Anda di halaman 1dari 12

ASKARIASIS

PENDAHULUAN
Askariasis adalah suatu infeksi pada usus yang disebabkan oleh suatu jenis
cacing besar, Ascaris lumbricoides. Seseorang dapat terinfeksi penyakit ini setelah
secara tidak sengaja atau tidak disadari menelan telur cacing..1
Anak-anak lebih sering terinfeksi cacing ini daripada orang dewasa,
kelompok usia yang paling umum terjadi adalah 3-8 tahun. Infeksi ini cenderung
terjadi lebih serius jika anak mengalami gizi buruk. Anak sering terinfeksi akibat
tidak mencuci tangan setelah bermain di tanah yang terkontaminasi. Tanda
pertama dari keadaan ini mungkin dengan mendapatkan cacing hidup, biasanya di
dalam tinja. Pada infeksi yang berat, penyumbatan usus dapat menyebabkan sakit
perut, terutama pada anak. Penderita penyakit ini juga mungkin mengalami batuk,
mengi dan sesak, atau demam.1
Infeksi cacing usus merupakan infeksi kronik yang paling banyak
menyerang anak balita dan anak usia sekolah dasar. Infeksi cacing usus meningkat
pada tempat tinggal yang tidak bersih dan cara hidup tidak bersih yang merupakan
masalah kesehatan masyarakat, di pedesaan dan di daerah kumuh perkotaan di
Indonesia. Tinggi rendahnya fekuensi kecacingan berhubungan

erat dengan

kebersihan pribadi dan sanitasi lingkungan menjadi sumber infeksi. Diantara


cacing usus yang menjadi masalah kesehatan adalah kelompok soil transmitted
helminth atau cacing yang ditularkan melalui tanah, seperti Ascaris lumbricoides,
Trichuris trichiura dan Ancylostoma sp (cacing tambang). Di Indonesia prevalensi
kecacingan masih tinggi antara 60% 90 % tergantung pada lokasi dan sanitasi
lingkungan.2

Definisi
Askariasis adalah suatu infeksi pada usus kecil yang disebabkan oleh suatu
jenis cacing besar, Ascaris lumbricoides.1
Ascaris lumbricoides merupakan cacing bulat besar yang biasanya
bersarang dalam usus halus. Adanya cacing didalam usus penderita akan
mengadakan gangguan keseimbangan fisiologi yang normal dalam usus,
mengadakan iritasi setempat sehingga mengganggu gerakan peristaltik dan
penyerapan makanan.5
Cacing ini merupakan parasit yang kosmopolit yaitu tersebar diseluruh
dunia, lebih banyak di temukan di daerah beriklim panas dan lembab. Di beberapa
daerah tropik derajat infeksi dapat mencapai 100% dari penduduk. Pada umumnya
lebih banyak ditemukan pada anak-anak berusia 5 10 tahun sebagai host
(penjamu) yang juga menunjukkan beban cacing yang lebih tinggi. Cacing dapat
mempertahankan posisinya didalam usus halus karena aktivitas otot-otot ini. Jika
otot-otot somatik di lumpuhkan dengan obat-obat antelmintik, cacing akan
dikeluarkan dengan pergerakan peristaltik normal.5

Gambar 2.1 Cacing Ascaris Lumbicoides dewasa.3

Epidemologi
Penyakit Ascariasis dapat ditemukan di seluruh dunia. Infeksi terjadi
dengan frekuensi terbesar di daerah tropis dan subtropis, dan di setiap daerah

