Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KEGIATAN PPDH KELOMPOK 3 ROTASI DIAGNOSA

LABORATORIK
IDENTIFIKASI PARASIT YANG DILAKSANAKAN DI
LABORATORIUM PARASITOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA

` Oleh:

Ade Mahendra, S.KH 180130100111045


Geta Darantika, S.KH 180130100111058
Monalisa Kuswardana, S.KH 180130100111051

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
Strongyloides stercoralis
a. Signalement sampel
Jenis sampel : Feses
Ras/Breed : Singa
Asal Sampel : Kebun Binatang Surabaya (KBS)
Tanggal Pengambilan : 26 Maret 2019
Tanggal Pengujian : 26 Maret 2019

b. Morfologi dan Klasifikasi


Strongyloides stercoralis merupakan cacing nematoda yang hidup dalam lumen usus
yaitu pada duodenum dan jejunum. Strongyloides stercoralis adalah nematoda usus atau cacing
usus yang dapat menyebabkan penyakit Strongyloidiasis. Cacing ini penyebarannya sangat
luas (kosmopolit) tetapi tingkat insidensinya rendah. Cacing ini juga disebut dengan Thread
worm atau cacing benang. Pada umumnya cacing ini hanya cacing betina saja yang hidup
parasitik pada manusia. Telur cacing dikeluarkan oleh cacing betina didalam mukosa usus
duodenum dan jejunum yang lalu menetas menjadi larva rabditiform.Cacing betina hidup
sebagai parasit dengan ukuran 2,20 x 0, 04 mm, adalah berbentuk filariform, tidak berwarna,
semi transparan dengan kutikulum yang bergaris halus. Cacing ini mempunyai ruang mulut
dan oesofagus panjang, langsing dan silindrik. Sepasang uterus berisi sebaris telur yang
berdinding tipis, jernih dan bersegmen (Kusnoto, 2011).

Telur : telur berbentuk lonjong mirip telur cacing tambang berukuran 55 x 30 mikron,
mempunyai dinding tipis yang tembus sinar. Telur dikeluarkan didalam mukosa usus dan
menjadi larva sehingga di dalam feses tidak ditemukan adanya telur.

Larva : Bentukan larva ada dua macam yaitu larva Rabditiform dan larva filariform ( bentuk
infektif ). Larva rabditiform berukuran 200 dan 250 mikron, mempunyai mulut pendek dengan
dua pembesaran oesefagus yang khas. Larva filariform ukurannya lebih panjang kurang lebih
700 mikron, ramping dan mempunyai mulut pendek oesofagus dimana larva ini berbentuk
silindris (Griffiths, 2002).
Adapun klasifikasi dari Strongyloides stercoralis, yaitu:
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Secernentea
Ordo : Rhabditida
Famili : Strongyloididae
Genus : Strongyloides
Spesies : Strongyloides stercoralis

Telur cacing Strongyloides stercoralis pada singa di Kebun Binatang Surabaya


(Dokumentasi pribadi, 2019)

c. Hospes dan Predileksi


Dalam siklus hidup strongyloides stercoralis tidak diperlukan hospes perantara. Sebagai
hospes definitif adalah manusia, sedangkan predileksi dari cacing ini yaitu lumen usus
duodenum dan jejunum (Griffiths, 2002).

d. Siklus Hidup
Cacing betina dewasa parasiter Strongyloides stercoralis menembus mukosa dari vili intestinal
dan membuat saluran-saluran di dalam mukosa terutama didaerah duodenum dan jejunum
bagian atas untuk meletakkan telur-telurnya. Telur akan menetas menjadi larva rhaditiform
yang keluar dari mukosa dan masuk ke lumen usus. Kemudian dari sini ada beberapa jalan bagi
larva rhabditiform :
Siklus hidup Strongyloides stercoralis (Foreyt, 2001)

1. Larva rhabditiform keluar bersama dengan feses, setelah 12 – 24 jam larva rhabditiform
akan menjadi larva filariform yang bertahan berminggu-minggu ditanah. Jika menemukan
hospes maka akan menembus kulit yang ikut aliran darah ke jantung kemudian masuk ke
paru-paru dan masuk ke bronkus kemudian melalui tractus ke atas sampai epiglotis dan
turun ke bawah melalui esophagus ke intestinum tenue dan tumbuh sampai menjadi dewasa.
Jika tidak menemukan hospes maka larva filariform akan berkembang ditanah menjadi
cacing dewasa yang hidup bebas, cacing betina akan bertelur dan telur telurnya akan
menetas menjadi larva rhabditiform kemudian berubah menjadi larva filariform dan
menjadi infeksius atau hidup bebas lagi.
2. Pada penderita yang sudah mengalami infeksi dapat mengalami auto infeksi dengan cara :
Auto infeksi internal : jika terjadi konstipasi, larva rhabditiform akan menjadi larva
filariform saat masih ada di usus kemudian menembus usus dan akan menginfeksi lagi.
Auto infeksi eksternal : jika larva rhabditiform tumbuh menjadi larva filariform di daerah
anus dan kemudian akan menembus kulit di daerah perianal untuk menginfeksi lagi
(Waikagul et al, 2002).
e. Gejala Klinis
Gejala klinis dari strongyloidiasis dapat dibedakan menjadi 3 fase yaitu :
1. Invasi larva filariform pada kulit, terutama pada kaki menimbulkan gejala eritemia, vesicula
dengan rasa gatal dan sedikit sakit. Pada orang yang sensitif dapat menimbulkan urticaria,
serta dapat berupa creeping eruption.
2. Migrasi larva pada paru-paru dapat menyebabkan pneumonitis atau lobular pneumonia.
3. Cacing dewasa betina dapat membuat saluran-saluran di mukosa intestinum tenue sehingga
dapat menyebabkan infeksi catarrhal pada mukosa dan reaksi karena intoxicasi. Gejala yang
timbul dapat berupa sakit perut terutama pada waktu lapar (hunger pain), diare dengan darah
dan lendir berselang-seling dengan konstipasi dan menimbulkan penurunan berat badan.

f. Terapi
Ivermectin merupakan terapi pilihan untuk strongyloidiasis. Ivermectin diberikan dengan dosis
0.2 mg/kg berat badan. Sebagai terapi alternatif dapat diberikan Albendazole dengan dosis 25
mg/kg berat badan (Nontasut et al, 2005).

