Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN TUTORIAL

BLOK GERIATRI SKENARIO 3

“AKU INGIN BISA DUDUK”

KELOMPOK XIX

PRIMA ANUGRAH G0016174


RADIET ADHRA NUGROHO G0016176
RIO WIJAYANTO G0016184
SEISHA MEI ZERLINA G0016200
SINDY FAJRIYATUL R G0016204
SITI ZAHRA AFIFAH G0016206
STEFANI DYAH M G0016208
SUSANTI WAHYUDI G0016210
SYAFALIKHA DWIZAHRA G0016212
THARRA AUDREYA G0016214

TUTOR : WACHID PUTRANTO, dr., Sp.PD (K)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2019

1
BAB 1
PENDAHULUAN
SKENARIO 3
AKU INGIN BISA DUDUK

Pada usia 87 tahun, Nenek Sutinah, datang ke IGD diantar oleh keluarga
karena mengeluhkan sesak yang memberat sejak 3 hari, disertai dengan demam
dan batuk dengan dahak berwarna kuning kental. Pasien memiliki riwayat
hipertensi lebih dari 20 tahun dan mengalami patah tulang panggul di usia 60
tahun, satu tahun lalu terserang stroke karena perdarahan karena sumbatan di otak.
Sudah 1 bulan ini tidak bisa bangun dari tempat tidur, makan dan minum hanya
sedikit-sedikit, sering tidak mau bicara, sulit diajak komunikasi.

Dari pemeriksaan fisik terakhir di bangsal, pasien tampak sesak, dengan


kesadaran apatis, TD 110/60 mmHg, RR 30x/menit, t = 36,5 C, HR108x/menit,
BMI: 14,3. Pada paru tampak sela iga melebar dan didapatkan suara dasar
vesikular meningkat, ronkhi basah kasar lapang paru bawah, dengan fremitus
taktul meningkat. Hasil leukosit 21.000. Thorak PA tampak infiltrat di kedua
lapang paru bawah.

Kemudian oleh dokter bangsal diberikan oksigen, dipasang cairan infus


dan antibiotik. Dokter melakukan tatalaksana non farmakologi dilakukan
pemasangan NGT dengan diit cair, serta konsul di bagian rehabilitasi medik dan
gizi. Kemudian dilakukan penilaian terhadap resiko decubitus dan kemandirian.

2
BAB II

DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

 Langkah I : Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah


dalam skenario.

Dalam skenario kali ini, kami mengklarifikasi istilah-istilah berikut ini -:

1. NGT dengan diit cair: Nasogastric Tube dengan makanan cair


2. Risiko decubitus: timbul luka akibat imobilisasi lama
3. Kesadaran apatis: keadaan kesadaran seseorang terhadap lingkungan
sekitar

 Langkah II : Menentukan/ mendefinisikan permasalahan

Masalah yang terdapat pada skenario “ Aku Ingin Bisa Duduk ? ” adalah :

1. Apa saja penyebab pasien sulit makan dan minum, sering tidak mau
bicara dan sulit diajak komunikasi?
2. Apa hubungan stroke dengan semua keluhan yang dialami pasien?
3. Mengapa pasien mengalami demam dan batuk dengan dahak berwarna
kuning kental?
4. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik, lab dan vital sign?
5. Adakah hubungan dengan keluhan utama pasien dengan pasien sulit
bangun?
6. Mengapa tekanan darah menurun ketika pasien mengalami imobilitas?
7. Apa indikasi diberikan oksigen, dipasang cairan infus & antibiotik
serta NGT diit cair?
8. Apa saja faktor risiko dekubitus?
9. Bagaimana rehab medik pada geriatri?

3
10. Mengapa pasien dikonsultasikan ke rehab medik dan bagian gizi?
11. Apa komplikasi dari imobilisasi?

 Langkah III : Menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan


sementara mengenai permasalahan ( tersebut dalam langkah II )

1. Apa saja penyebab pasien sulit makan dan minum, sering tidak mau
bicara dan sulit diajak komunikasi?

Faktor- faktor yang mempengaruhi kebutuhan gizi pada lanzia:


a) Berkurangnya kemampuan mencerna makanan akibat kerusakan gigi atau
ompong.
b) Berkurangnya indera pengecapan mengakibatkan penurunan terhadap cita
rasa manis, asin, asam, dan pahit.
c) Esophagus/kerongkongan mengalami pelebaran.
d) Rasa lapar menurun, asam lambung menurun.
e) Gerakan usus atau gerak peristaltic lemah dan biasanya menimbulkan
konstipasi.
f) Penyerapan makanan di usus menurun

Faktor yang mempengaruhi kebutuhan cairan pada lansia:


a) Berat badan (lemak tubuh) cenderung meningkat dengan bertambahnya
usia, sedangkan sel-sel lemak mengandung sedikit air, sehingga
komposisi air dalam tubuh lansia kurang dari manusia dewasa yang lebih
muda atau anak-anak dan bayi.
b) Fungsi ginjal menurun dengan bertambahnya usia. Terjadi penurunan
kemampuan untuk memekatkan urin, mengakibatkan kehilangan air yang
lebih tinggi.
c) Terdapat penurunan asam lambung, yang dapat mempengaruhi individu
untuk mentoleransi makanan-makanan tertentu. Lansia terutama rentan
terhadap konstipasi karena penurunan pergerakan usus. Masukan cairan
yang terbatas, pantangan diit, dan penurunan aktivitas fisik dapat

4
menunjang perkembangan konstipasi. Penggunaan laksatif yang
berlebihan atau tidak tepat dapat mengarah pada masalah diare.
d) Lansia mempunyai pusat haus yang kurang sensitif dan mungkin
mempunyai masalah dalam mendapatkan cairan ( misalnya gangguan
dalam berjalan ) atau mengungkapkan keinginan untuk minum (misalnya
pasien stroke).

Masalah cairan yang lebih sering dialami lansia adalah kekurangan cairan
tubuh , hal ini berhubungan dengan berbagai perubahan-perubahan yang
dialami lansia, diantaranya adalah peningkatan jumlah lemak pada lansia,
penurunan fungsi ginjal untuk memekatkan urin dan penurunan rasa haus.

Sulitnya bicara atau komunikasi pada lansia dapat masuk sebagai salah satu
tanda lansia depresi. Inilah gejala depresi yang umum terjadi pada orang tua.
- Kesedihan
- Kelelahan
- Kehilangan minat pada hobi atau hiburan yang menyenangkan lainnya
- Menarik diri dari kehidupan sosial
- Penurunan berat badan atau kehilangan nafsu makan
- Gangguan tidur (sulit tidur atau sebaliknya terlalu banyak tidur)
- Kehilangan harga diri (khawatir menjadi beban, perasaan tidak berharga,
membenci diri sendiri)
- Peningkatan penggunaan alkohol atau obat-obatan lain
- Fiksasi kematian; pikiran atau usaha bunuh diri

2. Apa hubungan stroke dengan semua keluhan yang dialami pasien?


- Stroke  gangguan peredaran darah  gangguan gerak anggota
gerak  imobilitas
- Hemiparesis  sisi tubuh yang terkena stroke tidak bisa
digerakkan
- Pasien menjadi immobile  pengeluaran sputum menjadi tidak
baik  terjadi retensi sputum  menjadi sesak da nada
pertumbuhan patogen pada sputum  menyebabkan infeksi.

