Anda di halaman 1dari 7

Tugas

Mata Kuliah Pengendalian Vektor Secara Biologi

NYAMUK CULEX SP DAN JAMUR BEAUVERIA BASSIANA SEBAGAI


PENGENDALIAN VEKTOR SECARA BIOLOGI

Dosen Pengajar:
Prof. Dr. Suwarno Hadisusanto, M. Si

Oleh:
Ajeng Prastiwi Suci W 16/403174/PKU/15992

Minat Kesehatan Lingkungan


Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2017
A. Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk dan perubahan iklim di Indonesia dapat menyebabkan
lingkungan fisik dan biologis yang tidak memadai sehingga memungkinkan
berkembangbiaknya vektor penyakit. Vektor adalah arthropoda yang dapat memindahkan
atau menularkan suatu infectious agent dari sumber infeksi kepada induk semang yang
rentan (susceptible host). Penularan penyakit pada manusia melalui vektor penyakit
berupa serangga yang dikenal sebagai arthropod-borne diseases atau vektor-borne
diseases yang merupakan penyakit yang penting dan bahkan dapat menimbulkan bahaya
kematian. Penyakit yang ditularkan melalui vektor masih menjadi penyakit endemis yang
dapat menimbulkan wabah atau kejadian luar biasa serta dapat menimbulkan gangguan
kesehatan masyarakat (Kemenkes RI, 2010). Salah satu arthophoda yang sering bertindak
dalam penyebaran penyakit adalah nyamuk Culex sp. Masalah-masalah yang dapat
ditularkan melalui gigitan nyamuk Culex sp, antara lain filariasis (kaki gajah) dan
Japanese Encephalitis (radang otak) (Sembel, 2009).
Data WHO menunjukkan bahwa didunia terdapat 1,3 miliar penduduk yang
berada di 83 negara berisiko tertular filariasis dan lebih dari 60 % negara-negara tersebut
berada di Asia Tenggara. Diperkirakan lebih dari 120 juta orang diantaranya sudah
terinfeksi dan 40 juta orang sudah menunjukkan gejala klinis berupa pembengkakan
organ tubuh di kaki dan lengan (Lymphoedema) atau anggota tubuh lainnya (WHO dalam
Kemenkes RI, 2010). Sedangkan hampir seluruh wilayah Indonesia adalah daerah
endemis filariasis, terutama wilayah Indonesia Timur yang memiliki prevalensi lebih
tinggi. Berdasarkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2014), tercatat kasus
kronis filariasis pada tahun 2014 dilaporkan sebanyak 14.932 kasus yang tersebar di 418
kabupaten/kota. Oleh karena itu, mengingat adanya bahaya yang dapat ditimbulkan serta
keberadaannya yang mudah dijumpai dalam lingkungan masyarakat, maka sangat
diperlukan untuk melakukan pengendalian terhadap vektor nyamuk Culex sp. Banyak
kontrol atau pengendalian yang telah dilakukan, misalnya dengan penggunaan
insektisida. Namun, penggunaan insektisida memiliki banyak kelemahan mulai dari
resistensi sampai tidak ramah lingkungan. Alternatif yang dapat dilakukan adalah
penggunaan bahan-bahan alam yang aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia, yaitu
dengan jamur entomopatogen Beauveria bassiana. Pengendalian vektor secara biologi
(biokontrol) dapat menjadi solusinya karena dengan memanfaatkan mikroorganisme lain
atau predator alami yang ditujukan untuk mengurangi pencemaran lingkungan akibat
pemakaian insektisida yang berasal dari bahan-bahan beracun (Chandra, 2007).

