Anda di halaman 1dari 19

RENCANA TUGAS MAHASISWA FARMAKOTERAPI

II FARMAKOTERPI PENYAKIT INFEKSI


NEMATODA
(Trichuriasis dan Ascariasis)

Oleh:
Kelompok 3
A6A
I Gede Okta Budiartawan 211021013
I Gusti Agung Ayu Intan Pradnyasari 211021014
I Gusti Agung Putu Yudhayana 211021015
I Kadek Diki Dwipayana 211021016
I Komang Agus Merta Wirajaya 211021017
I Made Indra Prayoga 211021018

Nama Dosen: apt.Dewi Puspita Apsari,S.Farm.,M.Farm

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


FAKULTAS ILMU – ILMU
KESEHATAN UNIVERSITAS BALI
INTERNASIONAL DENPASAR
2023
BAB I
PEMBAHASAN

1.1. Definisi
 Trichuriasis trichiura
Cacing cambuk (Trichuris trichiura) merupakan jenis cacing yang paling
umum. Dalam tubuh manusia ia suka tinggal dalam usus besar, dan hidup dari zat
gizi yang terdapat di dalamnya. Dalam kasus yang berat dan menahun ia bisa
menyebabkan anemia.Manusia yang terjangkiti parasit ini disebut menderita
penyakit trikuriasis. Menurut Prof.Saleha Sungkar, Ketua Departemen
Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, trikuriasis terjadi jika
seseorang menelan makanan yang mengandung telur parasit yang telah mengeram
di dalam tanah selama dua sampai tiga minggu. Larva akan menetas di dalam usus
halus lalu berpindah ke usus besar dan menancapkan kepalanya di dalam lapisan
usus. Cacing ini menghisap darah dan menggigit atau melukai dinding usus
sehingga membuat perdarahan terus menerus dan menyebabkan anemia.
(Gandahusada, Srisasi, Prof. dr. 2006.)
 Ascaris lumbricoides

Askariasis merupakan salah satu infeksi parasit akibat cacing gelang


dengan jenis Ascaris lumbricoides. Ascaris lumbricoides membutuhkan usus
manusia sebagai sarana untuk berkembang dari larva atau telur menjadi cacing
dewasa. Cacing dewasa dapat berkembang biak dan tumbuh hingga panjang 30
sentimeter. Askariasis merupakan salah satu jenis infeksi cacing yang cukup
sering ditemui di berbagai penjuru dunia. Sebagian besar orang menderita infeksi
ringan tanpa ditemui tanda atau gejala. Namun, infeksi yang berat dapat
menyebabkan bermacam-macam tanda dan gejala serta berbagai komplikasi.
Infeksi berat lebih sering dialami oleh populasi anak yang tinggal pada daerah
tropis dan subtropis, terutama area dengan sanitasi dan kebersihan yang kurang
bersih. (Hadidjaja P,2011).

1.2. Etiologi
 Trichuriasis trichiura
Cacing trichuris trichiura pada manusia terutama hidup didaerah sekum dan
kolon asendens. Pada infeksi berat terutama pada anak-anak cacing trichuris
trichiura ini tersebar diseluruh kolon dan rectum yang kadang-kadang terlihat
terlihat dimukosa rectum yang mengalami prolapsus akibat dari mengejannya
penderita pada waktu melakukan defekasi. Cacing trichuris trichiura ini
memasukan kepalanya dalam mukosa usus hingga dapat menjadi trauma yang
menimbulkan iritasi dan dapat mengakibatkan peradangan dimukosa usus, selain
itu akibatnya dapat menimbulkan perdarahan. Selain itu juga cacing ini menghisap
darah dari hospes sehingga dapat mengakibatkan anemia. Untuk penderita
terutama pada anak-anak dengan infeksi trichuris trichiura yang berat dan
menahun menunjukan gejala-gejala diare yang dapat diselinggi dengan sindrom
disentri, anemia, nyeri ulu hati, berat badan menurun dan kadang- Kadang rektum
menonjol melewati anus (prolapsus rektum), terutama pada anak-anak atau wanita
dalam masa persalinan, selain itu juga dapat menyebabkan peradangan usus buntu
(apendisitis). Pada tahun 1976, bagian parasitologi FKUI telah melaporkan 10
anak dengan trikuriasis berat, semuanya menderita diare yang menahun selama 2-
3 tahun. Infeksi Trichuris trichiura sering di sertai denagan infeksi cacing lainnya
atau protozoa. (Irianto K, 2009).

