Anda di halaman 1dari 28

BAB 1

PENDAHULUAN

Cacingan merupakan infeksi parasit berupa masuknya cacing ke dalam tubuh


manusia sehingga menimbulkan berbagai kelainan fungsi dan anatomis tubuh
manusia. Cacing yang sering menginfeksi tubuh manusia terdiri atas dua
golongan besar yaitu filum Platyhelmithes dan filum Nemathelminthes. Filum
Platyhelmithes terdiri atas dua kelas yaitu kelas Cestoda dan kelas Trematoda,
sedangkan filum Nemathelmithes terdiri dari kelas Nematoda Jaringan dan
Nematoda Usus. Dari sekian banyak jenis cacing yang dapat menginfeksi
manusia, yang paling sering adalah jenis Soil-transmitted Helminths (STHs) atau
cacing yang memerlukan tanah sebagai media berkembang menjadi bentuk
infektif, jenis ini termasuk golongan nematoda usus. Contoh STH adalah
Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus dan Ancylostoma
duodenalis.1
Lebih dari 1,5 miliar manusia atau 24% populasi di dunia pernah terinfeksi
cacing, terutama pada daerah tropis dan subtropis termasuk di Indonesia.
Sekitar 270 juta anak belum sekolah dan 600 juta anak yang sudah bersekolah
tinggal di daerah endemik cacing, sehingga memerlukan perawatan dan
pencegahan dari infeksi cacing. WHO memperkirakan 800 juta1 milyar
penduduk terinfeksi Ascaris, 700900 juta terinfeksi cacing tambang, 500 juta
terinfeksi trichuris.1 Di Indonesia penyakit cacing merupakan masalah kesehatan
masyarakat terbanyak setelah malnutrisi. Prevalensi dan intensitas tertinggi
didapatkan dikalangan anak usia sekolah dasar. Anak yang terinfeksi cacing,
selain mengalami hambatan nutrisional, juga rentan mengalami hambatan dalam
pertumbuhan fisik dan mental sehingga memerlukan perhatian lebih. Infeksi
STH terjadi pada daerah dengan sanitasi buruk sehingga menjadi media
pertumbuhan cacing yang sangat baik, hal ini terjadi bersamaan dengan tingkat
higiene yang rendah sehingga transmisi secara fekal-oral juga meningkat.2
Tingginya angka infeksi cacing terutama pada daerah endemis sudah
mendapat perhatian WHO dengan strategi pencegahan yang telah dilaksanakan
sejak tahun 2001. Sasaran pencegahan adalah anak belum sekolah (2-5 tahun),

1
anak sudah sekolah (5-14 tahun), wanita usia subur termasuk ibu hamil dan
menyusui dan orang dewasa dengan resiko pekerjaan tinggi seperti pekerja
tambang dan petani. Pencegahan dilakukan dengan cara pemberian obat anti
cacing sekali setahun apabila prevalensi infeksi cacing dalam suatu komunitas
lebih dari 20% dan dua kali setahun apabila prevalensinya lebih dari 50% tanpa
melihat diagnosa klinis. Dengan strategi pencegahan sekarang, diharapkan pada
tahun 2020 dapat mengeliminasi tingkat morbiditas akibat infeksi cacing
terutama STH. Hal ini dapat dicapai dengan memberi pengobatan reguler pada
paling tidak 75% anak di daerah endemik.1

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi Cacing
Filum cacing terbagi 2 yaitu Platyhelminthes dan Nemathelminthes.
Platyhelminthes terdiri dari kelas Cestoda atau cacing pita dan kelas Trematoda
atau cacing daun. Cestoda yang sering menyebabkan infeksi yaitu genus Taenia
spp, sedangkan trematoda yang sering menyebabkan infeksi yaitu genus
Schistosoma spp. Filum Nemathelminthes terdiri dari kelas Nematoda yang
terdiri dari nematoda usus dan nematoda jaringan. Jenis nematoda usus yang
sering menginfeksi yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator
americanus, Ancylostoma duodenal dan Enterobius vermicularis. Nematoda
jaringan menyebabkan gangguan saluran limfe atau yang sering disebut
Filariasis. Contoh nematoda jaringan adalah Wuchereria bancrofti dan Brugia
spp. Masing-masing jenis cacing memiliki daur hidup dan bermanifestasi sesuai
habitatnya pada tubuh manusia.3

3
Gambar 1. Taksonomi Helmintes3
2.2 Nematoda Usus/Soil-transmitted Helminths (STH)
Soil-transmitted helminths merupakan kelompok parasit cacing nematoda usus yang
menyebabkan infeksi pada manusia akibat tertelan telur atau melalui kontak dengan
larva yang berkembang dengan cepat pada tanah yang hangat dan basah di negara-
negara subtropis dan tropis di berbagai belahan dunia. Bentuk dewasa soil-
transmitted helminths dapat hidup selama bertahun-tahun di saluran percernaan
manusia.4
2.2.1 Ascaris lumbricoides/roundworm/cacing gelang
Ascaris lumbricoides adalah nematoda usus terbesar, dengan angka kejadian
tersering, terutama pada anak usia sekolah dikarenakan telur cacing ini tahan
terhadap cuaca panas dan kering serta sering ditemukan infeksi campuran
dengan spesies cacing lainnya. Manusia dapat terinfeksi dengan cara menelan
telur yang infektif (mengandung larva), penyakitnya disebut askariasis.4
Pencemaran tanah oleh cacing lebih sering disebabkan oleh tinja anak. Di
Indonesia, kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah
dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan di
tempat pembuangan sampah. Cara penularan pada manusia dari tangan ke mulut;
jari-jari yang terkontaminasi oleh kontak tanah. Cara lain, bahan makanan (terutama
segala sesuatu yang dimakan mentah) menjadi terinfeksi oleh pupuk manusia atau
oleh lalat.5
2.2.1.1 Morfologi dan Daur Hidup
Cacing dewasa berbentuk silinder dan berwarna merah muda. Cacing jantan
berukuran 10-30 cm, sedangkan yang betina 22-35 cm dan dapat dibedakan dari
ujung melingkar pada cacing jantan. Stadium dewasa hidup di rongga usus halus.
Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000 butir sehari; terdiri
dari telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi lalu diletakkan di lumen usus halus.
Umur cacing dewasa 1 tahun. Telur berukuran 40x60 m yang ditandai dengan