dengan sanitasi yang tidak memadai. Ascariasis adalah salah satu infeksi parasit
pada manusia yang paling umum. Sampai dengan 10% dari penduduk negara
berkembang terinfeksi cacing dengan persentase besar disebabkan oleh Ascaris.
Di seluruh dunia, infeksi Ascaris menyebabkan sekitar 60.000 kematian per tahun,
terutama pada anak.1
Prevalensi tertinggi ascariasis adalah pada anak usia 2-10 tahun, dengan
intensitas infeksi tertinggi terjadi pada anak usia 5-15 tahun yang memiliki infeksi
simultan dengan cacing lain seperti Trichuris trichiura dan cacing tambang. Ada
beberapa kejadian yang menyerang orang dewasa namun frekuensinya rendah.
Hal ini disebabkan oleh karena kesadaran anak-anak akan kebersihan dan
kesehatan masih rendah ataupun mereka tidak berpikir sampai ke tahap itu.
Sehinga anak-anak lebih mudah diinfeksi oleh larva cacing Ascaris misalnya
melalui makanan, ataupun infeksi melalui kulit akibat kontak langsung dengan
tanah yang mengandung telur Ascaris lumbricoides. Sebuah studi terbaru
menemukan bahwa wanita dewasa Vietnam yang tinggal di daerah pedesaan,
terutama yang terkena tanah pada malam hari dan tinggal di rumah tangga tanpa
jamban, beresiko sangat tinggi untuk ascariasis. Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit (CDC) memperkirakan bahwa tingkat ascariasis di seluruh
dunia pada 2005 adalah sebagai berikut: 86 juta kasus di Cina, 204 juta di tempat
lain di Asia Timur dan Pasifik, 173 juta di sub-Sahara Afrika, 140 juta di India, 97
juta di tempat lain di Asia Selatan, 84 juta dalam bahasa Latin Amerika dan
Karibia, dan 23 juta di Timur Tengah dan Afrika Utara.3

Etiologi dan Patofisiologi


Seseorang dapat terinfeksi penyakit askariasis setelah secara tidak sengaja
atau tidak disadari menelan telur cacing. Telur menetas menjadi larva di dalam
usus seseorang. Larva menembus dinding usus dan mencapai paru-paru melalui
aliran darah. Larva tersebut akhirnya kembali ke tenggorokan dan tertelan. Dalam
usus, larva berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing betina dewasa yang dapat
tumbuh lebih panjang mencapai 30 cm, dapat bertelur yang kemudian masuk ke
dalam tinja. Jika tanah tercemar kotoran manusia atau hewan yang mengandung

telur, maka siklus tersebut dimulai lagi. Telur berkembang di tanah dan menjadi
infektif setelah masa 2-3 minggu, tetapi dapat tetap infektif selama beberapa bulan
atau tahun.1
Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Ascaris lumbricoides,
jika tertelan telur yang infektif, maka didalam usus halus bagian atas telur akan
pecah dan melepaskan larva infektif dan menembus dinding usus masuk kedalam
vena porta hati yang kemudian bersama dengan aliran darah menuju jantung
kanan dan selanjutnya melalui arteri pulmonalis ke paru-paru dengan masa
migrasi berlangsung selama sekitar 15 hari. Dalam paru-paru larva tumbuh dan
berganti kulit sebanyak 2 kali, kemudian keluar dari kapiler, masuk ke alveolus
dan seterusnya larva masuk sampai ke bronkus, trakhea, laring dan kemudian ke
faring, berpindah ke osepagus dan tertelan melalui saliva atau merayap melalui
epiglottis masuk kedalam traktus digestivus. Terakhir larva sampai kedalam usus
halus bagian atas, larva berganti kulit lagi menjadi cacing dewasa. Umur cacing
dewasa kira-kira satu tahun, dan kemudian keluar secara spontan.4
Siklus hidup cacing ascaris mempunyai masa yang cukup panjang, dua
bulan sejak infeksi pertama terjadi, seekor cacing betina mulai mampu
mengeluarkan 200.000 250.000 butir telur setiap harinya, waktu yang
diperlukan adalah 3 4 minggu untuk tumbuh menjadi bentuk infektif. Menurut
penelitian stadium ini merupakan stadium larva, dimana telur tersebut keluar
bersama tinja manusia dan diluar akan mengalami perubahan dari stadium larva I
sampai stadium III yang bersifat infektif.4
Telur-telur ini tahan terhadap berbagai desinfektan dan dapat tetap hidup
bertahun-tahun di tempat yang lembab. Didaerah hiperendemik, anak-anak
terkena infeksi secara terus-menerus sehingga jika beberapa cacing keluar, yang
lain menjadi dewasa dan menggantikannya. Jumlah telur ascaris yang cukup besar
dan dapat hidup selama beberapa tahun maka larvanya dapat tersebar
dimanamana, menyebar melalui tanah, air, ataupun melalui binatang. Maka bila
makanan atau minuman yang mengandung telur ascaris infektif masuk kedalam
tubuh maka siklus hidup cacing akan berlanjut sehingga larva itu berubah menjadi