Ostertagia spp
a. Signalement sampel
Jenis sampel : Feses
Ras/Breed : Rusa sambar dan Watusi (bovine)
Asal Sampel : Kebun Binatang Surabaya (KBS)
Tanggal Pengambilan : 26 Maret 2019
Tanggal Pengujian : 26 Maret 2019

b. Morfologi dan Klasifikasi


Ostertagia sp merupakan cacing nematoda yang biasa dikenal sebagai cacing perut
coklat. Ostertagia sp juga merupakan cacing gelang yang menginfeksi sapi, kambing, domba,
ruminansia liar dan hewan pemamah biak yang lain. Ostertagia sp ini merupakan penyebab
ostertagiosis yang akan berdampak fatal pada sapi dan ini dapat ditemukan di seluruh dunia
terutama pada daerah beriklim sedang (Taylor , 2015).
Telur cacing Ostertagia sp pada watusi (bovine)
(Dokumentasi pribadi, 2019)

Telur cacing Ostertagia sp pada rusa sambar


(Dokumentasi pribadi, 2019)

Cacing Ostertagia sp dewasa ramping berwarna coklat kemerahan dan agak tipis. Panjang
cacing jantan dewasa dari Ostertagia sp adalah 6-7 mm dan panjang cacing betina dewasa
adalah 8-11 mm. Sedangkan ukuran telur dari Ostertagia sp adalah 70-86 milimikron. Tubuh
dari cacing Ostertagia sp ini ditutupi dengan kutikula, yang fleksibel tetapi agak tangguh dan
cacing Ostertagia sp ini memiliki beberapa punggung memanjang. Cacing Ostertagia sp
memiliki sistem pencernaan tubular dengan dua lubang yaitu mulut dan anus. Ostertagia sp
juga memiliki sistem saraf tetapi tidak memiliki organ ekskretoris dan tidak ada sistem
peredaran darah, yaitu jantung atau pembuluh darah. Ovarium dari cacing Ostertagia sp betina
berukuran besar dan uterus dari cacing Ostertagia sp berakhir di lubang yang disebut vulva.
Cacing Ostertagia sp jantan memiliki bursa kopulatori dengan dua spikula pendek dan tipis
untuk melekat pada betina selama proses kopulasi.
Adapun klasifikasi dari Ostertagia sp, yaitu:
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Chromadorea
Ordo : Rhabditida
Famili : Trichostrongylidae
Genus : Ostertagia
Spesies : Ostertagia sp (Ostertagia ostertagi)
c. Hospes dan Predileksi
Hospes dari Ostertagia sp yakni pada sapi, kambing, domba, ruminansia liar, dan hewan
pemamah biak yang lain. Cacing Ostertagia sp dapat ditemukan di abomasum hospes.

d. Siklus Hidup
Ostertagia sp dan cacing gelang ternak lainnya memiliki siklus hidup langsung yang sederhana.
Hal penting dari siklus hidup dari cacing Ostertagia sp ini adalah bahwa siklus hidupnya terdiri
dari dua tahap yaitu tahap hidup bebas di padang rumput dan tahap parasit pada sapi.
Telur dari cacing Ostertagia sp betina dewasa di abomasum (perut keempat) akan dikeluarkan
bersama feses atau kotoran. Telur ini akan menetas menjadi larva tahap pertama (L1). Larva
ini akan tumbuh dan berkembang menjadi larva tahap kedua (L2). Larva tahap kedua terus
memberi makan bakteri pada kotoran sapi dan meningkat menjadi larva tahap ketiga atau tahap
infektif larva (L3). Larva infektif ini dapat bertahan hidup di padang rumput hingga 14 bulan
dan mampu melewati musim dingin di daerah dingin seperti Eropa Utara. Telur dan larva
infektif dapat bertahan hidup juga dalam pupuk kandang selama berbulan-bulan. Larva yang
terinfeksi dapat secara aktif memindahkan kotoran ke padang rumput hingga jarak 50 cm, atau
menyebar secara pasif ketika kotoran diinjak-injak. Ternak menjadi terinfeksi setelah menelan
larva infektif di padang rumput. Stok yang disimpan juga dapat terinfeksi melalui jerami yang
terkontaminasi. Larva yang tertelan mencapai perut dan menggali ke dalam dinding abomasum,
tempat mereka menyebabkan munculnya nodul yang khas. Sekitar 2 minggu kemudian mereka
meninggalkan nodul dan perkembangan lengkap untuk cacing dewasa di lumen. Cacing
dewasa menempel pada perut atau dinding usus dan mengeluarkan telur yang dikeluarkan
bersama dengan kotoran. Periode prepaten (waktu antara infeksi dan telur pertama
ditumpahkan) adalah 2 hingga 4 minggu (tanpa dormansi) tergantung pada spesies dan inang.

e. Gejala Klinis
Seperti yang telah disebutkan, Ostertagia sp adalah cacing sapi paling merusak di
daerah dengan iklim sedang dan sejuk. Ada dua perkembangan klinis utama, ostertagiasis tipe
I (juga disebut ostertagiasis musim panas), dan ostertagiasis tipe II (juga disebut ostertagiasis
musim dingin).
Ostertagiasis tipe I mempengaruhi anak sapi dan ternak muda selama musim
penggembalaan pertama mereka ketika mereka terinfeksi cacing ini untuk pertama kalinya.
Ostertagiasis tipe II berpengaruh pada sapi dewasa, sapi dewasa akan menjadi sakit ketika
menelan larva yang melanjutkan perkembangan selama musim dingin dan awal musim semi.
Wabah dapat terjadi kapan saja selama musim dingin dan musim semi sebelum musim
penggembalaan berikutnya (Charlier, 2006).
Larva adalah tahap yang paling merusak. Sel-sel seperti itu tidak dapat menghasilkan
asam. Konsekuensinya adalah bahwa pH abomasum naik hingga hampir 7, dengan
konsekuensi dramatis. Pepsinogen yang disekresikan tidak dapat diubah menjadi pepsin aktif,
yang menghambat denaturasi protein dan pencernaan selanjutnya dalam usus. Protein yang
tidak tercerna di usus menghambat penyerapan cairan, yang menyebabkan diare. Pencernaan
protein yang tidak lengkap menurunkan penyerapan albumin ke dalam darah, yang harus
dikompensasi dengan peningkatan asupan makanan, yang sangat sulit karena hewan yang
terkena kehilangan nafsu makan. Gejala klinis yang khas adalah gastroenteritis (radang
lambung atau usus), anemia, diare (lendir atau berair), dehidrasi, kehilangan nafsu makan dan
penurunan berat badan (hingga 20% dalam 1 minggu setelah wabah!) , semua lebih atau kurang
parah tergantung pada jumlah larva yang menyebabkan infeksi dan kondisi hewan. Efek
lainnya adalah edema, yaitu akumulasi cairan di perut (asites) dan juga di jaringan
submandibular, yang dikenal sebagai rahang botol dan merupakan karakteristik infeksi dengan
cacing gastrointestinal ini.Kematian sering terjadi baik dalam umur muda maupun tua .

