Anda di halaman 1dari 16

TUGAS

METODE-METODE SEXING PADA


SPERMATOZOA DAN EMBRIO

Tugas ini Diajukan sebagai Salah Satu Persyaratan Tugas Mata Kuliah
Inseminasi Buatan dan Transfer Embrio

Oleh:
Bayu Anke Mardian
1920612008

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS PETERNAKAN


UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2020

1
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada masa ini, bioteknologi berkembang sangat pesat. Kemajuan ini ditandai
dengan ditemukannya berbagai macam teknologi semisal rekayasa genetika, kultur
jaringan, rekombinan DNA, pengembangbiakan sel induk, kloning, dan lain-lain.
Pada prinsipnya bioteknologi merupakan pemanfaatan makhluk hidup (mikroba,
tumguhan, hewan) beserta sistemnya, sehingga menghasilkan bahan atau sumber
daya yang memiliki nilai tambah bagi kesejahteraan umat manusia. Beberapa contoh
bioteknologi pada bidang peternakan, khususnya bioteknologi reproduksi adalah
inseminasi buatan (IB), transfer embrio (TE), pemisahan jenis kelamin, pemisahan
spermatozoa X dan Y (sexing), In Vitro Fertilization (IVF) atau lebih dikenal dengan
bayi tabung, kloning dan sebagainya (Rahadi, 2011). Penemuan-penemuan teknologi
di bidang reproduksi ternak tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah-
masalah dan tantangan yang dihadapi subsektor peternakan terutama dalam
meningkatkan populasi, produksi dan produktivitas ternak baik secara kualitas
maupun kuantitas (Nursyam,2010).
Pemanfaatan teknologi sexing spermatozoa dan embrio merupakan salah satu
pilihan yang tepat dalam rangka peningkatan efisiensi reproduksi ternak yang mampu
meningkatkan efisiensi usaha peternakan baik dalam skala peternakan rakyat maupun
dalam skala peternakan komersial. Salah satu sasaran dalam bidang reproduksi ternak
adalah memproduksi anak yang mempunyai jenis kelamin sesuai dengan keinginan
peternak. Sebagai contoh, peternak sapi perah lebih mengharapkan sapi betina dari
suatu kelahiran daripada sapi jantan, sebaliknya peternak sapi potong lebih
mengharapkan kelahiran sapi jantan dari pada sapi betina. Berbagai penelitian yang
telah dilakukan untuk mengontrol jenis kelamin anak ternak dari suatu kelahiran agar
sesuai dengan keinginan peternak. Penelitian dimulai dengan pengkondisian saluran
reproduksi ternak betina agar lingkungan itu menjadi lebih baik bagi spermatozoa X
daripada spermatozoa Y atau sebaliknya. Selanjutnya pemisahan spermatozoa X dan

2
spermatozoa Y sebelum dilakukan IB maupun IVF atau In Vitro Fertilization (Saili
et al, 1998).
Melihat pentingnya teknologi tersebut dalam bidang peternakan dan dampaknya
yang cukup besar bila dinilai dari segi ekonomi maka melalui penulisan makalah
dengan bahasan metode-metode pemisahan kromosom X atau Y dari sperma dan
embrio, atau yang sering dikenal dengan “sexing Sperm/Embrio Sexing”, mahasiswa
diharapkan dapat memahami dan mengaplikasikannya.

1.2 Tujuan
Pembuatan tugas ini bertujuan agar mahasiswa mengetahui bagaimana metode
sexing spermatozoa dan sexing embrio.

1.3 Manfaat
Diharapkan mahasiswa mendapatkan pengetahuan lebih mengenai salah satu
contoh bioteknologi reproduksi yang telah dilakukan dalam penelitian, khususnya
mengenai teknik sexing spermatoza dan embrio sexing sehingga kedepannya dapat
dijadikan bahan pertimbangan untuk penelitian maupun untuk aplikasi secara
lapangan.

