Oleh:
Kelompok 3
A6A
I Gede Okta Budiartawan 211021013
I Gusti Agung Ayu Intan Pradnyasari 211021014
I Gusti Agung Putu Yudhayana 211021015
I Kadek Diki Dwipayana 211021016
I Komang Agus Merta Wirajaya 211021017
I Made Indra Prayoga 211021018
1.1. Definisi
Trichuriasis trichiura
Cacing cambuk (Trichuris trichiura) merupakan jenis cacing yang paling
umum. Dalam tubuh manusia ia suka tinggal dalam usus besar, dan hidup dari zat
gizi yang terdapat di dalamnya. Dalam kasus yang berat dan menahun ia bisa
menyebabkan anemia.Manusia yang terjangkiti parasit ini disebut menderita
penyakit trikuriasis. Menurut Prof.Saleha Sungkar, Ketua Departemen
Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, trikuriasis terjadi jika
seseorang menelan makanan yang mengandung telur parasit yang telah mengeram
di dalam tanah selama dua sampai tiga minggu. Larva akan menetas di dalam usus
halus lalu berpindah ke usus besar dan menancapkan kepalanya di dalam lapisan
usus. Cacing ini menghisap darah dan menggigit atau melukai dinding usus
sehingga membuat perdarahan terus menerus dan menyebabkan anemia.
(Gandahusada, Srisasi, Prof. dr. 2006.)
Ascaris lumbricoides
1.2. Etiologi
Trichuriasis trichiura
Cacing trichuris trichiura pada manusia terutama hidup didaerah sekum dan
kolon asendens. Pada infeksi berat terutama pada anak-anak cacing trichuris
trichiura ini tersebar diseluruh kolon dan rectum yang kadang-kadang terlihat
terlihat dimukosa rectum yang mengalami prolapsus akibat dari mengejannya
penderita pada waktu melakukan defekasi. Cacing trichuris trichiura ini
memasukan kepalanya dalam mukosa usus hingga dapat menjadi trauma yang
menimbulkan iritasi dan dapat mengakibatkan peradangan dimukosa usus, selain
itu akibatnya dapat menimbulkan perdarahan. Selain itu juga cacing ini menghisap
darah dari hospes sehingga dapat mengakibatkan anemia. Untuk penderita
terutama pada anak-anak dengan infeksi trichuris trichiura yang berat dan
menahun menunjukan gejala-gejala diare yang dapat diselinggi dengan sindrom
disentri, anemia, nyeri ulu hati, berat badan menurun dan kadang- Kadang rektum
menonjol melewati anus (prolapsus rektum), terutama pada anak-anak atau wanita
dalam masa persalinan, selain itu juga dapat menyebabkan peradangan usus buntu
(apendisitis). Pada tahun 1976, bagian parasitologi FKUI telah melaporkan 10
anak dengan trikuriasis berat, semuanya menderita diare yang menahun selama 2-
3 tahun. Infeksi Trichuris trichiura sering di sertai denagan infeksi cacing lainnya
atau protozoa. (Irianto K, 2009).
Ascaris lumbricoides
Kebanyakan infeksi ringan tidak menimbulkan gejala. Cacing yang baru
menetas menembus mukosa usus sehingga terjadi sedikit kerusakan pada daerah
tersebut. Cacing yang tersesat, berkeliaran, dan akhirnya mati di bagian tubuh lain
seperti limpa, hati, nodus limfe, dan otak. Cacing ini juga menyebabkan
perdarahan kecil pada kapiler paru yang mereka tembus. Infeksi yang berat dapat
menyebabkan akumulasi perdarahan sehingga akan terjadi edema dan ruang-ruang
udara tersumbat. Akumulasi sel darah putih dan epitel yang mati akan
memperparah sumbatan sehingga akan terjadi Ascaris lumbricoides pneumonitis
(Loeffler’s pneumonia) yang bisa menyebabkan kematian. (Pohan HT,2009)
1.3. Epidemiologi
Trichuriasis trichiura
Untuk penyebaran infeksi ini yang paling penting merupakan kontaminasi
tanah dengan tinja. Telur cacing trichuris trichiura ini tumbuh didaerh tanah liat,
tempat yang lembab dan teduh dengan suhu rata-rata 30˚C. pada daerah yang
banyak menggunakan tinja sebagai pupuk merupakan jalur infeksi yang tepat.
Frekuensi infeksi cacing ini diindonesia sangat tinggi. Diberbagai daerah
pedesaan diindonesia frekunsi infeksinya hingga mencapai 30-90%. Didaerah
sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan cara pengobatan pada penderita
trikuriasis. Pencegahan dapat dengan cara pembuatan jamban yang baik dan
diberikan pengetahuan tentang sanitasi dan terutama kebersihan perorangan
terutama pada anak-anak, dengan mencuci tangan sebelum makan, mencuci
dengan baik sayuran yang dikonsumsi tanpa pemasakan terutama daerah yang
menggunakan tinja sebagai pupuk. (Kimball, Jhon W. 1983).
