar kelamin jantan dan
terkandung dalam plasma semen
7. Hormone : testosterone, FSH dan LH
8. Zat organis lain, seperti asam amino, protein dan lemak.

Analisa semen
Paling baik semen diperiksa selambatnya satu jam sesudah ejakulasi. Jika
sampel masih dipakai lebih dari 4 jam setelah ejakulasi, agar disimpan dalam
lemari es, dan untuk memeriksanya kembali harus ditaruh dahulu dalam suhu
kamar.
Yang perlu dianalisa secara rutin adalah ;
1. Bau
Sperma normal memiliki bau yang khas, tajam dan tidak busuk. Bau
itu berasal dari oksidasi spermin yang dihasilkan prostat. Jika taka da
bau khas mani, prostat tak aktif atau ada gangguan.
2. Warna
Warna normal serma adalah seperti lem kanji atau putih kelabu. Jika
agak lama abstinensi kekuningan. Jika putih atau kuning tandanya
banyak lekosit yang mungkin oleh adanya infeksi genitalis. Beberapa
macam obat seperti antibiotika dapat mewarnai semen.
3. Volume
Rata-rata volume sperma dapat digolongkan atas :
Aspermia
: 0 ml
Hypospermia
: < 1 ml
Normospermia
: 1-6 ml
Hyperspermia
: > 6 ml
Rata-rata volume ejakulasi adalah 2,5-3,5 ml.
4. Koagulasi
Semen normal setelah ejakulasi segera menggumpal. Jika langsung
encer ketika ditampung berarti ada gangguan pada vesicular seminalis
atau ductus ejakulatoris.
5. Likuifaksi
Likuifaksi atau pengenceran terjadi pada semen normal 15-20 menit
post ejakulasi. Kalau semen tak mengencer, ini berarti ada gangguan
pada prostat yang menghasilkan zat pengencer (seminin). Biasanya
orang ini kurang fertile (subfertil).
6. Viskositas
Kekentalan semen diperiksa dengan alat yang disebut viscometer.
Secara sederhana dapat dilakukan dengan jalan mencelupkan batang
kaca ke objek yang sudah ditetesi semen, diangkat pelan, diukur tinggi
benang yang terjadi Antara batang kaca dan objek sampai batang
putus. Viskositas normal jika panjang benag 3-5 cm. Jika semen terlalu

kental (>5 cm) berarti kurang enzim likuifaksi dari prostat. Terlalu
encer (< 3cm), karena zat koagulasi yang dihasilkan vesicula seminalis
terlalu sedikit, atau enzim pengenceran dari prostat terlalu banyak.
7. pH
semen diteteskan dengan batang kaca pada kertas pH. pH normal ialah
7,2-7,8 pH. Jika lebih dari 8 maka menunjukkan adanya radang akut
kelenjar kelamin atau epididymis. pH < 7,2 menunjukkan adanya
penyakit kronis pada kelenjar atau epididymis. Jika pH rendah sekali
menunjukkan adanya gangguan atau aplasia pada vesicular seminalis
atau ductus ejakulatoris.
8. Kecepatan
Untuk mengukur kecepatan

spermatozoa

dipakai kaca

objek

hemocytometer Neubauer, dan dilihat dengan mikroskop pebesaran


450X. Dihitung 25 spermatozoa yang beregerak maju dengan memakai
counter. Diambil nilai rata-rata. Kecepatan normal 2,5 detik per kotak
ukuran dalam objek. Kalau kecepatan kurang dari 2,5 detik berarti
sspermatoozoa kurang mampu berfertilisasi.
9. Konsentrasi
Konsentrasi atau jumlah spermatozoa/ml semen, dihitung dengan
hemocytometer Neubauer juga. Konsentrasi spermatozoa dapat
digolongkan menjadi :
Polyzoospermia : > 250 juta/ml
Normozoospermia: 40-200 juta/ml
Oligozoospermia : < 40 juta/ml
Azoospermia
: 0/ml
10. Motilitas
Jumlah yang bergerak maju adalah jumlah spermatozoa semua
dikurangi jumlah yang mati. Dianggap normal jika motil maju >40%.
Menurut Rehan et al. (1975) sperma yang normal memilikii presentase
motil sebesar 10-95%. Spermatozoa yang tak bergerak belum
menunjukkan mati. Mungkin ada suatu zat cytotoxic atau antibody
yang membuatnya tak bergerak.
Usaha untuk mempertahankan kualitas semen dan memperbanyak hasil
sebuah ejakulasi dari jantan unggul adalah dengan melakukan pengenceran semen
menggunakan beberapa bahan pengencer. Syarat setiap bahan pengencer adalah