4
adanya mammilated outer coat yang terbuat dari albumin coat dan thick hyaline
shell. 4
Gambar 2. Telur Ascaris lumbricoides6

Gambar 3. Ascaris lumbricoides dewasa6


Telur yang dibuahi dalam lingkungan yang sesuai berkembang menjadi bentuk
infektif(second-stage larva) dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif

5
ini, bila tertelan oleh manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding
usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung,
kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding
pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke
trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva ini menuju ke faring,
sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan
ini dan larva akan tertelan ke dalam esofagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus
halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai
cacing
dewasa
bertelur

diperlukan waktu kurang lebih 2 bulan.

Gambar 4. Daur Hidup Ascaris Lumbricoides6


2.2.1.2 Patologi dan Gejala Klinis

6
Sebagian besar kasus tidak bergejala, namun jika menunjukkan gejala dapat
disebabkan oleh migrasi larva dan gejala intestinal oleh cacing dewasa.
Kerusakan oleh migrasi larva paling sering terjadi di paru-paru saat larva
menembus pembuluh darah untuk masuk ke dalam alveoli. Pada infeksi ringan,
trauma yang terjadi berupa pendarahan petekie, pada infeksi berat kerusakan
jaringan paru dapat terjadi dan penumpukan darah di alveoli dapat menyebabkan
edema paru. Pneumonitis Ascaris disebabkan oleh proses alergi dan patologis
yang ditandai dengan demam 39,5-400C, pernafasan cepat dan dangkal
(asmatik), batuk kering/berdahak, ronkhi/wheezing, eosinofilia, infiltrat pada
gambaran radiologi (Loeffler syndrome).4
Gejala klinis intestinal yang disebabkan cacing dewasa adalah rasa tidak
enak di perut, kolik di epigastium, anoreksia dan mencret. Pada infeksi berat,
dapat terbentuk massa berisi gumpalan cacing yang menyebabkan obstruksi usus
akut dengan gejala muntah, distensi abdomen dan kram perut.7
2.2.1.3 Diagnosa dan Tatalaksana
Cara menegakkan diagnosis penyakit adalah dengan pemeriksaan tinja secara
langsung. Adanya telur dalam tinja memastikan diagnosis askariasis. Selain itu
diagnosis dapat dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui mulut atau
hidung, maupun melalui tinja. USG dapat digunakan jika ada kecurigaan obstruksi
usus akut.7
Beberapa agen kemoterapeutik efektif melawan askariasis; namun tidak ada
yang berguna selama fase infeksi paru. Pengobatan, terutama dengan anak dengan
infeksi berat harus didekati dengan hati-hati. Pemberian Piperazin sitrat ( 150
mg/kgBB peroral dosis inisial, diikuti oleh 6 dosis masing-masing 65mg/kgBB
interval pemberian tiap 12 jam secara peroral), menyebabkan paralisis
neuromuskular parasit dan pengeluaran cacing relatif cepat, sehingga obat ini
adalah obat pilihan untuk obstruksi usus atau saluran empedu. Terapi pilihan untuk
ascariasis gastrointestinal meliputi albendazole (400 mg peroral dosis tunggal,
untuk segala usia), mebendazole (100 mg 2 kali sehari peroral selama 3 hari atau
500 mg peroral dosis tunggal untuk segala usia), atau pyrantel pamoate (11
mg/kgBB peroral dosis tunggal, maksimum 1 gram). Tindakan operatif mungkin
diperlukan pada keadaan dimana terjadi obstruksi yang berat. 4

7
2.2.2 Necator americanus dan Ancylostoma sp/hookworm/cacing tambang
Kedua parasit ini diberi nama cacing tambang karena pada zaman dahulu cacing
ini ditemukan di Eropa pada pekerja pertambangan, yang belum mempunyai
fasilitas memadai5. Penyebaran cacing ini di seluruh daerah khatulistiwa dan di
tempat lain dengan keadaan yang sesuai, misalnya di daerah pertambangan dan
perkebunan. Prevalensi di Indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan. Infeksi N.
Americanus lebih luas penyebarannya dibandingkan A. Duodenale, dan spesies ini
juga merupakan penyebab utama infeksi cacing tambang di Indonesia. Manusia
adalah hospes parasit ini dan penyakitnya disebut necatoriasis dan ankilostomiasis. 5
2.2.2.1 Morfologi dan Daur Hidup
Cacing dewasa berbentuk silindris seperti bentuk C dan berukuran kecil. Untuk
membedakan spesies cacing tambang menggunakan jenis dan susunan gigi pada
cacing dewasa. Terdapat 2 stadium larva yaitu larva rhabditiform yang tidak infektif
dan larva filariform yang infektif. Penularannya melalui kontak dengan tanah lalu
larva infektif akan menembus kulit manusia. Cacing betina N. americanus dapat
memproduksi 10.000 telur sehari dan A. duodenale memproduksi 20.000 telur
sehari. Telur cacing tambang terdiri dari satu lapis dinding yang tipis dan ada
ruangan yang jelas antara dinding dan sel dalamnya. 4