3
II. PEMBAHASAN

II.1. Metode Sexing Spermatozoa Menggunakan Bovine Serum Albumin (BSA)


Pemisahan spermatozoa dengan menggunakan Bovine Serum Albumin (BSA)
sebagai sumber albumin telah dilakukan sebelumnya. Bovine Serum Albumin
merupakan bahan kimia yang berisi albumin berasal dari sapi, sedangkan kandungan
albumin dalam senyawa BSA, yaitu 100 mg/ml. Pemisahan dengan menggunakan
albumin merupakan metode yang cukup fleksibel dan mudah diterapkan di lapang.
Metode ini didasarkan atas perbedaan motilitas sperma X dan Y sebagai implikasi
dari perbedaan massa dan ukuran. Massa dan ukuran sperma Y yang lebih kecil dari
sperma X menyebabkan sperma tersebut mampu bergerak lebih cepat atau
mempunyai daya penetrasi yang lebih tinggi untuk memasuki suatu larutan
(Jaswandi, 1996). Beernink dan Ericsson (1984) yang disitir oleh Hafez and Hafez
(2008) melaporkan bahwa lapisan pada kolom albumin, spermatozoa Y pada manusia
akan bergerak ke bawah dan spermatozoa X akan tetap pada lapisan atas. Percobaan
yang telah dilakukan untuk meningkatkan proporsi kromosom Y pada spermatozoa
manusia dapat diterapkan pada spermatozoa sapi.
Medium yang digunakan untuk separasi spermatozoa adalah kolum albumin
pada BSA. Separasi spermatozoa dianalisa dengan menggunakan flow cytometry
untuk menentukan kromosom X dan Y yang didasarkan pada kandungan DNA.
Ericsson pada tahun 1973 telah melakukan pemisahan spermatozoa X dan Y pada
manusia berdasarkan pergerakan spermatozoa. Spermatozoa Y yang lebih cepat
gerakannya dibanding spermatozoa X, yaitu dengan menggunakan medium BSA
didapat lebih dari 85% spermatozoa Y. Spermatozoa sapi hasil seleksi dengan kolom
albumin telah berhasil dibekukan dan dapat dilakukan secara komersial (Hafez, 2008)
Penelitian dengan menggunakan konsentrasi tunggal suspensi BSA 6% dalam
kolom, dan cukup efektif untuk memisahkan spermatozoa X dan Y pada kambing.
Inseminasi dengan spermatozoa yang masuk ke dalam suspensi BSA menghasilkan
anak jantanyang lebih banyak dari anak betina, yaitu masing-masing sebesar 83,3%
dan 16,7%, sedangkan inseminasi menggunakan semen bagian atas diperoleh anak

4
betina lebih banyak dari anak jantan, yaitu masing-masing sebesar 61,5% dan 38,5%.
Jaswandi (1992) menggunakan konsentrasi bertingkat larutan BSA 6% (lapisan atas)
dan 10% (lapisan bawah) pada ternak sapi perah. Hasil penelitian tersebut
mengungkapkan bahwa inseminasi dengan lapisan semen bagian bawah didapatkan
rasio jenis kelamin ternak jantan 62,5% dan betina 37,5%, sedangkan inseminasi
dengan lapisan semen bagian tengah diperoleh jantan 22,2% dan betina 77,8%. Saili
(1999) melakukan pemisahan dengan menggunakan konsentrasi putih telur secara
bertingkat antara 10% pada lapisan atas serta 30% dan 50% pada lapisan bawah. Pada
lapisan bawah dengan konsentrasi 30% dalam pengencer dapat mengisolasi 71,50%
dan pada konsentrasi 50% dapat mengisolasi 73,50% spermatozoa Y. Putih telur
sering disebut albumen merupakan bagian dari telur yang berfungsi sebagai anti
bakteri dan buffer untuk mempertahankan sifat fisik dan kimia telur.
Putih telur terdiri dari tiga lapisan material, yaitu inner thin albumin berbentuk
cairan agak kental yang terletak pada bagian paling dalam dari putih telur, thick
albumin merupakan lapisan bagian tengah dan bersifat kental serta lapisan outher
thin albumin yang merupakan kantung albumin yang terletak pada bagian paling luar
putih telur. Albumin yang digunakan untuk sexing adalah albumin pada putih telur
(albumin) yang juga banyak mengandung albumin. Komponen pokok yang
terkandung dalam putih telur sebagai berikut : protein 12 %, glukosa 0,4%, lemak
0,3%, garam 0,3% dan air 87%. Putih telur terdiri dari bermacam-macam protein,
enzim inhibitor, anti bakteri, vitamin yang terikat dan mineral-mineral yang
terikat.Protein merupakan bagian terbanyak, bahan organik yang menyusun putih
telur terdiri atas ovalbumin, ovotransferrin, ovomucin, lysozyme, avidin dan