harus

dapat

menyediakan

nutrisi

bagi

kebutuhan

spermatozoa

selama

penyimpanan, harus memungkinkan sperma dapat bergerak secara progresif, tidak


bersiafat racun bagi sperma, menjadi penyanggah bagi sperma, dapat melindungi
sperma dari kejutan dingin (cold shock) baik untuk semen beku maupun semen
yang tidak dibekukan (semen cair) (Solihati dan Kune, n.d). Seiap bahan
pengencer yang baik harus dapat memperlihatkan kemampuannya dalam
memperkecil tingkat penurunan nilai motilitas (gerak progresif) sperma sehingga
pada akhirnya memperpanjang lama waktu penyimpananya pasca pengenceran.
Ada tiga macam pengencer, yaitu tris kuning telur (TKT), home made
triladyl (HMT) dan androMed. (Arifiantini dan Yusuf, n.d)

Tabel 1 Komposisi bahan pengencer semen beku yang digunakan


Komponen

TKT

HMT

KK

Tris(hydroxymethyl) aminomethan (g)


Asam sitrat (g)
Fruktosa (g)
Kuning telur (ml)
Andromed konsentrat (ml)
Gliserol (ml)
Penisilin (IU)
Streptomisin (mg)
Aquabidest ad (ml)
(Arifiantini dan Yusuf, n.d)

3.87
2.17
1.56
20
6.4
500.000
50
100

2.42
1.48
1
20
6.4
500.000
50
100

20

100

C. Ovulasi
Sistem reproduksi betina mengalami suatu daur, yang berulang secara
berkala dan teratur. Lama daur pembiakan itu berbeda dari antara mamalia satu
dengan yang lain. Ada yang beberapa hari, ada yang beberapa minggu, ada yang
berbulan, ada yang berbulan, ada pula yang sekali setahun. Primata sekitar
sebulan. Mamalia yang hidup bebas, seperti kucing, anjing, harimau, rusa, sekali
setahun saja. Mereka melakukan pembiakan, disebut musim pembiakan. Tapi
kalau sudah jadi hewan piara turun temurun, musim pembiakan tidak jelas lagi
sekali setahun. Kecuali primata, pada umumnya mamalia jantan menyesuaikan
diri dengan daur pembiakan pada betina (Wildan.1994-92).

Pada setiap mamalia betina mengalami proses yang namanya birahi.


Proses ini memerlukan waktu yang berbeda-beda dari setiap mamalia. Faktor dari
luar juga mempengaruhi prose birahi. Meningkatnya suhu serta pancaran matahari
dikira menyababkan reksi fisiologis berantai dalam tubuh hewan sehingga
mendorong mereka untuk menghasilkan dan mengeluarkan telur. Lewat indra
penerima stimulus suhu dan cahaya, sehingga merangsang hypotalamus otak dan
hypofisis maka di sekresikan hormon gonadotropin.
Daftar berikut memperlihatkan lama daur pembiakan pada mammalia.
Spesies
Mencit dan tikus

Lama satu daur


5 hari

Marmot

15 hari

Sapi, kucing dan anjing

21 hari

Manusia dan kera

28 hari

Simpanse

35 hari

Pada mamalia, tak kentara benar pada primata. Ada rasa ingin membiak
(berahi) yang datang secara berkala bagi betinanya, disebut estrus (oestrus).
Karena itu pada kelompok hewan demikian daur pembiakan sama atau serentak
dengan daur estrus (Wildan. 1994).
Seluruh bagian sistem reproduksi mengalami perubahan berkala dalam
daur itu. Prinsipnya menyesuaikan dengan daur yang dialami alat kelamin primer,
yakni ovarium. Pada suatu ketika dalam daur itu ovarium menghasilkan banyak
esterogen, dan ini mempengaruhi saluran serta kelenjar sekunder. Bahkan juga
tabiat atau behavior tubuh betina itu keseluruhan mengalami perubahan berkala,
sesuai dengan perubahan produksi esterogen dalam ovarium (Wildan, 1994).
Fase dalam siklus birahi / Daur estrus
Proestrus ialah periode pertumbuahan periode folikel dan dihasilkannya
banyak esterogen. Esterogen ini merangsang pertumbuahan seluler pada alat
kelamin, terutamanpada vagina dan uterus (Wildan.1994-104).
Estrus

