KELOMPOK XIX
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2019
1
BAB 1
PENDAHULUAN
SKENARIO 3
AKU INGIN BISA DUDUK
Pada usia 87 tahun, Nenek Sutinah, datang ke IGD diantar oleh keluarga
karena mengeluhkan sesak yang memberat sejak 3 hari, disertai dengan demam
dan batuk dengan dahak berwarna kuning kental. Pasien memiliki riwayat
hipertensi lebih dari 20 tahun dan mengalami patah tulang panggul di usia 60
tahun, satu tahun lalu terserang stroke karena perdarahan karena sumbatan di otak.
Sudah 1 bulan ini tidak bisa bangun dari tempat tidur, makan dan minum hanya
sedikit-sedikit, sering tidak mau bicara, sulit diajak komunikasi.
2
BAB II
Masalah yang terdapat pada skenario “ Aku Ingin Bisa Duduk ? ” adalah :
1. Apa saja penyebab pasien sulit makan dan minum, sering tidak mau
bicara dan sulit diajak komunikasi?
2. Apa hubungan stroke dengan semua keluhan yang dialami pasien?
3. Mengapa pasien mengalami demam dan batuk dengan dahak berwarna
kuning kental?
4. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik, lab dan vital sign?
5. Adakah hubungan dengan keluhan utama pasien dengan pasien sulit
bangun?
6. Mengapa tekanan darah menurun ketika pasien mengalami imobilitas?
7. Apa indikasi diberikan oksigen, dipasang cairan infus & antibiotik
serta NGT diit cair?
8. Apa saja faktor risiko dekubitus?
9. Bagaimana rehab medik pada geriatri?
3
10. Mengapa pasien dikonsultasikan ke rehab medik dan bagian gizi?
11. Apa komplikasi dari imobilisasi?
1. Apa saja penyebab pasien sulit makan dan minum, sering tidak mau
bicara dan sulit diajak komunikasi?
4
menunjang perkembangan konstipasi. Penggunaan laksatif yang
berlebihan atau tidak tepat dapat mengarah pada masalah diare.
d) Lansia mempunyai pusat haus yang kurang sensitif dan mungkin
mempunyai masalah dalam mendapatkan cairan ( misalnya gangguan
dalam berjalan ) atau mengungkapkan keinginan untuk minum (misalnya
pasien stroke).
Masalah cairan yang lebih sering dialami lansia adalah kekurangan cairan
tubuh , hal ini berhubungan dengan berbagai perubahan-perubahan yang
dialami lansia, diantaranya adalah peningkatan jumlah lemak pada lansia,
penurunan fungsi ginjal untuk memekatkan urin dan penurunan rasa haus.
Sulitnya bicara atau komunikasi pada lansia dapat masuk sebagai salah satu
tanda lansia depresi. Inilah gejala depresi yang umum terjadi pada orang tua.
- Kesedihan
- Kelelahan
- Kehilangan minat pada hobi atau hiburan yang menyenangkan lainnya
- Menarik diri dari kehidupan sosial
- Penurunan berat badan atau kehilangan nafsu makan
- Gangguan tidur (sulit tidur atau sebaliknya terlalu banyak tidur)
- Kehilangan harga diri (khawatir menjadi beban, perasaan tidak berharga,
membenci diri sendiri)
- Peningkatan penggunaan alkohol atau obat-obatan lain
- Fiksasi kematian; pikiran atau usaha bunuh diri
5
3. Mengapa pasien mengalami demam dan batuk dengan dahak berwarna
kuning kental?
Demam bukan merupakan sebuah penyakit, melainkan gejala
yang menyertai sebuah penyakit. Di mana terjadi peningatan suhu
tubuh di atas suhu normal yaitu 37 C . Demam bisa dikarenakan oleh
beberap sebab , bisa dikarenakan adanya proses infeksi maupun
adanya proses inflamasi. Mekanisme demam terjadi ketika pembuluh
darah disekitar hipotalamus terkena pirogen eksogen tertentu (seperti
bakteri) atau pirogen endogen (Interleukin-1, interleukin-6, tumor
necrosis factor) sebagai penyebab demam, maka metabolit asam
arakidonat dilepaskan dari endotel sel jaringan pembuluh darah.
Metabolit seperti prostaglandin E2, akan melintasi barrier darah-otak
dan menyebar ke dalam pusat pengaturan suhu di hipotalamus, yang
kemudian memberikan respon dengan meningkatkan suhu.
Demam pada lansia jarang tampak , atau tidak khas. Hal ini
dikarenakan oleh beberapa sebab diantaranya variasi harian dari suhu
berkurang, dan suhu basal geriatri adalah sekitar 0.6-0.8 0C lebih
rendah dari dewasa muda. Mekanisme yang mendasarinya adalah:
berkurangnya produksi sitokin (misalnya IL-6), berkurangnya
sesitivitas reseptor hipotalamik terhadap sitokin dan rusaknya adaptasi
termoregulasi perifer terhadap perubahan suhu. Sebagai tambahan,
penggunaan obat-obatan yang sering dipakai geriatri seperti NSAID,
kortikosteroid, B-reseptor blocker, antihistamin, ranitidin dapat
menekan respon terhadap inflamasi.
