Anda di halaman 1dari 15

PENANGANAN DAN PENGOBATAN PENYAKIT TUBERCULOSIS (TBC) PADA

MACACA SP.

Dosen penanggung jawab:


Dr. Siti Sa'diah, Apt, M.Si.

Disusun oleh:
Kelompok 2

Andre Rymma Tampubolon B04190005


Anisa Aulia Andelta B04190008
Anisa Sabrina Rahmi B04190009
Aulia Sundari B04190013
Awwala Azizah Ghassani B04190016
Hana Faizah Sophia B04190036
Indhira Pratiwi B04190041
M. Gunawan Syahputra B04190051
Monica Silva Jerica B04190052
Nur Hikmah B04190064
Septian Andi Gunawan B04190078
Maghfirah Aliyya Nur IT B04190094

MK. Farmakologi Veteriner 1 (AFF 331)

DIVISI FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI


DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
IPB UNIVERSITY
2021
BAB 1
Latar Belakang

Tuberkulosis adalah penyakit yang infeksius, yang terutama menyerang parenkim pari-
paru. Sebagian besar kuman TBC menyerang organ paru-paru, namun dapat juga menyerang organ
tubuh lainnya seperti maninges, ginjal, tulang atau limfonodus. Menurut Kemenkes RI (2011),
Tuberkulosis merupakan infeksi bakterikronik yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensifitas
yang diperantarai sel (cell- mediated hypersensitivity). Nama Tuberkulosis berasal dari tuberkel
yang berarti tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun tembok
mengelilingi bakteri dalam paru. TBC ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh
pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan.
Sumber penularan TBC adalah transmisi TBC BTA (+) dari orang ke orang melalui udara
(Rahmanianti dan Apriyani 2018). Pada waktu berinteraksi, misalnya seperti batuk, bersin, tertawa
dan bernyanyi, penderita akan menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet. Setelah kuman
TBC masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, kuman TBC tersebut akan menyebar dari paru-
paru ke bagian tubuh lainnya, melalui saluran peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas,
atau menyebar langsung ke organ tubuh lainnya.
Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas dengan melakukan
reaksi inflamasi bakteri dipindahkan melalui jalan nafas, basil tuberkel yang mencapai permukaan
alveolus biasanya di inhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil, gumpalan
yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkhus dan tidak
menyebabkan penyakit. . Pada sistem pernafasan antara lain menimbulkan pneumothoraks, efusi
pleural, dan gagal nafas, sedang diluar sistem pernafasan menimbulkan Tuberkulosis usus,
Meningitis serosa, dan Tuberkulosis milier (Kowalak 2011). Kristini dan Hamidah (2020)
mengatakan, Penemuan kasus TBC paru secara aktif lebih efektif dilakukan pada populasi yang
berisiko tinggi. Akan tetapi dengan adanya kasus TBC paru yang tinggi, penemuan kasus aktif
sering tidak dilaksanakan dan mengakibatkan penundaan lama dalam diagnosis dan pengobatan
(Yuen et al. 2015).
Tanda dan gejala yang sering ada pada pengidap TBC adalah demam yang terjadi lebih
dari satu bulan, batuk karena adanya iritasi pada bronkus, sesak nafas yang terjadi bila sudah lanjut
dimana infiltrasi radang sampai tengah paru, nyedi dada yang timbul bila infiltrasi radang sampai
ke pleura sehingga menyebabkan pleuritis, dan malaise yang ditemukan berupa anoreksia, berat
badan menurun, dan nyeri otot.
Pada umumnya, satwa primata hidup secara berkelompok dan melakukan interaksi dengan
sesama anggota kelompok maupun dengan satwa di luar kelompoknya. Macaca sp. aktif pada siang
hari (diurnal) dan melakukan Sebagian besar aktivitasnya diatas pohon (arboreal). Macaca sp.
bergerak menggunakan keempat anggota geraknya dan ekornya sebagai alat penyeimbang pada
saat berpindah dari satu cabang ke cabang pohon lainnya.
Interaksi anatara manusia dan monyet ekor panjang adalah salah satu penyebab penyebaran
TBC pada Macaca sp. Seperti yang di kemukakan oleh Kurniawati et al. (2020), interaksi ini
timbul akibat pemberian pakan oleh pengunjung yang masif sehingga terjadi perubahan tingkah
laku monyet ekor panjang yang pada mulanya takut dengan manusia menjadi agresif dan berani.
Kejadian ini merupakan penyebab jadinya transmisi penyakit antara monyet ekor panjang dan
manusia.

Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menganalisis dan memecahkan masalah dari sudut pandang
ilmu obat serta penanganan dan pengobatan mengenai penyakit Tuberculosis pada Macaca sp.
BAB 2
Tinjauan pustaka

2.1 Macaca sp.


Primata merupakan salah satu satwa penghuni hutan yang memiliki arti penting dalam
kehidupan di alam. Keberadaan primata tidak hanya sebagai penghias alam namun, penting dalam
regenerasi hutan tropik. Selain itu, primata dijadikan maskot dalam pengembangan ekoturisme.
Ekoturisme merupakan industri kunci di negara-negara afrika timur dan berkembang pesat di
amerika dan asia. Hewan yang tergolong primata sangat banyak, salah satunya marga Macaca.
Marga macaca merupakan salah satu marga dari primata yang mempunyai penyebaran sangat luas.
Di Dunia ada sekitar 20 jenis yang tersebar mulai dari gurun pasir di afrika, hutan tropik di Asia
hingga pegunungan salju di jepang. Di Indonesia ada 11 jenis yang penyebarannya cukup luas
yaitu mulai dari Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi hingga kepulauan di Nusa Tenggara,
monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), mempunyai sebaran paling luas. Ukuran tubuh sangat
bervariasi, yang terkecil adalah monyet ekor panjang, berat tubuh dewasa hanya sekitar 3 kg,
sedangkan yang terbesar adalah monyet hitam sulawesi yang memiliki berat tubuh mencapai lebih
dari 15 kg.
Monyet ekor panjang merupakan jenis monyet yang mempunyai panjang ekor lebih kurang
sama dengan panjang tubuh yang diukur dari kepala hingga ujung tubuhnya. Warna tubuhnya
bervariasi mulai dari abu-abu sampai kecoklatan. Habitat monyet tersebut ada di hutan primer dan
sekunder mulai dari daratan rendah samapai dataran tinggi sekitar 1000 meter diatas permukaan
laut. Sering juga ditemukan dihutan bakau sampai ke hutan di dekat perkampungan. Monyet ini
pemakan segala jenis makanan (omnivora), namun komposisinya mengandung lebih banyak buah-
buahan (60%). Selebihnya berupa bunga, daun muda, biji, umbi, dan lain-lain (Supriatna dan
Hendras 2000).

2.2 TBC
Penyakit TB atau TBC merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis dan bersifat zoonosis dipindahkan dari hewan vetebrata ke manusia.
Penyakit ini memiliki kekhususan, dimana proses pengobatannya terdiri atas kombinasi beberapa
jenis obat dalam jumlah dan dosis serta waktu tertentu, selama 6-9 bulan. Ditemukan pertama kali
pada 1882, atau 130 tahun lalu oleh Robert Koch. M. tuberculosis merupakan bakteri gram negatif
berbentuk batang yang dapat di deteksi dalam sputum/dahak manusia. Penyakit TBC hingga saat
ini masih merupakan masalah kesehatan baik yang tinggal di desa atau pun kota. Proses
penyebaran kuman TB terjadi melalui udara, saat pasien batuk atau bersin (dan mengeluarkan
percikan dahak), kemudian terhirup oleh orang lain. Selain manusia satwa pun dapat terinfeksi dan
menularkan penyakit TBC melalui kotorannya. Jika kotoran satwa yang terinfeksi terhirup oleh
manusia, maka manusia akan terinfeksi TBC (Rahmi et al. 2010).
Penyakit tuberkulosis ini bersifat menahun atau berjalan kronis sehingga gejala klinisnya
baru muncul jika sudah parah. TBC pada monyet itu sulit untuk mengenali lebih awal karena
hewan yang terinfeksi tanpa tanda-tanda klinis penyakit selama berminggu-minggu sehingga
memungkinkan bakteri menyebar melalui koloni sebelum hewan indeks dikenali (Min et al. 2013).
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit kronis yang ditularkan melalui udara yang
menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi baik pada manusia maupun primata bukan
manusia (Non-human Primates/NHPs), terutama kera yang ditangkap. Pada NHPs,
Mycobacterium tuberculosis (M. tb) adalah agen penyebab utama, sedangkan anggota lain dari M.
tb complex (MTBC), seperti Mycobacterium bovis (M. bovis) dan Nontuberculous Mycobacteria
(NTM), seperti Mycobacterium kansasii (M. kansasii), berhubungan dengan penyakit seperti TB.
Infeksi M.tb di NHPs sebagian besar terjadi melalui kontak dekat dengan manusia yang terinfeksi
TB melalui inhalasi bakteri aerosol atau rute lain, seperti konsumsi, luka, atau tato hewan (Warit
et al. 2020).
Dalam penelitian TB eksperimental, kera rhesus (Macaca mulatta) dan cynomolgus atau
monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) adalah NHP yang telah banyak digunakan untuk studi
dasar tentang imunologi dan patogenesis serta pengembangan vaksin dan obat karena kedua
spesies menunjukkan spektrum penuh patologi TB manusia (laten, subklinis, dan aktif) (Scanga
dan Flynn 2014). Periode laten, subklinis, dan reaktivasi menyebabkan monyet ekor panjang yang
terinfeksi memiliki risiko tinggi menyebarkan TB ke orang lain di koloni dan mentransmisikan
kembali TB ke manusia, menekankan risiko monyet ekor panjang yang hidup di dekat manusia,
terutama yang hidup di sekitar manusia, seperti di cagar alam, kebun binatang, atau pusat
penelitian. Secara umum, ada dua metode praktis yang digunakan untuk diagnosis TB pada NHP
dan manusia: metode mikrobiologis, seperti kultur TB dan pewarnaan BTA, dan tes imunologi
seluler, seperti tes kulit tuberkulin (TST) dan interferon gamma. (IFN- ) uji pelepasan (IGRA).
Namun, tidak ada metode “golden standard” untuk mendiagnosis infeksi TB laten (Warit et al.
2020).
BAB 3
Pembahasan