8
Gambar 5. Telur dan Larva Cacing Tambang6

Gambar 6. Cacing Tambang dewasa6


Infeksi oleh cacing tambang dimulai saat larva filariform menembus kulit
manusia dan masuk ke sirkulasi vena hingga sampai ke alveoli. Setelah itu, larva
bermigrasi ke saluran nafas atas lalu tertelan, turun ke esofagus dan menjadi
dewasa di usus halus. Selain menembus kulit, larva filariform dapat juga tertelan
larva sehingga tidak mengalami siklus di paru, selanjutnya larva bisa menetap
pada saluran cerna atau bermigrasi ke organ lain. Pada Necator americanus,
infeksi kulit lebih sering terjadi sedangkan pada Ancylostoma duodenale lebih
sering infeksi melalui larva yang tertelan.7 Setelah mengalami perkembangan
menjadi dewasa, dengan giginya, cacing tambang menempel pada mukosa usus
halus dan menetap selama 1-5 tahun sambil memproduksi telur yang akan
dikeluarkan kembali melalui feses. Dalam kondisi lembab dan temperatur
optimal, telur akan menetas dalam 1-2 hari dan menghasilkan larva
rhabditiform. Setelah 2 kali mengalami perubahan, maka akan terbentuk larva
infektif.6

9
Gambar 7. Daur Hidup Cacing Tambang6
Selain daur hidup ini, jenis cacing tambang tertentu seperti Ancylostoma
braziliense dan A. caninum merupakan parasit zoonotik dimana anjing dan
kucing menjadi hospes definitifmya, sehingga ketika larva filariform
menginfeksi manusia, larva akan tertahan dalam batas antara epidermis-dermis
dan bermigrasi 1-2 cm/hari karena tidak dapat menjadi dewasa pada manusia.
Penyakit ini disebut Cutaneus Larva Migrans (creeping eruption).7

Gambar 8. Daur Hidup Cutaneus Larva Migrans6

10
2.2.2.2 Patologi dan Gejala Klinis
Gejala yang timbul muncul karena migrasi larva dan manifestasi intestinal oleh
cacing dewasa. Larva filariform yang menembus kulit manusia dapat
menimbulkan ground itch yang gatal pada kulit. Cutaneus larva migrans
memiliki karakteristik lesi kulit serpiginosa, eritem, terkadang terbentuk bulla
dan rentan menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri. Migrasi larva ke paru-
paru dapat menyebabkan pneumonitis meski tidak separah infeksi Ascaris
lumbricoides.4
Cacing dewasa umumnya tinggak di sepertiga bagian atas usus halus dan
melekat dengan mukosa usus. Gejala intestinal yang sering muncul adalah
anoreksia, mual, muntah, diare, penurunan berat badan dan nyeri perut. Karena
cacing dewasa menempel pada mukosa dengan giginya, dapat menyebabkan
ruptur pembuluh darah kapiler pada lamina propria dan terjadi ekstravasasi
darah. Pada infeksi yang berat dapat menyebabkan anemia defisiensi besi karena
kehilangan darah dan edema anasarka akibat hipoalbuminemia yang disebabkan
oleh malnutrisi protein. Selain itu, dapat muncul chlorosis yaitu pucat kuning
kehijauan akibat infeksi kronik cacing tambang.7
2.2.2.3 Diagnosa dan Tatalaksana
Pemeriksaan penunjang pada cacing tambang dewasa dilakukan untuk menemukan
telur cacing dan atau cacing dewasa pada pemeriksaan feses. Pemeriksaan feses
basah dengan fiksasi formalin 10% dilakukan secara langsung dengan mikroskop
cahaya. Tanda-tanda anemia defisiensi besi yang sering dijumpai adalah anemia
mikrositik hipokrom, kadar besi serum yang rendah, kadar total iron binding
capacity yang tinggi.8
Pengobatan creeping eruption dengan krioterapi liquid nitrogen, tiabendazol
topikal selama 1 minggu. Selain itu bisa dengan diberikan albendazol 400 mg
selama 5 hari. Untuk pengobatan cacing dewasa, digunakan pirantel-pamoat dosis
tunggal 10 mg/kgBB pada pagi hari lalu diikuti dengan pemberian mebendazol 100
mg 2 kali sehari selama 3 hari berturut-turut. 4

11
2.2.3 Trichuris trichiura/whipworm/cacing cambuk
Cacing ini bersifat kosmopolit; terutama ditemukan di daerah panas dan lembab,
dan juga di daerah-daerah dengan sanitasi yang buruk, cacing ini jarang dijumpai di
daerah yang gersang, sangat panas atau sangat dingin. Cacing ini merupakan
penyebab infeksi cacing kedua terbanyak pada manusia di daerah tropis. Angka
infeksi tertinggi pada anak terjadi pada usia 5-15 tahun. 8 Penularan terjadi jika
tertelan telur infektif melalui kontaminasi tangan, makanan (sayur atau buah yang
dipupuki dengan pupuk kotoran manusia) atau minuman. Transmisi juga dapat
terjadi secara langsung melalui lalat atau serangga lain. Manusia merupakan hospes
cacing ini. Penyakit yang disebabkannya disebut trikuriasis .4
2.2.3.1 Morfologi dan Daur Hidup
Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm.
Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang
seluruh tubuh. Cacing dewasa ini hidup di kolon asendens dan caecum dengan
bagian anteriornya (spikulum) yang seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus.
Di tempat itulah cacing mengambil makanannya. Seekor cacing betina diperkirakan
menghasilkan telur setiap hari antara 3.000-10.000 butir. 5
Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan
dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Telur yang dibuahi
dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu
3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan
tempat yang teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk
infektif. Di dalam tanah, memerlukan sekurang-kurangnya 3 - 4 minggu untuk
menjadi embrio.4