Demam akan muncul jika terdapat penyebab primer yang
menyebabkanya. Sehingga kita harus melihat keluhan keluhan lain
yang dirasakan pasien. Salah satu keluhan lain pada scenario adalah
batuk. Batuk maupun respon fisiologi pada tubuh kita ketika terdapat
iritan yang masuk atau berada pada slauran nafas . Batuk dapat
mennjadi tanda bahaya sebuah penyait ketika batuk tersebut tidak
kunjung sembuh ataupun batuk yang disertai dahak. Batuk berdahak
6
dapat disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah infeksi pada
paru dan saluran pernapasan. Adanya infeksi pada paru akan
mengaktifkan mediator inflamasi yang akan meningkatkan
permeabilitas kapiler paru. Hal ini menyebabkan terjadinya
perpindahan eksudat plasma dari kapiler ke dalam ruang interstisial.
Eksudat atau dahak ini akan merangsang saluran nafas untuk
mengeluarkannya melalui suatu mekanisme yaitu batuk. Dahak dari
batuk dapat dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui
penyebab/ pathogen yang menginfeksi saluran nafas.
Warna hijau atau kuning ini berasal dari sel darah putih yang
sedang melawan penyebab infeksi. Pada awal kemunculannya, dahak
umumnya berwarna kuning, kemudian bisa berubah menjadi hijau
seiring waktu. Dahak hijau atau kuning bisa menandakan kamu
sedang menderita penyakit infeksi, misalnya:
Pneumonia
Pneumonia merupakan peradangan jaringan paru-paru yang seringkali
mengiringi gangguan pernapasan lainnya. Jika mengalami pneumonia,
selain batuk berdahak warna hijau atau kuning, kamu juga akan
merasakan beberapa gejala lain, seperti demam, napas pendek, atau
sesak. Pada kondisi tertentu, dahak dapat bercampur darah.
Bronkitis
Bronkitis umumnya diawali batuk kering yang kemudian menjadi
batuk berdahak, lalu seiring waktu menimbulkan dahak berwarna
hijau atau kuning. Perubahan warna ini bisa menjadi pertanda infeksi
virus yang kemudian diikuti oleh infeksi bakteri.
Sinusitis
Dahak hijau atau kuning juga bisa disebabkan oleh infeksi yang
menyebabkan peradangan pada sinus atau sinusitis. Selain itu, kamu
juga mungkin merasakan sejumlah gejala lain, misalnya tekanan pada
7
rongga sinus yang sering menimbulkan nyeri di area sekitar, dan
hidung tersumbat.
Cysticfibrosis
Cystic fibrosis merupakan penyakit paru kronis yang bersifat genetik,
dan menyebabkan terjadi penumpukan lendir yang kental di dalam
paru-paru, sehingga mengganggu proses pernapasan. Kondisi ini
umumnya dialami sejak usia muda. Warna dahak yang keluar
bervariasi, mulai dari kuning, hijau, hingga kecokelatan.
8
Keluhan yang diderita pasien berupa sesak napas yang berat dapat
disebabkan oleh imobilitas yang dialami oleh pasien pada skenario
tersebut. Pasien yang mengalami imobilitas dengan posisi tidur
telentang dapat menyebabkan terhambatnya gerakan dari tulang rusuk
yang membantu terjadinya pernapasan. Padahal pada saat posisi
berdiri pergerakan tulang rusuk membantu 78% dari terjadinya
volume tidal, sedangkan pada posisi tidur pengaruh tulang rusuk
berkurang hingga 32% sehingga posisi tidur yang sudah terlalu lama
seperti pada kasus dapat menyebabkan pasien mengalami
pengurangan volume tidal pada saat bernapas. Selain itu pada posisi
tidur tersebut juga dapat meningkatkan resistensi dan meningkatkan
volume darah yang menuju paru. Meningkatnya volume darah ke paru
tersebut dapat menimbulkan berkurangnya kapasitas total paru dan
volume residual paru sehingga menyebabkan berkurangnya
konsentrasi oksigen di darah yang menyebabkan pasien bernapas lebih
cepat selain itu meningkatnya volume darah ke paru juga dapat
menyebabkan terjadinya edema paru yang bisa jadi bisa dasar
mengapa ditemukannya pemeriksaan fisik yang berupa meningkatnya
suara dasar vesikuler dan meningkatnya fremitus taktil. Adanya
kemungkinan edema paru tersebut menjadi predisposisi terjadinya
pneumonia paru karena pneumonia lebih mudah terjadi pada pasien
yang mengalami edema.