cacing. Jadi larva cacing ascaris hanya dapat menginfeksi tubuh melalui makanan
yang tidak dimasak ataupun melalui kontak langsung dengan kulit.4

Gambar 2.2 Siklus Hidur Askaris5


Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Gejala awal ascariasis, selama migrasi paru awal, termasuk batuk,
dyspnea, mengi, dan nyeri dada. Nyeri perut, distensi, kolik, mual, anoreksia, dan
diare intermiten mungkin manifestasi dari obstruksi usus parsial atau lengkap oleh
cacing dewasa. Penyakit kuning, mual, muntah, demam, dan nyeri perut berat
mungkin mengarah pada kolangitis, pankreatitis, atau apendisitis.3
Mengi dan takipnea dapat terjadi selama migrasi paru. Urtikaria dan
demam mungkin juga terjadi terlambat dalam tahap migrasi. Distensi abdomen

tidak spesifik tetapi adalah umum pada anak dengan ascariasis. Nyeri perut,
terutama di kuadran kanan atas, hypogastrium, atau kuadran kanan bawah,
mungkin mengindikasikan komplikasi ascariasis. Bukti untuk kekurangan gizi
karena ascariasis paling kuat untuk vitamin A dan C, serta protein, seperti
ditunjukkan oleh penelitian albumin dan pertumbuhan pada anak yang diamati
secara prospektif. Beberapa penelitian belum mengkonfirmasi keterlambatan
perkembangan gizi atau karena ascariasis.3
Kelainan-kelainan yang terjadi pada tubuh penderita terjadi akibat
pengaruh migrasi larva dan adanya cacing dewasa. Pada umumnya orang yang
kena infeksi tidak menunjukkan gejala, tetapi dengan jumlah cacing yang cukup
besar (hyperinfeksi) terutama pada anak-anak akan menimbulkan kekurangan gizi,
selain itu cacing itu sendiri dapat mengeluarkan cairan tubuh yang menimbulkan
reaksi toksik sehingga terjadi gejala seperti demam typhoid yang disertai dengan
tanda alergi seperti urtikaria, odema diwajah, konjungtivitis dan iritasi pernapasan
bagian atas.5,6
Cacing dewasa dapat pula menimbulkan berbagai akibat mekanik seperti
obstruksi usus, perforasi ulkus diusus. Oleh karena adanya migrasi cacing ke
organ-organ misalnya ke lambung, oesophagus, mulut, hidung dan bronkus dapat
menyumbat pernapasan penderita. Ada kalanya askariasis menimbulkan
manifestasi berat dan gawat dalam beberapa keadaan sebagai berikut:
1. Bila sejumlah besar cacing menggumpal menjadi suatu bolus yang
menyumbat rongga usus dan menyebabkan gejala abdomen akut.
2. Pada migrasi ektopik dapat menyebabkan masuknya cacing kedalam
apendiks, saluran empedu (duktus choledocus) dan ductus pankreatikus.5,6
Bila cacing masuk ke dalam saluran empedu, terjadi kolik yang berat
disusul kolangitis supuratif dan abses multiple. Untuk menegakkan diagnosis pasti
harus ditemukan cacing dewasa dalam tinja atau muntahan penderita dan telur
cacing dengan bentuk yang khas dapat dijumpai dalam tinja atau didalam cairan
empedu penderita melalui pemeriksaan mikroskopik.5,6

