Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi cacing di Indonesia merupakan infeksi kronik yang sering dijumpai

dan paling banyak menyerang anak balita dan anak usia sekolah dasar. Infeksi

cacing adalah penyakit yang disebabkan oleh masuknya parasit (cacing) kedalam

tubuh manusia. Di Indonesia penyakit infeksi cacing merupakan masalah

kesehatan masyarakat terbanyak setelah malnutrisi. Penyakit infeksi cacing

merupakan salah satu masalah yang masih banyak terjadi di masyarakat namun

kurang mendapatkan perhatian (neglected diseases), sehingga masalah ini sering

terlewatkan. Gambaran klinis dari infeksi cacing sering kali tidak menampakkan

gambaran yang jelas dan keluhan yang berarti, tetapi infeksinya yang bersifat

menahun akan mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan pemenuhan

kecukupan gizi. Infeksi cacing memang tidak menyebabkan wabah yang muncul

dengan tiba-tiba ataupun menyebabkan banyak korban, kerugian yang ditimbulkan

akibat kecacingan sangat besar utamanya terhadap perkembangan fisik,

intelegensia dan produktifitas anak yang merupakan generasi penerus bangsa (

Depkes RI, 2006), Semua umur dapat terinfeksi cacing ini dan prevalensi tertinggi terdapat

pada anak-anak, khususnya usia sekolah dasar yaitu sekitar 40-60 % (Depkes RI, 2006).

Faktor yang menyebabkan masih tingginya infeksi cacing adalah rendahnya tingkat

sanitasi pribadi (perilaku hidup bersih sehat) seperti kebiasaan cuci tangan sebelum makan

dan setelah buang air besar (BAB), kebersihan kuku, perilaku jajan di sembarang tempat

yang kebersihannya tidak dapat dikontrol, perilaku BAB tidak di WC yang menyebabkan

pencemaran tanah dan lingkungan oleh feses yang mengandung telur cacing serta

ketersediaan sumber air bersih (Winita, dkk., 2012). Resiko tertinggi terutama kelompok

1
anak yang mempunyai kebiasaan defekasi di saluran air terbuka dan sekitar rumah, makan

tanpa cuci tangan dan bermain-main di tanah yang tercemar telur cacing tanpa alas kaki

(Ichmaster,2007).

Di Indonesia penyakit infeksi cacing merupakan masalah kesehatan

masyarakat terbanyak setelah malnutrisi. Prevalensi dan intensitas tertinggi

didapatkan pada anak usia sekolah dasar. Oleh sebab itu penting bagi kalangan

masyarakat terutama orang tua untuk mengetahui bagaimana infeksi cacing ini

terjadi dan bagaimana cara mengobati serta cara pencegahannya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja etiologi infeksi cacing pada anak?

2. Bagaimana epidemiologi infeksi cacing pada anak?

3. Bagaimana gejala klinis, perjalanan penyakit, dan pendekatan diagnosa

klinis pada penyakit infeksi cacing pada anak?

4. Bagaimana penatalaksanaan penyakit infeksi cacing pada anak?

5. Bagaimana pencegahan penyakit infeksi cacing pada anak?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui etiologi infeksi cacing pada anak.

2. Untuk mengetahui epidemiologi infeksi cacing pada anak.

3. Untuk mengetahui gejala klinis, perjalanan penyakit, serta pendekatan

diagnosa klinis pada penyakit infeksi cacing pada anak.

4. Untuk mengetahui penatalaksanaan penyakit infeksi cacing pada anak.

5. Untuk mengetahui pencegahan penyakit infeksi cacing pada anak.

6. Memberikan pengetahuan dan wawasan bagi Dokter Muda di SMF Ilmu

Kesehatan Anak.

2
1.4 Manfaat

Menjadi landasan pembelajaran tentang infeksi cacing pada anak bagi

tenaga kesehatan khususnya dokter muda di RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ascaris lumbricoides

Hospes pada infeksi ini adalah manusia saja. Nama penyakit dari

infeksi ini adalah Askariasis(Margono, 2006)

2.1.1 Epidemiologi

Parasit ini ditemukan kosmopolit. Survei yang dilakukan dibeberapa

tempat di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi A.lumbricoides masih

cukup tinggi, sekitar 60-90% (Staf Parasitologi FKUI, 2008).

2.1.2 Morfologi dan daur hidup

Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan yang betina

22-35 cm. Stadium dewasa hidup di rongga usus muda. Seekor

cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000 butir sehari;

terdiri dari telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi.

Gambar 1. Telur dan cacing Ascaris lumbricoides dewasa (Dent,2010)


4
Telur yang dibuahi dalam lingkungan yang sesuai

berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3

minggu. Bentuk infektif ini, bila tertelan oleh manusia, menetas di

usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju

pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung,

kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus

dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga

alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus.

Dari trakea larva ini menuju ke faring, sehingga menimbulkan

rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan

larva akan tertelan ke dalam esofagus, lalu menuju ke usus halus. Di

usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang

tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang

lebih 2 bulan (Margono, 2006 )

5
Gambar 2. Siklus Hidup Ascariasis lumbricoides

(Dent,2010)

Keterangan: 1)Cacing dewasa, 2)Telur infertil dan

telur fertil, 5) Larva yang telah menetas, 7) Larva

matur

2.1.3 Patologi dan Gejala Klinis

Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh

cacing dewasa dan larva. Gangguan yang disebabkan cacing

dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami

gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang,

diare atau konstipasi, Status nutrisi anak dengan askariasis dapat

lebih dipengaruhi oleh latar belakang sosioekonomik dan nutrisinya

daripada oleh pengaruh infeksi askaris (Dent, 2007)

Morbiditas dapat bermanifestasi selama migrasi larva yang

melalui paru-paru atau dihubungkan dengan adanya cacing dewasa

di usus halus. Askariasis paru dapat terjadi paska pemajanan yang

berat dan juga sering pada individu yang hidup di daerah dengan

penularan infeksi musiman. Tanda-tanda yang paling khas adalah

batuk, sputum berbercak darah dan eosinofilia. Pada foto thoraks

tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini

disebut sindrom Loeffler (Margono, 2010).

Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi

malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang

serius terjadi bila cacing-cacing ini menggumpal dalam usus

sehingga terjadi obstruksi usus (ileus). Adanya cacing dewasa pada

6
usus halus disertai dengan keluhan tidak jelas seperti nyeri perut dan

kembung. Obstruksi usus walaupun jarang, dapat karena massa

cacing pada anak yang terinfeksi berat; insiden puncak terjadi pada

anak umur 1-6 tahun. Mulainya biasanya mendadak dengan nyeri

perut kolik berat dan muntah, yang dapat berbercak empedu; gejala

ini dapat memperburuk dengan cepat dan menyertai perjalanan yang

serupa dengan obstruksi usus akut etiologi lain apapun (Dent, 2010).

2.1.4 Diagnosis

Seseorang dapat dicurigai menderita Ascariasis akan lebih

pasti bila pada pemeriksaan tinjanya kita temukan telur-telurnya atau

bentuk dewasa yang keluar bersama tinja, muntahan, ataupun

melalui pemeriksaan radiologi dengan contrast barium. Sebagai

diagnosis pembantu selain adanya gejala klinis yang mencurigakan,

adanya eosinophil dan test kulit (Scratch test) yang positif dapat pula

mengarahkan diagnosis (Staf Parasitologi FKUB,2011). Selain itu

diagnosis dapat dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui

mulut atau hidung, maupun melalui tinja.

2.1.5 Pengobatan

Beberapa agen kemoterapeutik efektif melawan askariasis;

namun tidak ada yang berguna selama fase infeksi paru.