3.1 Penjelasan Kasus


Tuberculosis (TBC) merupakan suatu penyakit yang telah dikenal sejak era Mesir, penyakit
ini dikategorikan sebagai penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri tahan asam
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri tersebut tergolong bakteri gram negatif berbentuk batang
yang dapat dideteksi dalam sputum atau dahak penderita. Mycobacterium tuberculosis memiliki
dinding sel yang tinggi dengan lemak dan zat lilin myocolic acid dan termasuk mikobakterium tipe
slow grower karena membutuhkan waktu sekitar 3-8 minggu untuk tumbuh (Rajah 2018).
Tuberculosis merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kematian terbesar kedua di Indonesia.
Berdasarkan laporan penyakit TBC ini telah menyerang beberapa primata seperti; monyet ekor
panjang, gibon, orang utan, simpanse serta primata yang lainnya.
Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) adalah primata omnivora yang banyak
dipelihara di Indonesia. Simian tuberculosis merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering
terjadi pada primata tersebut (Rajah 2018). Infeksi tuberkulosis pada monyet biasanya merupakan
penyakit paru progresif dengan penyebaran secara hematogen. Selanjutnya, terjadi nekrosis
caseous meluas bersama dengan pencairan bahan caseous dengan pembentukan rongga (Novita
2015). Menurut Lerche et al. (2008), primata dapat menderita tuberkulosis klasik dari kontak
langsung dengan satwa primata yang terinfeksi atau dari manusia akibat inhalasi dan kontak
langsung. Tuberkulosis biasanya menginfeksi alveoli paru-paru melalui inhalasi dari mulut atau
hidung (Todar 2008). Patogenesis bakteri Mycobacterium tuberculosis bermula saat bakteri masuk
ke dalam paru-paru dan limfoglandula trakeobronkial melalui inhalasi dan kemudian makrofag
alveolar akan memfagosit bakteri tersebut. Menurut Poeloengan (2007), penyebaran
Mycobacterium tuberculosis sistemik dalam tubuh melalui paru-paru,pembuluh limfe, pembuluh
darah,dan ke organ-organ visceral. Gejala umum yang dapat ditimbulkan dari Tuberkulosis
diantaranya; sesak nafas, batuk berdarah, berat badan menurun, dan lemas (Rahmi et al. 2010).
Menurut Dharmajono (2001), Penyakit tuberculosis bersifat menahun atau berjalan kronis,
sehingga gejala klinis baru muncul jika sudah parah. Penyebaran tuberkulosis sangat mudah dan
rentan pada manusia dan hewan sehingga penanganan yang tepat sangat diperlukan.