5
3. Mengapa pasien mengalami demam dan batuk dengan dahak berwarna
kuning kental?
Demam bukan merupakan sebuah penyakit, melainkan gejala
yang menyertai sebuah penyakit. Di mana terjadi peningatan suhu
tubuh di atas suhu normal yaitu 37 C . Demam bisa dikarenakan oleh
beberap sebab , bisa dikarenakan adanya proses infeksi maupun
adanya proses inflamasi. Mekanisme demam terjadi ketika pembuluh
darah disekitar hipotalamus terkena pirogen eksogen tertentu (seperti
bakteri) atau pirogen endogen (Interleukin-1, interleukin-6, tumor
necrosis factor) sebagai penyebab demam, maka metabolit asam
arakidonat dilepaskan dari endotel sel jaringan pembuluh darah.
Metabolit seperti prostaglandin E2, akan melintasi barrier darah-otak
dan menyebar ke dalam pusat pengaturan suhu di hipotalamus, yang
kemudian memberikan respon dengan meningkatkan suhu.
Demam pada lansia jarang tampak , atau tidak khas. Hal ini
dikarenakan oleh beberapa sebab diantaranya variasi harian dari suhu
berkurang, dan suhu basal geriatri adalah sekitar 0.6-0.8 0C lebih
rendah dari dewasa muda. Mekanisme yang mendasarinya adalah:
berkurangnya produksi sitokin (misalnya IL-6), berkurangnya
sesitivitas reseptor hipotalamik terhadap sitokin dan rusaknya adaptasi
termoregulasi perifer terhadap perubahan suhu. Sebagai tambahan,
penggunaan obat-obatan yang sering dipakai geriatri seperti NSAID,
kortikosteroid, B-reseptor blocker, antihistamin, ranitidin dapat
menekan respon terhadap inflamasi.
Demam akan muncul jika terdapat penyebab primer yang
menyebabkanya. Sehingga kita harus melihat keluhan keluhan lain
yang dirasakan pasien. Salah satu keluhan lain pada scenario adalah
batuk. Batuk maupun respon fisiologi pada tubuh kita ketika terdapat
iritan yang masuk atau berada pada slauran nafas . Batuk dapat
mennjadi tanda bahaya sebuah penyait ketika batuk tersebut tidak
kunjung sembuh ataupun batuk yang disertai dahak. Batuk berdahak

6
dapat disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah infeksi pada
paru dan saluran pernapasan. Adanya infeksi pada paru akan
mengaktifkan mediator inflamasi yang akan meningkatkan
permeabilitas kapiler paru. Hal ini menyebabkan terjadinya
perpindahan eksudat plasma dari kapiler ke dalam ruang interstisial.
Eksudat atau dahak ini akan merangsang saluran nafas untuk
mengeluarkannya melalui suatu mekanisme yaitu batuk. Dahak dari
batuk dapat dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui
penyebab/ pathogen yang menginfeksi saluran nafas.
Warna hijau atau kuning ini berasal dari sel darah putih yang
sedang melawan penyebab infeksi. Pada awal kemunculannya, dahak
umumnya berwarna kuning, kemudian bisa berubah menjadi hijau
seiring waktu. Dahak hijau atau kuning bisa menandakan kamu
sedang menderita penyakit infeksi, misalnya:

 Pneumonia
Pneumonia merupakan peradangan jaringan paru-paru yang seringkali
mengiringi gangguan pernapasan lainnya. Jika mengalami pneumonia,
selain batuk berdahak warna hijau atau kuning, kamu juga akan
merasakan beberapa gejala lain, seperti demam, napas pendek, atau
sesak. Pada kondisi tertentu, dahak dapat bercampur darah.
 Bronkitis
Bronkitis umumnya diawali batuk kering yang kemudian menjadi
batuk berdahak, lalu seiring waktu menimbulkan dahak berwarna
hijau atau kuning. Perubahan warna ini bisa menjadi pertanda infeksi
virus yang kemudian diikuti oleh infeksi bakteri.
 Sinusitis
Dahak hijau atau kuning juga bisa disebabkan oleh infeksi yang
menyebabkan peradangan pada sinus atau sinusitis. Selain itu, kamu
juga mungkin merasakan sejumlah gejala lain, misalnya tekanan pada

7
rongga sinus yang sering menimbulkan nyeri di area sekitar, dan
hidung tersumbat.
 Cysticfibrosis
Cystic fibrosis merupakan penyakit paru kronis yang bersifat genetik,
dan menyebabkan terjadi penumpukan lendir yang kental di dalam
paru-paru, sehingga mengganggu proses pernapasan. Kondisi ini
umumnya dialami sejak usia muda. Warna dahak yang keluar
bervariasi, mulai dari kuning, hijau, hingga kecokelatan.

4. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik, lab dan vital sign?


a. GCS : 12-13 --> apatis
 Composmentis : 15-14
 Apatis : 13-12
 Delirium : 11-10
 Somnolen : 9-7
 Stupor : 6-4
 Coma : 3
Penurunan keadaan umum ini bisa disebabkan karena adanya dehidrasi
b. Tekanan darah : 140/60  dibawah normal, karena normalnya
dewasa 120/80
c. RR : 30x/menit  meningkat, karena normalnya 14-20x/menit
d. HR : ada sedikit peningkatan karena maksimal 100x/menit
e. Suara dasar vesikuler meningkat, ronkhi basah kasar dan fremitus
taktil meningkat  tidak normal dan kemungkinan adanya cairan
f. Thorax PA  terlihat ada infiltrat yang kemungkinan terjadinya
infeksi
g. Leukosit  21.000 meningkat normalnya 5.000-10.000 yang
menandakan adanya infeksi

5. Adakah hubungan dengan keluhan utama pasien dengan pasien sulit


bangun?

8
Keluhan yang diderita pasien berupa sesak napas yang berat dapat
disebabkan oleh imobilitas yang dialami oleh pasien pada skenario
tersebut. Pasien yang mengalami imobilitas dengan posisi tidur
telentang dapat menyebabkan terhambatnya gerakan dari tulang rusuk
yang membantu terjadinya pernapasan. Padahal pada saat posisi
berdiri pergerakan tulang rusuk membantu 78% dari terjadinya
volume tidal, sedangkan pada posisi tidur pengaruh tulang rusuk
berkurang hingga 32% sehingga posisi tidur yang sudah terlalu lama
seperti pada kasus dapat menyebabkan pasien mengalami
pengurangan volume tidal pada saat bernapas. Selain itu pada posisi
tidur tersebut juga dapat meningkatkan resistensi dan meningkatkan
volume darah yang menuju paru. Meningkatnya volume darah ke paru
tersebut dapat menimbulkan berkurangnya kapasitas total paru dan
volume residual paru sehingga menyebabkan berkurangnya
konsentrasi oksigen di darah yang menyebabkan pasien bernapas lebih
cepat selain itu meningkatnya volume darah ke paru juga dapat
menyebabkan terjadinya edema paru yang bisa jadi bisa dasar
mengapa ditemukannya pemeriksaan fisik yang berupa meningkatnya
suara dasar vesikuler dan meningkatnya fremitus taktil. Adanya
kemungkinan edema paru tersebut menjadi predisposisi terjadinya
pneumonia paru karena pneumonia lebih mudah terjadi pada pasien
yang mengalami edema.
Selain itu posisi pasien yang tiduran juga menyebabkan silia yang
terdapat pada saluran pernapasan sulit untuk bekerja. Hal ini
menyebabkan silia tersebut tidak dapat mengeluarkan mukus yang
berada pada saluran pernapasan serta terjadi pengurangan sekresi
untuk pembersihan saluran napas. Mukus yang tidak dapat
dikeluarkan dapat menjadi terakumulasi dan menjadi lebih kental
sehingga menyebabkan mukus makin sulit dikeluarkan untuk
pembersihan. Tidak adekuatnya pembersihan jalan napas tersebut
yang menyebabkan terjadinya peningkatan resiko yang lebih

9
meningkat terjadinya pneumonia selain penyebab adanya edema paru.
Pneumonia yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya penemuan
pemeriksaan yang lain berupa terjadinya suara ronkhi basah kasar,
terjadinya leukositosis karena sistem imun yang berusaha untuk
melawan bakteri penyebab pneumonia dan tampak adanya infiltrat
pada pemeriksaan foto thoraks.