f. Terapi
Ada beberapa obat anthelmintik yang digunakan untuk mengobati dan mengendalikan
infeksi nematoda gastrointestinal pada ternak, yang paling umum digunakan adalah ivermectin
dan eprinomectin, dan benzimidazole (Areskog dkk, 2013).
Strongylus spp
a. Signalement sampel
Jenis sampel : Feses
Ras/Breed : Kuda
Asal Sampel : Emporium House Club
Tanggal Pengambilan : 25 Maret 2019
Tanggal Pengujian : 25 Maret 2019

b. Morfologi dan Klasifikasi


Hasil pemeriksaan telur cacing Strongylus memperlihatkan bentuk telur yang elips,
mempunyai selubung yang tipis, mempunyai blastomer yang jelas dengan jumlah yang banyak,
dan mempunyai ukuran panjang rata-rata 80.36 µm dan lebar rata-rata 35.45 µm. Larva
Strongylus merupakan larva yang memiliki ukuran besar yaitu 980 µm, memiliki esofagus
yang pendek, memiliki 16 sampai 32 sel usus tergantung spesies, dan sel usus berbentuk kubus
(Zajac dan Gary, 2006). Hasil pemeriksaan larva cacing Strongylus memperlihatkan ukuran
tubuh yang besar dengan rata-rata panjang tubuh mencapai 1.234 µm. Selain memiliki ukuran
16µm tubuh yang besar dan panjang, cacing ini memiliki sel usus yang berbentuk kubus.
Karakteristik dari genus cacing ini pun sesuai dengan yang dijelaskan oleh Zajac dan Gary
(2006)
Infeksi cacing Strongylus pada kuda, dan spesies lain dari Equidae, terutama oleh
S. vulgaris, merupakan kejadian yang sangat sering dalam praktek dihampir semua bagian
dunia . Strongylosis dapat menyebabkan kolik aneuris mata bila infeksinya berat. Bila infeksi
juga diperberat oleh cacingsejenis dari genus Strongylus, yaitu Triodontophorus dan
Trichonema akan mengakibatkan kekurusan dan anemia. Pada peternakan kuda yang
padang penggembalanya sudah tercemar berat oleh telur cacing secara masif sangat sulit
membebaskan kuda -kuda dari kejadian Strongylosis (Subronto, 2007)
Taksonomi Strongylus sp diklasifikasikan dalam:
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Chromodorea
Ordo : Strongyloida
Family : Strongyloidae
Genus : Strongylus
Spesies : S. vulgaris, S. equinus, S. Edentatus
Siklus hidup Strongylus spp. dimulai dari telur – telur keluar bersama tinja dan
telahmengalami awal segmentasi. Dinding telur tipis, terdiri dari lapisan dinding sebelah luar
yangterdiri dari bahan chitin dan membrana vitellinus di dalamnya. Pada suhu 26 °C
terbentuklarva stadium I dalam waktu 20-24 jam yang menetas dari telur dan menjadi larva
stadium bebas. Setelah menetas, larva berada pada stadium I, yaitu bentuk rhabditiform. Mak
anan larva adalah bakteri , kemudian terus bertumbuh dan menyilih menjadi larva stadium II.
Bentuk rhabditiform di Esofagus berkurang, kemudian tumbuh menjadi larva yang kutikulanya
masih tetap berasal dari stadium sebelumnya dan bersifat infeksius. Larva stadium infeksius
tidak makan bakteri dari alam sekitarnya, tetapi memperoleh makanannya dari granula
makanan yang tersimpan didalam sel-sel intestinum. Kemampuan hidup larva pada pasture
tergantung pada kondisi lingkungan yaitu, kelembaban, suhu dan sinar matahari. Karena
persedian makanan terbatas, kondisi yang mendukung pergerakan maka larva lebihcepat mati.
Pada musim panas, larva tidak dapat hidup lebih dari 3 bulan, tetapi pada musimdingin dapat
hidup setahun atau lebih (Hidayati, 1997).
Infeksi terjadi karena memakan larva infeksius dan perkembangan larva
stadiuminfektif selanjutnya yaitu pelepasan dan pergantian kulit yang terjadi didalam usus
halushospes. Pada Strongylus equinus, larva yang telah berganti kulit, menembus masuk
mukosasekum dan kolon dan masuk ke sub serosa untuk membentuk nodule disitu. Sebelas
harisetelah infeksi, terbentuk larva didalam nodule. Larva stadium 4 migrasi ke
rongga peritonium, terus ke hati yang berlangsung selama 6-8 minggu.
Antara 2-4 bulan setelah infeksi, larva meninggalkan hati melalui ligamentum hepatika
dan pergi ke rongga peritonium melalui pankreas. Setelah 118 hari dari saat infeksi, terbentuk
larva stadium 5 danmenuju ke sekum dan kolon. Periode prepaten adalah 260 hari (Hidayati,
1997)

A B
Gambar : Telur cacing Strongylus spp pada kuda (i : Blastomer, ii : krabang telur )
Cacing Strongylus spp. yang mempunyai buccal capsul besar merusak/mukosa dinding usus
besar dan aktif menghisap darah, merusak epithel usus dan menyebabkan ulserasi-ulcerasi kecil
berdarah akibat perlekatan cacing dewasa pada mukosa usus besar. Migrasi larva (stadium 3
dan stadium 4) menimbulkan lesi pada mukosa usus halus dan
usus besar. Juga lesi pada sistem arterial di daerah kranial arteri mesentrika (larva S.vulgaris).
Peradangan terjadi pada lapisan media dan menimbulkan endarteritis dan pembentukan
trombus. Trombus ini berbahaya bila terjadi di daerah pangkal arteri. Infeksi fatal
disebabkan4000 larva dengan perdarahan yang meluas pada hati dan pankreas. Migrasi larva
keruang peritonium menimbulkan perdarahan pada hati, peritonitis dan pankreas. Apabila ter
jadiinfeksi berat terjadi anemia dengan tipe normorkromik normositik dihubungkan
penurunan kemampuan hidup sel darah merah dan meningkatkan katabolisma albumin
(Ratnawati,2004).
Strongyloides merupakan agen penyebab Strongiloidiasis yang terdapat pada usus.
Strongyloides menginfeksi manusia, kucing, anjing, dan satwa sejenisnya serta dapat
ditularkan dari manusia ke satwa atau sebaliknya. Strongyloidiasis bertanggung jawab
untuk kematian sekitar 60-85 % atau sekitar 100 juta orang diseluruh dunia. Tingkat kematian
untuk pasien yang membutuhkan rawat inap dengan infeksi Strongyloide sadalah sekitar
16,7 %. Parasit ini endemik di daerah beriklim tropis dan subtropis dimana pada daerah
tersebut terdapat kelembapan yang tinggi seperti Eropa Timur, Eropa Selatan, Asia Tenggara
, Amerika Tengah, dan Afrika (Iriemenam et al.2010).
Gejala klinis pada kuda dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jumlah larva yang
menginfeksi, umur kuda dan daya tahan tubuh. Kuda yang terinfeksi Strongylus
spp. menunjukkan gejala klinis seperti anemia, kelemahan kekurusan dan diarrhea. Gejala
kolik dan enteritis ganggern disebabkan oleh S. vulgaris. Kuda yang terinfeksi Strongylus
spp. dapat didiagnosa dengan melihat gejala klinis dan melakukan pemeriksaan sampel
fesesseperti pemeriksaan natif, pengapungan sederhana, metode Mc Master dan
sedimentasi.Selain itu, dapat juga diperiksa menggunakan metode ELISA. Pengobatan dapat
dilakukandengan menggunakan pemberian obat cacing seperti Phenothiazine 66 mg/kg bb,
Pyranteltartrat 110 mg/kg bb atau Thiabendazole 200 mg/kg bb.

Lucilia sericata
a. Signalement sampel
Jenis sampel : Larva
Asal Sampel : Pasar Brantang
Tanggal Pengambilan : 4 Maret 2019
Tanggal Pengujian : 4 Maret 2019

b. Morfologi dan Klasifikasi


Lucilia sericata merupakan lalat L. sericata meletekkan telur secara berkelompok.
Masing-masing telur tampak berwarna putih dengan ukuran Rata-rata panjang telur lalat L.
sericata yaitu 1,5 mm dengan diameter 0,5 mm dan terlihat bahwa telur lalat berwarna putih.
Telur menetas dalam kurun waktu sekitar sembilan jam setelah peletakan telur oleh lalat betina.
Menurut Grassberger dan Christian (2001) seekor lalat betina mampu menghasilkan
85-120 telur yang diletakkan secara berkelompok pada suatu tempat di atas permukaan
makanan/substrat. secara umum telur lalat menetas setelah 8-30 jam dan sangat dipengaruhi
oleh suhu lingkungan. Semakin tinggi suhu lingkungan maka telur semakin cepat menetas.
Larva yang baru keluar dari telur yang menetas merupakan larva instar I. Larva ini
berukuran panjang 2 mm berwarna putih dan tidak bermata, tidak berkaki. Setelah 1 – 4 hari
mengalami molting menjadi instar II. larva yang baru menetas memiliki panjang 2,5 mm dan
berwarna putih. Larva instar II memilii ukuran yang biasanya 2 kali lebih besar dari instar I.
Setelah 1-2 hari, larva akan melepas kulit dan keluar menjadi instar III. Pada tahapan larva
instar III, tubuh larva sudah mulai jelas terlihat bersegmen-segmen. Panjang larva dapat
mencapai 15 mm dan lebar 4 mm dengan warna tubuh putih kekuningan. Masa hidup larva ini
adalah 2-4 hari. Secara umum, pertumbuhan larva bergantung pada tingkat ketersediaan
makanan maupun suhu lingkungan. Temperatur yang ideal untuk pertumbuhan larva pada
kisaran suhu 30-35oC (Ghofar et al, 2011).

A B

Gambar. Perkembangan larva lalat (A) dan larva (B)


1. 1st instar
Pada tahap ini, spirakel posteri or larva memperlihatkan satu belahan. Ukuran
larva kurang dari 2 mm. Larva mulai memakan bagian yang berair dari mayat.
Tahap ini berlangsung dalam satu hari.
2. 2 nd Instar
Terlihat dua belahan pada spirakel posterior. Tahap ini berlangsung dalam satu
hari. Larva berukuran 2 –9 mm dan mulai membentuk koloni larva yang disebut
maggot mass.29 Maggott mass mengakibatkan peningkatan temperatur disekitar
akibat pergerakan dari larva. Pada beberapa penelitian, temperatur pada maggot mass
mempengaruhi pertumbuh an larva menjadi lebih cepat.
3. 3 rd Instar
Larva pada tahap ini mempunyai ukuran terbesar, yakni sekitar 9–22 mm.
Terdapat tiga belahan spirakel posterior yang terlihat pada tahap ini. Pada
pertengahan tahap ini, sekitar dua hari, larva akan berhenti makan dan bermigrasi
ketempat gelap dan dingin untuk menjadi pupa, yang disebut juga tahap post-
feeding
larva.

Gambar. Struktur larva


Pupa
Untuk berubah ke tahap pupa, larva instar 3 akan bermigrasi ke daerah yang lebih
kering. Pupa lalat berbentuk lonjong dan umumnya berwarna merah atau coklat. Dalam
penelitian ini, tahapan pupa berlangsung selama 3-9 hari. Tahap pupa terjadi ketika kutikula
telah mengeras dan berubah menjadi warna coklat. Pupa berbentuk seperti tabung dengan ujung
mengecil berukuran 6 mm, Lalat dewasa akan menetas dari pupa setelah 7 hari, bergantung
pada suhu lingkungan. Lalat dewasa keluar dari pupa dengan cara mendorong menggunakan
ptilinum dan keluar melalui celah lingkaran pada bagian anterior, lalat akan bergerak keluar
dan akhirnya terbang. Ptilinum adalah kantung udara yang menutup bagian dorsal kepala dan
akan melepas sempurna setelah keluar dari pupa. Lalat dewasa sangat menghindari cahaya
matahari langsung, sehingga mereka mencari tempat untuk dijadikan sarang yang terlindung
dari sinar matahari.

