Anda di halaman 1dari 12

Metastrongylus, sp.

a. Signalement Sampel

Jenis sampel : Feses

Ras/Breed : Babi

Asal Sampel : Peternakan babi DAU, Malang

Tanggal Pengambilan : 24 Maret 2019

Tanggal Pengujian : 27 Maret 2019

Media pengawet : Formalin 10%

b. Klasifikasi dan Morfologi

Kingdom : Animalia

Phylum : Nematoda

Class : Chromadorea

Order : Rhabditida

Suborder : Strongylida

Superfamily : Strongyloidea

Family : Metastrongylidae

Genus : Metastrongylus sp.

Morfologi mempunyai 2 bibir lateral, berlobus tiga. Kapsula bukalisnya sangat kecil.
Spikulum pada yang jantan panjang dan lembut, dengan sayap bergaris melintang, terkadang
terdapat gubernakulum. Ekor berbentuk kerucut, vulva dekat dengan anus, uterus paralel
(Bendryman dkk, 2013).
Keterangan : (A)Telur Metastrobgylus sp. pada sampel feses babi dengan perbesaran
400x. (Dokumentasi Pribadi, 2019)

c. Hospes dan Predileksi

Hospes intermediet yaitu cacing tanah. Cacing ini berpredileksi di bronkioli paru-paru
babi.

d. Siklus Hidup

Siklus hidup Metastrongylus Tidak langsung dan butuh hospes intermediet cacing
tanah. Babi yang terinfeksi adalah karena memakan cacing tanah yang mengandung stadium
infektif. Cacing ini berlokasi di bronkioli paru-paru babi. mempunyai permukaan berombak
dan telah berembrio ketika diluncurkan (Bendryman dkk, 2013).

e. Patogenesa dan Gejala Klinis

Patogenesis cacing ini yaitu pneumonia verminosa diikuti dengan adanya konsolidasi
paru-paru, sulit nafas. dapat membawa virus influenza babi dan kolera babi, dan dapat
mengaktifkan influenza babi dan virus pneumonia. Cacing dewasa yang hidup pada paru-paru
akan menimbulkan kerusakan alveoli sehingga dapat terjadi bronchitis dan pnemonia sehingga
gajal klinis yang tampak berupa batuk batuk, sesak nafas dan pertumbuhan terhambat terutama
pada babi muda. Kematian biasanya terjadi akibat infeksi sekender atau tersumbatnya alveoli
dan saluran saluran udara oleh cacing dewasa. Gejala klinik yang terjadi yaitu berat badan
menurun, nafsu makan berkurang, pneumonia (Geoffrey, 1999).

f. Pengobatan

dapat dicegah dengan mencegah babi dari kebiasaan membongkar tanah. Hal ini dapat dengan
cara memberikan cincin pada hidungnya sehingga bila bila membongkar tanah hidungnya akan
sakit. Pengobatan dengan memberikan Ivermectin, Levamisole, Febendazole, Flubendazole,
Febantel dan Mebendazole (Bendryman dkk, 2013).

Ascaridia galii

a. Signalement Sampel

Jenis sampel : Feses


Ras/Breed : Ayam

Asal Sampel : Pasar Hewan Splendid Malang

Tanggal Pengambilan : 24 Maret 2019

Tanggal Pengujian : 26 Maret 2019

Media pengawet : Formalin 10% (feses)

b. Klasifikasi dan Morfologi

Pada pemeriksaan cacing Ascaridia sp. yang dilakukan, sampel diambil dari saluran
pencernaan merpati dan feses ayam. Dari kedua sampel ditemukan adanya cacing Ascaridia sp.
pada saluran pencernaan merpati dan telur cacing Ascaridia sp. pada feses ayam kate. Menurut
Bedryman dkk. (2013), spesies cacing yang ditemukan pada ayam disebut dengan Ascaridia
galli. Klasifikasi cacing Ascaridias sp. adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Kelas : Nematoda