Selain itu posisi pasien yang tiduran juga menyebabkan silia yang
terdapat pada saluran pernapasan sulit untuk bekerja. Hal ini
menyebabkan silia tersebut tidak dapat mengeluarkan mukus yang
berada pada saluran pernapasan serta terjadi pengurangan sekresi
untuk pembersihan saluran napas. Mukus yang tidak dapat
dikeluarkan dapat menjadi terakumulasi dan menjadi lebih kental
sehingga menyebabkan mukus makin sulit dikeluarkan untuk
pembersihan. Tidak adekuatnya pembersihan jalan napas tersebut
yang menyebabkan terjadinya peningkatan resiko yang lebih
9
meningkat terjadinya pneumonia selain penyebab adanya edema paru.
Pneumonia yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya penemuan
pemeriksaan yang lain berupa terjadinya suara ronkhi basah kasar,
terjadinya leukositosis karena sistem imun yang berusaha untuk
melawan bakteri penyebab pneumonia dan tampak adanya infiltrat
pada pemeriksaan foto thoraks.
7. Apa indikasi diberikan oksigen, dipasang cairan infus serta NGT diit
cair?
10
Pasien tidak dapat menelan oleh karena berbagai sebab
Lavage lambung pada kasus keracunan
3. Diagnostik
Membantu diagnosis dengan analisa cairan isi lambung.
11
pemeriksaan fisik. Pasien-pasien dengan infark miokard, edema paru,
cidera paru akut, sindrom gangguan pernapa-san akut (ARDS),
fibrosis paru, keracunan sianida atau inhalasi gas karbon monoksida
(CO) semuanya memerlukan terapi oksigen (O2). Terapi oksigen
(O2) juga diberikan selama periode perioperatif ka-rena anestesi
umum seringkali menyebabkan terjadinya penurunan tekanan parsial
oksigen (O2) sekunder akibat peningkatan ketidaksesuaian ventilasi
dan perfusi paru dan penurunan kapasitas residu fungsional (FRC).
Terapi oksigen (O2) juga diberikan sebelum dilakukannya beberapa
prosedur, se-perti pengisapan trakea atau bronkoskopi di mana
seringkali menyebabkan terjadinya desaturasi arteri. Terapi oksigen
(O2) juga diberikan pada kon-disi-kondisi yang menyebabkan
peningkatan kebutuhan jaringan terhadap oksigen (O2), seperti pada
luka bakar, trauma, infeksi berat, penyakit kega-nasan, kejang demam
dan lainnya. Dalam pemberian terapi oksigen (O2) harus
dipertimbangkan apa-kah pasien benar-benar membutuhkan oksigen
(O2), apakah dibutuhkan te-rapi oksigen (O2) jangka pendek (short-
term oxygen therapy) atau panjang (long-term oxygen therapy).
Oksigen (O2) yang diberikan harus diatur da-lam jumlah yang tepat
dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari
toksisitas.
12
mengetahui jika salah satu bagian tubuhnya merasakan tekanan
atau nyeri yang terlalu besar, sehingga ketika pasien sadar dan
berorientasi mereka dapat mengubah atau meminta bantuan untuk
mengubah posisi (Potter dan Perry, 2005).
b. Gangguan Fungsi Motorik
Pasien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri beresiko
tinggi terhadap dekubitus. Pasien tersebut dapat merasakan tekanan
tetapi tidak mampu mengubah posisi secara mandiri untuk
menghilangkan tekanan tersebut. Hal ini meningkatkan peluang
terjadinya dekubitus. Pada pasien yang mengalami cedera medulla
spinalis terdapat gangguan motorik dan sensorik. Angka kejadian
dekubitus pada pasien yang mengalami cedera medulla spinalis
diperkirakan sebesar 85%, dan komplikasi luka ataupun berkaitan
dengan luka merupakan penyebab kematian pada 8% populasi ini
(Potter dan Perry, 2005).
c. Perubahan Tingkat Kesadaran
Pasien bingung, disorientasi, atau mengalami perubahan tingkat
kesadaran tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari luka
dekubitus. Pasien bingung atau disorientasi mungkin dapat
merasakan tekanan, tetapi tidak mampu memahami bagaimana
menghilangkan tekanan itu. Pasien koma tidak dapat merasakan
tekanan dan tidak mampu mengubah ke posisi yang labih baik.
Selain itu pada pasien yang mengalami perubahan tingkat
kesadaran lebih mudah menjadi bingung. Beberapa contoh adalah
pada pasien yang berada di ruang operasi dan untuk perawatan
intensif dengan pemberian sedasi (Potter dan Perry, 2005).
d. Gips, Traksi, Alat Ortotik dan Peralatan Lain
Gips dan traksi mengurangi mobilisasi pasien dan ekstremitasnya.