 Ascaris lumbricoides
Kebanyakan infeksi ringan tidak menimbulkan gejala. Cacing yang baru
menetas menembus mukosa usus sehingga terjadi sedikit kerusakan pada daerah
tersebut. Cacing yang tersesat, berkeliaran, dan akhirnya mati di bagian tubuh lain
seperti limpa, hati, nodus limfe, dan otak. Cacing ini juga menyebabkan
perdarahan kecil pada kapiler paru yang mereka tembus. Infeksi yang berat dapat
menyebabkan akumulasi perdarahan sehingga akan terjadi edema dan ruang-ruang
udara tersumbat. Akumulasi sel darah putih dan epitel yang mati akan
memperparah sumbatan sehingga akan terjadi Ascaris lumbricoides pneumonitis
(Loeffler’s pneumonia) yang bisa menyebabkan kematian. (Pohan HT,2009)

Makanan utama A. lumbricoides adalah cairan pada lumen usus. Pada


infeksi sedang hingga berat, dapat terjadi malnutrisi pada anak-anak yang
nutrisinya diambil oleh cacing. Dapat terjadi nyeri abdomen, urtikaria, eosinofilia,
nyeri pada mata, asma dan insomnia sebagai respon alergi terhadap metabolit
yang dihasilkan cacing. Jika jumlah cacing terlalu banyak di usus, maka cacing
bisa berkeliaran ke apendiks, anus, pankreas, saluran empedu, hati, lambung,
esofagus, trakea, tuba eustachius, telinga tengah, bahkan keluar melalui hidung
dan mulut. Cacing betinajuga bisa berkeliaran di dalam tubuh jika tidak ada cacing
jantan. Larva pada dahak dan telur cacing di feses bisa membantu menegakkan
diagnosis. (John DT,2006).

1.3. Epidemiologi
 Trichuriasis trichiura
Untuk penyebaran infeksi ini yang paling penting merupakan kontaminasi
tanah dengan tinja. Telur cacing trichuris trichiura ini tumbuh didaerh tanah liat,
tempat yang lembab dan teduh dengan suhu rata-rata 30˚C. pada daerah yang
banyak menggunakan tinja sebagai pupuk merupakan jalur infeksi yang tepat.
Frekuensi infeksi cacing ini diindonesia sangat tinggi. Diberbagai daerah
pedesaan diindonesia frekunsi infeksinya hingga mencapai 30-90%. Didaerah
sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan cara pengobatan pada penderita
trikuriasis. Pencegahan dapat dengan cara pembuatan jamban yang baik dan
diberikan pengetahuan tentang sanitasi dan terutama kebersihan perorangan
terutama pada anak-anak, dengan mencuci tangan sebelum makan, mencuci
dengan baik sayuran yang dikonsumsi tanpa pemasakan terutama daerah yang
menggunakan tinja sebagai pupuk. (Kimball, Jhon W. 1983).

 Ascaris lumbricoides
Terdapat lebih dari 1 milyar orang di dunia dengan infeksi askariasis. Infeksi
askariasis, atau disebut juga dengan cacing gelang, ditemukan di seluruh area
tropis di dunia, dan hampir di seluruh populasi dengan sanitasi yang buruk. Telur
cacing bisa didapatkan pada tanah yang terkontaminasi feses, karena itu infeksi
askariasis lebih banyak terjadi pada anak-anak yang senang memasukkan jari yang
terkena tanah ke dalam mulut. Kurangnya pemakaian jamban menimbulkan
pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di
tempat mencuci dan tempat pembuangan sampah. Telur bisa hidup hingga
bertahun-tahun pada
feses, selokan, tanah yang lembab, bahkan pada larutan formalin 10% yang
digunakan sebagai pengawet feses. Di Jakarta, angka infeksi askariasis pada tahun
2000 adalah sekitar 62,2%, dan telah mencapai 74,4%-80% pada tahun 2008 .
(Mardiana, Djarismawati,2008).

1.4. Patofisiologi

 Trichuris trichiura

Cacing Trichuris pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat juga
ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing
tersebar di seluruh kolon dan rectum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rectum
yang mengalami prolapses akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi.
Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma
yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Di tempat perlekatannya
dapat terjadi perdarahan. Disamping itu cacing ini juga menghisap darah
hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia. Penderita terutama anak-anak
dengan infeksi Trichuris yang berat dan menahun, menunjukkan gejala diare yang
sering diselingi sindrom disentri, anemia, berat badan turun dan kadang-kadang
disertai prolapsus rektum. Infeksi berat Trichuris trichiura sering disertai dengan
infeksi cacing lainnya atau protozoa. Infeksi ringan biasanya tidak memberikan
gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Infeksi kronis dan sangat
berat menunjukkan gejala gejala anemia berat, Hb rendah sekali dapat mencapai 3
gr %, karena seekor cacing tiap hari menghisap darah kurang lebih 0,005 cc diare
dengan tinja mengandung sedikit darah. Sakit perut, mual, muntah serta berat
badan menurun, kadang kadang disertai prolapsus recti, mungkin disertai sakit
kepala dan demam. (Natadisastra, 2009).