Ascaris lumbricoides
Terdapat lebih dari 1 milyar orang di dunia dengan infeksi askariasis. Infeksi
askariasis, atau disebut juga dengan cacing gelang, ditemukan di seluruh area
tropis di dunia, dan hampir di seluruh populasi dengan sanitasi yang buruk. Telur
cacing bisa didapatkan pada tanah yang terkontaminasi feses, karena itu infeksi
askariasis lebih banyak terjadi pada anak-anak yang senang memasukkan jari yang
terkena tanah ke dalam mulut. Kurangnya pemakaian jamban menimbulkan
pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di
tempat mencuci dan tempat pembuangan sampah. Telur bisa hidup hingga
bertahun-tahun pada
feses, selokan, tanah yang lembab, bahkan pada larutan formalin 10% yang
digunakan sebagai pengawet feses. Di Jakarta, angka infeksi askariasis pada tahun
2000 adalah sekitar 62,2%, dan telah mencapai 74,4%-80% pada tahun 2008 .
(Mardiana, Djarismawati,2008).
1.4. Patofisiologi
Trichuris trichiura
Cacing Trichuris pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat juga
ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing
tersebar di seluruh kolon dan rectum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rectum
yang mengalami prolapses akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi.
Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma
yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Di tempat perlekatannya
dapat terjadi perdarahan. Disamping itu cacing ini juga menghisap darah
hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia. Penderita terutama anak-anak
dengan infeksi Trichuris yang berat dan menahun, menunjukkan gejala diare yang
sering diselingi sindrom disentri, anemia, berat badan turun dan kadang-kadang
disertai prolapsus rektum. Infeksi berat Trichuris trichiura sering disertai dengan
infeksi cacing lainnya atau protozoa. Infeksi ringan biasanya tidak memberikan
gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Infeksi kronis dan sangat
berat menunjukkan gejala gejala anemia berat, Hb rendah sekali dapat mencapai 3
gr %, karena seekor cacing tiap hari menghisap darah kurang lebih 0,005 cc diare
dengan tinja mengandung sedikit darah. Sakit perut, mual, muntah serta berat
badan menurun, kadang kadang disertai prolapsus recti, mungkin disertai sakit
kepala dan demam. (Natadisastra, 2009).
Ascaris lumbricoides
Gejala klinik tergantung dari beberapa hal, antara lain beratnya infeksi, keadaan
umum penderita, daya tahan, dan kerentanan penderita terhadap infeksi cacing.
Pada infeksi biasa, penderita mengandung 10-20 ekor cacing, sering tidak ada
gejala yang dirasakan oleh hospes, baru diketahui setelah pemeriksaan tinja rutin,
atau karena cacing dewasa keluar bersama tinja. Gejala yang timbul pada penderita
disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Gangguan karena larva biasanya
terjadi pada saat
berada di paru, pada orang yang rentan terjadi pendarahan kecil di dinding
alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan batuk, demam dan
eosinofilia, pada foto thorax tampak infiltrate yang menghilang dalam waktu 3
minggu. Keadaan tersebut disebut Sindrom Loeffler. Gangguan yang disebabkan
oleh cacing dewasa biasanya ringan, kadang kadang penderita mengalami
gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.
Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorpsi sehingga
memperberat keadaan malnutrisi dan penururnan status kognitif pada anak sekolah
dasar. Efek yang serius terjadi bila cacing menggumpal dalam usus sehingga
terjadi obstruksi usus (ileus), pada keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke
saluran empedu, apendiks atau ke bronkus dan menimbulkan tindakan keadaan
gawat darurat sehingga kadang perlu tindakan operatif. ( Taniawati,2011 )
Efek tidak langsung dapat pula terjadi, waktu bermigrasi cacing dewasa
turut menempel juga di mikroorganisme lain misalnya bakteri sehingga
menimbulkan abses di tempat cacing dewasa atau larva yang disebut berada, setiap
20 cacing dewasa merampas 2,8 gram karbohidrat dan 0,7 gram protein sehingga,
terutama pada anak anak seringkali menimbulkan perut buncit, pucat, lesu, rambut
jarang berwarna merah dan kurus, apalagi jika anak sebelumnya sudah pernah
menderita under nutrisi. Gambaran ini disebabkan oleh defisiensi gizi yang juga
dapat menimbulkan keadaan anemia. (Natadisastra, 2009).
Trichuris trichiura
Telur yang keluar bersama tinja, dalam keadaan belum matang (belum
membelah), tidak infektif. Telur demikian ini perlu pematangan pada tanah selama
3- 5 minggu sampai terbentuk telur infektif yang berisi embrio di dalamnya,
dengan demikian cacing ini termasuk “Soil Transmitted Helminth” tempat tanah
berfungsi dalam pematangan telur. Manusia mendapat infeksi jika telur yang
infektif tertelan, selanjutnya di bagian proksimal usus halus telur menetas larva
keluar dan menetap selama 3-10 hari, setelah dewasa cacing akan turun ke usus
besar dan menetap dalam beberapa tahun. Waktu yang diperlukan sejak telur
infektif tertelan sampai cacing betina menghasilkan telur 30-90 hari, seperti juga
pada Ascaris lumbricoides
siklus hidup Trichuris trichiura merupakan siklus langsung karena keduanya tidak
membutuhkan tuan rumah perantara (Natadisastra, 2009).