12
Gambar 9. Telur dan Cacing Dewasa Trichuris trichiura6
Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes menelan telur matang.
Larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus.di dalam usus
dapat menetap selama 3-10 hari. Sesudah menjadi dewasa cacing turun ke bagian
distal dan masuk ke daerah kolon, terutama caecum. Jadi cacing ini tidak
mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai
cacing dewasa betina meletakkan telur kira-kira 30-90 hari. 7

Gambar 10. Daur Hidup Trichuris trichiura6


2.2.3.2 Patologi dan Gejala Klinis
Pada infeksi berat anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-
kadang terlihat di mucosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya
penderita pada waktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam
mukosa usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan
mukosa usus. Pada tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Disamping itu
cacing ini ini mengisap darah hospesnya, namun tidak signifikan. Pendeita terutama
anak dengan infeksi trichuris yang berat dan menahun, memunjukkan gejala-gejala
nyata seperti diare yang sering diselingi dengan sindrom disentri, anemia, berat
badan turun, hipoproteinemia dan kadang-kadang disertai prolapsus rekti. 4

13
2.2.3.3 Diagnosis dan Tatalaksana
Diagnosis dibuat dengan menemukan telur ataupun cacing dewasa di dalam tinja.
Mebendazol 100 mg dua kali sehari selama 3 hari atau dosis tunggal 500 mg untuk
segala usia adalah obat yang aman dan efektif , obat ini mengurangi pengeluaran
telur sekitar 90-99% dan angka kesembuhannya mencapai 70-90%.
Obat alternatif yang digunakan yaitu Albendazol dosis tunggal 400 mg peroral
untuk segala usia atau 400 mg peroral perhari selama 3 hari. 4
2.2.4 Oxyuris vermicularis/pinworm/cacing kremi
Parasit ini kosmopolit tetapi lebih banyak ditemukan di daerah dingin daripada di
daerah panas. Prevalensi infeksi ini paling tinggi terjadi pada anak antara umur 5-14
tahun. Pada umumnya berada di sekitar tempat tinggal, tempat bermain anak atau
pada anak yang tidur secara bersama-sama, hal-hal tersebut dapat memfasilitasi
transmisi telur cacing. Manusia dapat terinfeksi bila tertelan telur infektif yang
terbawa oleh baju, kuku, debu dan baju. Autoinokulasi dapat terjadi pada individu
yang memiliki kebiasaan memasukkan atau mengisap-isap jari . Manusia adalah
satu-satunya hospes dan penyakitnya disebut enterobiasis atau oksiuriasis.
2.2.4.1 Morfologi dan Daur Hidup
Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm dengan ekor yang runcing. Cacing
jantan berukuran 2 5 mm. Habitat cacing dewasa biasanya di rongga caecum, usus
besar dan di usus halus yang berdekatan dengan rongga caecum. Makanannya
adalah isi dari usus. Cacing betina yang gravid mengandung 11.000-15.000 butir
telur, bermigrasi ke daerah perianal untuk bertelur dengan cara kontraksi uterus
dan vaginanya.4 Telur berbentuk ovoid dan pada salah satu sisinya datar
sehingga berbentuk seperti sampan/bola tangan. Telur-telur jarang dikeluarkan
di usus sehingga jarang ditemukan di dalam tinja. Telur menjadi matang dalam
waktu kira-kira 6 jam setelah dikeluarkan, pada suhu badan. Telur resisten
terhadap desifektan dan udara dingin, dalam keadaan lembab telur dapat hidup
sampai 13 hari.6

14
Gambar 11. Cacing dewasa dan Telur Oxyuris vermicularis6
Setelah telur infektif tertelan, telur akan pecah dan menjadi larva di usus
halus. Lalu larva akan menjadi dewasa di kolon. Secara umum, terdapat
beberapa cara terjadinya infeksi cacing ini, pertama melalui autoinokulasi dan
dapat terjadi retroinfeksi yaitu ketika telur pecah menjadi larva di daerah
perianal lalu kembali ke rektum.7

Gambar 12. Daur Hidup O. vermicularis6


2.2.4.2 Patologi dan Gejala Klinis
Enterobiasis relatif tidak berbahaya, jarang menimbulkan lesi yang berarti.
Gejala klinis yang menonjol disebabkan oleh stimulasi mekanik dan iritasi di
sekitar anus, perineum dan vagina oleh cacing betina gravid yang bermigrasi ke
daerah tersebut lalu menyebabkan pruritus lokal dan gangguan tidur.7
2.2.4.3 Diagnosa dan Tatalaksana
Infeksi cacing sering diduga pada anak yang menunjukkan rasa gatal di sekitar
anus pada waktu malam hari. Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dan