 Ascaris lumbricoides

Gejala klinik tergantung dari beberapa hal, antara lain beratnya infeksi, keadaan
umum penderita, daya tahan, dan kerentanan penderita terhadap infeksi cacing.
Pada infeksi biasa, penderita mengandung 10-20 ekor cacing, sering tidak ada
gejala yang dirasakan oleh hospes, baru diketahui setelah pemeriksaan tinja rutin,
atau karena cacing dewasa keluar bersama tinja. Gejala yang timbul pada penderita
disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Gangguan karena larva biasanya
terjadi pada saat
berada di paru, pada orang yang rentan terjadi pendarahan kecil di dinding
alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan batuk, demam dan
eosinofilia, pada foto thorax tampak infiltrate yang menghilang dalam waktu 3
minggu. Keadaan tersebut disebut Sindrom Loeffler. Gangguan yang disebabkan
oleh cacing dewasa biasanya ringan, kadang kadang penderita mengalami
gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.
Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorpsi sehingga
memperberat keadaan malnutrisi dan penururnan status kognitif pada anak sekolah
dasar. Efek yang serius terjadi bila cacing menggumpal dalam usus sehingga
terjadi obstruksi usus (ileus), pada keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke
saluran empedu, apendiks atau ke bronkus dan menimbulkan tindakan keadaan
gawat darurat sehingga kadang perlu tindakan operatif. ( Taniawati,2011 )

Efek tidak langsung dapat pula terjadi, waktu bermigrasi cacing dewasa
turut menempel juga di mikroorganisme lain misalnya bakteri sehingga
menimbulkan abses di tempat cacing dewasa atau larva yang disebut berada, setiap
20 cacing dewasa merampas 2,8 gram karbohidrat dan 0,7 gram protein sehingga,
terutama pada anak anak seringkali menimbulkan perut buncit, pucat, lesu, rambut
jarang berwarna merah dan kurus, apalagi jika anak sebelumnya sudah pernah
menderita under nutrisi. Gambaran ini disebabkan oleh defisiensi gizi yang juga
dapat menimbulkan keadaan anemia. (Natadisastra, 2009).

1.5 Siklus Hidup

 Trichuris trichiura

Telur yang keluar bersama tinja, dalam keadaan belum matang (belum
membelah), tidak infektif. Telur demikian ini perlu pematangan pada tanah selama
3- 5 minggu sampai terbentuk telur infektif yang berisi embrio di dalamnya,
dengan demikian cacing ini termasuk “Soil Transmitted Helminth” tempat tanah
berfungsi dalam pematangan telur. Manusia mendapat infeksi jika telur yang
infektif tertelan, selanjutnya di bagian proksimal usus halus telur menetas larva
keluar dan menetap selama 3-10 hari, setelah dewasa cacing akan turun ke usus
besar dan menetap dalam beberapa tahun. Waktu yang diperlukan sejak telur
infektif tertelan sampai cacing betina menghasilkan telur 30-90 hari, seperti juga
pada Ascaris lumbricoides
siklus hidup Trichuris trichiura merupakan siklus langsung karena keduanya tidak
membutuhkan tuan rumah perantara (Natadisastra, 2009).

Gambar 1. Daur Hidup Trichuris trichiura ( CDC,2013 )

 Ascaris lumbricoides

Larva terbawa aliran darah ke hati, jantung kanan, akhirnya ke paru paru.
Untuk sampai ke paru paru, membutuhkan waktu 1-7 hari setelah infeksi.
Selanjutnya larva keluar dari kapiler darah masuk ke dalam alveolus, terus ke
broncheolus, broncus, trackhea sampai ke laring yang kemudian akan tertelan
masuk ke esophagus, ke lambung dan kembali ke usus halus untuk kemudian
menjadi dewasa, selama berada di dalam paru paru larva mengalami penyilihan
kulit kedua dan ketiga. Waktu yang diperlukan oleh larva untuk bermigrasi, mulai
dari larva menembus mukosa usus, ke paru paru dan berakhir di lumen usus 10-15
hari, sedangkan waktu yang dibutuhkan mulai berada di dalam usus yang kedua
kalinya sampai menjadi cacing dewasa yang dapat menghasilkan telur 6-10
minggu (Natadisastra, 2009).

