Anda di halaman 1dari 17

ASCARIASIS BY : Siti Arifah & Novan Suma P. ( PSIK 5B ) 1.

PENDAHULUAN Tahun 2010 merupakan tahun yang ditergetkan untuk mencapai Indonesia Sehat (Indonesia Sehat 2010). Namun, di Indonesia masih banyak penyakit yang menjadi masalah kesehatan, salah satunya adalah kecacingan yang biasanya ditularkan melalui tanah STH(Soil-transmitted helminths). Golongan cacing ini yang menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia adalah Ascaris lumbricoides (A. lumbricoides), Trichuris trichura (T. trichura), dan cacing tambang yaitu: Necator americanus (N. americanus), danAncylostoma duodenale (A. duodenale). Sumber daya manusia yang prima tentu saja menuntut kesehatan secara fisik dan emosional. Selama ini, prevalensi kecacingan STH yang tertinggi terlihat pada anak-anak, khususnya anak Sekolah Dasar (SD) persentase sebesar 9-90% 1. Walaupun angka prevalensi pada anak-anak, khususnya anak SD besar, tetapi hal ini tidak menutup kenyataan bahwa kecacingan juga bisa diderita oleh orang dewasa 14. Seorang pekerja dewasa yang menderita kecacingan STH, tentu saja produktivitasnya menurun. Suryodibroto (1994) melaporkan bahwa 46,6% dari pekerja wanita di Jakarta dan sekitarnya ternyata menderita anemia dan 45,6% di antaranya terbukti mengidap cacingan. Lapangan pekerjaan yang sangat erat kaitannya dengan infeksi kecacingan STH salah satunya ialah lapangan pekerjaan yang berhubungan atau menggunakan tanahNatau tanah liat sebagai bahan baku utamanya. Mengapa tanah atau tanah liat? Karena tempat yang baik bagi A. lumbricoides dan T. trichiura adalah tanah liat yang lembab dan teduh.

2.

DEFINISI Ascariasis merupakan infeksi cacing yang paling sering ditemui. Diperkirakan prevalensi di dunia 25 % atau 1,25 miliar penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah tropis dan di negara berkembang dimana sering terjadi kontaminasi tanah oleh tinja manusia atau penggunaan tinja sebagai pupuk (Soegijanto, 2005). Dilihat dari uraian diatas jelas negara Indonesia adalah salah satu negara yang berisiko tinggi adanya kasus ascariasis ini. Menurut Behrman (1999), infeksi paling sering terjadi pada anak pra sekolah atau anak umur sekolah awal, dan jumlah kasus terbesar pada negara-negara yang memiliki iklim yang lebih panas. Meskipun demikian, ada sekitar 4 juta individu yang terinfeksi terutama anak, di Amerika Utara.

3.

ETIOLOGI Ascariasis disebabkan oleh Ascaris Lumbricoides. Stadium infektif Ascaris Lumbricoides adalah telur yang berisi larva matang. Sesudah tertelan oleh hospes manusia, larva dilepaskan dari telur dan menembus diding usus sebelum migrasi ke paru-paru melalui sirkulasi vena. Mereka kemudian memecah jaringan paruparu masuk ke dalam ruang alveolus, naik ke cabang bronkus dan trakea, dan tertelan kembali. Setelah sampai ke usus kecil larva berkembang menjadi cacing dewasa (jantan berukuran 15-25cm x 3mm dan betina 25-35cm x 4mm).

Cacing betina mempunyai masa hidup 1-2 tahun dan dapat menghasilkan 200.000 telur setiap hari. Telur fertil berbentuk oval dengan panjang 45-60 m dan lebar 35-50 m. Setelah keluar bersama tinja, embrio dalam telur akan berkembang menjadi infektif dalam 5-10 hari pada kondisi lingkungan yang mendukung.

4.

EPIDEMIOLOGI Ascariasis merupakan infeksi cacing pada manusia yang angka kejadian sakitnya tinggi terutama di daerah tropis dimana tanah memiliki kondisi yang sesuai untuk kematangan telur di dalam tanah. Menurut Berhman (1999), telur-telur Ascaris lumbricoides ini terbukti tetap infektif pada tanah selama berbulan-bulan dan dapat bertahan hidup di cuaca yang lebih dingin (5-10 o C) selama 2 tahun. Diperkirakan hampir 1 miliar penduduk terinfeksi dan prevalensi pada komunitas-komunitas tertentu lebih besar dari 80 % . prevalensi dilaporkan terjadi di lembah sungai Yangtze di Cina. Masyarakat yang memiliki sosial ekonomi yang rendah memiliki prevalensi infeksi yang tinggi, demikian juga pada masyarakat yang menggunakan tinja sebagai pupuk dan dengan kondisi geografis yang medukung. Penyebaran terutama melalui tangan ke mulut (hand to molth) dapat juga melalui sayuran atau buah yang terkontaminasi. Prevalensi dan intensitas gejala symtomatik yang paling tinggi terjadi pada anak-anak, yang paling sering ditemui adalah obstruksi intestinal. Di antara anak-anak usia 1-12 tahun yang berada di Rumah Sakit Cape Town dengan keluhan abdominal antara 1958-1962, 12.8 %dari infeksinya di sebabkan oleh Ascaris lumbricoides. Anak-anak dengan ascariasis kronis dapat menyebabkan pertumbuhan lambat terkait dengan jumlah makanan yang di makan. Orang dewasa sering mengalami komplikasi bilier akibat migrasi cacing dewasa yang mungkin didorong oleh penyakit lain seperti demam malaria. Di Damaskus, 300 orang yang mengalami ascariasis pada 1988-1993, 98 % mengalami nyeri perut ; 4,3 % radang akut kelenjar pankreas ; 1,3 % obstructive jaundise ; dan 25 % worm emesis. Lebih dari 80 % dari pasien ini mempunyai cholecytectomy sebeumnya (Soegijanto, 2005). Menurut WHO, intestinal obstruction pada anak-anak menyebabkan komplikasi fatal, menyebabkan 8.000-100.000 kematian pertahun.

5.

PATOFISIOLOGI Ascaris Lumbricoides adalah nematoda terbesar yang umumnya menginfeksi manusia. Cacing dewasa berwarna putih atau kuning yang hidup selama 10-24 bulandi jejunum dan bagian tengah ileum. Cacing betina menghasilkan 200.000 telur per hari yang akan terbawa bersama tinja. Telur fertil apabila terjatuh pada kondisi tanah yang sesuai, dalam waktu 5-10 hari telur tersebut dapat menginfeksi manusia. Telur dapar hidup dalam tanah selama 17 bulan. Infeksi umumnya terjadi melalui tangan pada tangan atau makanan kemudian masuk ke dalam usus kecil (deudenum). Pada tahap kedua larva akan melewati dinding usus dan melewati sistem porta menuju hepar dan kemudian ke paru melalui sirkulasi vena. Mereka kemudian memecah jaringan paru-paru masuk ke dalam ruang alveolus, naik ke cabang bronkus dan trakea, dan tertelan kembali. Diperlukan 65 hari untuk menjadi cacing dewasa. Infeksi yang berat dapat diikuti pneumonia dan eosinofilia (Soegijanto, 2005).