15
cacing dewasa. Telur cacing dapat diambil dengan mudah dengan alat anal swab
yang ditempelkan di sekitar anus pada waktu pagi hari sebelum anak buang air
besar atau membilas setelah buang air besar. Untuk menemukan cacing dewasa
dapat dengan cara melihat anus anak pada malam hari.8
Obat antihelmintik sebaiknya diberikan kepada individual yang terinfeksi
juga kepada seluruh anggota keluarganya. Dosis tunggal mebendazol (100 mg
peroral untuk segala usia) diberikan, lalu diulang pada 2 minggu. Regimen
alternatif lainnya yaitu albendazol dosis tunggal (400 mg peroral untuk segala
usia) diulang kembali setelah 2 minggu atau pirantel pamoat (11 mg/kgBB
peroral) dosis tunggal.4
2.3 Nematoda Jaringan/lymphatic filariasis
Nematoda jaringan atau nama lainnya parasit filaria merupakan cacing yang
hidup di dalam jaringan dalam waktu yang lama dan secara teratur
menghasilkan mikrofilaria.4 Manifestasi klinis biasanya terjadi bertahun-tahun
setelah terinfeksi, sehingga penyakit ini jarang ditemui pada anak. Meski
diketahui lebih dari 200 spesies parasit filaria, hanya sedikit yang menginfeksi
manusia antara lain Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori.
Cacing dewasa tinggal di sistem limfatik manusia dan melakukan transmisi
melalui nyamuk yaitu Aedes aegypti.8
2.3.1 Morfologi dan Daur Hidup
Cacing dewasa berbentuk seperti benang dan berwarna putih kekuningan. Betina
berukuran panjang 65-100mm, ekor lurus berujung tumpul dan jantan berukuran
40mm, ekor melingkar mempunyai 2 spikula. Wuchereria bancrofti memiliki
ukuran lebih besar dari genus Brugia. Mikrofilaria 3 spesies ini sering digunakan
untuk menetapkan diagnosa dengan ciri khas bersarung dan dapat dibedakan
dari perbandingan panjang lebar ruang kepala, inti di badan dan ekor.9

16
Gambar 13. Mikrofilaria dan Nyamuk Aedes aegypti6
Larva infektif masuk ke dalam tubuh manusia melalui nyamuk saat
menggigit manusia. Lalu larva akan melakukan migrasi ke saluran dan kelenjar
limfe dan bertumbuh menjadi dewasa yang menghasilkan mikrofilaria yang
beredar di sirkulasi darah. Saat nyamuk menggigit manusia lagi, mikrofilaria
akan terhisap dan berkembang menjadi larva filariform infektif (Larva III)
selama 1 minggu dalam tubuh nyamuk.6

Gambar 14. Daur Hidup Wuchereria bancrofti6


2.3.2 Patologi dan Gejala Klinis
Infeksi filaria pada manusia memiliki perbedaan gejala. Asymptomatic
amicrofilaremia adalah suatu keadaan yang terjadi apabila seorang yang
terinfeksi mengandung cacing dewasa, tetapi tidak ditemukan mikrofilaria
dalam darah. Sedangkan asymptomatic microfilaremia adalah ditemukan
mikrofilaremia yang berat namun tidak bergejala sama sekali. Sedangkan dari
manifestasi klinis dapat dibagi menjadi manifestasi akut dan kronik. Pada
manifestasi akut terjadi demam tinggi hingga menggigil, limfangitis (radang
saluran limfe) dan limfadenitis (radang kelenjar limfe) yang berlangsung 3-15
hari dan dapat berulang dalam setahun.4 Hal ini disebabkan oleh respon
imflamasi akut dari cacing dewasa yang mati. Karena limfangitis akan meluas
ke daerah distal maka limfadenitis dan limfangitis berkembang lebih sering di
ekstremitas bawah.7

17
Pada manifestasi kronik, infeksi terjadi beberapa bulan hingga bertahun-
tahun sehingga muncul penyakit obstruksi kronik yang disebabkan oleh
berkurangnya fungsi saluran limfe.4 Karena sistem limfe berfungsi untuk
menampung kelebihan cairan dan berperan dalam sistem imun, gangguan pada
sistem ini menyebabkan limfedema dan mudah terjadi infeksi bakteri sekunder.
Infeksi bakteri sekunder dapat menyebabkan pengerasan dan penebalan kulit
karena itu disebut elefantiasis (kaki gajah).6 Selain elefantiasis, chyluria dapat
terjadi apabila terdapat kenaikan tekanan pada saluran limfe renal yang
mengalami sumbatan sehingga pecah dan menyebabkan cairan limfe masuk ke
dalam traktus urinarius. Chyluria sering terlihat pada pagi hari dan bersifat
intermiten. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada orang yang tinggal di daerah
endemik dalam waktu yang lama karena tidak terjadi multiplikasi cacing filaria
pada manusia sehingga banyaknya cacing dan beratnya infeksi bergantung pada
banyaknya larva yang infektif dan transmisi yang berulang.8
Filariasis bancrofti lebih sering menyerang paha dan dapat menyebabkan
hydrocele, sedangkan filariasis brugia hanya mengenai ekstremitas bawah saja.
Filariasis brugia memiliki gejala yang lebih dramatis dan destruktif
dibandingkan filariasis bancrofti yaitu terjadi episode demam 5-15 hari,
adenolymphangitis, abses kelenjar limfe dan adanya skar.7 Gejala klinis klasik
ini biasanya terbatas pada satu kelenjar limfe dan sering pada daerah inguinal
atau aksila. Penyakit urogenital dan chyluria tidak pernah terjadi. Secara klinis
B. timori dibedakan dengan B. malayi dengan adanya kantong air (water-bag)
pada lesi dan fisura pada pergelangan kaki penderita B. timori.4
Pada umumnya, mikrofilaria dalam tubuh manusia tidak bergejala kecuali
pada Tropical Pulmonary Eosinophilia (TPE). Pada TPE, mikrofilaria tidak
ditemukan di sirkulasi namun pada paru-paru dan kelenjar limfe. Hal ini dapat
terjadi pada orang yang tinggal di daerah dengan endemisitas tinggi. Gejala yang
muncul adalah batuk malam hari hingga sesak, demam, penurunan berat badan
dan kelelahan. Pada auskultasi bisa terdapat ronkhi dan pada pemeriksaan
rontgen dapat terjadi peningkatan corak bronkovaskular. Diagnosis ditegakkan
dengan penderita tinggal di daerah endemik, eosinofilia >2000/l, gejala klinis