Estrus berasal dari kata yunani yang dalam bahasa inngris berarti gadfly
istilah untuk menyebut orang-orang yang berperilaku mengganggu, barangkali
karena pengaruh libido seksual yang mengusik, mirip dengan sengatan lalat (fly)
yang mengganggu. Seperti yang ditunjukkan oleh sebuatan tersebut, hewan yang
berada di puncak estrus mengalami dorongan yang kuat tetapi singkat untuk
kawin. Hewan seperti ini di sebut sedang bergairah in heat atau sedang estrus.
Sebelum dan sesudah periode estrus yang singkat itu, hewan tidak memiliki
dorongan seksual. Pada tingkat fisik, siklus estrus mempersiapkan saluran
reproduksi betina untuk kopulasi. Pada estrus, tidak terdapat perkembangan
lapisan estrus yang rumit seperti siklus menstruasi. Jika tidak terjadi fertilisasi,
penebalan dinding rahim macam apapun yang disiapkan untuk sel telur yang
terbuahi akan diserap kembali ke dalam tubuh. Peristiwa-peristiwa siklus estrus
dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Pada sejumlah hewan, pelepasan
ovum tergantung pada kopulasi (Fried et al, 1999).
Estrus merupakan klimax fase folikel. Pada masa inilah betina siap
menerima jantan, dan pada saat ini pula terjadi ovulasi (kecuali pada hewan yang
memerlukan rangsangan sexual lebih dahulu untuk terjadinya ovulasi). Waktu ini
betina jadi birahi atau panas (estrus = panas) (Wildan.1994-104).
Diestrus
Pada mamalia jika tiada kehamialan ovarium dan alat kelamin tambahan
mengalami perubahan berangsur kembali ke suasana istirahat, tenang yang disebut
diestrus (Wildan.1994-104).
Beberapa daur estrus memiliki masa metestrus atau anestrus. Ini ialah
masa perpanjangan masa diestrus, yang setelah selesai satu daur estrus tak segera
dimulai dengan proestrus baru daur berikut. Masa istirahat atau masa non fertil ini
berlangsung 1-2 hari, berminggu, atau sampai berbulan. Tikus 1-2 hari, dan anjing
40-50 hari.
Siklus menstruasi (siklus estrus) diregulasi oleh hormon hormon yang
diasilkan oleh hopotalamus otak, kelenjar pituitary, dan struktur endoktrin di
ovarium. Hormon pelepas gonadotropin (GnRH) dari hipotalamus otak mungkin

bergerak sepanjang sebuah saluran yang tersusun atas pembuluh-pembuluh darah,


desebut eminensi median, langsung ke pituitari. Pituitari lalu terstimulasi untuk
menghasilkan dua hormon, yaitu hormon perangsang folikel (FSH) dan hormon
peluteinan (LH). Kedua hormon tersebut merangsang ovarium untuk enghasilkan
hormon-hormon seks peremppuan, yakni estekdiol (dari folikel Graf yang
membungkus sel telur) dan progesteron (dari korpus luteum yang terbentuk dari
folikel yang pecah) (Fried et al, 1999).
Pelepasan GnRH dari terminal syaraf dan median eminence ke dalam
hipophyseal portal darah merupakan sinyal neuroendokrin untuk terjadinya proses
ovulasi (Karch et al., 1992 disitasi Hernawan, 2003 disitasi Ratnawati et al,
2008). GnRH akan menstimulasikan sel-sel gonadotroph kelenjar pituitari untuk
mensekresikan Follicle Stimullating Hormon (FSH) dan Luteinizing Hormon
(LH). FSH dan LH akan bekerja pada sel target dari gonad, FSH akan
menstimulasikan sel-sel granulosa untuk memfasilitasi proses oogenesis dan
bertanggungjawab atas perkembangan dan pematangan folikel dan LH berfungsi
untuk ovulasi. Perlakuan sinkronisasi oestrus atau ovulasi akan memperbesar
peluang bertemunya ovum setelah ovulasi dengan sperma karena umur ovum atau
sperma dalam saluran kelamin betina sangat terbatas untuk beberapa jam
(Ratnawati et al,2008).
Birahi pada sapi
Gejala berahi yang