3.2 Faktor Penyebab


Non-human primates (NHPs) memiliki agen penyebab utama yaitu Mycobacterium
tuberculosis (M.tb), sementara itu spesies lain dari M. tb complex (MTBC), seperti Mycobacterium
bovis (M. bovis) dan nontuberculous mycobacteria (NTM), seperti Mycobacterium kansasii (M.
kansasii), berhubungan dengan penyakit yang menyerupai Tuberculosis (TB) (Warit et al. 2020).
Transmisi dari agen penyebab TB utamanya melalui udara (airborne disease) sehingga jika
penderita batuk akan terjadi penyebaran agen penyebab TB dan akan menempel pada tempat-
tempat tertentu sebelum masuk ke tubuh dan menginfeksi. Mycobacteria dapat terbawa pada
pakaian, makanan, serta vektor lainnya seperti debu atau aerosol (Matz-Rensing et al. 2015).
Umumnya pada NHPs yang berada di alam liar tidak mudah terkena TB dikarenakan minimalnya
kontak langsung dengan manusia. Namun, tempat penangkaran NHPs seperti Macaca sp. tanpa
aturan yang ketat akan mempermudah terjadinya transmisi TB. Manusia dapat mentransmisikan
agen penyebab TB pada Macaca sp. dengan mudah. Hal ini disebabkan karena Macaca sp. sangat
rentan pada infeksi M. tb dan menunjukkan spektrum lengkap dari perwujudan secara klinis dan
patologis TB seperti yang terlihat pada manusia (Pena dan Ho. 2016). Jika salah satu anggota
koloni dari Macaca sp. terinfeksi M. tb maka transmisi pada anggota koloni lain berlangsung
dengan cepat. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Matz-Rensing et al. (2015) bahwa hewan yang
terinfeksi dan hidup berdekatan dalam kelompok yang terdiri dari dua hingga tiga individu dan
berbagi kandang tentunya sering melakukan kontak fisik (misalnya grooming). Kontak langsung
seperti kontak fisik menjadi faktor yang paling mungkin terlibat dalam penularan agen.
Transmisi dari agen penyebab TB utamanya melalui udara (airborne disease) yang dimana
terjadi ketika saat seekor satwa terpapar pertama kali oleh kuman TB melalui udara. Droplet yang
terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus
dan terus berjalan, sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Faktor udara memberikan
infeksi primer yang dimulai saat kuman TB berhasil berkembangbiak dengan cara pembelahan diri
didalam paru-paru, yang mengakibatkan peradangan didalam paru.Saluran limfe akan membawa
kuman TB ke kelenjar limfe disekitar hilus paru-paru dan ini dinamakan faktor kompleks
primer.Faktor reaksi daya tahan tubuh juga mampu menjadi jembatan penyebab TB menginfeksi
tubuh satwa.Kadang-kadang daya tahan tubuh yang buruk tidak mampu menghentikan
perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan satwa primata akan menjadi penderita TB.
Masa inkubasi yang diperlukan TB mulai terinfeksi sampai menjadi sakit diperkirakan sekitar 6
bulan ( Poeloengan et al 2007). Gizi yang buruk mampu menimbulkan terjadinya TB pasca primer
beberapa bulan sesudah infeksi primer. Ciri khas dari tuberculosis pasca primer adalah kerusakan
paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura (Poeloengan et al 2007).

