Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN

SMALL GROUP DISCUSSION

Katakan Tidak Pada Parasit

Nama : Arub Muna Nabila

NIM : 21/481264/KH/10985

Kelompok : 13 (2)

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2022
A. Topik Diskusi
Morfologi, siklus hidup dan stadium perkembangan eimeria dan cacing
golongan strongyle.
B. Tujuan Pembahasan
Mahasiswa memahami dan mampu menjelaskan morfologi, siklus hidup dan
tahap perkembangan eimeria dan cacing nematoda golongan strongyle yang diajarkan
dalam MK Parasitologi Dasar Veteriner.
C. Pembahasan
1. Morfologi Cacing Nematoda Golongan Strongyle dan Eimeria.
Nematodosis adalah penyakit akibat infeksi cacing nematoda dalam tubuh.
Kelompok cacing nematoda atau cacing gilig ini sangat penting karena akan
menghisap sari makanan, darah, cairan tubuh, dan jaringan tubuh di dalam saluran
pencernaan. Menurut Suhardono et al., (1995), Cacing yang termasuk jenis
strongyle, diantaranya Cooperia sp., Oesophagustomum sp., Trichostrongylus sp.,
Bunostomum sp., dan Mecistocirus sp.. Manurut Madani et al., (2021), secara
umum, ruminansia sering terinfeksi oleh super family Trichostrongyloide dengan
genus Trichostrongylus sp, Haemonchus sp, Cooperia sp, Nematodirus sp, dan
Hystrongylu sp.

Gambar 1. Telur strongylid (juga disebut sebagai strongyle atau trichostrongyle)


Telur strongylid atau strongyle atau trichostrongyle adalah telur cacing yang
paling sering terlihat di kotoran sapi, ruminansia kecil, dan kotoran unta. Dalam
feses segar, telur bercangkang tipis, tidak berwarna, berbentuk lonjong dan
mengandung seperti buah anggur atau bermorula (Zajac & Conboy, 2012).
Hampir semua hewan ternak terinfeksi parasit strongylid, dan banyak infeksi yang
tidak menunjukkan gejala. Gejala yang mungkin terjadi diantaranya adalah diare,
anemia, hipoproteinemia, penurunan pertumbuhan, dan kematian pada kasus yang
parah (Zajac & Conboy, 2012).
Menurut Ekawati dan Wardhana, (2019), Eimeria spp. merupakan protozoa
obligate intracellular yang menyerang sel-sel epitel dan kelenjar-kelenjar pada
saluran pencernaan sehingga menyebabkan koksidiosis pada hewan. Oosista
Eimeria spp. berbentuk bulat, ovoid dan elips dengan permukaan dinding oosista
halus, homogen, dan transparan. Umumnya oosista tidak berwarna, namun
beberapa diantaranya mempunyai warna kuning muda. Beberapa spesies memiliki
granula kutub, oosista dan mikrofil atau pori kecil di salah satu ujung yang
tertutup oleh topi mikrofil. Setiap oosista dari spesies Eimeria mempunyai 4
sporosista dan masing-masing sporosista terdiri atas 2 sporozoit. Sporozoit berisi
inti sporozoit, gelembung refractil yang jernih dari bahan protein, residu
sporosista dan badan stida terdapat pada ujung sporozoite.

Gambar 2. Struktur oosista Eimeria spp. Bersporulasi


Kebanyakan ruminansia terinfeksi coccidia pada usia dini, dan tingkat rendah
infeksi berlanjut sampai dewasa. Tanda-tandanya berkisar dari diare ringan hingga
diare berdarah yang parah (Zajac & Conboy, 2012).

2. Siklus Hidup Cacing Nematoda Golongan Strongyle dan Eimeria.


Menurut Zajac & Conboy, (2012), siklus hidup cacing strongyle secara singkat
yaitu cacing dewasa di saluran pencernaan menghasilkan telur yang berkembang
dalam kotoran di lingkungan. Larva infektif dilepaskan ke padang rumput, di
mana mereka menginfeksi inang hewan ternak.