6.

MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis menurut Soegijanto (2005), tergantung pada intensitas infeksi dan organ yang terlibat. Pada sebagian besar penderita dengan infeksi rendah sampai dengan gejalanya asymtomatis. Gejala klinis paling sering ditemui berkaitan dengan penyakit paru atau sumbatan pada usus atau saluran empedu. Ascaris dapat menyebabkan Pulmonari ascariasis ketika memasuki alveoli dan bermigrasi ke bronki dan trakea. Manifestasi pada paru mirip dengan Syndrom Loffler dengan gejala infiltrat paru sementara. Tanda-tanda yang paling khas adalah batuk, spuntum bercak darah, dan eosinofilia. Tanda lain adalah sesak. Cacing dewasa dapat menimbulkan penyakit dengan menyumbat usus atau cabang-cabang saluran empedu sehingga mempengaruhi nutrisi hospes. Cacing dewasa akan memakan sari makanan hasil pencernaan

host. Anak-anak terinfeksi yang memiliki pola makan yang tidak baik dapat mengalami kekurangan protein, kalori, atau vitamin A, yang akhirnya akan mengalami pertumbuhan lambat.

Adanya cacing dalam usus halus menyebabkan keluhan tidak jelas seperti nyeri perut, dan kembung. Obstruksi usus juga dapat terjadi walaupun jarang yang dikarenakan oleh massa cacing pada anak yang terinfeksi berat, insiden puncak terjadi pada umur 1-6 tahun. Mulainya biasanya mendadak dengan nyeri perut kolik berat dan muntah, yang dapat berbercak empedu ; gejala ini dapat memburuk dengan cepat dan menyertai perjalanan yang serupa dengan obstruksi usus akut dengan etiologi lain. Migrasi cacing Ascaris ke saluran empedu telah dilaporkan, terutama yang terjadi di Filiphina dan Cina; kemungkinan keadaan ini bertambah pada anak yang terinfeksi berat.mulainya adalah akut dengan nyeri kolik perut, nausea, muntah, dan demam. Ikterus jarang ditemukan (Berhman, 1999). 7. a. 1. DIAGNOSA

Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan mikroskopis pada hapusan tinja dan dihitung dengan metode apus tebal kato. Infeksi biseksual menyebabkan ekskresi telur fertil matang, sedangkan telur infertil ditemukan pada individu yang terinfeksi hanya dengan cacing betina. 2. Ditemukan larva pada lambung atau saluran pernafasan pada penyakit paru. 3. Pada pemeriksaan darah ditemukan periferal eosinofilia. b. Pemeriksaan foto 1. Foto thorak menunjukkan gambaran opak pada lapang pandang paru seperti pada sindrom Loeffler. 2. Penyakit pada saluran empedu Endoscopic retrogade cholangiopancreatography (ERCP) memiliki sensitifitas 90 % dalam membantu mendiagnosis biliary ascariasis. Ultrasonography memiliki sensitivitas 50 % untuk membantu membuat diagnosis biliary ascariasis. PEMERIKSAAN LABORATORIUM : Pemeriksaan laboratorium merupakan diagnosa pasti dari askariasis. Diagnosa askariasis ditegakkan dengan pemeriksaan feses pasien dimana dijumpai telur cacing askaris. Setiap satu ekor cacing askaris mampu memproduksi jumlah telur yang banyak, sehingga biasanya pada pemeriksaan pertama bisa langsung ditemui. Saat cacing bermigrasi masuk ke paru biasanya berhubungan dengan eosinophilia dan ditemui gambaran infitrat pada foto dada. Bahkan pada kasus obstruksi tidak jarang diperlukan foto polos abdomen, USG atau pemeriksaan lainnya. PENGOBATAN Pada anak dengan infeksi berat garam piperazin (sitrat, adipat, atau fosfat) diberikan secara oral dengan dosis per hari 50-75 mg/kg selama 2 hari. Dosis tunggal lebih efektif dari pada regimen 2, dalam mengurangi beban cacing pada anak yang terinfeksi. Karera piperazin menyebabkan paralisis neuromuskuler parasit dan pengeluaran cacing relatif cepat , maka obat ini adalah obat plihan untuk obstruksi usus atau saluran empedu (Berhman, 1999). Obat ascariasis usus tanpa komplikasi dapat digunakan albendazole (400 mg P.O. sekali untuk segala usia), mabendazole (10 mg P.O. untuk 3 hari atau 500 mg P.O. sekali untuk segala usia). PENCEGAHAN

8. 1.

2.

9.

Menurut Soegijanto (2005), program pemberian antihelmitik yang dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Memberikan pengobatan ada semua individu pada daerah endemis. Memberikan pengobatan pada kelompok tertentu dengan frekuensi infeksi tinggi seperti anak-anak sekolah dasar. Memberikan pengobatan pada individu berdasarkan intensitas penyakit atau infeksi tinggi seperti yang telah lalu. Peningkatan kondisi sanitasi. Menghentikan penggunaan tinja sebagai pupuk. Memberikan pendidikan kesehatan tentang cara-cara pencegahan ascariasis. Menurut Berhman (1999), praktek-praktek pencegahan seperti menghindari pengunaan tinja sebagai pupuk dan menjaga kondisi sanitasi lingkungan yang baik serta upaya penyediaan fasilitas pembuangan sampah yang baik adalah cara-cara pencegahan ascariasis yang paling efektif.

10. PROGNOSIS Selama tidak terjadi obstruksi oleh cacing dewasa yang bermigrasi, prognosis baik. Pengobatan dapat memberikan kesembuhan 80-90 %. Mordibitas dapat bermanifestasi selama migrasi larva yang melalui paru-paru atau dihubungkan dengan adanya cacing dewasa diusus halus (Berhman, 1999). 11. DIAGNOSA BANDING Askariasis harus dibedakan dengan kelainan alergi lain seperti urtikaria, syndrom loffler, dan asma. Pneuminitis yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides menyerupai gejala pneumonitis yang disebabkan cacing tambang atau Strongiloides. Cacing ini dapat merupakan pencetus untuk terjadinya pankreatitis, apendisitis, diverkulitis dan lain-lain. 12. KOMPLIKASI Selama larva bermigrasi dapat menyebabkan terjadinya reaksi alergi yang berat dan pneumonitis serta pneumonia. 13. PATHWAY ASCARIASIS 14. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN a. 1. Pengkajian Dasar data pengkajian menurut Doenges (1999) adalah : Aktivitas dan istirahat Gejala : kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah, insomnia, tidak tidur semalam karena diare. Merasa gelisah dan ansietas. Sirkulasi Tanda : tachikardia ( respon terhadap demam, dehidrasi, proses inflamasi dan nyeri) Nutrisi / cairan Gejala : mual, muntah, dan anoreksia. Tanda : hipoglikemia, pot belly, dehidrasi, BB turun.