3.3 Treatment
Primata menjadi salah satu spesies yang sangat rentan terhadap Tuberculosis atau termasuk
spesies yang terancam punah, misalnya simpanse. Beberapa regi obat berdasarkan informasi
terbaru harus digunakan untuk pengobatan. Kombinasi obat yang efektif meliputi: isoniazid dan
streptomisin, isoniazid dan asam siklik p-aminosali, atau isoniazid, etambutol dan rifampisin
(Bushmitz et al. 2009). Pengobatan Tuberculosis menggunakan isoniazid membutuhkan waktu 6-
9 bulan. Namun, baru-baru ini penggunaan rifampisin hanya membutuhkan waktu yang singkat
dan memiliki keamanan serta tingkat kemanjuran yang tinggi (Sterling dan Lin 2020). Sebuah
studi dari Grup Rengarajan dan Kaushal menunjukkan bahwa 3 bulan isoniazid plus mingguan
rifapentine efektif membersihkan M. tuberculosis pada kera, memberikan bukti kemanjuran
(Foreman et al. 2020). Data dari model murine memperkirakan bahwa kemanjuran pengobatan
hingga enam hingga sembilan bulan isoniazid, tiga sampai empat bulan rifampisin, tiga bulan
isoniazid mingguan ditambah rifapentin, dan dua bulan rifampisin plus pyrazinamide (Menzies et
al. 2018).
3.4 Penjelasan Obat
Isoniazid adalah suatu analog tiasetazon yang merupakan obat anti-TB efektif sejak tahun
1940-an namun memiliki efek toksik (Fox 1952). Upaya peningkatan efektifitas tiasetazon
dilakukan dengan penggantian cincin fenil dengan cincin piridin karena berdasarkan penelitian,
nikotinamid memiliki efek inhibitor terhadap M. tuberculosis. Salah satu senyawa yang dihasilkan
yaitu isonikotinaldehid tiosemicarbazon terbukti lebih aktif daripada tiasetazon. Hal ini
menginspirasi evaluasi intermediet lain dari proses sintesis hingga pada akhirnya terjadi penemuan
asam hidrazid isonikotinat nikotinat yang merupakan obat antituberkulosis terbaik hingga saat ini
(Marriner et al. 2011).
Isoniazid masuk ke dalam sel M.Tuberculosis dalam bentuk prodrug. Kemudian, INH akan
diaktivasi oleh enzim katalase peroksidase (KatG) yang dikode oleh gen KatG. Spesies aktif INH
kemungkinan adalah suatu radikal isonicotinic acyl yang selanjutnya membentuk adduct (produk
dari penambahan langsung dua atau lebih molekul berbeda sehingga terbentuk produk reaksi
tunggal dengan kandungan semua atom dari semua komponen dengan radikal NAD. Adduct yang
terbentuk adalah isonicotinic acylNADH (dalam beberapa jurnal disebut sebagai bentuk aktif
INH). Adduct ini bersifat toksik di dalam sel bakteri (Ma et al. 2007; Brennan et al. 2008; Zhand
et al. 1992) dan berturut-turut mempengaruhi target intraseluler seperti biosintesis asam mikolat
yang merupakan komponen penting pada dinding sel bakteri (Barry et al. 1998). Kadar hambat
minimum (KHM) INH adalah 0,2 µM terhadap M. tuberculosis tumbuh cepat, dengan aktifitas
lebih rendah terhadap M. tuberculosis yang tumbuh lambat dan tidak aktif secara in vitro terhadap
bakteria teradaptasi anaerobik. Kadar hambat minimum (KHM) terhadap M. tuberculosis (H37Rv)
adalah 0.025 µg/mL.
Isoniazid dapat ditoleransi dengan baik walaupun efek samping akibat ketidak normalan
enzim hepar menyebabkan hepatitis pada pasien (khususnya pada pasien lanjut usia). Selain itu,
neuritis perifer dapat terjadi namun dapat dicegah dengan mudah melalui penggunaan piridoksin
(Marriner et al. 2011). Beberapa efek samping lain yang dapat terjadi meliputi (Brennan et al.
2008):
a. Hipersensitifitas: demam, menggigil, eropsi kulit (bentuk morbili, mapulo papulo, purpura,
urtikaria), limfadenitis, vasculitis dan keratitis.
b. Hepatotoksik: SGOT dan SGPT meningkat, bilirubinemia, sakit kuning dan hepatitis fatal.
c. Metabolisme dan endrokrin: defisiensi Vitamin B6, pelagra, kenekomastia, hiperglikemia,
glukosuria, asetonuria, asidosis metabolik, proteinurea.
d. Hematologi: agranulositosis, anemia aplastik, atau hemolisis, anemia, trambositopenia,
eusinofilia dan methemoglobinemia.
e. Saluran cerna: mual, muntah, sakit ulu hati dan sembelit.
f. Intoksikasi lain: sakit kepala, takikardia, dispenia, mulut kering, retensi kandung kemih
(pria), hipotensi postura, sindrom seperti lupus, eritemamtosus dan rematik.
Pirazinamid merupakan analog struktural dari nikotinamid. Obat ini dikenalkan sebagai
obat TB pada awal tahun 1950. Pirazinamid bertanggung jawab untuk membunuh persistent
tubercle bacilli di awal terapi fase intensif (Somoskovi et al. 2001). Namun, selama 2 hari pertama