II.1.1. Hasil Penelitian Sexing Spermatozoa Menggunakan Medium Albumin


Pada Semen Sapi
Penentuan spermatozoa X dan Y didasarkan pada ukuran kepala spermatozoa,
spermatozoa yang memiliki ukuran lebih kecil dari ukuran kepala rata-rata
(33,35±13,72 μm) adalah spermatozoa Y. Persentase rata-rata spermatozoa Y pada

5
lapisan atas adalah 28,4±10%, sedangkan pada lapisan bawah 75,8±13% (Susilawati
dkk., 2002).
Berdasarkan hasil penelitian Susilawati dkk. (2002) terlihat bahwa persentase
spermatozoa Y lapisan atas lebih rendah dari persentase spermatozoa Y pada lapisan
bawah. Hafez and Hafez (2008) menyatakan hal ini disebabkan oleh perbedaan masa
dan ukuran spermatozoa Y yang lebih kecil dibandingkan dengan spermatozoa X,
sehingga pergerakan spermatozoa Y lebih cepat dan mempunyai daya penetrasi yang
lebih tinggi untuk memasuki suatu larutan.
Penambahan kuning telur pada pengencer Tris aminomethane memberikan
pengaruh nyata terhadap persentase spermatozoa Y baik pada lapisan atas maupun
pada lapisan bawah. Hal ini menunjukkan bahwa kuning telur tidak menghambat
kemampuan spermatozoa Y untuk menembus lapisan-lapisan pada putih telur dengan
konsentrasi tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya asam sitrat pada pengencer,
sehingga asam sitrat mengikat butir-butir lemak yang berasal dari kuning telur.
Persentase spermatozoa Y tertinggi terdapat pada lapisan bawah 75,8±13 %, karena
spermatozoa Y memiliki pergerakan lebih cepat dari pada spermatozoa X (Susilawati
dkk., 2002)
Motilitas rata-rata spermatozoa hasil pemisahan mengalami penurunan
dibandingkan motilitas spermatozoa sebelum dipisahkan atau semen segar.
Penurunan persentase motilitas ini sangat wajar terjadi, karena spermatozoa telah
mengalami perlakuan mulai dari proses pemisahan sampai proses pencucian yang
membutuhkan banyak energi untuk tetap mempertahankan kondisi fisiologi.
Persentase motilitas spermatozoa setelah pemisahan dengan menggunakan Pengencer
Tris aminomethane kuning telur pada lapisan atas sebesar 48±9,19%; sedangkan pada
lapisan bawah sebesar 55±5,27%. Viabilitas sebesar 52,07±32,20% pada lapisan atas
dan pada lapisan bawah sebesar 76,84±12,62%.
Sesuai dengan tingginya persentase motilitas lapisan bawah pada Pengencer
Tris aminomethane kuning telur, maka persentase hidup spermatozoa juga tinggi. Hal
ini menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara motilitas dengan persentase hidup
spermatozoa. Hal ini disebabkan oleh pada lapisan bawah mempunyai kandungan