6. Mengapa tekanan darah menurun ketika pasien mengalami imobilitas?


Pada sistem kardiovaskuler, imobilisasi dapat menyebabkan hipotensi
ortostatik, meningkatnya kerja jantung, dan pembentukan thrombus.
Pada pasien imobilisasi lama terjadi penurunan kemampuan saraf
otonom atau reflek neurovaskuler untuk memenuhi persediaan darah
dalam tubuh, menyebabkan vasokonstriksi perifer yang menyebabkan
darah terkumpul di ekstremitas bawah menyebabkan aliran darah balik
menurun, menyebabkan penurunan cardiac output dan tekanan darah.
Selain itu juga terjadi penurunan tonus otot yang akan mengurangi
aliran darah pada pembuluh vena besar di ekstremitas bawah yang
mendukung terjadinya hipotensi ortostatik. Pada pasien imobilisasi
terjadi penurunan tekanan sistolik 25 mmHg dan penurunan tekanan
diastolic 10 mmHg.

7. Apa indikasi diberikan oksigen, dipasang cairan infus serta NGT diit
cair?

Indikasi utama pemasangan NGT:


1. Dekompresi isi lambung
Mengeluarkan cairan lambung pada pasien ileus
obstruktif/ileus paralitik peritonitis dan pankreatitis akut.
Perdarahan saluran cerna bagian atas untuk bilas lambung
(mengeluarkan cairan lambung)
2. Memasukkan Cairan/Makanan ( Feeding, Lavage Lambung)

10
Pasien tidak dapat menelan oleh karena berbagai sebab
Lavage lambung pada kasus keracunan
3. Diagnostik
Membantu diagnosis dengan analisa cairan isi lambung.

Indikasi Pemasangan Infus melalui Jalur Pembuluh Darah Vena


(Peripheral Venous Cannulation)

1. Pemberian cairan intravena (intravenous fluids).


2. Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam darah)
dalam jumlah terbatas.
3. Pemberian kantong darah dan produk darah.
4. Pemberian obat yang terus-menerus (kontinyu).
5. Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum prosedur
(misalnya pada operasi besar dengan risiko perdarahan, dipasang
jalur infus intravena untuk persiapan jika terjadi syok, juga untuk
memudahkan pemberian obat)
6. Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya
risiko dehidrasi (kekurangan cairan) dan syok (mengancam
nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps (tidak teraba), sehingga
tidak dapat dipasang jalur infus.

Indikasi Terapi Oksigen (O2)

Terapi oksigen (O2) dianjurkan pada pasien dewasa, anak-anak dan


bayi (usia di atas satu bulan) ketika nilai tekanan parsial oksigen (O2)
ku-rang dari 60 mmHg atau nilai saturasi oksigen (O2) kurang dari
90% saat pasien beristirahat dan bernapas dengan udara ruangan. Pada
neonatus, te-rapi oksigen (O2) dianjurkan jika nilai tekanan parsial
oksigen (O2) kurang dari 50 mmHg atau nilai saturasi oksigen (O2)
kurang dari 88%. Terapi ok-sigen (O2) dianjurkan pada pasien dengan
kecurigaan klinik hipoksia ber-dasarkan pada riwayat medis dan

11
pemeriksaan fisik. Pasien-pasien dengan infark miokard, edema paru,
cidera paru akut, sindrom gangguan pernapa-san akut (ARDS),
fibrosis paru, keracunan sianida atau inhalasi gas karbon monoksida
(CO) semuanya memerlukan terapi oksigen (O2). Terapi oksigen
(O2) juga diberikan selama periode perioperatif ka-rena anestesi
umum seringkali menyebabkan terjadinya penurunan tekanan parsial
oksigen (O2) sekunder akibat peningkatan ketidaksesuaian ventilasi
dan perfusi paru dan penurunan kapasitas residu fungsional (FRC).
Terapi oksigen (O2) juga diberikan sebelum dilakukannya beberapa
prosedur, se-perti pengisapan trakea atau bronkoskopi di mana
seringkali menyebabkan terjadinya desaturasi arteri. Terapi oksigen
(O2) juga diberikan pada kon-disi-kondisi yang menyebabkan
peningkatan kebutuhan jaringan terhadap oksigen (O2), seperti pada
luka bakar, trauma, infeksi berat, penyakit kega-nasan, kejang demam
dan lainnya. Dalam pemberian terapi oksigen (O2) harus
dipertimbangkan apa-kah pasien benar-benar membutuhkan oksigen
(O2), apakah dibutuhkan te-rapi oksigen (O2) jangka pendek (short-
term oxygen therapy) atau panjang (long-term oxygen therapy).
Oksigen (O2) yang diberikan harus diatur da-lam jumlah yang tepat
dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari
toksisitas.

8. Apa saja faktor risiko dekubitus?


Faktor Risiko Dekubitus
Faktor yang menjadi predisposisi terjadi luka dekubitus pada pasien
yaitu:
a. Gangguan Input Sensorik
Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri
dan tekanan, beresiko tinggi menggalami gangguan integritas kulit
daripada pasien yang sensasinya normal. Pasien yang mempunyai
persepsi sensorik yang utuh terhadap nyeri dan tekanan dapat

12
mengetahui jika salah satu bagian tubuhnya merasakan tekanan
atau nyeri yang terlalu besar, sehingga ketika pasien sadar dan
berorientasi mereka dapat mengubah atau meminta bantuan untuk
mengubah posisi (Potter dan Perry, 2005).
b. Gangguan Fungsi Motorik
Pasien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri beresiko
tinggi terhadap dekubitus. Pasien tersebut dapat merasakan tekanan
tetapi tidak mampu mengubah posisi secara mandiri untuk
menghilangkan tekanan tersebut. Hal ini meningkatkan peluang
terjadinya dekubitus. Pada pasien yang mengalami cedera medulla
spinalis terdapat gangguan motorik dan sensorik. Angka kejadian
dekubitus pada pasien yang mengalami cedera medulla spinalis
diperkirakan sebesar 85%, dan komplikasi luka ataupun berkaitan
dengan luka merupakan penyebab kematian pada 8% populasi ini
(Potter dan Perry, 2005).
c. Perubahan Tingkat Kesadaran
Pasien bingung, disorientasi, atau mengalami perubahan tingkat
kesadaran tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari luka
dekubitus. Pasien bingung atau disorientasi mungkin dapat
merasakan tekanan, tetapi tidak mampu memahami bagaimana
menghilangkan tekanan itu. Pasien koma tidak dapat merasakan
tekanan dan tidak mampu mengubah ke posisi yang labih baik.
Selain itu pada pasien yang mengalami perubahan tingkat
kesadaran lebih mudah menjadi bingung. Beberapa contoh adalah
pada pasien yang berada di ruang operasi dan untuk perawatan
intensif dengan pemberian sedasi (Potter dan Perry, 2005).
d. Gips, Traksi, Alat Ortotik dan Peralatan Lain
Gips dan traksi mengurangi mobilisasi pasien dan ekstremitasnya.
Pasien yang menggunakan gips beresiko tinggi terjadi dekubitus
karena adanya gaya friksi eksternal mekanik dari permukaan gips
yang bergesek pada kulit. Gaya mekanik kedua adalah tekanan