Penatalaksanaan
Edukasi kesehatan memberikan pesan berikut akan mengurangi jumlah
orang yang terinfeksi penyakit askariasis:1
-

menghindari kontak dengan tanah yang mungkin terkontaminasi


kotoran manusia;

mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum mengambil makanan;

mencuci, mengupas atau memasak semua sayuran mentah dan buahbuahan;

melindungi makanan dari tanah dan mencuci atau memanaskan


makanan apapun yang jatuh di lantai.

Ketersediaan air yang digunakan untuk personal hygiene serta tempat


pembuangan kotoran yang sehat juga akan mengurangi jumlah kasus. Dimana
limbah digunakan untuk irigasi kolam stabilisasi sampah dan beberapa teknologi
lainnya yang efektif dalam penurunan transmisi akibat makanan tumbuh di tanah
yang terkontaminasi.1
Pada waktu yang lalu obat yang sering dipakai seperti : piperazin, minyak
chenopodium, hetrazan dan tiabendazol. Oleh karena obat tersebut menimbulkan
efek samping dan sulitnya pemberian obat tersebut, maka obat cacing sekarang ini
berspektrum luas, lebih aman dan memberikan efek samping yang lebih kecil dan
mudah pemakaiannya. 5,6
Adapun obat yang sekarang ini dipakai dalam pengobatan adalah:1,3,4.5
1. Mebendazol.
Obat ini adalah obat cacing berspektrum luas dengan toleransi hospes yang
baik. Diberikan satu tablet (100 mg) dua kali sehari selama tiga hari, tanpa melihat
umur, dengan menggunakan obat ini sudah dilaporkan beberapa kasus terjadi
migrasi ektopik.
2. Pirantel Pamoat.
Dosis tunggal sebesar 10 mg/kg berat badan adalah efektif untuk
menyembuhkan kasus lebih dari 90 %. Gejala sampingan, bila ada adalah ringan
dan obat ini biasanya dapat diterima (welltolerated). Obat ini mempunyai
keunggulan karena efektif terhadap cacing kremi dan cacing tambang. Obat

berspekturm luas ini berguna di daerah endemik dimana infeksi multipel berbagai
cacing Nematoda merupakan hal yang biasa.
3. Levamisol Hidroklorida.
Obat ini agaknya merupakan obat anti-askaris yang paling efektif yang
menyebabkan kelumpuhan cacing dengan cepat. Obat ini diberikan dalam dosis
tunggal yaitu 150 mg untuk orang dewasa dan 50 mg untuk orang dengan berat
badan <10 kg. Efek sampingan lebih banyak dari pada pirantel pamoat dan
mebendazol.
4. Garam Piperazin.
Obat ini dipakai secara luas, karena murah dan efektif, juga untuk
Enterobius vermicularis, tetapi tidak terhadap cacing tambang. Piperazin sitrat
diberikan dalam dosis tunggal sebesar 30 ml (5 ml adalah ekuivalen dengan 750
mg piperazin). Reaksi sampingan lebih sering daripada pirantel pamoat dan
mebendazol. Ada kalanya dilaporkan gejala susunan syaraf pusat seperti berjalan
tidak tetap (unsteadiness) dan vertigo.
5. Albendazole
Albendazole mempunyai aktivitas anthelmintik yang besar. Selain bekerja
terhadap cacing dewasa, Albendazole telah terbukti mempunya aktivitas larvisidal
dan ovisidal obat ini secara selektip bekerja menghambat pengambilan glukosa
oleh usus cacing dan jaringan dimana larva bertempat tinggal. Akibatnya terjadi
pengosongan cadangan glikogen dalam tubuh parasit yang mana menyebabkan
berkurangnya pembentukan adenosine triphosphate (ATP). ATP ini penting untuk
reproduksi dan mempertahankan hidupnya, dan kemudian parasit akan mati.7
Spektrum aktivitasnya sangat luas yaitu meliputi Nematoda, Cestoda dan
infeksi Echinococcus pada manusia.Jadi, albendaroze aktif terhadap Ascaris
lumbricoides, cacing tambang, Trichuris trichiura, Taenia saginata dan solium
strongloides stercoralis, Hymenolepis nana dan diminuta serta Echinococcus
granulosus .7
Albendazole merupakan obat yang aman, hanya sedikit jarang, ditemukan
efek samping berupa mulut kering, perasaan tak enak di epigastrium, mual, lemah
dan diare. S.C.Jagota (1986) meneliti efikasi Albendazole terhadap soil