Ordo : Ascaridia

Famili : Ascarididae

Genus : Ascaridia

Spesies : Ascaridia galli

Mulut Ascaridia sp. dilengkapi dengan tiga bibir, satu dorsal dan dua lateroventral.
Panjang cacing jantan 50-76 mm, sedangkan betina memiliki panjang tubuh 72-116 mm.
Posterior cacing jantan memiliki alae yang jelas, dilengkapi papil 10 pasang dan alat penghisap
perkloaka, dua spikula langsing panjang hampir sama panjang. Vulva terletak sedikit anterior
tengah-tengah tubuh. Telur oval, berdinding rata, belum berkembang saat dikeluarkan bersama
tinja, berukuran 73-93 x 45-57 μm (Bendryman dkk., 2013).
Keterangan : (A)Telur Ascaridia galli pada sampel feses ayam dengan perbesaran 400x.
(Dokumentasi Pribadi, 2019)

c. Hospes dan Predileksi

Ascaridia sp. merupakan jenis nematode yang menyerang ayam, kalkun, angsa, ayam
hutan dan berbagai ungags liar yang bepredileksi pada usus (Bendryman dkk., 2013).

d. Siklus Hidup dan Cara Penularan

Secara keseluruhan, cacing Acaridia sp. betina dewasa menghasilkan 1.045.478 telur
yang berhasil berkembang menjadi 935.300 telur infektif (Balqis dkk., 2009). Telur Acaridia
sp. yang dikeluarkan bersama tinja inang dan akan berkembang menjadi stadium infektif (telur
infektif) dalam waktu ± 10 hari di udara terbuka. Perkembangan selanjutnya telur menjadi larva
stadium 2 yang sangat kuat (resisten) dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Pada stadium
2 ini larva mampu bertahan hidup lebi dari 3 bulan di tempat yang teduh /terlindung, namun
akan segera mati bila keadaan kering dan cuaca panas sekalipun larva berada dalam tanah
sedalam ± 15cm (Bendryman dkk., 2013).

Menurut Permin dan Hansen (1998) siklus hidup Acaridia sp. bersifat langsung yaitu
pematangan seksual berlangsung di dalam traktus gastrointestinal inang definitif dan stadium
infektif berlangsung di dalam telur resisten berembrio di lingkungan bebas. Telur dikeluarkan
bersama feses inang definitif dan akan mencapai stadium infektif dalam waktu 10– 20 hari
tergantung kepada temperatur serta kelembaban lingkungan. Daur hidup disempurnakan ketika
telur infektif Acaridia sp. teringesti oleh inang definitif melalui makanan atau air
terkontaminasi. Telur mengandung embrio secara mekanik terbawa ke duodenum atau jejunum
hingga menetas setelah 24 jam pasca ingesti. Selama penetasan gelungan larva muncul dari
ujung anterior telur melewati celah terbuka keluar ke dalam lumen intestinal untuk menjadi
larva stadium 3.
Menurut Bendryman dkk. (2013), larva stadium 3 akan menembusmukosa usus
kemudian berkembang menjadi larva 4 pada hari ke 14-15setelah infeksi. Hari ke 17-18 cacing
muda akan keluar dari mukosamenuju lumen intestin dan menjadi dewasa pada minggu ke 6-
8. Pada hari ke ± 100 telur Acaridia sp. dapat ditemukan pada feses inang. Pada kasus yang
langka larva dapat menembus mukosa usus terlalu dalam sehingga ikut aliran darah menuju
hepar dan kemudian masuk ke paru-paru.