terapi, pirazinamid tidak memiliki aktivitas bakterisida terhadap bacilli yang tumbuh cepat (Zhang
dan Mitchison 2003). Meskipun demikian, akibat aktifitas sterilisasinya dalam kondisi asam di
dalam makrofag atau jaringan yang inflamasi, pirazinamid mampu untuk memperpendek durasi
terapi dari 12 bulan menjadi 6 bulan dan mencegah risiko kekambuhan (WHO 2010). Aktivitas
PZA sangat spesifik terhadap M. tuberculosis karena tidak berefek pada mikobakteria lain
(Johnson et al. 2005).
Pirazinamid adalah suatu prodrug sehingga perlu dikonversi ke dalam bentuk aktifnya,
yaitu asam pirazinoat (POA), oleh enzim pirazinamidase (PZase) atau nikotinamidase
mikobakteri. Mekanisme aksi pirazinamid masih belum jelas. Asam pirazinoat diperkirakan
bekerja melalui penghambatan sistem enzim fatty acid synthase (FAS) I yang berperan penting
dalam sintesis asam mikolat M. tuberculosis yang sedang memperbanyak diri (Steinhilber et al.
2010). Kemungkinan mekanisme aksi lainnya yaitu gangguan potensial membran di bawah
kondisi pH asam atau penghambatan translasi setelah berikatan dengan komponen S1 dari subunit
30s ribosomal (Zumla et al. 2013). Kadar hambat minimum (KHM) terhadap M. tuberculosis
dilaporkan sebesar 6-50 µg/mL pada pH 5,5 (Zhang dan Mitchison 2003).
Efek samping penggunaan PZA meliputi luka liver, artalgia, anoreksia, mual muntah,
dysuria, malaise, demam, dan anemia sideroblastik. Efek samping pada mekanisme penjendalan
darah atau integritas vaskuler dan reaksi hipersensitifitas seperti urtikaria, pruritis dan eksim kulit
juga mungkin terjadi. Pirazinamid dikontraindikasikan pada pasien dengan kerusakan hati parah
atau gout akut. PZA meningkatkan kadar serum asam urat sehingga menyebabkan arthralgia
nongoutt. Ketika digunakan dalam kombinasi dengan INH dan/atau RIF sering menyebabkan
hepatotoksisitas. Pirazinamid harus dihentikan dan tidak dimulai lagi jika tanda kerusakan
hepatoseluler atau hiperurisemia bersama gout atritis akut muncul (Brennan et al. 2008).
Rifamisin adalah salah satu golongan antibakteri paling efektif dan digunakan secara luas
dalam terapi TB saat ini. Rifamisin diisolasi pertama kali pada tahun 1957 dari Amycolatopsis
(dulunya Streptomyces) mediterranei (Sensi 1983). Rifamisin mengandung suatu inti aromatik
yang dihubungan pada ke dua sisi oleh suatu jembatan alifatik. Rifamisin mudah menyebar melalui
membran sel M. tuberculosis karena obat ini bersifat lipofil (Wade dan Zhang 2004). Aktivitas
bakterisida dikaitkan dengan kemampuan obat ini untuk menghambat transkripsi akibat ikatan
dengan afinitas tinggi pada DNA-dependent RNA polimerase. Walaupun target molekuler
rifampin telah dikarakterisasi dengan baik, mekanisme tepatnya dari kelas obat ini masih belum
terlalu jelas (Anastasia et al. 2012). Kadar hambat minimum terhadap M. tuberculosis H37Rv
adalah 0,4 µg/mL (Rastogi et al. 1996). Penulis lain melaporkan KHM pada rentang nilai 0,1–
0,39 µg/mL melawan H37Rv (Sasaki et al. 2006). Rifamisin menunjukkan aktifitas sangat efektif
terhadap bakteri yang masih tersisa di fase terapi lanjutan. Mitchison (2000) menyatakan bahwa
peningkatan dosis dari 600 mg ke 900 mg setiap hari akan mempercepat proses sterilisasi (Brennan
et al. 2008).
Rifampisin umumnya jarang menyebabkan hepatotoksisitas. Namun, penggunaan pada
pasien dengan gangguan hepar dapat diperparah oleh rifampisin. Rifampisin 10 mg/kg dilaporkan
menyebabkan hepatotoksisitas nyata secara klinis pada 2-5% kasus dan uji perubahan fungsi hati
pada 10- 15% (Schaberg et al. 1995). Terdapat laporan terjadinya hepatitis dan reaksi
hipersensitifitas serius meliputi trombositopenia, anemia hemolitik dan gagal ginjal (Vernon,
2003). Elevasi tidak bergejala dari serum enzim transaminase, peningkatan serum asam empedu
dan konsentrasi bilirubin dapat terjadi. Elevasi serum alkalin, fosfatase dan bilirubin
mengindikasikan toksisitas Rifampisin. Efek samping lain dari rifampisin adalah hipotensi, syok
dan nafas pendek. Selain itu, suatu kasus yang jarang, organic brain syndrome juga telah
dilaporkan (contohnya bingung, letargi, ataksia, pusing dan pandangan kabur). Efek samping
berupa neuropati perifer mempengaruhi anggota badan, otot dan sendi dalam bentuk kebas dan
nyeri. Efek samping pada gastrointestinal meliputi mual, muntah dan diare. Rifampisin
menyebabkan pewarnaan oranye hingga merah pada seluruh cairan tubuh (Brennan et al. 2008).
BAB 4
Simpulan