Imago (lalat dewasa)


Proses pematangan menjadi lalat dewasa kurang lebih selama 15 jam dan setelah itu
siap untuk mengadakan perkawinan. Umur lalat dewasa dapat mencapai 2-4 minggu. Lalat
Lucilia sericata dewasa memiliki ukuran panjang lebih dari 10-14 mm dengan karakteristik
tubuh yang berwarna hijau metalik. Lalat dewasa memiliki ciri sebagai berikut: sepasang
antena dan mata majemuk, mata lalat jantan lebih besar dan sangat berdekaatan satu sama lain.
Tubuh lalat terbagi atas tiga bagian: kepala dengan sepasang antena, toraks, dan abdomen.
Lalat ini mempunyai metamorfosis sempurna, yaitu telur, larva, pupa, dan dewasa
(Natadisastra dan Ridad, 2009).
Lalat Lucilia sericata memiliki lebar garis depan (frontal vitta) dua kali lebih lebar
dibanding garis parafrontal (fronto-orbital). Warna membran frontoclypeal coklat muda
cenderung pucat. Jumlah rambut di lereng posterior kalus humerus di belakang basal setae 6-
8. Jumlah rambut di ujung notopleuron di belakang seta notopleural posterior 8-16. Warna
bagian femora hitam kebiruan-metalik atau coklat kehitaman.
Lalat jantan dan betina dapat dibedakan dengan melihat jarak antar mata majemuk
pada lalat jantan lebih sempit dibandingkan dengan jarak antar mata majemuk pada lalat betina
dengan ukuran rata-rata tubuh lalat jantan yang lebih kecil dibandingkan dengan ukuran tubuh
lalat betina.

A B
Gambar. anterior spricle (A) dan anterior spricle Lucilia sericata(B) (dokumentasi pribadi)