13
yang dikeluarkan gips pada kulit jika gips terlalu ketat dikeringkan
atau ekstremitasnya bengkak. Peralatan ortotik seperti penyangga
leher digunakan pada pengobatan pasien yang mengalami fraktur
spinal servikal bagian atas. Luka dekubitus merupakan potensi
komplikasi dari alat penyangga leher ini (Potter dan Perry, 2005).
e. Nutrisi Buruk
Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan jaringan
subkutan yang serius. Akibat perubahan ini maka jaringan yang
berfungsi sebagai bantalan diantara kulit dan tulang menjadi
semakin sedikit. Oleh karena itu efek tekanan meningkat pada
jaringan tersebut (Potter & Perry, 2005). Pasien yang mengalami
malnutrisi mengalami defisiensi protein dan keseimbangan nitrogen
negatif dan tidak adekuat asupan vitamin C. Status nutrisi buruk
dapat diabaikan jika pasien mempunyai berat badan sama dengan
atau lebih dari berat badan ideal. Pasien dengan status nutrisi buruk
biasa mengalami hipoalbuminemia (level albumin serum dibawah
3g/ 100 ml) dan anemia (Potter dan Perry, 2005).
Albumin adalah ukuran variable yang biasa digunakan untuk
mengevaluasi status protein pasien. Pasien yang albumin serumnya
dibawah 3g/ 100 ml beresiko tinggi. Selain itu, level albumin
rendah dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka.
Walaupun kadar albumin serum kurang tepat memperlihatkan
perubahan protein viseral, tapi albumin merupakan prediktor
malnutrisi yang terbaik untuk semua kelompok manusia (Potter dan
Perry, 2005).
Level total protein juga mempunyai korelasi dengan luka
dekubitus, level total protein dibawah 5,4 g/ 100 ml menurunkan
tekanan osmotik koloid, yang akan menyebabkan edema interstisial
dan penurunan oksigen ke jaringan. Edema akan menurunkan
toleransi kulit dan jaringan yang berada di bawahnya terhadap
tekanan, friksi, dan gaya gesek. Selain itu, penurunan level oksigen

14
meningkatkan kecepatan iskemi yang menyebabkan cedera
jaringan (Potter dan Perry, 2005).
Nutrisi buruk juga mengganggu keseimbangan cairan dan
elektrolit. Pada pasien yang mengalami kehilangan protein berat,
hipoalbuminemia menyebabkan perpindahan volume cairan
ekstrasel ke dalam jaringan sehingga terjadi edema. Edema dapat
meningkatkan risiko terjadi dekubitus di jaringan. Suplai darah
pada suplai jaringan edema menurun dan produk sisa tetap tinggal
karena terdapatnya perubahan tekanan pada sirkulasi dan dasar
kapiler (Potter dan Perry, 2005).

9. Bagaimana rehab medik pada geriatri?

PENANGANAN DALAM BIDANG REHABILITASI MEDIK

Pemeriksaan atau penilaian keadaan pada lansia secara lengkap


mencakup:
a. Pemeriksaan fisik untuk mengetahui masalah medis : status
keadaan umum atau kebugaran, fungsi penglihatan dan
pendengaran serta fungsi anggota gerak atas dan bawah.
b. Pemeriksaan fungsional atau kemampuan melakukan aktifitas
kehidupan sehari-hari (AKS). Alat ukur utama yang digunakan
dalam bidang rehabilitasi medik adalah penilaian terhadap
kemandirian dalam melaksanakan aktifitas kehidupan sehari-
hari yang mencakup : perawatan diri sendiri (mandi, berias,
berpakaian), mobilitas (berubah posis ke dan dari tempat
tidur dan tempat duduk, berjalanjalan), makan dan minum,
fungsi b.a.k. dam b.a.b Beberapa ukuran yang dapat
diguanakn sebagai tolok ukur AKS adalah : - mampu berjalan
dengan nyaman 500 meter - - dapat mengangkat benda seberat
5 Kg memegang dan membawa benda-benda kecil.
c. Status mental : kognisi, daya ingat, demensia, depresi dan

15
lain-lain. Untuk keberhasilan latihan peningkatan fungsi AKS
maka seseorang harus mempunyai kemampuan berkomunikasi,
tingkat kewaspadaan diri (insight) dan motivasi yang cukup,
serta kemmapuan kognitif dan daya ingat untuk dapat
mengerti, mengikuti dan mengingat perintah.
d. Status sosio-ekonomi dan kualitas hidup untuk melihat
dukungan lingkungan sosial terhadap lansia.

PROGRAM REHABILITASI
Berdasarkan hasil penilaian terhadap keadaan lansia secara
keseluruhan akan dibuat program yang sesuai dengan kebutuhan
individual dengan mempertimbangkan semua aspek proses
penuaan serta proses lain yang menyertai. Program diberikan oleh
tim rehabilitasi medik yang terdiri atas psikolog, pekerja sosial
medis, fisioterapis, terapis okupasi, terapis wicara, perawat
rehabilitasi dan tehnisi ortotis-prostetis Pelaksanaan program
rehabilitasi berupa : Edukasi yang diberikan pada lansia yang
bersangkutan, care-giver dan keluarga Program latihan diberikan
melalui pemberian aktifitas dengen beberapa pedoman :
a. Aktifitas sederhana dan sudah dikenal sebelumnya, sesuai
dengan kesenangan lansia, sesuai dengan pekerjaan sebelumnya
serta gaya hidup lansia. Latihan akan lebih berhasil apabila
aktifitas dapat disederhanakan atau dipecahpecah dalam
beberapa langkah yang lebih mudah diikuti.
b. Pasikan aktifitas serta lingkungan melakukan aktifitas tersebut
tidak membahayakan lansia serta dapat menimbulkan rasa
nyaman.
c. Terapis harus kreatif dan fleksibel dalam merancang dan
memberikan aktifitas dalam rangka latihan.
d. Pusatkan perhatian pada fungsi yang ada pada lansia, sesuai
kemampuan, pengetahuan dan kewaspadaan lansia.

16
e. Aktifitas latihan diberikan dengan pengulangan
f. Pilih aktifitas yang memberikan rangsangan kognitif dan
bermanfaat untuk ekspresi diri. Pertahankan rasa humor untuk
menghilangkan rasa stres.
g. Beri kesempatan pada anggota keluarga dan/atau care-giver
untuk ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan.

10. Mengapa pasien dikonsultasikan ke rehab medik dan bagian gizi?

Dikarenakan pasien dicurigai mengalami imobilisasi sehingga


dibutuhkan rehabilitasi medik supaya pasien dapat melakukan hal-hal
seperti sebelum keadaan imobile walaupun tidak akan kembali seperti
sedia kala namun setidaknya sedikit membantu. Sedangkan konsultasi
ke bagian gizi diperlukan karena biasanya lansia mengalami masalah
pada nutrisi, sehingga dengan di konsultasikan diharapkan dapat
memperbaiki status gizi lansia.

11. Apa komplikasi dari imobilisasi?


Komplikasi yang dapat terjadi akibat imobilisasi yaitu:
 Trombosis
Trombosis vena dalam merupakan salah satu gangguan
vaskular perifer yang penyebabnya multifaktorial, meliputi faktor
genetik dan lingkungan. Terdapat tiga faktor yang meningkatkan
risiko trombosis vena dalam yaitu karena adanyaluka di vena
dalam karena trauma atau pembedahan, sirkulasi darah yang tidak
baik pada vena dalam, dan berbagai kondisi yang meningkatkan r
esiko pembekuandarah. Beberapa kondisi yang dapat
menyebabkan sirkulasi darah tidak baik di vena dalam meliputi
gagal jantung kongestif, imobilisasi lama, dan adanya
gumpalandarah yang telah timbul sebelumnya. Gejala trombosis v
ena bervariasi, dapat berupa rasa panas, bengkak, kemerahan, dan
rasa nyeri pada tungkai.

17
 Emboli Paru
Emboli paru dapat menghambat aliran darah ke paru dan memicu
reflekstertentu yang dapat menyebabkan panas yang
mengakibatkan nafas berhenti secaratiba-tiba. Sebagian besar
emboli paru disebabkan oleh emboli karena trombosisvena dalam.
Berkaitan dengan trombosis vena dalam, emboli paru disebabkan
olehlepasnya trombosis yang biasanya berlokasi pada tungkai ba
wah yang padagilirannya akan mencapai pembuluh darah paru
dan menimbulkan sumbatan yangdapat berakibat fatal. Emboli
paru sebagai akibat trombosis merupakan penyebabkesakitan dan
kematian pada pasien lanjut usia.
 Kelemahan Otot
Imobilisasi akan menyebabkan atrofi otot dengan penurunan
ukuran dankekuatan otot. Penurunan kekuatan otot diperkirakan
1-2% sehari. Kelemahan otot pada pasien dengan imobilisasi
seringkali terjadi dan berkaitan dengan penurunanfungsional,
kelemahan, dan jatuh.
 Kontraktur otot dan sendi
Pasien yang mengalami tirah baring lama berisiko mengalami
kontraktur karena sendi-sendi tidak digerakkan. Akibatnya timbul
nyeri yang menyebabkanseseorang semakin tidak mau
menggerakkan sendi yang kontraktur tersebut.
 Osteoporosis
Osteoporosis timbul sebagai akibat ketidakseimbangan antara res
orpsitulang dan pembentukan tulang. Imobilisasi meningkatkan re
sorpsi tulang,meningkatkan kalsium serum serum, menghambat s
ekresi PTH, dan produksivitamin D3 aktif. Faktor utama yang
menyebabkan kehilangan masa tulang padaimobilisasi adalah
meningkatnya resorpsi tulang.
 Ulkus dekubitus

18
Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering
terjadi pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi. Jumlah tekanan
yang dapat mempengaruhimikrosirkulasi kulit pada usia lanjut
berkisar antara 25 mmHg. Tekanan lebih dari25 mmHg secara
terus menerus pada kulit atau jaringan lunak dalam waktu
lamaakan menyebabkan kompresi pembuluh kapiler. Kompresi
pembuluh dalam waktulama akan mengakibatkan trombosis intra
arteri dan gumpalan fibrin yang secara permanen
mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan
mengakibatkan pembuluh darah tidak dapat terbuka dan akhirnya
terbentuk luka akibat tekanan.
 Hipotensi postural
Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebanyak 20
mmHg dari posisi berbaring ke duduk dengan salah satu
gejala klinik yang sering timbul adalahiskemia serebral, khusunya
sinkop. Pada posisi berdiri, secara normal 600-800 ml darah
dialirkan ke bagian tubuh inferior terutama tungkai. Penyebaran
cairan tubuhtersebut menyebabkan penurunan curah jantung
sebanyak 20%, penurunan volume sekuncup 35% dan akselerasi
frekuensi jantung sebanyak 30%. Pada orang normal sehat,
mekanisme kompensasi menyebabkan vasokonstriksi dan
peningkatan denyut jantung yang menyebabkan tekanan darah
tidak turun. Pada lansia, umumnya fungsi baroreseptor menurun.
Tirah baring total selama paling sedikit 3 minggu akan
mengganggu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan
posisi berdiri dari berbaring pada orang sehat, hal ini akan lebih
terlihat pada lansia.
 Pneumonia dan infeksi saluran kemih (ISK)
Akibat imobilisasi retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi
pada pasien geriatri. Pada posisi berbaring otot diafragma dan
interkostal tidak berfungsi dengan baik sehingga gerakan

19
dindingdada juga menjadi terbatas yang menyebabkan sputum
sulit keluar dan pasien mudah terkena pneumonia. Aliran
urin juga terganggu akibat tirah baring yang kemudian menyebab
kan infeksi saluran kemih. Inkontinensia urin juga
sering terjadi pada usia lanjut yang mengalami imobilisasi yang
disebabkan ketidakmampuan ke toilet, berkemih yang tidak
sempurna, gangguan status mental, dan gangguan sensasi
kandung kemih.
 Gangguan nutrisi (hipoalbuminemia)
Imobilisasi akan mempengaruhi sistem metabolik dan endokrin y
ang akibatnya akan terjadi perubahan terhadap metabolisme zat
gizi. Salah satu yang terjadi adalah perubahan metabolisme
protein. Kadar plasma kortisol lebih tinggi pada usia lanjut yang
imobilisasi sehingga menyebabkan metabolisme menjadi
katabolisme. Keadaan tidak beraktifitas dan imobilisasi selama 7
hari akan meningkatkan ekskresi nitrogen urin sehingga
terjadi hipoproteinemia konstipasi dan skibala Imobilisasi lama
akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon. Semakinlama
feses tinggal di usus besar, absorpsi cairan akan lebih besar
sehingga fesesakan menjadi lebih keras. Asupan cairan yang
kurang, dehidrasi, dan penggunaanobat-obatan juga dapat
menyebabkan konstipasi pada pasien imobilisasi. Prognosis pada
pasien imobilisasi tergantung pada penyakit yang
mendasariimobilisasi dan komplikasi yang ditimbulkananya.
Perlu dipahami, imobilisasi dapatmemperberat penyakit dasarnya
bila tidak ditangani sedini mungkin, bahkan dapatsampai
menimbulkan kematian (Liza, 2008)

20
 Langkah IV: Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan
pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah III

Non
Hemoragik Hemoragik

Stroke

Faktor
Imobilisasi Resiko

Keluhan Pemeriksaan

Komplikasi:
- Infeksi
- Hipotensi

Penanganan

 Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran

Tujuan pembelajaran (learning objectives) pada skenario ini adalah


mahasiswa mampu menjelaskan :

1. Faktor resiko stroke


2. Faktor resiko imobilisasi
3. Komplikasi dari imobilisasi
4. Interpretasi pemeriksaan fisik, radiologi dan lab
5. Tatalaksana farmakologi dan non farmakologi

21
 Langkah VI: Mengumpulkan informasi baru

Pengumpulan informasi telah dilakukan oleh masing-masing anggota


kelompok kami dengan menggunakan sumber referensi ilmiah seperti
buku, jurnal, review, dan artikel ilmiah yang berkaitan dengan skenario ini.

 Langkah VII: Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru


yang diperoleh

Pembahasan LO ( Learning Objective )

1. Fakto resiko stroke


Stroke disebabkan oleh keadaan ischemic atau proses hemorrhagic
yang seringkali diawali oleh adanya lesi atau perlukaan pada
pembuluh darah arteri. Dari seluruh kejadian stroke, duapertiganya
adalah ischemic dan sepertiganya adalah hemorrhagic. Disebut stroke
ischemic karena adanya sumbatan pembuluh darah oleh
thromboembolic yang mengakibatkan daerah di bawah sumbatan
tersebut mengalami ischemic. Hal ini sangat berbeda dengan stroke
hemorrhagic yang terjadi akibat adanya mycroaneurisme yang pecah.
Faktor yang dapat menimbulkan stroke dibedakan menjadi faktor
risiko yang tidak dapat diubah atau tidak dapat dimodifikasi dan faktor
risiko yang dapat diubah atau dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang
tidak dapat diubah diantaranya peningkatan usia dan jenis kelamin
lakilaki. Faktor risiko yang dapat diubah antara lain hipertensi,
diabetes melitus, dan dislipidemia. Hipertensi diartikan sebagai suatu
keadaan dimana tekanan darah seseorang melebihi batas tekanan
darah normal. Hipertensi merupakan faktor risiko yang potensial pada
kejadian stroke karena hipertensi dapat mengakibatkan pecahnya
pembuluh darah otak atau menyebabkan penyempitan pembuluh darah
otak. Pecahnya pembuluh darah otak akan mengakibatkan perdarahan
otak, sedangkan jika terjadi penyempitan pembuluh darah otak akan

22
mengganggu aliran darah ke otak yang pada akhirnya menyebabkan
kematian sel-sel otak.

2. Faktor resiko imobilisasi


Penyebab imobilisasi berbagai faktor fisik, psikologis, dan
lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut. Penyebab
utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot,
ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Rasa lemah sering kali
disebabkan oleh malnutrisi, gangguan elektrolit, tidak digunakannya
otot, anemia, gangguan neurologis atau miopati. Osteoartritis
merupakan penyebab utama kekakuan pada usia lanjut. Parkinson,
artritis reumatoid, gout, dan obat-obatan antipsikotik seperti
haloperidol juga dapat menyebabkan kekakuan. Rasa nyeri, baik dari
tulang (osteoporosis, osteomalacia, Paget’s disease, metastase kanker
tulang, trauma), sendi (osteoartritis, artritis reumatoid, gout), otot
(polimialgia,pseudoclaudication) atau masalah pada kaki dapat
menyebabkan imobilisasi. Ketidakseimbangan dapat disebabkan
karena kelemahan, faktor neurologis (strok, kehilangan refleks tubuh,
neuropati karena diabetes melitus, malnutrisi, dan gangguan
vestibuloserebral), hipotensi ortostatik, atau obat-obatan (diuretik,
antihipertensi, neuroleptik, dan antidepresan).
Gangguan fungsi kognitif berat seperti pada demensia dan
gangguan fungsi mental seperti pada depresi tentu sangat sering
menyebabkan terjadinya imobilisasi. Kekhawatiran keluarga yang
berlebihan atau kemalasan petugas kesehatan dapat pula menyebabkan
orang lanjut usia terus menerus berbaring di tempat tidur baik di
rumah maupun di rumah sakit. Efek samping beberapa obat dapat
menyebabkan gangguan mobilisasi, namun biasanya tidak
teridentifikasi oleh petugas kesehatan. Obat-obat hipnotik dan sedatif
menyebabkan rasa kantuk dan ataksia yang mengganggu mobilisasi.

23
Untuk itu kontrol teratur dan seksama terhadap obat-obat yang
dikonsumsi oleh pasien sangat penting untuk dilakukan.

3. Komplikasi dari imobilisasi


Komplikasi yang dapat terjadi akibat imobilisasi yaitu:
 Trombosis
Trombosis vena dalam merupakan salah satu gangguan
vaskular perifer yang penyebabnya multifaktorial, meliputi faktor
genetik dan lingkungan. Terdapat tiga faktor yang meningkatkan
risiko trombosis vena dalam yaitu karena adanya luka di vena
dalam karena trauma atau pembedahan, sirkulasi darah yang tidak
baik pada vena dalam, dan berbagai kondisi yang meningkatkan r
esiko pembekuan darah. Beberapa kondisi yang dapat
menyebabkan sirkulasi darah tidak baik di vena dalam meliputi
gagal jantung kongestif, imobilisasi lama, dan adanya
gumpalandarah yang telah timbul sebelumnya. Gejala trombosis v
ena bervariasi, dapat berupa rasa panas, bengkak, kemerahan, dan
rasa nyeri pada tungkai.
 Emboli Paru
Emboli paru dapat menghambat aliran darah ke paru dan memicu
refleks tertentu yang dapat menyebabkan panas yang
mengakibatkan nafas berhenti secara tiba-tiba. Sebagian besar
emboli paru disebabkan oleh emboli karena trombosisvena dalam.
Berkaitan dengan trombosis vena dalam, emboli paru disebabkan
oleh lepasnya trombosis yang biasanya berlokasi pada
tungkai bawah yang pada gilirannya akan mencapai pembuluh
darah paru dan menimbulkan sumbatan yangdapat berakibat fatal.
Emboli paru sebagai akibat trombosis merupakan
penyebabkesakitan dan kematian pada pasien lanjut usia.
 Kelemahan Otot

24
Imobilisasi akan menyebabkan atrofi otot dengan penurunan
ukuran dankekuatan otot. Penurunan kekuatan otot diperkirakan
1-2% sehari. Kelemahan otot pada pasien dengan imobilisasi
seringkali terjadi dan berkaitan dengan penurunanfungsional,
kelemahan, dan jatuh.
 Kontraktur otot dan sendi
Pasien yang mengalami tirah baring lama berisiko mengalami
kontraktur karena sendi-sendi tidak digerakkan. Akibatnya timbul
nyeri yang menyebabkan seseorang semakin tidak mau
menggerakkan sendi yang kontraktur tersebut.
 Osteoporosis
Osteoporosis timbul sebagai akibat ketidakseimbangan antara res
orpsi tulang dan pembentukan tulang. Imobilisasi meningkatkan
resorpsi tulang, meningkatkan kalsium serum serum, menghambat
sekresi PTH, dan produksi vitamin D3 aktif. Faktor utama yang
menyebabkan kehilangan masa tulang padaimobilisasi adalah
meningkatnya resorpsi tulang.
 Ulkus dekubitus
Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering
terjadi pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi. Jumlah tekanan
yang dapat mempengaruhi mikrosirkulasi kulit pada usia lanjut
berkisar antara 25 mmHg. Tekanan lebih dari25 mmHg secara
terus menerus pada kulit atau jaringan lunak dalam waktu
lamaakan menyebabkan kompresi pembuluh kapiler. Kompresi
pembuluh dalam waktulama akan mengakibatkan trombosis intra
arteri dan gumpalan fibrin yang secara permanen
mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan
mengakibatkan pembuluh darah tidak dapat terbuka dan akhirnya
terbentuk luka akibat tekanan.
 Hipotensi postural