Siklus hidup dalam tinja penderita askariasis yang membuang air tidak
pada tempatnya dapat mengandung telur askariasis yang telah dibuahi. Telur ini
akan matang dalam waktu 21 hari, jika terdapat orang lain yang memegang tanah
yang telah tercemar telur cacing ascaris dan tidak mencuci tangannya, kemudian
tanpa sengaja makan dan menelan telur cacing Ascaris, maka telur akan menjadi
larva
pada usus. Larva akan menembus usus dan masuk ke dalam pembuluh darah dan
akan beredar mengikuti system peredaran, yakni hati, jantung, dan kemudian
berhenti di paru paru (Widodo, 2013).

Gambar 2. Daur Hidup Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) (CDC,2013)

1.6. Diagnosa Penyakit

 Trichuris trichiura

Trichuriasis dapat ditegakkan diagnosisnya berdasarkan ditemukannya telur cacing


Trichuris trichiura dalam tinja atau menemukan cacing dewasa pada prolaps recti.
Tingkat infeksi juga ditentukan dengan memeriksa jumlah telur pada setiap gram
tinja atau menentukan jumlah cacing betina yang ada dalam tubuh hospes
(Natadisastra, 2009).

 Ascaris lumbricoides

Cara menegakkan diagnosis penyakit adalah dengan pemeriksaan tinja secara


langsung, adanya telur dalam tinja memastikan diagnosis askariasis, selain itu,
diagnosis dapat dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui mulut atau
hidung karena muntah maupun melalui tinja (Taniawati, 2011).

1.5. Terapi
Terapi Farmakologi

Infeksi helminths yang disebabkan oleh soil-transmitted helminths (STH), tiga


jenis infeksi soil-transmitted helminth Ascaris, Trichiuris dan cacing tambang
sering menunjukkan kelainan klinik pada manusia. Obat yang
direkomendasikan untuk mengendalikan infeksi STH di masyarakat adalah
golongan anthelemetik benzimidazole yaitu albendazole (dosis tunggal 400
mg, dan untuk anak usia 12–24 bulan dikurangi menjadi 200 mg) atau
mebendazole (dosis tunggal 500 mg) dapat juga diberikan levamisole atau
pyrantel pamoate (Zulfiana Riswanda, 2016)

1.6. Mekanisme Kerja

 Golongan Benzimedazole (albendazole dan mebendazole)

Mekanisme kerja obat benzimidazole adalah menghambat


polimerisasi tubulin pada cacing, sehingga mengganggu fungsi
mikrotubulus yang berperan dalam transportasi nutrisi, gerakan, dan
reproduksi cacing. Akibatnya, cacing akan kekurangan energi, lumpuh, dan
mati. (Janssen. 2016)

 Levamisole

Levamisole adalah obat antihelmintik yang bekerja dengan cara


melumpuhkan cacing sehingga cacing tidak mampu menempel pada usus
dan dapat terbawa keluar saat buang air besar. (Janssen. 2016)

 Pyrantel Pamoate

Pyrantel pamoate adalah obat antihelmintik yang bekerja dengan


cara menghambat depolarisasi neuromuskular pada cacing, yang
menginhibisi enzim asetil kolinesterase. Akibatnya, akan terjadi paralisis
otot-otot tubuh cacing secara spastik, kemudian berlanjut dengan
kontraktur otot. Cacing yang mengalami paralisis akan melepaskan
cengkramannya pada dinding mukosa usus, kemudian akan dikeluarkan
dari tubuh, melalui proses alami (Janssen. 2016)

1.7. Evidance Based Medicine


 Golongan Benzimedazole (albendazole dan mebendazole)
Desa Perokonda, Sumba Barat Daya (SBD), merupakan desa di
daerah tertinggal yang memiliki faktor risiko tinggi infeksi soil-transmitted
helminths (STH). Infeksi STH dapat mempengaruhi status gizi anak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status gizi dan pengaruh
pengobatan albendazol dosis tunggal terhadap infeksi STH di Desa
Perokonda. Penelitian ini menggunakan desain pre-post study. Data
diambil pada bulan Agustus 2015 dan Januari 2016. Data infeksi STH
didapatkan dari pengumpulan feses yang diperiksa menggunakan
mikroskop cahaya. Status gizi diukur dengan menghitung Z-score
berdasarkan grafik WHO. Jumlah sampel yang dianalisis adalah 66 anak
yang berumur 1-12 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum
pengobatan, 84,8% anak memiliki status gizi baik, sedangkan 15,2%
lainnya berstatus gizi kurang. Setelah pengobatan, jumlah anak dengan
gizi baik menurun menjadi 75,8%, status gizi kurang bertambah menjadi
19,7%, dan terdapat anak dengan gizi buruk 4,5%. Setelah pengobatan,
prevalensi STH tetap tinggi. Infeksi A.lumbricoides menurun signifikan
(Uji Mc Nemar, p<0,001, namun infeksi T.trichiura dan cacing tambang
meningkat. Disimpulkan albendazole dosis tunggal dapat mengurangi
secara signifikan prevalensi A,lumbricoides; namun tidak menurunkan
prevalensi T.trichiura infeksi STH dan hubungannya dengan status gizi
anak di Desa Perokonda. (Ima Annisa et al,2017)

METODE

Penelitian ini menggunakan desain pre-post study dan dilakukan di


Desa Perokonda SBD. Pengambilan data dilakukan dua kali, yaitu pada
bulan Agustus 2015 dan Januari 2016. Kriteria inklusi penelitian ini adalah
anak berusia 1-12 tahun dan orang tua setuju anaknya diikutsertakan
dalam penelitian sedangkan kriteria eksklusi adalah anak sedang sakit.
Untuk mengantisipasi drop-out, maka n ditambahkan 10% dari besar
sampel minimum sehingga menjadi:

n = n + (10% x n)
n = 36 + (10% x 36)

n = 39,6 ≈ 40 (dibulatkan)

Jadi, besar sampel minimum dalam penelitian ini adalah 40 orang.

Jumlah subjek yang diperlukan pada penelitian ini adalah 40 anak


namun untuk memenuhi etika, semua anak yang diizinkan orangtuanya
diikutsertakan dalam penelitian. Data yang digunakan adalah data primer
yang diperoleh dari pemeriksaan antropometri dan pemeriksaan feses.
Subjek diukur berat badannya dengan timbangan digital dan diukur
tingginya dengan alat pengukur tinggi badan. Status gizi dinilai mencari
nilai Z-score menggunakan indeks antropometri BB/U untuk anak < 6
tahun dan IMT/U untuk anak 6-12 tahun berdasarkan grafik WHO.

Pada hari pertama, subjek diajarkan cara mengambil sampel feses


dan memasukkannya dalam pot plastik berukuran 10 cc. Keesokan harinya
pot berisi feses diserahkan kepada peneliti lalu peneliti mencampurkan
dengan formalin 5% dan memasukkannya dalam boks plastik. Subjek
berumur 2-12 tahun yang telah mengumpulkan feses diberi albendazol 400
mg, sedangkan anak berumur 1-2 tahun diberikan albendazol 200 mg.
Identifikasi telur cacing dilakukan secara mikroskopik di laboratorium
parasitologi FKUI.10 Identifikasi telur cacing menggunakan mikroskop
cahaya dimulai dari perbesaran 10x10 hingga 10x100. Setelah
mendapatkan data status gizi dan infeksi STH, data diolah menggunakan
SPSS versi 20 melalui tahap editing, coding, cleaning, dan entry.
Penelitian ini telah lolos kaji etik yang dikeluarkan oleh Komisi Etik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo dengan nomor 771/UN2.F1/ETIK/2015.

HASIL

Pada penelitian ini diperoleh 121 subjek, tetapi subjek yang


kembali pada pengambilan data kedua menurun. Setelah melewati proses
penyortiran dan clearing data, subjek yang dapat dianalisis adalah 66 anak
berumur 1-12 tahun. Rata-rata umur anak adalah 6 tahun 9 bulan dengan
umur minimum 1 tahun dan umur maksimum 12 tahun. Data umur anak
terdistribusi tidak normal dengan nilai mediannya adalah 7 tahun. Anak
berumur 6-12 tahun lebih banyak (71,2%) daripada anak berumur <6 tahun
(28,8%). Anak perempuan (51,5%) lebih banyak dari anak laki-laki
(48,5%). Anak <1 tahun tidak dijadikan subjek karena merupakan
kontraindikasi albendazol. Jika anak <1 tahun positif STH, maka untuk
memenuhi etika, obat yang diberikan adalah pirantel pamoat.

Hasil pemeriksaan feses (pretest) menunjukkan bahwa prevalensi


STH sangat tinggi, yaitu 89,4%. Infeksi STH lebih tinggi pada anak
berumur 6-12 tahun, yaitu 43 anak (65,2%), sedangkan pada anak <6
tahun, sebanyak 16 orang (24,2%) terinfeksi STH (Ima Annisa et al,2017)