umumnya terlihat adalah gejala keluarnya lendir,

perubahan kondisi vulva (merah, bengkak dan basah), gelisah dan nafsu makan
menurun, menaiki dan diam dinaiki oleh sesama sapi betina. Tidak semua ternak
yang berahi dapat memperlihatkan semua gejala berahi dengan intensitas atau
tingkatan yang sama (Yusuf, 1990 dalam Petrus, 2007).
D. Proses Kebuntingan
Fertilisasi
Proses kebuntingan pada sapi diawali dengan fertilisasi. Fertilisasi
(pembuahan) adalah peristiwa bersatunya antara spermatozoa dengan sel
sperma

telur, pembuahan sering kali diartikan sebagai penyerbukan. Sel

spermatozoa atau sel ovum berasal dari dua sel yang berbeda, maka untuk dapat
bertemu dan bersatu kedua unsur tersebut harus melalui perjalanan panjang dan
mengalami proses persiapan serta tempat pertemuan harus memenuhi syarat bagi
sel permatozoa dan sel ovum.
Pembuahan merupakan pengaktifan sel telur dan sel spermatozoa. Tanpa
ransangan sperma sel telur tidak akan mengalami pembelahan (Cleavage) dan
tidak ada perkembangan embriologi. Dalam aspek genetik pembuahan meliputi
pemasukan faktor-faktor hereditas pejantan ke dalam sel telur. Disinilah terdapat
manfaat perkawinan atau inseminasi yaitu untuk menyatukan faktor-faktor
unggul ke dalam satu individu. Pada hampir semua mamalia, pembuahan dimulai
ketika badan kutub pertama disingkirkan, sehingga sperma menembus dan
masuk ke dalam sel telur sewaktu pembelahan reduksi ke dua berlangsung.
Proses pembuahan biasanya terjadi di bagian kaudal ampula atau di
sepertiga atas tuba falopi. Sel telur masuk ke dalam ampula masih dalam
keadaan diselaputi oleh sel-sel granulosa yang dilepaskan oleh folikel de graaf,
sel-sel tersebut adalah sel kumulus ooporus. Dengan demikian masuknya sel
spermatozoa ke dalam sel telur pada saat sel telur menjalani pembelahan reduksi
pertama. jumlah sel spermatozoa yang ditumpahkan kedalam saluran sel kelamin
betina bisa ratusan hingga ribuan juta, tetapi yang berhasil sampai ke tempat
pembuahan relatif sedikit, mungkin tidak sampai lebih dari 1000 sel spermatozoa.
Derajat

kebuntingan rendah bisa diakibatkan dari tidak tepatnya

mengawinkan. Sel spermatozoa mengalami suatu perjalanan yang unik sebelum


berperan dalam proses pembuahan, selama perjalanan ini terjadi serentetan
perubahan pada sel spermatozoa untuk memperoleh kemampuan fertilisasi sel
telur, proses ini disebut kapasitasi, sel spermatozoa harus dapat mengenali,
menempel pada sel telur dan melakukan penetrasi pada sel telur. Demikian juga
sel gamet betina (oosit) harus mengalami serangkaian proses biologis alamiah
hingga matang, serta fertil dan disebut ovum atau sel telur. Masing-masing
bergerak saling mendekat dan bertemu di sentral sel . Peleburan kedua pronuklei
dimulai dengan proses penyusutan inti dan jumlah pronuklei ini menurun.
Membran pronuklei pecah dan menghilang, kromosom dari sel spermatozoa dan
sel telur bersatu (amfimiksis). Metafase proses mitosis pertama dari sel telur

merupakan tanda akhir dari peleburan ke dua jenis pronklei jantan dan betina
(singami) dan sekaligus merupakan akhir proses fertilisasi.
Sel telur yang telah dibuahi ini disebut zigot yang segera mengalami
proses pembelahan menjadi embrio. Proses pembuahan ini memerlukan waktu
20-24 jam pada sapi. Untuk masuk kedalam sel telur, sel sperma pertama-tama
harus melewati : sel-sel kumulus oophorus bila masih ada, menembus zona
pellusida, selanjutnya selaput (membrana) vitellin. Sel-sel kumulus dapat dilewati oleh pergerakan sel

spermatozoa sendiri, dan dibantu oleh enzim

hyaluronidase untuk melarutkan asam hyaluronik pada Cumulus oophorus.