2. 3.

4. 5. 6. 7.

Eliminasi Tanda : diare, penurunan haluaran urin. Nyeri Gejala : nyeri epigastrik, nyeri daerah pusat, kolik. Integritas ego Gejala : ansietas. Keamanan Tanda : kulit kemerahan, kering, panas, suhu meningkat Diagnosa keperawatan Intervensi Implementasi Evaluasi

b. c. d. e.

DAFTAR PUSTAKA Berhman RE, Kliegman RM, dan Arvin AM. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Editor edisi bahasa Indonesia A. Samik Wahab. Edisi 15. Volume 2. Jakarta : EGC. Rohimin. 2012. Asuhan Keperawatan pada Pasien Askariasis.http://perawat.rohimin.blogspot.com. Diakses pada tanggal 23 september 2012 pukul 08.30 WIB. Rudolph, Abraham M. dkk. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Editor edisi bahasa Indonesia A. Samik Wahab. Edisi 20. Volume 1. Jakarta : EGC. Soegijanto, Soegeng. 2005. Kumpulan Makalah Penyakit Ttopis dan Infeksi di Indonesia . Cetakan 1. Surabaya : Airlangga University Press. Taufik, Mochammad Mahar. 2008. Artikel Karya Tulis Ilmiah Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Kejadian Kecacingan Soil Transmitted Helminth (Sth) Pada Pekerja Genteng Di Desa Kedawung Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. eprints.undip.ac.id Moch_Taufik.pdf . Diakses pada tanggal 22 september 2012 pukul 19.00 WIB.

PEMBAHASAN MATERI EPIDEMIOLOGI ASCARIASIS A. PENGERTIAN Askariasis adalah penyakit cacing yang paling besar prevalensinya di antara penyakit cacing lainnya. Penyakit ini diperkirakan menginfeksi lebih dari 1 miliar orang. Tingginya prevalensi ini terutama karena banyaknya telur disertai dengan daya tahan telur yang mengandung larva cacing pada keadaan tanah yang kondusif. B. PATOFISIOLOGI PENYAKIT Setelah tertelan telur askariasis yang inefektif, telur ini akan menetap di bagian atas usus halus dengan melepaskan larva yang berbentuk rabditiformis. Larva ini akan menembus dinding usus dan mencapai venule dan pembuluh limfe kemudian melalui sirkulasi portal mencapai hati, bagian kanan jantung dan paru-paru.

Di dalam paru, larva akan merusak kapiler dan mulai mengikuti percabangan paru sampai mencapai glotis dan kemudian melewati epiglotis masuk ke dalam esofagus untuk seterusnya kembali ke usus halus, dimana meraka akan jadi matur dan berubah menjadi cacing dewasa. Keseluruhan siklus mulai dari telur yang infektif sampai menjadi cacing dewasa memerlukan waktu sekitar 2 bulan. Infeksi bertahan dalam masyarakat akibat pembuangan feses di tanah yang memungkinkan perkembangan telur menjadi infektif lagi. Ini memerlukan waktu 2 minggu. Selama fase migrasi, larva askariasis menyebabkan reaksi peradangan dengan terjadinya infiltrasi eosinofilia. Antigen ascariasis dilepaskan selama migrasi larva yang akan merangsang respon imunologis dalam tubuh dan respon ini telah pernah dibuktikan adanya pelepasan antibodi terhadap kelas IgG yang spesifik yang dapat membentuk reaksi complement-fixation dan precipitating. Mengenai respon kelas IgA terhadap infeksi ascariasis masih kurang diketahui. Mekanisme pertahanan primer pada infestasi ascariasis mungkin suatu bentuk seluler. Selama fase intestinals maka gejala terutama berasal dari adanya cacing dalam usus atau akibat migrasi kedalam lumen usus yang lain atau perforasi ke dalam peritoneum. Lebih lanjut ascariasis mengeluarkan antienzim sebagai suatu fungsi proteksi terhadap kelangsungan hidupnya dan ternyata antienzim ini di duga berhubungan dengan terjadinya malabsorbsi. C. TINJAUAN PENYAKIT DARI ASPEK EPIDEMIOLOGI 1. Penyebab Ascaris lumbricoides, cacing gelang yang berukuran besar yang ada pada usus manusia. Ascariasis suum, parasit yang serupa yang terdapat pada Babi, jarang namun bisa berkembang menjadi dewasa pada usus manusia, namun ia dapat juga menyebabkan larva migrans. Ascariasis disebabkan oleh mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi roundworm eggs. Ascariasi adalah infeksi cacing pada usus yang paling umum. Ditemukan pada orang yang higienisnya buruk, sanitasi yang jelek, dan penggunaan feses sebagai pupuk. Pada tinja penderita askariasis yang membuang air tidak pada tempatnya dapat mengandung telur askariasis yang telah dubuahi. Telur ini akan matang dalam waktu 21 hari. bila terdapat orang lain yang memegang tanah yang telah tercemar telur Ascaris dan tidak mencuci tangannya, kemudian tanpa sengaja makan dan menelan telur Ascaris. Telur akan masuk ke saluran pencernaan dan telur akan menjadi larva pada usus. Larva akan menembus usus dan masuk ke pembuluh darah. Ia akan beredar mengikuti sistem peredaran, yakni hati, jantung dan kemudian di paru-paru. Pada paru-paru, cacing akan merusak alveolus, masuk ke bronkiolus, bronkus, trakea, kemudian di laring. Ia akan tertelan kembali masuk ke saluran cerna. Setibanya di usus, larva akan menjadi cacing dewasa. Cacing akan menetap di usus dan kemudian berkopulasi dan bertelur. Telur ini pada akhirnya akan keluar kembali bersama tinja. Siklus pun akan terulang kembali bila penderita baru ini membuang tinjanya tidak pada tempatnya. 2. Angka Kejadian (Frekuensi) & Penyebaran di Indonesia Menurut Margono (2000) dalam Oktavianto (2009), di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak. Frekuensinya antara 60-90%. Menurut Elmi et al (2004) dalam Oktavianto (2009), pada penelitian epidemiologi yang telah dilakukan hampir di seluruh Indonesia, terutama pada anak-anak sekolah dan umumnya didapatkan angka prevalensi tinggi yang bervariasi. Prevalensi askariasis di propinsi DKI Jakarta adalah 4-91%,