Gambar 3. Siklus hidup cacing nematoda (Strongyle)


Siklus hidup cacing strongyle pada ruminansia bersifat langsung dan tidak
membutuhkan inang perantara. Telur dikeluarkan oleh ternak dengan feses,
selanjutnya berkembang mencapai tahap larva infektif di lingkungan. Telur
berembrio akan menetas di luar tubuh inang menjadi stadium larva 1 (L1) yang
berkembang dan menjadi ekdisis (rontoknya kutikula) menjadi larva 2 (L2).
Kemudian L2 mengalami perkembangan menjadi larva 3 (L3) namun masih
terselubung kutikula L2 sehingga L3 memiliki double kutikula. L3 disebut sebagai
stadium larva infektif. Larva infektif akan berpindah-pindah ke rumput-rumputan
dan tercerna oleh ternak. Larva akan berkembang menjadi L4 dengan melepaskan
kutikulanya dalam saluran pencernaan dan mencapai tahap cacing dewasa.
Menurut Zajac & Conboy, (2012), siklus hidup eimeria secara singkat yaitu
okista tinja bersporulasi di lingkungan dan menginfeksi sel-sel usus mengikuti
proses pencernaan. Reproduksi aseksual dan seksual diikuti oleh produksi ookista
yang keluar dari hospes dalam pupuk. Ookista yang bersporulasi dapat bertahan
hidup untuk waktu yang lama di bawah lingkungan dalam kondisi yang
menguntungkan.
Gambar 4. Siklus hidup Eimeria spp.
Siklus hidup Eimeria spp. terdiri atas skizogoni, gametogoni dan sporogoni. Fase
siklus hidup ini Eimeria spp. dimulai dari tertelannya oosista infektif oleh ternak
melalui air minum atau pakan yang terkontaminasi. Selanjutnya, dinding oosista
Eimeria spp. pecah dan melepaskan sporosista, kemudian sporozoit yang ada di
dalam sporosista diaktifkan oleh tripsin agar keluar dari sporosista untuk
mengalami fase multiplikasi (perbanyakan) secara aseksual (skizogoni) di usus
halus. Sporozoit menginfeksi sel epitel usus dan membulat dan memulai fase
seksual (gametogoni) menjadi gametosit jantan (mikrogamet) dan betina
(makrogamet). Mikrogamet dan makrogamet mengalami proses fertilisasi untuk
menghasilkan zigot. Zigot akan terlapisi dinding sista membentuk oosista yang
akan keluar melalui tinja ke lingkungan dan mengalami sporulasi, pada kondisi
optimal membentuk oosista infektif di lingkungan. Tahap sporulasi (sporogoni)
terjadi di luar tubuh inang dengan waktu sporulasi selama beberapa hari hingga
beberapa minggu tergantung pada spesies, ketersediaan oksigen, kelembaban dan
suhu. Selama proses sporulasi, sitoplasma sel akan rusak dan terjadi
perkembangan sporozoit di dalam sporosista. Oosista infektif memiliki
protoplasma yang mengandung massa nukleus dengan dinding pelindung yang
tahan terhadap pengaruh fisik, kimia ataupun terhadap aktivitas bakteri di
lingkungan. Oosista Eimeria spp. infektif (berspora) dapat bertahan dalam waktu
yang lama di bawah kondisi lingkungan baik ataupun ekstrim (Ekawati dan
Wardhana, 2019).
3. Stadium Perkembangan Cacing Nematoda Golongan Strongyle dan Eimeria
Seperti penjelasan sebelumnya, siklus hidup nematoda dimulai dimulai dari
telur, empat stadium larva, dan dewasa. Adapun stadium infektif tergantung pada
jenis nematoda, dapat berupa telur infektif atau larva infektif. Pada nematoda
golongan strongyle sendiri larva infektif terdapat pada larva 3 (L3). Larva infektif
dapat menginfeksi inang definitive dengan cara termakan atau aktif menembus
melalui kulit. Apabila sudah berada di dalam inang definitive, cacing muda akan
menetap di dalam habitatnya dan berkembang menjadi dewasa (Indriyati, 2017).
Selama siklus hidupnya, beberapa anggota protozoa mempunyai dua macam
stadium, yaitu stadium aktif dikenal sebagai tropozoit dan stadium tidak aktif
dikenal sebagai kista (Apsari et al., 2017).