e. Patogenesis

Telur Acaridia sp yang masuk pada tubuh inang akan menetas menjadi larva stadium 3
pada intestine. Kemudian, larva akan menembus mukosa intestine dan berpenetrasi, hal ini
mengakibatakan enteritis hemorhagis dan keruskan dinding intestin pada unggas dewasa. Pada

infeksi berat dapat terjadi penyumbatan pada usus halus, dan menyebabkan kematian pada
unggas muda (Bendryman dkk., 2013). Unggas yang terinfeksi Ascaridia sp. dalam jumlah
besar akan mengalami anemia, penurunan kadar gula darah, gangguan pertumbuhan, dan
memudahkan terinfeksinya penyakit-penyakit lain (Balqis dkk., 2015). Unggas muda lebih
peka dibandingkan dengan unggas dewasa, karena jumlah mukus pada unggas dewasa lebih
banyak dibandingkan dengan unggas muda dan pada mukus itulah dibentuk antibodi untuk
parasit. Sehingga, peningkatan jumlah mucus pada unggas menjadi faktor penghambat
pertumbuhan larva cacing Ascaridia sp. Perkembangan larva stadium 3 menjadi larva stadium

4 terjadi di dalam mukosa intestin, keudian larva stadium 4 akan menjadi cacing muda dan
keluar dari mukosa menuju lumen menjadi cacing dewasa. Infeksi hebat Acaridia sp
diakibatkan oleh cacing dewasa.

f. Gejala Klinis

Gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi Acaridia sp antara lain yaitu, enteritis
hemorhagi, anemia dan nafsu makan menurun. Gejala klinis yang sering nampak adalah, bulu
rontok, kusam, pucat, lemah, emasiasi, dan sayap terkulai. Disisi lain, infeksi Acaridia sp dapat
menyebabkan penurunan bahkan terhentinya produksi telur serta penurunan berat badan secara
drastic (Bendryman, 2011). Selain itu infeksi berat juga dapat menyebabkan kematian karena
terjadi penyumbatan usus. Pada pemeriksaan pasca mati terlihat peradangan usus yang
hemoragik dan larva yang panjangnya 7 mm ditemukan dalam mukosa usus. Selain itu kadang-
kadang ditemukan parasit yang sudah berkapur dalam bagian albumin dari telur (Tabbu, 2002).

g. Pengobatan
Beberapa pengobatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi investasi cacing Ascaridia
sp. antara lain yaitu, piperazine adipat 300-400 mg/kg pakan, piperazine sitrat 400 mg/L air
untuk 24 jam, Penotiazin 2200 mg/kg pakan, Hygromycin-B 8 gram/Ton pakan diberikan
selama 8 minggu, Mebendazole, Tetramizol dan Haloxon. Mekanisme kerja piperazine adalah
dengan jalan memblokade acetylcholine pada neuro muscular junction, sehingga menyebabkan
paralisis cacing dan cacing keluar bersama tinja (Bendryman dkk, 2013).

Balantidium coli

a. Signalment 1

Asal sampel : Peternakan Batu

Ras/Breed : Sapi

Jenis kelamin : Jantan

Jenis sampel : Feses

Tanggal pengambilan : 24 Maret 2019

Tanggal Pengujian : 29 Maret 2019

Bahan pengawet : Kalium bikromat

b. Penunjang Diagnosa

Pemeriksaan feses dengan metode natif dan apung. Preparat kemudian diamati di
bawah mikroskop perbesaran 100-400x dan terindentifikasi Balantidium coli ditemukan
pada feses sapi

Keterangan : Telur Balantidium coli pada sampel feses sapi dengan perbesaran
400x. (Dokumentasi Pribadi, 2019)
c. Morfologi

Menurut Levine (1990), Balantidium diklasifikasikan sebagai berikut:

Filum : Ciliaphora (Ciliata)

Kelas : Kinetofragminophorasida

Ordo : Trichostomatorida

Famili : Balantidiidae

Genus : Balantidium

Spesies : Balantidium coli

Dari genus ini yang penting adalah spesies Balantidium coli. Parasit ini mempunyai dua
stadium perkembangan, yaitu stadium trofozoit dan kista. Stadium (bentuk) trofozoit (vegetate)
berukuran panjang 150 μm, makronukleus terletak di subterminal tubuh dan berbentuk halter.
Sitoplasma berisi beberapa vakuola makana dan dua vakuola kontraktil. Stadium kista
berbentuk ovoid sampai sperikal, berukuram 40-60 μm. Di dalam kista masih terlihat
makronukleus, mikronukleus dan vakuola kontraktil. Silia tidak terlihat, tertutup dinding kista,
dinding kista teridri dari dua membrane. Parasit ini menyerang babi dan golongan primate
tinggi termasuk manusia. Habitat parasit dalam induk semang di lumen kolonl induk semnag
tertular karena menelan bentuk kista yang mencemari makanan atau minuman (Levine, 1990).

Anggota dari genus Balantidium bentuk vegetatifnya (trofozoit) mempunyai bentuk


oval sampai elips. Seluruh permukaan tubuh tertutup oleh silia yang tersusun seperti deretan
longitudinal, silia merupakan alat gerak (lokomosi). Mempunyai dua inti yaitu makronukleus
yang berbentuk halter dan mikronukleus yang berbentuk bulat, bertanggung jawab dalam
proses reproduksi. Reproduksi (perkembangbiakan) dengan cara pembelahan ganda atau
dengan konjugasi. Stadium vegetative mempunyai peristome (mulut) terletak di dekat ujung
anterior dan berlanjut ke sitofaring (cytopharynx) (Levine, 1990).

d. Siklus Hidup

Siklus hidup Balantidiumvdimulai dari tertelannya pakan yang tercemar oleh


trophozoit. Pada stadium ini trophozoite bentuknya oval dan besar serta dikelilingi cilia pendek
yang memungkinkan begerak di dalam usus besar. Stadium motil ini panjangnya 50 – 100
mikron dan lebarnya 40 – 70 mikron. Memiliki dua inti, inti yang besar berbentuk seperti
kacang disebut makronukleus dan yang lebih kecil disebut mikronukleus. Stadium kedua
berbentuk kista, bentuk ini bertanggung jawab menyebarkan parasit ke inang baru. Ukuran
diameter kista 50-70 mikron. Trophozoit dan kista keluar dari usus bersama feses namun hanya
kista yang tahan terhadap kondisi lingkungan yang dapat bertahan hidup di luar tubuh untuk
selanjutnya mencemari air dan bahan makanan. Apabila kista termakan kemudian menyilih
(excysts) di dalam usus, bentukan motil ini mulai memakan nutrisi yang terdapat di dalam sel,
bahan karbohidrat dan bahan organik lainnya (Winaya dkk, 2011).

e. Hospes dan Predileksi

Balantidium coli merupakan prasit pada usus besar manusia, babi, kera, sapi, domba,
dan kadang-kadang terdapat pada anjing serta bersifat patogen. Predileksi dalam induk semang
di lumen caecum dan colon. Induk semang tertular parasit karena menelan bentuk kista yang
mencemari makanan dan minuman (Mufasirin dkk, 2016).

f. Patogenesis dan Gejala Klinis

Babi merupakan induk semang utama. Dalam kondisi normal pada feses babi
ditemukan Balantidium coli. Apanila B. coli menginfeksi dalam jumlah banyak, maka
bervariasi ke mukosa dan membentuk ulsera, keadaan inisering dihubungkan dengan enteritis.
Balantidium coli juga menyebabkan kerusakan pada inti dari epitel. Pada kasus yang berat
dapat menyebabkan disentri yang disertai perdarahan (Mufasirin dkk, 2016).

g. Pencegahan dan Pengobatan

Pencegahan penyakit ini dengan menjaga kebersihan lingkungan termasuk vector mekanik
pembawa penyakit seperti lalat, kecoa dan lain sebagainya. Pengobatan dapat dilakukan dengan
pemberian Carbazone 250 mg/hari selama 10 hari, atau Metronidazole, Tetracycline dan
Iodoquinolon (Mufasirin dkk, 2016).