Jabar 20-90%, Yogyakarta 12-85%, Jatim 16-74%, Bali 40-95%, NTT 10-75%, Sumut 46-75%, Sumbar 2-71%, Sumsel 51-78%, Sulut 30-72%. 3. a. 1) Epidemiologi Deskriptif (Main, Place and Time) Aspek Main Umur Pada umumnya lebih banyak ditemukan pada anak-anak berusia 5 10 tahun sebagai host (penjamu) yang juga menunjukkan beban cacing yang lebih tinggi (Haryanti, E, 1993). Ada beberapa kejadian yang menyerang orang dewasa namun frekuensinya rendah. Hal ini disebabkan oleh karena kesadaran anak-anak akan kebersihan dan kesehatan masih rendah ataupun mereka tidak berpikir sampai ke tahap itu. Sehinga anak-anak lebih mudah diinfeksi oleh larva cacing Ascaris misalnya melalui makanan, ataupun infeksi melalui kulit akibat kontak langsung dengan tanah yang mengandung telur Ascaris lumbricoides. 2) Kelas sosial Hal ini juga terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki tingkat social ekonomi yang rendah, sehingga memiliki kebiasaan membuang hajat (defekasi) ditanah, yang kemudian tanah akan terkontaminasi dengan telur cacing yang infektif dan larva cacing yang seterusnya akan terjadi reinfeksi secara terus menerus pada daerah endemik (Brown dan Harold, 1983). 3) Pekerjaan Para pekerja tambang dan pekerja kebun yang menggunakan feses sebagai pupuk cenderung terpapar langsung dengan tanah yang terkontaminasi telur cacing infektif. Mereka beresiko terkena penyakit ascariasis karena keadaan lingkungan kerja yang tidak aman dan tidak sehat serta langsung berhubungan dengan media tanah. 4) Penghasilan Seseorang dengan penghasilan rendah biasanya tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada untuk tindakan pencegahan dan peningkatan status kesehatan. Ini merupakan salah satu penyebab penyakit ascariasis, masyarakat dengan penghasilan rendah tidak mampu untuk menggunakan pelayanan kesehatan dalam rangka pencegahan dan peningkatan status kesehatan. 5) Pendidikan Ascariasis banyak diderita oleh anak kecil karena tingkat pengetahuan mereka yang kurang dan kurangnya kesadaran mereka terhadap kebersihan dirinya. Selain itu, peran orang tua sangat penting untuk mengajarkan kepada anak bagaimana cara perawatan diri yang benar dan bagaimana menjaga kesehatan. Jika pendidikan dan pengetahuan orang tua rendah maka kesadaran mereka untuk memberikan pendidikan kesehatan dan melakukan pengawasan terhadap anak juga rendah. Hal ini yang menyebabkan tingginya angka penderita ascariasis pada anak. b. Aspek Place Cacing ini merupakan parasit yang kosmopolit yaitu tersebar diseluruh dunia, lebih banyak di temukan di daerah beriklim panas dan lembab. Di beberapa daerah tropik derajat infeksi dapat mencapai 100% dari penduduk. Di pedesan kasus ini lebih tinggi prevalensinya, hal ini terjadi karena buruknya sistem sanitasi lingkungan di pedesaan, tidak adanya jamban sehingga tinja manusia tidak terisolasi sehingga larva cacing mudah menyebar. c. Aspek Time

Perkembangan telur dan larva cacing sangat cocok pada iklim tropik dengan suhu optimal adalah 23 0C sampai 300C. Jenis tanah liat merupakan tanah yang sangat cocok untuk perkembangan telur cacing, sementara dengan bantuan angin maka telur cacing yang infektif bersama dengan debu dapat menyebar ke lingkungan. Jadi, penyebaran telur cacing ascariasis ini banyak terdapat pada saat cuaca panas dan berangin karena memudahkan perkembangbiakan serta penyebarannya.

4. a. 1)

Faktor Predisposis Umur

Utama yang Mempengaruhi Penyakit (Model Beagehole)

Penyakit Ascariasis biasa menyerang anak-anak berusia 5-10 tahun. Ada pula yang menyerang dewasa tetapi prevalensinya sedikit. 2) Jenis Kelamin Penyakit ascariasis menyerang wanita maupun pria. Tidak ada indikator khusus untuk kriteria penderita ascariasi. b. 1) Pemungkin Pendapatan Rendah Tingkat pendapatan rendah merupakan salah satu faktor penurunan kesadaran masyarakat untuk menggunakan pelayanan kesehatan yang ada. Masyarakat dengan pendapatan rendah biasanya tidak memeriksakan kesehatan secara berkala sehingga tidak mengetahui kondisi kesehatannya karena keterbatasan biaya. Mengingat biaya kesehatan yang semakin tinggi. 2) Gizi Buruk Gizi buruk yang menimpa penderita akan memudahkan penularan penyakit ascariasis. Hal ini dikarenakan penderita gizi buruk mengalami penurunan daya tahan atau imunitas. Daya tahan tubuh sangat penting untuk melindungi tubuh, salah satunya dari serangan parasit cacing. 3) Perumahan Kumuh Kodisi lingkungan rumah yang kumuh dapat menyebabkan penyakit ascariasis. Sanitasi yang tidak baik akan menjadi tempat berkembangbiakan bibit penyakit. Misalnya sebuah perumahan yang memiliki sanitasi buruk dengan tempat pembuangan feses tidak tercover, akan menyebabkan pencemaran tanah oleh feses yang kemudian menjadi tempat berkembangbiakan telur cacing ascarisis. Tanah yang tercemar tadi terpegang oleh sesorang dan seseorang tadi tidak mencuci tangan sebelum makan, maka orang tersebut menelan telur ascariasis dan terkenan penyakit ascariasis. c. Pencetus Penyakit ascariasis dipengaruhi oleh keadaan lingkungan yang kotor (sanitasi kehidupan sehari-hari, penggunaan feses sebagai pupuk masih banyak terdapat di masyarakat. Padahal bahaya dari pencemaran tanah akibat pupuk tersebut sangat mengancam kehidupan dan menjadi jalan masuk penyakit ascariasis. Pola hidup tidak sehat dengan kurang memperhatikan kebersihan lingkunag dan kebersihan diri juga menjadi salah sati faktor pencetus penyakit ascariasis. Orang yang suka sembarangan makan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu sangat beresiko terkena penyakit ascariasis karena mereka menelan telur cacing ascariasis. Membuang feses tidak pada tempatnya (membuang hajat sembarangan) juga menjadi hal yang perlu diperhatikan. Tanah akan tercemar oleh feses dan menjadi tempat perkembangbiakan telur cacing ascariasis.

d.