Pengobatan, terutama dengan anak dengan infeksi berat harus

didekati dengan hati-hati. Pemberian Piperazin sitrat ( 150 mg/kgBB

peroral dosis inisial, diikuti oleh 6 dosis masing-masing 65mg/kgBB

interval pemberian tiap 12 jam secara peroral), menyebabkan

7
paralisis neuromuskular parasit dan pengeluaran cacing relatif cepat,

sehingga obat ini adalah obat pilihan untuk obstruksi usus atau

saluran empedu ( Dent, 2007 ).

Terapi pilihan untuk ascariasis gastrointestinal meliputi

albendazole (400 mg peroral dosis tunggal, untuk segala usia),

mebendazole (100 mg 2 kali sehari peroral selama 3 hari atau 500

mg peroral dosis tunggal untuk segala usia), atau pyrantel pamoate

(11 mg/kgBB peroral dosis tunggal, maksimum 1 gram). Karena

hipersentivitas sporadis dan reaksi neurotoksik telah dilaporkan

dengan derivat piperazin, obat-obat lain seperti mebendazol (100 mg

dua kali sehari selama 3 hari) harus digunakan untuk mengobati

askariasis tidak terkomplikasi atau dengan albendazol dosis tunggal

400 mg. Tindakan operatif mungkin diperlukan pada keadaan

dimana terjadi obstruksi yang berat (Dent, 2010).

2.1.6 Pencegahan

Anjuran mencuci tangan sebelum makan, menggunting kuku

secara teratur, pemakaian jamban keluarga serta pemeliharaan

kesehatan pribadi dan lingkungan, tidak menggunakan feses

manusia sebagai pupuk dapat mencegah askariasis (Margono,

2010).

2.2 Trichuris trichiura

2.2.1 Hospes dan nama penyakit

Manusia merupakan hospes cacing ini. Penyakit yang

disebabkannya disebut trikuriasis (Margono, 2010)

8
2.2.2 Epidemiologi

Cacing ini bersifat kosmopolit; terutama ditemukan di daerah

panas dan lembab, dan juga di daerah-daerah dengan sanitasi yang

buruk, cacing ini jarang dijumpai di daerah yang gersang, sangat

panas atau sangat dingin. Cacing ini merupakan penyebab infeksi

cacing kedua terbanyak pada manusia di daerah tropis. Angka infeksi

tertinggi pada anak terjadi pada usia 5-15 tahun. Penularan terjadi

melalui kontaminasi tangan, makanan (sayur atau buah yang

dipupuki dengan pupuk kotoran manusia) atau minuman. Transmisi

juga dapat terjadi secara langsung melalui lalat atau serangga lain

(IDAI, 2010 ). Jumlah cacing dapat bervariasi, apabila jumlahnya

sedikit pasien biasanya tidak terpengaruh dengan adanya cacing ini

(Dent, 2010).

2.2.3 Morfologi dan daur hidup

Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing

jantan kira-kira 4 cm. Bagian anterior langsing seperti cambuk,

panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Cacing dewasa

ini hidup di kolon asendens dan caecum dengan bagian anteriornya

(spikulum) yang seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus. Di

tempat itulah cacing mengambil makanannya. Seekor cacing betina

diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3.000-10.000 butir

(IDAI, 2010).

9
Gambar 3. Telur dan Cacing dewasa T. Trichiura (Dent, 2010)

Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti

tempayan dengan semacam peninjolan yang jernih pada kedua

kutub. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja.

Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu dalam

lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan tempat

yang teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan

bentuk infektif. Di dalam tanah, memerlukan sekurang-kurangnya 3 -

4 minggu untuk menjadi embrio. Cara infeksi langsung bila secara

kebetulan hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui dinding

telur dan masuk ke dalam usus halus.di dalam usus dapat menetap

selama 3-10 hari. Sesudah menjadi dewasa cacing turun ke bagian

distal dan masuk ke daerah kolon, terutama caecum. Jadi cacing ini

tidak mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur

yang tertelan sampai cacing dewasa betina meletakkan telur kira-kira

30-90 hari (Dent, 2010).

10
Gambar 4. Siklus hidup cacing Trichuris trichiura (Dent, 2010).

2.2.4 Patologi dan Gejala klinik

Cacing Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di

caecum, akan tetapi dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada

infeksi berat terutama pada anak anak, cacing ini tersebar di

seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mucosa rektum

yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada

waktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa

usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan

peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya dapat terjadi

perdarahan. Disamping itu cacing ini ini mengisap darah hospesnya,

sehingga dapat menyebabkan anemia(Faust, 2014)

Pendeita terutama anak dengan infeksi trichuris yang berat

dan menahun, memunjukkan gejala-gejala nyata seperti diare yang

sering diselingi dengan sindrom disentri, anemia, berat badan turun,

hipoproteinemia dan kadang-kadang disertai prolapsus rekti

(Sjamsuhidajat, 2010).

11
2.2.5 Diagnosis

Diagnosis dibuat dengan menemukan telur di dalam tinja.

2.2.6 Pengobatan

Mebendazol 100 mg dua kali sehari selama 3 hari atau dosis

tunggal 500 mg untuk segala usia adalah obat yang aman dan efektif;

obat ini mengurangi pengeluaran telur sekitar 90-99% dan angka

kesembuhannya mencapai 70-90% (Dent, 2007).

Obat alternatif yang digunakan yaitu Albendazol dosis

tunggal 400 mg peroral untuk segala usia5 atau 400 mg peroral

perhari selama 3 hari (Yunus, 2008).

Pada penelitian yang dilakukan pada tahun 2008 oleh

Yunus.R, mengenai keefektifan albendazole pemberian sekali sehari

selama 1, 2 dan 3 hari dalam menanggulangi infeksi T. Trichiura

pada anak sekolah dasar di Kecamatan Medan Tembung,

didapatkan hasil bahwa Cure Rate pemberian Albendazole dosis

tunggal selama 3 hari lebih efektif dibanding pemberian dosis tunggal

selama 1 atau 2 hari. Angka Egg Reduction Rate (ERR) mencapai

99,64% dan Cure Rate (CR) mencapai 95,65% untuk infeksi

intensitas ringan. Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang

dilakukan oleh Sirivichayakul C, dkk tahun 2003 yang menyarankan

pemakaian Albendazole selama 3 hari untuk menanggulangi infeksi

cacing cambuk intensitas ringan, sedangkan untuk infeksi berat

diperlukan pengobatan selama 5 hingga 7 hari. Alternatif lain yaitu

Pirantel pamoat dosis tunggal 10-15 mg/kgBB (Margno, 2009)

12
2.2.7 Pencegahan

Penyakit ini dapat dicegah dengan menjaga kebersihan

personal, meningkatkan kondisi sanitasi dan mengeliminasi

penggunaan feses manusia sebagai pupuk (Dent, 2010).

2.3 Enterobius vermicularis - Pinworm (Oxyuris vermicularis)

2.3.1 Hospes dan nama penyakit

Manusia adalah satu-satunya hospes dan penyakitnya

disebut enterobiasis atau oksiuriasis.

2.3.2 Epidemiologi

Parasit ini kosmopolit tetapi lebih banyak ditemukan di daerah

dingin daripada di daerah panas.Prevalensi infeksi ini paling tinggi

terjadi pada anak antara umur 5-14 tahun. Pada umumnya berada di

sekitar tempat tinggal, tempat bermain anak atau pada anak yang

tidur secara bersama-sama, hal-hal tersebut dapat memfasilitasi

transmisi telur cacing. Autuinokulasi dapat terjadi pada individu yang

memiliki kebiasaan memasukkan atau mengisap-isap jari (Dent,

2007).

2.3.3 Morfologi dan daur hidup

Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm. Cacing jantan

berukuran 2 5 mm. Habitat cacing dewasa biasanya di rongga

caecum, usus besar dan di usus halus yang berdekatan dengan

rongga caecum. Makanannya adalah isi dari usus.