Enzim tersebut mendepolimerisasi asam hyaluron-protein. Hambatan selanjutnya
adalah zona pellusida, penembusan ke dalam zona pellusida disebabkan karena
sel spermatozoa memiliki enzim, yang disebut zonalisin. Enzim ini telah
diketemukan pada babi. Sel telur bulu babi, menghasilkan fertisin, bahan ini
bereaksi dengan antrif ertilisin yang dihasilkan oleh sel spermatozoa. Reaksi
dari kedua bahan ini menyebabkan sel spermatozoa melekat dengan zona
pellusida dan menembusnya. Setelah menembus lapisan-lapisan tersebut
akrosoma yang telah menjadi longgar selama kapasitasi akhirnya hilang dan
membentuk perforatorium. Mungkin aktivitas suatu enzim tertentu berhubungan
dengan perforatorium yang memungkinkan penerobosan zona pellusida. Fase
terakhir penetrasi sel telur, meliputi pertautan kepala sel spermatozoa ke
permukaan vitellin. Periode ini sangat penting karena pada saat inilah terjadi
aktivasi ovum, yang terangsang oleh pendekatan sel spermatozoa, sel telur
bangkit dari keadaan tidurnya
spermatozoa dan

dan terjadilah perkembangan. Kepala sel

pada beberapa species juga ekor dari sel spermatozoa

memasuki sel telur. Membran plasma sel spermatozoa dan sel telur pecah
kemudiaan bersatu membentuk selubung bersama. Sebagai akibatnya, sperma
memasuki vitellin dan selubung dari sel spermatozoa tersebut bertaut pada
membran vitellin. Pada alternatif lain, membran plasma sel spermatozoa dapat
pecah kemudian kepala sel spermatozoa yang telanjang memasuki sel telur.
Bagian akhir proses pembuahan adalah menghilangnya anak-anak inti
berikut selaput-selaputnya, kromosom maternal

mulai tampak, kemudian

bersatu

tertentu

menjadi

satu

kelompok.

Pada

fase

selama

puncak

pekembangannya, pronuklei jantan betina mengadakan kontak. Sesudah beberapa


saat ke dua pronuklei tersebut berkerut dan bersamaan dengan itu meleburkan
diri. Nukleoli tidak tampak lagi. Umur pronukleoli berkisar antara 10 - 15 jam
menjelang cleavage pertama, dua kelompok kromosom mulai kelihatan, masingmasing adalah kromosom paternal dan maternal yang bersatu membentuk satu
kelompok yang memulai profase mitosis pertama dari cleavage. Sel telur
yang telah dibuahi menjalani cleavage petama untuk membentuk embrio dua sel.
Setiap anak sel kini mengandung jumlah kromosom diploid normal yang khas
dari jenis hewan

tersebut, setengahya berasal dari sel spermatozoa dan

setengahnya berasal dari sel telur.


Lamanya fertilisasi jumlah interval waktu dari penetrasi sel spermatozoa
sampai waktu cleavage pertama tidak diketahui secara pasti pada ternak,
kemungkinan besar tidak lebih dari 24 jam. Lama pembuahan dihitung
berdasarkan waktu yang diperlukan sejak dimulai masuknya sel sperma ke
dalam sel telur sampai dengan dimulainya pembelahan sigot. Pada mamalia,
satu sel spermatozoa diperlukan untuk pembuahan, oleh karena itu untuk
mencegah masuknya sel spermatozoa yang lain, sel telur mempunyai dua
sistem pertahanan, yaitu zona pellusida dan selaput vitelin. Tahanan yaitu zona
pellusida adalah perubahan zona pellusida akibat melekatnya sel spermatozoa
ke dalam selaput vitelin. Perubahan ini mengakibatkan butir-butir korteks
(cortical granules) yang terdapat pada selaput vitellin dilepaskan ke arah zona
pellusida dengan demikian antara ruang vitelin dengan zona pellusida
terdapat ruangan yang disebut ruangan perivitelin. Ruangan perivitelin makin
lama makin meluas dan permulaan perluasannya dimulai dari tempat sel
spermatozoa masuk.
Butir-butir korteks telah ditemukan pada marmut, babi, kelinci dan
bahan tersebut lenyap setelah sel spermatozoa masuk ke dalam reaksi sel telur.
Reaksi zona pellusida pada anjing dan domba sangat cepat, sehingga jarang
sekali diketemukan sel spermatozoa tambahan didalam ruangan perivitelin.
Tahanan selaput vitelin berarti bahwa selaput tersebut hanya mengadakan tahanan
pada sel spermatozoa yang pertama masuk, sesudah itu permukaan selaput
vitelin tidak lagi memberi reaksi terhadap sel permatozoa lainnya yang akan