6
putih telur yang tinggi, sehingga mempunyai kandungan albumin yang tinggi pula.
Menurut Martin dkk. (1983) disitir oleh Pancahastana (1999) bahwa dalam albumin
terdapat zat yang disebut lysozyme merupakan senyawa protein yang mengandung
antibiotika yang dapat menghancurkan beberapa bakteri. Dalam hal ini, zat yang
dapat membunuh spermatozoa yang mati. Disamping itu, kuning telur mampu
melidungi membran kepala spermatozoa, sehingga dapat mengurangi penurunan
persentase hidup spermatozoa. Konsentrasi rata-rata setelah pemisahan pada tiap-tiap
lapisan terdapat perbedaan yang besar, yaitu pada lapisan atas sebesar 44,4±21,71
juta/ml, sedangkan lapisan bawah sebesar 139,7±40,82 juta/ml. Konsentrasi tertinggi
terdapat pada lapisan bawah. Hal ini disebabkan oleh spermatozoa diinkubasi selama
20 menit selama pemisahan. Spermatozoa akan berusaha menembus medium
pemisah. Spermatozoa Y yang memiliki ukuran kepala lebih kecil akan mampu
menembus sampai larutan 30% putih telur. Spermatozoa X yang memiliki ukuran
kepala lebih besar berusaha menembus larutan 30% putih telur, tetapi tidak mampu
dan akhirnya berada pada lapisan tengah, sehingga pada lapisan atas konsentrasinya
rendah (Susilawati dkk., 2002).

II.1.2. Hasil Penelitian Sexing Spermatozoa Menggunakan Medium Albumin


Pada Semen Kambing
Hasil pengamatan motilitas rata-rata spermatozoa hasil pemisahan dengan
menggunakan Pengencer Tris aminomethane telur pada lapisan atas sebesar
50,5±5,50%, sedangkan lapisan bawah sebesar 41±6,99% (Susilawati, 2002).
Motilitas rata-rata spermatozoa lapisan bawah lebih rendah daripada motilitas
spermatozoa lapisan atas. Hal ini karena spermatozoa lapisan bawah telah melewati
dua lapisan, sehingga energi yang digunakan lebih banyak akibatnya akan
menurunkan motilitas atau bahkan tidak bergerak sama sekali (Saili, 1999). Lapis
bawah mengandung 30% putih telur dan akan meningkatkan viskositas pengencer,
lebih lanjut Jaswandi (1992) menyebutkan bahwa kenaikan viskositas dalam
pengencer cenderung untuk menurunkan motilitas dan daya tahan hidup spermatozoa.
Persentase hidup spermatozoa setelah pemisahan dengan Pengencer Tris

7
aminomethane kuning telur pada lapisan atas sebesar 67,59±11,40%, sedangkan pada
lapisan bawah sebesar 70,39 ± 10,92% . Konsentrasi setelah pemisahan pada lapisan
atas sebesar 1614±767,89 (x106/ml), sedangkan pada lapisan bawah sebesar
1244,9±687,48 (x106/ml). Hasil pengukuran besar kepala spermatozoa semen segar
didapatkan rata-rata sebesar 32,23±2,21 mm.
Hasil pengukuran besar kepala spermatozoa tersebut digunakan sebagai dasar
penentuan spermatozoa X dan Y. Spermatozoa yang memiliki ukuran lebih kecil dari
ukuran kepala rata-rata adalah spermatozoa Y dan spermatozoa yang memiliki ukuran
sama atau lebih besar dengan rata-rata adalah spermatozoa X. Persentase spermatozoa
X pada lapisan atas sebesar 70,4±9,88% dan pada lapisan bawah sebesar
28,4±14,04%, sedangkan spermatozoa Y kebalikannya, yaitu pada lapisan atas
sebesar 29,6 ± 9,88 % dan pada lapisan bawah sebesar 71,6±14,04% (Susilawati,
2002). Purwoistri dkk (2014) dan Ervandi dkk (2013) Pengencer andromed dan CEP-
2 ditambah kuning telur 10% dapat menjaga membran spermatozoa hasil sexing
dengan gradien albumin (putih telur). Pengencer tersebut dapat menjaga spermatozoa
yang memiliki integritas membran baik dan spermatozoa yang belum terkapasitasi
tetap tinggi, sedangkan spermatozoa yang terkapasitasi dan spermatozoa yang sudah
mengalami reaksi akrosom dijaga tetap rendah.