Penanganan Tuberculosis (TBC) pada Macaca sp. Dapat berupa pemberian kombinasi
obat, seperti isoniazid dan streptomisin, isoniazid dan asam siklik p-aminosali, atau isoniazid,
etambutol dan rifampisin. Terapi Tuberculosis yang paling efektif digunakan saat ini adalah
rifampisin. Pengobatan dengan rifampisin menunjukkan hasil dalam periode waktu lebih singkat
dan efek samping yang minimal, namun perlu diperhatikan penggunaannya pada pasien yang
memiliki gangguan pada hepar. Kemanjuran pengobatan berkisar pada tiga hingga empat bulan
dengan pengobatan ini.
DAFTAR PUSTAKA

Anastasia S, Kolyva, Petros C. 2012. Old and New TB Drugs: Mechanisms of Action and
Resistance. Understanding Tuberculosis - New Approaches to Fighting Against Drug
Resistance. dalam Dr. Pere-Joan, C. (Ed.), ISBN: 978-953-307-948-6. InTech. Available
from: http://www.intechopen.com/books/understanding-tuberculosis-new-approaches-to-
fighting-against-drugresistance/old-and-new-tb-drugs-mechanisms-of-action-and-
resistance.

Brennan et al. 2008. Handbook of Anti-Tuberculosis Agents. Global Alliance for TB Drug
Development. 88(2): 85-170.

Bushmitz M, Lecu A, Verreck F, Preussing E, Rensing S, Rensing KM. 2009. Guidelines for the
prevention and control of tuberculosisin non-human primates: recommendations of the
EuropeanPrimate Veterinary Association Working Group on Tuberculosis. J Med Primatol.
3: 59-69.

Dharmajono. 2001. Limabelas Penyakit Menular dari Binatang ke Manusia. Jakarta (ID): Milenia
Populer.

Foreman TW, Bucsan AN, Mehra S, Peloquin C, Doyle LA, Lodrigue KS, Gandhi NR, Altman
JA, Day CL, Ernst JD, Blumberg HM. 2020. Isoniazid and rifapentine treatment eradicates
persistent Mycobacterium tuberculosis in Macaques. American Journal of Respiratory and
Critical Care Medicine. 201(4): 469-477.

Fox HH. 1952. The chemical approach to the control of tuberculosis. Science. 116: 129–134.

Johnson R, Streicher EM, Gail E, Louw, Robin M, Warren, Paul D, Thomas C, Victor. 2005. Drug
resistance in Mycobacterium tuberculosis. Curr. Issues Mol.Biol. 8: 97–112.

Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta (ID): Kemenkes.

Kowalak JP, Welsh W, Mayer B. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Andry Hartono, penerjemah.
Jakarta: EGC.

Kristini TD dan Hamidah R. 2020. Potensi penularan tuberculosis paru pada anggota keluarga
penderita. Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia. 15(1): 24-28.

Kurniawati DA, Suwanti LT, Lastuti NDR, Koesdarto S, Suprihat E, Murfasirin, Pratiwi A. 2020.
Idenfitikasi molekuler Blastocytis sp. pada monyet ekor pandang (Macaca fascicularis) di
Taman Nasional Baluran, Situbonda, Jawa Timur. Jurnal Medik Veteriner. 3(2):138-144.
Lerche NW, Yee JL, Capuano SV, Flynn JL. 2008. New approaches to tuberculosis surveillance
in nonhuman primates. ILAR Journal. 49(2): 170-178.

Ma Z, Ginsberg AM, Spigelman. 2007. Antimycobacterium Agents. New York (US): Elsevier.

Marriner GA, Nayyar A, Eugene U, Sharon Y, Wong, Mukherjee T, Laura E, Via MC, Rachel LE,
Todd D et al. 2011. The medicinal chemistry of tuberculosis chemotherapy. Top Med Chem.
7: 47–124.

Matz-Rensing K, Hartmann T, Wendel GM, Frick JS, Homolka S, Richter E, Munk MH, Kaup FJ.
2015. Outbreak of tuberkulosis in a colony of rhesus monkeys (Macaca mulatta) after
possible indirect contact with a human TB patient. J Comp Path. 153: 81-91.

Menzies D, Adjobimey M, Ruslami R, Trajman A, Sow O, Kim H, Baah JO, Marks GB, Long R,
Hoeppner V, et al. 2018. Four months of rifampin or nine months of isoniazid for latent
tuberculosis in adults. The New England Journal of Medicine. 379(5): 4440-453.

Min F, Zhang Y, Pan J, Wang J, Yuan W. 2013. Mycobacterium tuberculosis infection in rhesus
monkey (Macaca mulatta) and evaluation of ESAT-6 and CFP 10 as immunodiagnostic
antigens. Exp Anim. 62 (4):281- 293.