B. Nyamuk Culex sp
Nyamuk memiliki tubuh bewarna kecoklatan, promboscis bewarna gelap tetapi
kebanyakan dilengkapi dengan sisik bewarna lebih pucat pada bagian bawah, scutum
bewarna kecoklatan dan terdapat warna emas dan keperakan disekitr sisiknya. Sayap
bewarna gelap, kaki belakang memiliki femur yang bewarna lebih pucat, seluruh kaki
bewarna gelap, kecuali pada bagian persendian. Nyamuk Culex sp mengalami
metamorfosis sempurna (holometabola) yang diawali dengan stadium telur, larva (jentik),
pupa, dan dewasa (imago). Nyamuk Culex sp mempunyai kebiasaan menghisap darah
pada malam hari. Setelah nyamuk Culex sp. menggigit manusia, nyamuk tersebut akan
beristirahat selama 2 3 hari. Nyamuk Culex sp. suka beristirahat di dalam rumah dan
diluar rumah seperti gua, lubang lembab, tempat yang bewarna gelap dan lainnya yang
merupakan tempat yang disenangi nyamuk untuk beristirahat. Begitu juga tempat
berkembangbiaknya, misalnya di air yang kotor yaitu genangan air, got terbuka, dan
saluran pipa. Nyamuk Culex meletakkan telur di atas permukaan air secara bergerombol
dan bersatu membentuk rakit sehingga mampu untuk mengapung. Sekali bertelur
menghasilkan 100 telur hingga 200 lebih dan biasanya dapat bertahan selama 6 bulan.
Kemudian tahap selanjutnya, yaitu larva yang memiliki siphon. Nyamuk Culex
mempunyai 4 tingkatan atau instar sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut. Pupa
(kepompong) berbentuk bengkok dan kepalanya besar. Pupa membutuhkan waktu 2-5
hari. Pupa tidak makan apapun. Setelah 1 2 hari akan menjadi nyamuk dewasa. Ciri-ciri
nyamuk Culex dewasa adalah berwarna hitam belang-belang putih, kepala berwarna
hitam dengan putih pada ujungnya dan ada bagian thorak terdapat 2 garis putih berbentuk
kurva (NVBDCP, 2012).
Nyamuk merupakan tempat parasit bagi virus, bakteri, protozoa, nematode dan
lainnya. Hal ini menyebabkan masalah kesehatan karena perilaku nyamuk yang darah
sehingga nyamuk dapat memperoleh mikroorganisme patogen atau parasit dari satu host
vertebrata dan meneruskannya ke yang lainnya. Salah satunya adalah nyamuk Culex yang
sering dijumpai adalah Culex quinquefasciatus yang dapat menularkan filariasis yang
disebabkan oleh cacing filaria jenis Wucheraria bancrofti (Elytha, 2014). Nyamuk Culex
juga merupakan hewan pengganggu, menggigit/mengisap darah waktu malam
mengganggu tidur atau kerja malam di dalam rumah atau mungkin juga di luar rumah,
terutama sawah dan tempat kotor Nyamuk ini juga dilaporkan dalam beberapa laporan
penelitian di tahun 20152016 diduga sebagai vektor virus Zika, karena kemampuan
mencerna partikel virus. Beberapa Culex sp lainnya yang dilaporkan sebagai vektor,
antara lain Culex restuant dilaporkan sebagai vektor penyakit West Nile Virus di beberapa
tempat di dunia dan Culex sitiens yang merupakan vektor penyakit Japanese ensephalitis
(Eman, 2016).

