Anda di halaman 1dari 9

II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1 Deskripsi Ayam Pelung

Ayam Pelung adalah ayam lokal asli dari Cianjur. Dilaporkan Subandi dan

Abdurrachim (1984) dalam Simanjuntak, dkk., (1994), bahwa Ayam Pelung

ditemukan di Desa Buni Kasih yang terletak di Kecamatan Warungkondang,

Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Dipelihara oleh masyarakat terutama untuk suara

jago yang khas. Populasi Ayam Pelung pada tahun 1994 sekitar 5 – 6 ribu ekor

(Mansjoer dkk., 1994).

Menurut informasi yang dikumpulkan HIPPAPI pada tahun 1993

mengemukakan sebuah legenda, bahwa seorang tokoh bernama Haji Bustomi

(Alm.) alias Bapak Guru Karta, penduduk Kampung Cicariang, Desa Jambudipa,

Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur menceritakan bahwa Ayam

Pelung sudah dipelihara dan dikembangkan sejak tahun 1850. Pemelihara Ayam

Pelung tersebut adalah seorang Kiai bernama H. Djarkasih alias Mama Acih

(Alm.). Beliau merupakan penduduk Desa Bunikasih, Kecamatan

Warungkondang, yang menemukan pertama kali seekor anak ayam jantan besar,

tinggi dan “turundul” (berbulu jarang), kemudian dipelihara dengan baik. Ayam

tersebut tumbuh dengan pesat dan berkokok dengan suara besar, panjang dan

berirama. Pada saat itu, orang – orang kagum dengan suara ayam tersebut, maka

dinamakan dengan “Pelung”. Sejak itu ayam tersebut mulai berkembang dan

secara alami terseleksi oleh masyarakat peminatnya.

Secara ilmiah, hal tersebut tentu dapat saja terjadi mengingat banyak sekali

variasi genetik ayam hutan yang ada di Pulau Jawa ini dan salah satu turunannya
7

adalah Ayam Pelung, yang secara genetik mempunyai kekerabatan yang dekat

dengan ayam hutan merah (Fumihito dkk., 1994; Sulandari dkk., 2006). Ayam

Pelung dapat di klasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Aves

Ordo : Galiformes

Famili : Phasianidae
Genus : Gallus

Spesies : Gallus gallus gallus

Sumber : Sunarto, dkk., 2005

Menurut Sulandari dkk., (2007), Ayam Pelung merupakan ayam lokal

yang memiliki potensi sebagai ayam penyanyi dan pedaging. Ayam Pelung jantan

memiliki suara kokok khas yang panjang dan merdu, sementara Ayam Pelung

betina dijadikan sebagai pedaging unggul. Iskandar dkk., (2004), menambahkan


bahwa seleksi pada Ayam Pelung yaitu sebagai ayam penyanyi dan proses seleksi

pada Ayam Pelung dilakukan berdasarkan sifat – sifat khas yang ada pada Ayam

Pelung, yaitu suara kokok yang merdu. Postur tubuh yang besar menjadikan

Ayam Pelung sebagai ayam pedaging unggul. Ayam Pelung yang bagus mampu

berkokok dengan leher tegak agar suaranya tinggi dan terdengar sampai jauh.

Menurut Pangestu (1985), berdasarkan ukuran badan, Ayam Pelung yang

besar dan tinggi dapat dikatakan bahwa Ayam Pelung berasal dari ayam ras tipe

pedaging dan tipe dwiguna. Ayam Pelung memiliki kemampuan tumbuh lebih

cepat dibandingkan dengan ayam lokal lain. Ukuran tubuh yang besar
8

memungkinkan Ayam Pelung dapat dijadikan untuk perbaikan pertumbuhan ayam

lokal lainnya dengan cara disilangkan dengan ayam – ayam lokal lain (Iskandar,

dkk 2003).

Menurut Nataamijaya (2005), Ayam Pelung mempunyai ukuran tubuh

yang relatif besar dengan kaki yang panjang, kepala Ayam Pelung berbentuk oval,

jantan memiliki jengger tunggal (single comb), bergerigi, bagian atas berukuran

besar dan berwarna merah, cuping telinga berwarna merah dan ditemukan warna

putih pada bagian tengah. Selanjutnya Nataamijaya, (2005) menyatakan bahwa

sebagian besar Ayam Pelung betina dewasa memiliki warna bulu yang hitam
(61%), berwarna bulu coklat kehitaman (20%) dan kuning gambir (19%). Ayam

Pelung jantan dewasa memiliki bulu berwarna hitam dan merah (100%). Para ahli

Ayam Pelung berpendapat bahwa warna merah dan warna merah kehitam-

hitaman merupakan warna keturunan Ayam Pelung yang asli, sedangkan warna

lainnya sudah merupakan warna campuran dengan ayam lokal lain seperti Ayam

Kampung (Sudradjad, 2003). Sifat kualitatif Ayam Pelung dirangkum pada Tabel

1.