Pemberat Jenis pekerjaan merupakan faktor pemberat dari penyakit ascariasis. Yang mudah terkena penyakit ini biasanya mereka yang bekerja di dan terpapar langsung dengan tanah. Hal ini dikarenakan tempat hidup cacing ascariasis banyak di tambang. Jenis pekerjaan lainnya yang memudahkan penularan telur cacing ascariasis adalah pekerja perkebunan yang menggunakan feses sebagai pupuk. Karena tanah tempat mereka bekerja menjadi tempat bertelurnya cacing ascariasis.

5. a.

Pencegahan Penyakit (Model Clarck) Promotion Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik dan tepat guna serta hygiene keluarga dan hygiene pribadi seperti :

1) 2) 3) 4) 5) 6)

Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman. Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan dicuci terlebih dahulu dengan menggunkan sabun dan air mengalir. Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan, hendaklah dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat. Ajarkan masyarakat menggunakan fasilitas jamban yang memenuhi syarat kesehatan. Mengajarkan kepada masyarakat agar tidak membuang feses outdors. Mengajarkan kepada masyarakat untuk tidak kontak langsung dengan tanah tanpa menggunakan pelidung diri (sarung tangan) apalagi dengan tanah yang terkontaminasi feses.

b. 1) 2)

Specifik Protection Sediakan fasilitas yang cukup memadai untuk pembuangan kotoran yang layak dan cegah kontaminasi tanah pada daerah yang berdekatan langsung dengan rumah, terutama di tempat anak bermain. Di daerah pedesaan, buatlah jamban umum yang konstruksinya sedemikian rupa sehingga dapat mencegah penyebaran telur askariasis melalui aliran air, angin, dan lain-lain. Kompos yang dibuat dari kotoran manusia untuk digunakan sebagai pupuk kemungkinan tidak membunuh semua telur.

3) 4) 5) 6)

Lakukan kegiatan pemberian obat cacing secara berkala di masyarakat melalui unit pelayanan kesehatan dasar (PUSKESMAS). Di daerah endemis, jaga agar makanan selalu di tutup supaya tidak terkena debu dan kotoran. Makanan yang telah jatuh ke lantai jangan dimakan kecuali telah dicuci atau dipanaskan. Ketika bepergian ke negara yang sanitasi dan higienisnya jelek, hindari makanan yang mungkin berkontaminasi dengan tanah. Mengadakan kemotrapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemik ataupun daerah yang rawan terhadap penyakit askariasis.

c. 1) 2)

Early Diagnosis and Promt Treatment Melakukan pemerikasaan kesehatan secara berkala di unit pelayanan kesehatan agar mengetahui kondisi kesehatan dan bisa mencegah terkena penyakit ascariasis. Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada untuk meningkatkan status kesehatan. Bisa dengan berkonsultasi dengan tenaga kesehatan agar memperoleh informasi tentang diagnosa penyakit dini.

d.

Disabillity Limitation

Investigasi kontak dan sumber infeksi : cari dan temukan penderita lain yang perlu diberikan pengobatan. Perhatikan lingkungan yang tercemar yang menjadi sumber infeksi terutama disekitar rumah penderita. Penderita penyakit askariasis tidak perlu di isolasi ataupun di karantina karena tidak akan membahayakan orang lain dan dirinya sendiri. Untuk penaganan wabah di daerah endemis tinggi cukup dengan pemberian penyuluhan tentang sanitasi lingkungan dan higiene perseorangan yang baik serta pengobatan massal kepada kelompok resiko tinggi terutama anak-anak. e. Rehabilitation WHO menyarankan strategi pemberantasan difokuskan pada penduduk dengan resiko tinggi termasuk pengobatan pada masyarakat (juga terhadap Trichuris trichura dan cacing tambang). Pengobatan dibnedakan berdasarkan prevalensi dan beratnya penyakit infeksi: 1) Pengobatan masal pada wanita (sekali setahun termasuk wanita hamil) dan anak prasekolah usia diatas satu tahun (2 kali setahun). Pengobatan massal untuk anak sekolah diberikan apabila lebih dari 10% menunjukkan adanya infeksi berat (> 50.000) telur askariasis/gram tinja tanpa melihat angka prevalensinya. 2) 3) Pengobatan massal setahun sekali untuk risiko tinggi (termasuk wanita hamil) apabila prevalensinya > 50% dan infeksi berat pada anak sekolah < 10%. Pengobatan individual, apabila prevalensinya < 50% dan infeksi berat pada anak sekolah < 10%.

D. SCREENING PENYAKIT 1. Metode Cara menegakkan diagnosis penyakit adalah dengan pemeriksaan tinja secara langsung. Adanya telur memastikan diagnosis askariasis. Diagnosis juga dapat dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui hidung, mulut, maupun tinja. Pemeriksaan tinja dengan cara: 1. 2. 3. 2. Cara sederhana Cara konsentrasi (Cara kato) Cara kuantitatif (Kato katz) Alasan Penggunaan metode ini gampang dilakukan atau sederhana. Screening jenis ini lebih efisien karena murah dan hasilnya baik. Efektif dalam memisahkan kelompok yang sakit dan kelompok sehat. Metode ini juga aman dan hasilnya dapat diterima serta tingkat releabilitasnya tinggi. 3. Penanganan Hasil Tes (+) & (-) Bagi pasien (+) maka akan dilakukan pemeriksaan, pengobatan dan perawatan lebih lanjut di unit pelayanan kesehatan terdekat. Pasien di laukakan pemeriksaan penunjang lainnya seperti uji diagnostik untuk menegakkan diagnosa dan menentekukan rencana keperawatan selanjutnya. Setelah menegakkan diagnosa, maka ditentukan pengobatan apa yang sesuai dengan kondisi pasien. Selanjutnya dilakukan perawatan kepada pasien sampai dengan pasien mampu beraktivitas dan berfungsi sebagaimana mestinya dan dapat kembali lagi ke masyarakat. Penanganan bagi pasien (-) dengan melakukan preventif dan promotif. Pasien diberikan poendidikan kesehatan agar terhindar dari penyakit ascariasis dan di lakukan pelatihan bagaimana caranya menjaga kondisi lingkungan dan menjaga kebersihan diri serta makanan agar meningkatkan status kesehatan pasien.