18
sesuai, peningkatan serum IgE >1000IU/mL dan tingginya titer antibodi
antimikofilaria tapi tidak ditemukan mikrofilaria di darah.7
2.3.3 Diagnosa dan Tatalaksana
Diagnosis ditegakkan apabila menemukan mikrofilaria di darah tepi dengan
pewarnaan Giemsa pada malam hari pukul 22.00-02.00 pagi. Cacing dewasa
dapat ditemukan dengan cara biopsi kelenjar limfe maupun menggunakan
ultrasonografi. Apabila tidak ditemukan mikrofilaria, dapat dilakukan
pemeriksaan antigen parasit di serum tubuh pasien.8
Untuk pengobatan dapat menggunakan dietilkarbamasin (DEC) dengan
dosis 6mg/kgBB/oral selama 10-14 hari sangat efektif untuk membunuh
mikrofilaria dan sebagian cacing. Obat lain yang juga aktif terhadap mikrofilaria
adalah albendazol dosis tunggal 400 mg. Untuk TPE dapat menggunakan DEC
2mg/kgBB/oral selama 12-21 hari.4
2.4 Cestoda/tapeworm/cacing pita
Cacing pita adalah bentuk dewasa dari cestoda yang berbentuk datar bersegmen
dan jarang menyebabkan gejala klinis yang berarti. Namun bentuk larva dari
cestoda justru menyebabkan dampak yang berarti. Cacing pita disebabkan oleh
konsumsi daging sapi atau babi yang tidak matang, adapun cacing pita yang
memiliki hospes sapi disebut Taenia saginata, sedangkan cacing pita yang
memiliki hospes babi disebut Taenia solium. Selain Taenia sp, masih banyak
jenis cestoda yang dapat menginfeksi manusia, namun infeksi Taenia sp
merupakan cestoda yang paling sering terjadi di Asia Tenggara termasuk
Indonesia.4
2.4.1 Morfologi dan Daur Hidup
Cacing dewasa berukuran 4-10m yang terdiri dari 1000-2000 proglotid/segmen
dan memiliki skoleks untuk menempel pada dinding usus. Pada Taenia saginata,
skoleksnya hanya memiliki 4 batil hisap sedangkan pada Taenia solium
dilengkapi dengan 2 baris kait/rostelum. Pertumbuhan cacing dewasa selalu
terjadi di bagian paling distal yaitu dengan bertambahnya proglotid dan segmen
matang terakhir mengandung 50.000-100.000 telur. Selain skoleks, proglotid
gravid kerap diidentifikasi untuk membedakan jenis Taenia sp karena telur

19
kedua spesies tidak bisa dibedakan.9 Proglotid gravid Taenia solium terlihat
lebih jarang dan percabangan uterusnya lebih gemuk dibandingkan Taenia
saginata. Telur Taenia sp berukuran 35x30m dengan dinding embriofor
bergaris radier. Telur Taenia solium bersifat polyxen, yang artinya selain babi,
manusia juga dapat berperan sebagai hospes. Sedangkan telur Taenia saginata
bersifat monoxen yaitu hanya sapi yang berperan sebagai hospes. Karena itu
hanya larva Taenia solium yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia.7

Gambar 15. Skoleks dan Cacing Dewasa Taenia sp6

20
Gambar 16. Proglotid Gravid dan telur Taenia sp6
Infeksi cacing dewasa terjadi apabila manusia mengonsumsi daging
mentah/setengah matang yang berisi kista yang mengandung larva Taenia sp. Di
lambung, larva akan menetas menjadi bentuk skoleks yang imatur lalu
menempel pada dinding usus halus dan mengalami pertumbuhan segmen ke arah
distal. Infeksi cacing dewasa ini disebut Taeniasis. Permukaan proglotid
berperan untuk mengabsorbsi nutrisi dari usus halus anak. Setelah proglotid
matur menghasilkan telur, maka telur akan keluar bersama dengan feses,
seringkali proglotid gravid juga keluar bersama telur. Selanjutnya apabila
sapi/babi mengonsumsi rumput yang terinfeksi telur/proglotid gravid maka
sapi/babi tersebut akan terinfeksi dan telur akan pecah menjadi larva, lalu larva
akan membentuk kista pada otot sapi/babi. Apabila higiene buruk, maka telur
dapat menginfeksi secara fekal-oral lalu larva menginvasi usus dan bermigrasi
ke organ lain terutama otot melalui sirkulasi darah dimana mereka akan
membentuk kista jaringan yang berisi skoleks. Penyakit ini disebut
sistiserkosis/visceral larva migrans, apabila menyerang sistem saraf disebut
neurosistiserkosis.7