Pasien yang menggunakan gips beresiko tinggi terjadi dekubitus
karena adanya gaya friksi eksternal mekanik dari permukaan gips
yang bergesek pada kulit. Gaya mekanik kedua adalah tekanan
13
yang dikeluarkan gips pada kulit jika gips terlalu ketat dikeringkan
atau ekstremitasnya bengkak. Peralatan ortotik seperti penyangga
leher digunakan pada pengobatan pasien yang mengalami fraktur
spinal servikal bagian atas. Luka dekubitus merupakan potensi
komplikasi dari alat penyangga leher ini (Potter dan Perry, 2005).
e. Nutrisi Buruk
Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan jaringan
subkutan yang serius. Akibat perubahan ini maka jaringan yang
berfungsi sebagai bantalan diantara kulit dan tulang menjadi
semakin sedikit. Oleh karena itu efek tekanan meningkat pada
jaringan tersebut (Potter & Perry, 2005). Pasien yang mengalami
malnutrisi mengalami defisiensi protein dan keseimbangan nitrogen
negatif dan tidak adekuat asupan vitamin C. Status nutrisi buruk
dapat diabaikan jika pasien mempunyai berat badan sama dengan
atau lebih dari berat badan ideal. Pasien dengan status nutrisi buruk
biasa mengalami hipoalbuminemia (level albumin serum dibawah
3g/ 100 ml) dan anemia (Potter dan Perry, 2005).
Albumin adalah ukuran variable yang biasa digunakan untuk
mengevaluasi status protein pasien. Pasien yang albumin serumnya
dibawah 3g/ 100 ml beresiko tinggi. Selain itu, level albumin
rendah dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka.
Walaupun kadar albumin serum kurang tepat memperlihatkan
perubahan protein viseral, tapi albumin merupakan prediktor
malnutrisi yang terbaik untuk semua kelompok manusia (Potter dan
Perry, 2005).
Level total protein juga mempunyai korelasi dengan luka
dekubitus, level total protein dibawah 5,4 g/ 100 ml menurunkan
tekanan osmotik koloid, yang akan menyebabkan edema interstisial
dan penurunan oksigen ke jaringan. Edema akan menurunkan
toleransi kulit dan jaringan yang berada di bawahnya terhadap
tekanan, friksi, dan gaya gesek. Selain itu, penurunan level oksigen
14
meningkatkan kecepatan iskemi yang menyebabkan cedera
jaringan (Potter dan Perry, 2005).
Nutrisi buruk juga mengganggu keseimbangan cairan dan
elektrolit. Pada pasien yang mengalami kehilangan protein berat,
hipoalbuminemia menyebabkan perpindahan volume cairan
ekstrasel ke dalam jaringan sehingga terjadi edema. Edema dapat
meningkatkan risiko terjadi dekubitus di jaringan. Suplai darah
pada suplai jaringan edema menurun dan produk sisa tetap tinggal
karena terdapatnya perubahan tekanan pada sirkulasi dan dasar
kapiler (Potter dan Perry, 2005).
15
lain-lain. Untuk keberhasilan latihan peningkatan fungsi AKS
maka seseorang harus mempunyai kemampuan berkomunikasi,
tingkat kewaspadaan diri (insight) dan motivasi yang cukup,
serta kemmapuan kognitif dan daya ingat untuk dapat
mengerti, mengikuti dan mengingat perintah.
d. Status sosio-ekonomi dan kualitas hidup untuk melihat
dukungan lingkungan sosial terhadap lansia.
PROGRAM REHABILITASI
Berdasarkan hasil penilaian terhadap keadaan lansia secara
keseluruhan akan dibuat program yang sesuai dengan kebutuhan
individual dengan mempertimbangkan semua aspek proses
penuaan serta proses lain yang menyertai. Program diberikan oleh
tim rehabilitasi medik yang terdiri atas psikolog, pekerja sosial
medis, fisioterapis, terapis okupasi, terapis wicara, perawat
rehabilitasi dan tehnisi ortotis-prostetis Pelaksanaan program
rehabilitasi berupa : Edukasi yang diberikan pada lansia yang
bersangkutan, care-giver dan keluarga Program latihan diberikan
melalui pemberian aktifitas dengen beberapa pedoman :
a. Aktifitas sederhana dan sudah dikenal sebelumnya, sesuai
dengan kesenangan lansia, sesuai dengan pekerjaan sebelumnya
serta gaya hidup lansia. Latihan akan lebih berhasil apabila
aktifitas dapat disederhanakan atau dipecahpecah dalam
beberapa langkah yang lebih mudah diikuti.
b. Pasikan aktifitas serta lingkungan melakukan aktifitas tersebut
tidak membahayakan lansia serta dapat menimbulkan rasa
nyaman.
c. Terapis harus kreatif dan fleksibel dalam merancang dan
memberikan aktifitas dalam rangka latihan.
d. Pusatkan perhatian pada fungsi yang ada pada lansia, sesuai
kemampuan, pengetahuan dan kewaspadaan lansia.