8
Gambar1. Proses Pemisahan Spermatozoa X dan Y dengan
Menggunakan Putih Telur (Susilawati, 2002).

Gambar 2. Skema Pemisahan Spermatozoa X dan Y dengan


Menggunakan Putih Telur (Susilawati, 2002).
II.2. Metode Sexing Spermatozoa Menggunakan Electric Separating Sperm
(ESS)
Selain dengan metode Albumin Sexing spermatozoa dapat dilakukan dengan
metode Electric Separating Sperm (ESS) dengan memanfaatkan muatan listrik yang
terdapat pada permukaan sel spermatozoa. Spermatozoa jika diletakkan pada daerah
yang mengandung muatan listrik, maka spermatozoa Y akan berpindahkan menuju
anoda (Aitken and Ainsworth, 2012). Muatan yang terdapat pada spermatozoa
dipengaruhi oleh kandungan ion kalium intraseluler. Spermatozoa yang memiliki
kandungan ion kalium lebih besar, diasumsikan memiliki muatan positif sehingga
akan berenang menuju sisi katoda.

9
Begitu pula sebaliknya, pada spermatozoa yang mengandung lebih sedikit ion
kalium dianggap memiliki muatan negatif sehingga akan bergerak menuju sisi anoda
(Saputro, 2012). Indikator untuk mengetahui kromosom penentu jenis kelamin yaitu
dapat dilihat dari ukuran kepala spermatozoa. Ukuran kepala spermatozoa pada
kambing memiliki rata-rata panjang 8,5μm, lebar 4,2μm, luas 29μm, dan keliling
17μm (Hidalgo and Dorado, 2009). Electric Separating Sperm (ESS) bekerja pada
tegangan listrik rendah yaitu 1.5 Volt. Alat ini mampu memisahkan kromosom X dan
Y pada spermatozoa dalam waktu yang relatif singkat dan kualitas yang tidak berbeda
nyata dengan kontrol pada domba Merino (Saputro, 2012).

II.2.1. Hasil Penelitian Sexing Spermatozoa Menggunakan Electric Separating


Sperm (ESS) Pada Semen Sapi
Menurut Nengsih., dkk (2019). Kualitas spermatozoa sapi Aceh setelah sexing
dengan metode elektrik diamati berdasarkan persentase motilitas, viabilitas, dan
abnormalitas. Hasil pemeriksaan persentase motilitas sapi aceh setelah pemisahan
dengan metode elektrik dengan voltase 1,5 volt dan 3,0 volt menunjukan penurunan
angka rataan dan simpangan pada P1 dan P2 secara berturut-turut pada kutub katoda
adalah 74,58 ± 3,29% dan 55,66 ± 6,03%, pada kutub anoda adalah 73,67 ± 3,12%
dan 53,58 ± 6,11%. Sedangkan Data hasil viabilitas spermatozoa setelah pemisahan
dengan elektrik menunjukan penurunan angka rataan dan simpangan baku pada P1
dan P2 berturut-turut pada kutub katoda adalah sebesar 80,80 ± 2,70% dan 53,87 ±
6,66%, dan pada kutub anoda adalah 79,58 ± 2,64% dan 53,07 ± 7,26%. Serta untuk
Data hasil abnormalitas spermatozoa setelah pemisahan dengan elektrik menunjukan
peningkatan angka rataan dan simpangan baku berturut-turut adalah P1 dan P2
berturut-turut pada kutub katoda adalah 10,80 ± 2,61% dan 15,61 ± 3,78%, dan pada
kutub anoda adalah 9,82 ± 2,39% dan 14,73 ± 5,62%.
Dari data di atas dapat di ketahui bahwa Sexing menggunakan metode elektrik
dengan voltase 1,5 volt dan 3,0 volt dalam media sitrat kuning telur dapat
menurunkan kualitas (motilitas, viabilitas, dan abnormalitas) spermatozoa sapi aceh.