21
Gambar 17. Daur Hidup Taenia sp6
2.4.2 Patologi dan Gejala Klinis
Manifestasi klinis Taeniasis adalah gejala abdomen nonspesifik yang tidak
mengancam nyawa seperti rasa tidak enak di perut, diare menetap atau selang-
seling dengan konstipasi, anoreksia, penurunan nafsu makan kecuali pada
infeksi berat atau kronis dapat menyebabkan malnutrisi pada anak. 4 Sedangkan
pada Sistiserkosis, gejala klinik bergantung pada organ yang terkena. Pada
neurosistiserkosis, gejala utama yang sering muncul adalah kejang, hidrosefalus
karena penyumbatan cairan serebrospinalis, gangguan ketajaman penglihatan
apabila terkena saraf optikus (ocular neurocysticercosis). Kista pada otot dapat
bermanifestasi seperti nodul subkutan dan biasanya akan mengalami
resolusi/kalsifikasi dalam hitungan tahun.7
2.4.3 Diagnosa dan Tatalaksana
Untuk menegakkan diagnosa Taeniasis biasa dilakukan pemeriksaan tinja
dengan identifikasi proglotid matur yang terlepas atau skoleks jika cacing
terlepas sepenuhnya.4 Untuk menegakkan diagnosa neurosistiserkosis diperlukan
beberapa kriteria seperti pasien berasal dari daerah endemik, dengan
pemeriksaan MRI ditemukan lesi soliter bulat berukuran <2cm, tidak memiliki
gejala dari penyakit lain seperti demam maupun pembesaran kelenjar getah
bening, tidak ada gejala fokal dan tidak ada peningkatan tekanan intrakranial.
Untuk menegakkan diagnosa kista jaringan otot dapat dilakukan biopsi.7
Pengobatan taeniasis dapat menggunakan praziquantel 150mg dosis
tunggal. Sedangkan untuk sistiserkosis dapat menggunakan albendazol
15mg/kgBB/PO dibagi menjadi 2 dosis.7 Setelah penggunaan obat antiparasit
sering muncul perburukan disebabkan oleh respon imun terhadap parasit yang
mati, karena itu sering diberikan kortikosteroid yaitu dexamethason oral
0,15mg/kgBB/oral sebelum mulai obat antiparasit dan dilanjutkan selama
kurang lebih 2 minggu sebelum diturunkan dosisnya perlahan-lahan.7
2.5 Trematoda/flukes/cacing daun
Trematoda adalah cacing yang hidup di air dan memiliki hospes pada organisme
air. Schistosoma adalah trematoda yang menginfeksi dan hidup di pembuluh

22
darah manusia. Tiga spesies schistosoma yang menginfeksi manusia yaitu
Schistosoma japonicum, haematobium dan mansoni. Dari ketiganya,
Schistosoma japonicum yang paling banyak terdapat di Indonesia. Karena
schistosoma hidup dan berkembang di air maka penularannya pada manusia
yang berenang di air yang terdapat serkaria (bentuk infektif) dari schistosoma. 4
Masing-masing memiliki letak anatomis khas di tubuh manusia untuk hidup
setelah menjadi bentuk dewasa. Schistosoma japonicum tinggal di vena
mesenterika superior, Schistosoma mansoni tinggal di vena mesenterika inferior
dan Schistosoma haematobium tinggal di pleksus vena periureteral dan
perivesikal.7
2.5.1 Morfologi dan Daur Hidup
Cacing dewasa jantan berukuran 1-1,5cm, gemuk, memiliki testis, memiliki batil
isap mulut dan perut dan canalis gynaecophorus tempat betina menempel.
Cacing jantan secara morfologi dapat dibedakan dari integumennya,
Schistosoma japonicum berintegumen halus, Schistosoma haematobium
berintegumen menonjol (tuberculated) halus dan Schistosoma mansoni
berintegumen menonjol kasar. Cacing betina tinggal dalam canalis
gynaecophorus cacing jantan, langsing, lebih panjang dari cacing jantan dan

memiliki ovarium di bagian tengah. Selain dibedakan dari cacing jantan, spesies
schistosoma juga dapat dibedakan dari letak dan bentuk duri pada telurnya.
Telur Schistosoma japonicum memiliki duri kecil di ujung lateral, telur
Schistosoma haematobium memiliki duri di ujung terminal dan Schistosoma
mansoni memiliki duri besar di ujung lateral.9

23
Gambar 18. Telur dan Cacing Dewasa Schistosoma sp6
Manusia terinfeksi oleh serkaria yang terdapat di air dengan cara penetrasi
kulit manusia yang intak, bermigrasi ke vena portal hingga dewasa. Cacing
dewasa jantan dan betina menyatu lalu bermigrasi ke vena spesifik dan
menghasilkan telur berisi mirasidium di vena tersebut.4 Karena telur
schistosoma dapat menimbulkan respon imun granulomatosa yang dapat
menyebabkan ulserasi jaringan maka telur tersebut dapat mencapat lumen usus
maupun tratus urinarius dan dikeluarkan melalui organ yang bersangkutan. Telur
schistosoma akan pecah jika mencapai air dan berubah menjadi mirasidium yang
motil untuk mencari siput spesifik sebagai hospes perantaranya. Di dalam siput,
mirasidium akan melakukan pembelahan diri secara aseksual menjadi
sporokista. Selanjutnya, serkaria infektif dikeluarkan oleh siput untuk
menginfeksi manusia yang berenang di air yang terkontaminasi.7

24
Gambar 19. Daur Hidup Schistosoma sp6
2.5.2 Patologi dan Gejala Klinis
Schistosoma memiliki manifestasi akut dan kronik, keduanya disebabkan oleh
sistem imun. Pada manifestasi akut, atau sering disebut demam siput/demam
Katayama, mirip seperti serum-sickness syndrome yaitu demam hingga
menggigil, batuk, nyeri perut, limfadenopati, hepatosplenomegali dan
eosinofilia. Hal ini disebabkan oleh adanya kompleks imun karena adanya onset
awal infeksi dan peletakkan telur oleh cacing dewasa. Manifestasi akut lebih
sering terjadi pada infeksi primer pada daerah endemis. Sedangkan dampak pada
manusia terjadi lebih berat saat manifestasi kronik karena adanya retensi telur
pada jaringan manusia dimana telur-telur dapat terjebak di tempat deposisi
maupun terbawa oleh sirkulasi ke organ lain terutama pada hepar, paru-paru dan
sistem saraf pusat. Telur yang terjebak pada tempat deposisi tersebut
menimbulkan cell-mediated immune response sehingga terbentuklah granuloma
yang terdiri dari limfosit, makrofag dan eosinofil di sekitar telur-telur tersebut
sehingga meningkatkan derajat destruksi jaringan.7
Granuloma oleh telur Schistosoma haematobium bermanifestasi seperti
hematuria, dysuria dan obstruksi. Sedangkan telur Schistosoma japonicum dan
mansoni menyebabkan ulserasi dan fibrosis pada dinding usus,