 Levamisole

Penelitian ini meneliti aktivitas antelmintik albendazole dan


levamisole terhadap hambatan motilitas, percepatan waktu paralisis, dan
motilitas cacing Ascaridia galli dewasa secara in vitro. Sebanyak empat
ekor cacing masing dibuat triplikat dalam NaCl 0,9% masing-masing
dengan konsentrasi 15 mg/ ml Albendazole, dan 0.6 mg/ml Levamisole.
Motilitas cacing diamati pada interval 10, 20, 30, dan 40 jam. Paralisis dan
kematian diamati pada tampilan tidak ada pergerakan badan pada bagian
kepala dan ekor cacing. Hasil menunjukkan bahwa aktivitas albendazole
dan levamisole terhadap mortalitas A. galli berturut-turut terjadi pada 40
dan 30 jam pasca inkubasi. Levamisole dapat menghambat motilitas A.
galli pada jam ke 10 dan juga menyebabkan lebih awal paralisis pada 6,75
± 0,50 jam pasca inkubasi. Kajian tersebut mengindikasikan bahwa
aktivitas antelmintik levamisole lebih awal dibandingkan efek albendazole
pada cacing A. galli. (Balqis,2016)

METODE

Cacing A. galli dewasa dipilih yang masih aktif bergerak, ukuran


cacing 7-11 cm, tidak tampak cacat secara anatomi. Masing-masing
sebanyak empat ekor cacing A. galli dewasa terpilih direndam ke dalam
larutan NaCl fisiologis dengan konsentrasi masing-masing 15 mg/ml
albendazole, dan 0,6 mg/ml levamisole. Kedua perlakuan dibuat triplet.
Persentase motilitas cacing A. galli dinilai berdasarkan nilai skor setelah
setelah diinkubasi pada temperatur kamar selama 10 jam, 20 jam, 30 jam,
dan 40 jam seperti yang dijelaskan oleh Jiraungkoorskul et al. (2005)
dengan modifikasi tertentu. Nilai skor diberikan berdasarkan kriteria: Skor
3 diberikan apabila seluruh tubuh cacing bergerak. Skor 2 diberikan
apabila hanya sebagian tubuh cacing bergerak. Skor 1 diberikan apabila
cacing tidak bergerak (diam) tetapi masih hidup. Skor 0 diberikan apabila
cacing tidak bergerak (mati) (Jeyathilakan et al., 2010; Balqis et al., 2016;
Hamzah et al., 2016).

HASIL

Waktu paralisis, lama paralisis dan mortalitas lebih singkat dialami


oleh cacing A. galli dewasa akibat efek antelmintik levamisole
dibandingkan dengan efek antelmintik albendazole seperti ditunjukkan
pada Tabel 1. Selama 10 jam pasca inkubasi dalam konsentrasi
albendazole, seluruh tubuh cacing A. galli (100%) masih aktif bergerak,
sedangkan dalam konsentrasi levamisole cacing A. galli (50%) hanya
sebagian tubuh cacing bergerak. Pada 20 jam pasca inkubasi dalam
konsentrasi albendazole, hanya sebagian tubuh cacing A. galli (100%)
bergerak, sedangkan dalam konsentrasi levamisole cacing A. galli (50%)
mengalami kematian. Pada 30 jam pasca inkubasi dalam konsentrasi
albendazole, cacing A. galli (100%) tidak bergerak (diam) tetapi masih
hidup, sedangkan dalam konsentrasi levamisole cacing A. galli (100%)
mengalami kematian. Cacing A. galli (100%) mengalami kematian dalam
konsentrasi albendazole pada 40 jam masa inkubasi. (Balqis,2016)

 Pyrantel Pamoate
Soil Transmitted Helminth (STH) merupakan kelompok cacing
parasit nematoda yang menyebabkan infeksi pada manusia melalui kontak
dengan telur parasit atau larva yang tumbuh subur di tanah yang hangat
dan lembab di negara tropis dan subtropis dunia. Sebagai cacing dewasa,
cacing
yang ditularkan melalui tanah hidup dan di saluran pencernaan manusia.
Cara yang paling aman dalam menangani infeksi STH adalah memutus
lingkaran hidup cacing, yaitu dengan cara memperbaiki pengetahuan
masyarakat dan penggunaan obat cacing. World Health Organization
(WHO), World Bank dan Perserikatan BangsaBangsa (PBB) memberi
perhatian khusus untuk memperbaiki infeksi kecacingan. Pirantel pamoate
merupakan salah satu obat anti helminth yang umum digunakan di
Indonesia dan Albendazol berkerja dengan cara menghambat pembentukan
energi cacing sehingga dapat mengakibatkan kematian pada cacing.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian Pretest Posttest Control
Group Design. Jumlah sampel pada penelitian diperoleh dengan metode
total sampling. Tidak terdapat perbedaan perbandingan efektivitas antara
pemberian pirantel pamoat dan albendazol terhadap infeksi STH.
Kesimpulan : Dari penelitian ini dijumpai bahwa pemberian pirantel
pamoate dan albendazol pada infeksi STH setelah 1 minggu terdapat
penurunan telur STH, namun tidak terdapat perbedaan yang bermakna.
(Nurhasanah,2020).