13
Cacing betina yang gravid mengandung 11.000-15.000 butir

telur, bermigrasi ke daerah perianal untuk bertelur dengan cara

kontraksi uterus dan vaginanya. Telur-telur jarang dikeluarkan di

usus sehingga jarang ditemukan di dalam tinja. Telur menjadi matang

dalam waktu kira-kira 6 jam setelah dikeluarkan, pada suhu badan.

Telur resisten terhadap desifektan dan udara dingin, dala keadaan

lembab telur dapat hidup sampai 13 hari.

Kopulasi cacing jantan dan betina mungkin terjadi di sekum.

Cacing jantan mati setelah kopulasi dan cacing betina mati setelah

bertelur. Infeksi cacing kremi terjadi bila menelan telur matang, atau

bila larva dari telur menetas di daerah perianal bermigrasi kembali ke

usus besar. Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari

tertelannya telur matang sampai menjadi cacing dewasa gravid yang

bermigrasi ke daerah perianal, berlangsung kira-kira 2 minggu

sampai 2 bulan. Infeksi cacing kremi dapat sembuh sendiri (self

limited), bila tidak ada reinfeksi, tanpa pengobatanpun infeksi dapat

berakhir(Margono, 2006).

2.3.4 Patologi dan gejala klinis

Enterobiasis relatif tidak berbahaya, jarang menimbulkan lesi

yang berarti. Gejala klinis yang menonjol disebabkan oleh stimulasi

mekanik dan iritasi di sekitar anus, perineum dan vagina oleh cacing

betina gravid yang bermigrasi ke daerah tersebut sehingga

menyebabkan pruritus lokal (Margono, 2006).

Gejala klinis yang paling umum adalah rasa gatal dan

kesulitan tidur oleh karena pruritus nokturnal. Kadang-kadang cacing

14
dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal

sampai ke lambung, esofagus dan hidung sehingga menyebabkan

gangguan di daerah tersebut (Margono, 2006)

2.3.5 Diagnosis

Infeksi cacing sering diduga pada anak yang menunjukkan

rasa gatal di sekitar anus pada waktu malam hari. Diagnosis dibuat

dengan menemukan telur dan cacing dewasa. Telur cacing dapat

diambil dengan mudah denagn alat anal swab yang ditempelkan di

sekitar anus pada waktu pagi hari sebelum anak buang air besar atau

membilas setelah buang air besar (Margono, 2006).

2.3.6 Pengobatan

Obat antihelmintik sebaiknya diberikan kepada individual

yang terinfeksi juga kepada seluruh anggota keluarganya. Dosis

tunggal mebendazol (100 mg peroral untuk segala usia) diberikan,

lalu diulang pada 2 minggu, angka kesembuhan dapat mencapai 90-

100%.

Regimen alternatif lainnya yaitu albendazol dosis tunggal

(400 mg peroral untuk segala usia) diulang kembali setelah 2 minggu

atau pirantel pamoat (11 mg/kgBB peroral) dosis tunggal (Dent,

2007).

Mebendazol efektif terhadap semua stadium perkembangan

cacing kremi, sedangkan pirantel dosis tunggal tidak efektif terhadap

stadium muda.Membiasakan anak mandi pagi akan menyingkirkan

telur cacing ini dalam porsi besar. Frekuensi mengganti pakaian

dalam, perlengkapan tempat tidur, sprei akan mengurangi resiko

15
lingkungan tempat tinggal yang terinfeksi telur cacing dan

mengurangi resiko terjadinya autoinfeksi (Dent, 2007)

2.4 Cacing Tambang (Hookworm)

2.4.1 Hospes dan Nama Penyakit

Manusia adalah hospes parasit ini. Parasitnya terdiri dari Necator

americanus dan Necator duodenale. Penyakitnya disebut necatoriasis dan

ankilostomiasis.

2.4.2 Epidemiologi

Kedua parasit ini diberi nama cacing tambang karena pada zaman

dahulu cacing ini ditemukan di Eropa pada pekerja pertambangan, yang

belum mempunyai fasilitas memadai. Penyebaran cacing ini di seluruh

daerah khatulistiwa dan di tempat lain dengan keadaan yang sesuai,

misalnya di daerah pertambangan dan perkebunan. Prevalensi di Indonesia

tinggi, terutama di daerah pedesaan. Antara tahun 1972-1979 prevalensi di

berbagai daerah di Indonesia adalah 50%. Pada survei-survei yang

dilakukan Departemen Kesehatan di sepuluh propinsi di Indonesia antara

tahun 1990-1991 hanya didaptkan 0 - 24,7%. Infeksi N. Americanus lebih

luas penyebarannya dibandingkan A. Duodenale, dan spesies ini juga

merupakan penyebab utama infeksi cacing tambang di Indonesia (Margono,

2006).

2.4.3 Morfologi dan daur hidup

Cacing dewasa berbentuk silindris dengan kepala membengkok

tajam ke belakang. Terdapat 2 stadium larva yaitu larva rhabditiform yang

tidak infektif dan larva filariform yang infektif. Penularannya melalui kontak

16
dengan tanah. Cacing betina N. americanus dapat memproduksi 10.000

telur sehari dan A. duodenale memproduksi 20.000 telur sehari

(Sjamsuhidajat, 2010)

Gambar 5. Siklus hidup cacing tambang (Dent, 2007)

2.4.4 Patologi dan gejala klinis

Infeksi ringan cacing ini biasanya ditandai dengan sedikit

gejala atau tanpa gejala sama sekali. Pada infeksi yang berat,

kelainan patologi yang terjadi oleh 3 fase sebagi berikut:

1. Fase cutaneus, yaitu cutaneus disebabkan larva migrans,

berupa efek larva menembus kulit. Larva ini menyebabkan

dermatitis yang disebut Ground itch. Timbul rasa nyeri dan gatal

pada tempat penetrasi.

2. Fase pulmonary, berupa efek yang disebabkan oleh migrasi

larva dari pembuluh darah kapiler ke alveolus. Larva ini

17
menyebabkan batuk kering, asma yang disertai dengan

wheezing dan demam.

3. Fase intestinal, berupa efek yang disebabkan oleh perlekatan

cacing dewasa pada mukosa usus halus dan pengisapan darah.

Cacing ini dapat mengiritasi usus halus menyebabkan mual,

muntah, nyeri perut, diare, dan feses yang berdarah dan

berlendir. Anemia defisiensi besi dijumpai pada infeksi cacing

tambang kronis akibat kehilangan darah melalui usus akibat

dihisap oleh cacing tersebut di mukosa usus. Terjadinya anemia

defisiensi besi pada infeksi cacing tambang tergantung pada

status besi tubuh dan gizi penjamu, beratnya infeksi (jumlah

cacing dalam usus penderita), serta spesies cacing tambang

dalam usus. Infeksi A. Duodenale menyebabkan perdarahan

yang lebih banyak dibandingkan N. Americanus (Price, 2011).

Jumlah darah yang hilang per hari per satu ekor cacing adalah

0,03 mL pada infeksi Necator americanus dan 0,15 mL pada

infeksi Ancylostoma duodenale. Jumlah darah yang hilang setiap

harinya adalah 2 mL/1000 telur/gram tinja pada infeksi Necator

americanus dan 5 mL/1000 telur/gram tinja pada infeksi

Ancylostoma duodenale, sehingga kadar hemoglobin dapat

turun mencapai level 5 gr/dl atau lebih rendah (Sjamsuhidajat,

2010).

2.4.5 Diagnosis

Pemeriksaan penunjang pada cacing tambang dewasa

dilakukan untuk menemukan telur cacing dan atau cacing dewasa

18
pada pemeriksaan feses. Pemeriksaan feses basah dengan fiksasi

formalin 10% dilakukan secara langsung dengan mikroskop cahaya.

Tanda-tanda anemia defisiensi besi yang sering dijumpai adalah

anemia mikrositik hipokrom, kadar besi serum yang rendah, kadar

total iron binding capacity yang tinggi (Price, 2011).