C. Pencegahan dan Pengendalian Nyamuk Culex sp Secara Biologi


Cara pengendalian vektor yang sering digunakan adalah insektisida. Penggunaan
insektisida dibutuhkan dalam kondisi tertentu untuk memutus rantai penularan secara
cepat. Namun sayangnya, penggunaan insektisida kimiawi banyak memicu terjadinya
resistensi dan beresiko terkait dengan pencemaran lingkungan karena adanya residu
kimia berbahaya terpapar pada pangan dan faktor resikonya terhadap makhluk hidup
bukan target. Berdasarkan dampak negatif tersebut maka mulai dikembangkan bahan
pengendalian yang bersifat biologis. Pengendalian hayati merupakan suatu teknik
pengendalian populasi hama penganggu tumbuhan, hewan ataupun vektor penyakit
dengan memanfaatkan musuh alami yang ada di alam baik berupa parasit, predator,
ataupun organisme patogen. Teknik pengendalian ini hanya berfungsi untuk menekan
perkembangan serangga hama dan vektor penyakit, mempunyai toksisitas yang rendah
terhadap manusia maupun organisme non target lainnya, dan bersifat spesifik sehingga
mampu menekan perkembangan dari siklus kehidupan vektor tersebut (Putri et al, 2015).
Beberapa bahan hayati yang dapat digunakan untuk pengendalian nyamuk
(biocontrol) antara lain cacing Romanomarmis iyengari, bakteri Bacillus thuringensis,
Bacillus sphaericus, wolbachea, penyebaran ikan pemakan jentik, serta penggunaan
jamur yang bersifat entomopatogen, artinya organisme heterotrof yang hidup sebagai
parasit pada serangga (Kamareddine, 2012). Jamur entomopatogen Beauveria bassiana
menjadi salah satu upaya pengendalian yang dapat dilakukan untuk menekan jumlah
nyamuk C. quinquefasciatus. B. bassiana adalah jamur mikroskopik dengan tubuh
berbentuk benang-benang halus (hifa) yang akan membentuk koloni yang disebut
miselia. Jamur tersebut tidak dapat memproduksi makanannya sendiri, sehingga bersifat
parasit terhadap serangga inangnya (Ikawati, 2016).
Mekanisme dalam pengendaliannya adalah karena sifat parasitiknya yang
dimilliki, mulai dari spora jamur B. bassiana masuk ke tubuh serangga inang melalui
kulit, saluran pencernaan, spirakel dan lubang lainnya. Selain itu, inokulum jamur yang
menempel pada tubuh serangga inang dapat berkecambah dan berkembang membentuk
tabung kecambah, kemudian masuk menembus kutikula tubuh serangga. Penembusan
dilakukan secara mekanis dan atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim atau toksin.
Jamur selanjutnya akan mengeluarkan racun beauverin yang membuat kerusakan
jaringan tubuh serangga. Serangga akan mati dalam beberapa hari. Setelah itu, miselia
jamur akan tumbuh ke seluruh bagian tubuh serangga. Serangga yang terserang jamur B.
bassiana akan mati dengan tubuh mengeras seperti mumi dan tertutup oleh benang-
benang hifa berwarna putih (Ikawati, 2016).
Berdasarkan penelitian Lynch et al. (2012) menyatakan telah terbukti bahwa
biopestisida dengan jamur B. bassiana menghasilkan tingkat kematian yang tinggi pada
nyamuk dan berpotensi untuk mengurangi transmisi yang besar. B. bassiana dinilai lebih
efektif digunakan sebagai biolarvasida dalam pengendalian terhadap filariasis. Daya
larvasida spora jamur B. bassiana berasal dari kandungan racunnya yang disebut
beauverolit, beauvericin, bassionolit, isorolit yang sangat toksik terhadap larva Culex sp
daripada nyamuk dewasa sehingga Jamur entomopatogen B. bassiana dapat
dipertimbangkan sebagai agen biokontrol. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Soni dan Prakash (2012) yang menyebutkan bahwa isolat jamur dapat
menyebabkan kematian spesies Culex dewasa dalam 7-14 hari tergantung pada dosis,
formulasi dan strain jamur dan menunjukan angka kematian 100% pada semua larva
instar III C. quinquefasciatus setelah 48 jam terpapar dengan AuNPs, yaitu metode
preparasi menggunakan cara biologi untuk memperoleh nanopartikel emas. Secara umum
dapat dinyatakan bahwa senyawa-senyawa dalam B. bassiana tidak memiliki risiko
terhadap manusia. Penggunaan B. bassiana tidak menghasilkan tingkat racun yang
berbahaya untuk lingkungan (Prakash dan Singh, 2014).
Jamur ini dilaporkan aman untuk manusia. Namun, pernah dilaporkan adanya dua
kasus infeksi B. bassiana yang menyebabkan mikosis pada manusia dengan kondisi yang
sangat buruk akibat penyakit leukimia akut. Infeksi yang paling berat dari jamur B.
bassiana pada manusia pernah dipublikasikan oleh Henke dan Tucker yang melaporkan
adanya infeksi B. bassiana pada penderita leukemia dengan kondisi imunokompromis.
Selama lebih dari 100 tahun penggunaannya dalam pengendalian secara biologi, belum
pernah dilaporkan adanya strain B. bassiana yang menyebabkan penyakit serius pada
manusia karena B. bassiana bukan termasuk parasit pada manusia maupun vertebrata,
tetapi terjadinya kontak terbuka secara terus menerus dengan manusia dapat
menimbulkan masalah alergi kulit, terutama pada manusia yang memiliki leukimia akut
seperti yang dijelaskan tadi. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum B. bassiana tidak
bersifat patogen untuk manusia (Widiastuti dan Kalimah, 2016).
Aplikasi B. bassiana di bidang kesehatan di Indonesia dalam pengendalian
nyamuk, terutama nyamuk C. quinquefasciatus membutuhkan beberapa hal yang perlu
diperhatikan lebih lanjut. Hal tersebut antara lain langkah-langkah dalam penghitungan
dosis aplikasi untuk berbagai variasi spesies nyamuk dan berbagai fase, penentuan jenis
kandidat B. bassiana yang digunakan mengendalikan nyamuk serta formulasi yang paling
efektif digunakan, keamanan penggunaanya, dan rentang virulensi yang luas dari
berbagai strain B. bassiana, perlu dilakukan penelitian lebih detail dari strain B. bassiana
yang digunakan dalam pengendalian nyamuk, serta pilihan formulasi yang paling stabil
dalam aplikasi di lapangan (Ikawati, 2016).