Culex quinquefasciatus

a. Signalement

Sampel diperoleh dari lingkungan rumah.

b. Klasifikasi dan Morfologi

Pemeriksaan artrhopoda nyamuk Culex dilakukan dengan menggunakan metode


pinning. Berdasarkan metode tersebut dapat dipelajari mengenai morfologi tubuh nyamuk
sehingga dapat dengan mudah dalam mengidentifikasi spesies, siklus hidup, morfoligi, hospes,
dan patogenesa. Klasifikasi ilmiah C. quinquefasciatus menurut Urquhart et al., (1996) adalah
sebagai berikut :

Filum : Artrhopoda

Kelas : Insecta

Ordo : Diptera

Famili : Culicidae

Genus : Culex

Spesies : C. quinquefasciatus

Nyamuk mempunyai beberapa ciri yaitu tubuhnya dibedakan atas kaput, toraks,
abdomen dan mempunyai 3 pasang kaki dan sepasang antena. Satu pasang sayap dan halter
menempatkan nyamuk dalam ordo Diptera. Sisik pada sayap dan adanya alat mulut yang
panjang seperti jarum menempatkan nyamuk ke dalam familia Culicidae (Borror dkk., 1992).

Genus Culex dicirikan dengan bentuk abdomen nyamuk betina yang tumpul pada
bagian ujungnya. Nama lain nyamuk Culex quinquefasciatus adalah Culex pipiens fatigans
wiedemann (Setiawati, 2000). Kepala Culex umumnya bulat atau sferik dan memiliki sepasang
mata, sepasang antena, sepasang palpi yang terdiri atas 5 segmen dan 1 probosis antena yang
terdiri atas 15 segmen.

Culex quinquefasciatus (Dokumentasi pribadi, 2019)

Pada genus Culex tidak terdapat rambut pada spiracular maupun pada post spiracular.
Panjang palpus maxillaries nyamuk jantan sama dengan proboscis. Bagian toraks nyamuk
terdiri atas 3 bagian yaitu prothorax, mesothorax dan metathorax. Bagian metathoraxs mengecil
dan terdapat sepasang sayap yang mengalami modifikasi menjadi halter. Abdomen terdiri atas
8 segmen tanpa bintik putih di tiap segmen. Ciri lain dari nyamuk Culex adalah posisi yang
sejajar dengan bidang permukaan yang dihinggapi saat istirahat atau saat menusuk dengan kaki
belakang yang sedikit terangkat (Setiawati, 2000).

Nyamuk dari genus Culex dapat menyebarkan penyakit Japanese Encephalitis (radang
otak), West Nile Virus, Filariasis, Japanese enchepalitis, St Louis encephalitis. dan Filariasis.
Japanese Encephalitis (JE) adalah suatu penyakit yang menyerang susunan syaraf pusat yang
disebabkan oleh virus. Ada beberapa macam encephalitis diantaranya Japanese Encephalitis
dan St. Louis Encephalitis. Pada hewan, Culex quinquefasciatus dapat berperan sebagai vektor
virus bluetongue, fowl-pox, African horse sickness, heartworm pada anjing, dan agen transmisi
dari Plasmodium gallinaceum dan Spirochaeta anserine (Urquhart et al.,1996)

c. Siklus Hidup

Siklus hidup Culex quinquefasciatus mulai dari telur hingga dewasa membutuhkan waktu
sekitar 14 hari. Untuk bertelur, nyamuk betina akan mencari tempat yang sesuai seperti
genangan air yang lembab. Metamorfosis sempurna (holometabola) nyamuk Culex adalah
telur, larva, pupa, dan nyamuk dewasa. Nyamuk Culex meletakkan telur di atas permukaan air
secara bergerombol dan bersatu membentuk rakit sehingga mampu untuk mengapung. Sekali
bertelur menghasilkan 100 telur dan biasanya dapat bertahan selama 6 bulan. Telur akan
menjadi jentik setelah sekitar 2 hari.