Armigeres subalbatus
a. Signalement
Jenis sampel : Nyamuk
Lokasi Pengambilan : Mulyorejo
Tanggal Pengambilan : 31 Maret 2019
Tanggal Pengujian : 1 April 2019
b. Taksonomi
Phylum : Arthropoda
Sub Phylum : Uniramia
Class : Insekta
Ordo : Diptera
Sub Ordo : Nematocera
Family : Culicidae
Sub Family : Culicinae
Genus : Armigeres
Species : Armigeres subalbatus
c. Hasil Pengamatan
d. Morfologi
Tubuh nyamuk memiliki tiga bagian yaitu kepala, toraks dan abdomen. Kepala
berbentuk bulat dan menyatu dengan toraks. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata
majemuk, sepasang antena, sepasang palpi, dan sebuah probosis. Nyamuk betina
memiliki maksilari palpi yang lebih pendek daripada separuh panjang probosis
Panjangnya probosis ini disesuaikan dengan fungsinya untuk menghisap darah. Bagian
ini terdiri atas labium pada bagian bawah yang memiliki saluran, pada bagian atas
terdapat hipofarings, labrum epifarings, sepasang mandibula yang berfungsi sebagai
penyobek, serta maksila yang bergerigi. Antena terdapat pada kepala bagian depan dan
terletak diantara kedua mata majemuk, berukuran panjang dan langsing terdiri atas 15
segmen. Antena nyamuk jantan memiliki banyak bulu, disebut antena plumose,
sedangkan pada yang betina sedikit berbulu, disebut antena pilose. Secara anatomis,
nyamuk ini memiliki skutelum yang trilobus.. Abdomen nyamuk tertutup oleh sisik–
sisik yang kuat dan lebar mendatar.
Bagian posterior terdapat skutelum yang bentuknya membulat pada
Anophelinae dan berbentuk trilobus pada Culicinae. Abdomen berbentuk silindris dan
memanjang dengan 10 segmen. Hanya segmen 1 hingga 8 yang terlihat, sedangkan
segmen 9 dan 10 merupakan bagian yang dimodifikasi menjadi alat kelamin jantan atau
betina. Abdomen yang memiliki bentuk ramping ini akan berubah seperti bentuk balon
berwarna merah setelah betina menghisap darah (Service, 1986). Bagian posterior
abdomen memiliki 2 sersi kaudal yang berukuran kecil pada nyamuk betina, sedangkan
yang jantan memiliki organ seksual yang disebut hipopigium (Hadi & Koesharto,
2006).
Nyamuk Armigeres memiliki sifon larva pendek, tanpa gigi pekten, ruas anal
tanpa keping ventral, pelana berkembang tidak sempurna, ruas abdomen 1-IV atau
II-IV tanpa spikula, sisik sisir sederhana (10-11 buah). Bentuk nyamuk dewasa
berukuran besar dengan warna coklat dan bercak sisik putih pada bagian dada
samping. Panjang palpus betina sekitar 1/4 panjang probosis, sebaliknya palpi
nyamuk jantan lebih panjang dari probosis; klipeus dengan sekelompok sisik putih.
Bagian atas postspirakular dilengkapi dengan sekumpululan sisik hitam dan sisik
putih dibagian bawahnya. Mesonotum ditutupi sisik warna coklat yang sempit
(Delfinado, 1966).
e. Siklus Hidup
Nyamuk mengalami metamorfosis sempurna (holometabola) dengan empat
tahap dalam siklus hidupnya yaitu telur, larva, pupa, dan dewasa (Gambar 1). Siklus
hidup dapat secara lengkap dilalui dalam waktu satu minggu atau lebih tergantung
temperatur, makanan, spesies, lingkungan, dan faktor lainnya. Telur, larva dan pupa
secara umum memerlukan air untuk kelangsungan hidupnya.
Telur akan menetas setelah tiga hari pada suhu 300 C dan dapat mencapai tujuh
hari pada suhu 160 C. Larva nyamuk biasanya terdapat dalam berbagai tempat akuatik
seperti kolam, wadah-wadah buatan, lubang-lubang pohon dan pada genangan lainnya).
Larva terdiri atas 3 bagian yaitu kepala, toraks dan abdomen. Tubuh larva tertutup oleh
rambut–rambut keras yang panjang (tufts of bristles). Kepala larva lebar dan datar,
terdapat antena pada ujung anteriornya. Sepasang mata terdapat pada bagian lateral
yang dekat dengan posterior kepala, serta terdapat mulut pada bagian anteroventral.
Bagian mulut berbentuk seperti sikat yang pada beberapa spesies berfungsi untuk
mencengkram mangsanya. Bagian toraks larva lebih lebar daripada bagian abdomen.
Struktur dan jumlah rambut pada kepala dan toraks berfungsi dalam identifikasi spesies.
Abdomen berbentuk lebih panjang dan silindris serta terdiri dari 9 segmen (Hadi &
Koesharto, 2006).
Larva nyamuk bersifat akuatik dan mengalami 4 kali pergantian kulit (instar)
yang selanjutnya akan menjadi pupa. Stadium larva sangat dipengaruhi oleh adanya
makanan dan suhu. Stadium larva berkisar selama 7 hari pada suhu 270 C. Stadium
larva dapat juga terjadi selama 4 – 8 hari pada suhu 280 C dengan pemberian ekstrak
hati dan vitamin B komplek (De Meillon, 1989). Pupa berbentuk oval dengan ujung
abdomen seperti ekor dan memiliki sepasang tabung udara. Stadium pupa berlangsung
2-3 hari pada suhu normal, tetapi dapat diperpanjang hingga 10 hari pada suhu rendah,
bahkan pupa tidak berkembang pada suhu dibawah 100 C. Pada saat menetas (eksklosi),
kulit pupa tersobek oleh gelembung udara dan kegiatan bentuk dewasa.
f. Peran sebagai Vektor Penyakit
Nyamuk armigeres dapat berperan sebagai vektor penyakit filariasis. Filariasis
(penyakit kaki gajah) adalah penyakit rnenular menahun yang disebabkan oleh cacing
filarial misalnya Brugia malayi. Brugia malayi dapat hidup di manusia maupun hewan
misalnya kucing dan kera namun pada hewan hanya sebagai hospes reservoar. Brugia
malayi hanya terdapat di Asia, dari India sampai ke Jepang. Pada saat nyamuk
menghisap darah manusia/hewan yang mengandung mikrofilaria, maka mikrofilaria
akan terbawa masuk ke dalam lambung nyamuk dan melespaskan selubungnya,
kemudian menembus dinding lambung dan bergerak menuju otot atau jaringan lemak
di bagian dada. Setelah ± 3 hari mikrofilaria mengalami perubahan bentuk menjadi
larva stadium 1 (L1) bentuknya seperti sosis berukuran 125-250 µm x 10-17 µm dengan
ekor runcing seperti cambuk. Setelah ± 6 hari larva tumbuh menjadi larva stadium 2
(L2) disebut larva preinfektif yang berukuran 200-3000 µm x 15-30 µm dengan ekor
yang tumpul atau memendek. Pada stadium 2 ini larva menunjukkan adanya gerakan.
Hari ke 8-10 tumbuh menjadi larva stadium 3 (L3) yang berukuran ± 1400 µm x 20 µm
Larva stadium L3 tampak panjang dan ramping di sertai dengan gerakan yang aktif
stadium 3 ini merupakan cacing infektif. (Husada, 1990).
g. Pengendalian
Upaya pengendalian nyamuk sebagai serangga pengganggu dan vektor penyakit
sangat tergantung pada sifat–sifat nyamuk, perilaku manusia, serta kondisi alam. Pada
pengendalian nyamuk ada beberapa hal yang perlu dilakukan seperti pemetaan jenis–
jenis nyamuk yang berada di suatu daerah, pemonitoran populasi nyamuk secara
berkelanjutan, pengembangan program pengendalian nyamuk dengan cara kimia
maupun non kimia, dan penyuluhan kepada masyarakat (Hadi dan Koesharto, 2006).
Adapun prinsip dasar dalam pengendalian vektor adalah pengendalian vektor harus
menerapkan bermacam – macam cara pengendalian agar vektor tetap berada pada garis
batas yang tidak merugikan atau membahayakan. Pengendalian merupakan suatu usaha
untuk menekan serangga hama dari populasi yang merugikan menjadi tidak
menimbulkan masalah lagi (Sigit, 2006).
Pengendalian nyamuk secara umum dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
pengendalian kimiawi dan pengendalian non kimiawi. Pengendalian kimiawi terhadap
nyamuk dilakukan dengan menggunakan insektisida. Insektisida berasal dari kata
insect, yang berarti serangga dan –cide yang berarti membunuh. Insektisida
mengendalikan serangga dengan cara mengganggu proses fisiologis tubuhnya.
Berdasarkan cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga (mode of entry),
insektisida disebut sebagai racun kontak, racun pencernaan, dan racun pernafasan.
Insektisida dikenal sebagai racun kontak apabila diaplikasikan akan bereaksi langsung
menembus integument serangga (kutikula), trakhea, atau kelenjar sensorik dan organ
lain yang berhubungan dengan kutikula. Insektisida dikenal sebagai racun perut apabila
masuk ke dalam tubuh serangga melalui saluran pencernaan. Insektisida yang masuk
ke dalam tubuh serangga melalui saluran pernafasan dikenal dengan racun pernafasan.
Berdasar cara kerjanya (mode of action) insektisida terbagi dalam lima mekanisme,
yaitu dengan mengganggu sistem saraf, penghambat produksi energy, mengganggu
sistem endokrin, penghambat produksi kutikula, dan mengganggu keseimbangan air.
Jenis insektisida yang sering digunakan antara lain piretroid, inorganik, organoklorin,
organofosfor, karbamat, neonikotinoid, pirol, avermektin, fenilpirasol, mikrobial,
organofluorin, fumigan, repelen, zat pengatur tumbuh serangga, dan sinergis (Wirawan,
2006).
Untuk keberhasilan dan efektifitas penggunaan jenis insektisida tersebut maka
dilakukan formulasi insektisida. Bentuk formulasi di antaranya adalah Emulsifiable
concentrates, Suspension concentrate, Soluble liquid (mudah larut dalam air), Wettable
powder, Oil miscible concentrate, Ultra low volume, granul (untuk hama berhabitat di
tanah), umpan, Fumigan (untuk gudang), Capsule suspension, Aerosol, penguap
elektrik (Vaporizer, liquid vaporizer, mat vaporizer), antinyamuk bakar (Mosquito
coil), dan Lotion (Wirawan, 2006).
Pengendalian non kimiawi dilakukan dengan pengelolaan lingkungan sehingga
menjadi tidak sesuai lagi bagi perkembangan serangga tanpa menggunakan bahan
kimia. Berbagai upaya yang dapat dilakukan antara lain memodifikasi lingkungan,
manipulasi lingkungan, serta memanipulasi tempat tinggal atau mengubah tingkah laku
manusia. Modifikasi lingkungan merupakan kegiatan mengubah fisik lingkungan
secara permanen agar tempat perindukan nyamuk hilang. Kegiatan yang sering
dilakukan dalam modifikasi lingkungan adalah 3M (menutup, menguras, dan
menimbun) berbagai tempat yang dapat menjadi sarang nyamuk. Manipulasi
lingkungan merupakan usaha menjadikan lingkungan tidak lagi menguntungkan bagi
nyamuk untuk sementara waktu. Contoh manipulasi lingkungan adalah pengangkatan
lumut dari laguna. Upaya manipulasi tempat tinggal dan mengubah tingkah laku
manusia dapat dilakukan dengan menempatkan kembali penduduk yang berasal dari
sumber perkembangbiakan nyamuk, perlindungan perseorangan (personal protection),
penyediaan fasilitas pembuangan air, sampah, dan buangan lainnya.
Pengendalian non kimiawi untuk nyamuk dapat juga dilakukan dengan
memanfaatkan musuh alami nyamuk atau dikenal dengan pengendalian hayati.
Pengendalian hayati memanfaatkan predator, patogen, atau parasit sebagai musuh
alaminya (Hadi & Koesharto, 2006). Pengendalian non-kimiawi dapat dibagi dalam
delapan jenis, yaitu sanitasi, intersepsi, eksklusi, pembersihan harborage, modifikasi
habitat, trapping, pemonitoran, dan penghisapan. Pengendalian dengan metode
nonkimiawi merupakan kegiatan pengendalian di luar pestisida yang bersifat
pencegahan dalam jangka panjang (Wirawan, 2006).
Tabanus sp