Novita R. 2015. Pemilihan hewan coba pada penelitian pengembangan vaksin tuberculosis. Jurnal
Biotek Medisiana Indonesia. 4(1): 15-23.

Pena JC, Ho WZ. 2016. Non-human primate models of tuberculosis. Microbiol Spectrum. 4(4): 1-
13.

Poeloengan M, Komala I, Noor SM. 2007. Bahaya dan Penanganan Tuberculosis. Lokakarya
Nasional Penyakit Zoonosis. Balai Penelitian Veteriner, Direktorat Kesehatan Hewan.
Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Rahmanianti R, Apriyani N. 2018. Sosialisasi pencegahan penyakut TBC untuk masyarakat


flamboya bawah di Kota Palangka Raya. Pengabdianmu. 3(1):47-54.

Rahmi E, Sutriana A, Aliza D. 2010. Uji tuberculin pada kulit monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis) dalam upaya pencegahan penyakit zoonosis tuberkulosis (TBC) di kawasan
wisata Pulau Weh Sabang. Jurnal Primatologi Indonesia. 7(1):21-26.

Rajah PR. 2018. Tuberkulosis pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di provinsi DKI
Jakarta [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rastogi N et al. 1996. In vitro activities of fourteen antimicrobial agents against drug susceptible
and resistant clinical isolates of Mycobacterium tuberculosis and comparative intracellular
activities against the virulen h37rv strain in human macrophages. Curr Microbiol. 33: 167-
175.

Sasaki H et al. 2006. Synthesis and antituberculosis activity of a novel series of optically active 6-
nitro-2,3-dihydroimidazo[2,1-b]oxazoles. J Med Chem. 49: 7854-7860.

Scanga CA, Flynn JL. 2014. Modeling tuberculosis in nonhuman primates. Cold Spring Harb.
Perspect. Med. 4(4): 1-16.

Schaberg T et al. 1995. Risk factors for side-effects of isoniazid, rifampin and pyrazinamide in
patients hospitalized for pulmonary tuberculosis. Eur Respir Rev. 4: 1247-1249.

Sensi P. 1983. History of the Development of Rifampin. Rev Infect Dis 5(3): 402-406.

Somoskovi A, Parsons LM, Salfinger M. 2001. The molecular basis of resistance to isoniazid,
rifampin, and pyrazinamide in mycobacterium tuberculosis. Respir. Res. 2: 164–168.

Steinhilber D, Schubert-Zsilavecz M, Roth HJ. 2010. Medizinische Chemie 2nd Ed. Stuttgart (DE):
Deutscher Apotheker Verlag.

Sterling TR, Lin PL. 2020. Treatment of latent M. tuberculosis infection and use of antiretroviral
therapy to prevent tuberculosis. J Clin Invest. 130(10): 5102-5104.

Todar K. 2008. Todar’s Online Textbook of Bacteriology. Department of Bacteriology. Wisconsin


(US): University of Wisconsin.

Vernon, A.A., 2003, Rifamycin Antibiotics, with A Focus on Newer Agents, dalam Rom, W.N.,
Garay, S.M., (Ed.), Tuberculosis, 2nd Ed., 759-771. Philadelphia (US): Lippincott Williams
& Wilkins.

Wade MM, Zhang Y. 2004. Mechanisms of drug resistance in Mycobacterim tuberculosis. Front
Biosci. 9: 975-994.

Warit S, Billamas P, Makhao N, Jaitrong S, Juthayothin T, Yindeeyoungyeon W, Dokladda K,


Smittipat N, Kemthong T, Meesawat S et al. 2020. Detection of tuberculosis in cynomolgus
macaques (Macaca fascicularis) using a supplementary Monkey Interferon Gamma
Releasing Assay (mIGRA). Scientific Reports. 10(16759): 1-11.

World Health Organization. 2010. Treatment of Tuberculosis Guidelines, 4th Ed.

Yuen CM, Amanullah F, Dhaemadhikari A, Narde EA, Seddon JA, Vasilyeva I, Zhao Y,
Keshavjee S, Becerra M. 2015. Turning off the tap: stopping tuberculosis transmission
through active case finding and prompt effective treatment. Lancet. 386(10010): 2334-2343.
Zhang Y, Mitchison D. 2003. The curious characteristics of pyrazinamide: a review. Int. J. Tuberc.
Lung Dis. 7(1): 6–21.

Zumla A, Nahid P, Cole ST. 2013. Advances in the development of new tuberculosis drugs and
treatment regimens. Nat. Rev. Drug Discov. 12: 388–404.

Anda mungkin juga menyukai