transmitted helminthiasis dengan dosis 400 mg dosis tunggal dan tinja diperiksa
ulang pada minggu ketiga setelah pemberian obat pada penelitian ini diperoleh
angka kesembuhan 92.2% untuk Ancylostoma duodenale; 90 5% untuk Trichuris
trichiura dan 95.3% untuk Ascaris lumbricoides.7

Pencegahan
Perbaikan sanitasi dan kebersihan pribadi serta lingkungan sangat
mempunyai arti dalam penanggulangan infeksi cacing ini. Suatu pengalaman oleh
E. Kosin pada tahun 1973, yang mana telah dilakukan suatu penelitian kontrol
ascariasis di suatu desa di daerah Belawan, Sumatera Utara,yang mana diketahui
prevalensi cacinggelang pada anak 85%> setelah pengobatan massal, angka
infeksi menurun drastis menjadi 10%. Akan tetapi 3 bulan kemudian, saat anakanak tersebut diperiksa kembali, diperoleh hasil yang sangat mengejutkan yaitu
angka infeksi naik menjadi 100%. Setelah dilakukan penelitian, ternyata cacing
yang berhasil dikeluarkan dengan pengobatan tadi tersebar di sembarang tempat
dan terjadi pencemaran tanah dengan telur cacing dam ini merupakan sumber
infeksi.8

Komplikasi
1. Alergi.

Terutama disebabkan larva yang dalam siklusnya masuk kedalam


darah, sehingga sesudah siklus pertama timbul alergi terhadap protein
askaris. Karenanya pada siklus berikut dapat timbul manifestasi alergi
berupa asma bronkiale, ultikaria, hipereosinofilia, dan sindrom Loffler.
Simdrom Loffler merupakan kelainan dimana terdapat infiltrat
(eosinofil) dalam paru yang menyerupai bronkopneumonia atipik.
Infiltrat cepat menghilang sendiri dan cepat timbul lagi dibagian paru
lain. Gambaran radiologisnya menyerupai tuberkulosis
miliaris.Disamping itu terdapat hiperesinofilia (40-70%). Sindrom ini

diduga disebabkan oleh larva yang masuk ke dalam lumen alveolus,


diikuti oleh sel eosinofil. Tetapi masih diragukan, karena misalnya di
indonesia dengan infeksi askaris yang sangat banyak, sindrom ini
sangat jarang terdapat, sedangkan di daerah denagn jumlah penderita
askariasis yang rendah, kadang-kadang juga ditemukan sindrom ini.

2. Traumatik action
Askaris dapat menyebabkan abses di dinding usus, perforasi dan
kemudian peritonitis. Yang lebih sering terjadi cacing-cacing askaris ini
berkumpul dalam usus, menyebabkan obstuksi usus dengan segala
akibatnya. Anak dengan gejala demikian segera dikirim ke bagian
radiologi untuk dilakukan pemeriksaan dengan barium enema guna
mengetahui letak obstruksi. Biasanya dengan tindakan ini cacingcacing juga dapat terlepas dari gumpalannya sehingga obstruksi dapat
dihilangkan. Jika cara ini tidak menolong, maka dilakukan tindakan
operatif. Pada foto rontgen akan tampak gambaran garis-garis panjang
dan gelap (filling defect).