2.4.6 Pengobatan

Mebendazole dikatakan dapat bekerja pada semua stadium

nematoda usus. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat

efikasi mebendazole ini seperti Abadi (1985) pada pemberian

mebendazole 500 mg dosis tunggal mendapat angka penyembuhan

93,4%, 77,6%, dan 91,1% untuk A. Lumbricoides, T. Trichiura dan

cacing tambang4. Dalam hal ini pada pengobatan infeksi cacing

tambang, 100 mg obat diminum pada pagi dan malam hari selama 3

hari berturut-turut atau dengan dosis tunggal 500 mg. Apabila belum

sembuh, dosis ini dapat diulang 3 minggu kemudian (Sjamsuhidajat,

2010).

2.5 Strongiloidiasis

2.5.1 Hospes dan nama penyakit

Manusia merupakan hospes cacing ini. Penyakit yang

disebabkannya disebut strongilidiasis.

2.5.2 Epidemiologi

Lebih dari 1 milyar penduduk di dunia terinfeksi oleh satu atau

lebih nematoda usus salah satunya adalah Strongiloides stercoralis

dimana infeksi cacing ini merupakan urutan kelima setelah Ascaris (

cacing bulat ), Necator americanus ( cacing tambang ), Trichuris

19
triciuria ( cacing cambuk ) dan Enterebius vermicularis ( cacing kremi

). Menurut literature yang ada srongyloides terdiri dari 52 spesies

kebanyakan dari spesies tersebut dapat mengakibatkan infeksi pada

manusia.

Penyebaran infeksi Strongyloides seiring dengan infeksi

cacing tambang tetapi frekuensinya lebih rendah pada daerah

dengan iklim dingin. Infeksi erutama terjadi pada daerah dengan

iklim tropic dan subtropik dimana panas, kelembaban dan tidak

adanya sanitasi yang baik memungkinkan terjadinya infeksi

strongyloides ini. Infeksi Srongyloides ini terdistribusi khususnya di

kawasan Asia Tenggara, sub Sahara Afrika dan Brazil. Di Amerika

Serikat strongyloidiasis merupakan endemik pada daerah di bagian

selatan dan ditemukan di antara penghuni panti asuhan mental yang

memiliki sanitasi dan hygiene yang buruk dan diantara imigran serta

veteran militer yang pernah tinggal di daerah endemik di luar negeri.

Stongyloides stercoralis merupakan salah satu spesies yang dapat

menginfeksi pada manusia.

Strongyloides endemik pada negara Amerika terutama

Tennessee, Kemtucky dan Virginia bagian barat. Populasi yang

sering terserang adlah mereka yang sering bepergian atau imigran

dari daerah endemik dan para veteran perang dunia II serta perang

di Vietnam. Epidemiologi di Kanada menemukan bahwa para

imigran dari Asia terutama dari Vietnam teinfeksi oleh parasit ini.

Prevalensi di dunia di duga 2 20 % berada pada daerah endemik.

20
Strongilidiasis ini dapat menyerang segala usia dan semua

jejins kelamin. Jika pada anak anak basanya mereka yang kontak

dengan tanah yang mengandung parasit ini (Margono, 2010)

2.5.3 Morfologi dan daur hidup

Dalam siklus hidup s. stercoralis tidak diperlukan hospes

perantara. Sebagai hospes definitif adalah manusia. Telur cacing

dikeluarkan oleh cacing betina didalam mukosa usus duodenum dan

jeyunum yang lalu menetas menjadi larva rabditiform. Cacing betina

hidup sebagai parasit dengan ukuran 2,20 x 0, 04 mm, adalah

berbentuk filariform, tidak berwarna, semitransparan dengan

kutikulum yang bergaris halus. Cacing ini mempunyai ruang mulut

dan oesofagus panjang, langsing dan silindrik. Sepasang uterus

berisi sebaris telur yang berdinding tipis, jernih dan bersegmen.

Cacing betina yang hidup bebas ukurannya lebih kecil dibanding

dengan yang parasit. Cacing jantan yang hidup bebas lebih kecil dari

yang betina dan mempunyai ekor yang melingkar.

Cara berkembang biak dari s. stercoralis yaitu telur diletakkan

di mukosa usus duodenum dan jeyunum kemudian menetas menjadi

larva rabditiform yang dapat masuk kedalam ke rongga usus serta

dikeluarkan bersama tinja.

Strongyloides stercoralis mempunyai 3 macam daur hidup :

1. Siklus langsung

Sesudah 2 sampai 3 hari di tanah, larva rabditiform yang

berukuran kira kira 225 x 16 mikron berubah bentuk menjadi

filariform dengan bentuk langsing dan merupakan bentuk infektif,

21
panjangnya kurang lebih 700 mikron. Bila larva filariform ini

menembus kulit manusia kemudian masuk kedalam peredaran

darah vena dan kemudian melalui jantung kanan sampai ke paru

paru. Dari paru paru parasit . menjadi dewasa menembus

alveolus masuk ke trakea lalu terjadi reflek batuk, sehinnga

parasit dapat masuk kedalam usus halus. Cacing betina dapat

bertelur ditemukan kira kira 28 hari sesudah infeksi. Siklus

langsung sering terjadi di negara negara yang lebih dingin

dengan keadaan yang kurang menguntungkan untuk parasit

tersebut.

2. Siklus tidak langsung

Pada siklus tidak langsung, larva rabditiform di tanah

berubah menjadi cacing jantan dan cacing betina bentuk bebas.

Bentuk bebas ini lebih gemuk dari bentuk parasitik. Cacing

betina berukuran 1 mm x 0,06 mm, yang jantan 0,75 mm x 0,04

mm, mempunyai ekor melengkung dengan 2 buah spikulum.

Sesudah pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang

dapat menetas menjadi larva rabditiform. Larva rabditiform

dalam beberapa hari dapat menjadi larva filariform dan masuk

kedalam hospes baru, atau larva rabditoform dapat juga

megulangi fase hidup bebas. Siklus tidak langsung ini terjadi bila

keadaan lingkungan sekitar optimum yaitu iklim tropik dan

subtropik.

3. Autoinfeksi

22
Larva rabditiform kadang kadang menjadi larva

filariform di dalam usus atau didaerah sekitar anus (perianal),

misalnya pada pasien dengan obstipasi lama sehinnga bentuk

rabditiform sempat berubah menajdi filariform didalam usus.

Pada penderita diare yang lama dimana kebersihan kurang

diperhatikan, bentuk rabditiform akan menjadi bentuk filariform

pada tinja yang melekat pada dubur. Bila larva filariform

menembus mukosa usus atau kulit maka akan terjadi suatu daur

perkembangan di dalam hospes. Adanya autoinfeksi dapat

menyebabkan strongyloidiasis menahun pada penderita yang

hidup pada daerah non endemik (Dent, 2007).

Gambar 6. Siklus Hidup Strongiloides

23
2.5.4 Gejala Klinis

Kelainan pada strongyloidiasis dapat bervariasi tergantung

dari berat ringannya penyakit dan organ tubuh yang terkena. Pada

beberapa orang tidak menunjukkan gejala sama sekali dan secara

klinis hanya dijumpai eosinophilia.

Berdasarkan siklus hidupnya maka organ tubuh yang dapat

terkena adalah : kulit, paru paru dan usus.

Kulit

Pada penetrasi kulit reaksi yang timbul adalah rasa gatal dan

eritema, jika larva yangmenembus kulit jumlahnya banyak maka

akan menimbulkan creeping eruption dan rasa gatal yang

sangat hebat.

Paru - paru

Migrasi larva ke paru paru dapat merangsang timbulnya

gejala tergantung dari banyaknya larva yang ada dan intensitas

respon imunnya. Ada yang asimptomatis ada yang sampai

pneumonia.

Usus ( Gastrointestinal symptom )

Gejala pada saluran pencernaan antara lain : anoreksia,

berat badan menurung, muntah, diare kronik, konstpasi,

terkadang terjadi obstruksi pada usus.