Siklus hidup nyamuk Culex quinquefasciatus

Salah satu ciri dari larva nyamuk Culex adalah memiliki siphon.Siphon dengan
beberapa kumpulan rambut membentuk sudut denganpermukaan air. Pada tahap larva, nyamuk
Culex mempunyai 4 tingkatan atau instar sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut, yaitu
Larva instar I, berukuran paling kecil yaitu 1 – 2 mm atau 1 – 2 hari setelah menetas. Duriduri
(spinae) pada dada belum jelas dan corong pernafasan pada siphon belum jelas, kemudian
Larva instar II, berukuran 2,5 – 3,5 mm atau 2 – 3 hari setelah telur menetas. Duri-duri belum
jelas, corong kepala mulai menghitam. Selanjutnya, Larva instar III, berukuran 4 – 5 mm atau
3 – 4 hari setelah telur menetas. Duri-duri dada mulai jelas dan corong pernafasan berwarna
coklat kehitaman, dan yang terakhir adalah Larva IV, berukuran paling besar yaitu 5 – 6 mm
atau 4 – 6 hari setelah telur menetas, dengan warna kepala.
Larva akan menjadi pupa. Pupa berbentuk bengkok dan kepalanya besar. Pupa
membutuhkan waktu 2-5 hari. Pupa tidak makan apapun. Sebagian kecil tubuh pupa kontak
dengan permukaan air, berbentuk terompet panjang dan ramping, setelah 1 – 2 hari akan
menjadi nyamuk Culex dewasa (Kamaruddin, 2003). Ciri-ciri nyamuk Culex dewasa adalah
berwarna hitam belang-belang putih, kepala berwarna hitam dengan putih pada ujungnya. Pada
bagian thorak terdapat 2 garis putih berbentuk kurva.

d. Pengendalian

Secara garis besar ada 4 cara pengendalian vektor, yaitu dengan cara kimiawi, biologis,
radiasi, dan mekanik/pengelolaan lingkungan. Pengendalian secara kimiawi biasanya
digunakan insektisida dari golongan orghanochlorine, organophosphor, carbamate dan
pyrethoid. Bahan-bahan tersebut dapat diaplikasikan dalam bentuk penyemprotan terhadap
rumahrumah penduduk (Kamaruddin, 2003). Pengendalian lingkungan digunakan beberapa
cara antara lain dengan mencegah nyamuk kontak dengan manusia yaitu dengan memasang
kawat kasa pada lubang ventilasi,jendela dan pintu.

DAFTAR PUSTAKA

Bendryman.S.Sri, Setiawan K., Sri M.Sosiawati, dan Kusnoto.2013. Buku Teks Helminthiasis
Veteriner. Global Persada Press: Surabaya.

Borror, D. J., C. A. Triplehorn dan N. F. Johnson. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi
Keenam. Alih bahasa: Soetiyono Partosoedjono. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

Geoffrey lofage. 1999. Veterinary Helmintologi and Entomonologi. Fourth Edition.


Bailliere,Tindail And Cox And 8 Henyetta Street Covent Cardes. London.

Kamaruddin, Mufti.dkk.. (2003). Buku Ajar Parasitologi Veteriner. Fakultas Kedokteran


Hewan Universitas Syiah Kuala. Darussalam. Banda Aceh.

Levine, N.D. 1990. Parasitologi Veteriner. (Diterjemahkan oleh G. Ashadi). Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.

Mufasirin, Dyah N.R, Suprihati E, Tri L.S, 2016. Buku Ajar Ilmu Penyakit Protozoa.
Departemen Parasitologi Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Airlangga. Airlangga University Press: Surabaya.
Setiawati, D. L. 2000. Mortalitas Larva Culex dengan Ekatrak Umbi Gadung (Dioscorea
hispida Dennst) di Laboratorium. Skripsi. Fakultas Biologi. UGM.

Tabbu, C.R.2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Volume 2. Kanisius:Yogyakarta.

Urquhart, G.M., J. Armaur, H . Duncan, A .M. Doon And F.W. Jenning.1989. Veterinary
Parasitology. Long Man Scientific And Technical. New York . Pp. 184 -187.

Winaya, Ida Bagus Oka., I Ketut Berata dan Ida Ayu pasti Apsari. 2011. Kejadian Balantidiosis
pada Babi Landrace. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Denpasar.

Anda mungkin juga menyukai