16
e. Aktifitas latihan diberikan dengan pengulangan
f. Pilih aktifitas yang memberikan rangsangan kognitif dan
bermanfaat untuk ekspresi diri. Pertahankan rasa humor untuk
menghilangkan rasa stres.
g. Beri kesempatan pada anggota keluarga dan/atau care-giver
untuk ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan.
17
Emboli Paru
Emboli paru dapat menghambat aliran darah ke paru dan memicu
reflekstertentu yang dapat menyebabkan panas yang
mengakibatkan nafas berhenti secaratiba-tiba. Sebagian besar
emboli paru disebabkan oleh emboli karena trombosisvena dalam.
Berkaitan dengan trombosis vena dalam, emboli paru disebabkan
olehlepasnya trombosis yang biasanya berlokasi pada tungkai ba
wah yang padagilirannya akan mencapai pembuluh darah paru
dan menimbulkan sumbatan yangdapat berakibat fatal. Emboli
paru sebagai akibat trombosis merupakan penyebabkesakitan dan
kematian pada pasien lanjut usia.
Kelemahan Otot
Imobilisasi akan menyebabkan atrofi otot dengan penurunan
ukuran dankekuatan otot. Penurunan kekuatan otot diperkirakan
1-2% sehari. Kelemahan otot pada pasien dengan imobilisasi
seringkali terjadi dan berkaitan dengan penurunanfungsional,
kelemahan, dan jatuh.
Kontraktur otot dan sendi
Pasien yang mengalami tirah baring lama berisiko mengalami
kontraktur karena sendi-sendi tidak digerakkan. Akibatnya timbul
nyeri yang menyebabkanseseorang semakin tidak mau
menggerakkan sendi yang kontraktur tersebut.
Osteoporosis
Osteoporosis timbul sebagai akibat ketidakseimbangan antara res
orpsitulang dan pembentukan tulang. Imobilisasi meningkatkan re
sorpsi tulang,meningkatkan kalsium serum serum, menghambat s
ekresi PTH, dan produksivitamin D3 aktif. Faktor utama yang
menyebabkan kehilangan masa tulang padaimobilisasi adalah
meningkatnya resorpsi tulang.
Ulkus dekubitus
18
Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering
terjadi pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi. Jumlah tekanan
yang dapat mempengaruhimikrosirkulasi kulit pada usia lanjut
berkisar antara 25 mmHg. Tekanan lebih dari25 mmHg secara
terus menerus pada kulit atau jaringan lunak dalam waktu
lamaakan menyebabkan kompresi pembuluh kapiler. Kompresi
pembuluh dalam waktulama akan mengakibatkan trombosis intra
arteri dan gumpalan fibrin yang secara permanen
mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan
mengakibatkan pembuluh darah tidak dapat terbuka dan akhirnya
terbentuk luka akibat tekanan.
Hipotensi postural
Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebanyak 20
mmHg dari posisi berbaring ke duduk dengan salah satu
gejala klinik yang sering timbul adalahiskemia serebral, khusunya
sinkop. Pada posisi berdiri, secara normal 600-800 ml darah
dialirkan ke bagian tubuh inferior terutama tungkai. Penyebaran
cairan tubuhtersebut menyebabkan penurunan curah jantung
sebanyak 20%, penurunan volume sekuncup 35% dan akselerasi
frekuensi jantung sebanyak 30%. Pada orang normal sehat,
mekanisme kompensasi menyebabkan vasokonstriksi dan
peningkatan denyut jantung yang menyebabkan tekanan darah
tidak turun. Pada lansia, umumnya fungsi baroreseptor menurun.
Tirah baring total selama paling sedikit 3 minggu akan
mengganggu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan
posisi berdiri dari berbaring pada orang sehat, hal ini akan lebih
terlihat pada lansia.
Pneumonia dan infeksi saluran kemih (ISK)
Akibat imobilisasi retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi
pada pasien geriatri. Pada posisi berbaring otot diafragma dan
interkostal tidak berfungsi dengan baik sehingga gerakan
19
dindingdada juga menjadi terbatas yang menyebabkan sputum
sulit keluar dan pasien mudah terkena pneumonia. Aliran
urin juga terganggu akibat tirah baring yang kemudian menyebab
kan infeksi saluran kemih. Inkontinensia urin juga
sering terjadi pada usia lanjut yang mengalami imobilisasi yang
disebabkan ketidakmampuan ke toilet, berkemih yang tidak
sempurna, gangguan status mental, dan gangguan sensasi
kandung kemih.