METODE

Penelitian ini menggunakan metode Pretest – Posttest Control


Group Design. Data yang digunakan merupakan data primer yang
diperoleh dari pengambilan feses siswa SD kelas I-VI di SDN 065853
Tegal Sari Mandala Kecamatan Medan Denai. Feses kemudian diperiksa
di Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Sumatra Utara dengan menggunakan metode Kato-Katz.
Total sampling dipilih dalam pengambilan sampel, dengan jumlah sampel
yang didapatkan sejumlah 50 sampel. Sampel yang digunakan pada
penelitian ini adalah siswa yang memenuhi kriteria inklusi seperti bersedia
mengikuti penelitian, sehat, bersedia membawa feses, dan yang
mengkonsumsi obat Pirantel Pamoat atau Albendazol saat hasil
pemeriksaan pertama positif, dan anak kelas I– VI sekolah dasar. Dengan
kriteria ekslusi siswa yang menolak mengkonsumsi obat, dan
mengkonsumsi obat cacing cacing 3 bulan
terakhir. Data diperoleh dengan pemeriksaan feses siswa dan selanjutnya
dianalisis dengan uji Wilcoxon. (Nurhasanah,2020).

HASIL

Berdasarkan penelitian ini dimana sebelum dan 1 minggu setelah


pemberian pirantel pamoat dalam dosis tunggal terhadap infeksi Ascaris
lumbricoides, didapati hasil; sebelum pemberian pirantel pamoat terdapat
46% infeksi ringan, 40% infeksi sedang dan 13.4% infeksi berat; 1 minggu
setelah pemberian pirantel pamoat terdapat 60% infeksi ringan, 20%
infeksi sedang, 6,7% infeksi berat, dan 13.3% negatif. Sedangkan pada
infeksi Trichiuris trichiura sebelum pamberian pirantel pamoat terdapat
66,7% infeksi sedang dan 33,3% infeksi berat; setelah pemberian pirantel
pamoat terdapat 66,7% infeksi sedang, 26,7% berat, dan 6.6 % negatif.
Pada penelitain lain terdapat perbedaan pada tingkat kesembuhan
pemberian pirantel pamoat pada infeksi Ascaris lumbricoides (sebesar
72%) dibandingkan dengan infeksi Trichiuris trichiura (47,5%). Sebelum
pemberian albendazol dalam dosis tunggal, didapati intensitas infeksi
Ascarias lumbricoides sebesar 17,6% infeksi ringan; 58,8% infeksi sedang
dan 23,5% infeksi berat. Setelah 1 minggu pemberian albendazol dosis
tunggal didapati intensitas infeksi Ascarias lumbricoides sebesar 29.4%
infeksi ringan, 29,4% infeksi sedang, 23,5% infeksi berat dan 17,6%
negatif. Sedangkan intensitas infeksi Trichiuris trichiura sebelum
pemberian albendazol sebesar 64,7% infeksi sedang, dan 35,3% infeksi
berat. Dan 1 minggu setelah pemberian albendazol terdapat 64,7% infeksi
sedang, 17,6% infeksi berat, dan 17,6% negatif. Terlihat perbedaannya
bila dibandingkan dengan penelitian lain, setelah pemberian albendazol
selama 3 hari berturut- turut didapati tingkat kesembuhan sebesar
93,1%.16 Menurut WHO, untuk mengontrol infeksi STH, dosis albendazol
yang digunakan adalah 400 mg dosis tunggal, namun untuk anak-anak 12-
24 bulan diberikan setengah dosis (200 mg). Sedangkan untuk mengontrol
infeksi STH, dosis pirantel pamoat dapat digunakan untuk ascariasis
dengan dosis 10–11 mg/kg BB per oral, dosis maksimum 1 gram. Pada
penelitian ini terlihat bahwa terjadi penurunan prevalensi infeksi STH
Ascaris lumbricoides, sedangkan
prevalensi infeksi Trichiuris trichiura tetap tinggi. Hal tersebut disebabkan
oleh tingkat kesembuhan pemberian pirantel pamoat untuk Trichiuris
trichiura rendah. Pengobatan Trichiuris trichiura secara spesifik
menggunakan mebendazol 2x100 mg peroral 3 hari berturut-turut atau
dosis tunggal 500 mg. Mebendazol bekerja secara selektif dan ireversibel
menghambat uptake glukosa dan nutrien lainnya di usus tempat STH
hidup. Pada penelitian ini didapati bahwa setelah 1 minggu pemberian
pirantel pamoate dan albendazol terhadap infeksi STH tidak terdapat
perbedaan yang bermakna dalam jumlah infeksi STH baik pada
penggunaan pirantel pamoat maupun albendazol. (Nurhasanah,2020).
KESIMPULAN