Ascaris lumbricoides
Larva terbawa aliran darah ke hati, jantung kanan, akhirnya ke paru paru.
Untuk sampai ke paru paru, membutuhkan waktu 1-7 hari setelah infeksi.
Selanjutnya larva keluar dari kapiler darah masuk ke dalam alveolus, terus ke
broncheolus, broncus, trackhea sampai ke laring yang kemudian akan tertelan
masuk ke esophagus, ke lambung dan kembali ke usus halus untuk kemudian
menjadi dewasa, selama berada di dalam paru paru larva mengalami penyilihan
kulit kedua dan ketiga. Waktu yang diperlukan oleh larva untuk bermigrasi, mulai
dari larva menembus mukosa usus, ke paru paru dan berakhir di lumen usus 10-15
hari, sedangkan waktu yang dibutuhkan mulai berada di dalam usus yang kedua
kalinya sampai menjadi cacing dewasa yang dapat menghasilkan telur 6-10
minggu (Natadisastra, 2009).
Siklus hidup dalam tinja penderita askariasis yang membuang air tidak
pada tempatnya dapat mengandung telur askariasis yang telah dibuahi. Telur ini
akan matang dalam waktu 21 hari, jika terdapat orang lain yang memegang tanah
yang telah tercemar telur cacing ascaris dan tidak mencuci tangannya, kemudian
tanpa sengaja makan dan menelan telur cacing Ascaris, maka telur akan menjadi
larva
pada usus. Larva akan menembus usus dan masuk ke dalam pembuluh darah dan
akan beredar mengikuti system peredaran, yakni hati, jantung, dan kemudian
berhenti di paru paru (Widodo, 2013).
Trichuris trichiura
Ascaris lumbricoides
1.5. Terapi
Terapi Farmakologi
Levamisole
Pyrantel Pamoate
METODE
n = n + (10% x n)
n = 36 + (10% x 36)
n = 39,6 ≈ 40 (dibulatkan)
HASIL
Levamisole
METODE
HASIL
Pyrantel Pamoate
Soil Transmitted Helminth (STH) merupakan kelompok cacing
parasit nematoda yang menyebabkan infeksi pada manusia melalui kontak
dengan telur parasit atau larva yang tumbuh subur di tanah yang hangat
dan lembab di negara tropis dan subtropis dunia. Sebagai cacing dewasa,
cacing
yang ditularkan melalui tanah hidup dan di saluran pencernaan manusia.
Cara yang paling aman dalam menangani infeksi STH adalah memutus
lingkaran hidup cacing, yaitu dengan cara memperbaiki pengetahuan
masyarakat dan penggunaan obat cacing. World Health Organization
(WHO), World Bank dan Perserikatan BangsaBangsa (PBB) memberi
perhatian khusus untuk memperbaiki infeksi kecacingan. Pirantel pamoate
merupakan salah satu obat anti helminth yang umum digunakan di
Indonesia dan Albendazol berkerja dengan cara menghambat pembentukan
energi cacing sehingga dapat mengakibatkan kematian pada cacing.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian Pretest Posttest Control
Group Design. Jumlah sampel pada penelitian diperoleh dengan metode
total sampling. Tidak terdapat perbedaan perbandingan efektivitas antara
pemberian pirantel pamoat dan albendazol terhadap infeksi STH.
Kesimpulan : Dari penelitian ini dijumpai bahwa pemberian pirantel
pamoate dan albendazol pada infeksi STH setelah 1 minggu terdapat
penurunan telur STH, namun tidak terdapat perbedaan yang bermakna.
(Nurhasanah,2020).
METODE
HASIL
st
Hadidjaja P, Margono SS, ed. 2011. Dasar parasitologi klinik. 1 edition. Jakarta
: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
John DT, Petri WA, Markell EK, Voge M. Markell and Voge’s. 2006. medical
parasitology. Missouri: Elsevier Health Sciences. p. 262-7, 270-5,
Kimball, Jhon W. 1983. Biologi Jilid 3 Edisi ke-5. Jakarta: Erlangga. Diktat,
Mardiana, Djarismawati. 2008. Prevalensi cacing usus pada murid sekolah dasar
wajib belajar pelayanan gerakan terpadu pengentasan kemiskinan
daerah kumuh di wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan.
Pohan HT. 2009.Penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah. In : Sudoyo AW,
th
Setiyohadi B, et al, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5
edition. Jakarta: Interna Publishing. p. 2938-42.