Gangguan nutrisi (hipoalbuminemia)
Imobilisasi akan mempengaruhi sistem metabolik dan endokrin y
ang akibatnya akan terjadi perubahan terhadap metabolisme zat
gizi. Salah satu yang terjadi adalah perubahan metabolisme
protein. Kadar plasma kortisol lebih tinggi pada usia lanjut yang
imobilisasi sehingga menyebabkan metabolisme menjadi
katabolisme. Keadaan tidak beraktifitas dan imobilisasi selama 7
hari akan meningkatkan ekskresi nitrogen urin sehingga
terjadi hipoproteinemia konstipasi dan skibala Imobilisasi lama
akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon. Semakinlama
feses tinggal di usus besar, absorpsi cairan akan lebih besar
sehingga fesesakan menjadi lebih keras. Asupan cairan yang
kurang, dehidrasi, dan penggunaanobat-obatan juga dapat
menyebabkan konstipasi pada pasien imobilisasi. Prognosis pada
pasien imobilisasi tergantung pada penyakit yang
mendasariimobilisasi dan komplikasi yang ditimbulkananya.
Perlu dipahami, imobilisasi dapatmemperberat penyakit dasarnya
bila tidak ditangani sedini mungkin, bahkan dapatsampai
menimbulkan kematian (Liza, 2008)
20
Langkah IV: Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan
pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah III
Non
Hemoragik Hemoragik
Stroke
Faktor
Imobilisasi Resiko
Keluhan Pemeriksaan
Komplikasi:
- Infeksi
- Hipotensi
Penanganan
21
Langkah VI: Mengumpulkan informasi baru
22
mengganggu aliran darah ke otak yang pada akhirnya menyebabkan
kematian sel-sel otak.
23
Untuk itu kontrol teratur dan seksama terhadap obat-obat yang
dikonsumsi oleh pasien sangat penting untuk dilakukan.
24
Imobilisasi akan menyebabkan atrofi otot dengan penurunan
ukuran dankekuatan otot. Penurunan kekuatan otot diperkirakan
1-2% sehari. Kelemahan otot pada pasien dengan imobilisasi
seringkali terjadi dan berkaitan dengan penurunanfungsional,
kelemahan, dan jatuh.
Kontraktur otot dan sendi
Pasien yang mengalami tirah baring lama berisiko mengalami
kontraktur karena sendi-sendi tidak digerakkan. Akibatnya timbul
nyeri yang menyebabkan seseorang semakin tidak mau
menggerakkan sendi yang kontraktur tersebut.
Osteoporosis
Osteoporosis timbul sebagai akibat ketidakseimbangan antara res
orpsi tulang dan pembentukan tulang. Imobilisasi meningkatkan
resorpsi tulang, meningkatkan kalsium serum serum, menghambat
sekresi PTH, dan produksi vitamin D3 aktif. Faktor utama yang
menyebabkan kehilangan masa tulang padaimobilisasi adalah
meningkatnya resorpsi tulang.
Ulkus dekubitus
Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering
terjadi pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi. Jumlah tekanan
yang dapat mempengaruhi mikrosirkulasi kulit pada usia lanjut
berkisar antara 25 mmHg. Tekanan lebih dari25 mmHg secara
terus menerus pada kulit atau jaringan lunak dalam waktu
lamaakan menyebabkan kompresi pembuluh kapiler. Kompresi
pembuluh dalam waktulama akan mengakibatkan trombosis intra
arteri dan gumpalan fibrin yang secara permanen
mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan
mengakibatkan pembuluh darah tidak dapat terbuka dan akhirnya
terbentuk luka akibat tekanan.
Hipotensi postural
25
Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebanyak 20
mmHg dari posisi berbaring ke duduk dengan salah satu
gejala klinik yang sering timbul adalahiskemia serebral, khusunya
sinkop. Pada posisi berdiri, secara normal 600-800 ml darah
dialirkan ke bagian tubuh inferior terutama tungkai. Penyebaran
cairan tubuhtersebut menyebabkan penurunan curah jantung
sebanyak 20%, penurunan volume sekuncup 35% dan akselerasi
frekuensi jantung sebanyak 30%. Pada orang normal sehat,
mekanisme kompensasi menyebabkan vasokonstriksi dan
peningkatan denyut jantung yang menyebabkan tekanan darah
tidak turun. Pada lansia, umumnya fungsi baroreseptor menurun.
Tirah baring total selama paling sedikit 3 minggu akan
mengganggu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan
posisi berdiri dari berbaring pada orang sehat, hal ini akan lebih
terlihat pada lansia.
Pneumonia dan infeksi saluran kemih (ISK)
Akibat imobilisasi retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi
pada pasien geriatri. Pada posisi berbaring otot diafragma dan
interkostal tidak berfungsi dengan baik sehingga gerakan
dindingdada juga menjadi terbatas yang menyebabkan sputum
sulit keluar dan pasien mudah terkena pneumonia. Aliran
urin juga terganggu akibat tirah baring yang kemudian menyebab
kan infeksi saluran kemih. Inkontinensia urin juga
sering terjadi pada usia lanjut yang mengalami imobilisasi yang
disebabkan ketidakmampuan ke toilet, berkemih yang tidak
sempurna, gangguan status mental, dan gangguan sensasi
kandung kemih.