Pada infeksi yang berat akan terjadi kerusakkan mukosa

usus, gejala dapat berupa ulkus peptikum. Dari infeksi yang kronik

bebeapa kasus dapat berlangsung hingga 30 tahun sebagai akibat

kemampuan larvanya untuk melakukan autoinfeksi (Dent, 2007)

24
2.5.5 Diagnosis

Pada diagnosis klinis tidak pasti karena strongyloidiasis tidak

memberikan gejala klinis yang nyata. Diagnosis pasti adlah

ditemukannya larva di dalam feses, dalam biakkan atau dalam aspirsi

duodenum. Biakkkan tinja selama kurang lebih 2 x 24 jam

menghasilkan larva filariform dan cacing dewasa yang hidup bebas.

Bebarapa laporan mengatakan bahwa pemeriksaan bahan

dari duodenum dapat menemukan larva apabila di dalam tinja

negative. Suatu teknik khusus yang telah dianjurkan untuk

pemeriksaan bahan duodenum yaitu dengan kapsul Entero test,

teknik konsentrasi khusus (Baermann) dan metode kultur larva

(Harada Mori, cawan Petri).

2.5.6 Pengobatan

Tiabendazol merupakan obat pilihan dengan dosis 25 mg per

kg berat badan, satu atau dua kali sehari selama 3 hari. Menebdazol

dapat juga digunaka dengan dosis 100 mg tiga kali sehari selama

dua atau empat minggu dapat memberikan hasil yang baik.

Mengobati penderita strongyloidiasis harus memperhatikan terhadap

kebersihan sekitar anus dan mencegah terjadinya konstipasi.

2.6 Taeniasis

2.6.1 Definisi

Cacing ini dikenal dengan nama umum cacing pita. Yang

penting di indonesia yaitu taenia saginata dan taenia solium.

Penyakitnya disebut Taeniasis. Taeniasis ialah penyakit zoonosis

25
parasiter yang disebkan oleh cacing pita yang tergolong dalam genus

Taenia (Taenia saginata, Taenia solium) pada manusia.

Sistiserkosis (Cysticercosis) ialah infeksi oleh bentuk larva

Taenia solium (Cysticercus Cellulosa) pada manusia.

2.6.2 Hospes

Hospes definitif dari Taenia Sp hanya manusia, kecuali untuk

Taenia Solium, manusia juga berperan sebagai hospes perantara.

Sedangkan hewan (hospes) perantara ialah babi untuk Taenia

Solium dan sapi untuk Taenia saginata (KEMENKES, 2006).

2.6.3 Sumber Penularan

Sumber penularan taeniasis/sistiserkosis :

1. Penderita teaniasis sendiri dimana tinjanya mengandung telur atau

proglotid cacing pita.

2. Hewan (terutama) babi, sapi yang mengandung larva cacing pita

(cysticercus).

3. Makanan / minuman dan lingkungan yang tercemar oleh telur-telur

cacing pita.

2.6.4 Cara Penularan

Seseorang bisa terkena infeksi cacing pita (taeniasis) melalui

makanan yaitu memakan daging yang mengadung larva, baik larva

yang terdapat pada daging sapi (Cysticercus bovis) maupun larva

Taenia Solium (Cysticerosis cellulosa) yang terdapat pada daging

babi. Sedangkan penularan sistiserkosis / neurosistiserkosis pada

manusia adalah melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh

26
telur-telur cacing Taenia Solium. Penularan dapat juga terjadi karena

autoinfeksi, yaitu langsung melalui ano-oral akibat kebersihan tangan

yang kurang dari penderita Taniasis solium, atau autoinfeksi internal

akibat adanya gerakan antiperistatik dari usus. Telur Taenia saginata

tidak menimbulkan sistiserkosis pada manusia.

Gambar 7. Siklus hidup cacing Taenia Solium (Dent, 2010)

27
2.6.5 Masa Tunas

Masa tunas infeksi cacing berkisar antara 8-14 minggu.

Cacing pita dewasa dapat tahan hidup sampai 25 tahun dalam

usus.

2.6.6 Gejala Klinis

Taeniasis

Gejala klinis taeniasis sangat bervariasi dan tidak

patognomonis (khas). Sebagian kasus tidak menunjukkan

gejala (asimptomatik). Gejala klinis dapat timbul sebagai akibat

iritasi mukosa usus atau toksin yang dihasilkan cacing. Gejala

tersebut antara lain rasa tidak enak pada lambung , nausea

(mual), badan lemah, berat badan menurun, nafsu makan

menurun, sakit kepala, konstipasi (sukar buang air besar),

pusing, diare, dan pruiritus ani (gatal pada lubang pelepasan).

Pada pemeriksaan darah tepi (hitung jenis) terjadi peningkatan

eosinofil (eosinofilia) Gejala klinis taeniasis solium hampir tidak

dapat dibedakan dari gejala klinis taeniasis saginata (Yunus,

2008).

Secara psikologis penderita dapat merasa cemas karena

adanya segmen / proglotid pada tinja dan pada Taenia saginata

segmen dapat lepas dan bergerak menuju sphincter anal yang

merupakan gerakan spontan dari segmen.

Sisterkosis

Gejala klinis yang timbul tergantung dan letak jumlah,

umur, dan lokasi dari kista. Sebagian besar penderita tidak

28
menunjukkan gejala atau dapat ditemukan adanya nodul

subkutan. Sistiserkosis serebri sering menimbulkan gejala

epilepsi atau gejala tekanan intrakranial meninggi dengan sakit

kepala dan muntah yang menyerupai gejala tumor otak. Pada

kasus yang berlangsung lama dapat dijumpai bintik kalsifikasi

dalam otak.

2.6.7 Diagnosis

Taeniasis

Diagnosa taeniasis dapat ditegakkan dengan 2 (dua) cara

yaitu:

a) Menanyakan riwayat penyakit (anamnesis).

Didalam anamnesis perlu ditanyakan antara lain apakah

penderita pernah mengeluarkan proglotid (segmen) dari cacing

pita baik pada waktu buang air besar maupun secara spontan.

Bila memungkinkan sambil memperhatikan contoh potongan

cacing yang diawetkan dalam botol transparan.

b) Pemeriksaan tinja

Tinja yang diperiksa adalah tinja sewaktu berasal dari

defekasi spontan. Sebaiknya diperiksa dalam keadaan segar.

Bilamana ditemukan telur cacing Taenia Sp, maka pemeriksaan

menunjukkan hasil positif taeniasis.

Pada pemeriksaan tinja secara makroskopis dapat juga

ditemukan proglotid jika keluar.

Dinyatakan penderita taeniasis, taeniasis, apabila ditemukan

telur cacing Taenia Sp pada pemeriksaan tinja secara

29
mikroskapis dan / atau adanya riwayat mengeluarkan progloid

atau ditemukan prohlotid pada pemeriksaan tinja secara

makroskopis dengan atau tanpa disertai gejala klinis

(KEMENKES, 2006).

Sistiserkosis

Dinyatakan tersangka sistiserkosis apabila pada

a) Anamnesis :

1. Berasal dari / berdomisili didaerah endemis taeniasis /

Sistiserkosis

2. Gejala taeniasis ()

3. Riwayat mengeluarkan proglotid ()

4. Benjolan (nodul subkutan) pada salah satu atau lebih bagian

tubuh (+)

5. Gejala pada mata dan gejala sistiserkosis lainnya ()

6. Riwayat / gejala epilepsi (-)

7. Gejala peninggian tekanan intra kranial (-)

8. Gejala neurologis lainnya (-)

b) Pemeriksaan fisik:

1. Teraba benjolan /nodul sub kutan atau intra muskular satu lebih

2. Kelainan mata (oscular cysticercosis) dan kelainan lainnya yang

disebabkan oleh sistiserkosis ()

3. Kelainan neurologis (-)

c) Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan tinja secara makroskopis: Proglotid ()

2. Pemeriksaan tinja secara mikroskopis: telur cacing taenia sp ()

30
3. Pemeriksaan serologis : sistiserkosis (+)

4. Pemeriksaan biopsi pada nodul subkutan gambaran menunjukkan

patologi anatomi yang khas untuk sistiserkosis (+)

Paling sedikit gejala klinis yang harus ditemukan pada

tersangka sistiserkosis ialah teraba benjolan/nodul subktan atau intra

muskular baik satu atau lebih pada orang yang berasal

dari/berdomisili di daerah endemis taeniasis / sistiserkosis.