masuk. Sel spermatozoa yang lainnya secara kebetulan bisa lolos menembus
zona pellusida tidak dapat masuk ke dalam sitoplasma sel telur, karena ada
tahanan dari selaput vitelin. Sel spermatozoa tersebut ditampung dalam tahanan
ruangan perivitelin.
Secara normal hanya satu sel spermatozoa yang memasuki sel telur.
Sering terlihat banyak sel spermatozoa bergerombol di sekeliling zona pellusida,
tetapi hanya satu sel kelamin jantan yang terdapat dalam sel telur. Dari
kenyatan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa zona pellusida dapat menjalani
beberapa

perubahan

sesudah masuknya

sel spermatozoa petama dan

menghalangi pemasukan sel spermatozoa yang berikutntya. Perubahan ini


disebut reaksi zona. Reaksi zona tersebut terdiri dari suatu perubahan yang
menyebar kesekeliling zona. Sel spermatozoa pertama mengadakan kontak
dengan permukaan vitellus merangsang timbulnya perubahan tersebut yang
dibawa oleh oleh beberapa zat yang keluar dari vitellus ke arah zona. Mungkin
zat tersebut dibebaskan dari granula korteks pada sel telur yang menghilang
sesudah sel spematozoa pertama memasuki sel telur. Sel spermatozoa ekstra
yang berhasil menembus zona pellusida ke ruangan perivitellin disebut sperma
suplementer.
Mekanisme pertahanan lainya terhadap pemasukan lebih dari satu
sperma ke dalam sel telur diperlihatkan oleh vitellus sendiri dan disebut
blokade vitellin atau blokade terhadap polyspermia. Sperma yang telah dibuahi
diambil secara aktif oleh vitellus, akan tetapi segera sesudah itu permukaan
vitellus tidak memberi respon terhadap kontak dan tidak ada lagi sel spermatozoa
yang diambil. Spermatozoa ekstra yang berhasil memasuki vitellus, walaupun
adanya reaksi zona dan blokade vitellin, disebut sperma supernumeralia, dan sel
telur dikatakan memperlihatkan polyspermia.

Tahapan-tahapan fertilisasi
Kapasitasi spermatozoa dan pematangan spermatozoa

Kapasitasi spermatozoa merupakan tahapan awal sebelum fertilisasi.


Sperma yang dikeluarkan dalam tubuh (fresh ejaculate) belum dapat dikatakan
fertil atau dapat membuahi ovum apabila belum terjadi proses kapasitasi. Proses
ini ditandai pula dengan adanya perubahan protein pada seminal plasma,
reorganisasi lipid dan protein membran plasma, Influx Ca, AMP meningkat, dan
pH intrasel menurun.
Perlekatan spermatozoa dengan zona pelucida
Zona pelucida merupakan zona terluar dalam ovum. Syarat agar sperma
dapat menempel pada zona pelucida adalah jumlah kromosom harus sama, baik
sperma maupun ovum, karena hal ini menunjukkan salah satu ciri apabila
keduanya adalah individu yang sejenis. Perlekatan sperma dan ovum dipengaruhi
adanya reseptor pada sperma yaitu berupa protein. Sementara itu suatu
glikoprotein pada zona pelucida berfungsi seperti reseptor sperma yaitu
menstimulasi fusi membran plasma dengan membran akrosom (kepala anterior
sperma) luar. Sehingga terjadi interaksi antara reseptor dan ligand. Hal ini terjadi
pada spesies yang spesifik.
Reaksi akrosom
Setelah reaksi kapasitasi, sperma mengalami reaksi akrosom, terjadi
setelah sperma dekat dengan oosit. Sel sperma yang telah menjalani kapasitasi
akan terpengaruh oleh zat zat dari korona radiata ovum, sehingga isi
akrosom dari daerah kepala sperma akan terlepas dan berkontak dengan
lapisan korona radiata. Pada saat ini dilepaskan hialuronidase yang dapat
melarutkan korona radiata, trypsine like agent dan lysine zone yang dapat
melarutkan dan membantu sperma melewati zona pelusida untuk mencapai ovum.
Reaksi tersebut terjadi sebelum sperma masuk ke dalam ovum. Reaksi akrosom
terjadi pada pangkal akrosom, karena pada lisosom anterior kepala sperma
terdapat enzim digesti yang berfungsi penetrasi zona pelucida.
Penetrasi zona pelucida
Setelah reaksi akrosom, proses selanjutnya adalah penetrasi zona pelucida
yaitu proses dimana sperma menembus zona pelucida. Hal ini ditandai dengan
adanya jembatan dan membentuk protein actin, kemudian inti sperma dapat