E. UJI DIAGNOSTIK PILIHAN 1. 2. a. Ascariasis pneumonitis: uji sputum untuk larva ascaris biasanya berguna. Ascariasis usus: pemeriksaan telur pada feses Direct fecal film: simpel dan efektif. Telur mudah ditemukan dengan menggunakan cara ini karen jumlah oviposition betina yang besar, yaitu 240.000 telur cacing perhari. Sehingga metoda ini merupakan metoda utama. b. c. 3. 4. 5. 6. F. 1. 2. Metoda brine floatation. Recovery cacing dewasa, jika ditemukan cacing dewasa dan adolescent pada feses, muntah dan organ manusia yang diinfeksi ascariasi, diagnosa bisa ditegakkan. Abdominal x-ray USG atau foto perut Comlpete blood count Diagnosis askariasis dilakukan dengan menemukan telur pada tinja pasien atau ditemukan cacing dewasa pada anus, hidung, atau mulut. Pemeriksaan kadar eosinofil dalam darah. THERAPI Istirahat Diet

3. a. 1) 2)

Obat-obat ALBENDAZOL Sifat fisik : tidak larut dalam air, BM 265 Farmakologi dan mekanisme: Albendazol adalah turunan dari derivat benzimedazol carbamate yang strukturnya berhubungan dengan mebendazol. Mulanya dikenal sebagai obat hewan pada tahun 1975, dan kemudian digunakan sebagai obat antelmentik.obat ini mempunyai spektrum yang luas dalam melawan aktivitas nematoda (Ascaris lumbricoides, Enterobius vermicularis, Strongyloides stercoralis, Trichuris trichiura and apillaria philippinensis), sistemic nematoda (Trichinella spiralis and cutaneous larva migrans) and cestodes (Echinococcus granulosis, E. multilocularis and neurocysticercosis). Albendazol aktif melawan bentuk larva dan dewasa nematoda usus. Metabolit utama adalah albendazole sulphoxide, yang mempunyai respon yang besar dalam farmakologi obat. Mekanisme kerja : terikat dengan beta tubulin, mencegah pemnbentukan mikrotubula, beta tubulin dipengaruhi oleh beta tubulin Mekanisme potensial yang lain:

a) b) 3)

menghambat fumarat rduktase , menurunkan NADH. degradasi RE dan mitokondria, menurun produksi ATP. Farmakokinetik Metoda spesifik HPLC telah ditemukan untuk menentukan metabolit aktif albendazol sulphoxide (2,3,4). Karena mengalami first past metabolism, hanya terdeteksi sedikit jumlahnya atau tidak seluruhnya masuk ke pembuluh darah. Setelah pemberian oral dengan dosis tunggal 400 mg pada volunter yang sehat. Concentrasi plasma puncaknya adalah 0.04 dan 0.55 g/ml dari metabolit sulphoxide yang dicapai setelah 1 atau 4 jam. Ketika obat diberikan dengan makanan yang berlemak, ditemukan peningkatan konsentrasi plasma. Perbendaan konsentrasi plasma

dalam dan antar individu dari albendazol sulphoxide telah dilaporkan. Itu mungkin disebabkan karena absorbsi yang tidak menentu dan kemungkinanan perbedaan laju metabolisme. Albendazol terikat pada protein plasma sampai 70%. Albendazol secara cepat dan lengakap dioksidasi menjadi metabollit aktif albendazol sulphoxide, yang kemudian dioksidasi menjadi inactif compound albendazol sulphon. Albendazol sulphoxide dieliminasi dari plasma dengan T1/2 9 jam. Dieksresikan melalui ginjal dalam bentuk sulphon dan metabolit yang lain. Sejumlah metabolit yang tidak signifikan dikeluarkan melalui empedu. Albendazol sulphoxida bisa melewati barier pembuluh darah otak, dan konsentrasi yang bisa dicapai di otak adalah 1/3 dari plasma. 4) Indikasi Infeksi tunggal atau ganda yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides, Enterobius vermicularis, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura. albendazol kemungkinana efktif untuk mengobati Strongyloides stercoralis tetapi harus dikontrol apakah lebih baik dari thiabendazol. Albendazol merupakan drug of choice untuk kasus hydatid. 5) Hamil dan menyusui Teratogen dan embriotoksisiti dilaporkan pada tikus dan kelinci. Tapi tidak ada laporan pada manusia. Karena menyebabkan teratogen pada hewan dan kurangnya informasi pada manusia, albendazol sebaiknya tidak diberikan selama kehamilan. Eksresi melalui laktasi belum diketahui.FDA : C/D 6) Efek Samping Setelah pemberian tunggal dosis 400 mg, terlihat efek samping minor yaitu nyeri pada epigastric dan diare, kurang dari 6% pasien yang mengalaminya. 7) Kontraindikasi dan Peringatan Belum diketahui kontraindikasi selama pengobatan dengan dosis tunggal nematoda usus. Selama pengobatan hydatid desease, liver transaminase, leukosit dan platelet harus dimonitor secara teratur. 8) 9) Interaksi Obat Dexametason dapat meningkatkan kadar albendazol sulphoxide dalam plasama sampai 50%. Dosis Dewasa dan Anak Dosis tunggal 400 mg. Reinfeksi dengan entrobiasis, dosis berikutnya dibutuhkan setelah 2-4 minggu.10-15 mg/kg/hari (maksimal 800 mg/hari). 10) Preparat Zentel : tablet 400 mg dan suspensi 2% Eskazole : tablet 400 mg. b. MEBENDAZOLE

1) Sifat Fisik: BM 259, praktis tidak larut air. 2) Farmakologi dan Mekanisme Mebendazol adalah derivat benzimedazol yang memiliki spektrum anthelmentik yang luas. Keefektifannya tinggi melawan bentuk larva dan dewasa dari Ascaris lumbricoides, Enterobius vermicularis, Trichuris trichiura, hookworms (Ancylostoma duodenale and Necator americanus) dan Capillaria philippinensis. Dengan dosis yang tinggi obat berfek melawan hydatid disease. Invitri study terbaru melaorkan mebendazol efektif melawan Giardia lamblia dibanding metronodazol. Mekanisme kerja: mengikat beta tubula parasit dengan menghambat polimerisasi tubula menjadi mikrotubula, yang merupakan fungsi yang penting dari sel parasit.. beta tubulin tergantung glukosa uptake. Mekanisme : perintangan pem,asukan glukosa dan mempercepat penggunaannya. (obat-obat penting: 192). 3) Farmakokinetik