10
Hasil sexing dengan voltase 1,5 volt menghasilkan kualitas spermatozoa yang lebih
baik dari pada voltase 3,0 volt.

II.3. Mtode Sexing Embrio


Hare (1978) melaporkan tentang penentuan jenis kelamin pada saat prenatal.
Jenis kelamin yang dibawa secara genetik oleh individu ditentukan oleh pembawa
kromosom yang terdapat pada sel telur yang dibuahi, baik oleh pembawa kromosom–
x ataupun pembawa kromosom-y yang terdapat di dalam spermatozoa. Jenis kelamin
dapat diduga apabila kromosom-x dan kromosom-y dari spermatozoa dapat
dipisahkan sebelum inseminasi. Jenis kelamin dapat juga diperkirakan dari embrio
hasil transplantasi dari nuclei diploid yang ditanamkan ke dalam enucleated ova,
ataupun melalui perkembangan dari sel telur yang telah difertilisasi setelah
pengangkatan satu pronucleus. Untuk menentukan apakah kromosom yang dibawa
adalah xx (untuk betina) atau xy (untuk jantan) dan ini dapat dilakukan dengan
melakukan uji sel untuk sex kromatin atau y-body, analisa kromosom ataupun deteksi
dari pada antigen yang berlawanan dengan sel yang mengandung y kromosom.
Menurut Seidel (1991), metode penentuan jenis kelamin pada embrio ini masih
banyak kekurangannya. Dengan teknik ini maka banyak embrio yang rusak ataupun
kurang memberikan hasil yang akurat. Selain itu prosedurnya lambat dan biayanya
mahal. Namun apabila penentuan jenis kelamin pada embrio ini akan tetap dilakukan
maka Seidel (1991) melaporkan bahwa ada tiga metode untuk penentuan jenis
kelamin pada embrio yakni dengan cara:

II.3.1. Kariotiping / analisis sitogenetik


biopsi (pengambilan jaringan dalam jumlah kecil) dilakukan pada embrio
dilanjutkan dengan menanam embrio dengan colchicine atau zat sejenis yang
menyebabkan sel berhenti membelah pada stadium metaphase dari mitosis. Setelah
beberapa jam sel akan hancur karena tekanan osmosis sehingga preparat akan dapat
dicetak dan diwarnai sehingga kromosom dapat diamati di bawah mikroskop.

11
Keuntungan yang didapat dengan menggunakan metode ini adalah satu seri
metaphase dari kromosom dapat dibaca (kirakira separuhnya untuk embrio yang
berumur 7 hari). Keuntungan yang lain adalah kromosom yang abnormal dapat
dibaca. Implikasi genetik dari penentuan jenis kelamin pada embrio kurang
mendapatkan perhatian, hal ini disebabkan karena tidak memberikan keuntungan
yang berarti pada laju peningkatan mutu genetik (Villanueva et al., 1995).
Kerugian yang ditimbulkan dengan menggunakan metode ini antara lain (a)
rangkaian kromosom yang dapat dibaca sering tidak muncul, terutama pada embrio
yang mengalami recover sebelum hari ke-10, (b) embrio harus dibiopsi, dan (c)
prosedur ini sangat lama (memakan waktu 12 jam, bahkan lebih dan rumit, sehingga
harus dilakukan oleh tenaga ahli). Berdasarkan alasan tersebut maka metode ini
kurang cocok untuk diterapkan pada kegiatan sehari-hari (Seidel dan Seidel, 1991).
Picard et al. (1985) melaporkan bahwa hasil transfer tunggal 8 embrio yang dikoleksi
dari sapi FH yang disuperovulasi 7 hari setelah berahi dan dibiopsi menunjukan
keberhasilan penentuan jenis kelamin 5 embrio (62,5%) dari paruh embrio yang
ditransfer memberikan angka kelahiran 3 ekor. Keberhasilan tingkat kelahiran dengan
embrio yang telah ditentukan jenis kelaminnya ini adalah 60%.
Pada kesempatan yang lain penulis yang sama, memberikan laporan bahwa
transfer dengan thawing dengan hasil penentuan jenis kelamin 16 embrio (57,1%),
memberikan keberhasilan angka kelahiran sebanyak 3 ekor anak. Tingkat kelahiran
dengan menggunakan embrio yang telah ditentukan jenis kelaminnya ini adalah
23,1% (termasuk paruh embrio yang degenerasi dan tidak ditransfer).

