PENDAHULUAN
Infeksi cacing usus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang
termasuk Indonesia. Dikatakan pula bahwa masyarakat pedesaan atau daerah perkotaan yang sangat
padat dan kumuh merupakan sasaran yang mudah terkena infeksi cacing (Moersintowarti, 1992).
Salah satu penyebab infeksi cacing usus adalah Ascaris lumbricoides atau lebih dikenal dengan
cacing gelang yang penularannya dengan perantaraan tanah (“Soil Transmited Helminths”). Infeksi
yang disebabkan oleh cacing ini disebut Ascariasis.
Ascaris lumbricoides merupakan cacing bulat besar yang biasanya bersarang dalam usus
halus. Adanya cacing didalam usus penderita akan mengadakan gangguan keseimbangan fisiologi
yang normal dalam usus, mengadakan iritasi setempat sehingga mengganggu gerakan peristaltik dan
penyerapan makanan.
Cacing ini merupakan parasit yang kosmopolit yaitu tersebar diseluruh dunia, lebih banyak di
temukan di daerah beriklim panas dan lembab. Di beberapa daerah tropik derajat infeksi dapat
mencapai 100% dari penduduk. Pada umumnya lebih banyak ditemukan pada anak-anak berusia 5 –
10 tahun sebagai host (penjamu) yang juga menunjukkan beban cacing yang lebih tinggi (Haryanti, E,
1993).
Cacing dapat mempertahankan posisinya didalam usus halus karena aktivitas otot-otot ini. Jika
otot-otot somatik di lumpuhkan dengan obat-obat antelmintik, cacing akan dikeluarkan dengan
pergerakan peristaltik normal.
Tantular, K (1980) yang dikutip oleh Moersintowarti. (1992) mengemukakan bahwa 20 ekor
cacing Ascaris lumbricoides dewasa didalam usus manusia mampu mengkonsumsi hidrat arang
sebanyak 2,8 gram dan 0,7 gram protein setiap hari. Dari hal tersebut dapat diperkirakan besarnya
kerugian yang disebabkan oleh infestasi cacing dalam jumlah yang cukup banyak sehingga
menimbulkan keadaan kurang gizi (malnutrisi).
2. ASCARIS LUMBRICOIDES
2.1. Morfologi
Cacing betina dewasa mempunyai bentuk tubuh posterior yang membulat (conical), berwarna
putih kemerah-merahan dan mempunyai ekor lurus tidak melengkung. Cacing betina mempunyai
panjang 22 - 35 cm dan memiliki lebar 3 - 6 mm. Sementara cacing jantan dewasa mempunyai
ukuran lebih kecil, dengan panjangnya 12 - 13 cm dan lebarnya 2 - 4 mm, juga mempunyai warna
yang sama dengan cacing betina, tetapi mempunyai ekor yang melengkung kearah ventral. Kepalanya
mempunyai tiga bibir pada ujung anterior (bagian depan) dan mempunyai gigi-gigi kecil atau dentikel
pada pinggirnya, bibirnya dapat ditutup atau dipanjangkan untuk memasukkan makanan (Soedarto,
1991).
Pada potongan melintang cacing mempunyai kutikulum tebal yang berdampingan dengan
hipodermis dan menonjol kedalam rongga badan sebagai korda lateral. Sel otot somatik besar dan
panjang dan terletak di hipodermis; gambaran histologinya merupakan sifat tipe polymyarin-
coelomyarin.
Alat reproduksi dan saluran pencernaan mengapung didalam rongga badan, cacing jantan
mempunyai dua buah spekulum yang dapat keluar dari kloaka dan pada cacing betina, vulva terbuka
pada perbatasan sepertiga badan anterior dan tengah, bagian ini lebih kecil dan dikenal sebagai cincin
kopulasi.
Telur yang di buahi (fertilized) berbentuk ovoid dengan ukuran 60-70 x 30-50 mikron. Bila
baru dikeluarkan tidak infektif dan berisi satu sel tunggal. Sel ini dikelilingi suatu membran vitelin yang
3. EPIDEMIOLOGI ASCARIASIS
Pada umumnya frekuensi tertingi penyakit ini diderita oleh anak-anak sedangkan orang
dewasa frekuensinya rendah. Hal ini disebabkan oleh karena kesadaran anak-anak akan kebersihan
dan kesehatan masih rendah ataupun mereka tidak berpikir sampai ke tahap itu. Sehinga anak-anak
lebih mudah diinfeksi oleh larva cacing Ascaris misalnya melalui makanan, ataupun infeksi melalui kulit
akibat kontak langsung dengan tanah yang mengandung telur Ascaris lumbricoides.
Faktor host merupakan salah satu hal yang penting karena manusia sebagai sumber infeksi
dapat mengurangi kontaminasi ataupun pencemaran tanah oleh telur dan larva cacing, selain itu
manusia justru akan menambah polusi lingkungan sekitarnya.
Di pedesan kasus ini lebih tinggi prevalensinya, hal ini terjadi karena buruknya sistem sanitasi
lingkungan di pedesaan, tidak adanya jamban sehingga tinja manusia tidak terisolasi sehingga larva
cacing mudah menyebar. Hal ini juga terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki tingkat sosial
ekonomi yang rendah, sehingga memiliki kebiasaan membuang hajat (defekasi) ditanah, yang
kemudian tanah akan terkontaminasi dengan telur cacing yang infektif dan larva cacing yang
seterusnya akan terjadi reinfeksi secara terus menerus pada daerah endemik (Brown dan Harold,
1983).
Perkembangan telur dan larva cacing sangat cocok pada iklim tropik dengan suhu optimal
adalah 23 o C sampai 30o C. Jenis tanah liat merupakan tanah yang sangat cocok untuk perkembangan
telur cacing, sementara dengan bantuan angin maka telur cacing yang infektif bersama dengan debu
dapat menyebar ke lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA