Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dewasa ini, dengan kemajuanteknologi dan fasilitas pendukung kesehatan

diharapkan mampu meningkatkan angka harapan hidup. Namun di beberapa kasus,

seperti kondisi lansia seringkali berhubungan dengan penyakit-penyakit degeneratif

beserta komplikasinya, seperti penurunan kemampuan fisik dan kognitif, gejala

depresi, maupun perubahan emosi. Semua itu berkaitan erat dengan keseimbangan

antara kebutuhan dan intake nutrisi, sesuai dengan aktivitas fisik, kognitif, gaya

hidup, serta status kesehatan secara keseluruhan. Ketidakseimbangan ini dapat

diartikan sebagai kelebihan maupun kekurangan nutrisi. Inilah yang disebut

malnutrisi(Schueren, et.al, 2013).

Malnutrisi memiliki peran penting dalam menentukan sistem kesehatan

masyarakat, termasuk morbiditas dan mortalitas. Prevalensi malnutrisi pada usia

lanjut bervariasi, antara 5-65% dalam populasi, bergantung kriteria dan metodologi

suatu riset (Chavarro-Carvajal, et.al, 2015).

Pencetus terjadinya malnutrisi pada lansia sangat multifaktorial daya

cadangan faali menurun, adanya penurunan status fungsional, tampilan klinik yang

menyimpang, serta malnutrisi (Heriawan, 2017).Prinsipnya, malnutrisi dipengaruhi

oleh komplikasi usia dan intake diet. Salah satunya penurunan sensitivitas saraf
olfaktori yang mengatur rasa lapar dan kenyang, penurunan massa tubuh tanpa

penurunan lemak, dan peningkatan metabolisme seiring bertambahnya usia

berkontribusi dalam prones fisiologis anoreksia pada lansia. Jika terdapat penyakit

komplikasi, akan memperberat kondisi anoreksia sehingga mudah jatuh ke dalam

kondisi malnutrisi. Sehingga, pada lansia prevalensi gizi buruk dikonfirmasi oleh

berbagai penelitian lebih tinggi, ditandai dengan hasil antropometri dan tanda

biokimia dari hasil pemeriksaan laboratorium (Hickson, 2006).

Penilaian nutrisi pada lansia memerlukan pendekatan multidimensi,

mencangkup anamnesis, pemeriksaan fisik, skrining, dan evaluasi secara holistik

dan rinci.Namun di lapangan, yang sering terjadi adalah terbengkalainya masalah

gizi sehari-hari. Mengingat malnutrisi dapat memberi dampak besar pada penyakit

klinis, perlu dilakukan tindakan khusus pada bidang pengelolaan nutrisi, khususnya

lansia (Chavarro-Carvajal, et.al, 2015).

Beberapa studi menyatakan, upaya memperbaiki makanan rumah sakit,

perawatan nutrisi, dan lingkungan makan dapat meningkatkan asupan makanan,

ditunjang dengan suplemen oral (Hickson, 2006). Sehingga pada studi kali ini,

diharapkan dapat mengkaji kondisi lansia dengan malnutrisi serta penatalaksanaan

secara menyeluruh dan meningkatkan angka harapan hidup serta menurunkan

angka morbiditas dan mortalitas pada geriatri akibat kondisi malnutrisi.

1.2. Tujuan

Untuk dapat mengetahui dan memahami definisi, penilaian status gizi dan

tatalaksana gizi buruk, khususnya pada lansia.


1.3. Manfaat

Diharapkan dengan adanya responsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan

pembaca khususnya dokter muda agar dapat menilai status gizi dan menatalaksana

gizi buruk pada lansa sebagai dokter umum dikemudian hari.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 GERIATRI

2.1.1 DEFINISI GERIATRI

Geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang menitikberatkan pada

pencegahan, diagnosis, pengobatan dan pelayanan kesehatan pada usia lanjut

(Setiati, 2014). Dalam Undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan

lansia menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke

atas. Dalam mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia, ada tiga aspek yang perlu

dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial (BKKBN

1998).

Pasien geriatri atau pasin dengan usia lanjut memiliki karakteristik-

karakteristik yang khas yang membedakannya. Karakteristik pasien geriatri yang

pertama adalah multipatologi, yaitu adanya lebih dari satu penyakit kronis

degeneratif. Karakteristik kedua adalah daya cadangan faal menurun karena

menurunnya fungsi organ akibat proses menua. Karakteristik yang ketiga adalah

gejala dan tanda penyakit yang tidak khas.Tampilan gejala yang tidak khas

seringkali mengaburkan penyakit yang pasien.Karakteristik berikutnya adalah

penurunan status fungsional yang merupakan kemampuan seseorang untuk

melakukan aktivitas sehari-hari. Penurunan status fungsional menyebabkan pasien

geriatri berada pada kondisi imobilisasi yang berakibat ketergantungan pada orang
lain. Karakteristik khusus pasien geriatri yang sering dijumpai di Indonesia ialah

malnutrisi. Setiati et al melaporkan malnutrisi merupakan sindrom geriatri terbanyak

pada pasien usia lanjut yang dirawat (42,6%) di 14 rumah sakit (Setiati, 2014).

Secara ekonomi, geriatri lebih dipandang sebagai beban dari pada sebagai

sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi

memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa

kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban

keluarga dan masyarakat. Dari aspek sosial, penduduk lanjut usia merupakan satu

kelompok sosial sendiri. Di negara Barat, penduduk lanjut usia menduduki strata

sosial di bawah kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumber

daya ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputuan serta luasnya hubungan

sosial yang semakin menurun. Akan tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia

menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh warga muda.

2.2 DEMOGRAFI USIA LANJUT

Prevalensi usia lanjut lebih dari 60 tahun meningkat lebih cepat dibandingkan

populasi kelompok umur lainnya karena peningkatan angka harapan hidup dan

penurunan angka kelahiran. Data demografi dunia menunjukkan peningkatan

populasi usia lanjut 60 tahun atau lebih meningkat tiga kali lipat dalam waktu 50

tahun; dari 600 juta pada tahun 2000 menjadi lebih dari 2 miliar pada tahun 2050.

Hal itu menyebabkan populasi usia lanjut lebih atau sama dengan 80 tahun

meningkat terutama di negara maju. Jumlah penduduk usia lanjut di Indonesia

mencapai peringkat lima besar terbanyak di dunia, yakni 18,1 juta pada tahun 2010
dan akan meningkat dua kali lipat menjadi 36 juta pada tahun 2025. Angka harapan

hidup penduduk Indonesia mencapai 67,8 tahun pada tahun 2000-2005 dan menjadi

73,6 tahun pada tahun 2020-2025. Proporsi usia lanjut meningkat 6% pada tahun

1950-1990 dan menjadi 8% saat ini. Proporsi tersebut diperkirakan naik menjadi

13% pada tahun 2025 dan menjadi 25% pada tahun 2050. Pada tahun 2050

seperempat penduduk Indonesia merupakan penduduk usia lanjut, dibandingkan

seperduabelas penduduk Indonesia saat ini. Isu penting peningkatan populasi usia

lanjut adalah perlunya rencana strategis perawatan kesehatan usia lanjut untuk

meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup yang mengacu pada konsep

baru proses menua (aging) (Setiati, 2013).

2.3 KLASIFIKASI GERIATRI

WHO dalam depkes RI mempunyai batasan usia lanjut sebagai berikut:

middle / young elderly usia antara 45-59 tahun, elderly usia antara 60-74 tahun, old

usia antara 75-90 tahun dan dikatakan very old berusia di atas 90 tahun. Pada saat

ini, ilmuwan sosial yang mengkhususkan diri mempelajari penuaan merujuk kepada

kelompok lansia : lansia muda (young old), lansia tua (old old). Dan lansia tertua

(oldest old).

Secara kronologis, young old secara umum dinisbahkan kepada usia antara

65 sampai 74 tahun, yang biasanya aktif, vital dan bugar. Old-old berusia antara 75

sampai 84 tahun, dan oldest old berusia 85 tahun ke atas, berkecenderungan lebih

besar lemah dan tidak bugan serta memilki kesulitan dalam mengelola aktivitas

keseharian (Papalia dkk, 2005).


2.4 PROSES PENUAAN

Menua didefinisikan sebagai proses yang mengubah seorang dewasa

sehat menjadi seorang yang frail (lemah, rentan) dengan berkurangnya

sebagian besar cadangan sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan

terhadap berbagai penyakit dan kematian secara eksponensial. Menua juga

didefinisikan sebagai penurunan seiring-waktu yang terjadi pada sebagian besar

makhluk hidup, yang berupa kelemahan, meningkatnya kerentanan terhadap

penyakit dan perubahan lingkungan, hilangnya mobilitas dan ketangkasan, serta

perubahan fisiologis yang terkait-usia.

Terdapat beberapa istilah yang digunakan oleh gerontologis ketika

membicarakan proses menua:aging (bertambahnya umur), senescence (menjadi

tua) dan homeostenosis: (penyempitan/berkurangnya cadangan homeostatis Istilah

aging yang hanya menunjukkan efek waktu, dianggap tidak mewakili apa yang

terjadi pada proses menua. Sebab berbagai proses yang terjadi seiring waktu,

seperti perkembangan (development), istilah yang sering digunakan di bidang

pediatri, dapat disebut sebagai aging. Aging merupakan proses yang terus

berlangsung (continuum), yang dimulai dengan perkembangan (development)

yaitu proses generatif seiring waktu yang dibutuhkan untuk kehidupan, dan

dilanjutkan dengan senescence yaitu proses degeneratif yang inkompatibel

dengan kehidupan. Istilah senescence juga digunakan untuk menggambarkan

turunnya fungsi efisien suatu organisme sejalan dengan penuaan dan

meningkatnya kemungkinan kematian.


Membedakan antara aging dan senescence dianggap perlu, karena

banyak perubahan selama aging mungkin tidak merusak dan mungkin suatu

perubahan yang diharapkan. Sebagai contoh, kebijakan (wisdom) yang meningkat

seiring usia tidak dianggap sebagai senescence melainkan suatu aging,walaupun

hal itu merupakan bagian dari proses menua. Sebaliknya, gangguan memori

yang terjadi selama aging merupakan manifestasi senescence. Sementara

konsep homeostenosis menunjukkan bahwa seiring dengan bertambahnya usia

maka makin kecil kapasitas seorang tua untuk membawa dirinya ke keadaan

homeostasis setelah terjadinya stattt 'challenge' (di sini yang dimaksud

'challenge'adalah kondisi atau perubahan yang mengganggu homeostasis).

Secara fisiologis, pada lansia akan terjadi transisi nutrisi yaitu terjadinya

perubahan perilaku dan pola aktivitas fisik. Dimana transisi ini menuju diet tinggi

serat rendah lemak menjadi tinggi lemak hewani, gula, dan produk olahan. Hal ini

menyebabkan terjadinya kelemahan nutrisi sehingga terjadi kehilangan berat badan

yang tidak disengaja dan sarkopenia. Sarkopenia merupakan penurunan massa dan

kekuatan otot. Sedangkan, anoreksia adalah penurunan fisiologis nafsu makan dan

asupan makan sehingga terjadi penurunan berat badan yang tidak diinginkan
2.4.1 TEORI PENUAAN

Aging merupakan proses alamiah yang terjadi terus menerus dan dimulai

sejak manusia dilahirkan. Terdapat banyak definisi proses menua, namun teori yang

paling banyak dianut saat ini adalah teori radikal bebas dan teori telomer. (Zajko C,

Ringel, Miller, 2007)

Teori radikal bebas menyatakan proses menua terjadi akibat akumulasi

radikal bebas yang merusak DNA, protein, lipid, glikasi non-enzimatik, dan turn over

protein. Kerusakan di tingkat selular akhirnya menurunkan fungsi jaringan dan organ.

Teori telomer menyatakan hilangnya telomer secara progresif menyebabkan

proses menua. Telomer merupakan sekuens DNA yang terletak di ujung kromosom
yang berfungsi mencegah pemendekan kromosom selama replikasi DNA. Telomer

akan memendek setiap kali sel membelah. Bila telomer terlalu pendek maka sel

berhenti membelah dan menyebabkan replicative senescence (Warner HR, Sierra F,

Thompson LV, 2010)

Masalah umum pada proses menua adalah penurunan fungsi fisiologis dan

kognitif yang bersifat progresif serta peningkatan kerentanan usia lanjut pada kondisi

sakit. Laju dan dampak proses menua berbeda pada setiap individu karena

dipengaruhi faktor genetik serta lingkungan. Proses menua mengakibatkan

penurunan fungsi sistem organ seperti sistem sensorik, saraf pusat, pencernaan,

kardiovaskular, dan sistem respirasi. Selain itu terjadi pula perubahan komposisi

tubuh, yaitu penurunan massa otot, peningkatan massa dan sentralisasi lemak, serta

peningkatan lemak intramuskular. Perlu diingat bahwa perubahan fisik yang

berhubungan dengan proses menua normal bukanlah penyakit. Individu yang

menunjukkan karakteristik menua dikatakan mengalami usual aging, sedangkan

individu yang tidak atau memiliki sedikit karakteristik menua disebut successful aging

(SA) (Zajko C, Ringel, Miller, 2007;Warner HR, Sierra F, Thompson LV, 2010).

SA merupakan konsep multidimensi yang berkaitan dengan kondisi fisik,

psikologis, dan fungsi sosial.Dimensi operasional SA yang paling sering dipakai

adalah menurut Rowe dan Kahn yang meliputi tiga aspek, yaitu bebas dari penyakit

dan hendaya, fungsi kognitif yang baik, dan tetap aktif di dalam kehidupan. SA

berarti memerpanjang usia dan mengupayakan agar penyakit terkait usia terjadi di

usia setua dan sedekat mungkin dengan kematian. Pemeliharaan fungsi fisik yang

baik tercermin pada kemampuan untuk melakukan aktivitas harian, mulai dari hal
sederhana seperti makan, berpakaian, dan naik tangga sampai kegiatan yang lebih

kompleks seperti belanja dan menggunakan alat transportasi.Model SA biologis

dapat dicapai dengan pencegahan primer seperti berhenti merokok, latihan jasmani,

penggunaan vaksin yang tepat, dan penurunan kolesterol. Aspek SA yang kedua

adalah aspek psikologis yang menekankan pada pentingnya kepuasan subjektif usia

lanjut terhadap kehidupannya. Perspektif subjektif tersebut mempunyai nilai yang

sama penting dengan penilaian objektif mengenai kesehatan. Rasa puas akan

dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu kebebasan untuk bertindak, rasa kompeten, dan rasa

keterikatan dengan sesama. Model SA psikologis akan tercapai jika terdapat

mekanisme kompensasi yang baik terhadap keterbatasan akibat usia dan

optimalisasi kemampuan yang tersisa, sehingga usia lanjut, bahkan dengan

multipatologi, dapat mengalami SA. Aspek sosial menekankan pada kemampuan

usia lanjut untuk berinteraksi positif dengan sesama dan aktif dalam kegiatan

kemasyarakatan. Fungsi sosial yang baik ditunjukkan dengan mempunyai pekerjaan

yang mendapat penghasilan, menghadiri kegiatan keagamaan, dan aktif pada

kegiatan amal. Aspek sosial juga dapat menjadi faktor protektif terhadap kejadian

mistreatment pada usia lanjut (Cocsco TD, Prina AM, Parales J, Stephan BCM,

Brayne C. Lay, 2013).

2.5. Sindroma Geriatrik

Sindroma geriatrik adalah kumpulan tanda atau gejala klinis dari salah satu

atau lebih penyakit yang dialami pasien pada usia lanjut. Kondisi pasien geriatrik

yang paling sering ditangani oleh ahli geriatri antara lain mudah jatuh, delirium,

linglung, inkontinensia urin dan malnutrisi. Terjadinya sindroma geriatrik dapat


dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mendasari seperti beberapa gangguan pada

organ maupun sistem organ.Seringkali, keluhan utama pasien tidak secara langsung

menunjukkan dengan jelas kondisi patologis yang mendasari terjadinya gangguan

pada status kesehatan pasien saat ini.

Sindroma geriatrik adalah kondisi kesehatan yang sangat multifaktorial yang

jika terjadi dapat berakumulasi menjadi efek gangguan pada berbagai macam sistem,

baik sistem pendengaran, sistem pencernaan, persendian dan otot serta otak dan

syaraf maupun kondisi emosi kejiwaan pasien.Pada sindroma geriatric ada

beberapa hal yang perlu diperhatikan.Pertama, faktor resiko dan sistem organ yang

sering terpengaruh.Kedua, strategi diagnostik untuk identifikasi dasar penyebab

pada pasien.Terakhir adalah manajemen terapi dari manifestasi klinis yang dialami

pasien.Sindroma geriatrik sangat perlu dilakukan penatalaksanaan segera,

identifikasi penyebab yang akurat danmanajemen terapi yang komprehensif.

Macam Sindroma Geriatri

Immobility

Instability

Incontinence ( urine and alvi)

Intelectual impairment

Infections

Impairment in hearing and vision

Isolation (depression)

Inanition (malnutrition)
Impecunity (poverty)

Iatrogenesis

Insomnia

Immune deficiency

Impotence

Irritable colon

Gangguan Makan pada geriatrik

Orang dengan usia lanjut banyak mengalami perubahan pada kondisi

fisiologis tubuh, begitu juga dengan faktor pikologi dan kognitifnya. Pada lansia juga

didapatkan penuruan kemampuan saraf pengecap sehingga sulit mebedakan

berbagai macam rasa dari makanan. Hal ini dapat membuat pasien lanjut usia

mengalami gangguan pola makan. Orang lanjut usia juga cenderung memiliki

gangguan pada gigi yang membuatnya menjadi kesulitan dalam mengunyah

makanan. Makanan yang tidak terkunyah dengan baik dan langsung ditelan juga

mempengaruhi kerja sistem pencernaan yang mana sudah tidak optimal.

2.5.1. Malnutrisi pada geriatrik

Malnutrisi adalah keadaan dimana terjadi kekurangan kelebihan maupun

ketidakseimbangan dari asupan energi atau gizi.Ada 3 macam malnutrisi yang dapat

terjadi yaitu kekurangan nutrisi, kekurangan asupan mikronutrisi dan kelebihan

nutrisi.
Ada 4 klasifikasi dari kekurangan nutrisi yaitu wasting (kekurangan berat

badan dibanding tinggi badan), stunting( kekurangan tinggi badan dibanding usia),

underweight (kekurangan berat badan dibanding usia) dan defisiensi vitamin dan

mineral.

Malnutrisi energi protein dapat terjadi sebagai akibat dari asupan yang

tidak adekuat, atau berhubungan dengan mekanisme fisiologis penyakit yang

memengaruhi metabolisme tubuh, komposisi tubuh, dan selera makan (contoh:

kakeksia). Pada keadaan defisiensi kalori primer, tubuh beradaptasi dengan

menggunakan cadangan lemak sambil menghemat protein dan otot. Perubahan

fisiologis yang terjadi sering reversibel dengan kembalinya asupan dan aktivitas

seperti biasa. Kakeksia dicirikan dengan tingginya respons fase akut yang

berkaitan dengan peningkatan mediator-mediator inflamasi (seperti TNF-a dan

interleukin-I) serta meningkatnya degradasi protein dan otot yang dapat pulih

dengan membaiknya asupan. Meskipun kakeksia biasanya berhubungan dengan

kondisi penyakit kronik spesifik (Contoh: kanker, infeksi, artritis inflamasi), keadaan

ini dapat timbul pada usia lanjut tanpa penyakit yang jelas.

Sangatlah perlu bagi tenaga medis untuk dapat mengidentifikasi apakah

pasien lanjut usia yang ditangani termasuk lansia dengan gangguan malnutrisi atau

tidak, oleh karena itu diperlukan adanya skrining yang perlu dilakukan pada pasien

usia lanjut. Penilaian status nutrisi dengan antropometri standar, biokimia, hingga

imunologis

Monitor ketat berat badan yang mencerminkan ketidakseimbangan antara

asupan kalori dan kebutuhan energi, merupakan cara yang paling sederhana dan
paling dapat dipercaya untuk menilai malnutrisi. Perubahan berat badan

dinyatakan dalam persentase perubahan dibandingkan saat sebelum sakit.

Kehilangan > 5% dari berat badan biasanya berkaitan dengan meningkatnya

morbiditas dan mortalitas. Bila kehilangan berat badan >lo% biasanya berkaitan

dengan penurunan status fungsional dan hasil pengobatan. Kehilangan berat

badan 15-20% atau lebih biasanya secara tidak langsung menunjukkan terdapatnya

malnutrisi berat.

Skrining dapat menggunakan alat bantu seperti MNA Mini Nutritional

Assesment. MNA sangat membantu untuk mekukan skrining cepat dengan

pertanyaan-pertanyaan yang sangat sederhana. MNA dapat digunakan pada semua

pasien usia lanjut baik yang sedang dirawat dirumah sakit, berada di rumah singgah

orang tua maupun yang tinggal dirumah sendiri. Sensitifitas MNA mencapai 96%

dan spesifisitasnya mencapai 98%.

MNA memiliki skor maksimal 30. Interpretasi dari skor MNA adalah sebagai

berikut :

< 17 : undernutrition

17-23,5 : borderline/underrisk of malnutrition

>24 : normal / well nourished

Ada beberapa penyebab yang dapat menyebabkan penurunan berat badan

pada pasien lanjut usia :


Medications

Emotions (depression)

Alcoholism, anorexia

Late-life paranoia

Swallowing problems

Oral problems

No money (poverty)

Wandering (dementia)

Hyperthyroidism, Hyperparathyroidism

Entry problems (malabsorption)

Eating problems

Low-salt, low-cholesterol diet

Shopping problems

Tidak memadainya asupan mikronutrien sering terjadi pada usia lanjut,

bahkan pada negara yang telah sangat maju, yang berkaitan dengan meningkatnya

risiko penyakit kronik. Sebagai contoh, vitamin B-6, 8-12, dan asam folat dibutuhkan

untuk mencegah akumulasi homosistein, suatu asam amino yang secara

konsisten berhubungan dengan risiko penyakit vaskular. Juga terdapat hubungan


antara rendahnya konsentrasi vitamin B dan merurunnya fungsi kognitif. Data dari

beberapa studi memperlihatkan bahwa kadar vitamin B yang rendah sering terjadi

pada usia lanjut.

Sangatlah perlu bagi tenaga medis untuk dapat mengidentifikasi apakah

pasien lanjut usia yang ditangani termasuk lansia dengan gangguan malnutrisi atau

tidak, oleh karena itu diperlukan adanya skrining yang perlu dilakukan pada pasien

usia lanjut. Skrining dapat menggunakan alat bantu seperti MNA Mini Nutritional

Assesment. MNA sangat membantu untuk mekukan skrining cepat dengan

pertanyaan-pertanyaan yang sangat sederhana. MNA dapat digunakan pada semua

pasien usia lanjut baik yang sedang dirawat dirumah sakit, berada di rumah singgah

orang tua maupun yang tinggal dirumah sendiri. Sensitifitas MNA mencapai 96%

dan spesifisitasnya mencapai 98%.

MNA memiliki skor maksimal 30. Interpretasi dari skor MNA adalah sebagai

berikut :

< 17 : undernutrition

17-23,5 : borderline/underrisk of malnutrition

>24 : normal / well nourished


2.6. Tanda dan gejala gangguan nutrisi

Tanda-Tanda Klinik kekurangan Nutrisi

No Bagian Tubuh Tanda Klinik Kemungkinan

Kekurangan

1. Tanda Umum a. Penurunan berat a. Kalori

badan, lesu

b. Dehidrasi,haus b.Air

2. Rambut Kekuningan, Protein

Kekurangan

pigmen,kusut

3. Kulit a. Dermatitis a. niasin,riboflavin,biotin

b. Dermatosis pada b. lemak

bayi

4. Mata a. Photopobia a. Riboflavin

b. Rabun senja b. Vitamin A

5. Mulut a. Stomatitis a. Riboflavin

b. Glossitis b. Niasin,asam folic,vit

B12

6. Gigi Gigi karies Flour

7. Neuromuskular a. Kejang otot a. Vitamin D

b. Lemah otot b. Potassium

8. Tulang Riketsia Vitamin D

9. Gastrointestinal a. Anoreksia a. Thiamin

b. Mual dan/atau b. Garam dapur (Nacl)


muntah

10. Endokrin Gondok Iodium

11. Kardiovaskular a. Perdarahan a. Vitamin K

b. Penyakit Jantung b. Thiamin

c. Anemia c. Pyridoxine dan zat

besi

12. Sistem saraf Kelainan mental dan Vitamin B12

kelainan saraf perifer

Sumber: tanda-tanda klinik kekurangan nutrisi, dalam Fundamental of nursing

(Kozier,B.,& erb,G.2004).

2.7 Diagnosis Gangguan Nutrisi

Dari sudut pandang pasien geriatri, setidaknya pengkajian status nutrisi

harus dilakukan secara anamnesis, antropometrik, dan biokimiawi. Ketiga cara

tersebut sebaiknya dikerjakan pada setiap pasien agar gambaran status nutrisi

menjadi lengkap sehingga penatalaksanaannya menyeluruh.

Anamnesis asupan makronutrien dan mikronutrien secara kasar sesuai

frekuensi dan jumlah yang seimbang harus dapat dilakukan pada wawancara medik.

Proporsi asupan karbohidrat (+ 25%) dan lemak (+ 15%) merupakan presentase

yang dianjurkan. Adanya mikronutrien dari sayur dan buah serta konsumsi serat

yang memadai juga dapat dilihat dari riwayat makanan. Jenis karbohidrat (kompleks

vs sederhana), jenis asam amino penyusun protein (esensial vs non-esensial), jenis

asam lemak (esensial vs non-esensial, lemak jenuh atau tak jenuh ganda/ rantai

tunggal) juga merupakan hal-hal yang perlu diperhatikan. Perubahan yang terjadi
dalam kurun waktu satu hingga dua minggu terakhir perlu ditilik lebih jauh; baik

frekuensi konsumsi, maupun jumlah yang mampu dikonsumsi pasien. Hal ini dapat

merupakan indikator awal gangguan nutrisi. Selain itu yang perlu diperhatikan pula,

daya ingat pasien. Ada baiknya melibatkan keluarga atau perilaku rawat yang ikut

mengantar pasien agar data dapat diverifikasi tanpa membuat perasaan pasien

menjadi malu (Heriawan, 2017).

PENGKAJIAN GIZI (Assessment)

Assesmentata disebut dengan pengkajian terhadap status gizi merupakan

landasan data menyusun asuhan gizi yang optimal kepada klien bertujuan untuk

mendapatkan informasi yang adekuat dalam upaya mengidentifikasi masalah gizi

yang terkait dengan masalah asupan makanan atau faktor lain yang dapat me

imbulkan masalah gizi

Pengkajian gizi merupakan suatu proses pengumpulan, verifikasi dan

interpretasi data yang sistematis dalam upaya untuk mengidentifikasi masalah gizi

dan penyebabnya, bukan hanya pengumpulan data awal tetapi juga merupakan

pengkajian ulang dan analisis kebutuhan gizi pasien.

Informasi yang diperoleh melalui pengkajian gizi selanjutnya dibandingkan

dengan standar baku/nilai normal, sehingga dapat dievaluasi dan diidentifikasi

seberapa besar masalahnya.

Proses pengkajian meliputi :

a. Antropometri
Secara antropometrik, dapat dilakukan pengukuran indeks massa tubuh

(IMT) yakni dengan mengukur berat badan (kg) dibagi tinggi badan (meter) kuadrat.

Nilai normal untuk perempuan 17-23 kg/m2 sedangkan untuk laki-laki 18-25 kg/m2.

Hal yang harus diperhatikan adalah saat mengukur tinggi badan. Pada kebanyakan

usia lanjut, tinggi badan saat pengukuran cenderung menyusut dibandingkan saat

berusia dewasa muda. Selain itu, jika terdapat kifosis atau skoliosis akibat kelainan

tulang belakang (spondiloarthrosis, spondilolistesis, fraktur kompresi vertebrae),

maka tinggi badan sesungguhnya menjadi silit diperoleh (Heriawan, 2017).

Data antropometri merupakan hasil pengukuran fisik pada individu, yang

meliputi pengukuran berat badan (B), tinggi badan (TB), tinggi lutut (TL), panjang

depa (PD), tinggi duduk (TD), lingkaran lengan atas (LiLA), tebaI lemak, lingkar

pinggang dan lingkar panggul.

Cara Pengukuran Antropometri pada lanjut usia

1. Pengukuran Tinggi Badan

a. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan mikrotoa 2 meter

b. Alat sudah ditera

c. Letakkan mikrotoa di lantai yang rata dan menempel pada dinding yang

tegak lurus, tarik pita meteran keatas sampai menunjukkan angka not,

paku/tempelkan ujung pita pada dinding (2m)

d. Tarik kepala mikrotoa ke bawah dan difiksasi sekitar 50 cm dari atas


e. Meteran microtoise diturunkan hingga mengenai kepala anak

f. HasiI pengukuran dibaca pada skala (garis merah) dengan ketelitian 0,1 cm

g. Upayakan mata pengukur sejajar dengan skala

Cara pengukuran :

a. Posisikan lansia berdiri tegak pada permukaan tanah/ lantai yang rata

tanpa memakai alas kaki(sandal, sepatu)

b. Posisikan ujung tumit kedua telapak kaki dirapatkan dan menempel di

dinding dalam posisi agak terbuka di bagian jari-jari kaki

c. Pandangan mata lurus ke depan

d. Kedua lengan menggantung santai menempel di dinding tembok

e. Pada waktu mengukur TB, punggung, tumit, pantat, dan belakang kepala

menempel pada tembok, posisi kepala tegak dan pandangan mata lures ke depan,

lengan menggantung di sisi

2. Pengukuran Berat Badan

a. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan timbangan berat badan

tanpa pegas

b. Alat sudah ditera

c. Letakkan di lantai yang rata posisikan angka sampai menunjukkan angka

nol
d. Hasil pengukuran dibaca pada skala dengan ketelitian 0,1 cm

e. Upayakan mata pengukur sejajar dengan skala

Cara Pengukuran :

a. Lansia berdiri tegak dengan memakai pakaian seminimal mungkin, tidak

membawa beban atau benda apapun, dan tanpa alas kaki (sandal, sepatu)

b. Mata menutup lurus ke depan, dan tubuh tidak membungkuk

c. Pembacaan dilakukan pada alat secara langsung

3. Pengukuran Panjang Depa

Kondisi/ Syarat Pengukuran

a. Lansia yang diukur harus memiliki kedua tangan yang dapat direntangkan

sepanjang mungkin dalam posisi lurus mendatar/ horizontal dan dan tidak dikepal

b. Jika salah satu kedua tangan tidak dapat diluruskan karena sakit atau

sebab lainnya, maka pengukuran ini tidak dapat dilakukan

c. Panjang depa tidak dianjurkan diukur dalam posisi berbaring atau

telentang karena dapat mengurangi tingkat ketelitian hasil pengukuran sehingga

hasilnya kurang akurat (WHO 1995).

Cara Pengukuran :

a. Lansia berdiri dengan kaki dan bahu menempel membelakangi tembok

sepanjang pita pengukuran yang ditempel di tembok.


b. Bagian atas kedua lengan hingga ujung telapak tangan menempel erat di

dinding sepanjang mungkin

c. Pembacaan dilakukan dengan ketelitian 0,1 cm mulal dari bagian ujung jari

tengah tangan kanan hingga ujung jari tengah tanan kiri

4. Pengukuran Tinggi Lutut

a. Kondisi Syarat Pengukuran

Tinggi lutut sangat erat hubungannya dengan tinggi badan sehingga sering

digunakan untuk memperkirakan tinggi badan seseorang yang memiliki gangguan

lekukan tulang belakang tidak dapat berdiri karena lumpuh atau sebab lainnya

b. Alat Pengukuran :

Penggaris kayu /stainless steel dengan mata pisau menempel pada sudut

900 pada kaki kiri.

Cara pengukuran :

a. Lansia diukur dalam posisi duduk atau berbaring / tiduran di atas lantai

atau kasur dengan permukaan rata / flat tanpa menggunakan bantal atau alas

kepala (topi) apapun

b. Segitiga kayu diletakkan pada kaki kiri antara tulang kering dengan tulang

paha membentuk sudut 90


c. Penggaris kayu/ stainless steel ditempatkan di antara tumit sampai bagian

tertinggi dari tulang lutut. Pembacaan dilakukan pada alat ukur dengan ketelitian 0,1

cm.

5. Pengukuran Tinggi Duduk

Kondisi syarat pengukuran :

a. Bila lansia tidak dapat berdiri tegak dan atau merentangkan kedua

tangannya sepanjang mungkin dalam posisi lurus lateral dan tidak dikepal.

b. Jika salah satu atau kedua pergelangan tangan tidak dapat diluruskan

karena sakit atau sebab lainnya

Alat Pengukuran :

a. AIat ukur antropometer terdiri dari bangku duduk dari kayu de gan panjang,

lebar, dan tinggi masing-masing 40 cm bagi Iansia laki-laki dan 35 cm bagi lansia

perempuan.

b. Mikrotoa sepanjang 2 m yang ditempelkan di tembok/ dinding

Cara Pengukuran

a. Mikrotoa menempel erat di dinding tembok harus di nol-kan dulu sampai

lantai

b. Lansia duduk dengan posisi tubuh tegak , kepala dan tulang belakang/

punggung menempel rapat ke dinding


c. Tangan diletakkan dengan santai di atas paha

d. Lansia tidak menggunakan alas kepala (topi)

e. Kedua kaki tanpa atau dengan alas kaki dirapatkan ke dinding bangku dan

mata menatap lurus ke depan

f. Pembacaan dilakukan pada mikrotoa yang ditempelkan di dinding tepat di

atas kepala, setelah dikurangi tinggi bangku

Dengan mengkaitkan dua variabel antropometri tersebut di atas dapat diperoleh

Indeks Massa Tubuh ( IMT) dengan perhitungan sebagai berikut :

a. IMT (Indeks Massa Tubuh)

Cara menghitungnya sebagai berikut:

IMT = berat badan (kg)

tinggi badan (m) x tinggi badan (m)

Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT yang digunakan di Indonesia.

IMT Status Gizi

Sangat
< 17,0 Kurus

17,0-18,4 Kurus

18,5-25,0 Normal

25,1-27,0 Gemuk

> 27,0 Obese

Sumber : Kadarzi Depkes, 2004.


b. IMT (Indeks Massa Tubuh ) untuk lanjut usia dengan kondisi khusus (tidak

dapat berdiri atau bongkok ) dapat merujuk pada tabel BB/TL, BB/PD, BB/TD

(terlampir),

c. Lingkar perut

Digunakan untuk menentukan obesitas sentral. Cara pengukurannya adalah

dengan berpuasa pada malam hari sebelum pemeriksaan dan pada hari

pemeriksaan mengenakan pakaian yang ringan.Pengukuran dilakukan dalam posisi

berdiri tegak dengan kedua tangan di samping dan kaki rapat. Tepi tulang iga yang

terendah dan Krista iliaka pada garis aksila tengah (mid- axillary line) diberi tanda

dengan pena. Pita pengukur non elastic diletakkan melintang di pertengahan antara

kedua tanda tersebut melingkari perut secara horizontal.Kemudian dilakukan

pembacaan dalam sentimeter.Selam dilakukan pengukuran, pasien diminta untuk

bernapas biasa (Gibso, 2005).Klasifikasi lingkar perut adalah dikatakan obesitas

sentral jika lingkar perut pada laki-laki > 90 cm dan perempuan > 80 cm (Kemenkes,

2012).

b. Biokimia

Data biokimia meliputi hasil pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain

yang memberikan informasi mengenai status gizi guna menegakkan diagnosis gizi.

Berikut ini adalah beberapa parameter biokimia yang sering digunakan:


Albumin rendah/hipoalbuminemia mengindikasikan adanya defisiensi protein,

stress akut, katabolisme, overload cairan, gagal hati, pembedahan. Albumin

tinggi/hiperalbuminemia kemungkinan dehidrasi dan gagal ginjal. Selain dalam darah,

kadar albumin juga dapat diperiksa dalam urin. Nilai albumin juga dapat dipakai

sebagai baku status gizi seseorang walaupun waktu paruhnya di plasma cukup lama

yakni 21 hari. Transferin dan prealbumin dengan waktu paruh yang lebih singkat (9

hari dan 14 hari) lebih akurat dalam menentukan kondisi status nutrisi namun harga

pemeriksaannya masih cukup mahal.

Asam folat serum rendah mengindikasikan adanya defisiensi asam folat,

vitamin B12, anemia makrositik, penggunaan obat-obatan tertentu.

Glukosa darah tinggi/hiperglikemia mengindikasikan adanya perubahan

metabolisme karbohidrat, kelebihan intake energi, kanker, diabetes mellitus, infus

dekstrosa yang berlebihan, infeksi, respon stres, penggunaan obat-obatan. Glukosa

darah rendah/ hipoglikemia, kemungkinan penghentian makanan parenteral total

yang mendadak, pemberian insulin yang berlebihan. Selain itu glukosa dapat juga

diperiksa dengan urin reduksi (Kemenkes, 2012).

Walaupun kadar Hb normal untuk usia lanjut di Indonesia belum ada, namun

nilai normal yang ditetapkan WHO yakni 11, 0 g/dl 13,0 g/dl untuk perempuan dan

12,0 g/dl 14,0 g/dl untuk laki-laki dapat dipergunakan sebagai patokan.

Hemoglobin rendah mengindikasikan kemungkinan adanya defisiensi protein, Fe,

anemia, perdarahan (Heriawan, 2017).


Natrium serum tinggi/hipernatremia mengindikasikan adanya defisit volume

cairan, pemberian natrium yang berlebihan, kehilangan air bebas yang terjadi

sekunder akibat interaksi obat. Natrium serum rendah/hiponatremia, kemungkinan

kelebihan cairan, kehilangan natrium lewat saluran cerna, sonde dengan formula

susu rendah natrium untuk waktu yang lama (Kemenkes, 2012).

2.8 Bahaya/ Komplikasi Gangguan Nutrisi

Komplikasi dari ganguan nutrisi yang dapat terjadi pada geriatri, di antaranya:

- Diabetes mellitus.

- Hipertensi.

- Penyakit jantung.

- Gastritis.

- Ulkus peptikum (Watson, Roger, 2003).

2.9 Penatalaksanaan Gangguan Nutrisi

Setelah status nutrisi seseorang ditentukan barulah dapat dilakukan

perencanaan makanan sesuai kondisi patologisnya. Ada beberapa hal yang penting

diingat: laju perburukan status nutrisi, kondisi kesadaran, kemampuan atau faal

menelan, daftar pustaka maupun pantangan terhadap jenis makanan tertentu, status

fungsional, dan tentu saja penyakit yang mendasari (Heriawan, 2017).

Langkah awal adalah mengidentifikasi penyebab kehilangan berat badan

yang dapat dikoreksi seperti penggunaan obat (digoksin, fluoksetin),


tirotoksikosis, dan depresi. Bila penyebabnya adalah kurangnya asupan kalori,

dapat diatasi dengan pemberian diet yang lebih enak bagi pasien, seringkali

berupa diet tinggi lemak dan protein. Pada pasien-pasien ini risiko hiperkolesterol

rendah. Makanan porsi kecil dan sering harus dianjurkan. Studi terbaru

menunjukkan bahwa peningkatan asupan kalori dapat dicapai bila terapi nutrisi

dibarengi dengan program olah raga/ aktivitas yang agresif dan proaktif.

Pada pasien geriatri dengan penurunan IMT yang nyata perlu dilakukan

pemeriksaan yang lengkap untuk menentukan penyebabnya. Penurunan asupan

makanan dalam waktu relatif singkat mengarahkan pada penyebab keganasan atau

infeksi dan penatalaksanaannya tergantung penyebab yang ditemukan (Heriawan,

2017).

Kadar albumin yang menurun dalam waktu singkat mengarahkan pemikiran

pada sepsis, infeksi berat lainnya, atau imobilisasi. Pada kondisi yang kronis, tentu

harus dipertimbangkan kemungkinan sirosis hati atau penyakit hati kronis lainnya.

Penatalaksanaan yang sesuai harus diberikan sejalan dengan penyebabnya.

Pemberian infus albumin tidak selalu bermanfaat menaikkan kadar albumin plasma

(Heriawan, 2017).

Pada penurunan kadar hemoglobin yang cepat, harus dipikirkan

kemungkinan adanya perdarahan sehingga penanganan dengan transfusi perlu

dipikirkan. Pada pasien dengan kesadaran yang berubah atau menurun, perlu

diingat kemungkinan terjadinya aspirasi pada saat pemberian makanan terutama

yang bentuknya cair. Pemasangan nasogastric tube akan sangat membantu

mengatasi hal tersebut. Posisi bahu dan kepala yang lebih tinggi akan mencegah
aspirasi. Sejalan dengan perbaikan kesadaran, jenis makanan dapat disesuaikan

menjadi bubur saring, bubur biasa, nasi tim dan akhirnya nasi biasa. Hal ini tentu

dengan memperhatikan faal menelan (Heriawan, 2017).

Target utama rehabilitasi pada pasien geriatri adalah memperbaiki

kemandirian fungsional dan meningkatkan kekuatan otot sehingga strategi yang

bertujuan untuk memperbaiki massa otot sehingga aktivitas dapat berjalan lebih

baik.

Terdapat beberapa bukti manfaat suplementasi vitamin pada fungsi

kognitif dan penyembuhan ulkus. ditemukan bahwa penggunaan vitamin E dari

makanan mungkin berkaitan dengan berkurangnya risiko Penyakit Alzheimer. Juga

terdapat bukti bahwa suplemen vitamin C dan zink pada usia lanjut dengan ulkus

dekubitus akan mempercepat penyembuhan luka. Kalsium dan vitamin D juga

merupakan zat gizi yang sangat perlu mendapat perhatian pada usia lanjut.

Dengan bertambahnya usia, penurunan fungsi ginjal menyebabkan malabsorpsi

kalsium dan meningkatnya kehilangan massa tulang. Kebutuhan akan vitamin D

juga meningkat pada usia lanjut. Meskipun tinggal di negara tropis, seringkali para

usia lanjut kurang terpajan sinar matahari daripada orang dewasa muda. Selain

itu, pada proses menua, kemampuan kulit membentuk previtamin D-3 dari sinar

ultraviolet berkurang. Rendahnya kadar kalsium dan vitamin D dalam diet

mayoritas penduduk negara berkembang, bersama dengan perubahan pola

makan dan aktivitas akan membuat steoporosis sebagai masalah besar yang kian

meningkat pada usia lanjut. Dengan transisi nutrisi menuju diet tinggi lemak dan

rendah serat, perlu dijaga dan ditingkatkan asupan buah, sayuran, dan biji-bijian
utuh yang akan sangat membantu mengontrol peningkatan insidensi penyakit kronik.

Menariknya, kebutuhan terhadap zat besi dan vitamin A pada usia lanjut, lebih

rendah daripada dewasa muda. Pada usia lanjut terdapat penurunan klirens

vitamin A lewat hepar dan jaringan perifer lainnya. Cadangan zat besi pada usia

lanjut terakumulasi dan tingginya kadar feritin serum berkaitan dengan makin

besamya risiko penyakit jantung koroner (Kemenkes, 2012).

Mengkoreksi status nutrisi tak lepas dari besaran jumlah energi yang harus

diberikan. Pada 24 jam pertama jika disertai dehidrasi maka pemberian cairan dan

elektrolit menjadi prioritas. Selanjutnya, mulai ditentukan jumlah energi yang

diberikan. Dapat digunakan rumus 25 kkal/kg/hari untuk pasien perempuan atau 30

kkal/kg/hari untuk pasien laki-laki. Penambahan 13 kkal untuk setiap kenaikan suhu

1C tetap berlaku. Jika aktivitas pasien ringan maka penambahan 5% dari basal juga

berlaku; sedangkan untuk aktivitas sedang harus ditambah 10% dari kebutuhan

dasar (Heriawan, 2017).

Jika berat badan pasien lebih rendah dari berat badan normal perlu

penambahan jumlah energi maksimal sebesar 10% mengingat penurunan

kemampuan pasien untuk mengkonsumsinya (faktor nafsu makan, penurunan

kecepatan pengosongan lambung, kondisi gigi geligi, perlambatan gerakan kolon).

Presentase karbohidrat sebaiknya tetap mengacu pada laju keseimbangan 60% dari

energi total; protein 20-25% dan sisanya lemak. Jumlah protein antara 0,8-2,0

g/kg/hari sesuai kebutuhan (Heriawan, 2017).

Atasi problem akut (jika ada) seperti mengatasi infeksi, kontrol tekanan darah,

dan menjaga kondisi keseimbangan metabolik, elektrolit, dan cairan. Setelah


masalah akut teratasi, pasien diminta mengkonsumsi sebanyak mungkin makanan.

Tujuannya adalah memberikan asupan kalori kira kira 35 kkal/kgBB ideal. Lakukan

upaya intervensi nutrisi yang agresif. Sebagai patokan umum, dalam 48 jam pertama

perawatan sudah diberikan asupan gizi adekuat. Pendekatan yang diambil

tergantung kondisi klinis pasien, apakah memerlukan support nutrisi jangka pendek

atau jangka panjang. Bagi yang membutuhkan support jangka pendek (<10hari)

diberikan hiperalimentasi melalui vena perifer berupa larutan asam amino, dekstrosa

10%, dan intralipid.

Pemberian diet per NGT harus dihindari pada pasien usia lanjut dengan

delirium karena resiko aspirasi dan tarikan selang oleh pasien. Bila pasien tidak

delirium dapat diberikan diet per flowcare. Selang ini tidak mengiritasi dan tidak

terlalu mengganggu mobilitas atau kemampuan menelan makanan. Untuk pasien

yang membutuhkan terapi nutrisi selama 6 minggu atau lebih, dianjurkan pemberian

melalui gastrostomi atau yeyunostomi. Diet cair harus mengandung tidak lebih dari 1

kkal/ml dengan kecepatan 25 ml/jam agar tidak terlalu kental dan dapat masuk ke

selang dengan mudah.

Target utama adalah kemandirian fungsional dan meningkatkan kekuatan

otot sehingga strategi yang bertujuan memperbaiki massa otot sangatlah penting.

Latihan fisik yang sesuai dapat dilakukan untuk tujuan ini. Sangatlah penting

memahami perlunya pendekatan terpadu dalam tatalaksana malnutrisi pada usia

lanjut. Intervensi nutrisi agresif hanya merupakan bagian dari keseluruhan strategi

(Sari, Nina, 2006).


BAB 3

KESIMPULAN

Lansia mengalami persoalan khusus tentang nutrisi. Mereka beresiko tinggi

menderita malnutrisi dan lebih rentan terkena dampak malnutrisi. Masalah malnutrisi

tidak sekedar gizi kurang dan gizi buruk ; berbagai aspek harus ditilik, mulai dari

anamnesis asupan, nilai antropometrik, serta parameter biokimiawi. Dalam

penatalaksanaannya, ketiga aspek tersebut harus ditangani dan dinilai secara

berkala. Peran dukungan keluarga dan pelaku rawat amat penting dan sebaiknya

dilibatkan secara aktif sejak perencanaan hingga pelaksaannya.

Makanan merupakan bagian yang paling penting dalam kehidupan sebagian lansia

dan saat-saat bersantap menjadi bagian penting yang dialami manula setiap harinya.

Makanan juga harus menjadi sumber kesehatan serta kegembiraan bagi orang-

orang yang berusia lanjut ini


Daftar Pustaka

Heriawan, 2017. Kedokteran Usia Lanjut Dialektika Senja. Jakarta: Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam. Januari 2017, hal. 31-35.

Kemenkes. 2012. Pedoman Pelayanan Gizi Lanjut Usia, Katalog Dalam Terbitan,

Kemenkes RI, Juni 2011, Jakarta, hal. 14-19.

Sari, Nina. 2006. Gangguan Nutrisi pada Usia Lanjut. Dalam : Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid III, Edisi IV. Jakarta : PAPDI.

Setiati S. Pedoman Pengelolaan Imobilisasi pada Pasien Geriatri.Pedoman


pengelolaan kesehatan pada pasien geriatri, 2014.

Setiati, S. 2014. Geriatri Medicine, Sarkopenia, Frailty, dan Kualitas Hidup Usia
Lanjut. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.

Setiati, S. 2013. Geriatri Medicine, Sarkopenia, Frailty, dan Kualitas Hidup Usia
Lanjut. eJKI: vol.1.No.3, Desember 2013.

Chodzko-Zajko, Ringel, Miller R. Biology of aging and longevity. In: Halter BJ,
Ouslander JG Tiinneti ME, Studenski S, Higj KP, Asthana K, editors.
Hazzards geriatric medicines and gerontology. 6th ed. New York: McGraw-
Hill Health Professions Divisons; 2009.

Warner HR, Sierra F, Thompson LV. Biology of aging. In: Fillit HM, Rockwood K,
Woodhouse K, editors. Brocklehursts textbook of geriatric medicine and
gerontology. 7th ed. New York: Saunders; 2010.

Cocsco TD, Prina AM, Parales J, Stephan BCM, Brayne C. Lay perspectives of
successful ageing: a systematic review and meta-ethnography. BMJ Open
2013;3:200-70.

Hickson, M. Malnutrition and Ageing. Postgrad Med J, 2006, 82:2-8


Schueren, M.A.E., Monasch, S.L., Vries, O.J., Kramer, M.H.H., Muller,M.

Prevalence and Determinants for Malnutrition in Geriatric Outpatients. Clinical

Nutrien, 2013, 32: 1007-1011

Chavarro-Cavarjal, D., Ortiz, C.R., Tement, R.S., Arciniegas, A.J., Gutierrez,

C.C. Nutritional Assessment and Factors Associated to Malnutrition in Older Adults:

A Cross-Sectional Study in Bogota, Colombia. Joumal of Aging and Health, 2015,

27(2):304-319

Watson, Roger. 2003. Perawatan Pada Lansia. Alih Bahasa Musri. Jakarta:

EGC.

Anda mungkin juga menyukai