25
hepatosplenomegali dan hipertensi portal. Secara sistemik, didapatkan
peningkatan sitokin pro-inflamasi seperti TNF-, IL-6 dan peningkatan CRP.
Respon inflamasi ini berkaitan dengan inhibisi oleh hepcidin terhadap absorbsi
dan penggunaan besi sehingga menyebabkan anemia oleh penyakit kronik.
Gejala klinis berat hanya terjadi pada orang yang mengalami infeksi berat secara
kuantitas. Selain gejala yang disebabkan oleh cacing dewasa dan telur, terdapat
kelainan kulit yang terjadi saat serkaria menembus kulit yaitu swimmers
itch/cercarial dermatitis berupa ruam papular yang gatal.7
2.5.3 Diagnosa dan Tatalaksana
Menegakkan diagnosis dengan cara menemukan telur di urin atau feses sesuai
letak spesifik dari spesies masing-masing. Untuk mengetahui berat infeksi, harus
dilakukan pemeriksaan secara kuantitatif. Untuk spesimen urin, diperlukan
10mL urin yang dikumpulkan pada waktu tengah hari karena merupakan waktu
pengeluaran telur paling banyak lalu diperiksa secara mikroskopik. Untuk
spesimen feses, dilakukan prosedur Kato-Katz yaitu hapusan tebal feses.7
Terapi yang direkomendasi adalah praziquantel 40mg/kgBB/hari dibagi
menjadi 2 dosis secara per oral diberikan 1 hari untuk Schistosoma
haematobium dan mansoni. Sedangkan untuk Schistosoma japonicum diberikan
60mg/kgBB/hari dibagi menjadi 3 dosis secara per oral diberikan 1 hari.7

26
BAB 3
KESIMPULAN
Infeksi cacing merupakan salah satu penyebab penyakit kronis pada anak
tersering di Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia merupakan salah satu
negara tropis sehingga dengan cuaca dan kelembapan yang tepat membantu
perkembangan cacing sehingga berkembang menjadi daerah yang endemis.
Penyakit ini termasuk dalam Neglected Tropical Diseases (NTDs) dimana
tingkat sosioekonomi juga mempengaruhi perkembangan penyakit ini, termasuk
Indonesia yang masih termasuk dalam negara berkembang.
Dari beberapa jenis cacing yang ada, Soil-transmitted helminths (STHs)
merupakan jenis tersering yang menyebabkan infeksi cacing di Indonesia.
Gejala infeksi cacing tersering terdapat pada saluran cerna meskipun beberapa
jenis cacing cenderung menginfeksi organ yang lain. Selain itu, dalam setiap
stadium perkembangan cacing baik telur, larva maupun cacing dewasa dapat
menimbulkan manifestasi klinis yang khas sesuai spesiesnya. Dalam
menetapkan diagnosa, diperlukan pemeriksaan penunjang yang sesuai karena itu
perlu dipahami lebih dalam tentang daur hidup masing-masing cacing sehingga
dapat menetapkan pemeriksaan penunjang yang tepat.
Pengobatan dengan antiparasit di Indonesia telah berkembang dengan cukup
baik sehingga prognosis infeksi cacing adalah bonam. Namun, karena faktor
predisposisi yang tinggi di Indonesia seperti lingkungan, cuaca dan tingkat
sosioekonomi maka pencegahan terhadap penyakit cacing yang perlu
ditingkatkan terutama yaitu menjaga sanitasi diri sendiri dan lingkungan,
mencuci dan memasak bahan makanan dengan baik dan pencegahan dengan
antiparasit untuk daerah yang endemis.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Media centre : Soil-transmitted Helminths


infection. Januari 2017. Available from :
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs366/en/
2. Dunn J.C, Turner H.C, Tun Aung. BioMed Central : Epidemiological
surveys of and research on, soil transmitted helminths in Southeast Asia, a
systematic review. 2016, January 27. Available from :
https://parasitesandvectors.biomedcentral.com/articles/10.1186/s13071-
016-1310-2
3. Castro GA. Helminths : Structure, Classification, Growth and
Development. Medical Microbiology, 4th edition, chapter 86.
4. Soedarmo SP, Garna H, Irawan H. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis.
Ikatan Dokter Anak Indonesian 2nd edition. Jakarta : Badan Penerbit IDAI;
2008.
5. Dewi S. Soil transmitted helmints. 2010. Tersedia dari: URL:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16639/4/chapter%20II.pdf.
[Diunduh 03 Januari 2012] .
6. Anonim. Laboratory identification of parasites of public health concern. 2011.
Parasite image library. Tersedia dari: URL:
http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Image_Library.htm. [Diunduh 16 januari
2012]
7. Dent AE, Kazura JW. Helminthic disease. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, Stanton. (Penyunting) Nelson textbook of pediatrics, 18th ed.
Philadelphia: WB Saunders company; 2007. Part XVI section 16.
8. Margono SS, Alisah S. Nematoda usus. Dalam: Gandahusada S, Ilahude H,
Pribadi W. (Penyunting) Parasitologi kedokteran. Jakarta: Gaya baru; 2006.
9. Purnomo, Gunawan J, Magdalena J. Atlas Helmintologi Kedoteran. Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama; 2009.

28

Anda mungkin juga menyukai