a. Signalement
Jenis sampel : Nyamuk
Lokasi Pengambilan : Mulyorejo
Tanggal Pengambilan : 31 Maret 2019
Tanggal Pengujian : 1 April 2019
b. Taksonomi
Phylum : Arthropoda
Sub Phylum : Uniramia
Class : Insekta
Ordo : Diptera
Family : Tabanidae
Genus : Tabanus
Species : Tabanus megalops, Tabanus rubidus
c. Hasil Pengamatan

Tabanus megalops
Tabanus rubidus

d. Morfologi
Lalat Tabanus merupakan ektoparasit yang memiliki tubuh besar dan kokoh,
berukuran 5-25 mm. T. rubidus biasanya memiliki ukuran tubuh yang lebih besar
dibandingkan dengan T. megalops. Bagian mulut terdiri atas probosis yang pendek
dengan maksila yang bekerja seperti pisau untuk merobek, serta bagian labrum-
epifarings dan hipofarings sebagai penusuk dan pengisap. Kalus pada lalat T. megalops
berwarna hitam memanjang tanpa ada celah pemisah, sedangkan kalus pada T. rubidus
berwarna hitam dan terpisah oleh celah. Sayapnya lebar tanpa sisik atau bulu tetapi
vena sangat jelas.
e. Siklus Hidup
Seperti lalat lainnya, siklus hidup dari telur menjadi dewasa melalui proses
metamorphosis sempurna dengan melalui tahap perkembangan larva dan pupa sebelum
menjadi dewasa. Tabanidae betina bertelur 100 sampai 1000 butir pada daun tanaman
seperti padi atau rumput dekat dengan tempat berair.Telur mempunyai warna yang
putih, krem, abu – abu, coklat kehitaman atau jingga, berbentuk seperti cerutu dengan
panjang 1-2,5 mm dan menetas menjadi larva dalam 5-14 hari tergantung pada cuaca
dan spesies lalat. Larva migrasi ke tanah yang lebih kering untuk menjadi pupa,
biasanya kurang dari 5 cm dari permukaan.