Gangguan nutrisi (hipoalbuminemia)
Imobilisasi akan mempengaruhi sistem metabolik dan endokrin y
ang akibatnya akan terjadi perubahan terhadap metabolisme zat
gizi. Salah satu yang terjadi adalah perubahan metabolisme
26
protein. Kadar plasma kortisol lebih tinggi pada usia lanjut yang
imobilisasi sehingga menyebabkan metabolisme menjadi
katabolisme. Keadaan tidak beraktifitas dan imobilisasi selama 7
hari akan meningkatkan ekskresi nitrogen urin sehingga
terjadi hipoproteinemia konstipasi dan skibala Imobilisasi lama
akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon. Semakinlama
feses tinggal di usus besar, absorpsi cairan akan lebih besar
sehingga fesesakan menjadi lebih keras. Asupan cairan yang
kurang, dehidrasi, dan penggunaanobat-obatan juga dapat
menyebabkan konstipasi pada pasien imobilisasi. Prognosis pada
pasien imobilisasi tergantung pada penyakit yang
mendasariimobilisasi dan komplikasi yang ditimbulkananya.
Perlu dipahami, imobilisasi dapatmemperberat penyakit dasarnya
bila tidak ditangani sedini mungkin, bahkan dapatsampai
menimbulkan kematian (Liza, 2008)
27
f. Thorax PA terlihat ada infiltrat yang kemungkinan terjadinya
infeksi
g. Leukosit 21.000 meningkat normalnya 5.000-10.000 yang
menandakan adanya infeksi
5. Tatalaksana farmakologi dan non farmakologi
STROKE
STADIUM HIPERAKUT
Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat dan
merupakan tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan agar
kerusakan jaringan otak tidak meluas. Pada stadium ini, pasien diberi
oksigen 2 L/menit dan cairan kristaloid/koloid; hindari pemberian cairan
dekstrosa atau salin dalam H2O. Dilakukan pemeriksaan CT scan otak,
elektrokardiografi, foto toraks, darah perifer lengkap dan jumlah
trombosit, protrombin time/INR, APTT, glukosa darah, kimia darah
(termasuk elektrolit); jika hipoksia, dilakukan analisis gas darah. Tindakan
lain di Instalasi Rawat Darurat adalah memberikan dukungan mental
kepada pasien serta memberikan penjelasan pada keluarganya agar tetap
tenang.
STADIUM AKUT
Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktor-faktor etiologik maupun
penyulit. Juga dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara dan
psikologis serta telaah sosial untuk membantu pemulihan pasien.
Penjelasan dan edukasi kepada keluarga pasien perlu, menyangkut dampak
stroke terhadap pasien dan keluarga serta tata cara perawatan pasien yang
dapat dilakukan keluarga.
STADIUM SUBAKUT
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan, terapi
wicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik). Mengingat perjalanan
penyakit yang panjang, dibutuhkan penatalaksanaan khusus intensif pasca
28
stroke di rumah sakit dengan tujuan kemandirian pasien, mengerti,
memahami dan melaksanakan program preventif primer dan sekunder
Terapi fase subakut:
Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya, Penatalaksanaan
komplikasi, Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu
fisioterapi, terapi wicara, terapi kognitif, dan terapi okupasi, Prevensi
sekunder Edukasi keluarga dan Discharge Planning
Stroke Iskemik
Terapi umum:
Letakkan kepala pasien pada posisi 300, kepala dan dada pada satu bidang;
ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila
hemodinamik sudah stabil. Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen
1-2 liter/menit sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu,
dilakukan intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan antipiretik,
kemudian dicari penyebabnya; jika kandung kemih penuh, dikosongkan
(sebaiknya dengan kateter intermiten).
Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-2000
mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa
atau salin isotonik. Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi
menelannya baik; jika didapatkan gangguan menelan atau kesadaran
menurun, dianjurkan melalui slang nasogastrik.
Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah
sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari
pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg% atau < 80 mg%
dengan gejala) diatasi segera dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali
normal dan harus dicari penyebabnya. Nyeri kepala atau mual dan muntah
diatasi dengan pemberian obat-obatan sesuai gejala.
Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik
220 mmHg, diastolik 120 mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP)
130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau
29
didapatkan infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal ginjal.
Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat yang
direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta,
penyekat ACE, atau antagonis kalsium. Jika terjadi hipotensi, yaitu
tekanan sistolik 90 mm Hg, diastolik 70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL
selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam
atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan
darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-20 g/kg/menit
sampai tekanan darah sistolik 110 mmHg.
Terapi khusus
Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator.