25
Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebanyak 20
mmHg dari posisi berbaring ke duduk dengan salah satu
gejala klinik yang sering timbul adalahiskemia serebral, khusunya
sinkop. Pada posisi berdiri, secara normal 600-800 ml darah
dialirkan ke bagian tubuh inferior terutama tungkai. Penyebaran
cairan tubuhtersebut menyebabkan penurunan curah jantung
sebanyak 20%, penurunan volume sekuncup 35% dan akselerasi
frekuensi jantung sebanyak 30%. Pada orang normal sehat,
mekanisme kompensasi menyebabkan vasokonstriksi dan
peningkatan denyut jantung yang menyebabkan tekanan darah
tidak turun. Pada lansia, umumnya fungsi baroreseptor menurun.
Tirah baring total selama paling sedikit 3 minggu akan
mengganggu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan
posisi berdiri dari berbaring pada orang sehat, hal ini akan lebih
terlihat pada lansia.
 Pneumonia dan infeksi saluran kemih (ISK)
Akibat imobilisasi retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi
pada pasien geriatri. Pada posisi berbaring otot diafragma dan
interkostal tidak berfungsi dengan baik sehingga gerakan
dindingdada juga menjadi terbatas yang menyebabkan sputum
sulit keluar dan pasien mudah terkena pneumonia. Aliran
urin juga terganggu akibat tirah baring yang kemudian menyebab
kan infeksi saluran kemih. Inkontinensia urin juga
sering terjadi pada usia lanjut yang mengalami imobilisasi yang
disebabkan ketidakmampuan ke toilet, berkemih yang tidak
sempurna, gangguan status mental, dan gangguan sensasi
kandung kemih.
 Gangguan nutrisi (hipoalbuminemia)
Imobilisasi akan mempengaruhi sistem metabolik dan endokrin y
ang akibatnya akan terjadi perubahan terhadap metabolisme zat
gizi. Salah satu yang terjadi adalah perubahan metabolisme

26
protein. Kadar plasma kortisol lebih tinggi pada usia lanjut yang
imobilisasi sehingga menyebabkan metabolisme menjadi
katabolisme. Keadaan tidak beraktifitas dan imobilisasi selama 7
hari akan meningkatkan ekskresi nitrogen urin sehingga
terjadi hipoproteinemia konstipasi dan skibala Imobilisasi lama
akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon. Semakinlama
feses tinggal di usus besar, absorpsi cairan akan lebih besar
sehingga fesesakan menjadi lebih keras. Asupan cairan yang
kurang, dehidrasi, dan penggunaanobat-obatan juga dapat
menyebabkan konstipasi pada pasien imobilisasi. Prognosis pada
pasien imobilisasi tergantung pada penyakit yang
mendasariimobilisasi dan komplikasi yang ditimbulkananya.
Perlu dipahami, imobilisasi dapatmemperberat penyakit dasarnya
bila tidak ditangani sedini mungkin, bahkan dapatsampai
menimbulkan kematian (Liza, 2008)

4. Interpretasi pemeriksaan fisik, radiologi dan lab


a. GCS : 12-13 --> apatis
 Composmentis : 15-14
 Apatis : 13-12
 Delirium : 11-10
 Somnolen : 9-7
 Stupor : 6-4
 Coma : 3
Penurunan keadaan umum ini bisa disebabkan karena adanya dehidrasi
b. Tekanan darah : 140/60  dibawah normal, karena normalnya dewasa
120/80
c. RR : 30x/menit  meningkat, karena normalnya 14-20x/menit
d. HR : ada sedikit peningkatan karena maksimal 100x/menit
e. Suara dasar vesikuler meningkat, ronkhi basah kasar dan fremitus
taktil meningkat  tidak normal dan kemungkinan adanya cairan

27
f. Thorax PA  terlihat ada infiltrat yang kemungkinan terjadinya
infeksi
g. Leukosit  21.000 meningkat normalnya 5.000-10.000 yang
menandakan adanya infeksi
5. Tatalaksana farmakologi dan non farmakologi
STROKE

STADIUM HIPERAKUT
Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat dan
merupakan tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan agar
kerusakan jaringan otak tidak meluas. Pada stadium ini, pasien diberi
oksigen 2 L/menit dan cairan kristaloid/koloid; hindari pemberian cairan
dekstrosa atau salin dalam H2O. Dilakukan pemeriksaan CT scan otak,
elektrokardiografi, foto toraks, darah perifer lengkap dan jumlah
trombosit, protrombin time/INR, APTT, glukosa darah, kimia darah
(termasuk elektrolit); jika hipoksia, dilakukan analisis gas darah. Tindakan
lain di Instalasi Rawat Darurat adalah memberikan dukungan mental
kepada pasien serta memberikan penjelasan pada keluarganya agar tetap
tenang.
STADIUM AKUT
Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktor-faktor etiologik maupun
penyulit. Juga dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara dan
psikologis serta telaah sosial untuk membantu pemulihan pasien.
Penjelasan dan edukasi kepada keluarga pasien perlu, menyangkut dampak
stroke terhadap pasien dan keluarga serta tata cara perawatan pasien yang
dapat dilakukan keluarga.
STADIUM SUBAKUT
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan, terapi
wicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik). Mengingat perjalanan
penyakit yang panjang, dibutuhkan penatalaksanaan khusus intensif pasca

28
stroke di rumah sakit dengan tujuan kemandirian pasien, mengerti,
memahami dan melaksanakan program preventif primer dan sekunder
Terapi fase subakut:
Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya, Penatalaksanaan
komplikasi, Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu
fisioterapi, terapi wicara, terapi kognitif, dan terapi okupasi, Prevensi
sekunder Edukasi keluarga dan Discharge Planning

Stroke Iskemik
Terapi umum:
Letakkan kepala pasien pada posisi 300, kepala dan dada pada satu bidang;
ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila
hemodinamik sudah stabil. Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen
1-2 liter/menit sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu,
dilakukan intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan antipiretik,
kemudian dicari penyebabnya; jika kandung kemih penuh, dikosongkan
(sebaiknya dengan kateter intermiten).
Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-2000
mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa
atau salin isotonik. Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi
menelannya baik; jika didapatkan gangguan menelan atau kesadaran
menurun, dianjurkan melalui slang nasogastrik.
Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah
sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari
pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg% atau < 80 mg%
dengan gejala) diatasi segera dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali
normal dan harus dicari penyebabnya. Nyeri kepala atau mual dan muntah
diatasi dengan pemberian obat-obatan sesuai gejala.
Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik
220 mmHg, diastolik 120 mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP)
130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau

29
didapatkan infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal ginjal.
Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat yang
direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta,
penyekat ACE, atau antagonis kalsium. Jika terjadi hipotensi, yaitu
tekanan sistolik 90 mm Hg, diastolik 70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL
selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam
atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan
darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-20 g/kg/menit
sampai tekanan darah sistolik 110 mmHg.
Terapi khusus
Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator.
Tindakan bedah mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu pada
pasien yang kondisinya kian memburuk dengan perdarahan serebelum
berdiameter >3 cm3, hidrosefalus akut akibat perdarahan intraventrikel
atau serebelum, dilakukan VP-shunting, dan perdarahan lobar >60 mL
dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi
Pada perdarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis Kalsium
(nimodipin) atau tindakan bedah (ligasi, embolisasi, ekstirpasi, maupun
(gamma knife) jika penyebabnya adalah aneurisma atau malformasi arteri-
vena (arteriovenous malformation, AVM).