3. Errantic action
Askaris dapat berada dalam lambung sehingga menimbulkan gejala
mual, muntah, nyeri perut terutama di daerah epigastrium, kolik.
Gejala hilang bila cacing dapat keluar bersama muntah. Dari
nasofaring cacing dapat ke tuba Eustachii sehingga dapat timbul otitis
media akut (OMA) kemudian bila terjadi perforasi, cacing akan keluar.
Selain melalui jalan tersebut cacing dari nasofaring dapat menuju
laring, kemudian trakea dan bronkus sehingga terjadi afiksia. Askaris
dapat menetap di dalam duktus koledopus dan bila menyumbat
saluran tersebut, dapat terjadi ikterus obstruktif. Cacing dapat juga
menyebabkan iritasi dan infeksi sekunder hati jika terdapat dalam

10

jumlah banyak dalam kolon maka dapat merangsang dan


menyebabkan diare yang berat sehingga dapat timbul apendisitis akut.

4. Irritative Action

Terutama terjadi jika terdapat banyak cacing dalam usus halus


maupun kolon. Akibat hal ini dapat terjadi diare dan muntah sehingga
dapat terjadi dehidrasi dan asidosis dan bila berlangsung menahun
dapat terjadi malnutrisi.

Prognosis
Prognosis sangat baik untuk pengobatan ascariasis tanpa gejala. Dalam
beberapa kasus, pengobatan kedua mungkin perlu untuk sepenuhnya menghapus
cacing. Hal ini telah dibuktikan secara signifikan mengurangi jumlah komplikasi.
Perhatian di negara-negara endemik adalah infeksi ulang yang akan terjadi.4
Pada anak-anak di negara-negara endemik, hasil pengobatan dalam
perbaikan ditunjukkan dalam perkembangan kognitif, kinerja sekolah, dan berat
badan.
Prognosis baik untuk pasien dengan obstruksi usus parsial yang tidak memiliki
toksisitas dan yang nonseptic, asalkan pasien diperlakukan secara awal dengan
manajemen konservatif.4

DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization (WHO). Water related diseases: Ascariasis.
Communicable Diseases (CDS) and Water, Sanitation and Health unit (WSH)
Available

at

URL:

http://www.who.int/water_sanitation_health/diseases/

ascariasis/en/. Accessed on May 2012.


2. Mardiana and Djarismawati. Helminthiosis Prevalence Among Compulsory
Learning of Public School Children In The Slum Areas Of Poverty

11

Elimination Integrated Program in Jakarta Province. Jurnal Ekologi


Kesehatan Vol. 7 No. 2, Agustus 2008 : 769 774.
3. Haburchak, David R. Ascariasis. Division of Infectious Disease, Medical
College of Georgia.

Available at URL: http://emedicine.medscape.com/

article/212510-overview. Accessed on May 2012.


4. Shoff, William H. Pediatric Ascariasis. Department of Emergency Medicine,
Hospital of the University of Pennsylvania.

Available at URL:

http://emedicine.medscape.com/article/996482-overview Accessed on May


2012.
5. Syamsu,

Yohandromeda.

Ascariasis,

Respons

IgE

dan

Upaya

Penanggulangannya. Program Studi Imunologi Program Pasca Sarjana


Universitas Airlangga.
6. McPhee SJ, Papadakis MA. Cestode Infection. Current Medical Diagnosis
And Treatment 2009. Lange McGrew Hill production.
7. T.R Mani, D.J. Agustin, 2002. Efficacy Of Co-Administration Of Albendazol
And Diethylcarbamazine against Geohelminthiases. A South India Study In
646 stool samples. Volume 7 no 6 pp 541-548 June 2002.
8. Sudarmo,SS.Garna Herry. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak: Infeksi dan
Penyakit Tropis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

12

Anda mungkin juga menyukai