Tabel 1. Sifat Kualitatif Ayam Pelung


No. Parameter Ayam Pelung
1. Warna Bulu Merah dan Hitam
2. Bentuk Jengger Single Comb
3. Warna Telinga Merah dan Putih bagian tengah
4. Sisik Kaki Hitam, Putih dan Kuning
5. Warna Kulit Putih
Sumber : Achmad (2005)

Performa fisik Ayam Pelung besar, tegap dan jika berdiri tegak, tembolok

akan tampak menonjol. Bobot badan dewasa jantan dapat mencapai 5,4 kg dan
9

bobot pada betina dapat mencapai 4,5 kg (Sulandri dkk., 2007). Ayam Pelung

memiliki kaki panjang, kuat dengan proporsi daging paha yang tebal. Pada

pemeliharaan semi intensif, Ayam Pelung dewasa dapat mencapai berat 3,37 kg

untuk ayam jantan dan 2,52 kg untuk ayam betina, sedangkan berat DOC adalah

30,7 gram untuk jantan dan 31,6 gram untuk betina (Prajoga, dkk., 2013). Sifat

kuantitatif Ayam Pelung dirangkum pada Tabel 2.

Tabel 2. Sifat Kuantitatif Ayam Pelung


No. Parameter Ayam Pelung
1. Berat Badan (kg) 3,37
2. Panjang Leher (cm) 24,56
3. Panjang Punggung (cm) 25,06
4. Panjang Paha (cm) 15,5
5. Tinggi Badan (cm) 40 – 50
6. Produksi Telur (butir) 13 – 15
7. Daya Tetas (%) 79
8. Mortalitas (%) 37
Sumber : Achmad (2005)

2.2 Telur Tetas

Winarno (1993), menyatakan bahwa telur adalah suatu struktur kompleks

fisik dan kimiawi. Struktur tersebut ditunjukan untuk memberikan perlindungan

dan mencukupi makanan bagi embrio. Telur dibagi ke dalam telur konsumsi dan

telur tetas. Menurut BSN (2008), telur konsumsi adalah telur ayam yang belum

mengalami proses fortifikasi, pendinginan, pengawetan, dan proses pengeraman.

Suprijatna dkk., (2005) menjelaskan bahwa telur tetas merupakan telur fertil atau

telah dibuahi. Telur tetas berperan penting dalam alur peternakan unggas karena

menentukan kualitas DOC. Telur tetas yang baik adalah telur yang memiliki daya

tetas tinggi dan dihasilkan oleh induk ayam yang telah dikawini oleh pejantannya

(Sudrajad,1995).
10

Hal paling utama yang harus diperhatikan dalam memilih telur tetas adalah

kualitas telur yang baik. Jika kualitas telur tidak baik, persentase jumlah telur tetas

yang menetas akan kurang atau rendah. Untuk memperoleh telur tetas yang baik,

dibutuhkan penyeleksian sebelum telur ditetaskan (Kholis dan Sitanggang, 2001).

Sudaryani dan Santosa (2002), menyatakan bahwa tujuan seleksi telur adalah

untuk memperoleh telur yang diharapkan. Seleksi telur tetas merupakan tahapan

yang harus dilaksanakan karena adanya korelasi yang erat antara kualitas telur

tetas (berat, tebal kerabang, serta bentuk dan kondisi permukaan kerabang)

terhadap kualitas DOC yang menetas (Yaman, 2010).


Menurut Suprijatna, dkk., (2005) telur tetas yang baik untuk ditetaskan

harus memenuhi persyaratan antara lain telur tetas harus berasal dari induk

(pembibit) yang sehat dan produktivitas nya tinggi dengan sex ratio yang baik

sesuai dengan rekomendasi untuk strain atau jenis ayam, umur telur tidak boleh

lebih dari satu minggu, kualitas dan fisik telur tetas yang meliputi bentuk telur

harus normal, tidak terlalu lonjong atau bulat, berat atau besar telur dan warna
kulit telur harus seragam, sesuai strain atau bangsa.

2.3 Kualitas Telur

Menurut Sarwono (1994), kualitas telur merupakan kumpulan ciri-ciri

telur yang mempengaruhi selera konsumen. Kualitas telur sebagai ciri atau sifat

yang sama dari suatu produk dalam menentukan derajat kesempurnaannya akan

mempengaruhi penerimaan konsumen. Kholis dan Sitanggang (2001),

mengatakan kualitas telur tetas tergantung dari kualitas induk, kualitas pakan yang

dikonsumsi, kondisi kesehatan ayam, week production, dan suhu.

Kualitas telur menurut Umar, dkk (2000) dibagi menjadi dua, yaitu

kualitas eksterior yang meliputi warna, bentuk, tekstur, keutuhan, dan kebersihan
11

kerabang. Kualitas interior meliputi di antaranya kekentalan putih telur dan

bentuk kuning telur serta kebersihan pada putih maupun kuning telur.

2.3.1 Kualitas Interior Telur

Menurut North dan Bell, (1990), kualitas interior mengacu pada putih telur

(albumen) yaitu kebersihan dan viskositas, ukuran sel udara, bentuk kuning telur

dan kekuatan kuning telur. Penurunan kualitas interior dapat diketahui dengan

meneropong rongga udara (air cell) dan dapat juga dengan memecah telur untuk

diperiksa kondisi kuning telur, putih telur, warna kuning telur, posisi kuning telur,

Haugh Unit (HU) dan ada tidaknya noda bintik darah.


2.3.2 Kualitas Eksterior Telur

(1) Bentuk Telur

Menurut Sudaryani, (1996) bentuk telur merupakan sifat yang diwariskan

sehingga bentuk telur setiap unggas memiliki bentuk khas sesuai dengan bentuk

telur dan besar alat reproduksi. Bentuk telur yang baik adalah proposional, tidak

terlalu lonjong dan tidak terlalu bulat (SNI 01-3926-2006).

Bentuk telur dinyatakan dalam indeks telur atau shape index telur yaitu
perbandingan antara sumbu lebar dengan sumbu panjang dikalikan 100 (Yuwanta,

2010). Jull (1951), menyatakan bahwa nilai indeks telur merupakan suatu cara

untuk mengetahui tingkat lonjong atau bulatnya bentuk telur, dimana semakin

tinggi angka indeks telur maka bentuk telur akan semakin lonjong. Menurut

MacLaury (1973), nilai indeks telur dikatakan berada dalam kisaran telur

berbentuk normal bilamana angka berkisar antara 69 – 77.

(2) Warna Kerabang

Kerabang telur merupakan struktur telur yang paling luar. Fungsi dari

kerabang telur yaitu mengurangi kerusakan fisik dan biologis telur (Kurtini dkk.,
12

2011). Kerabang telur bersifat kuat, halus, dan berkapur. Kerabang telur terdiri

dari empat lapisan yaitu lapisan kutikula yang merupakan lapisan paling luar yang

menyelubungi seluruh permukaan telur, lapisan bunga karang yang terletak di

bawah kutikula, lapisan mamila yang merupakan lapisan ketiga dan sangat tipis,

dan lapisan membran yang terletak paling dalam (Sarwono, 1994).

Warna kerabang telur ayam lokal dibedakan menjadi dua warna utama

yaitu putih dan kecokelatan. Suhardi (2013), menyatakan bahwa warna kerabang

telur ayam lokal berwarna putih kecoklatan. Perbedaan warna ini dipengaruhi oleh

genetik dari masing-masing ayam (Romanoff dan Romanoff, 1963).


Perbedaan warna kerabang tersebut disebabkan adanya pigmen

cephorpyrin yang terdapat pada permukaan kulit telur yang berwarna coklat. Kulit

telur yang berwarna coklat relatif lebih tebal dibandingkan dengan kulit telur yang

berwarna putih. Warna cokelat pada kerabang dipengaruhi oleh porpirin yang

tersusun dari protoporpirin, koproporpirin, uroporpirin, dan beberapa jenis

porpirin yang belum teridentifikasi (Miksik dkk., 1996).