PNEUMONIA

Penatalaksanaan yang dapat diberikan adalah pemberian obat untuk


menghilangkan agen nfeksi. Bakteri menjadi penyebab tersering
pneumonia sehingga biasanya pemberian antibiotik dilakukan
sambil menunggu hasil pemeriksaan penunjang keluar. Antibiotik yang
diberikan biasanya adalah kombinasi golongan beta laktam dan macrolide.
Golongan beta laktam (penisilin G, amoxicillin, dan lain-lain)
merupakan antibiotik spektrum luas yang akan mengganggu proses
sintesis dinding sel kuman. Golongan macrolide (azitromisin,

30
eritromisin, dan sebagainya) memiliki mekanisme pengikatan dengan
subunit ribosom 50s dan menghambat disosiasi peptidil tRNA dari
ribosom sehingga sintesis protein tergantung

RNA terganggu (Kamangar, 2011).


Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan
data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena
beberapa alasan yaitu :
1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia.
3. hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris.
Secara umum pemilihan antibiotik berdasarkan baktri penyebab
pneumonia dapat dilihat sebagai berikut :
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
- Golongan Penisilin
- TMP-SMZ
- Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
- Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
- Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi
- Marolid baru dosis tinggi
- Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
- Aminoglikosid
- Seftazidim, Sefoperason, Sefepim
- Tikarsilin, Piperasilin
- Karbapenem : Meropenem, Imipenem
- Siprofloksasin, Levofloksasin

31
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
- Vankomisin
- Teikoplanin
- Linezolid
Hemophilus influenzae
- TMP-SMZ
- Azitromisin
- Sefalosporin gen. 2 atau 3
- Fluorokuinolon respirasi
Legionella ƒ
- Makrolid
- Fluorokuinolon
- Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
- Doksisiklin
- Makrolid
- Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
- Doksisikin
- Makrolid
- Fluorokuinolon

Pada kasus ringan, pasien boleh berobat jalan. Namun pada kasus berat,
sebaiknya pasien dirawat inap.Pada pasien rawat jalan:
1. Istirahat/ perawatan supportif Bronkodilator albuterol nebulizer/
inhaler Monitor oksigenasi
2. Pada pasien rawat inap
3. Oksigen Bronkodilator albuterol nebulizer (perhatikan selama 4 jam)
Isolasi pernapasan Ribavirin Antibiotik Analisa gas darah arteri
Pencegahan
4. Vaksin untuk mencegah beberapa jenis pneumonia sudah tersedia.

32
6. Sebaiknya pada anak usia sekolah, diistirahatkan dirumah/ di RS
apabila sedang sakit.

33
BAB III
KESIMPULAN
Pada tutorial skenario ini didapatkan pasien mengalami keluhan berupa
sesak napas yang disertai dengan adanya imobilitas dari pasien yang membuat
pasien tidak hanya dapat berbaring di tempat tidur. Penyebab terjadinya imobilitas
pada pasien dapat disebabkan oleh 2 kemungkinan yaitu adanya riwayat stroke
pada pasien dan adanya riwayat fraktur pada panggul pasien. Keadaan imobilitas
pada pasien tersebut dapat menimbulkan beberapa komplikasi diantaranya yaitu
terjadinya depresi, hipotensi serta pneumonia seperti yang dicurigai pada pasien
berdasarkan temuan dari pemeriksaan vital sign, fisik, lab dan foto thoraks.
Depresi pada pasien dapat terjadi karena imobilitas yang terjadi dapat
menyebabkan pasien merasa tidak berharga. Hipotensi yang terjadi pada pasien
yang awalnya bahkan memiliki riwayat hipertensi disebabkan oleh adanya
hipotensi ortostatik karena adanya gangguan berupa tertumpuknya darah di
ekstremitas bawah pasien, penumpukan itu disebabkan adanya vasokontriksi yang
menyebabkan aliran darah balik ke jantung menurun dan menyebabkan preload
jantung menurun. Pneumonia yang terjadi pada pasien disebabkan oleh adanya
kegagalan silia mengeluarkan sekret yang berfungsi untuk pembersihan jalan
napas sehingga bakteri dari luar mudah masuk selain itu juga adanya edema paru
yang disebabkan oleh aliran darah yang tertumpuk di paru juga menyebabkan
bakteri mudah berkembang di paru dan menyebabkan pneumonia. Untuk
memperbaiki keadaan umum pasien maka diberikan tatalaksana untuk
mengurangi serta menyembuhkan keluhan yang terjadi pada pasien serta
memperbaiki nutrisi yang didapatkan pasien. Selain itu diberikan pula rehab
medik pada pasien agar kualitas hidup pasien dapat lebih baik lagi.

34
BAB IV
SARAN
Hambatan yang terjadi pada diskusi tutorial skenario pertama di blok
hematologi ini adalah pertama, kurang luasnya prior knowledge yang ada pada
masing-masing anggota kelompok. Sehingga kami sedikit kesulitan dalam
menjawab beberapa pertanyaan pada diskusi tutorial yang diberikan oleh anggota
kami. Kedua, bahasa di materi blok yang kami pelajari dan bahas ini cukup sulit
untuk dipahami, karena bahasa yang digunakan merupakan bahasa kedokteran
yang sulit dan tidak sederhana. Hasil dari pembahasan yang kami dapatkan juga
berputar-putar (intinya sama). Tetapi, kami merasa cukup puas karena dapat
menyelesaian diskusi mengenai permasalahan ini dengan baik dan berhasil
mencapai hampir semua LO yang ada.

35
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Darmojo, R. Boedhi.,dkk.1999. Buku Ajar Geriatri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Gallo, Joseph.1998. Buku Saku Gerontologi. Jakarta : EGC

Kamangar N (2011). Bacterial pneumonia medication.


http://emedicine.medscape.com/article/300157-medication#showall. (Diakses
pada tanggal 7 April 2019)

Stoppler MC (2013). Pneumonia.


http://www.medicinenet.com/pneumonia/page2.html. (Diakses pada tanggal 7
April 2019)

Ambarwati E (2009). Rehabilitasi medik komprehensif pada lanjut usia. Dalam:


Martono HH, Pranarka (eds). Buku ajar Boedhi Darmojo geriatri (ilmu
kesehatan usia lanjut) edisi ke 2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, pp: 758-770.

Liza. (2008). Imobilisasi.http://www.scribd.com/doc/6240327/IMOBILISASI-


INKONTINENSIA-URIN. Diakses pada 5 April 2019.

Liza. (2008). Pneumonia pada Geriatri.http://www.scribd.com/doc/6240476/Pneu


monia-Pada-Geriatri-Infeksi-Saluran-Kemih. Diakses pada 5 April 2019.

Guedez et al. (2018). Deleterious effects of prolonged bed rest on the body
systems of the elderly.
http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S1809-
98232018000400499 diakses pada 7 April 2019

Sudoyo, Aru W et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV.
Penerbit Buku Kedokteran IPD FK UI.

36

Anda mungkin juga menyukai