Tindakan bedah mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu pada
pasien yang kondisinya kian memburuk dengan perdarahan serebelum
berdiameter >3 cm3, hidrosefalus akut akibat perdarahan intraventrikel
atau serebelum, dilakukan VP-shunting, dan perdarahan lobar >60 mL
dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi
Pada perdarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis Kalsium
(nimodipin) atau tindakan bedah (ligasi, embolisasi, ekstirpasi, maupun
(gamma knife) jika penyebabnya adalah aneurisma atau malformasi arteri-
vena (arteriovenous malformation, AVM).
PNEUMONIA
30
eritromisin, dan sebagainya) memiliki mekanisme pengikatan dengan
subunit ribosom 50s dan menghambat disosiasi peptidil tRNA dari
ribosom sehingga sintesis protein tergantung
31
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
- Vankomisin
- Teikoplanin
- Linezolid
Hemophilus influenzae
- TMP-SMZ
- Azitromisin
- Sefalosporin gen. 2 atau 3
- Fluorokuinolon respirasi
Legionella ƒ
- Makrolid
- Fluorokuinolon
- Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
- Doksisiklin
- Makrolid
- Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
- Doksisikin
- Makrolid
- Fluorokuinolon
Pada kasus ringan, pasien boleh berobat jalan. Namun pada kasus berat,
sebaiknya pasien dirawat inap.Pada pasien rawat jalan:
1. Istirahat/ perawatan supportif Bronkodilator albuterol nebulizer/
inhaler Monitor oksigenasi
2. Pada pasien rawat inap
3. Oksigen Bronkodilator albuterol nebulizer (perhatikan selama 4 jam)
Isolasi pernapasan Ribavirin Antibiotik Analisa gas darah arteri
Pencegahan
4. Vaksin untuk mencegah beberapa jenis pneumonia sudah tersedia.
32
6. Sebaiknya pada anak usia sekolah, diistirahatkan dirumah/ di RS
apabila sedang sakit.
33
BAB III
KESIMPULAN
Pada tutorial skenario ini didapatkan pasien mengalami keluhan berupa
sesak napas yang disertai dengan adanya imobilitas dari pasien yang membuat
pasien tidak hanya dapat berbaring di tempat tidur. Penyebab terjadinya imobilitas
pada pasien dapat disebabkan oleh 2 kemungkinan yaitu adanya riwayat stroke
pada pasien dan adanya riwayat fraktur pada panggul pasien. Keadaan imobilitas
pada pasien tersebut dapat menimbulkan beberapa komplikasi diantaranya yaitu
terjadinya depresi, hipotensi serta pneumonia seperti yang dicurigai pada pasien
berdasarkan temuan dari pemeriksaan vital sign, fisik, lab dan foto thoraks.
Depresi pada pasien dapat terjadi karena imobilitas yang terjadi dapat
menyebabkan pasien merasa tidak berharga. Hipotensi yang terjadi pada pasien
yang awalnya bahkan memiliki riwayat hipertensi disebabkan oleh adanya
hipotensi ortostatik karena adanya gangguan berupa tertumpuknya darah di
ekstremitas bawah pasien, penumpukan itu disebabkan adanya vasokontriksi yang
menyebabkan aliran darah balik ke jantung menurun dan menyebabkan preload
jantung menurun. Pneumonia yang terjadi pada pasien disebabkan oleh adanya
kegagalan silia mengeluarkan sekret yang berfungsi untuk pembersihan jalan
napas sehingga bakteri dari luar mudah masuk selain itu juga adanya edema paru
yang disebabkan oleh aliran darah yang tertumpuk di paru juga menyebabkan
bakteri mudah berkembang di paru dan menyebabkan pneumonia. Untuk
memperbaiki keadaan umum pasien maka diberikan tatalaksana untuk
mengurangi serta menyembuhkan keluhan yang terjadi pada pasien serta
memperbaiki nutrisi yang didapatkan pasien. Selain itu diberikan pula rehab
medik pada pasien agar kualitas hidup pasien dapat lebih baik lagi.
34
BAB IV
SARAN
Hambatan yang terjadi pada diskusi tutorial skenario pertama di blok
hematologi ini adalah pertama, kurang luasnya prior knowledge yang ada pada
masing-masing anggota kelompok. Sehingga kami sedikit kesulitan dalam
menjawab beberapa pertanyaan pada diskusi tutorial yang diberikan oleh anggota
kami. Kedua, bahasa di materi blok yang kami pelajari dan bahas ini cukup sulit
untuk dipahami, karena bahasa yang digunakan merupakan bahasa kedokteran
yang sulit dan tidak sederhana. Hasil dari pembahasan yang kami dapatkan juga
berputar-putar (intinya sama). Tetapi, kami merasa cukup puas karena dapat
menyelesaian diskusi mengenai permasalahan ini dengan baik dan berhasil
mencapai hampir semua LO yang ada.
35
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Guedez et al. (2018). Deleterious effects of prolonged bed rest on the body
systems of the elderly.
http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S1809-
98232018000400499 diakses pada 7 April 2019
Sudoyo, Aru W et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV.
Penerbit Buku Kedokteran IPD FK UI.
36