Stadium pupa berakhir 5 hari sampai 3 minggu tergantung dari jenisnya dan lalat
dewasa muncul melalui sebuah celah diselubung pupa, merangkak ke permukaan tanah,
membuka sayapnya dan siap untuk makan. Lalat jantan dewasa dan betina biasanya
menghisap polen atau nektar sebagai bahan makanan. Akan tetapi, lalat betina dewasa
bersifat penghisap darah atau hematophagous). Betina membutuhkan darah segar untuk
perkembangan oogenesisnya atau menjalankan siklus gonotropiknya. Larva Tabanidae
hidup di tempat yang basah dan mengambil nafas menggunakan posterior shiponnya.
Larva Tabanus biasanya memakan serangga lain, krustasea kecil, cacing, atau larva dari
jenis Tabanidae itu sendiri. Selain itu, warna gelap, bentuk silinder horizotal, atau
warna tunggal sangat disukai oleh Tabanidae (Chandra et al. 2015).
f. Peran sebagai Vektor Penyakit
Tabanus mampu menularkan protozoa darah yaitu Trypanosoma yang
menyebabkan penyakit Surra. Keberadaan lalat yang meningkat pada musim hujan
membuat kejadian penyakit Surra meningkat. Penularan juga dipengaruhi oleh tingkat
parasitemia, semakin banyak kandungan parasit dalam darah membuat peluang
penularan meningkat. Kawanan ternak yang padat atau ternak yang dikandangkan dapat
meningkatkan peluang penularan. Penularan oleh lalat tabanidae terutama karena
kebiasaan makan lalat yang sifatnya interrupted (makan secara sedikit-sedikit, tidak
langsung hingga kenyang) dan struktur bagian mulutnya yang sangat sesuai
(teradaptasi) dan persebarannya lalat yang luas saat musim hujan membuat prevalensi
penyakit Surra menjadi tinggi. Lalat Tabanidae mengiris kulit ternak dengan sungutnya,
lalu lalat mengitari tetes darah yang merembes dengan cairan jaringan ikat. Kepadatan
trypanosoma dalam darah kapiler, limfonodus, dan jaringan ikat pada kulit dapat
dijadikan pertanda bahwa pada hewan tersebut telah terjadi suatu infeksi. Parasit
Trypanosoma tetap bertahan hidup dalam saluran cerna lalat Tabanidae dalam delapan
jam. Semakin cepat proses interrupted feeding oleh lalat pada hewan sehat setelah lalat
mendapat infeksi dari hewan sakit, peluang penularan penyakit Surra akan semakin
besar.
Pada sapi dan kerbau, kejadian surra bisa berbentuk akut, per-akut, subakut,
atau kronik. Dalam bentuk akut, hewan penderita terlihat berjalan terhuyung-huyung,
melangkah melingkar, mata melotot, demam tinggi/pireksia, dan mati dalam 6-12 jam.
Surra bentuk per-akut memperlihatkan gejala saraf dan hewan penderita yang mati
umumnya setelah memperlihatkan gejala klinik (konvulsi, ataksia, mendadak buta, gila,
dan gerakan berputar-putar). Dalam bentuk perakut, gejala saraf bisa dikelirukan
dengan anthraks, ketosis bentuk saraf, kista atau abses dalam otak.
Penyebab kematian pada hewan disebabkan oleh penyumbatan pembuluh darah
kecil yang mendorong terjadinya anoksia dan kematian Infeksi tripanosomiasis yang
sifatnya kronis/subakut pada mulanya terjadi peningkatan suhu tubuh, dan demam yang
terjadi sifatnya intermittent, depresi dan tidak bersemangat, gerakan memutar-mutar,
produksi susu mendadak turun, limfonodus preskapularis mengalami pembesaran,
konjungtivitis, dan keluar leleran kental dari mata. Anemia, bobot badan yang menurun,
kelemahan, emasiasi, sendi fetlock yang membengkok, dan dapat pula menimbulkan
gangguan reproduksi, seperti tertundanya birahi, kluron (abortus), dan janin dilahirkan
dalam keadaan mati (stillbirth). Surra bentuk subakut atau kronik, di samping
menunjukkan tanda-tanda kekurusan/emasiasi juga disertai dengan kekeruhan/opasitas
kornea mata.
Penyakit Surra menunjukkan gejala klinis berupa suhu tubuh meningkat,
emasiasi, anemia dan kematian pada hewan dapat terjadi dalam tempo 24 jam. Infeksi
Trypanosoma secara buatan pada sapi dengan Trypanosoma virulensi tinggi,
menyebabkan demam dengan suhu tubuh 39ºC, anemia, serta menurunnya jumlah
leukosit dalam darah. Namun, sapi yang terinfeksi Trypanosoma yang virulensi rendah
umumnya tidak menunjukkan gejala klinis tersebut. Pada kebanyakan kejadian penyakt
surra, tidak ada kaitan antara demam tinggi/pireksia dengan parasitemia walaupun
kadang-kadang kejadian tersebut berhubungan.
g. Pengendalian
Lalat tabanidae diketahui peka terhadap kerja insektisida dan produk-produk
lainnya. Pemanfaatan insektisida kini adalah dengan memberikannya pada
(permukaan) tubuh hewan, harapannya lalat yang hinggap pada ternak tersebut akan
terbunuh. insektisida organochlorine, organophosphates, atau pestisida seperti
pyrethroid sintetis untuk mengendalikan lalat perlu dilakukan. Ramuan sintetis
pyrethroid digunakan dengan melakukan semprotan/spraying, merendam/dipping, atau
diberikan dengan cara menuangkan insektisida pada punggung/pour-on ternak.
Ramuan obat serangga yang diberikan secar pour-on ini memang lebih mahal harganya,
tapi pemanfaatannya tidak lagi memerlukan pompa, spray-race, dan bak perendam
ternak/dip. Metode pemberian insektisida seperti ini dapat mengurangi pencemaran
lingkungan dibandingkan dengan spraying. Cara lain adalah penggunaan perangkap
insekta atau pemanfaatan suatu tabir yang menjadi target serangga untuk hinggap yang
telah diberi insektisida (Sivajothi et al. 2014).
DAFTAR PUSTAKA
.
Areskog, M., Ljungstrom, B., and Hoglund, J. 2013. Limited efficacy of pour-on anthelmintic
treatment of cattle under Swedish field condition. Int J Parasitol 3: 129 – 134.
Chandra k, Halder S, Raha A, Parui P, Banerjee D. 2015. Tabanid flies (Insecta: Diptera) from
Chhattisgarh, India. J. Threat. Taxa. 7(10): 7720–7725.
Delfinado, 1966. The culicine mosquitoes of the Philippines, tribe Culicini
(Diptera:Culicidae). Mem.Amer.Ent. Inst. 7, 252 pp.

Foreyt, W.J., 2001. Veterinary Parasitology, Reference Manual, 5th ed. Iowa State University
Press. Blackwell Publishing.
Husada, 1990. Faktor Resiko Filariasis di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Propinsi Jambi,
Tesis, Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Peminatan Epidemiologi
Lapangan, Sekolah Pascasarjana UGM, Yogyakarta.
Kusnoto, Sri Subekti Bendryman, Setiawan Koesdarto, Sri Mumpuni Sosiawati. 2011. Ilmu
Penyakit Helmint. Airlangga University Press. Surabaya.
Natadisastra, Djaaenuddin., & Ridad Agoes. 2009. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Roberts LS, Janovy J. Gerald D. Schmidt & Larry S. Robert’s Foundations of Parasitology.7th
ed. New York. 2005 : 412 – 5.
Sigit SH. 2006. Masalah hama permukiman dan falsafah dasar pengendaliannya. Di dalam:
Hama Pemukiman Indonesia, Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. Singgih SH, Upik
KS, editor. Hal 1-13. Bogor (ID): IPB Press.
Sivajothi S, Rayulu VC, Reddy BS. 2014. Detection of Trypanosoma evansi by different
methods in bovinesin Andhra Pradesh. J Adv Parasitol 1(3): 35-38.

Taylor, MA, Coop, RL, and Wall, RL 2015. Veterinary Parasitology 4th Edition. Wiley –
Blackwell
Waikagul J, et al. Medical Helminthology. Bangkok. Department Helminthology Faculty of
Tropical Medicine Mahidol University. 2002 :15 – 8.
Wirawan IA. 2006. Insektisida Permukiman. (Dalam) SH Sigit dan UK Hadi. (Ed) Hal. 315 -
433. Hama Pemukiman Indonesia, Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. Unit Kajian
Pengendalian Hama Pemukiman. FKHIPB. Bogor.

Vercruysse, J., Charlier, J., Dorny, P., and Claerebout, E. 2006. Diagnosis of helminth
infections in cattle : World Buiatrics Congress.

Anda mungkin juga menyukai