Gambar 5. Stadium tropozoit(kiri) dan stadium kista(kanan) Giardia sp.


Pada stadium tropozoit, protozoa bisa bergerak menggunakan alat gerak
(tergantung jenisnya), tumbuh, memperbanyak diri, namun tidak peka terhadap
berbagai pengaruh linkungan dibandingkan dengan bentuk kista. Pada stadium
kista, protozoa membungkus dirinya dengan dinding yang tebal sehingga tidak
dapat bergerak, tetapi resisten (tahan) terhadap berbagai pengaruh lingkungan
seperti temperature tinggi, kekeringan dan kelembaban tinggi, hingga bahan-
bahan kimia (Apsari et al., (2017).
Sedangkan dari morfologinya, Eimeria sp. dibagi menjadi dua stadium, yaitu
stadium ookista dan sporokista/sporozoit (Ekaswati dan Martindah, 2019). Bentuk
umum ookista Eimeria sp adalah oval, berukuran 30x15 µm, dinding ookista
terdiri satu atau dua lapis yang bersifat transparan. Ookista belum bersporulasi
berisi satu sporoblast. Ookista matang berisi empat sporokista yang masing-
masing berisi dua sporozoit (Azmy et al. 2015).
DAFTAR PUSTAKA

Apsari, I. A. P., Suratma, N. A., Oka, I. B. M, dan Dwinata, I. M. 2017. Identifikasi Infeksi

Protozoa. Modul. Universitas Udayana.

Ekawasti, F., & Martindah, E. 2019. Pengendalian Koksidiosis pada Ayam Melalui
Pengobatan

Herbal. WARTAZOA. 29(1): 1-12 .

Ekawasti, F., & Wardhana, A. H. 2019. Penyakit Koksiodosis pada Sapi di Indonesia
dan

Perkembangan Teknik Diagnosisnya. WARTAZOA. 29(3): 133-144.

Indriyati, L. 2017. Inventarisasi nematoda Parasit pada Tanaman, Hewan, dan


Manusia.

EnviroScienteae. 13(3): 195-207.

Madani, I. A., Apsari, I. A. P., dan Oka, I. B. M. 2021. Identifikasi dan Prevelensi
Cacing

Strongyle pada Sistem Pemeliharaan Sapi Bali Terintergrasi di Mengwi, Bandung,


Bali.

Indonesia Medicus Veterinus. 10(2): 223-232.

Nurhidayah, N., Satrija, F., Retnani, E. B., Astuti, D. A., dan Murtini, S. 2016. Prevelensi dan

Faktor Risiko Infeksi Parasit Saluran Pencernaan pada Kerbau Lumpur di


Kabupaten

Brebes, Jawa Tengah. Jurnal Veteriner. 20(4): 572-582.

Suhardono S, Partoutomo, Knox MR. 1995. Pengaruh infeksi cacing nematoda pada sapi
perah

laktasi di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Seminar Nasional Teknologi Veteriner.


Bogor

(ID): Balai Penelitian Veteriner. 250-255.


Tabbu CR. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Volume 2. Yogyakarta
(ID):

Kanisius:7L; 9 2L.

Taylor, M. A., Coop, R. L., Wall, R. L. 2016. Veterinary Parasitology 4th Edition.
London:
Wiley Blackwell.
Zajac, A. M., & Conboy, G. A. 2012. Veterinary Clinical Parasitology Eighth Edition.
Oxford:

Wiley Blackwell.

Anda mungkin juga menyukai