Mebendazol diberikan oral, bioavailabilitas oral kurang dari 20%. Absorbsinya meningkat dengan memakan makanan yang berlemak.dimetabolisme di hati. Vd sekitar 1.2 l/kg. 95% obat terikat dengan protein plasma. Secara ekstensiv dirubah menjadi metabolit inaktif (hidroksi dan aminometabolit) yang memiliki laju clearen yang ebih lambat dari obat induknya. Indikasi Mebendazol adalh obat pilihan untuk nematode usus. Bisa juga digunakan untuk hydatid disease jika albendazol tidak ada. 4) Hamil dan Menyususi Mebendazol dalam dosis tinggi bersifat tertogen dan embriotoksik pada tikus. Dokumentasi pada manusia kuran, pengobatan dengan mebendazol harus dicegah selama awal kehamilan. Eksresi melalui ASI tidak diketahui. 5) Efek Samping Nyeri abdominal, diare, sedikit sakit kepala. Dosis yang besar pada pengobatan hidatyd emiliki ES : toksis pada tulang, alopecia, hepatitis, glomerulonefritis, demam dan exfoliativ dermatitis. 6) Kontraindikasi dan Peringatan Dosis dikurangi pada pasien dengan gangguan hati. Serum transaminase, leukosit dan platelet harus diperikasa selama pengobatan. FDA : C 7) Interaksi Phenitoin dan karbamazepin dilaporkan menurunkan konsentrasi plasma mebendazol, sedangkan cimetidin memiliki efek yang berlawanan. 8) 9) Dosis Dewasa dan Anak-anak 100 mg dua kali sehari selama 3 hari. Preparat Pantelmin larutan oral 20mg/ml, tablet 100 mg, 500 mg vermox oral suspensi 20 mg/ml, tablet 100 mg, 500 mg c. 1) 2) LEVOMISOLE Sifat Fisik Basa BM 204, HCl BM 241, pKa 8, 1 g terlarut dalam 2 ml air, hindari dari cahaya. Farmakologi dan Mekanisme Levomisol adalah L-isomer dari tetramisol dan lebih aktif dari campuran racemiknya. Ini diperkenalkan pada tahun 1966 untuk obat hewan, dan kemudian digunakan untu antelmentik melawan ascariasis.. obat juga bisa digunakan untuk hookworm , tapi hasil study inconsisten. Mekanisme kerjanya adalah melalui stimulasi autonomic ganglia (nicotinic reseptor) dari cacing. Jika terekspos obat, cacing immature dan dewasa menunjukkan kontraksi spastic yang diikuti paralisis tonic. Mekanisme ini hampir sama dengan antilmentik yang lain yaitu pirantel dan bephenium hidroksinaphtoat. Pada dosis besar levamisol bekerja sebagai imunostimulant (khususnya sel T). 3) Farmakokinetik Bioavailabiliti oral tidak diketahui. Setelah pemberian dosis oral 150 mg atau 2.5 mg/kg pada volunter yang sehat, puncak plasmanya adalah 0.5-0.7 g/ml yang dicapai dlam 2 jam. Vd bervariasi mulai dari 86-266 liter. Obat secara cepat dimetabolisme. Satu metabolit hidroksilevamisol diidentifikasi dalam urin manusia dan tikus.dan beberapa yang lain tidak teridentifikasi. Pada tikus metabolit yang lain adalah OMPI (2-oxo-3-(2mercaptoethyl)-5-phenylimidazoline). T1/2 antara 4-5 jam. 4) 5) Indikasi Monoinfeksi ascaris lumbricoides. In poliinfeksi mebendazol adalah pilihan utama. Hamil dan Menyusui

Tidak ada dilaporkan adanya tertogen pada kelinci dan tikus dengan dosis 5 dan 150 mg/kg selama kehamilan. Laporan pada manusia kurang. Pengobatan dengan levamisol ditunda sampai melahirkan. Kecuali indikasi kuat untuk menggunakannya. Eksresi melalui ASI belum diketahui. 6) Efek Samping Nausea, vomiting, abdominal pain dan sakit kepala.penggunaan sebagai imunomodulator memberikan efek samping yang serius seperti blood disorder (agranulositosis, neutropenia, dan trombocitopenia) kerusakan ginjal, influenza like reaksi, vasculitis, photosensitivity, dan alergi obat. 7) Kontraindikasi dan Perhatian Harus dicegah pada pasian yang alergi obat. Pemberian bersama bisa menyebabkan reaksi seperti reaksi alcohol dan disulfiram. 8) 9) Interaksi Levamisol dilaporkan menggantikan ikatan protein rifampicin invitro. Dosis Dewasa: 150 mg levamisol (base) sebagai dosis tunggal Anak-anak: 2,5 mg/kg levamisol (base) sebagai dosis tunggal. 10) Preparat Ketrak : oral solution 40 mg base per 5ml, tablet 40 mg base Solaskil : tablet 30 mg base, 150 mg base Ergamisol : tablet 50 mg basa Levamisol tablet 50 mg basa d. 1) a) b) c) d) e) 2) PIPERAZINE Sifat Fisik Piperazine base (anhydrous): MW 86; pKa: 5.6, 9.8. Piperazine hexahydrate: MW 194. Freely soluble in water. Piperazine adipate: MW 232.1 g dissolves in 18 ml of water. Piperazine phosphate: MW 202. 1 g dissolves in 60 ml of water. Tripiperazine dicitrate (piperazine citrate): MW 643.1 g dissolves in 1.5 ml of water. Farmakologi dan Mekanisme Piperazin adalah basa organic heterosiklik secara luas digunakan untuk antelmentik. Ini dikembangkan untuk mengobati gout. Obat ini menyebabkan paralysis flaccid. Piperazin menyebabkan hiperpolarisasi pada otot asacaris. 3) 4) 5) 6) 7) 8) Farmakokinetik Tidak ada data yang tersedia tentang BA, tidak ada metabolit yang ditemukan di urin. Indikasi Pengobatan infeksi ascaris l dan entrobius vermicularis. Hamil dan Menyusui Piperazin telah digunakan selama kehamilan tanpa ada efek teratogen. Efek Samping Nausea, vomiting, kram abdominal, diare. Pada overdosis timbul gatal-gatal, kesemutan dan gejala neurotksis. Kontraindikasi dan Perhatian Tidak boleh diberikan pada pasien dengan hipersensiti atau dengan penyakit neurologi terutama pasien epilepsi. Interaksi