D. Kesimpulan
Penanganan nyamuk Culex sp sebagai vektor penyebab penyakit filariasis dan
Japanese Encephalitis dapat dengan penggunaan insektisida karena dirasa dapat
digunakan dalam kondisi tertentu untuk memutus rantai penularan secara cepat. Namun,
hal ini dapat menimbulkan resistensi dan akibat negatif, yaitu menyerang organisme non
target. Oleh karena itu, pengendalian vektor secara biologi dapat menjadi solusinya, yaitu
dengan memanfaatkan mikroorganisme lain yang ditujukan untuk mengurangi
pencemaran lingkungan akibat pemakaian insektisida yang berasal dari bahan-bahan
beracun, salah satunya dengan jamur entomopatogen Beauveria bassiana dan dinilai
aman bagi manusia.
DAFTAR PUST AKA

Chandra, B. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC


Elytha, F. 2014. Transmission Assessment Survey Sebagai Salah Satu Langkah Penentuan
Eliminasi Filariasis. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas Vol 8, No 2 (2014) Hal. 84-91.
ISSN 1978-3833
Eman, G. J., Bernadus, J, dan Sorisi, A. 2016. Survei Nyamuk Culex Spp di Daerah Perumahan
Sekitar Pelabuhan Bitung. Jurnal Kedokteran Klinik (JKK), Volume 1 No 1 , Desember
2016
Ikawati, B. 2016. Beauveria bassiana sebagai Alternatif Hayati dalam Pengendalian Nyamuk.
Jurnal Vektor Penyakit Vol. 10 No. 1, 2016 : 1924
Kamareddine, L. 2012. The biological control of the Malaria Vector. Toxins, 4(9): 748-767
http://dx.doi.org/10.3390/toxins 4090748. Diakses pada tanggal 3 Mei 2017
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Rencana Nasional Program Eliminasi Filariasis di Indonesia.
Subdit Filariasis dan Schistomiasis. Jakarta: Ditjen PP & PL
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. ISSN
2442-7659. Jakarta: Ditjen PP & PL
Lynch P. A., Grimm U., Thomas M.B., and Read A. F. 2012. Prospective Malaria Control Using
Entomopathogenic Fungi: Comparative Evaluation of Impact on Transmission and
Selection uor Resistance, Malaria J. 11: 383 http://dx.doi. org/10.1186/1475-2875-11-383.
Diakses pada tanggal 3 Mei 2017
National Vector Borne Diseases Control Programme (NVBDCP). 2012. Directorate General of
Health Services. NVBDCP Ministry of Health and Family Welfare.
Prakash, S dan Singh, G. 2014. New prospective on fungal pathogens for mosquitoes and vectors
control technology. Journal of Mosquito Research. Vol.4, No.7, 36-52
Putri, M. H. O, Kasmara, H dan Melanie. 2015. Jamur entomopatogen Beauveria bassiana
(Balsamo, 1912) sebagai agen pengendali hayati nyamuk Aedes aegypti (Linnaeus, 1762).
Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon. Volume 1, Nomor 6, September 2015 ISSN: 2407-8050.
Halaman: 1472-1477 DOI: 10.13057/psnmbi/m010636
Sembel, D. T. 2009. Entomologi Kesehatan. Yogyakarta: Penerbit Andi
Soni, N. and Prakash, S. 2012. Synthesis of gold nanoparticles by the fungus Aspergillus niger
and its efficacy against mosquito larvae, Reports in Parasitol, 2: 1-7 DOI:
http://dx.doi.org/10.2147/RIP.S29033 http://dx.doi.org/10. 2147/RIP.S29033. Diakses pada
tanggal 3 Mei 2017
Widiastuti, D dan Kalimah, IF. 2016. Efek Larvasida Metabolit Sekunder Beauveria bassiana
Terhadap Kematian Larva Aedes aegypti. Sarana Penyebaran Informasi Hasil Kegiatan
Litbang. Vol 8, No 2 (2016)

Anda mungkin juga menyukai