masuk. Hal yang mempengaruhi keberhasilan proses ini adalah kekuatan ekor
sperma (motilitas), dan kombinasi enzim akrosomal.
Bertemunya sperma dan oosit
Apabila sperma telah berhasil menembus zona pelucida, sperma akan
menenempel pada membran oosit. Penempelan ini terjadi pada bagian posterior
(post-acrosomal) di kepala sperma yang mnegandung actin. Molekul sperma yang
berperan dalam proses tersebut adalah berupa glikoprotein, yang terdiri dari
protein fertelin. Protein tersebut berfungsi untuk mengikat membran plasma oosit
(membran fitelin), sehingga akan menginduksi terjadinya fusi.
Implantasi
Implantasi pada mamalia biasanya uterus membentuk suatu reaksi decidua
sebagai respon. Di dalam kejadian ini stroma endometrium, sel fibroblastik
ditransformasikan ke dalam bentuk sel decidua khusus. Sel ini ditandai dengan
penonjolan epithelloid, kehadiran imti poliploid, akumulasi glikogen dan lipid di
dalam sitoplasma, pembentukan banyak lisosom dan terjadi kontak antara sel
dengan suatu hubungan yang kompleks. stroma endometrium ini akan menjadi
edemtus sebab terjadi vasodilatasi dan penambahan permiabilitas pembuluh
kapiler, peningkatan mitosis dan kegiatan metabolisme.
Menurut Partodihardjo (1980), implantasi berlangsung secara bertahap.
Tahap-tahap ini adalah tahap persentuhan embrio dengan endometrium,
terlepasnya zona pelusida, pergeseranatau pembagian tempat dan yang terakhir
ada1ah pertautan antara trofoblas dengan epitel endometrium. Tahap pelepasan
zona pelusida adalah penting karena zona pe1usida merupaluran suatu penghalang
untuk imp1antasi. Terlepasnya zona pelusida ada1ah sebagai aktivitas dari enzim
proteolitik dari airan uterus. Pelepasan zona pelusida terjadi sebelum trofoblas
melekat pada endometrium.

VII.

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian ini akan dilaksanankan pada bulan Maret di Balai

Inseminasi Buatan, Ungaran Jawa Tengah


Survei Penelitian
Survei penelitian dilakukan di Balai Inseminasi Buatan dengan
melakukan observasi, pengamatan dan wawancara dengan ahli mengenai
proses pengambilan semen, peoses penyimpanan, dan teknik inseminasi
buatan pada sapi.
Jenis dan Sumber Data Observasi
Jenis data pada observasi ini adalah berupa data kualitatif yaitu berupa
pernyataan pernyataan, kalimat, dan keterangan(tidak dapat dihitung) dari
ahli yang diwawancari dan juga data berupa foto maupun video. Sumber data
berasal dari ahli yang ditunjuk oleh pihak Balai Inseminasi Buatan.
Selain data kualitatif, jenis data lainnya adalah data kuantitatif berupa
angka atau data yang dapat diukur (dihitung) meliputi : jumlah sapi yang
diinseminasi, jumlah kebuntingan, dan jumlah kelahiran.
Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini ditabulasikan dalam tabel dan
ditampilkan dalam bentuk diagram batang. Data tersebut dievaluasi
menggunakan analisis deskriptif dengan menghitung mean (nilai rata-rata)
dan standar deviasi (simpangan baku).

VIII. PENUTUP DAN PENGESAHAN


Demikian proposal ini kami buat dan ajukan, kami harap kritik dan saran
serta dukungan Ibu dosen. Supaya tugas proyek yang kami laksanakan dapat
berjalan dengan baik dan membuahkan hasil yang maksimal.
Atas perhatian ibu dosen, kami mengucapkan terima kasih.