II.3.2. Penggunaan antibodi pada antigen spesifik jantan (male specific antigen).
Pada prosedur ini diperlukan antibodi untuk spesifik molekul permukaan sel
pada jaringan jantan. Embrio diinkubasi dengan antibodi, kemudian pada 30– 60
menit selanjutnya ditambahkan antibodi yang mengandung zat warna fluorescent.
Embrio kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop fluorescence.
Keuntungan teknik ini adalah pekerjaan dapat dilakukan dalam waktu yang singkat.
Sedangkan kerugiannya adalah mahalnya mikroskop fluorescence yang digunakan.

12
II.3.3. Y-chromosome yang spesifik terhadap probe–DNA.
Prosedur ini dilakukan berdasarkan teknik biologi molekular. Penempatan
probe- DNA dapat dibuat untuk berikatan pada DNA yang ada pada y-chromosom,
tidak pada chromosom yang lainnya. Embrio dibiopsi, DNA dikeluarkan dari sel,
dengan menggunakan enzim atau dengan menggunakan radioaktif DNA probe yang
berlabel, kemudian diinkubasi dengan ekstrak embrional DNA. Apabila terdapat y-
chromosomes probe maka akan terikat. Kerugian dari prosedur ini adalah
dilakukannya biopsi terhadap embrio, namun hasil yang didapat lebih akurat jika
dibandingkan dengan hasil yang menggunakan teknologi terdahulu. Dengan
menggunakan ychromosom yang spesifik terhadap probe-DNA, Nibart (1991)
melaporkan bahwa 95% embrio sapi memberikan respons yang baik pada teknik ini
dan akurasi dari teknik ini adalah 98%.

13
III. PENUTUP

III.1. Kesimpulan
Pemisahan kromosom X atau Y dari Spermatozoa atau dikenal sebagai sexing
dapat menggunakan beberapa teknik seperti kolom albumin, kecepatan sedimentasi,
sentrifugasi dengan gradient densitas percoll, motilitas dan pemisahan elektroforesis,
isoelectric focusing, teknik manipulasi hormonal, H-Y antigen, flow cytometry,
electric separating sperm (ess) dan metode penyaringan menggunakan kolom
Sephadex.
Sedangkan metode yang bisa digunakn dalam sexing embrio adalah kariotiping/
analisis sitogenetik, penggunaan antibodi pada antigen spesifik embrio jantan (male
spesifik antigen) dan Y-chromosome yang spesifik terhadap probe–DNA.

14
DAFTAR PUSTAKA

Aitken, R.J. and C.J. Ainsworth. 2012. Sperm Cell Separation by Electrophoresis.
United State. p371.

Ervandi., M., T. Susilawati, dan S. Wahyuningsih. 2013. Pengaruh pengencer yang


berbeda terhadap kualitas spermatozoa sapi hasil sexing dengan gradien
albumin (putih telur). JITV 18(3): 177-184.