Dinyatakan penderita sistiserkosis apabila pada tersangka

sistiserkosis sudah dipastikan diagnosisnya dengan pemeriksaan

serologis danatau pemeriksaan biopsi. Pemeriksaan serologis

dilakukan dengan metode ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent

Assay) dan atau Immunoblot Spesimen yang diperiksa berupa serum

(darah vena yang diambil kurang lebih 5ml).

Pada tersangka sistiserkosis yang menunjukkan respon

positif terhadap obat sistiserkosis, membantu menegakkan diagnosis

(dapat dianggap sebagai penderita sistiserkosis).

2.6.8 Pengobatan

Taeniasis

Penderita Taeniasis diobati ( secara massal ) dengan

Praziquantel , Dosis 100 mg / kg , dosis tunggal. Cara pemberian

obat praziquantel adalah sebagai berikut:

a) Satu hari sebelum pemberian obat cacing, penderita

dianjurkan untuk makan makanan yang lunak tanpa minyak dan

serat.

31
b) Malam harinya setelah makan malam penderita menjalani

puasa.

c) Keesokan harinya dalam keadaan perut kosong penderita

diberi obat cacing. Dua sampai dua setengah jam kemudian

diberikan garam Inggris (MgS O4) 7,5 gram untuk anak anak,

sesuai dengan umur, yang dilarutkan dalam sirup (pemberian

sekaligus). Penderita tidak boleh makan sampai buang air besar

yang pertama. Setelah buang air besar , penderita diberi makan

bubur.

d) Sebagian kecil tinja dari buang air besar pertama

dikumpulkan dalam botol yang berisi formalin 5-10 % untuk

pemeriksaan telur Taenia sp.

e) Proglotid dan skoleks dikumpulkan dan disimpan dalam botol

yang berisi alkohol 70 % untuk pemeriksaan morfologi yang

sangat penting dalam identifikasi spesies cacing pita tersebut.

f) Pengobatan taeniasis dinyatakan berhasil bila skoleks

Taenia Sp. dapat ditemukan utuh bersama proglotid.

Sistiserkosis

Praziquantel dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, dosis tunggal

/dibagi 3 dosis per oral selama 15 hari, atau albendazole 15

mg/kg BB/hari, dosis tunggal dibagi 3 dosis per oral selama 7

hari Untuk pengobatan dengan praziquantel maupun

albendazole, reaksi dari tubuh dapat dikurangi dengan

memberikan kortikosteroid (prednison 1mg/kg BB/hari dosis

tunggal / dibagi 3 dosis atau dexamethasone dengan dosis yang

32
setara dengan prednison). Pemberian praziquantel maupun

albendasole harus dibawah pengawasan petugas kesehatan

atau dilakukan dirumah sakit.

2.6.9 Pencegahan

a. Usaha untuk menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati

penderita taenasis

b. Pemakaian jamban keluarga ,sehingga tinja manusia tidak

dimakan oleh babi dan tidak mencemari tanah atau rumput.

c. Pemelihara sapi atau babi pada tempat yang tidak tercemar atau

sapi dikandangkan sehingga tidak dapat berkeliaran.

d. Daging yang mengandung kista tidak boleh dimakan.

Masyarakat diberi gambaran tentang bentuk kista tersebut dalam

daging, hal ini penting dalam daerah yang banyak memotong

babi untuk upacara-upacara adat seperti di Sumatera Utara, Bali

dan Papua.

e. Menghilangkan kebiasaan makan makanan yang mengandung

daging setengah matang atau mentah.

f. Memasak daging sampai matang ( diatas 57 C dalam waktu

cukup lama ) atau membekukan dibawah 10 selama 5 hari

(KEMENKES, 2006).

2.7 Filariasis

2.7.1 Definisi

Filariasis adalah penyakit yang mengenai kelenjar dan

saluran limfe yang disebabkan oleh parasit golongan nematoda yaitu

33
Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori yang ditularkan

melalui nyamuk. Filariasis menyebabkan kulit menjadi sangat gatal,

timbul papul dan scratch marks , hingga menyebabkan seluruh kulit

menjadi kering dan tebal. Dapat timbul nodus dan hiperpigmentasi

atau hipopigmentasi. Filariasis menyebabkan limfedema ekstremitas,

vulva, skrotum, lengan dan payudara. Pada ekstremitas bawah

biasanya tampak gambaran verukosa dengan lipatan dan kulit yang

pecah-pecah (Nutmat and James, 2006)

2.7.2 Hospes

Manusia

Setiap orang mempunyai peluang yang sama untuk dapat

tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk infektif (mengandung

larva stadium III). Manusia yang mengandung parasit selalu dapat

menjadi sumber infeksi bagi orang lain yang rentan (suseptibel).

Biasanya pendatang baru ke daerah endemis (transmigran) lebih

rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita dari pada

penduduk asli. Pada umumya laki-laki banyak terkena infeksi karena

lebih banyak kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure). Gejala

penyakit lebih nyata pada laki-laki karena pekerjaan fisik yang lebih

berat (Margono, 2010)

Hewan

Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber

penularan filariasis (hewan reservoir). Hanya Brugia malayi tipe sub

periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan pada lutung

(Presbytis criatatus), kera (Macaca fascicularis), dan kucing (Felis

34
catus) (Margono, 2010).

2.7.3 Epidemiologi

Diperkirakan 120 juta penduduk dunia terinfeksi filariasis.

Lebih dari 90% kasus filariasis disebabkan oleh Wuchereria bancrofti

dan penderita terbanyak terdapat di Sub Saharan Africa, Southeast

Asia, dan Western Pacific. Program pencegahan sudah dilakukan di

India, Indonesia, Filipina, Papua Nugini, dan beberapa negara pasifik

seperti Fiji dan Tahiti (Lucchina, 2003). Filariasis tersebar hampir di

seluruh wilayah Indonesia dan di beberapa daerah tingkat

endemisitas cukup tinggi. Daerah endemis filariasis pada umumnya

adalah daerah dataran rendah, terutama pedesaan, pantai,

pedalaman, persawahan, rawa-rawa, dan hutan. Secara umum

filariasis bancrofti tersebar di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi,

Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Daerah endemis Wuchereria

bancrofti dibedakan menjadi tipe pedesaan dan tipe perkotaan

berdasarkan vektor yang menularkan. Wuchereria tipe pedesaan

ditemukan terutama di Papua dan Nusa Tenggara dengan vektor

Anopheles, Culex dan Aides sedangkan tipe perkotaan ditemukan di

Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang, Pekalongan dan Lebak pada

daerah yang kumuh, padat penduduknya dan banyak genangan air

kotor dengan vektor Culex quinquefasciatus. Brugia malayi tersebar

di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan beberapa pulau di Maluku,

sedangkan Brugia timore tersebar di kepulauan Flores, Alor, Rote,

Timor dan Sumba.(KEMENKES, 2006)

35
2.7.3 Morfologi dan Daur Hidup

Filaria mempunyai siklus hidup bifasik dimana perkembangan

larva terjadi pada nyamuk (intermediate host) dan perkembangan

larva dan cacing dewasa pada manusia (definive host).(CDC,2015)

Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang

mengandung mikrofilaria, mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam

lambung nyamuk dan melepaskan selubungnya kemudian

menembus dinding lambung nyamuk bergerak menuju otot atau

jaringan lemak di bagian dada. Mikrofilaria akan mengalami

perubahan bentuk menjadi larva stadium I (L1), bentuknya seperti

sosis berukuran 125-250m x 10-17m dengan ekor runcing seperti

cambuk setelah 3 hari. Larva tumbuh menjadi larva stadium II (L2)

disebut larva preinfektif yang berukuran 200-300m x 15-30m

dengan ekor tumpul atau memendek setelah 6 hari. Pada stadium II

larva menunjukkan adanya gerakan. Kemudian larva tumbuh

menjadi larva stadium III (L3) yang berukuran 1400m x 20m. Larva

stadium L3 tampak panjang dan ramping disertai dengan gerakan

yang aktif setelah 8-10 hari pada spesies Brugia dan 10-14 hari pada

spesies Wuchereria. Larva stadium III (L3) disebut sebagai larva

infektif.