Semarang,

Mei 2014

Menyetujui,
Dosen Fisiologi Hewan

(Dra. Aditya Marianti, MSi)


NIP.19671217 199303 2001

DAFTAR PUSTAKA
Aminasari, Pfrina Dwi. 2009. Pengaruh Umur Pejantan Terhadap Kualitas
Semen Beku Sapi Limousin. Malang : Skripsi Jurusan Produksi Ternak
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
Arifiantini, R.I. dan T.L. Yusuf.

Keberhasilan Penggunaan Tiga Pengencer

Dalam Dua Jenis Kemasan Pada Proses Pembekuan Semen Sapi Frisien
Holstein. Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Fried, George H dan George J. Hademenos. 1999. Scaums Outlines, Biologi edisi
kedua. Jakarta : Erlangga
Kune, Petrus dan Nurcholidah Solihati. 2007. Tampilan Berahi dan Tingkat
Kesuburan Sapi Bali Timo
TERNAK, VOL. 7 NO. 1, 1 5

yang Diinseminasi. JURNAL ILMU

Mardiyah, Enok. 2001. Tehnik Pengenceran Pada Pembuatan Chilling Semen


Sapi. Bogor : Balai Penelitian Peternakan
Muharrom, Hilaalil. 2013. Evaluasi Keberhasilan Program Inseminasi Buatan
(IB) Pada Sapi Potong Di Kecamatan Klabang Kabupaten Bondowoso
Provinsi Jawa Timur. Semarang : Tugas Akhir Program Studi D-Iii
Manajemen Usaha Peternakan Fakultas Peternakan Dan Pertanian
Universitas Diponegoro
Noor, Mugni. 2011. Proses Fertilisasi sampai Implantasi. Kendari: Fakultas
Peternakan Universitas Haluoleo.
Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Reprodksi Hewan. Jakarta: mutliara.
Prasetyo, Ariefin Ade,dkk. 2013. Kualitas Semen Segar Sapi Simmental Yang
Dikoleksi Dengan Interval Yang Berbeda Di Balai Inseminasi Buatan
Lembang. Lembang : Jurnal Peternakan Volume 1 (3): 907 913
Ratnawati, Dian dan L. Affandhy. 2008. Implementasi Sinkronisasi Ovulasi
Menggunakan

Gonadotrophin

Prostaglandin (Pgf2)

Releasing

Hormone

(GnRH)

Dan

Pada Induk Sapi Bali . Pasuruan : Seminar

Nasional Teknologi Peternakan Dan Veteriner 2008


Ridiana, Bety dkk. 2013. Efisiensi Reproduksi Sapi Madura Hasil Inseminasi
Buatan di Kabupaten Sumenep Tahun 2012. Jurnal Peternakan Fakultas
Kedokteran Hewan Universita Airlangga Volume 6 No.2 Juli 2013
halaman 107 110
Saili, Takdir dkk. 2008. Kualitas spermatozoa epididimis sapi Peranakan Ongole
(PO) yang disimpan pada suhu 3-5 C. Palu : Prosiding Seminar Nasional
Sapi Potong Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo
Solihati, Nurcholidah dan Petrus Kune. n.d. Pengaruh Jenis Pengencer Terhadap
Motilitas dan Daya Tahan Hidup Spermatozoa Semen Cair Sapi
Simmental. Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat, Universitas Nusa
Cendana, Kupang dan Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran
Bandung.
Susilawati, T., Suyadi, Nuryadi, N. Isnaini dan S. Wahyuningsih. 1993. Kualitas
Semen Sapi Fries Holland dan Sapi Bali Pada Berbagai Umur dan Berat

Badan. Malang : Laporan Penelitian Fakultas Peternakan Universitas


Brawijaya
Syifak,

Aulia.

2013.

Embriologi,

Alat

Perkembangbiakan

Jantan.

http://bakaldokterhewan.blogspot.com/2013/08/embriologi-alatperkembangbiakanjantan.html diakses pada tanggal 7 Maret 2014


Wahyuni, Sri. 2013. Spermatogenesis, Oogenesis, Folikulogenesis,

Dan

Teknologi Embrio. Makassar : Tugas Makalah Program Studi Kedokteran


Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Yatim, Wildan. 1994. Reproduksi dan Embriyologi . Bandung : Tarsito

Anda mungkin juga menyukai