Penyakit infeksi nematoda ( Trichuris trichiura dan Ascaris lumbricoides )


cacing yang hidup pada usus manusia, perkembangbiakan kedua nematoda ini
pada daerah tropis dan subtropis, terutama area dengan sanitasi dan kebersihan
yang kurang baik. Gejala yang dialami seseorang jika terkena infeksi nematoda
ialah diare, demam,batuk dan sesak napas. Cara menegakkan diagnosis penyakit
adalah dengan pemeriksaan tinja secara langsung, adanya telur dalam tinja, selain
itu, diagnosis dapat dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui mulut
atau hidung karena muntah maupun melalui tinja. Obat yang direkomendasikan
untuk mengendalikan infeksi STH di masyarakat adalah golongan anthelemetik
benzimidazole yaitu albendazole (dosis tunggal 400 mg, dan untuk anak usia 12–
24 bulan dikurangi menjadi 200 mg) atau mebendazole (dosis tunggal 500 mg)
dapat juga diberikan levamisole atau pyrantel pamoate.
DAFTAR PUSTAKA

Balqis U, Darmawi, Maryam, Muslina, Hamzah A et al. 2016. Motilitas Ascaridia


galli dewasa dalam larutan ekstrak etanol biji palem putri (Veitchia
merrillii). Jurnal Agripet 16: 9-15.

Balqis U, Darmawi, Maryam, Muslina et al.2016. Perbandingan Aktivitas


Antelmintik Albendazole dan Levamisole terhadap Ascaridia galli
secara In Vitro. Fakultas Kedokteran Hewan universitas Syiah
Kuala.

Gandahusada, Srisasi, Prof. dr. 2006. Parasitologi Kedokteran.


Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

st
Hadidjaja P, Margono SS, ed. 2011. Dasar parasitologi klinik. 1 edition. Jakarta
: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Irianto K. 2009. Parasitologi, Berbagai Penyakit yang Mempengaruhi Kesehatan


Manusia. Bandung : Yrama Widya
Irma Annisa,Reza Damayanti,Dani M. Trianto et al. 2017. Pengaruh Pengobatan
Albendazol Dosis Tunggal terhadap Infeksi Soil-Transmitted
Helminth dan Status Gizi Anak di Desa Perokonda,Sumba Barat
Daya. Program Studi Pendidikan Dokter FK Universitas Indonesia.

Janssen Pharmaceuticals, Inc. 2016. U.S. FDA Approves Vermox™ Chewable


(Mebendazole) For Treatment of Children and Adults With
Roundworm and Whipworm Infections. Johnson & Johnson
Innovation
Jeyathilakan N, Murali K, Anandaraj A, Latha BR, Basith SA. 2010. Anthelmintic
activity of essential oils of Cymbopogan nardus and Azadirachta
indica on Fasciola gigantica. Tamilnadu Journal Veterinary &
Animal Sciences 6: 204-209.

John DT, Petri WA, Markell EK, Voge M. Markell and Voge’s. 2006. medical
parasitology. Missouri: Elsevier Health Sciences. p. 262-7, 270-5,

Kimball, Jhon W. 1983. Biologi Jilid 3 Edisi ke-5. Jakarta: Erlangga. Diktat,
Mardiana, Djarismawati. 2008. Prevalensi cacing usus pada murid sekolah dasar
wajib belajar pelayanan gerakan terpadu pengentasan kemiskinan
daerah kumuh di wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan.

Natadisastra, D.2009.Parasitologi Kedokteran ditinjau dari organ tubuh yang


diserang. Cetakan I. Jakarta: Buku kedokteran EGC.

Nurhasanah,Nelli Murlina,2020. Perbandingan Efektivitas Pirantel Pamoat


Dengan Albendazol Terhadap Infeksi Soil Transmitted Helminth
pada Siswa SD Tahun 2018. Fakultas Kedokteran, Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara.

Taniawati, S. 2011.Parasitologi kedokteran edisi keempat. Edisi IV. Jakarta:


Badan Penerbit fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Pohan HT. 2009.Penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah. In : Sudoyo AW,

th
Setiyohadi B, et al, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5
edition. Jakarta: Interna Publishing. p. 2938-42.

Widodo, H.2013. Parasitologi kedokteran. Cetakan I. Yogyakarta: D-Medika

Zulfiana Riswanda & Betta Kurniawan. 2016. Infeksi Soil-Transmitted Helminth


:Ascariasis, Trichiuriasis dan Cacing tambang. Fakultas Kedokteran,
Universitas Lampung

Anda mungkin juga menyukai