(3) Rongga Udara Telur


Menurut Sudaryani (1996), rongga udara merupakan rongga yang terdapat

pada bagian tumpul isi telur dan berfungsi sebagai pemberi udara pada saat

embrio bernafas. Telur yang segar memiliki rongga udara yang lebih kecil

dibandingkan telur yang sudah lama. Romanoff dan Romanoff (1963), rongga

udara semakin bertambah besar karena adanya penguapan atau penyusutan berat

telur. Selanjutnya menurut Romanoff dan Romanoff, (1963), kedalaman rongga

udara dapat dilihat melalui peneropongan atau candling sehingga bagian luar dan

di dalam telur dapat dilihat dengan jelas. Kedalaman rongga udara diukur dari

diameter dan tinggi kantung udara.


13

Menurut SNI (2008), telur segar memiliki rata rata kedalaman rongga

udara sebesar sekitar 3,2 mm yang berarti telur tersebut tergolong dalam telur

dengan mutu I. Telur dengan mutu II memiliki kedalaman rongga udara sekitar

4,8 mm dan bertambah menjadi sekitar 5,1 mm termasuk kedalam mutu III. Telur

segar memiliki ruang udara (air cell) yang lebih kecil dibandingkan telur yang

sudah lama.

2.4 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Kualitas Telur

Menurut Lies Suprapti (2002), kualitas telur dipengaruhi oleh beberapa


hal, antara lain oleh faktor keturunan, kualitas pakan dan air minum, sistem

pemeliharaan, iklim, umur ternak, strain unggas, umur telur, lingkungan dan

penyakit. Menurut Sudaryani, (2003) unggas yang dihasilkan dari keturunan yang

baik dan diberi makanan yang berkualitas, umumnya akan menghasilkan telur

yang berkualitas baik. Suhu yang panas akan mengurangi kualitas putih telur dan

mengurangi kekuatan maupun ketebalan kulit telur. Hal ini disebabkan oleh

penurunan nafsu makan pada ayam sehingga zat – zat gizi yang diperlukan tidak

mencukupi. Suhu yang diperkenankan maksimal mencapai 29º C (85º F).


Rasyaf (1994), menyatakan bahwa kualitas pakan juga akan

mempengaruhi kualitas telur. Pakan yang berkualitas dengan komposisi bahan

yang tepat, baik, dari jumlah maupun kandungan nutrisinya akan mempengaruhi

pertumbuhan dan kesehatan unggas, sehingga menghasilkan telur yang

berkualitas. Selain itu, lama penyimpanan menentukan kualitas telur. Semakin

lama disimpan, kualitas dan kesegaran telur semakin merosot. Selain karena CO 2

pada telur yang banyak keluar mengakibatkan naiknya derajat keasaman, juga

terjadi penguapan sehingga bobot telur menurun dan putih telur menjadi lebih
14

encer. Selama penyimpanan, kantong udara mengalami pemecahan sehingga

albumin akan semakin encer (Haryoto, 2010).

Menurut Sudaryani (2003), bentuk telur dipengaruhi oleh ransum atau

pakan. Pembentukan telur baru akan terjadi bila ada material yang berupa unsur –

unsur gizi pendukung pembentukan telur tersebut dan dalam keadaan normal telur

akan keluar dari tubuh induk dengan bentuk oval dan berat sesuai standar atau

berat yang wajar. Perbedaan bentuk telur dapat terjadi karena adanya berbagai

faktor yang mempengaruhi antara lain sifat genetis atau keturunan, umur hewan

sewaktu bertelur dan sifat biologis sewaktu bertelur (Elias, 1996).


Joseph dkk., (1999) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi warna

kerabang yaitu umur dan genetik. Menurut Hargitai dkk., (2011) intensitas warna

kerabang dipengaruhi oleh tebal kerabang, semakin tebal kerabang telur maka

semakin gelap juga warnanya begitupun sebaliknya semakin tipis kerabang telur

maka semakin terang juga warna kerabang. Warna kerabang selain dipengaruhi

oleh jenis pigmen juga dipengaruhi oleh konsentrasi pigmen warna telur dan juga

struktur dari kerabang telur. Yuwanta, (2010) mengatakan semakin tua umur
ayam maka semakin tipis kerabang telurnya, hal ini terjadi karena ayam tidak

mampu untuk memproduksi kalsium yang cukup guna memenuhi kebutuhan

kalsium dalam pembentukan kerabang telur

Menurut Cornelia (2014), faktor yang mempengaruhi rongga udara telur

terjadi akibat adanya penguapan air dan gas seperti CO2 yang menyebabkan putih

telur kental menjadi semakin encer. Kenaikan pH putih telur menyebabkan

kerusakan serabut serabut ovomucin (yang memberikan tekstur kental)

menyebabkan kekentalan putih telur menurun.

Anda mungkin juga menyukai