36
Apabila seseorang mendapat gigitan nyamuk infektif maka

orang tersebut berisiko tertular filariasis. Pada saat nyamuk infektif

menggigit manusia, maka larva L3 akan keluar dari probosisnya dan

tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk kemudian menuju

sistem limfe. Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi

cacing dewasa dalam kurun waktu 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria

bancrofti memerlukan waktu lebih 9 bulan (KEMENSKES, 2006)

Gambar 8. Siklus hidup Wuchereria bancrofti

2.7.4 Gejala Klinis

Gejala-gejala yang terdapat pada penderita Filariasis meliputi

gejala awal (akut) dan gejala lanjut (kronik). Gejala awal (akut)

ditandai dengan demam berulang 1-2 kali atau lebih setiap bulan

selama 3-4 hari apabila bekerja berat, timbul benjolan yang terasa

panas dan nyeri pada lipat paha atau ketiak tanpa adanya luka di

37
badan, dan teraba adanya tali urat seperti tali yang bewarna merah

dan sakit mulai dari pangkal paha atau ketiak dan berjalan kearah

ujung kaki atau tangan. Gejala lanjut (kronis) ditandai dengan

pembesaran pada kaki, tangan, kantong buah zakar, payudara dan

alat kelamin wanita sehingga menimbulkan cacat yang

menetap(KEMENKES, 2006).

2.7.5 Diagnosis

Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya rnikrofilaria

dalam darah tepi, eksudat, varises limfe, dan cairan limfe dan cairan

hidrokel, atau ditemukannya cacing dewasa pada biopsi kelenjer

limfe atau pada penyinaran didapatkan cacing yang sedang

mengadakan kalsifikasi. Sebagai diagnosis pembantu, pemeriksaan

darah menunjukkan adanya eosinofili antara 5 - 15%. Selain itu juga

melalui tes intradermal dan tes fiksasi komplemen dapat rnembantu

rnenegakkan diagnosis (Nasrin, 2008)

2.7.6 Pengobatan

Obat utama yang digunakan adalah dietilkarbamazin sitrat

(DEC). DEC bersifat membunuh mikrofilaria dan juga cacing dewasa

pada pengobatan jangka panjang. Hingga saat ini, DEC merupakan

satu-satunya obat yang efektif, aman, dan relatif murah. Untuk

filariasis bancrofti, dosis yang dianjurkan adalah 6 mg/kg berat badan

per hari selam 12 hari. Sedangkan untuk filaria brugia, dosis yang

dianjurkan adalah 5 mg/kg berat badan per hari selam 10 hari. Efek

samping dari DEC ini adalah demam, mengigil, artralgia, sakit kepala,

mual, hingga muntah. Pada pengobatan filariasis brugia, efek

38
samping yang ditimbulkan lebih berat. Sehingga untuk

pengobatannya dianjurkan dalam dosis rendah, tetapi waktu

pengobatan dilakukan dalam waktu yang lebih lama. Obat lain yang

juga dipakai adalah ivermektin. Ivermektin adalah antibiotik

semisintetik dari golongan makrolid yang mempunyai aktivitas luas

terhadap nematode dan ektoparasit. Obat ini hanya membunuh

mikrofilaria. Efek samping yang ditimbulkan lebih ringan dibanding

DEC (KEMENKES)

2.8 Cutaneus Larva Migrans

2.8.1 Definisi

Cutaneus larva migrans adalah kelainan kulit khas berupa

garis lurus atau berkelokkelok, progresif, akibat larva yang kesasar.

Sedangkan creeping eruption, istilah ini digunakan pada kelainan

kulit yang merupakan peradangan berbentuk linear atau berkelok

kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh invasi larva cacing

tambang yang berasal dari anjing dan kucing. Cutaneous larva

migrans, dermatosis linearis migrans, sandworm disease (di Amerika

Selatan larva sering ditemukan ditanah pasir atau di pantai),

strongyloidiasis (creeping eruption pada punggung) (Aisah, 2008).

Penyebab tersering dari Cutaneus Larva Migrans ini adalah

Ancylostoma braziliense , yaitu ca c i n g t a m b a n g p a d a

a n j i n g l i a r d a n k u c i n g yang dapat ditemukan di Amerika

Serikat tengah dan selatan, Amerika Tengah, Amerika Selatan dan

39
Karibia; dan Ancylostoma caninum, yaitu cacing tambang pada

anjing yang ditemukan di Australia (Margono, 2010)

Hospes normal cacing tambang ini adalah kucing dan anjing.

Manusia merupakan hospes accidental dan larva tidak mempunyai

enzim kolagenase yang cukup untuk penetrasi membran basalis

sampai ke dermis, sehingga penyakit ini menetap di kulit saja (Kim,

2006).

2.8.2 Epidemiologi

Invasi ini sering terjadi pada anak-anak, terutama yang sering

berjalan tanpa alas kaki, atau yang sering kontak dengan tanah atau

pasir. Demikian pula para petani atau tentara sering mengalami hal

yang sama. Penyakit ini banyak terdapat di daerah tropis atau

subtropis yang hangat dan lembab, misalnya di Afrika, Amerika

Selatan dan Barat, serta Indonesia. Di dunia diperkirakan

574.000.000-740.000.000 orang terinfeksi cacing tambang. Cacing

tambang pernah tersebar secara luas di Amerika Serikat, khususnya

wilayah tenggara, namun perbaikan dalam kondisi hidup telah

mengurangi angka kejadian infeksi cacing tambang dalam jumlah

yang besar di wilayah tersebut (Aisah, 2008).

2.8.3 Morfologi dan Daur Hidup

Ancylostoma caninum mempunyai tiga pasang gigi. Panjang

cacing jantan dewasa Ancylostoma caninum berukuran 11-13 mm

dengan bursa kopulatriks dan cacing betina dewasa berukuran 14-

21 mm. Cacing betina meletakkan rata-rata 16.000 telur setiap

harinya. Morfologi Ancylostoma braziliense mirip dengan

40
Ancylostoma caninum, tetapi kapsul bukalnya memanjang dan berisi

dua pasang gigi sentral. Gigi sebelah lateral lebih besar, sedangkan

gigi sebelah medial sangat kecil. Selain itu, pada Ancylostoma

braziliense juga terdapat sepasang gigi segitiga di dasar bukal

kapsul. Cacing betina berukuran 6-9 mm dan cacing jantan

berukuran 5-8 mm. Cacing betina dapat mengeluarkan telur 4.000

butir setiap hari (Aisah, 2008).

Creeping eruption disebabkan oleh berbagai spesies cacing

tambang binatang yang didapat saat terjadi kontak langsung antara

kulit dengan tanah yang terkontaminasi feses anjing atau kucing.

Hospes normal cacing tambang ini adalah kucing dan anjing. Telur

cacing diekskresikan ke dalam feses, kemudian menetas pada tanah

berpasir yang hangat dan lembab. Kemudian terjadi pergantian bulu

dua kali sehingga menjadi bentuk infektif (larva stadium tiga).