Pada tikus dan mencit, piprezin menigktkan potensi clororazin. 9) Dosis Dewasa : dosis tunggal 75 mg/kg piperazin hexahydrate (max 3.5 g) Anak-anak: 50 mg/kg piperazin hexahidrat (max 2.5 g) 10) Preparat Antepar: oral suspensi 150 mg piperazin hexahidrat. Tablet 500 mg. e. Bephenium hydroxynaphtoate (alcopar) Pemberian dosis tunggal 5 gram. f. Pyrantel pamoate (anthelcide, ascantrine, combantrine) Obat pilihan dengan pemberian dosis tunggal 10mg/kg BB g. 1) Obat kombinasi Pyrantel pamoate (125 mg) dan oxantel pamoate (125 mg) 125/125 Dosis: dewasa 375/375 dosis tunggal. Anak: 1-5 th 125/125 dosis tunggal 5-12 th 250/250 dosis tunggal. 2) Mebendazole (150 mg) dan pyrantel pamoate (100 mg) Selama 3 hari berturut-turut. G. RIWAYAT PENYAKIT YANG KHAS Kurang lebih 85% kasus askariasis tidak menunjukan gejala klinis (asimtomatik), namun beberapa individu dengan keluhan rasa terganggu di abdomen bagian atas dengan intensitas bervariasi. 1. Migrasi pulmonal Pada awal migrasi larva melalui paru-paru pada umumnya tidak menimbulkan gejala klinis, namun pada onfeksi berat dapat menyebabkan pneumonitis. Larva askaris dapat menimbulakan reaksi hipersensitif pulmonum, reaksi inflamasi dan pada individu yang sensitif dapat menyebabakan gejala seperti asma misalnya batuk, demam, dan sesak nafas. Reaksi jaringan karena migrasi larva yakni inflamasi eosinofilik, granuloma pada jaringan dan hipersensitifitas local menyebabakan peningkatan sekresi mucus, inflamasi bronkiolar dan eksudat serosa. Pada kondisi berat karena larva yang mati, menimbulkan vaskulitis dengan reaksi granuloma perivaskuler. Inflamasi eosinofilik dekenal dengan lofflers sindrom. 2. a) b) 3. a) b) Gejala alergi lainnya seperti urtikaria kemerahan di kulit (skin rash), nyeri pada mata dan insomnia karena reaksi alergi terhadap: Ekskresi dan sekresi metabolik cacing dewasa Cacing dewasa yang mati Infeksi intestinal Cacing dewasa menimbulkan gejala klinis ringan , kecuali pada infeksi berat. Gejala klinis yang sering timbul, gangguan abdominal, nausea, anoreksia dan diare. Komplikasi serius akibat migrasi cacing dewasa ke pencernaan lebih atas akan menyebabkan muntah (cacing keluar lewat mulut atau hidung) atau keluar lewat rectum. Migrasi larva dapat terjadi sebagai akibat rangsangan panas (38,90C). c) Sejumlah cacing dapat membentuk bolus (massa) yang dapat menyebabkan obstruksi intestinal secara parsial atau komplet dan menimbulkan rasa sakit pada abdomen, muntah dan kadang-kadang massa dapat di raba.

d)

Migrasi cacing ke kandung empedu, menyebabkan kolik biliare dan kolangitis. Migrasi pada saluran pankreas menyebabkan pankreatitis. Apendisitis dapat disebabkan askaris yang bermigrasi ke dalam saluran apendiks.

4.

Pada anak di bawah umur 5 tahun menyebabakan gangguan nutrisi berat karena cacing dewasa dan dapat di ukur secara langsung dari peningkatan nitrogen pada tinja. Gangguan absorpsi karbohidrat dapat kembali normal setelah cacing dieleminasi.

5.

Askaris dapat menyebabkan protein energy malnutrition. Pada anak-anak yang diinfeksi 13-14 cacing dewasa dapat kehilangan 4 gram protein dari diet yang mengandung 35-50 gram protein/hari (Ideham B dan Pusarawati S, 2007).

6.

Efek terhadap ekonomi telah banyak diketahui orang, yaitu, menguras banyak uang, karena kemampuan A. lumbrikoides memakan karbohidrat yang cukup besar (Soedarmo, 2008).

H. PROGNOSA PENYAKIT & ASPEK YANG MEMPENGARUHI PROGNOSA Pada umumnya, askariasis memiliki prognosis yang baik. Kesembuhan askariasis mencapai 70 hingga 99% (Sutanto et al, 1998). Tanpa pengobatan, infeksi cacing ini dapat sembuh dalam waktu 1,5 tahun.Komplikasi bisa disebabkan oleh cacing dewasa yang bergerak ke organ tertentu menyebabkan blockage usus . Komplikasi yang mungkin terjadi: a) b) c) Penghambatan sekresi liver blockage intestine perforasi in the gut

2.2.3.2 Pemeriksaan Feses a. Metode Natif Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara feses diambil sebesar korek api, kemudian diletakkan diatas obyek gelas, kemudian tambahkan satu tetes aquades, aduk sampai homogen sedangkan elemen feses yang kasar dibuang. Kemudian tutup dengan gelas penutup dan periksa dibawah mikroskop dengan pembesaran obyektif 10 X. Pemeriksaan feses dengan metode natif ini bertujuan untuk mengamati adanya telur cacing dan protozoa saluran pencernaan. b.Metode Konsentrasi 1. Pengendapan (Sedimentasi) Feses sebesar biji kenari dimasukkan ke dalam gelas beker dan tambahkan aquades agar konsentrasinya kira-kira 10% kemudian aduk sampai homogen. Saring dengan menggunakan dua lapis kain katun tipis atau saringan teh untuk menyingkirkan bagian yang besar, masukkan ke dalam tabung centifuge sampai volume tabung lalu centrifuge dengan kecepatan 1.500 rpm selama 2-3 menit. Tabung centrifuge dikeluarkan dari centrifugator, supernatannya dibuang sedangkan sedimen yang tertinggal didasar tabung diaduk kemudian buat preparat seperti pada pemeriksaan langsung dan lakukan pemeriksaan di bawah mikroskop dengan pembesaran obyektif 10X. Adapun prinsip dari metode ini adalah dengan menggunakan

cairan dengan berat jenis (BJ) yang lebih rendah dari berat jenis telur cacing, sehingga menyebabkan telur cacing akan mengendap. Metode ini biasa cocok digunakan untuk cacing kelas Trematoda. 2. Pengapungan (Flotation) Feses sebesar biji kenari dimasukkan ke dalam gelas beker dan tambahkan aquades agar konsentrasinya kira-kira 10% kemudian aduk sampai homogen. Saring dengan menggunakan dua lapis kain katun tipis atau saringan teh untuk menyingkirkan bagian yang besar, masukkan ke dalam tabung centifuge sampai volume tabung lalu centrifuge dengan kecepatan 1.500 rpm selama 2-3 menit. Tabung centrifuge dikeluarkan dari centrifugator, supernatannya dibuang sedangkan sedimen yang tertinggal pada dasar tabung ditambahkan dengan larutan pengapung (garam jenuh) sampai volumenya tabung, aduk hingga homogen kemudian dimasukkan lagi ke dalam centrifugator dan centrifuge dengan kecepatan 1.500 rpm selama 2-3 menit. Tabung centrifuge dikeluarkan dan diletakkan di dalam rak tabung reaksi dengan posisi tegak lurus. Tambahkan cairan pengapung perlahan-lahan dengan cara ditetesi dan tunggu selama 1-2 menit. Gelas penutup disentuhkan di permukaan cairan dan tempelkan diatas obyek gelas. Periksa di bawah mikroskop dengan pembesaran obyektif 10 X. Prinsip dari metode ini adalah menggunakan cairan dengan berat jenis (BJ) lebih tinggi dari berat jenis telur sehingga menyebabkan telur cacing akan mengapung. Metode ini cocok untuk cacing kelas Nematoda.

Anda mungkin juga menyukai