Hafez ESE and B Hafez 2008 X and Y Chromosome – Bearing Spermatozoa in


Animal Reproduction in Farm Animal ed by ESE Hafez and B Hafez 7th
Editon Black well : 390 -393

Hare, W.C.D. and K.J. Betteridge. 1978. Relationship of embryo sexing to other
methods of prenatal sex determination in farm animals: a review.
Theriogenology 9:27-43.

Hidalgo, M. and J. Dorado. 2009. Objective Assesment of Goat Sperm Head Size by
Computeri-Assisted Sperm Morphometry Analysis. University of Cardoba.
Spanyol. 87: 109.

Jaswandi, 1992. Pengaruh Lapisan Suspensi Bovine Serum Albumin 6 dan 10 Dalam
Kolum Untuk Memisahkan Sperma Sapi Pembawa Kromosom X dan Y
Sapi Guna Mengubah Rasio Seks Pada Pedet. Tesis. Program Pasca
Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nengsih, S.D.N, Akmal Muslim, Zainuddin, Riady Ginta, Salim, N.M. 2019. kualitas
spermatozoa sapi aceh hasil sexing menggunakan metode elektrik dengan
voltase 1,5 volt dan 3,0 volt dalam media sitrat kuning telur.Jurnal.
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala.Aceh. JIMVET E-
ISSN : 2540-9492

Nibart, M. 1991. Le transfert embrionnaire et les Biotechnologies appliqués; bisection


et sexage. Rec. Med. Vet. 167: 267-290.

Nursyam, A. 2010. Perkembangan Iptek di Bidang Reproduksi Ternak untuk


Meningkatkan Produktivitas Ternak. PS. Produksi Ternak, Jurusan
Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Unlam. Banjarbaru.

15
Pancahastana H, 1999. Upaya mengubah sex rasio spermatozoa dengan melakukan
pemisahan spermatozoa X dan Y menggunakan putih telur pada sapi Bali.
Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya Malang.

Picard, L., W.A. King, and K.J. Betteridge. 1985. Production of sexed calves from
frozen-thawed embryos. Vet. Rec. 7: 603-608.

Purwoistri R F , Susilawati T dan Rahayu S 2013 Membran Spermatozoa Hasil


SeksingGradien Albumin Berpengencer Andromed dan Cauda Epididymal
Plasma-2 Ditambahkan Kuning Telur. Jurnal Veteriner 14 3: 371-378

Rahadi, S. 2011. Mengenal Teknologi Reproduksi. http://ilmuternak.wordpress.com/


materikuliah/reproduksi-ternak/mengenal-teknologi-reproduksi/.

Saili T, 1999. Efektifitas penggunaan albumin sebagai medium separasi dalam upaya
mengubah Rasio Alamiah Spermatozoa Pembawa kromosom X dan Y pada
Sapi. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Saili, T., M.R. Toelihere, A. Budiono, B. Tappa. 1998. Pengendalian Jenis Kelamin
Anak Melalui Sexing Spermatozoa Untuk Reproduksi Ternak. Warta Biotek
Tahun XII No. 1– 2 (Maret – Juni) : 1- 5.

Saputro, A.L. 2012. Kualitas Spermatozoa Domba Merino pada Sisi Anoda Hasil
Pemisahan dengan Teknik ESS (Electric Separating Sperm). Skripsi.
Universitas Airlangga Fakultas Kedokteran Hewan. Surabaya.

Seidel, JR. and S.M. Seidel. 1991 New Technology in Animal Breeding. Academic
Press, New York, pp. 221-242.

Susilawati, T. 2002. Sexing Spermatozoa Kambing Peranakan Etawah Menggunakan


Gradien Putih Telur. Jurnal Widya Agrika. 10 (2): 97-105.

Villanueva, B., J.A. Wooliams, and G. SIMM. 1995. The effect of improved
reproductive performance on genetic gain and inbreeding in MOET
breeding schemes for beef cattle. Gen. Sel. Evol. 26: 347-363.

16

Anda mungkin juga menyukai