Manusia yang berjalan tanpa alas kaki dan terinfeksi secara tidak

sengaja oleh larva dimana larva menggunakan enzim protease untuk

menembus melalui folikel dan fisura. Biasanya migrasi dimulai dalam

waktu beberapa hari. Larva stadium tiga akan menembus kulit

manusia dan bermigrasi beberapa centimeter per hari, biasanya

antara stratum germinativum dan stratum korneum. Larva ini

menetap di kulit dan berjalan-jalan tanpa tujuan sepanjang

dermoepidermal. Hal ini menginduksi reaksi inflamasi eosinofilik.

Setelah beberapa jam atau hari akan timbul gejala di kulit. Manusia

merupakan hospes accidental dan larva tidak mempunyai enzim

kolagenase yang cukup untuk penetrasi membran basalis sampai ke

41
dermis, sehingga penyakit ini menetap di kulit saja. Enzim proteolitik

yang disekresi larva akan menyebabkan inflamasi yang akhirnya

terjadi rasa gatal dan progresi lesi. Meskipun larva tidak bisa

mencapai intestinum untuk melengkapi siklus hidup, larva seringkali

migrasi ke paru-paru sehingga terjadi infiltrat paru. Pasien dengan

keterlibatan paru-paru didapat larva dan eosinofil pada sputumnya.

Kebanyakan larva tidak mampu menembus lebih dalam dan mati

setelah beberapa hari sampai beberapa bulan (Kim, 2006).

Gambar 9. Patogenesa Cutaneus Larva Migrans

2.8.4 Gejala Klinis

Masuknya larva ke kulit biasanya menimbulkan rasa gatal

dan panas. Awalnya akan timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang

khas, yakni lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok, dengan

diameter 2-3 mm dan berwarna kemerahan. Adanya lesi papul yang

eritematosa ini menunjukkan bahwa larva tersebut telah ada di kulit

selama beberapa jam atau hari. Perkembangan selanjutnya papul

42
merah ini menjalar seperti benang berkelok-kelok, polisiklik dan

membentuk terowongan, mencapai panjang beberapa centimeter.

Rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari. Terjadi rasa gatal

pada ujung lesi yang bertambah panjang karena terdapat larva.

Lebar lesi berkisar antara 3 mm dan panjang bervariasi mencapai

15-20 cm. Lesi bisa tunggal atau multipel, sangat gatal dan bias juga

nyeri. Tempat predileksi adalah di tungkai, plantar, tangan, anus,

bokong, paha, juga di bagian tubuh di mana saja yang sering

berkontak dengan tempat larva berada. Sering terjadi ekskoriasi dan

infeksi sekunder oleh bakteri. Larva terbatas hanya pada lapisan

epidermis. Penyakit ini self limited dengan kematian larva dalam

waktu sebulan atau dua bulan. Infeksi bakteri sekunder bisa terjadi

akibat garukan pada lesi. Tanda dan gejala sistemik (mengi, batuk

kering, urtikaria) pernah dilaporkan pada pasien dengan infeksi

ekstensif. Tanda sistemik termasuk eosinofilia perifer dan

peningkatan kadar IgE. Pada kasus creeping eruption bisa terjadi

sindrom loeffler namun jarang dijumpai (Lydia, 2008).

2.8.5 Diagnosis

Berdasarkan bentuk yang khas, yakni terdapatnya kelainan

seperti benang yang lurus atau berkelok kelok, menimbul dan

terdapat papul atau vesikel di atasnya(Aisah, 2008).

2.8.6 Pengobatan

Oral

43
o Tiabendazol (Mintezol), antihelmintes spektrum luas.

Dosis 50 mg/kgBB/hari, sehari 2 kali, diberikan berturut

turut selama 2 hari. Dosis maksimum 3 gram sehari, jika

belum sembuh dapat diulangi setelah beberapa hari. Sulit

didapat. Efek sampingnya mual, pusing, dan muntah.

o Solusio topikal tiabendazol dalam DMSO, atau suspensi

tiabendazol secara oklusi selama 24 48 jam. Dapat juga

disiapkan pil tiabendazol yang dihancurkan dan dicampur

dengan vaseline, di oleskan tipis pada lesi, lalu ditutup

dengan band-aid/kasa. Campuran ini memberikan

jaringan kadar antihelmints yang cukup untuk membunuh

parasit, tanpa disertai efek samping sistemik.

o Albendazol (Albenza), dosis 400mg dosis tunggal,

diberikan tiga hari berturut turut (Aisah, 2008).

o Ivermectin (Stromectol)

Antiparasit semisintetik makrosiklik yang berspektrum

luas terhadap nematoda. Cara kerjanya dengan

menghasilkan paralisis flaksid melalui pengikatan kanal

klorida yang diperantarai glutamat. Mungkin merupakan

drug of choice karena keamanan, toksisitas rendah dan

dosis tunggal, dewasa: 12 mg atau 200 ug/kgBB dosis

tunggal, Anak-anak <5 tahun: 150 ug/kgBB dosis tunggal,

Anak-anak >5 tahun: sama dengan dewasa. Efek

samping mencakup kelelahan, pusing, mual, muntah,

nyeri perut dan bercak kemerahan. Hindari penggunaan

44
bersama obat yang meningkatkan aktivitas GABA seperti

barbiturat, benzodiazepin dan asam valproat. Ivermectin

tidak boleh diberikan pada ibu hamil (Aisah, 2008).

Topikal

o Cryotherapy dengan CO2 snow (dry ice) dengan

penekanan selama 45 detik sampai 1 menit, selama 2 hari

berturut turut.

o Nitrogen liquid

o Kloretil spray, yang disemprotkan sepanjang lesi. Agak

sulit karena tidak diketahui secara pasti dimana larva

berada, dan bila terlalu lama dapat merusak jaringan

disekitarnya.

o Direkomendasikan pula penggunaan Benadryl atau krim

anti gatal (Calamine lotion atau Cortisone) untuk

mengurangi gatal(Aisah, 2008).

45
BAB III

PENUTUP

Infeksi cacing adalah penyakit yang disebabkan oleh masuknya

parasit (berupa cacing) ke dalam tubuh manusia. Secara umum prognosa

dari infeksi cacing ini baik jika anak tidak mendapatkan suatu komplikasi

yang lain dan diobati secara tepat. Penyakit infeksi cacing sering diabaikan

karena tidak selalu memberikan gejala klinis pada awal infeksi, namun

dampak jangka panjangnya selalu merugikan. Untuk mencegah penularan

dari infeksi cacing ini sendiri, diperlukan peran serta seluruh masyarakat

untuk memutuskan rantai penularan cacing yaitu melalui pola hidup yang

bersih dan sehat.

Dalam usaha mengurangi dan bahkan memberantas

terjadinya infeksi cacing pada anak perlu adanya kerjasama dan

peran aktif antara kepala sekolah, guru dan orang tua dalam

memberikan bimbingan dan pendidikan kepada anak tentang

pentingnya higiene perorangan dan sanitasi lingkungan dalam

mencegah kecacingan dan juga mengajak siswa melakukan

pemeriksaan infeksi cacing dan mengkonsumsi obat cacing setiap

enam bulan sekali secara rutin untuk mencegah kecacingan.

Selain itu, perlu menerapkan dan meningkatkan pola hidup

yang bersih dan sehat setiap hari melalui usaha kebersihan

lingkungan (sanitasi) dan usaha kebersihan diri (higiene perorangan)

untuk mencegah infeksi cacing pada anak dengan cara sederhana

yang dimulai dengan buang air besar di jamban yang sehat,

membuang sampah pada tempatnya, mencuci tangan sebelum

46
makan dan sesudah buang air besar dengan sabun, mandi setiap

hari secara higienis, menggunakan alas kaki (sandal/sepatu),

mengkonsumsi minuman dan makanan yang bersih dan telah

dimasak dengan matang serta rajin menggunting kuku.

47

Anda mungkin juga menyukai